1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia, kemerdekaan
Warga Negara Indonesia untuk berserikat atau berorganisasi dan kemerdekaan
untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dijamin oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
NRI 1945). Pembangunan nasional memerlukan upaya untuk terus meningkatkan
keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat serta upaya untuk
memantapkan kesadaran kehidupan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1
Dalam sistem tatanan kemerdekaan berserikat yang ada di Indonesia,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
jaminan yang sangat tegas dalam Pasal 28 E ayat (3) bahwa “setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ketentuan ini
mengandung substansi yang jauh lebih tegas dibandingkan ketentuan Pasal 28
yang berasal dari rumusan asli sebelum Perubahan Kedua pada Tahun 2000 yang
berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.”
1
I Gede Putu Jaya Suartama, 2015, Peran Pemerintah Terhadap Keberadaan Organisasi
Kemasyarakatan, Makalah disampaikan pada Kegiatan Forum Komunikasi dan Konsultasi Ormas
dan LSM Provinsi Bali, Denpasar, h.3-5.
2
Dengan dasar kebebasan berserikat dan berkumpul sesuai UUD NRI 1945
Pasal 28, Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut Ormas) pun tumbuh
subur dan berkembang di era reformasi bergulir dan semua dalam pantauan
pemerintah. Kini kebebasan berserikat sudah kebablasan. Umumnya Ormas yang
cenderung radikal dan keras dilatarbelakangi oleh hal-hal fundamentalis. Misalnya
yang mengatasnamakan agama, mengatasnamakan kedaerahan, kesukuan, hobi,
komunitas dan lainnya sebagai platform organisasi. Mula-mulanya doktrin yang
dijadikan membangkitkan semangat anggotanya adalah isu kedaerahan, kesukuan
dan agama tersebut. Dalam perjalanannya, untuk menjalankan operasional
organisasi, tidak jarang mereka melakukan pungli, rebutan lahan, backing
pengusaha dan backing orang-orang politik. Praktik ini berpotensi menjadi konflik
ketika ada kepentingan yang sama dengan kelompok yang berbeda. Akhirnya
bentrok tidak bisa dihindarkan yang berujung pada korban jiwa dan harta benda.
Bila tumbuhnya organisasi tidak disikapi dengan bijaksana, Ormas yang berlatar
fundamentalis akan cenderung semakin kuat dan membesar, mengkotak-kotakan
masyarakat dan akan memicu kerawanan konflik sosial. Bahkan bila ini dibiarkan
terus dan negara tak acuh, ketika ia semakin kuat, perkelahian antar ormas tidak
bisa dihindarkan dan bisa mengakibatkan terganggunya stabilitas negara.2
Menurut Soerjono Soekanto bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum
ditentukan oleh 5 (lima) faktor yaitu : Faktor hukumnya sendiri (Undang-
Undang), faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan
2Bali Post, 2015, Untuk Kepentingan Politik Pemimpin “Pelihara Ormas”, Sabtu Paing,
19 Desember 2015.
3
hukum, faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan, faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.3
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dibentuk dengan semangat untuk
menyatukan berbagai jenis bentuk berserikat dan berkumpul dengan mengatur
semua jenis Ormas dengan berbagai jenis dan bidang kegiatan dalam satu
pengaturan, namun masih banyak terdapat kelemahan dalam penerapannya.
Definisi Organisasi Kemasyarakatan yang diperluas di dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Pasal 1 angka 1 yaitu, organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela, berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Namun dalam kenyataannya di
masyarakat banyak Ormas yang menyimpang dari tujuan dan asas Ormas seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, bentrokan antar
Ormas sering terjadi, disamping bentuk anarkisme atau kekerasan, terkadang
Ormas juga sering merugikan masyarakat.4
Didalam pemerintahan daerah yang berwenang mengatur kegiatan
Organisasi Kemasyarakatan adalah Badan Kesatuan Bangsa dan Politik baik itu
di Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Sesuai Permendagri
Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Ormas di Lingkungan
3Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h.8.
4Malik Ibrahim, 2015, Makalah Relevansi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
terhadap Payung Hukum Keberadaan Ormas di Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa
dan Politik, Kemendagri, h.12-13.
4
Kementrian Dalam Negeri dan di Pemerintah Daerah, pada Pasal 6 ayat (2)
Organisasi Kemasyarakatan di Provinsi mengajukan permohonan pendaftaran
kepada gubernur melalui SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang
membindangi yaitu Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi.
Pemerintah Provinsi Bali khususnya melalui Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Provinsi Bali yang membidangi masalah Ormas mengatur terkait
keberadaan Ormas tersebut mengingat pemerintah provinsi mempunyai
kewenangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dan
Permendagri No 33 Tahun 2012. Dalam Undang-Undang Ormas Nomor 17 Tahun
2013 Pasal 21 dimana pada huruf c disebutkan Ormas berkewajiban “Memelihara
nilai Agama, Budaya, Moral, Etika, dan Norma Kesusilaan serta memberikan
manfaat untuk masyarakat” dan di huruf d “Menjaga ketertiban umum dan
terciptanya kedamaian dalam masyarakat”. Seperti yang disebutkan dalam Pasal
59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 pada huruf d disebutkan juga
Ormas dilarang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial atau pada
huruf e melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan didalam
pelaksanaan di lapangan kecendrungan beberapa Ormas-Ormas yang ada di
Provinsi Bali tidak sesuai dengan amanat Pasal 21 jo Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tersebut.
Secara sosio-historis, Organisasi kemasyarakatan (Ormas) dapat disebut
sebagai induk atau “ibu” dari segala jenis organisasi untuk membangun
5
(integritas) bangsa. Organisasi bidang politik, ekonomi, pemerintahan, dan juga
pertahanan baru tumbuh setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia tewujud.
Perkembangan Ormas di Indonesia dapat dikatakan telah berlangsung hampir
sepanjang proses sejarah pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bahkan tidak salah jika dikatakan bahwa Ormas sudah lahir dan berkembang
sebelum NKRI berdiri. Tidak salah juga jika dikatakan bahwa NKRI ini berdiri
(17 Agustus 1945) salah satunya adalah berkat perjuangan segenap elemen
Bangsa Indonesia dengan menggunakan “kendaraan” Ormas. Dapat dikatakan
bahwa jika Ormas lemah maka akan lemah juga kekuatan (modal) sosio budaya
Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya jika pemberdayaan terhadap
Ormas ke depan diarahkan pada penguatan integritas (modal sosio budaya)
Bangsa Indonesia.
Modal sosio budaya Bangsa Indonesia adalah perwujudan tata nilai (yang
diimajinasikan) dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif penguatan
(modal) sosio budaya, inti kemajuan atau kehormatan bangsa adalah sampai
sejauh mana dapat diwujudkan (kembali) nilai sosio budaya luhur atau nilai
kemuliaan dalam tubuh Ormas. Mengapa hal ini juga harus dimulai dari Ormas?
Dapat dikatakan bahwa pada Ormas ini awal tersemai dan terpeliharanya elemen
dasar pembentuk masyarakat besar (Bangsa Indonesia). Ormas adalah bagian dari
nafas kehidupan masyarakat baik yang berbentuk organisasi formal maupun
sekedar mengandalkan legitilasi budaya setempat. Jika dalam penataan kehidupan
Ormas mengalami masalah, maka dampaknya akan terasa dalam seluruh tubuh
masyarakat Bangsa Indonesia. Cita-cita untuk mewujudkan “keadilan sosial bagi
6
seluruh Bangsa Indonesia” tidak akan terwujud tanpa dukungan “partisipasi”
masyarakat melalui Ormas.5
Didalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
yang disempurnakan kedalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Pasal 1
Angka 4 dinyatakan bahwa:
Desa Pekraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
mempunyai satu kesatuan tradisi tatakrama pergaulan hidup masyarakat
Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau
Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa Desa Pekraman merupakan salah satu
bentuk kearifan lokal didalam penataan wilayah di Provinsi Bali. Dalam Desa
Pekraman tersebut ada unsur pengamanan swakarsa disebut pecalang yang
memiliki tugas mengamankan dan menjaga ketertiban di sepanjang wilayah Desa
Pekraman, dan pecalang juga termasuk ormas yang berbasis kearifan lokal yang
ada di Provinsi Bali.
Organisasi massa (Ormas) di Bali dulu disebut sebagai „Organisasi
Modern‟ yang disingkat dengan Ormon. Istilah Ormon dipakai untuk
membedakan dengan organisasi tradisional sekaa-sekaa yang tentu sudah ada
sebelum Tahun 1917. Ormon pertama yang muncul di Bali adalah Setiti Bali
(Hidup Bali) pada Tahun 1917.6 Namun seiring berjalannya waktu, Ormas di Bali
dewasa ini telah mengalami perkembangan dengan maraknya Ormas-ormas
5Tri Pranadji, 2012, Peningkatan Peran Ormas dalam Penguatan Karakter Bangsa
Makalah disampaikan pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Selasa, 27 November 2012, di Hotel Grand
Sahid Jaya, Jakarta, h.2-3.
6I Nyoman Darma Putra, 2016, Dari Ormon ke Ormas, Bali Post, Minggu Wage, 20
Maret 2016, h.4.
7
seperti Laskar Bali, Baladika, Pemuda Bali Bersatu dan masih banyak lagi, yang
akhir-akhir ini meresahkan masyarakat Bali karena sering terjadi bentrokan antar
sesama Ormas yang bahkan sampai menelan korban jiwa sesama “krama” Bali
akibat fanatisme berlebih untuk sebuah organisasi tanpa mempertimbangkan
dampak ikutannya yang sangat luas. Ormas dibentuk sebagai wadah untuk
berserikat dan berkumpul sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Hal ini jelas disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Undang-Undang Ormas). Apa
yang tercantum “jelas” dalam Undang-Undang Ormas ini tidak dihayati oleh
Ormas tersebut. Kalaupun terjadi bentrokan dalih para pimpinan Ormas,
pelakunya merupakan “oknum” bukan kebijakan Ormas tersebut.
Disinilah pentingnya bagi Pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya
membangun sinergi bersama Ormas guna memberdayakan masyarakat dalam
proses pembangunan. Salah satu dampak dari banyaknya peraturan perundang-
undangan serta instansi pelaksana adalah munculnya kompleksitas yang
memperlemah sinergi antar peraturan dan pelaksanaannya sehingga
pemberdayaan Ormas sebagai mitra pemerintah dan sisi lain terdapat berbagai
penyalahgunaan yang dilakukan oleh Ormas yang sangat merugikan kepentingan
nasional.Terdapatnya penyalahgunaan yang dilakukan oleh Ormas selama ini dan
potensi resiko yang lebih besar yang akan muncul di masa mendatang. Maka
saatnya bagi Indonesia untuk terus waspada atas fenomena yang timbul di
masyarakat dan meningkatkan sinergitas antar pemerintah dalam penatakelolaan
Ormas sehingga keberadaan mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi
8
yang positif dalam mendukung program-program pembangunan yang berkeadilan.
Seharusnya pada Ormas ditanamkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai
kebhinekaan, nilai toleransi dan kebersamaan. Jangan ditanamkan nilai-nilai
fanatisme berlebihan, yang terkadang cenderung membentuk sikap dan perilaku
anarkis. Bali yang memiliki kearifan lokal seharusnya lebih menonjolkan, seperti
konsep “Tri Hita Karana”, “Tat Twam Asi”dan “De Ngaden Awak Bisa”juga
sistem kemasyarakatannya seperti banjar, subak, dan sekaha serta adat gotong-
royong seperti “ ngoopin”, “menyama braya” dan “metilesang raga”, serta masih
banyak yang lainnya. Di Bali juga dikenal “pecalang” sebagai garda terdepan
untuk pengamanan di wilayah desa pakraman, yang diatur oleh awig-awig.
Namun dalam perkembangannya, masuknya Ormas semakin meminggirkan peran
“pecalang” tersebut.
Fenomena kekerasan yang marak akibat bentrok antar ormas yang terjadi
akhir-ahir ini, yang melibatkan dua Ormas besar di Bali (Ormas Baladika dan
Laskar Bali) yang terus berulang, menimbulkan rasa kurang aman pada
masyarakat. Ungkapan yang muncul di masyarakat “merebat ngajak nyama Bali”
(bertengkar dengan saudara) memang benar terjadi, mengingat semakin seringnya
pertikaian antar individu maupun antar kelompok, seperti Ormas. Untuk itu,
sangat perlu kembali menggali kearifan lokal. Nilai dan prinsip tersebut sudah
terbukti ampuh dalam memperkokoh jati diri bangsa yang semestinya dipakai
sebagai landasan, bukan justru ditinggalkan atau hanya sebagai semboyan saja.7
7
I Kadek Mustika, 2016, Kearifan Lokal Jati diri Bangsa, Balipost, Selasa Pon, 12 Juli
2016, h.6.
9
Hal itu menyatakan adanya kesenjangan antara teori atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan realita pelaksanaannya
dilapangan. Berdasarkan hal tersebutlah maka penulis tertarik untuk mengkaji
Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 Terkait Dengan Kearifan Lokal di Provinsi Bali.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka rumusan
masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan Ormas di Provinsi Bali terkait dengan kearifan
lokal masyarakat dalam menjaga ketertiban umum dan terciptanya
kedamaian dalam masyarakat?
2. Bagaimana upaya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Bali dalam
melaksanakan pengelolaan Ormas di Provinsi Bali untuk menghormati
kearifan lokal masyarakat, berdasarkan Undang-Undang Nomor17 Tahun
2013?
3. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai dalam menata Ormas di Provinsi
Bali dalam menghormati kearifan lokal di Provinsi Bali?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Pembatasan terhadap masalah adalah hal yang sangat penting karena tidak
mustahil akan terjadi kekeliruan dalam pengertian bilamana tidak ada pembatasan
ruang lingkup yang sifatnya jelas dan tegas. Pembahasan masalah tanpa ruang
lingkup yang jelas dapat mengaburkan pandangan mengenai permasalahan dan
ketidakfokusan terhadap permasalahan tersebut, sehingga tujuan untuk memahami
10
permasalahan berikut usaha pemecahannya tidak akan tercapai. Sebaliknya
apabila pembahasan masalah terlalu sempit, pembahasan tersebut tidak akan
memberikan arti yang bermanfaat secara maksimal terhadap pemahaman masalah.
Pembahasan terkait dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dibatasi
hanya mengenai Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 Terkait Dengan Kearifan Lokal di Provinsi Bali.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.4.1. Tujuan Umum
Dalam dunia keilmuan dikenal adanya paradigma ilmu sebagai proses. Hal
ini tentunya menjadi landasan bahwa pengkajian terhadap berbagai produk hukum
khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan harus dilakukan, mengingat pentingnya pengaturan organisasi
kemasyarakatan yang berbasis kearifan lokal di Provinsi Bali. Oleh karena itu,
maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
terutama terkait upaya pengelolaan organisasi kemasyarakatan di Provinsi Bali. Di
samping itu penulisan hukum yang representatif dan akurat merupakan faktor
strategis bagi berperannya hukum dalam masyarakat yang mendambakan
ketertiban, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.8
8Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.166.
11
1.4.2. Tujuan Khusus
Mendalami permasalahan hukum secara khusus yang bersifat tersirat
dalam rumusan permasalahan penelitian. Penelitian ini diharapkan mencapai
tujuan yang lebih khusus sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan Ormas di
Provinsi Bali terkait dengan kearifan lokal masyarakat dalam menjaga
ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana upaya Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Bali dalam melaksanakan
pengelolaan Ormas di Provinsi Bali untuk menghormati kearifan lokal
masyarakat, berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 2013.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Hambatan-hambatan apa yang
dijumpai dalam menata Ormas di Provinsi Bali dalam menghormati
kearifan lokal di Provinsi Bali.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumya dan mempunyai kegunaan praktis pada
khususnya. Disamping itu juga, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
baik secara teoritis maupun praktis yaitu :
1.5.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan
yang bermanfaat bagi keterlibatan dan usaha Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
yang berbasis kearifan lokal dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan
12
masyarakat. Selain itu dapat memberikan informasi dan masukan yang
memperjelas konsep dan teori dalam hubungan antar hubungan organisasi-
organisasi masyarakat yang ada.
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan
manfaat dan kontribusi antara lain:
1) Bagi pemerintah, diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai
perumus dan pelaksana kebijakan agar melakukan penegakan
hukum yang tegas terhadap pelanggaran kebijakan tersebut.
2) Bagi Kalangan akademisi, diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan tambahan pengetahuan dan memberikan konstruksi
berpikir yang metodis atas permasalahan normatif yang
ditimbulkan akibat adanya Undang-Undang Ormas.
3) Bagi masyarakat, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan
pemahaman terhadap kesadaran dalam mentaati aturan hukum
tentang Ormas yang berbasis kearifan lokal serta kepedulian
terhadap keberadaan Ormas-ormas di Provinsi Bali.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul “Pengaturan
Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
Terkait Dengan Kearifan Lokal di Provinsi Bali” belum pernah dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Udayana dan Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas lain. Akan
13
tetapi permasalahan yang berkaitan dengan Organisasi Kemasyarakatan telah
pernah diteliti oleh beberapa orang, yakni :
1. Tahun 2010, Theresia Rifeni Widiartati, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, dengan judul “Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan
Berdasarkan Asas Pancasila ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia”
adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian tersebut adalah Apakah
Organisasi-organisasi Kemasyarakatan di Indonesia sebagai proses
pendemokratisasian yang berasaskan Pancasila sebagai asas tunggal tersebut
melanggar Hak Asasi Manusia dan Bagaimana Konstitusionalitas keberadaan
Organisasi Kemasyarakatan yang tidak berasaskan asas tunggal Pancasila
terhadap Undang-Undang Ormas.
Hasil penelitian tesis tersebut menyimpulkan berdasarkan Pasal 28 UUD
1945 yaitu “ditetapkan dengan Undang-Undang” tersebut itu menjadi dasar
yang absah bagi keberadaan kewajiban dan tanggungjawab untuk membatasi
hak dan kebebasan sesuai dengan semangat demokrasi dan pinsip negara
hukum. Keberadaan organisasi kemasyarakatan yang tidak berasaskan tunggal
Pancasila itu bertentangan dengan Pancasila tetapi tidak bila melihat dari
indikator rumusan sila-sila Pancasila. Substansi Undang-Undang Ormas itu
sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi sehingga perlu segera direvisi.
2. Tahun 2012, Tesis karya Frans Sinatra, Program Pasca Sarjana Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dengan judul “Implementasi Kebijakan
Pemerintah Tentang Organisasi Kemasyarakatan di Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik Kota Adminitrasi Jakarta Utara” adapun yang menjadi pokok
14
permasalahan dalam penelitian tersebut adalah Bagaimana Implementasi
kebijakan Pemerintah tentang Organisasi Kemasyarakatan pada Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Administrasi Jakarta Utara, Faktor
Pendukung dan Penghambat apa yang dihadapi oleh Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik Kota Administrasi Jakarta Utara dalam mengimplementasikan
Kebijakan tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Upaya-upaya apa yang
dilakukan oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Administrasi Jakarta
Utara dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam mengimplementasikan
kebijakan tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan Dalam implementasi
kebijakan struktur organisasi mempunyai peranan yang penting. Salah satu dari
aspek struktur organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar
(Standard Operating Procedures atau SOP). Fungsi dari SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak. Struktur organisasi yang
terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan
red-type, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
3. Tahun 2012, Apritisia Dwi Motik, Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Brawijaya, dengan judul “Pertanggungjawaban pidana Organisasi
Masyarakat (Ormas) yang melakukan tindakan kekerasan. Adapun yang
menjadi pokok permasalahanya adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana
organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan? dan bagaimana jenis sanksi
pidana yang sesuai bagi organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan?
15
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan Dalam hal pertanggungjawaban
pidana terhadap Organisasi Masyarakat (Ormas) yang melakukan tindak
kekerasan, saat ini tidak terdapat dalam satupun Pasal dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh Organisasi. Berdasarkan
berbagai pengaturan subjek hukum tindak pidana dan yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) adalah anggota Organisasi Masyarakat atau
individu/perorangan yang melakukan tindak pidana kekerasan yang dapat
dimintai pertanggungjawaban. Berkaitan dengan sanksi pidana bagi Organisasi
Masyarakat (ORMAS) yang melakukan tindakan kekerasan saat ini memang
tidak terdapat dalam satupun Pasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Masyarakat maupun Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1986 yang mengatur tentang sanksi pidana bagi organisasinya, tetapi bagi
individu/perorangan yang melakukan tindakan kekerasan yang dapat dijatuhi
sanksi pidana sesuai pelanggaran yang dilakukan dan dijerat dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dari ketiga paparan tesis diatas, secara ringkas dapat dikemukakan
perbedaannya dalam tabel dibawah.
16
Tabel 1. Tesis Tentang Ormas
Nama/Tahun/
Universitas
Judul Penelitian Rumusan Masalah
Theresia Rifenei
Widiartati/2010/
Universitas
Indonesia
Keberadaan
Organisasi
Kemasyarakatan
Berdasakan Asas
Pancasila ditinjau
dari Perspektif
Hak Asasi Manusia
1. Apakah Organisasi-organisasi
kemasyarakatan di Indonesia sebagai
proses pendemokratisasian yang
berasaskan Pancasila sebagai asas
tunggal tersebut melanggar Hak
Asasi Manusia?
2. Bagaimana Konstitusionalitas
keberadaan Organisasi
Kemasyarakatan yang tidak
berasaskan asas tunggal Pancasila
terhadap Undang-Undang Ormas?
Frans
Sinatra/2012/IP
DN
Implementasi
Kebijakan
Pemerintah
Tentang Organisasi
Kemasyarakatan di
Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik
Kota Adminitrasi
Jakarta Utara
1. Bagaimana Implementasi kebijakan
Pemerintah tentang Organisasi
Kemasyarakatan pada Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik Kota
Administrasi Jakarta Utara?
2. Faktor Pendukung dan Penghambat
apa yang dihadapi oleh Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik Kota
Administrasi Jakarta Utara dalam
mengimplementasikan Kebijakan
tentang Organisasi Kemasyarakatan?
3. Upaya-upaya apa yang dilakukan
oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan
Politik Kota Administrasi Jakarta
Utara dalam mengatasi hambatan-
hambatan dalam mengimplementasi-
kan kebijakan tentang Organisasi
Kemasyarakatan?
Apritisia Dwi
Motik/2012/Uni
versitas
Brawijaya
Malang
Pertanggung-
jawaban pidana
Organisasi
Masyarakat
(Ormas) yang
melakukan
tindakan kekerasan
1. Bagaimana pertang-gungjawaban
pidana organisasi masyarakat yang
melakukan kekerasan ?
2. Bagaimana jenis sanksi pidana yang
sesuai bagi organisasi masyarakat
yang melakukan kekerasan ?
17
Walaupun ke-3 penelitian tersebut diatas merupakan ranah penelitian
dalam bidang Organisasi Kemasyarakatan, namun kajiannya tidak sama dengan
penelitian dalam tulisan ini yang berjudul “Pengaturan Organisasi
Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Terkait
Dengan Kearifan Lokal Di Provinsi Bali”, karena dalam penelitian ini, baik
mengenai latar belakang, rumusan masalah yang dikaji, maupun pembahasannya
tidak sama dengan ke- 3 penelitian tersebut diatas. Hal ini membuktikan bahwa
tulisan dalam penelitian tesis ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan diatas.
1.7. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya mengidentifikasi teori hukum umum/teori
khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma
dan lain-lainnya yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian. Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-
pemikiran teoritis, oleh karena hubungan timbal balik yang erat antara teori
dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa serta konstruksi data.
Dengan mengedepankan teori-teori dalam suatu penelitian dapat dijelaskan
fenomena yang dihadapi. Oleh karena itu dalam suatu penelitian semakin banyak
teori-teori, konsep-konsep, dan asas-asas yang berhasil diidentifikasi dan
dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang dikerjakan maka semakin
tinggi kebenaran yang bisa dicapai.9 Dalam melakukan penelitian ini akan
dipergunakan beberapa teori, konsep dan asas hukum sebagai berikut :
9Ibid, h.39.
18
1.7.1. Teori Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pernyataan ini
secara eksplisit memberi isyarat bahwa hukum di dalam negara Indonesia
berkedudukan sangat mendasar dan tertinggi (supreme).10
Oleh sebab itu sudah
tentu setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat
Indonesia haruslah berlandaskan atas koridor hukum.11 Berdasarkan pandangan
dari Friedrich J. Stahl, menyatakan bahwa mengenai negara hukum ditandai oleh
empat unsur pokok yaitu:12
a. Adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia.
b. Adanya pembagian kekuasaan.
c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wetmatig
van bestuur); dan
d. Adanya peradilan administrasi negara (PTUN) yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad).
Di samping itu Ismail Suny dalam tulisannya “Mekanisme Demokrasi
Pancasila” memiliki pandangan bahwa suatu negara dapat dikatakan sebagai
negara hukum harus memenuhi unsur-unsur tertentu yang meliputi:13
a. Menjunjung tinggi hukum. b. Adanya pembagian kekuasaan. c. Adanya perlindungan terhadap HAM serta remedy-remedy procedural
untuk mempertahankannya.
d. Dimungkinkan adanya peradilan administrasi.
10
Imam Syaukani, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.83. 11
Ahmad Kamil, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, h.19. 12
Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.77. 13
C.S.T. Kansil, et. Al, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, h.87.
19
Suatu negara hukum haruslah memenuhi setidak-tidaknya ciri atau unsur
sebagai berikut:14
a. Constitutionalism, bahwa konstitusionalisme diterima sebagai bentuk
kesepakatan, baik kesepakatan bersama terhadap tujuan dan cita-cita,
kesepakatan bahwa rule of law merupakan landasan penyelenggaraan
negara, maupun kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur
ketatanegaraan.
b. Law Governs the Government, bahwa pembentuk undang-undang terikat
oleh pembatasan-pembatasan yang ditentukan dalam konstitusi.
c. An Independent Judiciary, bahwa kekuasaan peradilan haruslah
merdeka, serta menjamin tegaknya rule of law melalui pemisahan
kekuasaan dan check and balances.
d. Law Must be Fairly and Consistently Applied, bahwa hukum harus
diterapkan secara adil dan konsisten tanpa adanya diskriminasi.
e. Law is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum harus bersifat
transparan dan dapat diakses oleh semua orang saat yang tepat dan
dihormati oleh pihak-pihak lain yang memiliki akses serupa terhadap
keberadaan hukum yang berlaku.
f. Application of Law is Efficient and Timely, bahwa hukum haruslah
diterapkan secara efisien dan tepat waktu.
g. Property and Economic Rights are Protected, including Contracts,
bahwa harus adanya perlindungan terhadap pembangunan di bidang
14
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint):
Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, h.30.
20
ekonomi, adanya perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual,
terhadap kebebasan berkontrak.
h. Human and Intellectual Rights are Protected, bahwa konsepsi tentang
keberadaan hak-hak individu dan pemerintahan harus menghormati
hak-hak yang dimaksud.
i. Law can be Changed by An Established Process which itseft is
Transparent and Accessible to All, bahwa hukum dapat diubah, namun
demikian prosedur perubahan tersebut haruslah bersifat transparan dan
dapat diakses oleh semua orang.
Dari uraian di atas dapat disimak bahwa adanya unsur asas legalitas dalam
unsur rechtsstaat mengamanatkan agar setiap tindakan pemerintah harus berdasar
atas hukum. Dengan kata lain, dalam unsur negara hukum Pancasila, asas legalitas
menjadi hal yang penting. Pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya
pertama-tama harus memiliki legalitas sehingga perbuatan atau tindakan
pemerintah tidak melanggar hak asasi manusia dan tidak menyebabkan seseorang
atau sekelompok orang tidak mendapat perlindungan hukum.
1.7.2. Konsep Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
hal penegakan hukum, dimana kepastian hukum yang dimaksud adalah
perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
21
tertentu.15
Kepastian hukum itu sendiri tidak hanya mempersoalkan hubungan
hukum antara warga negara dan negara, karena sebagai sebuah nilai, esensi dari
kepastian hukum adalah masalah perlindungan terhadap warga negara dari
tindakan kesewenang-wenangan.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto
sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi
tertentu mensyaratkan sebagai berikut:16
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan
mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan
karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang
sebenarnya (realistic legal certainty), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan
antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.
15
E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum
Kodrat Dan Antinomi Nilai, Buku Kompas, Jakarta, h.92. 16
Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika
Aditama, Bandung, h.85.
22
1.7.3. Teori Efektivitas Hukum
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto17
adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
dari aturan hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto18
ukuran efektivitas pada elemen pertama
adalah:
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sistematis.
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan
persyaratan yuridis yang ada.
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum
tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya
aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan
17 Soerjono Soekanto I, loc.cit.
18
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum , Bina Cipta, Bandung (Selanjutnya
disebut Soerjono Soekanto II), h.80.
23
baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan profesional
dan mempunyai mental yang baik.
Menurut Soerjono Soekanto19
bahwa masalah yang berpengaruh terhadap
efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal
berikut :
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat.
4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas
pada wewenangnya.
Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan
prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan
prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai
alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan prasarana
yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto20
memprediksi
patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana prasarana
tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi
untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun
elemen-elemen tersebut adalah :
1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan
angka waktu pengadaannya.
3. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.
19
Ibid, h.82.
20
Ibid.
24
6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi
fungsinya.
Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari
kondisi masyarakat, yaitu :21
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun
peraturan yang baik.
2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun
peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas
atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan
kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul.
Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari
komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan
disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal
ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang
efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat
tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh
kondisi internal maupun eksternal.
Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut
relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita22
yaitu bahwa
faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak
pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat
hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering
diabaikan.
21
Ibid, h.83.
22Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum, Mandar Maju, h.55.
25
Menurut Soerjono Soekanto23
efektif adalah taraf sejauh mana suatu
kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat
dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam
membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku
hukum.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum
tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses
pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu
kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan ini pun
erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum.
Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat muncul
adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya
hukum karena ancaman paksaannya kurang berat, mungkin juga karena ancaman
paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat24
.
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja
hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
hukum. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum
tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku
masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif
apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau
23Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja
Karya, Bandung, (Selanjutnya disebut dengan Soerjono Soekanto III), h.80.
24Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum Yarsif Watampone,
Jakarta, (Selanjutnya disebut Achmad Ali I), h.186.
26
dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan
yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan
tersebut telah dicapai.
1.7.4. Konsep Kearifan Lokal
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan dan lokal. Kearifan
berasal dari kata arif yaitu bijaksana dan lokal adalah terjadi di suatu tempat saja
atau tidak merata.25
Kajian mendalam terhadap berbagai kearifan lokal dapat dipahami sebagai
keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat
sebagai hasil dari pengalaman masyarakat pada masa lampau.26
Berdasarkan
keterangan tersebut, definisi kearifan lokal adalah seperangkat sistem nilai, norma
dan tradisi yang dijadikan sebagai acuan bersama oleh suatu kelompok sosial
dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.27
Sistem nilai, norma dan tradisi yang tumbuh dalam masyarakat menjadi
sebuah kearifan lokal merupakan potensi nilai-nilai dan norma yang ada dalam
masyarakat yang dapat digunakan sebagai alat untuk proses penguatan relasi
sosial, baik komunitas maupun antar komunitas. Kearifan lokal dapat dinilai
sebagai nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan nilai keteladanan
yang penting untuk senantiasa dilestarikan, terutama dalam menghadapi
25
Pusat Pengembangan Bahasa, DEPDIKBUD, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, h.530. 26
Ayatohaedi (ed), 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya,
Jakarta, h.46. 27
Afif HM (ed), 2009, Harmonisasi Agama Dan Budaya Di Indonesia 2, Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama, Jakarta, h.218.
27
perubahan di semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, kearifan lokal terkait
dengan nilai adiluhung yang mengakar dalam budaya masyarakat.
Menurut Clifford Geertz, kebudayaan merupakan suatu pola makna-makna
yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan
merupakan suatu sistem yang diwariskan dan terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolis sehingga manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.28
Pendapat Durkheim seperti dikutip oleh Turner, menyatakan bahwa
tindakan sosial atau proses sosial dalam masyarakat mengidentifikasikan
kontribusi yang diperankan oleh aktor-aktor dalam masyarakat, sehingga aktor
tersebut memberikan pemeliharaan dan perubahan struktur sosial yang
bersangkutan. Untuk melihat sebuah tindakan dan proses sosial harus dianalisis
tentang kemungkinan yang ditimbulkan dari proses sosial yang dipolakan melalui
keteraturan dalam institusional tertentu.29
Teori Talcott Parsons dikutip oleh Soerjono Soekanto mengindikasikan
adanya hubungan timbal balik antara empat sistem aksi yang terdiri dari
kebudayaan, struktur sosial, kepribadian dan organisasi. Parsons menyebut
keseluruhan empat sistem aksi sebagai sebuah organisme. Organisme merupakan
sub sistem yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dan pengambilan
keputusan. Parsons memandang terjadinya integrasi antara sistem aksi dan
kebudayaan sehingga dalam sistem sosial, sistem kepribadian berpengaruh kuat
28
Clifford Geertz, 1992, Kebudayaan dan Agama, terj Fransisco Budi Hardiman,
Kanisius, Yogyakarta, h.3. 29
Bryan S. Turner, 2009, Teori Sosial dari Klasik sampai Postmodern, Terj E. Setyawati
dan Roh Shufiyati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.158.
28
dan menjadi prasyarat penting terbentuknya sistem sosial. Teori fungsionalis
Talcott Parsons dalam karyanya The Structure of Social Action yang dipaparkan
oleh Soekanto menekankan sebuah elemen penting dalam sebuah koordinasi
mekanisme dari seorang aktor dalam masyarakat. Arah teoritis dari analisa
Parsons adalah solusi untuk masalah-masalah keteraturaan tatanan sosial harus
dicari dalam eksistensi dan fungsi elemen-elemen normatif manusia.30
Pertama dengan adanya sosialisasi, sosialisasi berfungsi memadukan aktor
dalam masyarakat dengan pola-pola kultural dan diterpadukan dalam sebuah
sistem personalitas dan institusionalisasi yang bertujuan untuk memperkuat pola-
pola kultural. Parsons menyebutkan bahwa otonomi aktor dalam masyarakat
merupakan akibat dari proses pertumbuhan sosial yang perlu diselidiki di mana
hubungan-hubungan sosial dan pola-pola kultural memainkan peranan penting.31
Kedua, menyebutkan tentang integrasi institusional sempurna (complete
institutional integration of individual motivation) yang dimaknai sebagai sebuah
keinginan dari aktor-aktor dalam masyarakat untuk tujuan sosial yang diinginkan
dengan menggunakan cara-cara yang secara sosial dianjurkan dan struktur
interaksinya direka sedemikian rupa oleh tindakan aktor-aktor dalam masyarakat
dan akan berdampak positif bagi mitra relasinya.
Dalam konteks membagun toleransi dari kearifan lokal merupakan kajian
yang bermuara kepada pendekatan budaya yang diyakini dapat menjelaskan akar
konflik yang terjadi dalam masyarakat. Keyakinan ini diperkuat bahwa pemikiran
30
Soejono Soekanto dan Ratih Lestarini, 1988, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam
Perkembangan Sosiologi , Sinar Grafika, Jakarta, h.41. 31
Bryan S. Turner, op.cit, h.170.
29
tentang budaya ialah cara pandang sekelompok orang untuk hidup, berpikir,
merasakan, mengatur diri mereka dan membagi kehidupan bersama.32
Kearifan lokal dinilai sebagai media untuk membangun kehidupan
harmonis dalam masyarakat. Implementasi kearifan lokal didasarkan kepada
perkembangan budaya dan kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang
selalu berubah dari waktu ke waktu agar penerapan nilainya mudah diterima oleh
masyarakat. Implikasi nilai kearifan lokal telah menjadi acuan kehidupan
bermasyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi.
1.8. Metode Penelitian
Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data maupun
informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis ilmiah
mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten. Van Peursen menerjemahkan
pengertian metode sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan
atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.33
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam membahas masalah ini adalah
penelitian hukum empiris. Salah satu ciri penelitian ilmu hukum dengan aspek
empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu
kesenjangan antara teori atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dengan realita pelaksanaannya dilapangan.34
Kesenjangan itu terdapat
32
Afif HM (ed), op.cit, h.221. 33
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publishing, Malang, h.26. 34
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum, h.52.
30
pada Pasal 21 jo Pasal 59 Undang-Undang Ormas dengan kenyataan di lapangan
yaitu terjadinya bentrok atau konflik fisik yang terjadi antara beberapa Ormas
dan juga belum adanya penerapan dan pengamalan terkait dengan konsep kearifan
lokal yang terdapat di Provinsi Bali.
1.8.2. Sifat Penelitian
Pada Penelitian deskriptif pada umumnya, termasuk pula didalamnya
penelitian ilmu hukum bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan suatu
gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan
gejala lain di masyarakat.35
Penulis bermaksud untuk mendeskripsikan dan
menggambarkan Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Terkait Dengan Kearifan Lokal di Provinsi Bali.
1.8.3. Data dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam ilmu hukum dengan aspek empiris ada dua jenis
data yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer adalah data yang bersumber
dari penelitian lapangan, yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama dilapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Sedangkan data
sekunder suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang
diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber
dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.36
Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari lapangan dalam hal ini penelitian
dilakukan di Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik Provinsi Bali.
35
Ibid, h.50. 36
Ibid, h.51.
31
Bahan hukum terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan hukum primer meliputi : Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan Organisasi
Kemasyarakatan :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan
Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
e. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990 tentang
Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Bahan atau sumber hukum sekunder meliputi hasil-hasil penelitian,
pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa,
buku-buku hukum (Text Book), dan jurnal-jurnal hukum. Bahan hukum tersier
meliputi kamus hukum dan ensiklopedia. Internet yang memuat tentang hal-hal
yang berhubungan dengan Organisasi Kemasyarakatan khususnya.37
37
Ibid, h.52.
32
1.8.4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan tesis
ini yaitu :
1) Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap
penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian ilmu hukum dengan aspek
normatif maupun dalam penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris,
karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian
ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen
dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan
penelitian.
2) Teknik Wawancara (Interview)
Wawancara adalah merupakan salah satu teknik yang sering dan paling
lazim digunakan dalam penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris.
Dalam hal ini yang menjadi Teknik wawancara dalam penelitian ini
adalah data dan informasi yang peneliti peroleh dari pihak terkait
kebijakan penataan Ormas di Provinsi Bali khususnya pada Badan
Kesbangpol Provinsi Bali sehingga nantinya akan memberikan data yang
valid, disamping itu juga wawancara dilakukan dengan sample 10 Ormas
yang terdaftar di Badan Kesbangpol Provinsi Bali.
1.8.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Dalam proposal penelitian agar diuraikan secara tegas dan jelas teknik
pengambilan sampel yang dipergunakan, apakah akan menggunakan teknik
33
probabilitas/teknik random sampling ataukah akan digunakan teknik non
probabilitas/non random sampling. Populasi adalah keseluruhan dari obyek
pengamatan atau obyek penelitian, sedangkan sampel adalah bagian dari populasi
yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya.38
Teknik penentuan
sampel yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah teknik non probability
sampling yaitu purposive sampling. Dimana penarikan sampel dilakukan
berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si
peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan
bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu
yang merupakan ciri utama dari populasinya.39
Populasi dalam penelitian ini
adalah Organisasi Kemasyarakatan yang sudah terdaftar di Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Provinsi Bali, dan sample dalam penelitian ini adalah 10
(sepuluh) Organisasi Kemasyarakatan yang sudah terdaftar di Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Provinsi Bali berdasarkan kelompok Ormas sebanyak 2
sample mewakili masing-masing kelompok Organisasi Kemasyarakatan.
1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data
Apabila keseluruhan data yang diperoleh dan sudah terkumpul baik
melalui studi kepustakaan ataupun dengan wawancara, kemudian mengolah dan
menganalisis secara kualitatif, yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada
yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif
analisis.40
Maksudnya data yang telah rampung tadi dipaparkan dengan disertai
analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan
38
Ibid, h.55-56.
39
Ibid, h.63. 40
Zainuddin Ali, op.cit, h.104.
34
perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir
dari penulisan tesis ini.