x
Bab 3
Analisis Data
Pada bab ini saya akan menganalisis latar belakang keinginan penundaan memiliki
anak pada wanita bekerja yang mengakibatkan penurunan tingkat kelahiran bayi
(shoushika) di Jepang ditinjau dari teori feminisme yang berkembang di Jepang.
Pada sub bab 3.1 ini saya akan menganalisis terlebih dahulu masalah hubungan
naiknya jenjang pendidikan pada wanita Jepang terhadap peningkatan jumlah wanita
pekerja yang mengakibatkan penundaan memiliki anak sehingga terjadinya penurunan
tingkat kelahiran bayi (shoushika) di Jepang. Kemudian pada sub bab 3.2 saya akan
menganalisis dampak peningkatan karier dan upah/gaji terhadap peningkatan jumlah
wanita pekerja yang mengakibatkan penundaan memiliki anak sehingga terjadinya
penurunan tingkat kelahiran bayi di Jepang ditinjau dari teori feminisme di Jepang.
3.1 Analisis Hubungan Meningkatnya Jenjang Pendidikan pada Wanita Jepang
Terhadap Peningkatan Jumlah Wanita Pekerja yang Menimbulkan Shoushika.
Setelah Perang Dunia pertama, para wanita muda di Jepang ikut terjun dalam
dunia kerja setelah mereka menamatkan sekolah meraka. Pada saat itu wanita dan pria
memiliki kesempatan yang sama dalam mengemban pendidikan setinggi-tingginya. Para
ibu menyekolahkan putrinya sehingga putrinya dapat memiliki kesempatan untuk
memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidupnya. Dengan pendidikan,
ix
orang tua menaruh harapan, anaknya akan memperoleh banyak pilihan hidup. Tingginya
pendidikan yang dimiliki oleh anak perempuan, membuat banyak kemungkinan
perubahan hidup bagi perempuan untuk mempunyai hidup lebih baik dari orang tua
mereka serta akan meningkatkan prestise bagi orang tua anak tersebut.
Menurut Tachibanaki (2010: 68-69) ,beberapa hal yang memotivasi seseorang untuk
mengejar pendidikan:
1. Pendidikan membawa seseorang pada pekerjaan yang bagus dan meningkatkan
kekuasaan.
2. Belajar di sekolah sangat berguna untuk menambah jaringan pertemanan dengan
lainnya.
3. Pendidikan sebagai penyaring pengetahuan, pengetahuan secara ilmiah, dan
karakter.
4. Mengejar pendidikan memungkinkan seseorang untuk bersaing dengan orang
yang melanjutkan kembali sekolahnya atau untuk menunda memasuki dunia
bekerja.
5. Pendidikan memberikan keuntungan dalam menetapkan mencari pasangan
menikah.
Dapat kita lihat pada point nomor 1 dan 2, bahwa kedua point ini menunjukkan
pendidikan membawa suatu keuntungan ekonomi bagi seseorang. Pada nomor 1 yaitu,
pendidikan membawa seseorang pada pekerjaan yang bagus dan meningkatkan
kekuasaan, Hal ini menunjukkan bahwa, dengan kita mengemban pendidikan tinggi
x
akan membawa seseorang mendapatkan pekerjaan yang bagus dan bergengsi. Serta
menambah kekuasaan seseorang baik secara pribadi maupun di mata masyarakat.
Kemudian pada motivasi nomor 2 yaitu, belajar di sekolah sangat berguna untuk
menambah jaringan pertemanan dengan lainnya. Dapat diartikan bahwa, dengan
seseorang bersekolah tentunya dia melakukan interaksi dengan banyak orang, semakin
pandainya seseorang dalam berinteraksi tentunya akan memperluas jaringan perkenalan
dengan orang banyak. Dengan banyaknya kenalan yang ia miliki akan menguntungkan
dia memeperoleh informasi untuk meningkatkan kariernya serta promosi-promosi akan
kemampuan yang ia miliki. Tentunya dengan banyaknya orang yang mengenal
kemampuan ataupun kelebihannya, maka akan mendatangkan keuntungan baik berupa
materi ataupun kebanggaan pribadi bagi orang tersebut.
Mengejar pendidikan sebagai motivasi memberi keuntungan atau kepuasan pribadi
seseorang dapat kita lihat pada point nomor 3, 4, dan 5. Pada nomor 3 dijelaskan bahwa,
pendidikan sebagai penyaring pengetahuan, pengetahuan secara ilmiah dan karakter. Hal
ini menjelaskan bahwa dengan pendidikan membuat seseorang bertambah ilmu
pengetahuannya serta membentuk karakter-karakter baru yang membawa dampak positif
bagi orang tersebut. Nomor 4 menjelaskan bahwa, mengejar pendidikan memungkinkan
seseorang untuk bersaing dengan orang yang melanjutkan kembali sekolahnya atau
untuk menunda memasuki dunia bekerja. Hal ini bermaksud bahwa, seseorang yang
terus melanjuti pendidikannya memiliki kesempatan besar untuk menyaingi atau
mengejar orang-orang yang terlebih dahulu atau memiliki tingkat pendikan yang lebih
tinggi darinya namun menunda dengan alasan tertentu baik karena bekerja ataupun
lainnya. Kemudian orang yang menunda melanjuti pendidikan tersebut kembali
ix
melanjuti pendidikannya dengan bersamaan orang yang terus melanjuti pendidikannya
tanpa menunda. Tentunya hal ini membawa keuntungan bagi orang yang terus melanjuti
pendidikannya tanpa menunda bisa menyamakan kesempatan memasuki dunia bekerja
atau wawasan yang sama dengan pendahulunya. Kemudian pada nomor selanjutnya
yaitu, pendidikan memberikan keuntungan dalam menetapkan mencari pasangan
menikah. Ditegaskan oleh Tachibanaki ( 2010:64 ), hal ini menjelaskan bahwa
pendidikan memungkinkan seseorang mendapatkan pasangan menikah yang berbobot,
karena dengan memiliki pendidikan yang tinggi secara tidak langsung menetapkan
standar atau kriteria untuk menjadi pasangan hidupnya. Dengan memiliki pendidikan
yang tinggi berarti menaruh harapan bahwa dia akan mendapatkan pasangan hidup yang
berpendidikan tinggi juga, hal ini tentunya akan membawa hal positif bagi seseorang
dengan memiliki pasangan berpendidikan tinggi.
Dengan banyaknya motivasi seseorang mengejar pendidikan menurut Tachibanaki
(2010: 68-69) sebelumnya, maka tidak mengejutkan bahwa banyak penduduk Jepang
saat ini melanjuti pendidikan hingga ke jenjang pendidikan yang tertinggi sebagai modal
untuk memiliki masa depan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari grafik diagram di
halaman selanjutnya.
x
3.1 Diagram Jumlah Siswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun
2005
TK, 1,739
SD, 7,197
SMP, 3,626
SMA, 3,605
Sekolah pendidikankhusus, 102
Aneka sekolah, 164
Kuliah pelatihan khusus,1,784
Diploma, 219
Institut teknologi, 59
Universitas, 2,865
Sumber: MEXT (2005)
Dengan melihat diagram di atas, terlihat adanya kecendrungan banyaknya jumlah
murid pada tahun 2005 di atas. Pada tingkat dasar, penduduk di Jepang menjalani
pendidikan wajib dari tingkat sekolah taman kanak-kanak sebanyak 1,739 murid,
sekolah dasar sebanyak 7,197 murid, sekolah menengah pertama sebanyak 3,626 murid,
dan sekolah menengah atas sebanyak 3,605 murid. Hal ini menunjukkan bahwa
tingginya jumlah siswa pada pendidikan tingkat dasar sangat berarti dan wajib bagi
kehidupan anak-anak di Jepang.Tidak hanya menyekolahkan anak-anak pada tingkat
ix
dasar, para orang tua di Jepang pun menyekolahkan anak-anaknya hingga ke tingkat
universitas, diploma, institut teknologi, dan sekolah kejuran khusus lainnya. Dapat
dilihat juga dalam table diagram jumlah siswa pada tahun 2005 di halam sebelumnya,
bahwa banyak siswa setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah keatas
melanjutkan pendidikan ke universitas sebanyak 2,865 siswa.
Pentingnya memiliki jenjang pendidikan yang tinggi, dapat kita lihat pada grafik
berikutnya. Pada grafik selanjutnya kita akan melihat perkembangan jumlah perempuan
yang melanjuti pendidikannya hingga universitas.
3.1 Grafik Wanita Dewasa yang lulus dari Universitas
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
2002 2003 2004 2005
W anita lulusanuniversitas
Sumber : MEXT (2005)
Berdasarkan grafik wanita dewasa yang lulus dari universitas menurut Ministry of
Education, Culture, Sport, Science & Technology (2008), pada tahun 2002 terdapat
sebanyak 11.740 wanita lulusan universitas. Kemudian sebanyak 12.659 wanita pada
x
tahun 2003. Diikuti pada tahun 2004 dan 2005 sebanyak 14.544 wanita dan 15.852
wanita lulusan universitas.
Menurut analisis penulis perkembangan grafik wanita dewasa yang lulus dari
universitas menunjukkan bahwa, jumlah wanita yang lulus dari universitas akan terus
meningkat setiap tahunnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa para orang tua terus
mengupayakan putrinya untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin yang setara
dengan laki-laki sesuai dengan konsep pemikiran feminisme. Ditegaskan oleh Tong
(2008: 66) bahwa, dengan memberikan pendidikan awal yang sama bagi anak-anak
perempuan dan laki-laki, serta mengakhiri prasangka, yang pada gilirannya akan
menuntut redistribusi besar-besaran atas sumber daya dan perubahan kesadaran yang
besar.
Sesuai dengan pernyataan Tachibanaki mengenai motivasi seseorang mengejar
pendidikan pada point nomor 5 yaitu, pendidikan memberikan keuntungan dalam
menetapkan mencari pasangan menikah. Apabila wanita memiliki pendidikan yang
tinggi, maka wanita dapat menentukan kebebasannya dalam menentukan jalan hidupnya,
salah satunya dalam menentukan pasangan hidup sesuai dengan kriterianya. Beberapa
kriteria yang dipilih orang untuk menjadi pasangan hidup pada umumnya dipertegas
oleh Tachibanaki (2010: 64) ialah sebagai berikut; 1.pendidikan, 2. pekerjaan, 3.
penghasilan, 4. latar belakang keluarga, 5. penampilan, 6. kepribadian, dan 7. tinggal
bersama orang tua atau tidak. Dapat dilihat dari ketujuh kriteria seseorang mencari
pasangan hidup, beberapa berdasarkan kriteria ekonomi, latar belakang calon pasangan,
serta personal calon pasangan tersebut. Pada kriteria ekonomi dapat kita lihat pada point
pekerjaan dan penghasilan. Kriteria latar belakang calon pasangan pada point pendidikan,
ix
latar belakang keluarga, dan tinggal bersama orang tua atau tidak. Kemudian kriteria
personal ditunjukkan pada point penampilan dan kepribadian calon pasangan tersebut.
Pada dekade selanjutnya, wanita Jepang memilih pasangannya dengan kondisi yang
berbeda dengan pada masa orang tua mereka. Dewasa ini ada tiga hal yang dijadikan
kriteria yaitu : tingginya tingkat pendidikan, tingginya tingkat pemasukkan, tingginya
kualitas penampilan secara fisik. Atau kriteria ini dikenal dengan istilah “three highs”.
Menurut analisis penulis, dengan tingginya tingkat pendidikan maka wanita
memiliki rasa percaya diri dalam memilih calon pasangannya. Wanita ini telah
menetapkan kriteria ideal menurut mereka, tanpa perlu menuruti atau terpengaruh dari
pihak lain. Hal ini ditegaskan oleh Iwao, (1993: 63), wanita saat ini berbeda dari ibu
mereka, mereka mempunyai kebebasan dalam memilih dan menentukan kualifikasi
calon pasangan hidup mereka, bahkan jika mereka telah berusia 30 tahun. Hal ini
menjelaskan bahwa pendidikan dan pekerjaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan
sebagai salah satu faktor utama yang menentukan seseorang dalam memilih pasangan
hidup. Dengan memiliki pendidikan tinggi serta pekerjaan yang bagus memungkinkan
wanita mendapatkan pasangan hidup yang baik.
Dengan mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dengan tiga kriteria wanita Jepang
dalam memilih calon pasangan hidup mereka saat ini, yaitu : tingkat pendidikan yang
tinggi, tingkat pemasukan keuangan yang tinggi, serta penampilan fisik dengan kualitas
tinggi, tentunya menambah kebanggan pribadi bagi wanita dapat memperoleh calon
pasangan yang sesuai dengan kriteria saat ini.
x
Setelah mengetahui kriteria memilih calon pasangan hidup wanita dewasa Jepang
saat ini, selanjutnya kita akan melihat grafik perkembangan jumlah pasangan yang
menikah.
3.2 Grafik Pekembangan Jumlah Pasangan yang Menikah
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0
20
40
60
80
100
120
22 ・ 30 ・ 40 ・ 50 ・ 60 2 7 ・ 17 21
婚姻率(人口千対)
婚姻件数
婚姻 率
昭和22年
最高の婚姻率
昭和47年
最高の婚姻件数
1 099 984組
昭和・・年 平成・年
平成21年
推計値 5.7
万組
婚
姻
件
数
平成21年推計
714 000 組
昭和22年
12.0
図4 婚姻件数及び婚姻率の年次推移
Sumber : Ministry of Health and Welfare (2009)
Keterangan :
人口千対 = Jumlah penduduk per 1.000 orang
婚姻件数 = Kasus pernikahan
2002‐2007
ix
昭和 = Tahun Showa ( 1926 – 1986 )
平成 = Tahun Heisei ( 1988 – sekarang )
婚姻率 = Tingkat pernikahan
万組 = Jumlah per 10.000 pasangan
Menurut grafik perkembangan jumlah pasangan yang menikah dari Departemen,
Kesehatan, Buruh, dan Kesejahteraan. Pada tahun 2002 (平成 14) sebanyak 757.331
pasangan telah menikah. Kemudian pada tahun 2005 (平成 17) turun menjadi 714.265
pasangan yang menikah. Akan tetapi, pada tahun 2006 (平成 18) jumlah pasangan yang
menikah meningkat menjadi 730.971 pasangan. Dan pada tahun 2007 (平成 19)
menurun kembali menjadi 719.822 jumlah pasangan yang menikah.
Berdasarkan perkembangan grafik jumlah pasangan yang menikah dari Departemen
Kesehatan, Buruh, dan Kesejahteraan. Perkembangan jumlah pasangan yang menikah
antara kurun waktu tahun 2002 hingga tahun 2007 mengalami sekali kenaikan jumlah
pasangan yang menikah pada tahun 2006. Dan juga mengalami banyak penurunan
tingkat jumlah pasangan yang menikah.
Setelah menikah, tentunya kita harus melihat berapa banyak pasangan yang
melahirkan anak, karena salah satu tujuan dari menikah ialah memiliki keturunan.
Surbakti ( 2008:106 ) mengatakan bahwa, salah satu tujuan pernikahan adalah untuk
melanjutkan keturunan. Setiap pasangan pernikahan secara normal pasti mengingkan
x
keturunan sebagai buah pernikahan mereka. Pada grafik selanjutnya, bisa dilihat
perkembangan tingkat kelahiran.
3.3 Grafik Perkembangan Kelahiran Bayi di Jepang
0
1
2
3
4
5
22 ・ 30 ・ 40 ・ 50 ・ 60 2 7 ・ 17 21
出生数
合計特殊出生率
(昭和22~24年)最高の出生数
2 696 638人
第2次ベビーブーム
(昭和46~49年)2 091 983人
平成17年
最低の出生数 1 062 530
最低の合計特殊出生率 1.26
万人
300
200
100
0
昭和・・年 8
出
生
数
合
計
特
殊
出
生
率
第1次ベビーブーム
図1 出生数及び合計特殊出生率の年次推移
1 360 974人
昭和41年
ひのえうま
平成21年推計値
1 069 000 人
平成・年
Sumber : Ministry of Health and Welfare (2009)
Keterangan :
人口千対 = Jumlah penduduk per 1.000 orang
出生数 = Banyaknya kelahiran
昭和 = Tahun Showa ( 1926 – 1986 )
2002‐2007
ix
平成 = Tahun Heisei ( 1988 – sekarang )
会計特殊生率 = Tingkat kelangsungan hidup
Grafik perkembangan kelahiran bayi di atas menunjukkan pada tahun 2002 (平成 14)
sebanyak 1.153.885 bayi telah lahir. Kemudian pada tahun 2003 (平成 15) sebanyak
1.123.610 bayi, 1.110.721 bayi di tahun 2004 (平成 16) , dan 1.062.530 bayi di tahun
2005 (平成 17). Pada tahun 2006 (平成 18) jumlah tingkat kelahiran bayi sedikit
bertambah menjadi 1.092.674 bayi, dan menurun lagi menjadi 1.089.818 bayi di tahun
2007 (平成 19).
Membandingkan dengan grafik sebelumnya yaitu, grafik perkembangan jumlah
pasangan yang menikah dengan grafik jumlah perkembangan bayi yang dilahirkan,
kedua grafik ini menunjukkan berbanding lurus. Pada kedua grafik ini menunjukkan
bahwa pada tahun yang sama, apabila perkembangan jumlah pasangan menurun maka
jumlah kelahiran bayi pun ikut menurun. Bisa dilihat pada kedua buah grafik di atas,
pada tahun 2002 hingga tahun 2005, baik jumlah pasangan yang telah menikah dan
memiliki anak, keduanya menunjukkan jumlah yang menurun. Akan tetapi, pada tahun
2006 jumlah pasangan yang menikah dan kelahiran bayi sedikit meningkat. Dan kedua
grafik tersebut kembali lagi mengalami penurunan di tahun 2007.
Menurut analisis penulis, penurunan tingkat jumlah pasangan yang menikah
dihubungkan dengan kriteria mencari calon pasangan hidup yang ditetapkan oleh wanita
Jepang saat ini ialah disebabkan oleh faktor pendidikan tinggi yang dimiliki oleh wanita
Jepang saat ini. Oleh karena itu banyak dari wanita tersebut yang terus fokus
x
mengembani jenjang pendidikan yang tinggi, dan mulai menikmati keuntungan yang ia
peroleh dengan memiliki pendidikan yang tinggi sehingga bagi wanita-wanita yang
memiliki pendidikan tinggi ini mencari pasangan hidup bukanlah sekedar untuk
memiliki keturunan. Akan tetapi, mencari pasangan hidup adalah suatu kebutuhan hidup
berbagi bersama baik secara pola pikir, keuangan, pengalaman hidup, dan lain
sebagainya.Oleh karena itu, ketika wanita ini telah menemukan pasangan yang cocok
sesuai dengan kriteria saat ini, maka mereka tidak bertujuan langsung memiliki
keturunan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pasangan muda di Jepang yang telah
menikah, namun tidak terlalu mengupayakan memiliki keturunan secepatnya. Inilah
yang mengakibatkan munculnya fenomena shoushika (penurunan tingkat jumlah
kelahiran bayi).
Dengan sekolah, wanita dapat berinteraksi menambah kenalan, bertukar pikiran, serta
menambah wawasan pengetahuan dalam pengembangan dirinya. Cara pola pikir yang
berubah sejalan dengan bertambahnya pengetahuan, membentuk karakter wanita.
Banyak ibu diam-diam bangga dan bahkan sedikit iri pada putri mereka baik dalam
kemampuan ekonomi dan kebebasan (Iwao, 1993: 64). Karena pada masa mereka,
mereka hidup dalam kehidupan patriarki, yaitu kehidupan sosial yang mementingkan
garis keturunan dari bapak, yang tidak bisa memperoleh kebebasan untuk menempuh
pendidikan tinggi. Mereka tidak punya pilihan selain patuh terhadap bapak, suami, serta
keluarga mereka yang membatasi kebebasan mereka.
Saat ini para wanita dapat memiliki dan mengejar pendidikan dan pekerjaan yang
setara dengan laki-laki. Hal ini menunjukkan terdapatnya tujuan dari teori feminisme
ix
yaitu menghilangkan pandangan bahwa garis keturunan laki-laki atau garis keturunan
patriarkat lebih diutamakan dalam memilih dan menentukan masa depan mereka.
Wanita pun memiliki kesempatan yang sama dengan pria dalam menyetarakan
persamaan hak dalam memperoleh kebahagiaan hidupnya. Hal ini sesuai dengan Suharto
(2006:14), yang menyatakan bahwa Feminisme sosialis adalah gerakan untuk
membebaskan perempuan melalui perubahan struktur patriarkat.
Menurut analisis penulis, tingginya pendidikan yang diembani oleh perempuan
Jepang saat ini berarti telah menunjukkan penyetaraan perempuan dalam bidang
akademi, sangatlah penting bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan
berkehidupan yang lebih layak sama halnya dengan laki-laki. Hal ini juga dipertegas
oleh Mill dan Taylor dalam Tong ( 2008: 23 ), bahwa jika masyarakat ingin mencapai
kesetaraan seksual, atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberikan
perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama yang dinikmati oleh
laki-laki. Dengan pemikiran ini banyak orang tua yang menyekolahkan putrinya setinggi
mungkin, sehingga putrinya memperoleh pekerjaan yang baik dan menjadi kebanggan
bagi mereka sebagai orang tua dan di mata masyarakat.
x
3.2 Analisis Dampak Peningkatan Karier & Upah/Gaji Terhadap Peningkatan
Jumlah Wanita Bekerja yang Mempengaruhi Timbulnya Shoushika.
Sebelum memasuki dunia perindustrian, pada mulanya Jepang merupakan negara
agraris. Para penduduk bermata pencaharian dalam bidang pertanian. Sejak berakhirnya
Perang Dunia II dan munculnya industrialisasi di Jepang, sistem negara keluarga
dihapuskan. Asas demokrasi mulai diberlakukan dalam kehidupan berkeluarga dengan
munculnya tenaga kerja wanita dalam berbagai bidang pekerjaan. Mereka dapat bebas
mengikuti pendidikan seperti halnya pria. Kebebasan mengikuti pendidikan diberikan
kepada seluruh warga Jepang dengan tanggung jawab secara pribadi.
Perkembangan industri yang pesat disertai dengan penurunan angka ketergantungan
hidup sebagai petani mengakibatkan sejumlah besar laki-laki muda dewasa
meninggalkan lapangan kerja pertanian dan mencari pekerjaan di sektor non-pertanian.
Akibatnya kebanyakan lahan-lahan pertanian hanya dikerjakan oleh anggota keluarga
berusia lanjut dan kaum wanita.
Pada awal perkembangan era industri di Jepang, wanita dipekerjakan menjadi buruh
di industri tekstil. Pada masa itu industri tekstil yang terkenal yaitu sutera dan kapas.
Industri ini menjadi komoditas utama diprioritaskan untuk diekspor ke luar negeri.
Kemudian para wanita yang memiliki pendidikan agak tinggi, dengan lulusan sekolah
menengah ke atas, juga bekerja di berbagai macam jenis pekerjaan kantoran atau dikenal
dengan istilah ‘white collar’ atau ‘kerah putih’ ( Mackie, 2003:75 ) .
Pada umumnya wanita Jepang pada masa Perang Dunia II memasuki dunia pekerjaan
setelah mereka menamatkan sekolah mereka. Mereka bekerja selama beberapa tahun,
ix
dan seringnya kembali melanjutkan pekerjaannya setelah mengandung anak pertama.
Hampir sembilan puluh persen wanita di Jepang menikah sebelum berusia 35 tahun, dan
hampir semua wanita yang telah menikah juga menjadi ibu yang memiliki anak
(Steinhoff dan Tanaka, 1989: 104) .
Setelah Perang Dunia II, sejak tahun 1960-an kekuatan perekonomian utama Jepang
terletak pada perindustriannya. Isteri yang tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga
sepenuhnya menjadi simbol kesuksesan ekonomi. Para isteri ini berada dalam kelas
menengah dan kelas pekerja. Dapat ditemui bahwa para isteri ini memiliki suami yang
berasal dari kelas menengah, dan karyawan dari sebuah perusahaan besar. Kemudian
para isteri ini mengerahkan seluruh waktunya untuk mengurus rumah dan anak.
Beberapa wanita menambah pendidikan dan keahlian untuk mengatur rumah tangga, dan
mengatur perekonomian rumah tangganya (Steinhoff dan Tanaka, 1989: 104).
Pada saat ini wanita Jepang memiliki pendidikan tinggi, tidak hanya untuk mengatur
rumah tangganya kelak, tapi juga sebagai modal awal mereka untuk memperoleh
pekerjaan sebagus mungkin, baik dari segi jabatan maupun gaji yang diperoleh.
Wanita yang telah menikah, yang beristirahat dari pekerjaanya, kemudian
memutuskan kembali lagi memasuki dunia bekerja, biasanya akan mendapat posisi
pekerjaan yang lebih rendah daripada posisi pekerjaannya sebelum menikah. Selain itu
juga, kebanyakan dari para wanita yang berhenti dari pekerjaanya saat menikah, tidak
akan memperoleh jenis pekerjaan yang sama dengan pekerjaan yang telah dia tinggalkan
sebelumnya, karena dibutuhkannya jenjang karier yang panjang untuk memperoleh
posisi manajer dalam sebuah perusahaan yang besar. Oleh karena itu, banyak
x
manajemen dalam sebuah perusahaan mendiskriminasi para wanita yang meninggalkan
perusahaan demi keluarga dan anak untuk mencari wanita muda berbakat lainnya,
bekerja dalam perusahaannya.
Usui dan Rose ( 2003 : 97 ) mengemukakan bahwa ;
Managers believe that company investment in young women is not worthwhile since they will leave to have children. There has been a systematic pattern of overt corporate discrimination against women based on condition of marriage, family, and age.
Manajemen berkeyakinan bahwa investasi perusahaan pada wanita muda adalah layak ketika mereka meninggalkan perusahaan untuk memiliki anak. Ada pola sistematis diskriminasi terang-terangan terhadap perempuan dalam perusahaan sesuai dengan kondisi pernikahan, keluarga, dan usia.
Pernyataan Usui dan Rose menjelaskan bahwa sistem diskriminasi dalam sebuah
manajemen di perusahaan memang benar ada dan telah tersusun sistematis. Pada
awalnya wanita muda yang memiliki kemampuan yang dapat mendatangkan keuntungan
bagi perusahaan akan dipekerjakan secara baik dan memiliki kesempatan dalam
memperoleh tingkat jabatan tertentu dalam perusahaan. Akan tetapi, ketika wanita ini
memutuskan untuk meninggalkan perusahaan demi pernikahan ataupun keluarga, maka
wanita tersebut akan didiskriminasi dalam manajemen perusahaan. Oleh karena itu, tidak
memungkinkan bagi wanita yang berhenti kemudian berniat kembali memasuki dunia
bekerja untuk bekerja dan memperoleh jabatan yang ditinggalkannya pada perusahaan
sebelumnya.
Baik dalam sektor publik maupun sektor pribadi, perusahaan dengan organisasi yang
besar di Jepang, hanya memperkerjakan pegawai dengan level karyawan kantoran
(staff), dan berharap akan mempensiunkan pegawai ini hingga mereka berumur
ix
pertengahan lima puluh tahun. Pada umumnya karyawan ini adalah lulusan baru dari
sekolah, tanpa memiliki pengalaman bekerja sebelumnya. Jenjang karier manajer
umumnya lulusan akademi ataupun universitas selama empat tahun, namun tidak pernah
mengikuti pelatihan khusus. Para karyawan baru diberikan pelatihan oleh perusahaan
selama tahun pertama dalam pekerjaannya. Kemudian mereka dipindahkan ke berbagai
macam bagian di dalam perusahaan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
mereka, dan juga menerima pelatihan pelayanan secara terus-menerus selama lebih dari
satu tahun (Steinhoff dan Tanaka, 1989:106 ).
Kebanyakan perusahaan lebih memilih mengirimkan karyawannya untuk mengikuti
pelatihan, apabila merupakan sebuah kebutuhan pada bagian dalam perusahaan tersebut,
daripada mempekerjakan seseorang yang telah siap dan mengusai bidangnya, hal ini
mengakibatkan bahwa perusahaan menghapus karyawan untuk posisi manajemen
dengan menyediakan berbagai peluang pengembangan karir internal. Dijelaskan bahwa
semua karyawan mempunyai peluang yang sama dalam memperoleh jabatan, namun hal
spesifik yang dinilai dari perusahaan ialah kemampuan potensi masing-masing individu.
Pada umumnya, segala promosi pekerjaan bersifat internal, dan dinilai oleh para
senior. Setelah sekitar delapan tahun berdedikasi untuk perusahaan tempat ia bekerja,
semua karyawan tetap yang bergabung ke dalam perusahaan pada tahun yang sama.
Memenuhi syarat untuk mendapatkan promosi jabatan. Promosi jabatan yang paling
tinggi diberikan pada orang terdekat atau bahkan melebihi batas formal usia pensiun.
Biasanya situasi diatur sedemikian rupa, sehingga tidak satu orang pun dari peringkat
dan kelompok usia yang sama, tidak memperoleh promosi selama masa kerja mereka.
x
Wanita lajang dan muda yang dipekerjakan atas kemampuannya, akan pensiun ketika
memasuki pernikahan dan menjadi ibu rumah tangga selama beberapa tahun, tanpa
dipromosikan ke jenjang karir lebih tinggi. Karena perusahaan tidak mau
mempromosikan wanita ini, perusahaan selalu menerima perempuan dengan level
pendidikan yang lebih rendah ( sekolah menengah ke atas atau sarjana diploma )
daripada karyawan laki-laki dari perusahaan yang sama.
Steinhoff dan Tanaka ( 1989:108 ), mengatakan bahwa hingga saat ini, wanita secara
umum menerima sistem ini. Dalam keluarga tradisional, wanita dinasihati untuk
mendapatkan tipe dan level pendidikan yang membuat mereka dapat menikahi manajer,
daripada mereka menjadi seorang manajer. Walaupun kompetisi untuk memasuki
universitas terbuka lebar, dan ketika mereka masuk dalam universitas, mereka
mendapati bahwa disiplin ilmu seperti hukum, ekonomi, dan teknik ialah beberapa
bidang yang paling sering diterima oleh perusahaan, dan juga merupakan bidang disiplin
ilmu yang cenderung digeluti oleh laki-laki. Oleh karena itu, alasan ini membuat
perempuan menyamakan kualifikasi dengan pria, dalam hal ini yaitu menyetarakan agar
memperoleh posisi jabatan dalam perusahaan besar.
ix
3.2 Diagram Persentase Mahasiswi dari Universitas Berdasarkan Bidang
Studi Utama yang Diambilnya (2005).
Sumber : MEXT (2005)
Berdasarkan diagram di atas bisa dilihat dari 1.009.217 mahasiswi sebanyak 29.20%
mengambil studi utamanya ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial terdiri atas
ruang lingkup ekonomi, hukum, manajamen, psikologi, sastra dan lainnya. Yang kita
ketahui bahwa bidang ilmu pengetahuan sosial lebih luas lagi pengembangan minat dan
lapangan kerjanya, dan juga banyak perusahaan-perusahan besar yang ingin menerima
karyawan dari lulusan tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh Edwards (2002:50) bahwa lulusan universitas cenderung
lebih mudah memperoleh promosi jabatan manajer hingga ke tingkatan paling tinggi
seperti (kepala bagian, kepala departeman, dan kepala divisi), selain itu juga hampir
selalu dapat diterima dalam perusahaan firma berskala besar (yang kompensasi gajinya
lebih besar daripada perusahaan firma berskala sedang).
x
3.4 Grafik Perubahan Gaji Awal bagi Lulusan Baru dan Tingkat
Perubahan Upah dari Tahun ke Tahun Berdasarkan Industri (Total untuk
Semua Ukuran perusahaan) bagi Lulusan Baru Perguruan Tinggi Dimulai
dari ¥1000
JPY 160.00
JPY 165.00
JPY 170.00
JPY 175.00
JPY 180.00
JPY 185.00
JPY 190.00
JPY 195.00
JPY 200.00
JPY 205.00
JPY 210.00
2004 2005 2006 2007
mencakup industri
pertambangan
konstruksi
manufaktur
listrik, gas, dan penyuplai air dan panas
informasi & komunikasi
transportasi
perdagangan grosir dan eceran
keuangan & asuransi
real estate
tempat makan dan minum sertaakomodasiperawatan medis kesehatan &kesejahteraanpendidikan & dukungan belajar
pelayanan
Sumber : MHLW (2005)
Melihat dari gafik di atas, bahwa saat ini gaji yang diperoleh oleh pekerja wanita
yang bekerja di bidang informasi & komunikasi serta real estate lebih besar daripada gaji
dari pekerjaan bidang lain. Dalam bidang informasi & komunikasi, pada tahun 2004 dan
2005 sebesar ¥ 201.400 dan ¥ 201,800. Kemudian pada tahun 2006 dan 2007 mengalami
kenaikan pesat menjadi ¥ 207.100 dan ¥ 201.100.
ix
Menurut analisis penulis, peningkatan upah kerja dalam bidang informasi dan
teknologi disebabkan majunya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di Jepang saat
ini. Pada umumnya bidang informasi dan komunikasi ialah bidang yang dikerjakan oleh
para laki-laki seperti lulusan disiplin ilmu teknik informatika ataupun teknik komputer.
Akan tetapi, dengan adanya wanita yang berhasil mengikuti disiplin ilmu tehnik
informatika ataupun teknik komputer, maka wanita ini telah menyetarakan kemampuan
dirinya bekerja, sama halnya dengan laki-laki. Hal ini membuka peluang bagi wanita
tersebut untuk memperoleh gaji yang sama tingginya dengan karyawan laki-laki serta
terbukanya bidang-bidang pekerjaan yang baru bagi wanita untuk dikerjakan, meskipun
sudah menjadi umum bagi para laki-laki mengerjakannya.
Usui dan Rose (2003:96), mengemukakan bahwa :
“Gender differences in seniority provide one explanation for the wide gender gap in wages. Over the years, women have gained more seniority on the job and the gender gap in seniority has shrunk considerably. On average, women’s continuous job tenure is five years shorter than that of men. However, it has not reduced the earnings gap beetween men and women in accordance with recent increases in women’s seniority. Education is another explanation for wage disparities for women”.
Perbedaan gender dalam senioritas menyediakan satu penjelasan atas kesenjangan gender luas dalam upah. Selama bertahun-tahun perempuan mendapatkan banyak kesenioritasan dalam pekerjaan dan kesenjangan gender dalam senioritas meningkat secara signifikan. Akan tetapi, hal itu telah mengurangi kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan peningkatan baru-baru ini di senioritas perempuan. Pendidikan merupakan penjelasan untuk perbedaan upah untuk perempuan.
Pernyataan Usui dan Rose diatas menjelaskan bahwa, selama ini masalah jenis
kelamin menjadi penyebab kesenioritasan dalam perolehan upah. Gender menjadi
perbedaan seseorang dalam memperoleh upah. Selama bertahun-tahun perempuan
x
mendapat diskriminasi dalam pekerjaan perolehan upah. Akan tetapi, akhir-akhir ini
telah banyak peningkatan dan perubahan dalam kesenioritasan perempuan sehingga
masalah kesenjangan gender dalam perolehan upah mulai teratasi. Salah satu penyebab
perubahan dalam kesenioritasan perempuan adalah tingginya tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh perempuan. Dengan pendidikan yang tinggi, maka masalah kesenjangan
gender dalam perolehan upah mulai menghilang.
Saat ini pun telah banyak dijumpai perusahaan-perusahaan asing yang telah
beroperasi sukses di Jepang. Kebanyakan dari perusahaan tersebut tertarik untuk
merekrut wanita muda cemerlang dan atraktif, yang memiliki ambisi karier yang tinggi
pula serta kemampuan berbahasa asing yang bagus. Sembilan puluh persen dari
perusahaan ini ialah perusahaan berskala kecil atau sedang. Akan tetapi, perusahaan ini
juga menawarkan tantangan pekerjaan dengan gaji yang bagus serta lebih bersaing dari
gaji para karyawan laki-laki di perusahaan-perusahaan Jepang lainnya. Sehingga
perusahaan ini lebih dikenal dengan “woman-friendly employee” ( perusahaan ramah-
wanita ) (Iwao, 1993:169).
Alasan perusahaan asing juga menawarkan kondisi pekerjaan yang bagus terhadap
wanita adalah karena perusahaan ini mengalami kesulitan untuk merekrut para pekerja
pria dengan talenta yang bagus. Karena pada umumnya, para pekerja pria dengan talenta
yang bagus, terlebih dahulu telah direkrut oleh perusahaan-perusahaan Jepang. Oleh
karena itu, perusahaan-perusahaan asing ini memberikan kesempatan bagi para wanita
cerdas dan cemerlang untuk bersaing memperoleh gaji yang sama bagusnya dengan
pekerja laki-laki. Ditegaskan oleh Usui dan Rose (2003:99), bahwa perusahaan asing
ix
adalah ramah wanita dan mempromosikan perempuan dalam jajaran manajerial pada
tingkat lebih tinggi dari perusahaan Jepang.
Bukan hal yang baru, apabila banyak kita jumpai wanita Jepang saat ini bekerja
sebagai staff manajemen dari perusahaan asing. Para wanita ini kesulitan menemui
pekerjaan yang menarik di perusahaan Jepang, dan juga di perusahaan Jepang tersebut
bukanlah sebagai orang yang menduduki posisi penting. Wanita bekerja ini lebih
mendapat tantangan dan risiko yang lebih banyak di perusahaan asing.
Firma-firma asing ini memperkerjakan pekerja berdasarkan apa yang bisa mereka
kerjakan saat mereka dipekerjakan, bukan pada kemampuan potensial yang mereka
miliki yang dapat dikembangkan selama diadakannya pelatihan kerja intensif, yang
diselenggarakan oleh perusahaannya selama beberapa bulan untuk kebutuhan dan tujuan
pekerjaan.
Karena firma asing ini berbeda praktek prosedur dan manajerial. Wanita yang
pertama kali bekerja di firma-firma asing ini harus mengetahui lingkarang bisnis asing di
Jepang. Apabila perusahaan Jepang mempekerjakan wanita dengan kualitas pekerjaan
dan latar belakang yang bagus, maka pemilik perusahaan asing harus mengumpulkan
semua talenta-talenta karyawan wanita yang ia miliki baik sekarang maupun terdahulu.
Pada waktu yang sama, alur bisnis internasional pun akan terus berkembang, dan
kemungkinan untuk keluar negeri serta kesempatan untuk berinteraksi bekerja sama
dengan orang manca negara terbuka sangat luas bagi kesempatan wanita Jepang.
Walupun begitu, jumlah wanita yang bekerja di manajerial masih sangat rendah, namun
kesempatan untuk berkembang tetap berjalan. Sebagai catatan, promosi pekerjaan dapat
x
diperoleh bukan hanya dengan latar belakang pendidikan, tapi juga lamanya pengabdian
seseorang kepada perusahaan tersebut (Iwao, 1993:170).
Menurut analisis penulis, bagi wanita yang bekerja yang berambisi untuk
mendapatkan gaji yang bagus serta karier yang tinggi maka menunda memiliki anak
adalah pilihan yang mereka harus ambil. Melihat bahwa untuk memperoleh posisi
manajerial dalam sebuah perusahaan Jepang dibutuhkan tidak hanya kecakapan dalam
mengerjakan pekerjaan. Akan tetapi, dibutuhkan juga keloyalitasan pengabdian pada
perusahaan tersebut, dengan panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk memebuktikkan
keloyalitasan dalam perusahaan membuat wanita bekerja ini tidak memiliki waktu untuk
memiliki apalgi merawat anak mereka. Hal ini dipertegas oleh Tachibanaki (2010:4)
yang mengatakan jika wanita ingin mandiri dalam ekonomi dan ingin melanjuti
pekerjaannya karena merasa memiliki dan mengurus anak sangat memberatkan, maka
mereka lebih baik menunda memiliki anak. Hal inilah yang menyebabkan munculnya
fenomena shoushika ( penurunan tingkat kelahiran bayi ).
Menurut analisis penulis, dengan terbukanya kesempatan promosi jenjang
manajerial atau karier lainnya, sehingga wanita bekerja ini memperoleh gaji yang tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jepang saat ini telah menyetarakan hak-hak
perempuan untuk memperoleh kesempatan untuk turut serta dalam sektor-sektor publik.
Pemikiran masyarakat Jepang ini sesuai dengan pemikiran feminisme seperti yang
diungkapkan oleh Tong ( 2008: 18 ) menjelaskan bahwa, tujuan umum dari feminisme
liberal adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan
berkembang. Hanya di dalam masyarakat seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat
mengembangkan diri. Harapan bahwa masyarakat membuka cara pandang mereka
ix
mengenai kebebasan, bahwa kebebasan dapat diperoleh baik laki-laki maupun
perempuan dalam mengembangkan diri.
Sistem hierarki dalam perusahaan di Jepang lama-kelamaan memudar, sehingga
diskriminasi gender dalam pekerjaan dihilangkan sehingga baik laki-laki dan perempuan
bersaing secara sehat untuk memperoleh jenjang karier dan gaji yang bagus. Hal ini
sesuai dengan pemikiran feminisme menurut Suharto ( 2006: 12 ), baik feminisme
liberal dan feminisme radikal kedua feminisme ini menolak sistem hierarkis yang
berstarata berdasarkan garis gender dan kelas.