1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Di tengah keberadaan sastra anak yang masih terpinggirkan dalam khazanah
kesusastraan Indonesia1, Abdurahman Faiz, yang terlahir pada tanggal 15
November 1995, mampu menarik perhatian publik, termasuk kalangan sastrawan
hingga negarawan. Nama Faiz kian dikenal setelah suratnya yang memenangkan
Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI tahun 2003 atas prakarsa Dewan
Kesenian Jakarta beredar luas di internet. Berawal dari popularitas yang didapat
pada usianya yang dini tersebut, karya-karya Faiz, yang sebelumnya hanya
menjadi dokumentasi pribadi, diterbitkan ke dalam bentuk buku. Tercatat hingga
tahun 2008, Faiz telah membukukan 4 kumpulan puisi, 1 kumpulan esai, dan 6
antologi2. Sementara itu, pada tahun 2011, naskah dramanya yang bertajuk
“Brani” berhasil memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Drama Federasi
Teater Indonesia di bawah naungan pihak penyelenggara Depdikbud RI.
Kemunculan Faiz dengan karya-karyanya yang telah bermula sejak masa
kanak-kanak menjadikan status kepengarangannya identik dengan sebutan
sastrawan “cilik”. Di arena sastra anak Indonesia, Faiz dipandang sebagai generasi
brilian yang mampu menjadi tonggak bagi kelahiran sastrawan yang berasal dari
kalangan anak-anak.
1 Diindikasikan dengan belum adanya penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak
dalam sebuah zaman (Sugiarti, 2012: 207). 2 Dalam salah satu antologinya, yakni Antologi Puisi Empati untuk Yogyakarta (2006), puisi Faiz
disandingkan dengan puisi karya Ahmadun Yosi Herfanda.
2
“Kehadiran mereka bisa jadi tonggak munculnya sastrawan anak-anak.”3
Faiz beserta Sri Izzati bahkan menjadi pelopor kelahiran seri “Kecil-Kecil
Punya Karya” (KKPK) rintisan Penerbit Mizan yang memiliki keseriusan
menggarap pasar sastra anak. Seri KKPK memuat cerita anak berdasar
pengalaman dan imajinasi para penulis anak Indonesia (Udasmoro, 2012: 24).
Secara lebih spesifik, KKPK diperuntukkan bagi segmentasi anak-anak sekolah
dasar yang gemar menulis (Muakhir, 2006: 11). KKPK didirikan pada tahun 2004
dengan melakukan launching perdana karya Faiz dan Izzati, masing-masing
Untuk Bunda dan Dunia dan Kado untuk Ummi. Haidar Bagir selaku pihak dari
Mizan dalam artikel berjudul “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”4 menyatakan
keberuntungannya karena bisa menerbitkan karya mereka.
“Biasanya penulis mengucapkan terima kasih kepada penerbit
karena karyanya dipublikasikan. Namun, khusus kali ini, kami justru ingin berterima kasih pada Izzati dan Faiz karena menyerahkan naskahnya untuk kami terbitkan.”
Konsekrasi yang diterima Faiz dalam lingkup arena sastra anak Indonesia
juga dikukuhkan oleh penghargaan Buku Terpuji Adikarya IKAPI tahun 2005
terhadap karya pertamanya, yakni Untuk Bunda dan Dunia. Dengan penghargaan
itu, Faiz menempati posisi yang sejajar dengan penulis-penulis sastra anak lain
yang sebagian besar menduduki kategori usia dewasa. Di lain pihak, penghargaan
Adikarya IKAPI yang berdiri sejak tahun 1997 ini merupakan lembaga pengayom
3 Menurut Haidar Bagir selaku pihak Mizan yang pertama kali menerbitkan karya Faiz. Dalam
artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran.
3
yang berperan sebagai agen dalam memberikan legitimasi di arena sastra anak
Indonesia. Penghargaan ini diinspirasi oleh penghargaan bergengsi dalam sastra
terhadap cerita atau tulisan dan gambar/ ilustrasi, seperti Caldecott Award,
Newbery Award atau Hans Christian Anderson Award5.
Selanjutnya, legitimasi Faiz pada kancah arena sastra anak Indonesia pun
semakin diperkuat oleh adanya endorsement dari kalangan pakar sastra anak
dalam kedua bukunya, masing-masing Untuk Bunda dan Dunia dan Guru
Matahari. Bagi Riris K. Sarumpaet (2004: 5), karya Faiz mencerminkan
kreativitas dan keberanian yang luar biasa di tengah kesulitan untuk menemukan
buku yang baik dan menarik bagi pembaca anak. Sarumpaet (2004: 6) pun
kembali menegaskan bahwa karya Faiz menjadi jawaban atas kerinduannya akan
karya sastra dari penulis anak dengan karakteristiknya yang khas.
Setelah berpuluh tahun membaca karya sastra anak Indonesia, baru
kali ini saya menemukan kepolosan, kesederhanaan, kejernihan disertai kepedulian yang sangat pada “teman-teman kecilku yang miskin”.
Pada sisi yang lain, pencapaian Faiz dalam arena sastra anak Indonesia
seringkali dipertautkan dengan peran Helvy Tiana Rosa, sastrawan pendiri Forum
Lingkar Pena sekaligus bunda dari Faiz. Artinya, kepengarangan Faiz dengan
karya-karyanya tersebut tidak lepas dari habituation process atau proses-proses
pembiasaan yang dialami dalam ruang lingkup kehidupannya. Habitus seseorang
5 Sumber: www.bennyrhamdani.com. Artikel berjudul “Adikarya, Apa Kabar?” karya Benny
Rhamdani yang pernah menjadi pemenang ketiga pada penghargaan Adikarya IKAPI tahun 2007 dengan karyanya Jika Aku Jadi Kucing. Diposting pada 18 November 2013 dan diakses pada 20 Februari 2014.
4
dapat ditelusuri dari sejarah individu, pengalaman yang membentuk masa pertama
kanak-kanak, segenap sejarah kolektif keluarga, dan kelas (Bourdieu, 2012: 141).
Dalam kata pengantar, sastrawan Indonesia angkatan ’66, Taufiq Ismail,
menyebut mengenai keunikan karya Faiz yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh genetika serta habitus keluarganya.
Kumpulan sajak Untuk Bunda dan Dunia ini sungguh unik, karena
pengarangnya, Abdurahman Faiz, berumur delapan tahun. Dia lahir di Jakarta, 15 November 1995. Ibunya, Helvy Tiana Rosa adalah pengarang, dan ayahnya, Tomy Satryatmo, wartawan. Faktor genetik dan lingkungan kepenulisan dengan budaya membaca di rumah, secara dini telah membentuk Faiz (Ismail, 2004: x).
Senada dengan Taufiq Ismail, Seto Mulyadi, psikolog anak, pun menyikapi
kepengarangan Faiz sebagai produk dari habitus yang melingkunginya.
Saya rasa Faiz dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif.
Sebagai kanak-kanak dia sangat humanis (Mulyadi, 2004: 7).
Akhirnya, dengan habitus keluarga penulis inilah Faiz memiliki berbagai
jenis modal. Secara lebih terperinci, modal-modal bagi Bourdieu diklasifikasikan
ke dalam empat kategori. Modal ekonomi yang mencakup alat-alat produksi
(mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang; modal
budaya yang meliputi keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi
melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga; modal sosial yang dimiliki
pelaku, baik individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan pihak lain
yang punya kuasa; serta modal simbolis yang meliputi segala bentuk prestise,
status, otoritas, dan legitimasi (Karnanta, 2013: 10—11).
5
Faiz memperoleh modal budaya yang terbentuk dari habitusnya berupa
pengetahuan dan kemampuan, khususnya, yang berkaitan dengan sastra. Modal
sosial pun begitu mungkin didapatkan oleh Faiz, terutama dari relasi sastra Helvy
Tiana Rosa sebagai agen. Selain itu, endorsement-endorsment maupun kata
pengantar yang terdapat dalam karya-karyanya serta penghargaan-penghargaan
yang telah diterima dapat pula menjadi bentuk legitimasi atas status
kepengarangan di usianya yang masih belia sebagai modal simbolis. Pada
implikasinya, dengan bekal modal budaya, modal sosial, juga modal simbolis
tersebut Faiz pun mampu meraup modal ekonomi, salah satunya berupa royalti
atas karya-karyanya.
Faiz kemudian mengakumulasi berbagai modal yang telah berhasil
dikumpulkannya. Modal digunakan agen sebagai bekal untuk berkompetisi dalam
arena yang menjadi ruang kompetisi bagi agen untuk mempertahankan atau
memperebutkan posisi tertentu. Artinya, modal menjadi salah satu penyebab
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam sebuah kompetisi yang ada dalam arena.
Oleh karena itu, jumlah dan bobot relatif yang dimiliki oleh agen dapat
menentukan posisinya di suatu arena (Ritzer, 2007: 525).
Posisi sosial dan peran sastrawan dalam arena menjadi salah satu sorotan
yang diperhatikan oleh Bourdieu dalam teori Arena Produksi Kultural. Lebih
lanjut, bagi Bourdieu, sastrawan merupakan seorang produser kultural yang
menduduki sebuah posisi tertentu di dalam sebuah arena tertentu (Codd, 2009:
195). Posisi dalam arena dapat menjelaskan sukses tidaknya seseorang dalam
memperoleh legitimasi ataupun status sebagai sastrawan. Oleh karenanya, hal
6
yang menonjol dari kajian (sosiologi) sastra dalam perspektif Bourdieu adalah
bahwa teorinya membuka peluang untuk bertanya apa, bagaimana, dan mengapa
seseorang memiliki legitimasi dan “sukses” menjadi sastrawan atau seniman
(Salam, 2013: 7)6.
Dengan demikian, predikat ‘sastrawan’ pun merupakan sebuah gelar
sekaligus proses kompleks yang terjadi dalam arena. Arena sastra menjadi tempat
bagi pergulatan-pergulatan di mana yang dipertaruhkan adalah kekuasaan untuk
mengimposisi atau memaksakan definisi dominan tentang penulis, dan karenanya,
kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak ambil bagian dalam pergulatan
mendefinisikan penulis tersebut (Bourdieu, 2012: 22). Seseorang yang menulis
kemudian mempublikasikan karya sastra tidak secara serta-merta menyandang
label sastrawan. Status sastrawan sesungguhnya diberikan oleh pihak-pihak
tertentu yang berada dalam arena sastra (Karnanta, 2013: 1).
Berbekal habitus dan akumulasi berbagai jenis modal, Faiz berposisi untuk
meraih legitimasi simbolis dalam arena sastra Indonesia. Perhatian dari kalangan
sastrawan negeri berupa endorsement serta kata pengantar menjadi tiket masuk
bagi Faiz untuk turut serta berkompetisi dalam arena ini. Pada implikasi yang lain,
keikutsertaan Faiz tersebut juga merupakan deskripsi dari serangkaian
trajektorinya dalam arena. Trajektori menjelaskan serangkaian posisi yang silih-
berganti ditempati oleh agen di tengah keadaan arena sastra yang juga silih
berganti (Johnson, 2012: xxxix).
6 Disajikan dalam Diskusi Bulanan S2 Ilmu Sastra #1, Prodi S2 Ilmu Sastra FIB UGM pada
tanggal 19 Juni 2013 di FIB UGM, Yogyakarta.
7
Salah satu sastrawan dalam arena Indonesia, Agus R. Sarjono, melalui kata
pengantar dalam karya Faiz yang berjudul Guru Matahari (2004), pun dengan
yakin mendudukkan Faiz sebagai seorang penyair.
Faiz adalah seorang penyair! Ini tidak dapat dibantah. Bukan
karena sekecil itu dia sudah menulis puisi dan bukan pula karena puisi-puisinya mengagumkan, melainkan ia memang hidup sebagai penyair, disadari atau tidak disadarinya (2004: xi).
Pergulatan Faiz dalam arena sastra Indonesia yang sesungguhnya ditandai
dengan label nominator termuda sepanjang pergelaran ajang Khatulistiwa Literary
Award (KLA) atas karyanya Guru Matahari. Di arena sastra Indonesia, ajang ini
milik kalangan sastrawan dewasa dan cukup bergengsi. Penghargaan KLA pernah
diterima oleh beberapa nama, seperti Seno Gumira Ajidarma dengan Kitab Omong
Kosong, Ayu Utami melalui Bilangan Fu, Nirwan Dewanto bersama karya Bulia
Lima Kaki, Joko Pinurbo lewat Kekasihku, Hamsad Rangkuti dalam Bibir dalam
Pispot, dan lain sebagainya.
Persaingan sengit dalam arena sastra Indonesia untuk memperebutkan posisi
terkonsekrasi yang didominasi oleh sastra milik sastrawan-sastrawan “dewasa”
diindikasikan dengan penganuliran gelar sebagai nominator KLA. Dalam KLA
2005, buku puisi penyair cilik, Abdurahman Faiz (Guru Matahari) semula muncul
dalam daftar 10 besar, tapi setelah adanya sejumlah protes dan kritik, tiba-tiba
namanya dihapus begitu saja, dan segera diganti nama dan buku lain (Situmorang,
2009: 198). Namun, pilihan Faiz untuk terus menulis puisi merupakan manifestasi
dari perjuangannya untuk berkompetisi di jalur sastra.
8
Dalam karya selanjutnya, Nadya Kisah dari Negeri yang Menggigil, Sapardi
Djoko Damono menganggap bahwa di usianya yang masih dini, Faiz telah
mencapai tahap kesadaran sebagai penulis puisi.
Ketika menulis, ia mungkin saja tidak sadar bahwa sedang
bermain-main—sampai tahap tertentu ketika ia mulai menyadari bahwa permainan yang dilakukannya ternyata adalah menulis puisi. Pada waktu itulah ia berpikir dan mempertimbangkan langkah-langkah yang dilakukannya dengan sadar. Mengapa ia menulis? Untuk apa ia menulis? Bagaimana ia menulis? Dan pada usia yang masih dini, Faiz telah sampai pada tahap itu (Damono, 2008: x).
Sapardi kembali menambahkan bahwa Faiz dengan puisinya mulai merasa
telah masuk ke dalam dunia yang sebelumnya sudah dihuni oleh Rendra, Taufiq,
dan Tardji (Damono, 2007: xi). Dengan demikian, posisi Faiz yang seringkali
masih dianggap murni sebagai sastrawan “cilik” tidak lagi relevan. Melalui
puisinya yang berjudul “Klarifikasi Kurcaci”, Faiz melakukan perlawanan
terhadap struktur arena sastra Indonesia yang hanya melegitimasi karya-karya
sastra dari penulis dewasa.
Mengapa puisi ini tak boleh diterbitkan? tanyaku tak mengerti tidak kutemukan SARA di sana Sebab puisi ini terlalu bagus untuk seorang anak kecil seharusnya ini karya Sapardi dan yang itu karya Sutardji (“Klarifikasi Kurcaci”, 2007: 10).
Pada bait yang lain, Faiz kembali mempersoalkan ruang sosial khususnya
arena sastra di Indonesia yang memberi legitimasi simbolis hanya pada kalangan
9
dewasa. Faiz mengontraskan kondisi arena di Indonesia tersebut dengan arena di
negara lain.
Aku membaca Ali Di usia enam tahun Ia putuskan mengikuti Muhammad Rasul Allah Aku membaca Syafii Di usia balita ia hafal Quran Aku membaca Mozart Pada usia kelima Ia buat komposisi lagu menakjubkan (“Klarifikasi Kurcaci”, 2007: 11).
Tanpa menyia-nyiakan koleksi modal simbolis yang diperoleh dari
serangkaian endorsement-endorsment serta kata pengantar dari beberapa nama
sastrawan yang tercantum dalam antologi-antologi puisinya, pada kondisi yang
lain, Faiz masih memiliki persediaan bekal untuk kembali berstrategi dalam
pertaruhan perebutan legitimasi simbolis di arena sastra Indonesia. Strategi
merupakan ide bagi agen dalam bertindak untuk mereproduksi posisi-posisi
mereka dan memperoleh posisi dalam ruang sosial (Mahar, 2009: 23), termasuk
arena sastra sebagai bagiannya.
Dalam ruang lingkup arena sastra Indonesia, fenomena kepengarangan Faiz
menjadi hal yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Usianya yang masih belia
ketika menghasilkan karya-karya yang pembacanya tidak hanya melingkupi
pembaca anak-anak, tetapi juga menarik perhatian dari beberapa sastrawan
bahkan tokoh kenamaan negeri menjadikan pergulatan kepengarangannya dapat
menembus arena sastra anak maupun arena sastra Indonesia secara keseluruhan.
10
Jamal D. Rahman menganggap Faiz mampu menghidupkan mata kanak-kanak ke
dalam mata penyair. Ketika penyair hanya bekerja dengan satu mata, Faiz bekerja
dengan dua mata, yakni mata kanak-kanak dan mata penyair.7
Trajektori Faiz dengan habitus dan akumulasi modal yang membuatnya
bertarung dalam dua arena sastra tersebut mengukuhkan “tanda distingtifnya” dari
sastrawan lain. Teoritikus Sosiologi Seni dari Perancis, Pierre Bourdieu, berusaha
menjelaskan bahwa dalam ruang sosial, termasuk arena sastra, kekuatan
pendorong dari semua perilaku manusia (sastrawan) tidak hanya untuk mencari
kehormatan, tetapi juga dengan tujuan utama untuk menjadi eksis, menduduki
posisi sebagai individu, dan menjadi berbeda agar menjadi menonjol dalam ruang
tersebut (dalam Ritzer, 2007: 529). Bourdieu (2012: 49) juga mengemukakan
bahwa “membuat tanda sendiri” berarti menciptakan sebuah posisi baru,
melampaui posisi yang sudah ditempati, di kubu terdepan. Dalam perjuangan
bertahan hidup ini, tanda menjadi sangat penting, semisal nama aliran atau
kelompok—kata-kata yang menciptakan benda, tanda distingtif yang
memproduksi eksistensi.
Pada konteks sastra, perbedaan tersebut dimaknai sebagai strategi dalam
pergulatan untuk ‘mengukir nama’ (faire date), membuat tanda, mencapai
pengakuan atas perbedaan seorang agen dengan agen lainnya. Abdurahman Faiz
berstrategi dan berposisi dengan menjadi tampil beda untuk menunjukkan
eksistensinya di tengah pergulatan yang terjadi dalam arena sastra Indonesia. Di
titik tersebut, dalam pergulatan hidup dan pergulatan mencapai kesuksesan,
7 Dalam wawancara dengan Helvy Tiana Rossa tanggal 14 Oktober 2013.
11
urgensi tanda-tanda distingtif yang dimunculkan Faiz dapat mengidentifikasi
strategi dan posisinya di dalam arena sastra.
Arena sastra yang dihadapi oleh Faiz dalam berstrategi dan berposisi adalah
arena sastra pasca-Orde Baru. Pada masa ini ruang sosial di Indonesia tengah
menghadapi fase baru setelah rezim Soeharto diruntuhkan oleh reformasi menuju
masa demokrasi. Perubahan tersebut sangat dimungkinkan membawa imbas pada
struktur arena sastra Indonesia. Dalam kondisi demikian, relevansi strategi dan
posisi yang diduduki Faiz dalam arena sastra Indonesia dapat menjelaskan
dinamika kesusastraan Indonesia mutakhir, termasuk juga perkembangan sastra
anak Indonesia yang menjadi bagian di dalamnya.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara terperinci
mengenai strategi perjuangan legitimasi dan posisi yang ditempati oleh
Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia. Strategi dan realitas posisi Faiz
dalam arena sastra Indonesia merupakan bentuk praktik budaya. Dalam teori
Arena Produksi Kultural, Bourdieu memaknai budaya sebagai representasi sosial
dengan memusatkan perhatian pada dialektika antara struktur objektif dan
subjektif. Posisi sosial dan peran sastrawan menjadi salah satu sorotan yang
diperhatikan oleh Bourdieu karena mencermikan wujud praktik kebudayaan.
Sementara itu, selain Faiz sebagai salah satu agen dengan trajektori, habitus
dan akumulasi modal yang dimilikinya, kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta
digunakan sebagai objek material dalam penelitian ini untuk mendapatkan
pemahaman secara menyeluruh (subjektif dan objektif) mengenai strategi dan
posisi Faiz dalam arena sastra Indonesia. Dari beberapa karya Faiz, Aku Ini Puisi
12
Cinta dipandang dapat merepresentasikan praktik bersastra Faiz karena buku ini
merupakan antologi gabungan dua buku pendahulunya, yakni Untuk Bunda dan
Dunia dan Guru Matahari. Pihak penerbit menyebut bahwa Aku Ini Puisi Cinta
merupakan wujud apresiasi terhadap tanggapan pembaca yang positif terhadap
dua karya Faiz yang sebelumnya.
Perjalanan Faiz dalam menulis puisi telah melahirkan dua karya
fenomenal yaitu Untuk Bunda dan Dunia (DAR! Mizan, 2004) dan Guru Matahari (DAR! Mizan, 2004). Kedua buku tersebut mendapat sambutan hangat dari para pembaca. Aku Ini Puisi Cinta (DAR! Mizan 2004) adalah kumpulan puisi-puisi terpilih Faiz yang dikemas secara khusus.8
Kondisi tersebut menjelaskan bahwa karya-karya Faiz dinilai berhasil jika
ditinjau berdasarkan prinsip hierarki heteronom yang berorientasi pasar.
Sambutan hangat dari pembaca sehingga pihak penerbit melakukan cetak ulang
merupakan indikator yang memperinci kesuksesan Faiz dengan label legitimasi
populer. Selain itu, kedua buku Faiz itu pun masing-masing mendapatkan
penghargaan Adikarya IKAPI dan nominator Khatulistiwa Literary Award.
Artinya, buku ini dapat menggambarkan kepengarangaan Faiz yang meliputi
arena sastra anak dan arena sastra Indonesia secara keseluruhan. Buku Aku Puisi
Cinta juga cukup mewakili trajektori, habitus serta akumulasi modal Faiz dan
pandangannya terhadap ruang sosial maupun arena sastra Indonesia pasca-Orde
Baru.
8 Tanggapan dari pihak penerbit yang terdapat dalam sampul belakang buku Aku Ini Puisi Cinta
karya Abdurahman Faiz.
13
1.2 Rumusan Masalah
Kehadiran Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia pada masa pasca-
Orde Baru menjadi fenomena yang menarik untuk ditinjau lebih jauh. Faiz berada
di arena sastra Indonesia dengan habitus yang membentuknya serta modal-modal
yang telah terkumpul. Faiz yang terlahir dari rahim salah seorang sastrawan yang
punya kiprah besar di Indonesia lantas melejit dengan pencapaiannya yang sangat
berbeda dengan penulis-penulis sebayanya. Ketika usianya masih berada pada
tataran kanak-kanak, karya-karya Faiz telah diterima dan mendapat perhatian yang
lebih dari berbagai kalangan, terutama sastrawan hingga negarawan.
Di lain sisi, di tengah problematisnya keberadaan sastra anak, khususnya
di arena sastra Indonesia, momentum kemunculan Faiz pada usia kanak-kanak
menjadikan pergulatan kepengarangannya berada dalam talik-ulur arena sastra
anak serta arena sastra Indonesia secara keseluruhan. Dengan menggunakan Teori
Arena Produksi Kultural Bourdieu, dapat ditelusuri persoalan kepengarangan Faiz
dalam arena sastra Indonesia. Oleh karena itu, untuk menuju pada jawaban
tersebut, berikut rumusan pertanyaan penelitiannya.
1. Bagaimana struktur arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia pasca-
Orde Baru yang menjadi ruang sosial Abdurahman Faiz dalam
melakukan praktik?
2. Bagaimana trajektori dan akumulasi modal Abdurahman Faiz dalam
pertarungan perebutan posisi dan legitimasi dalam arena sastra
Indonesia pasca-Orde Baru?
14
3. Bagaimana kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta menjadi representasi
strategi dan posisi Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia
pasca-Orde Baru?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang diramukan berdasarkan rumusan masalah adalah
untuk (1) mengetahui struktur arena kekuasaan dan arena sastra tempat
kemunculan Abdurahman Faiz beserta karya-karyanya (2) mendapatkan
penjelasan secara terperinci mengenai pengaruh trajektori, habitus dan
pengelolaan modal milik Abdurahman Faiz dalam kontestasi simbolis di arena
sastra Indonesia (3) memperoleh jawaban atas strategi dan pencapaian posisi
Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia melalui representasi karyanya,
Aku Ini Puisi Cinta.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini mengaplikasikan Teori Arena Produksi
Kultural milik Pierre Bourdieu. Teori ini digunakan untuk menjawab
permasalahan mengenai posisi Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia dan
pengaplikasian trajektori, habitus, modal, serta strategi Faiz dalam mencapai
posisinya dalam arena sastra Indonesia. Sementara itu, secara praktis, penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika mengenai pergulatan sastrawan
anak dalam arena sastra Indonesia yang masih jarang sekali mendapatkan
15
perhatian. Diharapkan penelitian ini menjadi salah satu pemicu terhadap kajian-
kajian berikutnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Abdurahman Faiz maupun karyanya belum pernah disinggung secara
terperinci dalam sistematika penelitian. Pembicaraan mengenai kiprah ataupun
karyanya seringkali berkaitan dengan artikel-artikel dalam media massa.
Pembahasan melalui media massa tersebut lebih menjangkau persoalan-persoalan
mengenai kehidupan pribadi yang berkaitan dengan aktivitas kepenulisannya,
prestasi-prestasi yang diraihnya, serta karya-karya yang telah ditelurkannya.
Pada format yang lain, pembahasan, secara general dan cukup singkat,
mengenai beberapa karya yang dikorelasikan dengan kepengarangan Faiz hanya
dapat ditemukan pada kata pengantar dalam karya-karyanya yang diberikan oleh
beberapa sastrawan. Taufiq Ismail memberikan kata pengantar pada karya
berjudul Untuk Bunda dan Dunia; Agus R. Sardjono dalam Guru Matahari; dan
Sapardi Djoko Damono pada Nadya Kisah dari Negeri yang Menggigil.
Pembahasan-pembahasan mengenai Faiz ataupun karyanya itu, baik yang
melalui media massa maupun yang terdapat dalam karyanya, dimanfaatkan
sebagai data dalam penelitian ini. Data tersebut merupakan objek material yang
digunakan untuk mengungkapkan trajektori, habitus, modal, strategi, hingga posisi
Faiz dalam arena sastra Indonesia pasca-Orde Baru.
Sementara itu, penggunaan teori yang dikemukaan oleh Pierre Bourdieu
untuk membedah persoalan kesusastraan mulai bergeliat. Dalam bidang sastra,
16
teori yang dikemukakan oleh Bourdieu diterapkan untuk menganalisis persoalan
pengarang hingga komunitas. Melalui tesis yang diterbitkan pada tahun 2013,
Saeful Anwar mengaplikasikan teori milik Pierre Bourdieu untuk melihat
disposisi dan pencapaian Persada Studi Klub (PSK) sebagai sebuah komunitas
kesusastraan yang cukup melegenda di Yogyakarta dalam arena sastra nasional.
Dikemukakannya bahwa PSK menduduki peranan sebagai pihak yang terdominasi
di bawah kekuasaan Orde Baru. Karena posisinya tersebut, PSK melakukan
bentuk resistensi dengan memupuk modal simbolis dalam persaingan arena sastra
nasional.
Masih ada keterkaitan dengan PSK, pada tahun yang sama, yakni 2013, I
Made Wayan Astika menempuh penelitian dengan teori yang juga tidak berbeda,
teori Sosiologi Pierre Bourdieu. Dengan objeknya Landu Umbu Paranggi sebagai
pendiri PSK, Astika mendeskripsikan posisi Paranggi dalam arena sastra nasional;
pergulatannya dalam arena sastra Bali; serta strategi-strategi yang ditempuh untuk
menghadapi arena sastranya. Dijelaskan bahwa dalam sastra nasional, Paranggi
menempati posisi objektif sebagai penyair terkonsekrasi dan terlegitimasi dalam
arenanya. Sementara itu, di Bali, Paranggi melakukan reproduksi-reproduksi
dalam pergulatan arena sastra regional yang hampir mirip dengan apa yang telah
dilakukannya di Yogyakarta. Untuk mempertahankan dan memperkuat
pencapaian dalam arena, Paranggi melakukan strategi dengan menginvestasikan
prestise, kebohemian, ketersohoran, dan kefanatikannya terhadap puisi dengan
tetap mengeksklusi modal ekonomi sebagai modal yang tidak terlalu dominan.
17
Penelitian mengenai komunitas maupun pengarang dengan teori Bourdieu
dalam kedua tesis tersebut secara garis besar dimaksudkan untuk menemukan
jawaban atas penerapan strategi dalam pertarungan pencapaian posisi tertentu
dalam arena sastra. Pada penelitian ini, relevansi strategi serta realitas posisi Faiz
dalam arena sastra pun menjadi pokok permasalahan yang dicari jawabannya.
Akan tetapi, keikutsertaan Faiz dalam pertarungan perebutan legitimasi simbolis
dalam arena sastra Indonesia merupakan fenomena kebaharuan yang menarik
untuk ditelusuri secara lebih mendalam.
Pergulatan kepengarangan Faiz pada usia belia dalam arena sastra Indonesia
dapat menunjukkan adanya indikasi perubahan struktur dalam arena ini. Terlebih
lagi, ruang sosial Faiz adalah rezim pasca-Orde Baru yang mengalami perubahan
sistem politik dan ekonomi secara signifikan dari rezim sebelumnya. Artinya,
relevansi strategi dan realitas posisi Faiz dapat menjelaskan struktur arena sastra
Indonesia mutakhir yang sangat mungkin mengalami perubahan seiring dengan
perubahan yang terjadi dalam arena kekuasaan. Selain itu, pada implikasi yang
lain, penelitian ini juga mampu memberikan gambaran mengenai posisi sastra
anak dalam arena sastra Indonesia bahkan arena kekuasaan Indonesia. Dengan
demikian, temuan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi
mengenai keberadaan sastra anak Indonesia di tengah perkembangan sastra
Indonesia pada rezim pasca-Orde Baru.
18
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori Arena Produksi Kultural dari Pierre
Bourdieu. Dalam teori Arena Produksi Kultural, posisi sosial dan peran sastrawan
menjadi salah satu fokus yang diperhatikan oleh Bourdieu karena mencerminkan
praktik kebudayaan. Realitas posisi dan peran Faiz dalam arena sastra Indonesia
pun merupakan bentuk praktik budaya.
Sebagai formula lanjutan dari pemikirannya mengenai praktik9 yang
memiliki arena lebih luas, teori Arena Produksi Kultural pun terbentuk atas
pemahaman yang menjembatani oposisi antara objektivisme dan subjektivisme.
Objektivisme—sebagai penjelasan dunia sosial dari sudut pandang situasi-situasi
objektif yang menstrukturkan kebebasan praktis kesadaran manusia—dinilai tidak
berhasil mengungkapkan realitas pada dimensi tertentu yang dirangkai oleh
konsepsi dan representasi yang dilakukan oleh individu. Sementara itu,
subjektivisme—yang menjelaskan konstruksi pengetahuan mengenai dunia sosial
dengan landasan pengalaman utama dan persepsi-persepsi individu—dipandang
gagal memahami landasan sosial yang membangun kesadaran. Dengan kata lain,
Bourdieu menempatkan objektivisme vs. subjektivisme dalam posisi yang saling
memengaruhi.
Analisis struktur objektif tidak dapat dilepaskan dari analisis asal-
usul struktur mental individual (subjektif) yang, hingga taraf tertentu, merupakan produk penggabungan struktur sosial—juga tidak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri—ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis—di mana agen berpartisipasi dengan posisi mereka di dalam
9 Praktik merupakan hasil hubungan dialektika antara struktur dan keagenan. Praktik tidak
ditentukan secara objektif dan bukan hasil kemauan bebas (Bourdieu, 1995: 3).
19
ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini (Bourdieu, 1990: 14).
Lebih lanjut, dalam teori Arena Produksi Kultural, perdamaian antara
objektivisme dan subjektivisme dimaknai sebagai penolakan terhadap kaitan
langsung biografi individual dengan karya sastra atau yang berkaitan dengan
‘kelas sosial’ yang menjadi asal suatu karya sastra. Selain itu, teori ini pun tidak
memperkenankan analisis internal karya individual bahkan analisis
intertekstualnya karena kedua hal tersebut harusnya dilakukan secara bersamaan
(Bourdieu, 1990: 147). Artinya, teori Arena Produksi Kultural tidak hanya bertitik
pusat pada analisis karya-karya sastra. Teori ini juga menjangkau analisis
mengenai kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang
simbolis (karya sastra) yang melibatkan produsen karya (penulis, sastrawan)
hingga publik, penerbit, kritikus, galeri, akademi, dan lainnya sebagai pihak yang
mempunyai kewenangan untuk memberikan konsekrasi atau legitimasi.
Dalam mengembangkan teori Arena Produksi Kultural yang tidak dapat
dilepaskan dari teori praktik miliknya tersebut, Bourdieu mengelaborasi dan
memperbaiki konsep mengenai habitus dan arena. Habitus yang didasarkan pada
konsep keagenan (agensi) dimaknai oleh Bourdieu sebagai kemampuan agen
terkait dengan relasinya terhadap struktur (sosial). Struktur sosial sendiri
diterjemahkan Bourdieu sebagai arena yang dipahami dalam dua dimensi, yakni
struktur objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial, dan struktur
subjektif, yakni struktur yang berada dan bekerja dalam diri individu (Karnanta,
2013: 9).
20
Sementara itu, praktik juga menuntut kehadiran modal karena modal
merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi
di dalam ranah (arena) (Takwin, 2009: xx). Secara singkat, Bourdieu menyatakan
rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x
Modal) + Arena = Praktik (Bourdieu, 1984: 101). Rumus tersebut menjadi
pengganti hubungan sederhana antara agen dan struktur dengan relasi antara
habitus dan arena yang mengikutsertakan modal. Oleh karenanya, habitus, modal,
dan arena pun menjadi tiga konsepsi utama untuk menguraikan Arena Produksi
Kultural.
1.6.1 Habitus sebagai Struktur Kognitif Agen
Habitus adalah struktur kongnitif yang dimanfaatkan oleh agen dalam
menghadapi realitas sosial. Dalam berurusan dengan realitas sosial tersebut, agen
menempuh cara yang bervariasi berdasarkan habitusnya masing-masing. Habitus
mampu memengaruhi perbedaan tindakan agen karena didefinisikan sebagai
sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa berubah atau berpindah
‘transposable disposition’ (Bourdieu, 1995: 72). Disposisi sendiri merupakan
rincian dari tindakan teroganisir agen yang sejajar dengan struktur, langkah agen
untuk berada berkaitan dengan kebiasaan-kebiasannya, serta kecenderungan atau
tendensi (Bourdieu, 1995: 214). Disposisi yang bertahan lama menunjukkan
bahwa habitus merupakan suatu produk sejarah yang diterima agen sebagai proses
panjang pencekokan (process of inculcation) dalam ruang dan jangka waktu
21
tertentu. Sementara itu, disposisi yang bisa berubah atau berpindah menjelaskan
bahwa habitus dapat dialihkan dari satu arena ke arena yang lain.
Habitus sebagai struktur yang menstruktur ‘structuring structure’
mengandung pengertian sebagai sebuah struktur yang membangun realitas sosial.
Artinya, menjadi kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi,
representasi, dan praktik agen. Di pihak lain, habitus sebagai struktur yang
terstruktur ‘structured structure’ menjelaskan struktur yang dikonstruksikan oleh
realitas sosial. Habitus terlahir dari realitas sosial tertentu sehingga menjadi
struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh realitas sosial yang
menghasilkannya. Oleh karenanya, habitus menghasilkan serta dihasilkan oleh
realitas sosial. Dengan kata lain, habitus dilukiskan sebagai dialektika internalisasi
dari eksternalitas dan eksternalitasi dari internalitas (Bourdieu, 1995: 72).
Dialektika tersebut menjelaskan pula bahwa habitus merupakan konstruksi
perantara yang hanya mengendalikan pikiran dan pilihan praktik agen. Habitus
hanya bergerak pada aspek “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan agen
dan sebaiknya mereka pilih sebagai praktik. Walaupun demikian, habitus lebih
merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja
karena berada pada tataran prasadar (preconcious). Selain itu, habitus juga bukan
merupakan gerakan mekanistis yang mengabaikan latar belakang sejarah sama
sekali karena habitus pun dimengerti sebagai produk sejarah yang mulai terbentuk
sejak manusia lahir dan bersosialisasi dengan masyarakat dalam rentang ruang dan
waktu tertentu. Terlebih lagi, habitus bukanlah kodrat yang terberi secara alamiah,
melainkan terkonstruksi dari hasil pembelajaran dalam pengasuhan, aktivitas
22
bermain, hingga pendidikan. Maka dari itu, habitus hanya menyediakan dasar-
dasar yang digunakan agen untuk membuat pilihan dan memilih strategi yang
hendak diterapkan dalam realitas sosial tanpa melibatkan pertimbangan rasional
sepenuhnya.
Sementara itu, sifat habitus yang teratur dan berpola tidak mengindikasikan
bentuk kepatuhan terhadap aturan-aturan tertentu karena habitus sudah menyatu
ke dalam pikiran dan tubuh hingga menjadi tempat berlangsungnya sejarah.
Habitus yang terarah pada tujuan dan hasil tertentu pun tidak didasari oleh maksud
sadar dalam mencapai tujuan dan hasil tersebut. Artinya, tidak dilandasi
kompetensi khusus untuk mencapainya (Kleden via Adib, 2012: 97).
1.6.2 Modal sebagai Asas Kekuatan Agen
Modal memiliki pengaruh terhadap kehadiran agen dalam suatu arena
karena agen tidak masuk untuk bersaing dalam perebutan posisi maupun bertaruh
tanpa memiliki bekal. Posisi berbagai agen dalam arena ditentukan oleh jumlah
bobot relatif modal yang dimiliki (Ritzer, 2007: 525). Modal menjadi konsentrasi
kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam arena.
Dalam arena produksi kultural yang identik dengan adanya kontestasi,
modal sebagai “sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar
dapat digunakan” dimanfaatkan para agen untuk memperebutkan posisi yang
terlegitimasi. Istilah ‘modal’ dipakai Bourdieu untuk memetakan hubungan-
hubungan kekuatan dan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat (Karnanta,
2013: 10). Dalam pandangan Bourdieu, modal dibagi ke dalam empat kelompok,
23
yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolis. Modal
ekonomi meliputi alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan
benda-benda), dan uang. Modal budaya mencakup keseluruhan klasifikasi
intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan
keluarga. Modal sosial atau jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau
kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Modal
simbolis merangkum segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi.
Empat klasifikasi modal, yakni ekonomi, budaya, sosial, dan simbolis dapat
saling dipertukarkan. Masing-masing jenis modal didapat dan diakumulasikan
dengan saling diinvestasikan dalam bentuk-bentuk modal lainnya yang disebut
sebagai rekonversi modal. Jumlah modal yang diakumulasi dan struktur modal itu
sendiri memengaruhi pengklasifikasian hierarki dan diferensiasi masyarakat.
Seseorang yang menguasai keempat modal sekaligus pasti akan menduduki
hierarki tertinggi dan memperoleh kekuasaan yang besar (kelas dominan);
sementara yang hanya menguasai beberapa modal saja menempati posisi hierarki
sebagai kelas menengah; dan yang tidak menguasai satu modal pun menempati
posisi hierarki terendah (Karnanta, 2013: 11).
Kendati demikian, kekuatan modal yang dipertarungkan di setiap arena
bergantung pada hukum-hukum yang membentuk struktur arena tersebut.
Kepemilikan modal ekonomi, misalnya, tidak secara otomatis mengimplikasikan
kepemilikan modal kultural atau simbolis, dan sebaliknya. Hal tersebut
digambarkan Bourdieu sebagai berikut.
24
“ada sebuah struktur yang bersilangan yang homolog dengan struktur arena kuasa di mana, seperti yang kita ketahui, para intelektual, yang kaya dengan modal kultural dan (relatif) miskin dalam modal ekonominya, dan para pemilik industri dan pebisnis, yang kaya dengan modal ekonomi namun relatif miskin dalam modal kultural, berada dalam oposisi antara satu sama lain” (Bourdieu, 2012: 246).
Dalam arena produksi kultural, tempat dipertaruhkannya legitimasi maupun
konsekrasi dengan logika hukum ekonomi terbalik, modal yang dinilai paling
signifikan untuk memposisikan agen pada kutub positif (kelas dominan) adalah
modal kultural dan modal simbolis. Secara lebih rinci, dalam Distinction, modal
kultural dimaknai sebagai serangkaian pengetahuan, suatu kode internal atau suatu
akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi
terhadap, atau kompetisi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-
artefak kultural. Lebih lanjut, sebuah karya kultural dapat menjadi bermakna dan
mempunyai kepentingan hanya jika berada di tangan pihak-pihak dengan
kompetensi kulturalnya. Karya kultural akan menjadi kode ketika berada pada
tempat karya tersebut dikodekan (encoded). Kepemilikan terhadap kode, atau
modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atau kalkulasi
yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggota-anggota kelompok
(pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang
tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan)
(Johnson, 2012: xix). Sementara itu, modal simbolis yang terfokus pada derajat
akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan didasari oleh
dialektika antara pengetahuan (connaissance) dan pengakuan (reconnaissance).
25
Dalam berkontestasi, agen memasuki arena kultural tidak dengan tujuan
untuk menderita kekalahan. Agen harus memiliki habitus tertentu yang
menggerakkannya untuk bisa beradaptasi, setidaknya dengan sejumlah
pengetahuan, keahlian, atau talenta minimum agar diapresiasi dengan legitimasi.
Oleh karenanya, modal diinvestasikan agen dengan cara sedemikian rupa yang
paling memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari
keterlibatannya dalam arena, termasuk arena kultural.
1.6.3 Arena sebagai Ruang Dinamis dalam Pengambilan Posisi Agen
Arena menjadi ruang bagi agen yang menempati berbagai macam posisi
yang telah tersedia (ataupun yang menciptakan posisi-posisi baru) untuk ikut serta
dalam kompetisi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang
khas di dalamnya. Sementara itu, struktur arena ditentukan oleh relasi-relasi antara
posisi-posisi yang ditempati agen-agen di arena itu. Oleh karenanya, perubahan
posisi-posisi agen dapat berdampak pada perubahan struktur arena karena arena
bersifat dinamis.
Sebagai ruang terstruktur yang otonom dengan aturan-aturan main serta
relasi-relasi kekuasaannya sendiri, arena satu dengan arena lainnya memiliki
hubungan keterpengaruhan satu sama lain dalam lingkup ruang sosial. Arena
produksi kultural yang menjadi bagian dari ruang sosial memiliki hukum
keberfungsian sendiri yang membedakannya dengan arena lain, seperti arena
ekonomi, arena politik, arena pendidikan, dan arena lain. Akan tetapi, hukum-
hukum yang berlaku dalam arena produksi kultural juga homolog dengan hukum-
26
hukum yang diterapkan dalam arena lain, terutama arena politik dan arena
ekonomi yang membangun arena kekuasaan.
Di dalam arena kultural (termasuk sastra), perebutan posisi terlegitimasi
lebih didasarkan pada materi-materi yang bersifat simbolis, seperti pengakuan,
konsekrasi, dan prestise. Oleh karenanya, arena kultural berada dalam posisi
subordinat atau terdominasi dalam arena kekuasaan yang prinsip legitimasinya
didasarkan pada kepemilikan modal ekonomi atau politik. Arena kultural berada
di dalam arena kekuasaan karena lebih banyak memiliki bentuk-bentuk modal
simbolis (contohnya modal akademis, modal kultural), tapi sekaligus berada di
dalam posisi terdominasi karena relatif rendahnya tingkat modal ekonomi yang
dimilikinya (dibandingkan dengan fraksi-fraksi dominan kelas dominan)
(Johnson, 2012: xxxiii). Meskipun demikian, arena produksi kultural yang disebut
Bourdieu sebagai dunia ekonomi terbalik tetap memiliki otonomi yang relatif kuat
untuk menolak determinasi-determinasi ekonomi dan politik.
Pergulatan antara otonomi sruktur arena kultural dan homologinya dengan
arena kekuasaan dan arena ekonomi memunculkan dualitas prinsip hierarki;
hierarki otonom dan hierarki heteronom. Arena produksi kultural lantas
distrukturkan oleh oposisi dua sub-arena, yakni arena produksi terbatas dan arena
produksi skala besar. Arena produksi terbatas berdasarkan prinsip hierarki otonom
tidak melandaskan produksi seni pada keuntungan material, tetapi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan yang bersifat kultural maupun simbolis yang dapat
berimbas pada perkembangan estetika arena kultural sendiri. Sementara itu, arena
27
produksi skala besar yang sesuai dengan prinsip hierarki heteronom berorientasi
memenuhi selera pasar yang berujung pada tujuan memperoleh laba ekonomi.
Berdasarkan konteks arena sastra Perancis, Bourdieu kembali menguraikan
pergulatan yang terjadi dalam arena produksi kultural melalui adanya klasifikasi
legitimasi untuk menandai posisi yang ditempati sastrawan. Legitimasi tersebut
meliputi, legitimasi spesifik; legitimasi borjuis; dan legitmasi populer. Legitimasi
spesifik: pengakuan yang diberikan oleh sekelompok produsen produsen kepada
produsen lain yang menjadi rival mereka—legitimasi ‘seni untuk seni’, yang
otonom dan cukup diri; legitimasi borjuis: legitimasi yang sesuai dengan selera
borjuis yang diberikan oleh fraksi-fraksi dominan kelas dominan atau institusi-
institusi negara; dan legitimasi populer: penghargaan yang diberikan oleh pilihan-
pilihan konsumen umum atau audien massal (Bourdieu, 2012: 35).
Kondisi-kondisi tersebut menyiratkan bahwa arena produksi kultural
merupakan arena yang selalu berada pada taraf ketegangan. Arena kultural
menjadi arena kekuatan (a field of forces), tapi juga arena pergulatan (a field of
struggle) yang cenderung mengubah ataupun melanggengkan arena kekuatan ini
(Bourdieu, 2012: 5). Arena produksi kultural tidak bergerak statis maupun
mekanis, tetapi bersifat cair penuh dinamika dan persaingan. Dalam arena ini
terdapat perebutan posisi sastrawan hingga seniman terlegitimasi yang tidak fix,
tetapi senantiasa diperlombakan.
28
1.6.3.1 Strategi sebagai Orientasi Spesifik Praktik Agen dalam Arena
Strategi dan lintasan (trajektori) menjadi dua konsep kunci dalam teori arena
Bourdieu (Johnson, 2012: xxxvii). Strategi tidak dapat diceraikan dalam
keseluruhan tindakan agen yang mengikutsertakan habitus dan modal sebagai
taruhan-taruhan untuk berkompetisi dalam arena. Strategi dapat dipahami sebagai
orientasi khusus praktik. Agen memprogram strategi-strategi spesifik guna
mentransfer habitus serta mendistribusikan modal-modal yang telah diakumulasi
sebagai praktik untuk mencapai posisi tertentu dalam arena.
Terkait dengan praktik agen, Bourdieu menyebut ‘strategi’ untuk
mendeskripsikan tiga gagasannya.
“(1) ide tentang perjuangan demi pengakuan sebagai dimensi
fundamental kehidupan sosial. Perjuangan ini merupakan perjuangan atas akumulasi modal. Karenanya, mestilah ada suatu logika spesifik tentang akumulasi modal simbolis, seperti modal yang dibangun berdasarkan pengetahuan dan pengenalan; (2) ide tentang strategi—seperti halnya orientasi praktik—sebagai sesuatu yang tidak sadar atau tidak terkalkulasi maupun terdeterminasi secara mekanis. Ia merupakan produk intuitif ‘pengetahuan’ tentang aturan-aturan permainan; (3) ide tentang adanya sebuah logika praktik—yang rinciannya bergantung pada tempat dan waktu yang spesifik atau mungkin, tentu saja, bergantung pada suatu urutan peristiwa di dalam waktu” (Bourdieu via Mahar, 2009: 22).
Sementara itu, menurut variannya, strategi dibagi menjadi strategi
rekonversi modal dan strategi reproduksi. Strategi rekonversi modal atau
penukaran kembali bertumpu pada mobilitas agen dalam lingkup ruang sosial
berdasarkan pertukaran dan pembentukan modal-modal yang dimilikinya ke
dalam modal-modal spesifik yang berlaku dalam arena tersebut; sedangkan
strategi reproduksi mengacu pada cara-cara agen mengolah, memperluas,
29
mempertahankan, dan mengakumulasi modal-modal yang dimilikinya (Bourdieu,
1984: 131)
Konsep strategi tersebut secara lebih eksplisit dijelaskan melalui
pemahaman (a) strategi investasi ekonomi yang terkait dengan menambah serta
mempertahankan modal ekonomi; (b) strategi investasi simbolis yang
mempertahankan dan meningkatkan pengakuan sosial yang didapat; (c) strategi
investasi biologis, yakni kontrol pengaturan jumlah keturunan untuk menjamin
pewarisan modal dan memudahkan kenaikan posisi; (d) strategi pewarisan, terkait
dengan modal ekonomi yang dipandang sebagai modal yang signifikan dalam
arena kekuasaan; (e) strategi pendidikan, yaitu praktik yang mengarah pada usaha
menghasilkan pelaku sosial yang memiliki keahlian tertentu (Haryatmoko dalam
Karnanta, 2013: 5—6).
Sebagai produk dari habitus, strategi lebih dikonstruksikan oleh disposisi
tidak sadar terhadap praktik. Oleh karenanya, strategi pun bergantung pada posisi
agen dalam arena dan pertarungan-pertarungan perebutan legitimasi yang terjadi
di arena tersebut. Strategi mengarahkan praktik agen berdasarkan habitus dan
modal untuk menemukan solusi paling memungkinkan dalam kondisi arena yang
penuh dengan perjuangan dan pertarungan guna mempertahankan ataupun
mencapai posisi tertentu.
1.6.3.2 Trajektori sebagai Rute Agen Mencapai Posisi Tertentu dalam Arena
Trajektori menggambarkan serangkaian posisi yang silih-berganti ditempati
seorang agen dalam kondisi arena (kultural) yang juga mengalami dinamika.
30
Posisi-posisi yang tidak tetap tersebut hanya bisa didefinisikan dan ditentukan
dalam kaitannya dengan struktur yang membentuk arena. Dalam istilah Bourdieu,
trajektori juga diartikan sebagai lintasan sosial atau biografi yang dikonstruksi.
Secara lebih detail, trajektori didefinisikan sebagai.
Serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang yang
terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami penggantian dan distorsi, atau lebih tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda yang dipertaruhkan di dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi spesifik (dengan jenis yang berbeda-beda). Gerak-gerak ini, yang mendefinisikan penuaan sosial ‘sosial ageing’, terdiri atas dua susunan. Mereka bisa dibatasi kepada salah satu sektor arena dan terletak di sepanjang sumbu konsekrasi yang sama, di mana penuaan ditandai oleh akumulasi positif, nol atau negatif modal spesifik; atau mereka malah menyebabkan perubahan sektor dan rekonversi (pengalihan bentuk) modal spesifik tertentu menjadi jenis modal lain (contohnya kasus puisi-puisi Simbolis yang masuk ke dalam novel psikologis) atau rekonversi modal lain ke dalam modal ekonomi (dalam kasus pergeseran dari puisi menuju ‘novel beradab’ atau teater, atau yang jauh lebih jelas dalam kasus kabaret atau cerita bersambung) (Bourdieu, 2012: 58).
Dalam arena produksi kultural, trajektori mendeskripsikan perpindahan
posisi agen dalam arena yang juga bisa mengalami perubahan struktur. Struktur
arena kultural secara tidak langsung dapat dideskripsikan pula oleh trajektori agen
dalam mendistribusikan sekaligus mempertaruhkan modal simbolis yang
dimilikinya untuk menempati posisi terlegitimasi. Oleh karenanya, trajektori dapat
dipandang sebagai sesuatu yang dihasilkan dari perjuangan modal simbolik di
dalam arena-arena dalam keterkaitannya dengan jaringan relasi-relasi ekonomi,
budaya, dan sosial (Mahar, 2009: 26).
Lebih lanjut, trajektori agen dalam arena produksi kultural dapat
menjelaskan dua kecenderungan. Trajektori agen dapat berupa perpindahan agen
31
yang hanya mengacu pada satu arena, yakni arena produksi kultural saja. Dalam
kecenderungan ini, trajektori agen hanya berorientasi pada modal simbolis.
Artinya, modal simbolis yang diakumulasikan dapat bernilai, kurang bernilai, atau
tidak benilai sama sekali. Di lain sisi, trajektori agen justru dapat berupa
pengalihan bentuk modal simbolis ke dalam bentuk modal lain, termasuk
rekonversi modal simbolis menjadi modal ekonomi.
BAGAN TEORI
BUDAYA
Penelitian ini menerapkan konsep-konsep teori Arena Produksi Kultural
tersebut dalam beberapa tahapan. Ketika mengkaji novel Gustav Flaubert berjudul
L Education Sentimentable dalam karyanya yang berjudul The Field of Cultural
Dialektika
Subjektif Objektif
Agensi Struktur
(HABITUS X MODAL) + ARENA PRAKTIK
POSISI STRATEGI
&
TRAJEKTORI
=
32
Production, Bourdieu menyimulasikan tiga tahapan analisis. Pertama, pembacaan
struktur utama teks dengan teori praktik sosial miliknya. Kedua, analisis terhadap
posisi sosial pengarang di dalam ruang sosial. Ketiga, analisis terhadap arena
kekuasaan dan arena sastra. Simulasi yang dilakukan Bourdieu tersebut tidak
bersifat hierarkis, parsial dan kaku, melainkan fleksibel dan komprehensif. Oleh
karena itu, tiap peneliti dapat melakukan penyesuaian terhadap model simulasi itu
sesuai dengan objek kajian (Karnanta, 2013: 6).
Dengan tajuk Strategi dan Posisi Abdurahman Faiz dalam Arena Sastra
Indonesia Pasca-Orde Baru: Analisis Produksi Kultural Pierre Bourdieu, tahapan
pertama analisis pada bab II merupakan pembahasan arena kekuasaan dan arena
sastra sebagai ruang sosial Faiz. Arena kekuasaan menjadi pembahasan yang perlu
dikemukakan karena memiliki homologi dengan arena sastra. Dalam analisis
arena, deskripsi mengenai keutamaan arena kekuasaan merupakan bagian penting
untuk menemukan hubungan dengan setiap arena spesifik lainnya, khususnya
arena sastra (Ritzer, 2009: 525).
Pada tahapan selanjutnya, yakni bab III, konsep trajektori dan modal Faiz
diaplikasikan. Trajektori sebagai lintasan sosial atau biografi yang dikonstruksi
dikemukakan untuk menyoroti posisi-posisi objektif yang silih berganti ditempati
oleh Faiz dalam ruang sosial (Johnson, 2012: xxviii). Dalam analisis mengenai
trajektori ini, habitus Faiz pun menjadi bagian yang dibahas. Selain itu, trajektori
pun diterapkan agen dalam suatu ruang sosial tempat berbagai arena berada.
Arena sendiri merupakan pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal (ekonomi,
budaya, sosial, dan simbolis) digunakan dan disebarkan (Ritzer, 2012: 525).
33
Artinya, trajektori Faiz pun dapat menjelaskan mengenai perolehan ataupun
akumulasi modal Faiz dalam ruang sosial.
Berikutnya, pada bab IV, pembacaan Aku Ini Puisi Cinta sebagai
representasi struktur utama teks dilakukan untuk mendapatkan deskripsi mengenai
relevansi strategi dan pencapaian posisi Faiz. Strategi dan posisi Faiz dalam arena
sastra Indonesia pasca-Orde Baru merupakan salah satu bentuk praktik budaya
yang disoroti oleh Bourdieu dalam teori Arena Produksi Kultural.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode strukturalisme generatif milik Pierre
Bourdieu. Metode tersebut dipergunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
hubungan dialektis antara struktur objektif dan representasi subjektif (Mahar,
2009: 4). Melalui metode strukturalisme generatif itu, persoalan strategi
Abdurahman untuk merealisasikan pencapaian posisi tertentu dalam arena sastra
Indonesia dapat ditelusuri. Oleh karena itu, proses pengumpulan dan analisis data
yang dipandang relevan dapat dijadikan bahan untuk menguraikan persoalan yang
dikemukakan.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Pemahaman mengenai praktik sastra secara menyeluruh sebagai wujud dari
parktik kultural hanya dapat dipahami tanpa memisahkan aspek material karya
dengan ruang sosial yang melingkupi kehidupan penulis. Oleh karenanya, secara
intrinsik, karya-karya sastra Abdurahman Faiz menjadi satuan data dalam
34
penelitian ini guna mengetahui sosiologi kehidupannya. Karya-karya sastra yang
dikumpulkan merupakan karya yang telah dipublikasikan.
Selanjutnya, seleksi data menjadi salah satu tahapan yang ditempuh dalam
metode pengumpulan data. Dari sekian karya yang ditulisnya, Aku Ini Puisi Cinta
dipilih sebagai objek material karena karakteristik karyanya yang paling relevan
dengan permasalahan penelitian yang diajukan. Aku Ini Puisi Cinta dipandang
dapat menggambarkan persoalan kepengarangaan Faiz yang meliputi arena sastra
anak dan arena sastra Indonesia secara keseluruhan. Karya ini merupakan karya
gabungan dari dua karya sebelumnya yang masing-masing menyandang gelar
Adikarya IKAPI dan Khatulistiwa Literary Award (dianulir). Selain itu, buku Aku
Puisi Cinta juga dapat mewakili trajektori, habitus, serta modal Faiz dan
pandangannya terhadap ruang sosial maupun arena sastra Indonesia.
Secara ekstrinsik, data yang berkaitan dengan kehidupan sosiologis Faiz
juga menjadi objek material dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dengan
teknik dokumentasi maupun wawancara. Dokumen-dokumen yang digunakan
untuk mengetahui arena sastra Faiz dapat berupa, buku, jurnal, makalah, esai,
maupun artikel-artikel yang tersebar dalam media massa, cetak dan elektronik.
Sementara itu, teknik wawancara langsung ditempuh guna mendapatkan data yang
lebih komprehensif, terutama mengenai Faiz. Pihak yang diwawancarai, yakni
Helvy Tiana Rosa dan Abdurahman Faiz.
Dalam melakukan wawancara, susunan pertanyaan dipersiapkan terlebih
dahulu. Catatan dokumentasi dan handphone menjadi alat yang digunakan untuk
melakukan wawancara. Hasil wawancara yang telah direkam kemudian
35
ditranskripsi dan dipilah sejumlah data yang dapat mendukung penelitian sesuai
dengan kerangka teoretis.
1.7.2 Metode Analisis Data
Terdapat beberapa tinjauan dalam menganalisis data yang telah
dikumpulkan serta dipilih pada tahapan sebelumnya. Analisis data dibatasi oleh
objek formal yang dibangun atas kerangka teori Arena Produksi Kultural
Bourdieu. Objek formal dalam penelitian ini adalah arena kultural Faiz dengan
karyanya kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta. Oleh karenanya, analisis data
ditempuh dalam beberapa tinjauan.
Tinjauan pertama, menganalisis arena kekuasaan dan juga arena sastra
Indonesia, termasuk kategori sastra anak di dalamnya, guna menemukan struktur
arena tempat praktik pengambilan posisi Faiz berlangsung di dalamnya. Tinjauan
kedua, melakukan penelusuran trajektori yang tidak lepas dari pengaruh habitus
Faiz dan pengakumulasian modal yang dimilikanya. Tahap ini mampu
menggambarkan trajektori agen dalam arena sastra Indonesia sebagai hasil dari
pembentukan habitus serta pengelolaan modal yang telah dimilikinya.
Selanjutnya, tinjauan ketiga, menganalisis kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta.
Pada tahap terakhir ini, karya Faiz dapat dilihat sebagai representasi strategi dan
posisi yang ditempatinya dalam arena sastra Indonesia. Analisis ini mencerminkan
homologi antara praktik pergulatan Faiz dengan karya-karya yang ditulisnya.
Semua tinjauan analisis dilakukan dengan cara menafsirkan dan
mengintegrasikan temuan data dengan menggunakan teori dan penalaran dalam
36
kerangka pemikiran Bourdieu. Penafsiran ditempuh dengan cara memberikan
penjelasan, perbandingan, pengorelasian, pemilahan, atau pengombinasian dengan
konsep-konsep yang ada. Setelah semua data dianalisis dengan tinjauan tersebut,
langkah selanjutnya adalah menyimpulkan temuan-temuan yang diperoleh sesuai
dengan data yang ada. Mekanisme penarikan kesimpulan didasarkan pada data
yang telah diolah atau dianalisis dalam kegiatan penelitian dihubungkan dengan
konsep-konsep Bourdieu.
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini di bagi dalam bab-bab sebagai berikut.
Bab I adalah pengantar, yang berisi uraian tentang (1) latar belakang; (2)
rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) manfaat penelitian; (5) tinjauan
pustaka (6) landasan teori; (7) metode penelitian; dan (8) sistematika penulisan.
Bab II adalah uraian mengenai arena kekuasaan pasca-Orde Baru dan
hubungannya dengan arena sastra Indonesia tempat Abdurahman Faiz berpraktik.
Bab III adalah penjelasan mengenai trajektori Abdurahman Faiz yang
menjelaskan pula habitus serta akumulasi modal miliknya dalam pertarungan
perebutan posisi dan legitimasi di arena sastra Indonesia pasca-Orde Baru.
Bab IV adalah penjabaran mengenai kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta
yang menjadi representasi strategi maupun posisi Abdurahman Faiz dalam arena
sastra Indonesia pasca-Orde Baru.
Bab V adalah kesimpulan.