1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia, kemerdekaan Warga Negara Indonesia untuk berserikat atau berorganisasi dan kemerdekaan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dijamin oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Pembangunan nasional memerlukan upaya untuk terus meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat serta upaya untuk memantapkan kesadaran kehidupan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1 Dalam sistem tatanan kemerdekaan berserikat yang ada di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan jaminan yang sangat tegas dalam Pasal 28 E ayat (3) bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ketentuan ini mengandung substansi yang jauh lebih tegas dibandingkan ketentuan Pasal 28 yang berasal dari rumusan asli sebelum Perubahan Kedua pada Tahun 2000 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikira n dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” 1 I Gede Putu Jaya Suartama, 2015, Peran Pemerintah Terhadap Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan, Makalah disampaikan pada Kegiatan Forum Komunikasi dan Konsultasi Ormas dan LSM Provinsi Bali, Denpasar, h.3-5.
34
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · Organisasi Kemasyarakatan adalah Badan Kesatuan Bangsa dan Politik baik itu di Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia, kemerdekaan
Warga Negara Indonesia untuk berserikat atau berorganisasi dan kemerdekaan
untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dijamin oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
NRI 1945). Pembangunan nasional memerlukan upaya untuk terus meningkatkan
keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat serta upaya untuk
memantapkan kesadaran kehidupan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1
Dalam sistem tatanan kemerdekaan berserikat yang ada di Indonesia,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
jaminan yang sangat tegas dalam Pasal 28 E ayat (3) bahwa “setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ketentuan ini
mengandung substansi yang jauh lebih tegas dibandingkan ketentuan Pasal 28
yang berasal dari rumusan asli sebelum Perubahan Kedua pada Tahun 2000 yang
berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.”
1
I Gede Putu Jaya Suartama, 2015, Peran Pemerintah Terhadap Keberadaan Organisasi
Kemasyarakatan, Makalah disampaikan pada Kegiatan Forum Komunikasi dan Konsultasi Ormas
dan LSM Provinsi Bali, Denpasar, h.3-5.
2
Dengan dasar kebebasan berserikat dan berkumpul sesuai UUD NRI 1945
Pasal 28, Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut Ormas) pun tumbuh
subur dan berkembang di era reformasi bergulir dan semua dalam pantauan
pemerintah. Kini kebebasan berserikat sudah kebablasan. Umumnya Ormas yang
cenderung radikal dan keras dilatarbelakangi oleh hal-hal fundamentalis. Misalnya
yang mengatasnamakan agama, mengatasnamakan kedaerahan, kesukuan, hobi,
komunitas dan lainnya sebagai platform organisasi. Mula-mulanya doktrin yang
dijadikan membangkitkan semangat anggotanya adalah isu kedaerahan, kesukuan
dan agama tersebut. Dalam perjalanannya, untuk menjalankan operasional
organisasi, tidak jarang mereka melakukan pungli, rebutan lahan, backing
pengusaha dan backing orang-orang politik. Praktik ini berpotensi menjadi konflik
ketika ada kepentingan yang sama dengan kelompok yang berbeda. Akhirnya
bentrok tidak bisa dihindarkan yang berujung pada korban jiwa dan harta benda.
Bila tumbuhnya organisasi tidak disikapi dengan bijaksana, Ormas yang berlatar
fundamentalis akan cenderung semakin kuat dan membesar, mengkotak-kotakan
masyarakat dan akan memicu kerawanan konflik sosial. Bahkan bila ini dibiarkan
terus dan negara tak acuh, ketika ia semakin kuat, perkelahian antar ormas tidak
bisa dihindarkan dan bisa mengakibatkan terganggunya stabilitas negara.2
Menurut Soerjono Soekanto bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum
ditentukan oleh 5 (lima) faktor yaitu : Faktor hukumnya sendiri (Undang-
Undang), faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan
2Bali Post, 2015, Untuk Kepentingan Politik Pemimpin “Pelihara Ormas”, Sabtu Paing,
19 Desember 2015.
3
hukum, faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan, faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.3
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dibentuk dengan semangat untuk
menyatukan berbagai jenis bentuk berserikat dan berkumpul dengan mengatur
semua jenis Ormas dengan berbagai jenis dan bidang kegiatan dalam satu
pengaturan, namun masih banyak terdapat kelemahan dalam penerapannya.
Definisi Organisasi Kemasyarakatan yang diperluas di dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Pasal 1 angka 1 yaitu, organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela, berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Namun dalam kenyataannya di
masyarakat banyak Ormas yang menyimpang dari tujuan dan asas Ormas seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, bentrokan antar
Ormas sering terjadi, disamping bentuk anarkisme atau kekerasan, terkadang
Ormas juga sering merugikan masyarakat.4
Didalam pemerintahan daerah yang berwenang mengatur kegiatan
Organisasi Kemasyarakatan adalah Badan Kesatuan Bangsa dan Politik baik itu
di Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Sesuai Permendagri
Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Ormas di Lingkungan
3Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h.8.
4Malik Ibrahim, 2015, Makalah Relevansi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
terhadap Payung Hukum Keberadaan Ormas di Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa
dan Politik, Kemendagri, h.12-13.
4
Kementrian Dalam Negeri dan di Pemerintah Daerah, pada Pasal 6 ayat (2)
Organisasi Kemasyarakatan di Provinsi mengajukan permohonan pendaftaran
kepada gubernur melalui SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang
membindangi yaitu Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi.
Pemerintah Provinsi Bali khususnya melalui Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Provinsi Bali yang membidangi masalah Ormas mengatur terkait
keberadaan Ormas tersebut mengingat pemerintah provinsi mempunyai
kewenangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dan
Permendagri No 33 Tahun 2012. Dalam Undang-Undang Ormas Nomor 17 Tahun
2013 Pasal 21 dimana pada huruf c disebutkan Ormas berkewajiban “Memelihara
nilai Agama, Budaya, Moral, Etika, dan Norma Kesusilaan serta memberikan
manfaat untuk masyarakat” dan di huruf d “Menjaga ketertiban umum dan
terciptanya kedamaian dalam masyarakat”. Seperti yang disebutkan dalam Pasal
59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 pada huruf d disebutkan juga
Ormas dilarang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial atau pada
huruf e melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan didalam
pelaksanaan di lapangan kecendrungan beberapa Ormas-Ormas yang ada di
Provinsi Bali tidak sesuai dengan amanat Pasal 21 jo Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tersebut.
Secara sosio-historis, Organisasi kemasyarakatan (Ormas) dapat disebut
sebagai induk atau “ibu” dari segala jenis organisasi untuk membangun
5
(integritas) bangsa. Organisasi bidang politik, ekonomi, pemerintahan, dan juga
pertahanan baru tumbuh setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia tewujud.
Perkembangan Ormas di Indonesia dapat dikatakan telah berlangsung hampir
sepanjang proses sejarah pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bahkan tidak salah jika dikatakan bahwa Ormas sudah lahir dan berkembang
sebelum NKRI berdiri. Tidak salah juga jika dikatakan bahwa NKRI ini berdiri
(17 Agustus 1945) salah satunya adalah berkat perjuangan segenap elemen
Bangsa Indonesia dengan menggunakan “kendaraan” Ormas. Dapat dikatakan
bahwa jika Ormas lemah maka akan lemah juga kekuatan (modal) sosio budaya
Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya jika pemberdayaan terhadap
Ormas ke depan diarahkan pada penguatan integritas (modal sosio budaya)
Bangsa Indonesia.
Modal sosio budaya Bangsa Indonesia adalah perwujudan tata nilai (yang
diimajinasikan) dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif penguatan
(modal) sosio budaya, inti kemajuan atau kehormatan bangsa adalah sampai
sejauh mana dapat diwujudkan (kembali) nilai sosio budaya luhur atau nilai
kemuliaan dalam tubuh Ormas. Mengapa hal ini juga harus dimulai dari Ormas?
Dapat dikatakan bahwa pada Ormas ini awal tersemai dan terpeliharanya elemen
dasar pembentuk masyarakat besar (Bangsa Indonesia). Ormas adalah bagian dari
nafas kehidupan masyarakat baik yang berbentuk organisasi formal maupun
sekedar mengandalkan legitilasi budaya setempat. Jika dalam penataan kehidupan
Ormas mengalami masalah, maka dampaknya akan terasa dalam seluruh tubuh
masyarakat Bangsa Indonesia. Cita-cita untuk mewujudkan “keadilan sosial bagi
6
seluruh Bangsa Indonesia” tidak akan terwujud tanpa dukungan “partisipasi”
masyarakat melalui Ormas.5
Didalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
yang disempurnakan kedalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Pasal 1
Angka 4 dinyatakan bahwa:
Desa Pekraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
mempunyai satu kesatuan tradisi tatakrama pergaulan hidup masyarakat
Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau
Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa Desa Pekraman merupakan salah satu
bentuk kearifan lokal didalam penataan wilayah di Provinsi Bali. Dalam Desa
Pekraman tersebut ada unsur pengamanan swakarsa disebut pecalang yang
memiliki tugas mengamankan dan menjaga ketertiban di sepanjang wilayah Desa
Pekraman, dan pecalang juga termasuk ormas yang berbasis kearifan lokal yang
ada di Provinsi Bali.
Organisasi massa (Ormas) di Bali dulu disebut sebagai „Organisasi
Modern‟ yang disingkat dengan Ormon. Istilah Ormon dipakai untuk
membedakan dengan organisasi tradisional sekaa-sekaa yang tentu sudah ada
sebelum Tahun 1917. Ormon pertama yang muncul di Bali adalah Setiti Bali
(Hidup Bali) pada Tahun 1917.6 Namun seiring berjalannya waktu, Ormas di Bali
dewasa ini telah mengalami perkembangan dengan maraknya Ormas-ormas
5Tri Pranadji, 2012, Peningkatan Peran Ormas dalam Penguatan Karakter Bangsa
Makalah disampaikan pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Selasa, 27 November 2012, di Hotel Grand
Sahid Jaya, Jakarta, h.2-3.
6I Nyoman Darma Putra, 2016, Dari Ormon ke Ormas, Bali Post, Minggu Wage, 20
Maret 2016, h.4.
7
seperti Laskar Bali, Baladika, Pemuda Bali Bersatu dan masih banyak lagi, yang
akhir-akhir ini meresahkan masyarakat Bali karena sering terjadi bentrokan antar
sesama Ormas yang bahkan sampai menelan korban jiwa sesama “krama” Bali
akibat fanatisme berlebih untuk sebuah organisasi tanpa mempertimbangkan
dampak ikutannya yang sangat luas. Ormas dibentuk sebagai wadah untuk
berserikat dan berkumpul sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Hal ini jelas disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Undang-Undang Ormas). Apa
yang tercantum “jelas” dalam Undang-Undang Ormas ini tidak dihayati oleh
Ormas tersebut. Kalaupun terjadi bentrokan dalih para pimpinan Ormas,
pelakunya merupakan “oknum” bukan kebijakan Ormas tersebut.
Disinilah pentingnya bagi Pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya
membangun sinergi bersama Ormas guna memberdayakan masyarakat dalam
proses pembangunan. Salah satu dampak dari banyaknya peraturan perundang-
undangan serta instansi pelaksana adalah munculnya kompleksitas yang
memperlemah sinergi antar peraturan dan pelaksanaannya sehingga
pemberdayaan Ormas sebagai mitra pemerintah dan sisi lain terdapat berbagai
penyalahgunaan yang dilakukan oleh Ormas yang sangat merugikan kepentingan
nasional.Terdapatnya penyalahgunaan yang dilakukan oleh Ormas selama ini dan
potensi resiko yang lebih besar yang akan muncul di masa mendatang. Maka
saatnya bagi Indonesia untuk terus waspada atas fenomena yang timbul di
masyarakat dan meningkatkan sinergitas antar pemerintah dalam penatakelolaan
Ormas sehingga keberadaan mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi
8
yang positif dalam mendukung program-program pembangunan yang berkeadilan.
Seharusnya pada Ormas ditanamkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai
kebhinekaan, nilai toleransi dan kebersamaan. Jangan ditanamkan nilai-nilai
fanatisme berlebihan, yang terkadang cenderung membentuk sikap dan perilaku
anarkis. Bali yang memiliki kearifan lokal seharusnya lebih menonjolkan, seperti
konsep “Tri Hita Karana”, “Tat Twam Asi”dan “De Ngaden Awak Bisa”juga
sistem kemasyarakatannya seperti banjar, subak, dan sekaha serta adat gotong-
royong seperti “ ngoopin”, “menyama braya” dan “metilesang raga”, serta masih
banyak yang lainnya. Di Bali juga dikenal “pecalang” sebagai garda terdepan
untuk pengamanan di wilayah desa pakraman, yang diatur oleh awig-awig.
Namun dalam perkembangannya, masuknya Ormas semakin meminggirkan peran
“pecalang” tersebut.
Fenomena kekerasan yang marak akibat bentrok antar ormas yang terjadi
akhir-ahir ini, yang melibatkan dua Ormas besar di Bali (Ormas Baladika dan
Laskar Bali) yang terus berulang, menimbulkan rasa kurang aman pada
masyarakat. Ungkapan yang muncul di masyarakat “merebat ngajak nyama Bali”
(bertengkar dengan saudara) memang benar terjadi, mengingat semakin seringnya
pertikaian antar individu maupun antar kelompok, seperti Ormas. Untuk itu,
sangat perlu kembali menggali kearifan lokal. Nilai dan prinsip tersebut sudah
terbukti ampuh dalam memperkokoh jati diri bangsa yang semestinya dipakai
sebagai landasan, bukan justru ditinggalkan atau hanya sebagai semboyan saja.7
7
I Kadek Mustika, 2016, Kearifan Lokal Jati diri Bangsa, Balipost, Selasa Pon, 12 Juli
2016, h.6.
9
Hal itu menyatakan adanya kesenjangan antara teori atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan realita pelaksanaannya
dilapangan. Berdasarkan hal tersebutlah maka penulis tertarik untuk mengkaji
Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 Terkait Dengan Kearifan Lokal di Provinsi Bali.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka rumusan
masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan Ormas di Provinsi Bali terkait dengan kearifan
lokal masyarakat dalam menjaga ketertiban umum dan terciptanya
kedamaian dalam masyarakat?
2. Bagaimana upaya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Bali dalam
melaksanakan pengelolaan Ormas di Provinsi Bali untuk menghormati
kearifan lokal masyarakat, berdasarkan Undang-Undang Nomor17 Tahun
2013?
3. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai dalam menata Ormas di Provinsi
Bali dalam menghormati kearifan lokal di Provinsi Bali?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Pembatasan terhadap masalah adalah hal yang sangat penting karena tidak
mustahil akan terjadi kekeliruan dalam pengertian bilamana tidak ada pembatasan
ruang lingkup yang sifatnya jelas dan tegas. Pembahasan masalah tanpa ruang
lingkup yang jelas dapat mengaburkan pandangan mengenai permasalahan dan
ketidakfokusan terhadap permasalahan tersebut, sehingga tujuan untuk memahami
10
permasalahan berikut usaha pemecahannya tidak akan tercapai. Sebaliknya
apabila pembahasan masalah terlalu sempit, pembahasan tersebut tidak akan
memberikan arti yang bermanfaat secara maksimal terhadap pemahaman masalah.
Pembahasan terkait dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dibatasi
hanya mengenai Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 Terkait Dengan Kearifan Lokal di Provinsi Bali.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.4.1. Tujuan Umum
Dalam dunia keilmuan dikenal adanya paradigma ilmu sebagai proses. Hal
ini tentunya menjadi landasan bahwa pengkajian terhadap berbagai produk hukum
khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan harus dilakukan, mengingat pentingnya pengaturan organisasi
kemasyarakatan yang berbasis kearifan lokal di Provinsi Bali. Oleh karena itu,
maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
terutama terkait upaya pengelolaan organisasi kemasyarakatan di Provinsi Bali. Di
samping itu penulisan hukum yang representatif dan akurat merupakan faktor
strategis bagi berperannya hukum dalam masyarakat yang mendambakan
ketertiban, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.8
8Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.166.
11
1.4.2. Tujuan Khusus
Mendalami permasalahan hukum secara khusus yang bersifat tersirat
dalam rumusan permasalahan penelitian. Penelitian ini diharapkan mencapai
tujuan yang lebih khusus sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan Ormas di
Provinsi Bali terkait dengan kearifan lokal masyarakat dalam menjaga
ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana upaya Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Bali dalam melaksanakan
pengelolaan Ormas di Provinsi Bali untuk menghormati kearifan lokal
masyarakat, berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 2013.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Hambatan-hambatan apa yang
dijumpai dalam menata Ormas di Provinsi Bali dalam menghormati
kearifan lokal di Provinsi Bali.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumya dan mempunyai kegunaan praktis pada
khususnya. Disamping itu juga, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
baik secara teoritis maupun praktis yaitu :
1.5.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan
yang bermanfaat bagi keterlibatan dan usaha Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
yang berbasis kearifan lokal dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan
12
masyarakat. Selain itu dapat memberikan informasi dan masukan yang
memperjelas konsep dan teori dalam hubungan antar hubungan organisasi-
organisasi masyarakat yang ada.
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan
manfaat dan kontribusi antara lain:
1) Bagi pemerintah, diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai
perumus dan pelaksana kebijakan agar melakukan penegakan
hukum yang tegas terhadap pelanggaran kebijakan tersebut.
2) Bagi Kalangan akademisi, diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan tambahan pengetahuan dan memberikan konstruksi
berpikir yang metodis atas permasalahan normatif yang
ditimbulkan akibat adanya Undang-Undang Ormas.
3) Bagi masyarakat, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan
pemahaman terhadap kesadaran dalam mentaati aturan hukum
tentang Ormas yang berbasis kearifan lokal serta kepedulian
terhadap keberadaan Ormas-ormas di Provinsi Bali.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul “Pengaturan
Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
Terkait Dengan Kearifan Lokal di Provinsi Bali” belum pernah dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Udayana dan Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas lain. Akan
13
tetapi permasalahan yang berkaitan dengan Organisasi Kemasyarakatan telah
pernah diteliti oleh beberapa orang, yakni :
1. Tahun 2010, Theresia Rifeni Widiartati, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, dengan judul “Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan
Berdasarkan Asas Pancasila ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia”
adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian tersebut adalah Apakah
Organisasi-organisasi Kemasyarakatan di Indonesia sebagai proses
pendemokratisasian yang berasaskan Pancasila sebagai asas tunggal tersebut
melanggar Hak Asasi Manusia dan Bagaimana Konstitusionalitas keberadaan
Organisasi Kemasyarakatan yang tidak berasaskan asas tunggal Pancasila
terhadap Undang-Undang Ormas.
Hasil penelitian tesis tersebut menyimpulkan berdasarkan Pasal 28 UUD
1945 yaitu “ditetapkan dengan Undang-Undang” tersebut itu menjadi dasar
yang absah bagi keberadaan kewajiban dan tanggungjawab untuk membatasi
hak dan kebebasan sesuai dengan semangat demokrasi dan pinsip negara
hukum. Keberadaan organisasi kemasyarakatan yang tidak berasaskan tunggal
Pancasila itu bertentangan dengan Pancasila tetapi tidak bila melihat dari
indikator rumusan sila-sila Pancasila. Substansi Undang-Undang Ormas itu
sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi sehingga perlu segera direvisi.
2. Tahun 2012, Tesis karya Frans Sinatra, Program Pasca Sarjana Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dengan judul “Implementasi Kebijakan
Pemerintah Tentang Organisasi Kemasyarakatan di Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik Kota Adminitrasi Jakarta Utara” adapun yang menjadi pokok
14
permasalahan dalam penelitian tersebut adalah Bagaimana Implementasi
kebijakan Pemerintah tentang Organisasi Kemasyarakatan pada Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Administrasi Jakarta Utara, Faktor
Pendukung dan Penghambat apa yang dihadapi oleh Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik Kota Administrasi Jakarta Utara dalam mengimplementasikan
Kebijakan tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Upaya-upaya apa yang
dilakukan oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Administrasi Jakarta
Utara dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam mengimplementasikan
kebijakan tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan Dalam implementasi
kebijakan struktur organisasi mempunyai peranan yang penting. Salah satu dari
aspek struktur organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar
(Standard Operating Procedures atau SOP). Fungsi dari SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak. Struktur organisasi yang
terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan
red-type, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
3. Tahun 2012, Apritisia Dwi Motik, Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Brawijaya, dengan judul “Pertanggungjawaban pidana Organisasi
Masyarakat (Ormas) yang melakukan tindakan kekerasan. Adapun yang
menjadi pokok permasalahanya adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana
organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan? dan bagaimana jenis sanksi
pidana yang sesuai bagi organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan?
15
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan Dalam hal pertanggungjawaban
pidana terhadap Organisasi Masyarakat (Ormas) yang melakukan tindak
kekerasan, saat ini tidak terdapat dalam satupun Pasal dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh Organisasi. Berdasarkan
berbagai pengaturan subjek hukum tindak pidana dan yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) adalah anggota Organisasi Masyarakat atau
individu/perorangan yang melakukan tindak pidana kekerasan yang dapat
dimintai pertanggungjawaban. Berkaitan dengan sanksi pidana bagi Organisasi
Masyarakat (ORMAS) yang melakukan tindakan kekerasan saat ini memang
tidak terdapat dalam satupun Pasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Masyarakat maupun Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1986 yang mengatur tentang sanksi pidana bagi organisasinya, tetapi bagi
individu/perorangan yang melakukan tindakan kekerasan yang dapat dijatuhi
sanksi pidana sesuai pelanggaran yang dilakukan dan dijerat dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dari ketiga paparan tesis diatas, secara ringkas dapat dikemukakan
perbedaannya dalam tabel dibawah.
16
Tabel 1. Tesis Tentang Ormas
Nama/Tahun/
Universitas
Judul Penelitian Rumusan Masalah
Theresia Rifenei
Widiartati/2010/
Universitas
Indonesia
Keberadaan
Organisasi
Kemasyarakatan
Berdasakan Asas
Pancasila ditinjau
dari Perspektif
Hak Asasi Manusia
1. Apakah Organisasi-organisasi
kemasyarakatan di Indonesia sebagai
proses pendemokratisasian yang
berasaskan Pancasila sebagai asas
tunggal tersebut melanggar Hak
Asasi Manusia?
2. Bagaimana Konstitusionalitas
keberadaan Organisasi
Kemasyarakatan yang tidak
berasaskan asas tunggal Pancasila
terhadap Undang-Undang Ormas?
Frans
Sinatra/2012/IP
DN
Implementasi
Kebijakan
Pemerintah
Tentang Organisasi
Kemasyarakatan di
Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik
Kota Adminitrasi
Jakarta Utara
1. Bagaimana Implementasi kebijakan
Pemerintah tentang Organisasi
Kemasyarakatan pada Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik Kota
Administrasi Jakarta Utara?
2. Faktor Pendukung dan Penghambat
apa yang dihadapi oleh Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik Kota
Administrasi Jakarta Utara dalam
mengimplementasikan Kebijakan
tentang Organisasi Kemasyarakatan?
3. Upaya-upaya apa yang dilakukan
oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan
Politik Kota Administrasi Jakarta
Utara dalam mengatasi hambatan-
hambatan dalam mengimplementasi-
kan kebijakan tentang Organisasi
Kemasyarakatan?
Apritisia Dwi
Motik/2012/Uni
versitas
Brawijaya
Malang
Pertanggung-
jawaban pidana
Organisasi
Masyarakat
(Ormas) yang
melakukan
tindakan kekerasan
1. Bagaimana pertang-gungjawaban
pidana organisasi masyarakat yang
melakukan kekerasan ?
2. Bagaimana jenis sanksi pidana yang
sesuai bagi organisasi masyarakat
yang melakukan kekerasan ?
17
Walaupun ke-3 penelitian tersebut diatas merupakan ranah penelitian
dalam bidang Organisasi Kemasyarakatan, namun kajiannya tidak sama dengan
penelitian dalam tulisan ini yang berjudul “Pengaturan Organisasi
Kemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Terkait
Dengan Kearifan Lokal Di Provinsi Bali”, karena dalam penelitian ini, baik
mengenai latar belakang, rumusan masalah yang dikaji, maupun pembahasannya
tidak sama dengan ke- 3 penelitian tersebut diatas. Hal ini membuktikan bahwa
tulisan dalam penelitian tesis ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan diatas.
1.7. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya mengidentifikasi teori hukum umum/teori