ANALISIS YURIDIS UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM
MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI TERPIDANA
Skripsi
Oleh
DANTI YUDISTIARA
ebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM
MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI TERPIDANA.
Oleh
DANTI YUDISTIARA
Pertimbangan hukum putusan No. 34/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa memang benar dalam hukum terdapat asas litis finiri oportet,
yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun hal itu berkaitan dengan kepastian
hukum. Sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana terhadap asas tersebut
tidak secara kaku diterapkan tanpa melihat situasi karena dengan adanya
memperbolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi ketika ditemukan
adanya bukti baru (novum) sehingga bertentangan dengan asas keadilan yang
diamanatkan oleh Undang-Undang tentang kekuasaan kehakiman untuk
menegakan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 Ayat (1) UUD RI 1945). Maka
berdasarkan latar belakang di atas penulis melakukan penelitian dan mengkaji
lebih lanjut dan menulis skripsi ini dengan permasalahan: 1) Bagaimanakah upaya
hukum peninjauan kembali dalam mewujudkan kepastian hukum bagi terpidana
agar asas litis finiri oportet akan terpenuhi? Dan 2) Apakah upaya hukum
peninjauan kembali dapat memenuhi nilai keadilan dan kepastian hukum bagi
terpidana?
Pendekatan masalah dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan
responden. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa agar
Peninjauan Kembali yang lebih dari sekali, tidak bertentangan dengan asas litis
finiri oportet, maka dalam rangka penyelesaian perkara, pihak Mahkamah Agung
ke depan dapat melakukan pengaturan lebih lanjut berkaitan dengan mekanisme
pengajuan novum beserta alasan-alasan yang jelas. Putusan MK No. 34/PUUU-
XII/2013 yang menentukan Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari satu
kali hanya diperbolehkan apabila ditemukan novum baru berdasarkan
pemanfaatan iptek dan teknologi. Dengan demikian, pengajuan PK ini tidak akan
mengganggu keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, karena
Danti Yudistiara
kepastian hukum pada prinsipnya sudah mulai tercipta sejak ada putusan inkracht
van gewisjde.
Saran dalam penelitian ini adalah kedepan Mahkamah Agung hendaknya dapat
melakukan pengaturan lebih lanjut berkaitan dengan mekanisme pengajuan
novum beserta alasan-alasan yang jelas. Kemudian sebaiknya peraturan yang
mengatur masalah Peninjauan Kembali harus tegas dan jelas agar tidak
menimbulkan perspektif yang berbeda dikalangan masyarakat tanpa
mengenyampingkan antara keadilan dan kepastian hukum.
Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Kepastian Hukum, Hukum Pidana
ANALISIS YURIDIS UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM
MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI TERPIDANA
Oleh
DANTI YUDISTIARA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Danti Yudistiara. Penulis
dilahirkan di Bandar Lampung, 03 September 1998.
Penulis adalah anak keTiga dari tiga bersaudara, buah
hati dari pasangan Bapak Edy Setyono dan Ibu Yuniarti.
Pendidikan formal yang penulis tempuh dan selesaikan
adalah Sekolah Dasar (SD) Al-Azhar 2 pada tahun 2010, Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 29 Bandar Lampung 2013, Sekolah Menengah Atas
(SMA) Sekolah Darma Bangsa tahun 2016. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2016. Selama menjadi
mahasiswa, penulis aktif di organisasi internal kampus. Di internal kampus,
penulis aktif di Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) Penulis juga telah mengikuti
program pengabdian langsung kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Banjar Ratu, Kecamatan Gunung Labuhan, Kabupaten Waykanan,
selama 40 hari sejak bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2019.
MOTTO
“Allah Guides To His Light Whom He Wills.”
(Q.S: Al-Nur Ayat 35 )
“Banyak dari kegagalan dalam hidup yang terjadi adalah,
orang-orang yang tidak menyadari seberapa dekat mereka
dengan kesuksesan ketika mereka memutuskan untuk
menyerah”
(Thomas A. Edison)
“ Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk hambanya yang
terbaik, jika allah memberikan takdir yang tidak sesuai
harapan, percayalah itu yang paling terbaik bagi allah.“
(Danti Yudistiara)
PERSEMBAHAN
Dengan segala ketulusan hati kupersembahkan karya Skripsi ini kepada:
Papa dan Mama
Ayahanda Edy Setyono dan Ibunda Yuniarti Dwi yang selalu memberikan cinta,
kasih sayang, do’a, dukungan moral, spiritual yang tak pernah berhenti dan
takkan mampu terbalas yang akan terus hadir melengkapi perjalanan hidup ini.
Kakak-kakak yang ku banggakan
Terimakasih atas segala canda dan tawa
serta yang selalu memotivasi, melindungi, memberi bantuan, dan memberikan
doa untuk keberhasilanku.
Sahabat-sahabatku, terima kasih atas kasih sayang tulus yang diberikan, semoga
Allah membalas segala budi yang kalian berikan di dunia maupun di akhirat.
Almamater tercinta Universitas Lampung
Sebagai langkah awal untukku belajar dan berkarya agar lebih baik dan
membanggakan
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah Tuhan
Seluruh Alam karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Upaya Hukum Peninjauan
Kembali Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Bagi Terpidana” sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan skripsi dengan
terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Karomani, M.Si selaku Rektor Universitas Lampung
2. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
5. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing,
memberikan arahan, dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini;
6. Bapak Budi Rizki Husin, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
7. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
8. Bapak Muhammad Farid, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
9. Ibu Selviana Agustin, S.H.,M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis selama ini dalam perkuliahan.
10. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
berdedikasi dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menempuh studi;
11. Para staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terutama Ibu
Aswati, Mas Ijal, Bude Siti dan Mbak Tika terima kasih selalu membantu penulis
dalam berjalannya proses pembuatan skripsi ini;
12. Bapak Ilham Wahyudi, S.H.,M.H., Ibu Fitriani,S.H.,M.H., Bapak Sopian Sitepu,
S.H.,M.H.,M.Kn., selaku narasumber yang telah memberikan pendapatnya dalam
penulisan skripsi ini;
13. Teristimewa kepada kedua orang tuaku khususnya Ibunda tercinta Yuniarti yang
telah mencintai, membesarkan, mendidik, dan memberikan segala dukungan
kepadaku semoga Allah selalu memberikan kebaikan dan kebahagiaan untuk ibu
dan bapak di dunia maupun di akhirat kelak;
14. Kepada kakak-kakak ku tercinta, dr.Danu Yudistira,M.MR,Sp.THT KL.
dr.Darma Yudistira, Sp.An, dr Retno Dwi Kristianti dan dr.Irissandya Dyah
Atisuksma, Sp.OT, Dani Handayani,S.H., dan AKP.Oktafia yang sudah
memberikan banyak semangat canda tawa serta doa dan selalu siaga melindungi
adikmu.
15. Sahabat terbaikku Anindita Veyba Aldarizki, Normalisa Aulia, Hesni Rahayu,
Muhammad Febriyan yang telah menghabiskan waktu bersamaku dalam setiap
petualangan, perdebatan, pertikaian, kebahagian, kesedihan dan segala hal yang
terjadi selama ini, walaupun masih banyak impian yang belum tercapai aku yakin
kita bisa menggapainya bersama
16. Sahabat seperjuanganku di perkuliahan, Anggota Grup “Sahabat Ambyar”;
Yuftia Apriliani, Fani Fasa Franaza, Raudah Rosalia, Irvani Cahya Ningrum, dan
terkhusus seperjuanganku yang selalu ada disegala waktu Syefira Syaifsabila
yang sudah menemaniku semenjak awal perkuliahan sampai akhirnya skripsi ini
dapat diselesaikan, terima kasih atas persahabatan tanpa pengkhianatan yang
indah, kekompakan, canda tawa dan keseruan selama ini. Semoga kita semua
meraih kesuksesan dan masih bisa meluangkan waktu untuk berkumpul bersama.
17. Kepada teman-teman seperjuangan KKN Desa Banjar Ratu, Kabupaten
Waykanan; Devi Suherli, M Yusuf Alba, Rudi, Edi, Melisa, Nadya, Tim KKN
dari kecamatan, terima kasih atas pengalaman pengabdian yang luar biasa selama
40 hari dalam kesedihan maupun kebahagiaan, penulis meminta maaf jika ada
salah dan kekurangan ketika bersama kalian, dan penulis berharap kebahagiaan
dan kesuksesan adalah masa depan kita semua;
18. Terima kasih kepada Willy Satria Gatari yang telah memberikan dukungan,
semangat tenaga serta doa dalam menyelesaikan skripsi ini
19. Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berperan di dalam kehidupan
penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah
wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Bandar Lampung, Januari 2019
Penulis
Danti Yudistiara
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian .................................. 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Upaya Hukum ................................................................. 15
B. Azas Kepastian Hukum........................................................... .......... 26
C. Azas Keadilan ................................................................................... 28
D. Pengertian tindak pidana ................................................................... 30
E. Pengertian Terpidana ........................................................................ 35
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah .......................................................................... 36
B. Sumber dan Jenis Data ...................................................................... 37
C. Penentuan Narasumber...................................................................... 38
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................. 38
E. Analisis Data ..................................................................................... 40
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Mengenai Peninjauan Kembali Sebagai Implementasi
Putusan MK No. 34/PUUU-XII/2013 Agar Asas Litis Finiri Oportet
Akan Terpenuhi .................................................................................. 41
B. Adanya Putusan MK No. 34/PUUU-XII/2013 Dapat Memenuhi Nilai
Keadilan Dan Kepastian Hukum ......................................................... 55
V. PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................. 74
B. Saran ................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Secara prinsip hukum diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada
masyarakat (manusia) terhadap kepentingan yang berbeda dimiliki manusia satu
dengan manusia lain dengan tujuan untuk terwujudnya kesejahteraan. Hukum
mengatur secara komprehensif tindak tanduk aktifitas manusia, baik hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan badan hukum, maupun manusia
dengan alam (ekosistem lingkungan). Melalui hukum diharapkan dapat terjalin
pencapaian cita dari manusia (subyek hukum). Jaminan untuk mendapatkan
keadilanpun sangat jauh dari harapan publik. Ada hal-hal yang dapat
dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk memanfatkan kelemahan KUHAP
dalam hal kepastian terhadap adanya keadilan. Hal ini mengakibatkan munculnya
sikap apatis masyarakat akibat dari sulitnya untuk mendapatkan keadilan.
Pada dasarnya penegakan hukum dimulai diantaranya dengan memperhatikan
peranan penegak hukum. Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang
baik adalah pemahaman atas prisnip-prinsip di dalamnya. Herlien Budiono
mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan
dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian
akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku
2
bagi semua orang. Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua
segi yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan
hukum. Hal ini berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang
menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan
perlindungan bagi para pihak dalam kesewenangan hakim.1
Penegakan hukum pidana, baik materiil maupun formil, para pihak yang terkait
perlu untuk memperhatikan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Pengaturan yang terdapat di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kaedah-kaedah umum
karena diatur di dalam suatu undang-undang. Sebagai kaedah umum, hal-hal yang
diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak diajukan kepada
orang-orang atau pihak-pihak tertentu, akan tetapi kepada siapa saja yang dikenai
perumusan kaedah-kaedah umum.2
Mereka yang memperjuangkan dan mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan
keadilan lazim disebut justiciabelen atau justisiabelen. Kegigihan perjuangan
sejumlah justisiabelen dibantu kelompok masyarakat yang peduli acapkali
berhasil mengoreksi kekeliruan dan penyimpangan hukum. Dalam kamus
Belanda, lema justitiabelen diartikan sebagai orang yang tunduk pada hukum.
Kadang disebut juga sebagai rechtszoekenden, yang mengandung makna rakyat
pencari keadilan. Berasal dari lema recht (hukum, hak) dan zoeken yang berarti
1 A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum,
Jakarta: Fikahati Aneska 2009. hlm.20 2 Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Cetakan Keenam, Citra
Aditya Bandung, 1993, hlm. 31.
3
mencari. Orang yang melakukan pencarian sesuatu disebut zoeker.3Dan antara
kejaksaan dan kehakiman, apabila suatu putusan dari hakim dirasa kurang sesuai
dengan ketentuan yang ada atau melebihi kewenangannya maka jaksa penuntut
umum akan bereaksi dengan cara melakukan perlawanan yang berupa upaya
hukum yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Upaya hukum merupakan upaya
yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk
dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya
adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali
bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya
hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.
a. Upaya hukum biasa, dapat berupa :
1. Banding, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa ulang pada
pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas putusan pengadilan negeri
Pasal 67 jo Pasal 233 KUHAP.
2. Kasasi, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan
putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi karena:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
3 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999
hlm. 189
4
c. Proses peradilan tidak dijalanka sesuai Undang-undang.
b. Upaya hukum luar biasa ada dua sebagai berikut:
1. Upaya hukum kasasi Demi kepentingan hukum, yang mengajukan adalah Jaksa
Agung.
2. Upaya hukum peninjauan kembali, Peninjauan kembali yang mengajukan
adalah terpidana.
Baik kasasi demi kepentingan hukum maupun peninjauan kembali, kedua-duanya
tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan atau terdakwa atau terpidana.
Para pihak yang tidak puas dengan putusan yang tidak dapat diajukan banding,
yang belum memenuhi rasa keadilan, langsung mengajukan upaya hukum kasasi.
Pengajuan upaya hukum kasasi tanpa banding merupakan inisiatif dari jaksa
penuntut umum dalam hal menanggapi putusan hakim yang berupa putusan bebas,
mengingat Pasal 244 KUHAP yang menyebutkan bahwa terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari
mahkamah agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan
kasasi kapada mahkamah agung, kecuali terhadap putusan bebas.
Berdasarkan Pasal 244 KUHAP tersebut, dinyatakan bahwa tidak dapat dilakukan
upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas, sehingga dalam praktek peradilan,
putusan bebas dapat dibedakan menjadi putusan bebas murni, dan putusan bebas
tidak murni. Terhadap putusan bebas murni tidak dapat dilakukan upaya hukum
banding maupun kasasi, sedangkan terhadap putusan bebas tidak murni yang bisa
disamakan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung
hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi tanpa melalui banding terlebih dahulu.
5
Proses tersebut pihak yang bersengketa dengan hukum dituntut untuk
membuktikan apa yang mereka ajukan, karena apabila tidak dibuktikan, maka
mereka yang bersengketa tidak dapat mendapatkan apa yang menurut mereka
pantas untuk didapatkan. Jika salah satu pihak merasa tidak puas dengan putusan
Kasasi Mahkamah Agung maka upaya hukum luar biasa dapat dilakukan, berupa
Peninjauan Kembali (PK). Permohonan PK diajukan tidak hanya atas ketidak
puasan terhadap putusan kasasi, tetapi terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam arti terhadap putusan pengadilan negeri
yang tidak diajukan banding dapat diajukan PK, terhadap putusan pengadilan
tinggi yang tidak diajukan kasasi dapat juga di mohonkan PK.4
Penerapan upaya hukum ini semata-mata demi terciptanya keadilan yang
sesungguhnya dimana terhadap putusan hakim di rasa memiliki kecacatan hukum,
karna hakim dalam memberikan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan yang
ada atau melebihi wewenangnya sebagai seorang hakim. Kasasi terhadap putusan
bebas merupakan terobosan hukum. Dan telah menjadi yurisprudensi, namun
mengabulkan kasasi terhadap putusan bebas tidak bisa sembarangan. Syaratnya,
jaksa harus membuktikan bahwa terdakwa bukan dinyatakan bebas murni oleh
pengadilan negeri.
Upaya hukum Peninjauan Kembali atau biasa disebut dengan (PK) adalah suatu
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemohon terpidana maupun ahli warisnya
Pasal 263 Ayat (1), mengatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
4ImamNasima,“MeninjauKembaliAturanPeninjauanKembali.HukumOnline,http//www.hukumonli
ne.com, diakses pada tanggal 3 Agustus 2015
6
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Peninjauan Kembali juga pernah didebatkan boleh atau tidaknya jaksa
mengajukan peninjauan kembali (PK) berakhir di ujung palu Mahkamah
Konstitusi (MK). Lewat uji materi Pasal 263 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusannya, Mahkamah
menegaskan rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP setidaknya memuat empat
landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan
terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan
pemidanaan. Esensi landasan filosofis lembaga PK ini ditujukan untuk
kepentingan terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan HAM,
bukan kepentingan negara atau korban. Kalau esensi ini dihapus tentu lembaga
PK akan kehilangan maknanya dan tidak berarti, Putusan MK No. 16/PUU-
VI/2008 terkait pengujian UU Kekuasaan Kehakiman sudah disinggung Pasal 263
Ayat (1) KUHAP dianggap jelas bahwa pengajuan PK hak terpidana atau ahli
warisnya, bukan hak jaksa penuntut umum dalam perkara pidana. Jika Jaksa
masih tetap diberikan hak mengajukan PK, padahal sudah diberi hak mengajukan
upaya hukum biasa (banding dan kasasi), justru menimbulkan ketidakpastian
hukum sekaligus tidak berkeadilan.5
5https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5734711a1fc21/akhirnya-mk-larang-jaksa-ajukan-pk.
diskases pada tanggal 20 maret 2017
7
Pada suatu contoh kasus peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat
dilakukan berkali-kali tanpa batas waktu, dan apa dasar alasan yang terkuat
sehingga peninjauan kembali tetap berlaku tanpa batas waktu. Yakni pernah
terjadi yakni Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan Pasal 268 Ayat (3)
KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali yang dimohonkan mantan
ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya sehingga PK dapat dilakukan
berkali-kali.Keputusan MK ini dikeluarkan dalam kaitannya dengan kasus
pembunuhan Direktur Utama PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnanen
oleh mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.6
Mahkamah Agung (MA) akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA)
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam
Perkara Pidana, yang mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA
ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya,
MA telah mengukuhkan bahwa PK hanya dapat dilakukan satu kali.Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
“Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu
kali saja.”Pertimbangan MA saat itu adalah ketentuan yang melarang PK lebih
dari sekali tidak hanya terdapat di KUHAP yang pasalnya sudah dibatalkan MK.
Tetapi juga di peraturan lain seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU
Mahkamah Agung. Meski demikian, MA mengakui PK dapat diajukan lebih dari
sekali apabila ada dua atau lebih putusan PK yang isinya saling bertentangan atas
obyek perkara yang sama.
6https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/03/140307_pkberkalikali. diskases pada
tanggal 20 maret 2017
8
Pertimbangan hukum putusan No. 34/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa memang benar dalam hukum terdapat asas litis finiri oportet,
yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun hal itu berkaitan dengan kepastian
hukum. Sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana terhadap asas tersebut
tidak secara kaku diterapkan tanpa melihat situasi karena dengan adanya
memperbolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi ketika ditemukan
adanya bukti baru (novum) sehingga bertentangan dengan asas keadilan yang
diamanatkan oleh Undang-Undang tentang kekuasaan kehakiman untuk
menegakan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 Ayat (1) UUD RI 1945).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul
“Analisis Yuridis Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Mewujudkan
Kepastian Hukum Bagi Terpidana”.
B. Perumusan Masalah dan ruang lingkup
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tersebut maka masalahnya
dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah upaya hukum peninjauan kembali dalam mewujudkan
kepastian hukum bagi terpidana agar asas litis finiri oportet akan
terpenuhi ?
b. Apakah upaya hukum peninjauan kembali dapat memenuhi nilai keadilan
dan kepastian hukum bagi terpidana?
9
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan permasalahan diatas, maka dalam pembahasan skripsi ini akan
berbicara tentang Analisis Yuridis Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam
Mewujudkan Kepastian Hukum Bagi Terpidana, Ruang lingkup wilayah
penelitian adalah dalam wilayah Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu
adalah pada tahun 2019.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian adalah :
a. Untuk mengetahui Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Mewujudkan
Kepastian HukumBagi Terpidana.
b. Untuk mengetahui putusan MK No. 34/PUUU-XII/2013 dapat memenuhi nilai
kedailan dan kepastian hukum.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan tentang hukum, khususnya dalam bidang
hukum pidana dan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Mewujudkan
Kepastian Hukum Bagi Terpidana.
b. Kegunaan Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman dan wawasan secara umum kepada terhadap seluruh mahasiswa
dan masyarakat dansecara khusus kepada penulis, tentang Upaya Hukum
Peninjauan Kembali Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Bagi Terpidana.
10
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Kepastian Hukum
Teori yang menjadi grand theory dalam penelitan ini adalah teori kepastian
hukum. Gustav Radbruch terdapat dua macam pengertian kepastian yaitu,
kepastian hukum oleh karena hukum dan kepastian hukum dalam atau dari
hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam
masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum,
memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan hukum serta
hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum, tercapai
apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang.7
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas,
yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang didepan
pengadilan.
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility.8
b. Teori Keadilan Substantif
Keadilan menurut Barda Nawawi Arief adalah perlakuan yang adil, tidak berat
sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian
7 Kepastian Hukum, http://www.surabayapagi.com/, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. 8Gustav Radbruch. Perspektif teori hukum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 118.
11
filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi
haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Pada
praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum
ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa
lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur,
formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu
sengketa. Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum
yang kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.9
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan
hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang
tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang
secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan
substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal
salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil
(hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar
substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim
harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan
substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi
rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang
yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.
9Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.
12
2. Konseptual
Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.10 Hal
ini dilakukan, dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan
penelitian.
1. Analisis adalah pemeriksaan yang teliti, penyelidikan, kegiatan pengumpulan
data, pengolahan, analisa dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis
dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.11
2. Yuridis adalah aturan hukum yang menjadi sebuah ketentuan-ketentuan dan
berlaku secara Universal dan seegala hal yang mempunyai arti hukum dan
telah disahkan oleh pemerintah.12
3. Upaya Hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada
seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan
hakim. Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya
hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.13
4. Peninjauan Kembali berasal dari bahasa Latin sanction yang berkaitan
dengan kata kerja sancire. Arti asal kata sancire adalah hal-hal keramat atau
suci yang mengakibatkan sesuatu yang dilindungi oleh dewa-dewa sehingga
tidak boleh dicemarkan (sancrosanct). Di dalam perkembangannya, maka
10Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 124. 11Kebudayaan dan Depatemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta; Balai
Pustaka,1991) hlm. 120 12Ibid. hlm.120 13Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1992,
hlm. 78
13
kata tersebut diberi arti sesuatu yang dilarang, yang apabila dilanggar akan
dikenakan hukuman.14
5. Kepastian Hukum adalah Kepastian hukum secara normatif adalah ketika
suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara
jelas dan logis dan tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.15
6. Terpidana adalaha seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum.16
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hukum ditujukan untuk dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas, komperhensif dan menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan
hukum yang akan disusun. Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi
dalam penulisan skripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan,
makaskripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan sistematika penulisan adalah
sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan
diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan yang dianggap penting
disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan
dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual
serta sistematikapenulisan.
14Ibid. hlm 45 15https://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/ diakses 20 maret 2018. 16 https://id.wikipedia.org/wiki/pengertian.narapidana, diakses26 november 2018.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Didalamnya termuat pengertian dan tinjauan umum tentang Upaya Hukum
Peninjauan Kembali Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Terhadap Perkara
Pidana Dalam Prespektif Hukum Pidana
III. METODEPENELITIAN
Pada bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian
berupa langkah-langkah yang dapat digunakan dalam melakukan pendekatan
masalah, penguraian, tentang sumber data yang di dapat dari berbagai
literatur/buku hukum,serta jenis data serta prosedur analisis data yang
telahdidapat.
IV. HASIL PENELITIAN DANPEMBAHASAN
Pada bab ini berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap
permasalahan penelitian ini dengan mendasarkan pada rumusan masalah antara
lain mengenai bagaimana Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam
Mewujudkan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pidana Dalam Prespektif
Hukum Pidanaserta adanya putusan MK No. 34/PUUU-XII/2013 dapat memenuhi
nilai kedailan dan kepastian hukum.
V. PENUTUP
Pada bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat
berisikan kesimpulan hasil pembahasan daripenelitian yang telah dilakukan dan
serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yangdibahas.
15
II.TINJAUANPUSTAKA
A. Pengertian Upaya Hukum
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada
seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu,
upaya hukum biasa dan upayas hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara
keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan
eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta
mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.17
a. Upaya Hukum Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah
satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan
Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan
Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana
putusan tersebut dijatuhkan. Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka
pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena
17 Oemar Seno. Adji. Perkembangan Hukum Pidana Dan Hukum Acara Sekarang Dan Masa
Akan Datang. Pancuran Tujuh. Jakarta. 1980. Hlm. 75
16
putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum
dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.18
Banding ada di dalam Pasal 67 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana). Pengertian isi KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk
mengajukan upaya banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali
terhadap putusan bebas murni/vrisjpraak (bebas dari segala dakwaan), bebas tidak
murni/onslag van alle rechtvervollging atau lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan
dalam acara cepat (putusan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu-
lintas).
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan
pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan
upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.19 Tenggang waktu
pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para
pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak
hadir. ni diatur dalam pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo Pasal 46 UU
No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah Pasal 46
UU No. 14 tahun 1985. Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding
telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh
Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan
dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
18 Hamzah. Andi.1984 Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. 19 Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan
Praktek,cet.8.(Jakarta: CV. Mandar Maju,1997), hlm.149.
17
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25
Oktober 1969, yaitu bahwa permohonan banding yang diajukan melalmpaui
tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang
diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat
dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding
diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat
dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa
seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan
bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5
Juni 1971).
Prosedur mengajukan permohonan banding:
1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut
dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan
banding.
2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (Pasal 7 UU No.
20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari
dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh
panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam
Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan
paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
18
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di
Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori
banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori
banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya
sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan
MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang
sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan
banding masih diperbolehkan.
b. Upaya Hukum Kasasi (Pasal 244 KUHAP)
Terhadap putusan pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi),
terdakwa ataupun penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas
murni/vrisjpraak.
Selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253 KUHAP pemeriksaan
dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna
menentukan:
1. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
2. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang;
3. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya;
19
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah
satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan
Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi
putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Kasasi berasal dari
perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila
suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh
Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah
Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.20
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum,
jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga
pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan
tinggak ketiga.
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif
dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila
pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat
gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum
formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah
penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan
20 sutantio,op.cit., hal 163.
20
dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan
penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah yaitu permohonan kasasi
harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau
penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon Pasal 46
ayat(1) UU No. 14/1985, bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak
dapat diterima.
Prosedur pengajuan kasasi :
1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis
atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut
dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan
hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas
Pasal 46 Ayat (3) UU No. 14/1985)
3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera
Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (Pasal
46 Ayat (4) UU No. 14/1985)
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku
daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-
alasan permohonan kasasi (Pasal 47 Ayat (1) UU No. 14/1985)
21
5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan
paling lambat 30 hari (Pasal 47 Ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu
14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (Pasal 47 Ayat (3) UU
No. 14/1985)
7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30
hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada
Mahkamah Agung Pasal 48 Ayat (1) UU No. 14/1985.
c. Upaya Hukum Verzet
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah
satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan
Negeri. Prosedur pengajuan verzet menurut Pasal 129 Ayat (1) HIR adalah
sebagai berikut:
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada
tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri
maka :
2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran
(aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (Pasal 197 HIR).
4. Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan
perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi
Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.21
21 Supomo., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita, 1967) hlm. 39.
22
Verzet dapat diajukan oleh seorang tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan
tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini
tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya
hukum banding.22
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Pasal dalam KUHAP yang mengatur upaya hukum luar biasa adalah Pasal 259-
Pasal 269, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259
KUHAP)
Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung
dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan oleh Jaksa Agung dan putusan kasasi
demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
b. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Mempunyai Kekuatan Hukum
Tetap (Pasal 263 KUHAP)Peninjauan kembali merupakan hak terpidana untuk
melakukan upaya hukum karena tidak menerima putusan pengadilan menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang. 23
Pasal 263 Ayat (1) menyebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
22Ibid. 23Ibid. Hlm. 45
23
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Sedang dalam Ayat (2) KUHAP
menyatakan syarat dilakukannya peninjauan kembali,yaitu:
1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya
akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atas
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lainnya.
3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakimatau
suatu kekeliruan yang nyata.
Berdasarkan uraian diatas sangatlah jelas bahwa KUHAP telah
menjelaskan,peninjauan kembali hanya boleh dilakukan oleh si terpidana dan
peninjauan kembali merupakan hak si terpidana. KUHAP memberikan hak untuk
mengajukan peninjauan kembali hanya kepada terpidana atau ahli warisnya
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini tercantum
dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Namun dalam praktiknya, hak pengajuan
peninjauan kembali ini sering digunakan oleh jaksa terhadap putusan bebas atau
lepas dari tuntutan hukum. Dasar diajukannya PK disebut di dalam Pasal 263
Ayat (2) KUHAP, yaitu apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
24
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan dari penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Juga apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.Pasal 263 Ayat (2) KUHAP tersebut secara implisit yang
dimaksudkan dapat mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya, karena ia
telah dijatuhi pidana.
Padahal apabila hakim yang telah memutuskan perkaranya telah
mengetahuiadanya keadaan yang dapat membebaskan terdakwa, atau
melepaskannya darisegala tuntutan hukum, atau seharusnya menyatakan tuntutan
penuntut umumtidak dapat diterima atau seharusnya menjatuhkan pidana yang
lebih ringandaripada yang dijatuhkannya, maka ia akan menetapkan putusan salah
satu jenisputusan yang disebut secara limitatif di dalam Pasal 263 Ayat (2)
KUHAP.
Upaya pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa sampai saat ini
masih menjadi perdebatan. Hal ini disebabkan karena terdapat sebuah perbedaan
penafsiran dalam hal pemberian hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Pendapat-pendapat tersebut hadir dalam benturan yang kuat, namun argumentasi
mereka tetap mengacu pada kaidah yang sama yaitu KUHAP. Pengajuan
peninjauan kembali harus didasarkan pada Pasal 263 KUHAP dan praktik hukum
yang berkembang. Dalam Pasal 263 Ayat (1) disebutkan bahwa terhadap putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
25
tuntuan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.24
Berdasarkan pasal tersebut, maka pengajuan peninjauan kembali tidak ditujukan
atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sedangkan pihak yang
dirugikan oleh putusan pemidanaan adalah terpidana, sehingga jaksa tidak
mungkin mengajukan peninjauan kembali. Tetapi Pasal 263 itu bukan hanya
terdiri atas dua ayat saja, masih ada ayat lain yang memungkinkan pihak yang
merasa dirugikan mengajukan Peninjauan Kembali. Penegasan ini penting artinya,
mengingat dalam praktek seakan dilupakan keberadaan Ayat (3) dari pasal
tersebut.
Upaya pengajuan peninjauan hukum telah diatur dalam ketentuan pasal-pasal
antara lain: Pasal 263, Pasal 264, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 267, Pasal 268, dan
Pasal 269 KUHAP. Berlaku ketentuan-ketentuan dibawah ini:
Pasal 263 KUHAP
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau
ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
24Soedarto. 1981. Hakim Dan Hukum Pidana. Alumni.Bandung. hlm. 40
26
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasanputusan
yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu denganyang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada Ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan.
B. Azaz Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan
dengan cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya merupakan tujuan utama
dari hukum. Jika hukum tidak ada kepastian maka hukum akan kehilangan jati diri
serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak lagi
digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang.
Adanya kepastian hukum dalam suatu negara menyebabkan adanya upaya
pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Sistem hukum yang berlaku terdiri dari peraturan-peraturan yang
tidak berdasarkan pada putusan sesaat. Pengertian asas kepentingan hukum dalam
penyelenggara negara adalah sebuah konsep untuk memastikan bahwa hukum
27
dijalankan dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun,
hukum harus bisa menajdi pedoman, mengayomi dan melindungi masyarakat dari
berbagai tindak kejahatan atau pelecehan pada individu ataupun kelompok.
Asas kepastian hukum, tidak boleh ada hukum yang saling bertentangan, hukum
harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh masyarakat umum.
Dengan demikian, pengertian asas kepastian hukum dan keadilan yaitu hukum
berlaku tidak surut sehingga tidak merusak intergritas sistem yang ada. Pengertian
asas kepastian hukum juga terkait dengan adanya peraturan dan pelaksanaannya.
Kepastian hukum akan mengarahkan masyarakat untuk bersikap positif pada
hukum negara yang telah ditentukan. Dengan adanya asas kepastian hukum maka
masyarakat bisa lebih tennag dan tidak akan mengalami kerugian akibat
pelanggaran hukum orang lain.
Menurut Sudikno Mertokusumo Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan
bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Istilah Asas
kepastian hukum dapat juga kita temukan di dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme dan didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Kedua undang-undang tersebut
menjadikan dasar penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan
pemerintahan dengan baik yang berasaskan kepastian hukum. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Asas
kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
28
ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
C. Azaz Keadilan
Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan misalnya menentukan bahwa
”materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas keadilan”.
Dalam Penjelasanya dikemukakan “yang dimaksud dengan ”asas keadilan” adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangn harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.” Pengertian
asas /nilai keadilan atau keadilan sosial dari berbagai Undang-undang tersebut di
atas berbeda satu sama lain dan tidak operasional, tetapi suatu pengertian yang
masih umum dan rancu. Pembentuk Undang-undang tampaknya mencampur
adukkan asas keadilan dengan pelayanan yang adil dan merata, tidak
diskriminatif, keseimbangan hak dan kewajiban, biaya yang terjangkau dan/atau
pelayanan yang bermutu.
Keadilan sebagai suatu asas (principle) seharusnya bisa menjadi petunjuk yang
tepat bagi pelaksanaan suatu undang-undang. Karena itu konsep keadilan yang
dimaksud harus diberikan makna operasional yang jelas. Selain itu asas keadilan
harus dijabarkan secara konkrit dalam pasal-pasal Undang-undang, agar asas
tersebut tidak hanya sekedar sebagai etalase atau pemasis saja.
Berbagai teori keadilan dikembangkan sejak zaman Yunani Kuno, Abad
Pertengahan, Zaman Modern dan Dewasa ini dapat dijadikan referensi oleh
pembentuk Undang-undang dalam memberi definisi asas keadilan. Pada zaman
29
yunani Kuno Plato menekankan teori keadilan pada harmoni atau keseimbangan,
sedangkan Aristotelaes menitik beratkan pada proporsi atau perimbangan25.
Pada Abad Pertengahan, para ahli hukum Romawi memberikan definisi keadilan
adalah kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap
orang haknya. Sedang Pendeta Augustinus dalam karya tulisnya Civitas Dei
mengemukakan bahwa keadilan adalah asas ketertiban yang muncul dalam
perdamaian, sedang perdamaian adalan ikatan yang semua orang
menginginkannya dalam kesukaan bergaul mereka. 26Pada Zaman Modern
terdapat beberapa aliran antara lain aliran utilitarianisme yang digagas oleh John
Stuart Mill yang terkenal dengan ungkapannya bahwa keadilan adalah ”the
greatest good of the greatest number”. 27
Teori keadilan dewasa ini yang cukup menarik ialah yang dikemukakan oleh John
Rawls yang mengemukakan 2 prinsip keadilan. Pertama menyangkut distribusi
dari kebebasan kebebasan dasar yang perlu disebarkan secara sama untuk setiap
orang. Kedua bertalian dengan kekuasaan jabatan, kedaulantan sosial, penghasilan
dan kekayaan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam kerja sama manusia satu
satunya prinsip yang layak adalah asas yang menerima ketidaksamaan (inequality)
hanya kalau itu berlangsung bagi keuntungan dari mereka yang paling tidak
beruntung. Menurut teori keadilan John Rawls tugas dari pranata-pranata sosial
dan politik ialah memelihara dan meningkatkan kebebasan dan kesejahteraan
individu. 28Sementara itu A. Suryawasita SJ (Asas Keadilan Sosial, 1989 hal 14)
25The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, 1979, hlm 25 26Ibid, Hlm.25 27Ibid, hlm. 30 28Ibid, hlm.37
30
mengemukakan ”Pada pokoknya prinsip ini menegaskan perlunya pembagian
kembali terus-menerus kekayaan dan kekuasaan demi keuntungan anggota
masyarakat yang paling kurang diuntungkan”. Ditambahkannya bahwa
”memperjuangkan keadilan sosial pada dasarnya memperjuangkan adanya
pembagian kekuasaan yang adil, dan tegaknya demokrasi.”
Pembentuk Undang-undang selain perlu memahami teori keadilan, dan nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat, juga diharapkan mampu menggali
asas/nilai keadilan yang mengalir dari Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945
yang menyebutkan 1 kali kata perikeadilan, masing-masing 2 kali kata adil dan
kata keadilan sosial. Undang-undang tanpa nilai keadilan kehilangan rohnya.
Ketidakmampuan pembentuk Undang-undang memberi makna yang tepat
terhadap kata adil/keadilan/keadilan sosial merupakan kelemahan pemahaman
konsepsional yang berpengaruh kepada kualitas Undang-undang. Karena itu tidak
mengherankan jika banyak Undang-undang yang umurnya pendek, yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau mendapat perlawanan dari masyarakat
ketika hendak dilaksanakan.
D. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang
konkrit dalam lapangan hukum pidana sehingga tindak pidana haruslah diberikan
arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan
dengan istilah yang dipakai sehari-hari. Mengenai istilah tindak pidana di dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia sering dipakai berbagai istilah
seperti:
31
a. Peristiwa Pidana (Konstitusi RIS Maupun UUDS tahun 1950)
b. Perbuatan Pidana (Undang-Undang Darurat tahun 1951 Nomor 1)
c. Tindak Pidana itu sendiri (dipergunakan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi)
d. Perbuatan yang boleh di hukum, dsb29
Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah
membicarakan beberapa hal, yaitu:
1. Perbuatan yang dilarang
2. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
3. Pidana yang dilancarkan terhadap pelanggar larangan itu
4. Perbuatan yang dilarang. 30
Mengenai kata ‘perbuatan yang di larang’, didalam hukum pidana mempunyai
banyak istilah dengan pengertiannya masing-masing, karena merupakan istilah
yang berasal dari bahasa Belanda “Het Straafbare Feit” yang diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, antara lain:
a. Perbutan yang dilarang hukum
b. Perbuatan yang dapat dihukum
c. Perbuatan pidana
d. Peristiwa pidana“Delectum”
e. Tindak pidana
f. Delik (berasal dari bahasa Latin)
29 Adami.Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT Radja Grafindo. Persada
Makasar.2002. hlm 10 30 Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Universitas Diponogoro. Semarang
32
Untuk menghindari berbagai istilah dan pengertian tentang tindak pidana maka
dalam tulisan ini digunakan istilah “Tindak Pidana” dengan mengutip pengertian
dari rumusan yang ditetapkan oleh tim pengkaji Hukum Pidana Nasional sebagai
berikut : “Tindak Pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana”. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berlaku sekarang ini, tindak pidana tersebut dibagi dalam
dua kelompok yaitu kejahatan yang diatur dalam buku kedua dan pelanggaran
yang diatur dalam buku ketiga. Adapun kriteria yang dipergunakan untuk
mengelompokkan dari dua bentuk tindak pidana ini, KUHP sendiri tidak ada
memberikan penjelasan sehingga orang beranggapan bahwa kejahatan kejahatan
tersebut adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang berat, dan
pelanggaran itu adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang lebih ringan,
hal ini juga disadari bahwa pada kejahatan umumnya sanksi pidana yang
diancamkan adalah lebih berat daripada ancaman pidana yang ada pada
pelanggaran.
Menurut pengertian letak perbedaan antara tindak pidana dengan pelanggaran
adalah kalau pada tindak pidana meskipun perbuatan itu belum diatur dalam
undang-undang namun kalau perbuatan itu dianggap oleh masyarakat tidak adil
maka perbuatan itu dapat dihukum, sedangkan pada pelanggaran perbuatan
tersebut dapat dihukum kalau undang-undang telah mengaturnya. Jadi, meskipun
perbuatan itu sudah pelanggaran kalau tidak diatur dalam undang-undang
perbuatan tersebut tidak dapat dihukum.
33
Pertumbuhan resmi tentang pengertian tindak pidana dan pelanggaran dalam
hukum pidana tidak selalu sejalan dan tidak mungkin mencangkup semua
perbuatan yang beraneka ragam, bahkan seringkali tertinggal dari formulasi tindak
pidana itu disebabkan pengaruh perkembangan masyarakat. Sehubungan tindak
pidana pendapat beberapa sarjana yang mengartikan tindak pidana, menurut
Bonger yang menyatakan bahwa tindak pidana adalah:
Perbuatan yang sangat anti sosial yang mmeperoleh tantangan dengan sadar dari
Negara berupa pemberian penderitaan, oleh sebab itu perbuatan-perbuatan
immoral adalah perbuatan anti sosial dan secara yuridis, tindak pidana diartikan
sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum atau dilarang oleh undang-
undang.31Selain itu ditengah masyarakat juga dikenal istilah “kejahatan” yang
menunjukkan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat sanksi
masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana dan masih ada lagi istilah
“kejahatan” menurut arti kriminologi, pengertiannya terlampau luas karena
mencangkup semua perbuatan tercela atau tindak asusila. Kejahatan dalam arti
hukum yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat itu, tidak lebih dari arti
perbuatan pidana.
Beberapa istilah secara umum digunakan untuk tindak pidana menurut
kriminologi adalah : To Crime, misdaad, delik, strafbaarfelt, dan kejahatan.
Demikian pula ada beberapa pengertian kejahatan yaitu :
1. Menurut Van Bemmelen, Kejahatan adalah suatu tindak anti sosial yang
menimbulkan ketidakpatuhan dalam masyarakat sehingga di dalam
31 Arief, Barda Nawawi. 1998. Berbagai Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum
Pidana. Jakarta.
34
masyarakat terhadap kegelisahan dan untuk menentramkan masyarakat,
Negara harus menjatuhkan pidana.32
2. Menurut Kempe, kejahatan ialah: “Semua perhatian yang oleh sebagian
masyarakat menilai mengenai apa yang merugikan, tidak pantas dan tidak
dibiarkan. Tetapi tidak perbuatan yang merugikan, tidak pantas, dan tidak
dapat diartikan tertulis dalam hukum pidana. Namun perbuatan yang tidak
tertulis dalam hukum pidana, baik kiranya menjadi objek penelitian
kriminologi”.33
Kemudian akibat kekejaman tindak pidana kekerasan menurut sifatnya, maka
menurut pendapat Sudarto, adalah :
a. Cidera ringan, yaitu cidera yang terjadi pada korban baik fisik, maupun
psikis yang bersifat ringan sehingga terhadap diri korban tindak pidana
memerlukan perawatan yang intensif tetapi cukup dengan rawat jalan.
b. Cidera sedang, yaitu cidera yang terjadi pada korban yang dilihat dari
keadaannya baik fisik maupun psikis yang dipandang perlu untuk
diberikan perawatan, perhatian, dan pengawasan yang intensif dan
berkelanjutan untuk merehabilitasi kondisi korban.
c. Cidera berat atau tetap, yaitu cidera yang terjadi pada korban yang dilihat
dari keadaannya yang dipandang perlu untuk memberikan perawatan,
perhatian, pengawasan yang intensif.
32 Simanjuntak, B. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Tarsito. Bandung. 33 Santoso, Topo Santoso. kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta. 2009/ hlm. 65
35
E. Pengertian Terpidana
Pasal (1) angka 32 KUHAP diatur bahwa terpidana adalah “seorang yang
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Alasan di sebutnya terpidana dengan alasan yang bersangkutan telah di
jatuhi sanksi pidana oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hak
seorang terpidana terkait putusan pengadilan berhak mendapatkan petikan surat
putusan pengadilan segera setelah putusan diucapkan dan meminta Salinan surat
putusan pengadilan. Terpidana juga mendapatkan hak pada masa hukuman seperti
menerima kunjungan dan menghubungi penasihat hukum, dokter, sanak keluarga
dan rohaniawan. Terpidana juga berhak untuk bebas dari tekanan seperti
diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.
36
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.34 Pendekatan
masalah dalam penelitian ini mengunakan yuridis normatif dan yuridis empiris
sebagai pendukung.
Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang dilakukan berdasarkan
bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian
ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini. Konsep ini memandang hukum identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif
yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang
nyata.35 Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
34Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm 43. 35Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), hlm. 13.
37
aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui
keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia.
Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mempelajari hukum dalam
kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif dilapangan, baik
berupa pendapat, sikap, dan perilaku hukum yang didasarkan pada idenfikasi
hukum dan efektifitas hukum.
B. Sumber Data dan Jenis Data
Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung
dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan
data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka
yang umumnya dinamakan data sekunder.36Data dalam penulisan ini
menggunakan data sekunder yang didukung dengan data primer melalui
wawancara akademisi, data sekunder merupakan data yaitu bahan pustaka yang
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan peraturan
perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan
dengan materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut mencakup dua
bagian, yaitu:37
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.Bahan hukum
primer yang digunakan serta peraturan perundang-undangan lainnya yang dapat
mendukung dalam penelitian ini.
36Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 12. 37Ibid., hlm. 3.
38
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, yaitu, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya.
C. Penentuan Narasumber
Informan penelitian adalah seseorang yang memiliki informasi banyak mengenai
objek yang sedang diteliti, dimintai mengenai objek penelitian tersebut. Informan
dari penelitian ini yaitu berasal dari wawancara langsung yang disebut
narasumber. Definisi narasumber adalah peranan informan dalam mengambil data
yang akan digali dari orang-orang yang dinilai menguasai persoalan yang hendak
diteliti, mempunyai keahlian dan berwawasan cukup.
Pada penelitian ini penentuan Narasumber hanya dibatasi pada:
1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang
2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang
3. Advokat Lembaga Bantuan Hukum Nasional : 1 orang
4. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Uila : 1 orang
Jumlah: 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengelolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Prosedur pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah studi kepustakaan. Studi Kepustakaan yaitu studi kepustakaan
39
yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,
mempelajari, dan mencatat hal-hal penting dari berbagai buku literatur,
perundang-undangan, artikel dan informasi lain yang berkaitan dengan
penelitian ini.
b. Studi Lapangan
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden. Untuk memperoleh
data tersebut dilakukan dengan studi lapangan dengan cara menggunakan
metode wawancara. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan
penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah
ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dan sebagainya) yang berkaitan dengan
penelitian ini.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis yang telah diperoleh
sesuai dengan permasalahan yang di teliti. Pengolahan data dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-
kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-
benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
40
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan
dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan
sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah
dibaca dan diindentifikasi. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara
kualitatif yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara
sistematik kemudian diinterpresentasikan dengan berlandaskan pada peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga
diperoleh gambaran yang jelas mengenai pokok bahasan yang akhirnya akan
menuju pada suatu kesimpulan ditarik dengan metode induktif yaitu cara
penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum dan selanjutnya
dari berbagai kesimpulan tersebut akan diajukan saran dalam rangka perbaikan.
74
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka penulis
membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya hukum peninjauan kembali dalam mewujudkan kepastian hukum bagi
terpidana,Agar Peninjauan Kembali yang lebih dari sekali, tidak bertentangan
dengan asas litis finiri oportet, maka dalam rangka penyelesaian perkara, pihak
Mahkamah Agung ke depan dapat melakukan pengaturan lebih lanjut berkaitan
dengan mekanisme pengajuan novum beserta alasan-alasan yang jelas,
kemudian langkah lain yang perlu diperhatikan adalah dengan memaksimalkan
proses pembuktian untuk mengungkap fakta-fakta hukum baik oleh pihak
penuntut umum maupun oleh terdakwa dari tingkat pemeriksaan di pengadilan
sehingga hal tersebut dapat memaksimalkan sekaligus menyederhanakan
proses peninjauan kembali yang dilakukan secara berulang-ulang dalam
mencari keadilan dan kebenaran materiil.
2. Adanya putusan MK No. 34/PUU-XII/2013 dapat memenuhi nilai keadilan dan
kepastian hukum,Putusan MK No. 34/PUUU-XII/2013 yang menentukan
Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari satu kali hanya diperbolehkan
apabila ditemukan novum baru berdasarkan pemanfaatan iptek dan teknologi.
Dengan demikian, pengajuan PK ini tidak akan mengganggu keseimbangan
75
antara kepastian hukum dan keadilan, karena kepastian hukum pada prinsipnya
sudah mulai tercipta sejak ada putusan inkracht van gewisjde.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis menyarankan:
1. Kedepan Mahkamah Agung hendaknya dapat melakukan pengaturan lebih
lanjut berkaitan dengan mekanisme pengajuan novum beserta alasan-alasan
yang jelas.
2. Sebaiknya peraturan yang mengatur masalah Peninjauan Kembali harus tegas
dan jelas agar tidak menimbulkan perspektif yang berbeda dikalangan
masyarakat tanpa mengenyampingkan antara keadilan dan kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adji. Oemar Seno.1980. Perkembangan Hukum Pidana Dan Hukum Acara
Sekarang Dan Masa Akan Datang. Pancuran Tujuh. Jakarta
B. Simanjuntak. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Tarsito.
Bandung
Chazawi. Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT Radja Grafindo.
Persada Makasar.
Hamzah. Andi.1984 Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia
Indonesia.
Hasan, A. Madjedi. 2009. Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan
Kepastian Hukum, Jakarta: Fikahati Aneska. Nawawi Arief, Barda. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------, 1998. Berbagai Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum
Pidana. Jakarta.
Nawawi Arief Barda dan Muladi. 1992 Bunga Rampai Hukum Pidana, PT.
Alumni, Bandung.
Radbruch,Gustav. 2011. Perspektif teori hukum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Santoso, Topo Santoso, 2009. kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta.
Soekanto Soerjono dan, Purnadi Purbacaraka. 1993. Perihal Kaedah Hukum,
Cetakan Keenam, Citra Aditya Bandung.
----------, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Supomo. 1967. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta,
Pradnjaparamita.
Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Universitas Diponogoro.
Semarang
----------. 1981. Hakim Dan Hukum Pidana. Alumni.Bandung.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
(Jakarta: Ghalia Indonesia
Termorshuizen, Marjanne. 1999. Kamus Hukum Belanda Indonesia. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA
Kebudayaan dan Depatemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1991.
jakarta; Balai Pustaka.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
SUMBER LAIN.
ImamNasima,“MeninjauKembaliAturanPeninjauanKembali.HukumOnline,http//
www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 3 Agustus 2015
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5734711a1fc21/akhirnya-mk-larang-
jaksa-ajukan-pk. diskases pada tanggal 20 maret 2017
Sumber detik com web site http://m.detik.com/news
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/03/140307_pkberkalikali.
diskases pada tanggal 20 maret 2017
Kepastian Hukum, http://www.surabayapagi.com/, diakses pada tanggal 18 Mei
2016
https://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/ diakses 20 maret
2018.