-
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM
PERKARA PERDATA
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FARANGGA HARKI ARDIANSYAH
NIM : 11150480000016
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
-
i
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM
PERKARA PERDATA
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FARANGGA HARKI ARDIANSYAH
NIM : 11150480000016
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
-
iv
ABSTRAK
Farangga Harki Ardiansyah. NIM 11150480000016. UPAYA HUKUM
PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018) Program Studi Ilmu
Hukum
Konsentrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. 64
halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum dari upaya
hukum
peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa. Upaya hukum
peninjauan
kembali adalah upaya hukum terakhir yang dapat diajukan dalam
sistem peradilan
di Indomensia dan tentunya sifatnya yang luar biasa perlu adanya
pengawasan
khusus dalam soal aturan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dengan
menggunakan pendekatan statute approach atau pendekatan
undang-undang
untuk memahami konsep tentang upaya hukum peninjauan kembali
dalam perkara
perdata yang seagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan sebagai
usaha untuk mendekatkan masalah yang diteliti berdasarkan
aturan, norma, dan
kaidah yang sesuai dengan obyek yang dikaji.
Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya hukum peninjauan
kembali
merupakan upaya hukum luar biasa yang dalam prosesnya
memerlukan
pembatasan yang jelas khususnya dalam perkara perdata masih
memerlukan
peraturan yang tegas dan jelas terkait prosedurnya dan berapa
kali dapat diajukan.
Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Perdata, Upaya Hukum, PK,
Peninjauan
Kembali Kedua.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.
2. Tresia Elda, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1985 Sampai Tahun 2017.
-
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang
telah
memberikan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis bisa
menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam
Perkara
Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018).
Shalawat
serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad
SAW yang telah membawa umatnya menuju jalan yang lurus dan yang
diridhoi
oleh Allah SWT.
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak rintangan dan hambatan
yang
datang silih berganti. Namun, berkat bantuan, dukungan dan
motivasi dari
berbagai pihak maka peneliti dapat menyelesaikan semuanya. Oleh
karena itu
peneliti merasa perlu mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Dekan
Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program
Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penguji Skripsi yang
telah
memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi
ini.
3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., dan Tresia Elda, S.H., M.H.
Pembimbing Skripsi
yang telah memberikan bimbingan kepada peneliti sehingga
peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Kedua orang tua saya, Aslam Daraini dan Ratih Kirana Ida
Agustina, S.Sos.
yang tidak pernah lelah mendoakan serta memberikan motivasi
kepada
peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Pasangan hidup saya Ersa Nayla Ansari yang telah tidak ada
hentinya
memberikan motivasi kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan
skripsi
ini.
6. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah
menfasilitasi peneliti dalam hal mencari sumber rujukan untuk
skripsi ini.
-
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
.............................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN
...............................................................................
iii
ABSTRAK
..........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR
........................................................................................
v
DAFTAR ISI
.......................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN
..............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah
..............................................................
1
B. Identifikasi, Pembahasan, dan Perumusan Masalah
................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
................................................... 6
D. Metode
Penelitian........................................................................
7
E. Sistematika Penelitian
.................................................................
10
BAB II PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA ...... 12
A. Kerangka Konseptual
..................................................................
12
1. Definisi Hukum Acara Perdata
............................................... 12
2. Upaya Hukum Dalam Hukum Acara Perdata
........................ 15
3. Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa .......
22
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
.....................................................................................
23
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
..............................................................................
25
6. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun
2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali ... 26
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010
tentang Peninjauan Kembali
.................................................. 27
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
tentang Peninjauan Kembali
.................................................. 29
B. Kerangka
Teori............................................................................
32
1. Teori Kepastian Hukum
......................................................... 32
-
viii
2. Teori Kebenaran Hukum
........................................................ 34
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
.......................................... 34
BAB III DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018
.......................................... 37
A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 629/PK/Pdt/2015 ................
37
B. Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018 ................
40
BAB IV PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM
MENERIMA DAN MEMUTUS PENINJAUAN KEMBALI
YANG KEDUA KALINYA
.............................................................
44
A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
629 PK/Pdt/2015
.........................................................................
44
B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
118 PK/Pdt/2018
.........................................................................
52
BAB V PENUTUP
.........................................................................................
61
A. Kesimpulan
.................................................................................
61
B. Rekomendasi
...............................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................................
63
LAMPIRAN
.........................................................................................................
66
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dan kehidupan manusia merupakan suatu hal yang tidak
dapat
dipisahkan dan saling terkait, dimana ada masyarakat maka disitu
ada hukum.
Setiap manusia pasti mempunyai kepentingan masing-masing yang
diharapkan
untuk dapat dipenuhi. Berdasarkan kepentingan-kepentingan itulah
maka
bukan tidak mungkin muncul pertentangan antara satu dengan yang
lainya.
Atas dasar tersebutlah dibutuhkan hukum guna mengakomodir
segala
permasalahan dalam kehidupan masyarakat untuk mengontrol
kepentingan
masyarakat (tools of social engineering). Proses demikian
merupakan bagian
dari fungsi hukum untuk memperjuangkan kepentingan agar
tercapainya
keadilan substantif.
Pembahasan terkait dengan pencarian keadilan dapat diajukan
dengan
cara mengajukan di pengadilan (litigation) dengan harapan
terciptanya putusan
yang seadil-adilnya dari hakim. Putusan hakim juga tidak luput
dari kesalahan
dan kekeliruan, bahkan tidak mustahil adanya putusan yang
bersifat memihak.
Oleh karena itu demi keadilan dan kebenaran maka dapat
dimungkinkan untuk
dapat diperiksa ulang melalui upaya hukum.
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada
seseorang atau badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan
putusan
hakim.1 Secara yuridis upaya hukum terbagi menjadi dua bagian
yaitu upaya
hukum biasa seperti upaya Perlawanan (verzet), Banding (Kasasi),
dll.
Sedangkan upaya hukum luar biasa merupakan upaya melawan suatu
putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap dalam hal ini adalah
Peninjauan Kembali.
Upaya hukum Peninjauan Kembali (request civil) adalah suatu
upaya
hukum yang dapat diajukan untuk dapat membuat suatu putusan yang
telah
1 Rento Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Bandung: CV Mandar
Maju, 2009),
h.108
-
2
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gwijsde) mentah kembali.
Proses
pembatalan terhadap putusan yang telah berekuatan hukum tetap,
merupakan
salah satu syarat formil dari permohonan peninjauan kembali.
Rasio logis
adanya Peninjauan kembali adalah untuk memenuhi rasa keadilan
bagi para
pencari keadilan (justice seekers) untuk membuka kembali perkara
yang sudah
diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana peninjauan kembali dinyatakan
sebagai
upaya hukum luar biasa. Menurut Yahya Harahap atas dasar
sifatnya yang luar
biasa, upaya hukum peninjauan kembali harus dibatasi. Bahwa
permohonan
peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dengan
tujuan untuk
menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainty).1
Pembatasan peninjauan kembali yang hanya boleh dilakukan
sekali
sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal a quo menyatakan bahwa
“permohonan
peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Pasal
tersebut
menimbulkan multitafsir terkait mekanisme peninjauan kembali
hanya dapat
diajukan satu kali. Bahwa terdapat dua tafsir yang dominan
diantaranya adalah
terkait frasa “1 (satu) kali” dalam satu perkara hanya dapat
dilakukan upaya
hukum peninjauan kembali oleh salah satu pihak atau
masing-masing pihak
dapat 1 (satu) kali kesempatan mengajukan peninjauan
kembali.
Pembatasan pengajuan peninjauan kembali menimbulkan perdebatan
di
kalangan masyarakat dan praktisi hukum. Diskursus terkait batas
pengajuan
peninjauan kembali salah satunya disampaikan oleh Yusril Ihza
Mahendra
yang menyatakan bahwa esensi dari lembaga peradilan adalah
proses
penciptaan untuk keadilan. Demi keadilan peninjauan kembali
tidak
selayaknya dibatasi dengan jumlah maksimal. Permasalahan
tersebut berujung
diajukan uji materil di Makhamah Konstitusi. 2
1 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan
Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.445 2
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian
Undang-
undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 35
-
3
Pengajuan permohonan uji materil kemudian teregistrasi dalam
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 atas uji materil Pasal
268 ayat
(3) KUHAP atas frasa “permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan
hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja”. Pengajuan uji materil
tersebut
terregistrasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
34/PUU-XI/2013
menyatakan bahwa terdapat inkonstitusional dalam Pasal 268 ayat
(3) KUHAP
dan menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam perkara pidana
boleh
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.3 Dasar pertimbangan Mahkamah
Konstitusi
dalam memutus perkara tersebut karena Pasal 28J ayat (2) UUD
1945 tidak
dapat membatasi aturan dalam peninjauan kembali hanya 1 (satu)
kali. Hal
tersebut dikarenakan pengajuan peninjauan kembali dalam perkara
pidana
sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar
yaitu
menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia.
Mahkamah Konstitusi menyatakan pertimbanganya dalam putusan
Nomor 34/PUU-XI/2013, bahwa upaya hukum peninjauan kembali
untuk
perkara diluar pidana, termasuk perkara perdata tetap perlu
dibatasi hanya 1
(satu) kali. Hal tersebut berdasarkan pendapat Mahkamah
Konstitusi dari
Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
64/PUU-VIII/2010. Dalam hal ini objek yang diajukan uji materil
adalah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal
66
ayat (1) yang bunyi pasalnya adalah “permohonan peninjauan
kembali dapat
diajukan hanya (satu) 1 kali”, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2) yang bunyinya
“terhadap
putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali”.
Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa “jika
ketentuan
permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa
tidak dibatasi
maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai
berapa kali
peninjauan kembali akan dilakukan”.4
3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang
Pengujian Undang-
undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 89 4 Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Pasal 66 Ayat (1), h. 68
-
4
Pasca putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
terkait
pengujian tentang peninjauan kembali yang dapat dilakukan lebih
dari sekali,
hal itu menyebabkan adanya dualisme dalam peraturan yang
mengatur
mengenai peninjauan kembali. Kerancuan yang terjadi di kalangan
praktisi
hukum ialah Mahkamah Konstitusi memperbolehkan peninjauan
kembali lebih
dari sekali dan hal itu berbeda dengan putusan Mahkamah
Konstitusi yang
sebelumnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010
dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010, sejalan
dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjuauan
kembali
melarang peninjauan kembali dilakukan lebih dari sekali atas
dasar
perlindungan negara terhadap kepastian hukum.
Adanya dualisme terkait peraturan peninjauan kembali,
berdampak
pada permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung yang
diajukan
lebih dari sekali. Sebagaimana terjadi pada kasus PT. Suzuki
Indomobil yang
mengajukan peninjauan kembali dengan putusan Nomor 118
PK/Pdt/2018
terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015. Pokok
perkara
dalam hal ini ialah adanya sengketa tanah antara PT. Suzuki
Indomobil
melawan para ahli waris dari pemilik tanah. Proses hukum
tersebut telah
mencapai putusan berkekuatan hukum tetap (inckrah van gewisdje)
Kasasi dan
dimenangkan oleh PT. Suzuki Indomobil.
Terhadap putusan kasasi tersebut pihak ahli waris mengajukan
upaya
hukum peninjauan kembali yang terregistrasi dalam putusan Nomor
629
PK/Pdt/2015. Putusan peninjauan kembali tersebut menghasilkan
kemenangan
bagi pihak ahli waris. Terhadap putusan tersebut PT. Suzuki
Indomobil
mengajukan permohonan peninjauan kembali untuk kedua kalinya,
dan pada
akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan yang memenangkan
pihak
PT Suzuki Indomobil. Berdasarkan permasalahan yang telah
peneliti paparkan,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk
skripsi dengan judul
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA
PERDATA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor
118/PK/Pdt/2018).
-
5
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Ada berbagai hal yang dijadikan pokok permasalahan dalam
penelitian yang dilakukan. Pokok permasalah ini berhubungan
upaya
hukum peninjauan kemballi terhadap putusan Peninjauan Kembali,
antara
lain :
a. Terdapat ketidakjelasan dalam pembatasan pengajuan upaya
hukum
Peninjauan Kembali dalam peraturan perundang-undangan.
b. Terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi terkait upaya hukum peninjauan kembali.
c. Kepastian hukum dalam upaya hukum peninjauan kembali
menjadi
terancam jika tidak dbatasi.
d. Timbulnya perdebatan mana yang harus didahulukan antara
kepastian
hukum dan keadilan terkait peninjauan kembali.
e. Terdapat dualisme aturan yang mengatur terkait peninjauan
kembali
antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi .
f. Terdapat ketidaktegasan kata dalam frasa ‘satu kali’ dalam
pasal yang
mengatur tentang upaya hukum peninjauan kembali.
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih fokus dan tidak keluar dari topik
pembahasan yang dimaksud, maka dalam penulisan ini peneliti
membatasi
dan memfokuskan pada ruang lingkup penelitian mengenai upaya
hukum
peninjauan kembali dalam Putusan Nomor 118/PK/Pdt/2018 yang
diajukan terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 629
PK/Pdt/2015.
Putusan Mahkamah Agung tersebut menimbulkan problematika
pasca
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang
mengatur
peninjauan kembali terbatas 1 (satu) kali.
Alasan pembatasan masalah terjadi karena pembatasan ini
sesuai
dengan konsentrasi peneliti yakni praktisi hukum. Dalam hal ini
berfokus
pada wewenang aparatur sipil negara dalam bingkai praktisi
hukum.
-
6
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifkasi, dan pembatasan
masalah
yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti merumuskan
masalah
yaitu sebagai berikut: Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali
Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Perdata.
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka pertanyaan
penelitianya
sebagai berikut :
a. Apa yang menjadi alasan dan dasar pertimbangan Mahkamah
Agung
dalam menerima dan memutus perkara peninjauan kembali yang
kedua (Nomor 118/PK/Pdt/2018 terhadap putusan Mahkamah Agung
peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015) ?
b. Apakah putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018 sudah
memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui alasan dan dasar pertimbangan Mahkamah
Agung
dalam menerima dan memutus perkara peninjauan kembali yang
kedua (118/PK/Pdt/2018).
b. Untuk mengetahui unsur keadilan dan kepastian hukum dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya dibidang upaya hukum Peninjauan
Kembali dalam perkara perdata dan membuktikan bahwa
pengajuan
upaya hukum Peninjauan kembali dalam perkara perdata tetap
dibatasi
hanya satu kali yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan
dapat
-
7
menjadi bahan evaluasi dibidang upaya hukum Peninjauan
Kembali
dalam perkara perdata, menganalisis dan mencegah terjadinya
ketidakpastian hukum.
b. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mengurangi
proses
penanganan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara
perdata
yang berlarut-larut agar dapat terciptanya kepastian hukum
untuk
mewujudkan keadilan di dalam sistem hukum Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis
yuridis normatif. Mengacu kepada penerapan hukum yang terdapat
dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan
yang
didapatkan serta norma-norma hukum yang ada dalam
masyarakat.5
Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-
undangan (statue approach) yakni pendekatan dengan
menggunakan
legislasi dan regulasi, mengingat peneliti berusaha menganalisis
beberapa
peraturan perundang-undangan sebagai fokus penelitian.
2. Data Penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan
untuk
menjawab masalah penelitian yang kelak akan digunakan untuk
kesimpulan penelitian. Oleh karena itu, data yang peneliti
gunakan untuk
menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini
ialah
sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer
meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah
5 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), h. 46
-
8
dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan
hakim
yang berkaitan.6
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi Tentang hukum
yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi Tentang
hukum dalam bidang upaya hukum Peninjauan Kembali meliputi
buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar-komentar
atas norma hukum yang diberikan atas kepentingan
penelitian.7
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer
dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat
atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai
relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum
tersebut
dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan
peneliti.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer
ialah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Reglemen Acara Perdata (Reglement op
Rechtsvordering),
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
b. Data Sekunder
Dalam hal ini berupa semua publikasi Tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi Tentang
hukum
dalam Peninujauan Kembali meliputi buku-buku teks, kamus
hukum,
jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma hukum dan
lain-lain.
Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan
yaitu
6 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Jurimetri,
(Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998), h. 11 7 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 40
-
9
pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari
berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan
dalam
penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk
memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan
studi
dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip
literatur-literatur,
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan
permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier
Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari
bahan sekunder dan bahan primer di anataranya, kamus, dan
sumber-
sumber sejenis yang diakses melalui internet.
d. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik penelusuran bahan hukum dalam penelitian ini
dilakukan
melalui studi pustaka baik berupa buku-buku, karya tulis
ilmiah,
informasi maupun dokumen hukum. Dalam menyusun dan
menganalisis data, peneliti menggunakan penalaran deduktif
dengan
metode deskriptif. Setelah proses analisis, dilakukan proses
sintesis
dengan menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan
penelitian untuk kemudian dielaborasi dalam struktur pembahasan
yang
analitis. Berikutnya ditarik simpulan yang bersifat umum
kemudian
direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan
yang
diakhiri dengan kesimpulan analisis pemberian gagasan dalam
sebuah
kesimpulan serta rekomendasi untuk dijadikan akhir dan jawaban
dari
penelitian yang sedang peneliti kaji.
e. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan non-hukum
diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga
ditampilkan
dalam penelitian yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalahan
yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan
-
10
secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis
terhadap
bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui
permasalahan
dalam pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata.
f. Metode Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun
skripsi ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah
dan
buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk dapat mempermudah dalam pembuatan dan pemaparan
gambaran umum skripsi ini, maka penulis memaparkan
sistematika
pembahasan skripsi yang dibagi menjadi beberapa bab sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Membahas mengenai latar belakang penelitian yang
melatarbelakangi masalah penulisan, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA
Dalam bab ini akan membahas kajian pustaka yang berisi
teori-
teori yang digunakan untuk menganalisis dan
menginterprestasikan
data penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan
kerangka konsep yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari
kerangka teori. Kajian Pustaka yang baik akan membantu
peneliti
dalam merumuskan hipotesis dari penelitian tersebut. Selain
itu,
juga terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu pada
sub
bab kedua dari Bab II.
-
11
BAB III DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018
Bab ini berisi data-data yang hendak digunakan, dalam hal ini
data
tersebut meliputi substansi dan kronologis perkara dalam
putusan
peninjauan kembali Nomor 629/PK/Pdt/2015 dan
118/PK/Pdt/2018.
BAB IV PERTIMBANGAN MAHAKAMAH AGUNG DALAM
MENERIMA DAN MEMUTUS PININJAUAN KEMBALI
YANG KEDUA KALINYA
Bab IV atau bab analisis ini akan berisi tentang apa
pertimbangan
dari Mahkamah Agung dalam menerima dan memutus perkara
peninjauan kembali yang diajukan terhadap putusan Peninjauan
Kembali.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan
rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika
penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik
beberapa kesimpulan penelitian untuk menjawab perumusan
masalah.
-
12
BAB II
PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA
A. Kerangka Konseptual
1. Definisi Hukum Acara Perdata
Hukum acara merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang
mengatur mengenai tata cara untuk mengajukan suatu perkara
dalam
pengadilan. Hukum acara perdata yang disebut juga hukum
perdata
formil merupakan peraturan yang mengatur tentang cara
bagaimana
mempertahankan dan menjalankan hukum perdata materil di
pengadilan.1
Dengan perkataan lain bahwa hukum acara perdata mengatur
bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta memutusan
dan
melaksanakan putusan perdata yang ranahnya merupakan hukum
privat
yang dalam arti sengketa antar individu. Tuntutan Hak dalam hal
ini
ditujukan untuk melindungi individu dalam perkara perdata
untuk
menghakimi sendiri perkara yang dihadapinya. Tindakan
menghakimi
sendiri yang sewenang-wenang tanpa adanya persetujuan dari pihak
lain
atau hakim dapat menimbulkan kerugian dan ketidakadilan.
Tindakan itu
tidak dibenarkan jika ingin memperjuangkan hak masing-masing
antar
individu.2
Penuntutan hak antar sengketa individu dalam perkara perdata
dapat diajukan melalui persidangan di pengadilan. Dalam memenuhi
hak-
hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dalam perkara
perdata
dibutuhkan pihak lain yang netral dalam hal ini adalah hakim
pengadilan.
Dalam proses berperkara perdata di pengadilan terdapat berbagai
cara
yang di atur sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hukum
acara
perdata berawal dari Undang-Undang Darurat Tahun 1951 yang
dikenal
1 Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi,
(Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), h. 197 2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1993), h. 2
-
13
dengan nama H.I.R (Het Herziene Indonesisch Reglement). H.I.R
ini
hanya berlaku untuk masyarakat di wilayah pulau Jawa dan
Madura,
sedangkan untuk diluar daerah Jawa dan Madura diatur dalam
RB.g
(Rechtsglement voor de Buitengwesten) atau reglemen daerah
sebrang.
Hukum acara perdata yang berlaku hingga saat ini adalah H.I.R.
Khusus
untuk golongan eropa, hukum acara perdata yang digunakan adalah
BR.v
(Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) atau Reglement
Acara
Perdata.3
a. Sifat dan Karakteristik Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata pada saat ini memiliki sifat yang
terbuka
dan sederhana. Para hakim dalam perkara perdata memiliki
kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan hukum
sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hukum
acara perdata, orang yang merasa haknya dilanggar berhak
untuk
mengajukan tuntutan di pengadilan, begitu juga dengan orang
yang
dirasa melanggar hak juga dapat dapat kesempatan pembuktian
di
pengadilan. Dengan kata lain hal ini menunjukkan bahwa orang
tersebut belum tentu dilanggar haknya dan orang lain
melanggar
haknya. Orang yang merasa haknya dilanggar dan mengajukan ke
pengadilan disebut sebagai Penggugat, sedangkan orang yang
dirasa
melanggar hak orang lain yang dituntutkan di pengadilan
disebut
sebagai Tergugat.4
Apabila dalam suatu perkara terdapat banyak pihak Penggugat,
maka akan disebut sebgai Penggugat I, Penggugat II, dan
seterusnya
yang seluruhnya disebut Para Penggugat, demikan pula dengan
Tergugat. Dalam perkara perdata apabila terdapat pihak yang
tidak
menguasai barang sengketa namun harus diikutsertakan untuk
3 Djaja Meliala, HukumPerdata Dalam Prespektif BW Edisi Revisi,
(Bandung:
Nuansa Aulia, 2014), h. 3 4 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 2
-
14
melengkapi gugatan dan mematuhi isi putusan disebut juga
sebagai
Turut Tergugat.
Dalam perkara perdata, berdasarkan pasal 118 H.I.R dan 142
RBg,
hakim memiliki sifat menunggu (judex no procedat ex officio),
yang
artinya inisiatif di dalam persidangan berada di tangan para
pihak yang
berperkara, jika tidak ada tuntutan maka tidak ada hakim. Hal
ini berbeda
dengan sifat hukum acara pidana yang pada dasarnya hakim
tidak
menunggu dari inisiatif para pihak untuk menyelesaikan
sengketa.5
Hakim dalam perkara perdata juga memiliki sifat pasif, yang
artinya
bahwa dalam ruang lingkup atau luasnya pokok perkara yang
diajukan
kepda hakim untuk diperiksa dan dalam menentukan pokok perkara
secara
kebenaran formil dan tidak boleh ditambahkan maupun di kurangi
oleh
hakim.6 Dalam perkara perdata terdapat perbedaan mengenai unsur
dan
nilai yang dikejar dalam suatu perkara antara hakim dengan
perkara
pidana. Hakim dalam perkara pidana memiliki peran yang aktif,
yang
mana hakim dalam hukum acara pidana harus bersifat aktif
untuk
membuktikan dan mencari kebenaran materiil dari suatu
perkara.
Dalam pemeriksaan perkara perdata terdapat dua tingkatan
pemeriksaan, yaitu pengadilan dalam tingkat pertama
(original
jurisdiction) dan tingkat banding (appellate jurisdiction).
Pengadilan
tingkat banding ini berujuan untuk mengulangi pemeriksaan
perkara dalam
pengadilan tingkat pertama.7 Upaya hukum Banding dapat dilakukan
di
Pengadilan Tinggi dengan hakim yang tingkatanya lebih tinggi.
Dengan
demikian para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa
keperdataanya
dapat mengajukan upaya-upaya hukum dalam acara perdata sesuai
dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Upaya Hukum Dalam Hukum Acara Perdata
5 Laila Rasyid, dan Herinawati, Pengantar Hukum Acara Perdata,
(Sulawesi:
Unimal Press, 2015), h. 16 6 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata
Edisi Ke-2, (Jakarta: Literata, 2010),
h. 6 7 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata Edisi Ke-2,…h. 7
-
15
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu
melawan
putusan hakim dengan cara mengajukan perlawanan terhadap
putusan
pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari yang
terhitung
sejak dikeluarkanya putusan tersebut.8 Pada dasarnya tidak ada
perbedaan
yang signifikan terkait upaya hukum dalam acara perdata maupun
dalam
acara pidana. Dalam hukum acara perdata terbagi menjadi dua
macam
upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa.
a. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa adalah upaya yang diajukan untuk
melawan putusan hakim dengan tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undang untuk dapat menghentikan atau
menangguhkan
pelaksanaan putusan untuk sementara waktu. Upaya hukum biasa
dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu:
1) Perlawanan (verzet)
Upaya hukum verzet atau perlawanan merupakan salah
satu upaya hukum biasa yang dapat di ajukan oleh salah satu
pihak atau kedua belah pihak untuk melawan suatu putusan
verstek. Menurut Pasal 125 H.I.R, putusan verstek merupakan
putusan yang dijatuhkan tanpa kehadian dari tergugat atau
orang
yang mewakilinya tanpa alasan yang sah dan dapat
dibenarkan.9
Pihak tergugat yang tidak hadir dalam putusan verstek
dapat mengajukan upaya hukum perlawanan atau verzet kepada
pengadilan. Dalam hal ini pihak terlawan yang dahulu sebagai
penggugat, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan oleh
undang-undang dapat mengajukan upaya hukum Banding.
Upaya hukum verzet dapat diajukan dalam tenggang waktu 14
8 Rento Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Bandung: CV Mandar
Maju,
2009), h. 106 9
https://www.awambicara.id/2018/04/upaya-hukum-verzet-perkara-perdata.html,
Diakses pada tanggal 7 Oktober 2019, 11.05 WIB
https://www.awambicara.id/2018/04/upaya-hukum-verzet-perkara-perdata.html
-
16
(empat belas) hari setelah putusan verstek itu diberitahukan
kepada tergugat.
2) Banding
Upaya hukum Banding merupakan hak terdakwa dan hak dari
Jaksa Penuntut Umum. Menurut P. Van Bemmelen, upaya hukum
Banding adalah suatu pengujian terhadap ketepatan dari putusan
tingkat
pertama untuk disangkal kebenaranya.10 Andi Hamzah
mengatakan
bahwa upaya hukum Banding adalah hak terdakwa dan penuntut
umum
untuk menolak putusan pengadilan dengan tujuan untuk meminta
ulang
dengan pengadilan yang lebih tinggi, serta untuk memeriksa
ketepatan
substansi penerapan hukum dalam putusan pengadilan tingkat
pertama.11
Berdasarkan Pasal 67 KUHAP, terdakwa atau penuntut umum
berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat
pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala
tuntutan
hukum yang menyangkut masalah ketepatan penerapan hukum
dalam
putusan pengadilan.
Seiring dengan berkembangnya waktu pada saat ini terhadap
putusan bebas pun dapat diajukan banding. Terhadap putusan
bebas
tersebut dapat dimintakan upaya banding oleh Jaksa Penuntut
Umum
dengan alasan bahwa putusan bebas atau vrijspraak tersebut
bukanlah
merupakan bebas murni.12 Permohonan banding terhadap putusan
bebas
akan dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi jika Jaksa Penuntut
Umum
dapat membuktikan bahwa terdapat ketidaktepatan dalam putusan
yang
dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama.
10 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung:
Citra Aditya
Bakti, 2007), h. 248 11 Rendi Renaldi Mumbunan, Upaya Hukum
Biasa dan Luar Biasa Terhadap
Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, (Lex Crimen, Vol. 8, No. 10,
Desember 2008,
h. 41 12 Andi Hamzah dan Indra Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara
Pidana,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 59
-
17
Menurut Yahya Harahap, tujuan dari upaya hukum banding
adalah
untuk memeriksa dan memperbaiki kekeliruan yang terjadi pada
putusan
tingkat pertama, mencegah penyalahgunaan wewenang jabatan, dan
untuk
pengawasan terhadap keseragaman dan keadilan dalam
penegakkan
hukum.13 Permohonan banding yang biasanya diajukan oleh
terpidana dan
penuntut umum apabila terjadi kekeliruan dalam putusan tingkat
pertama
yang tidak sesuai dengan rasa keadilan, maka dari itu diperlukan
lembaga
banding yang dipegang oleh Pengadilan Tinggi untuk dapat
memeriksa
kekeliruan tersebut.
Permohonan banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi dapat
menimbulkan berbagai akibat hukum, diantaranya adalah:
a) Putusan menjadi mentah kembali. Maksud dari putusan yang
mentah
kembali adalah putusan tersebut menjadi tidak memiliki arti
dan
kekuatan hukum yang mengikat, formalitas dari putusan tersebut
tetap
ada, tetapi nilai dari isi putusan tersebut lenyap.
b) Seluruhnya menjadi tanggung jawab yuridis dari Pengadilan
Tingkat
Banding. Pengadilan Tinggi bertanggungjawab sejak tanggal
permohonan banding diajukan, sepanjang permohonan banding
tidak
dicabut kembali. Peralihan tanggungjawab tersebut meliputi
barang
bukti dan penahanan, maka setelah itu pengadilan tingkat
pertama
tidak memiliki wewenang apapun.
c) Putusan pengadilan yang di banding tidak memiliki
kekuatan
eksekusi. Hilangnya daya eksekusi dalam putusan Pengadilan
Negeri
tersebut karena putusan tersebut sudah tidak memiliki
kekuatan
hukum yang mengikat bagi para pihak.
Pada dasarnya proses dan tenggang waktu pengajuan banding
sama
dengan kasasi. Menurut Pasal 46 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tenggang waktu untuk
13 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 454
-
18
mengajukan banding dan kasasi adalah 14 (empat belas) hari
setelah putusan
yang dimaksud disampaikan kepada pemohon. Dalam memutus
perkara
banding, pengadilan harus mempertimbangkan apakah ada kelalaian
atau
kekeliruan dalam penerapan hukum acara pada pengadilan tingkat
pertama.
Pengadilan Tinggi dengan keputusan dapat memerintahkan
pengadilan
tingkat pertama untuk memperbaiki atau Pengadilan tinggi
dapat
memperbaikinya sendiri. Jika perlu Pengadilan Tinggi dapat
membatalkan
penetapan dari pengadilan tingkat pertama sebelum putusan dari
Pengadilan
Tinggi dijatuhkan.
Setelah mempertimbangkan pertimbangan tersebut maka
Pengadilan
tinggi dapat memutuskan untuk menguatkan putusan tingkat
pertama,
mengubah atau membatalkan putusan tingkat pertama dan
megadakan
putusan sendiri.
3) Kasasi
Perkataan Kasasi berhasal dari bahasa Prancis “cassation”
yang
artinya adalah memecah atau membatalkan. Berdasarkan
ketentuan
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 kasasi merupakan alat hukum yang
merupakan wewenang dari Mahkamah Agung. Kasasi bertujuan
untuk memeriksa kembali dari putusan putusan terdahulu.
Putusan
terdahulu yang dimaksud adalah putusan yang telah menempuh
jalur
banding maupun putusan tingkat akhir dari semua lingkup
peradilan.
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang
Mahkamah Agung, alasan mengajukan untuk mengajukan upaya
hukum kasasi adalah sebagai berikut14:
a) Tidak berwenang dan melampaui batas. Yang dimaksud adalah
terkait kewenangan kompetensi relatif dan absolut pengadilan
yang memeriksa perkara yang diajukan, dan pengadilan
melampaui batas mengabulkan gugatan melebihi daripada surat
gugatan.
14 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan
Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h.233
-
19
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Maksudnya
adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun
hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan
hukum
yang dilakukan oleh hakim pengadilan tingkat pertama dan
banding
Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum
yang
berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum
tersebut
tidak tepat dilakukan oleh judex facti. Mahkamah Agung adalah
judex
juris sebagai pemeriksa penerapan hukum dari judex factie.
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
pertauran
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya
putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan
tidak
terdapat irah-irah.
Upaya hukum kasasi merupakan upaya hukum tingkat akhir yang
dalam wewenangnya di kuasai oleh Mahkamah Agung. Tujuan dan
fungsi
dari peradilan kasasi adalah untuk mengoreksi kesalahan dari
peradilan
dibawahnya yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
terkait
kesalahan prosedur (procedural error), kesalahan mengenai fakta
(factual
error), serta kesalahan penerapan hukum (error in the
application of law).
Upaya hukum kasasi juga berfungsi sebagai pencegahan
terhadap
penyalahgunaan wewenang.
b. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa merupakan upaya hukum yang
digunakan untuk putusan-putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap
dan sudah tidak dapat diubah lagi. Karena sifatnya yang luar
biasa
menjadikan upaya hukum peninjauan kembali memiliki tata cara
dan
regulasi yang sangat ketat dan hanya dapat dilakukan sesuai
dengan
ketentuan undang-undang.15 Upaya hukum luar biasa pada
dasarnya
tidak menunda eksekusi yang dimana dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu:
15 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen
Litigasi
Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h.
98
-
20
1) Upaya Hukum Peninjauan Kembali (Request Civil)
Upaya hukum Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum
yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam suatu perkara
untuk
membuka kembali putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap.16
Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa upaya hukum
peninjauan
kembali merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung.
Putusan
yang dijatuhkan dalam tingkat kasasi dan putusan yang
dijatuhkan
diluar hadirnya tergugat (verstek) serta yang tidak lagi
terbuka
kemungkinan untuk mengajukan perlawanan, dapat ditinjau
kembali
atas permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di
dalam
perkara yang telah diputus dapat dimintakan peninjauan kembali
untuk
diperiksa oleh Mahkamah Agung (Pasal 385 RV). Untuk itu
request
civil yang diatur dalam Pasal 385-401 RV, tidak lain adalah
peninjauan
kembali suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang
tetap.
Upaya hukum Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu)
kali, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1)
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sifatnya tidak
menangguhkan atau menghentikan eksekusi atau pelaksanaan
putusan.
Permohonan Peninjauan Kembali dapat dicabut selama belum
diputus,
tetapi apabila sudah dicabut maka tidak dapat diajukan
kembali.
Terkait frasa satu (1) kali dalam permohonan Peninjauan
Kembali
diperkuat oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mana berbunyi:
“Terhadap
putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan
Kembali”. Diperkuat lagi oleh Reglement op de Rechtvordering
(RV)
atau Reglemen Acara Perdata Bab XI Tentang Peninjaun Kembali
Pasal
400 yang berbunyi “Setelah mengajukan peninjauan kembali, entah
itu
16 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004),
h. 47
-
21
diterima atau tidak, maka tidak dapat diajukan peninjauan
kembali yang
kedua, baik terhadap putusan yang diberikan dalam peninjauan
kembali
maupun terhadap putusan sesudah putusan peninjauan kembali
itu
diterima dalam pokok perkaranya”.
Alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam
perkara perdata diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14
Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung yang diantaranya adalah:
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidanan dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih daripada yang dituntut.
d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama
atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali dengan alasan-alasan
tersebut, dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan
atau ahli
warisnya dan dapat juga diajukan oleh kuasa hukum yang diberi
surat kuasa
khusus untuk mengajukan gugatan atau permohonan secara tertulis
dengan
menyebutkan alasan-alasannya yang sah yang dapat dijadikan
sebagai dasar
hukum permohonan peninjauan kembali.17 Proses pengajuan
peninjauan
kembali selambat-lambatnya 180 (seratus delapan puluh) hari dan
dapat
juga diajukan secara lisan di hadapan ketua pengadilan atau
hakim yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan.
17 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum
Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 2
-
22
2) Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet)
Berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata, pada dasarnya Pada
asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang
berperkara
dan tidak mengikat pihak ketiga, akan tetapi berdasarkan Pasal
378
Rv, apabila pihak ketiga merasa hak-haknya dirugikan oleh
suatu
putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap
putusan
tersebut. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang
menjatuhkan
putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang
bersangkutan dengan cara biasa. Jika perlawanan tersebut
dikabulkan, maka putusan yang bertentangan itu diperbaiki
jika
putusan tersebut benar-benar merugikan pihak ketiga
tersebut.18
3. Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum
luar biasa yang dalam proses pengajuannya sangat ketat diawasi
dan dibatasi
oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang
Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang membatasi
pengajuan
peninjauan kembali hanya 1 (satu) kali merupakan bentuk sifat
upaya
hukum peninjauan kembali sebagai upaya hukum yang luar biasa.
Prinsip
ini bertujuan untuk menekankan dan menegakkan kepastian hukum
(to
enforce legal certainty).
Maksud dari dibatasinya peninjauan kembali 1 (satu) kali
ialah,
apabila berdasarkan permohonan peninjauan kembali oleh salah
satu pihak
yang berperkara telah di dijatuhkan putusan oleh Mahkamah Agung,
maka
terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan peninjauan
kembali sekali
lagi oleh para pihak. Misalnya A berperkara dengan B dan putusan
sudah
berkekuatan hukum tetap inkrah, terhadap putusan inkrah tersebut
A
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan permohonan
dibenarkan
dan memenangkan A, maka terhadap selanjutnya tertutuplah hak B
untuk
18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty,
2010), h. 3
-
23
mengajukan peninjauan kembali yang kedua. Atau sekiranya
permohonan A
ditolak maka tertutuplah hak A untuk mengajukan peninjauan
kembali
sekali lagi.19
Prinsip ini sama dengan prinsip yang diterapkan dalam upaya
hukum kasasi. Sekiranya undang-undang memperbolehkan pengajuan
kasasi
dan peninjauan kembali lebih dari sekali maka akan terjadi
kekacauan yang
berlanjut, dan akan tidak mungkin kepastian hukum ditegakkan,
hal ini
sesuai dengan asas litis finiri oportet, yaitu setiap perkara
harus ada
akhirnya. Menurut Yahya Harahap jika putusan peninjauan kembali
telah
dijatuhkan, kemudian diajukan peninjauan kembali lagi terhadap
perkara
tersebut, maka yang terjadi adalah peninjauan kembali terhadap
putusan
peninjauan kembali. Tindakan tersebut melanggar Pasal 24 ayat
(2) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Tindakan
tersebut dapat merusak dan menghancurkan tatanan penegakkan
kepastian
hukum dan ketertiban umum dalam penegakkan hukum di
Indonesia.
Perbedaan pendapat terkait masalah pembatasan peninjauan
kembali
juga marak terjadi dikalangan praktisi hukum. Menurut Swantoro
jika
peninjauan kembali dibatasi maka akan berimplikasi terhadap
prinsip
keadilan, karna sesungguhnya tujuan utama hukum adalah
keadilan.20
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-undang tentang Mahkamah Agung ini merupakan undang-
undang pelaksana dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk
mengatur
secara khusus tentang Mahkamah Agung.
Undang-undang ini juga menegaskan tentang peninjauan kembali
sebagai upaya hukum luar biasa yang dalam prosesnya
merupakan
kewenangan Mahkamah Agung. Undang-undang ini juga membahas
terkait
19 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi
dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), h. 445 20 Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan dan Kepastian
Dalam Peninjauan
Kembali, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 10
-
24
pembatasan upaya hukum peninjauan kembali yang terdapat dalam
bagian
keempat tentang pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan
yang
telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum peninjauan kembali
dalam
undang-undang ini hanya tercantum dalam Pasal 66, yang
isinya
menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat
diajukan 1
(satu) kali saja, permohonan peninjauan kembali tidak
menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan, Permohonan
peninjauan
kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah
dicabut
permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Berdasarkan Pasal 67, tenggang waktu untuk mengajukan
peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari.
Berdasarkan
Pasal 74, Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa
serta
memutus sendiri perkaranya. Selain menerima, Mahkamah Agung
dapat
menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah
Agung
berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan, dalam hal
menerima
maupun menolak perkara peninjauan kembali, semuanya harus
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan hukum yang jelas.
Undang-undang Mahkamah Agung ini masih digunakan hingga
saat ini terkait pengaturan mengenai upaya hukum peninjauan
kembali.
Undang-undang ini sering sekali dijadikan sumber terkait
peninjauan
kembali, walaupun terkait pasal yang mengatur pembatasan
peninjauan
kembali sering kali menjadi pro kontra di kalangan para praktisi
hukum dan
para pencari keadilan (justice seekers). Kejanggalan menjadi
masalah dari
pembatasan peninjauan kembali yang meimbulkan kebingungan
dikalangan
praktisi hukum maupun di kalangan masyarakat umum dan kerap
beberapa
kali diajukan untuk uji materil di Mahkamah Konsitusi. Bukan
hanya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang
diajukan uji materiil, tetapi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang
Kekuasaan Kehakiman juga turut di uji.
-
25
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-undang ini merupakan perubahan dari Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-undang ini dibuat lebih rinci dan detail mengikuti
perkembangan
zaman dan sistem peradilan di Indonesia. Mengenai aturan upaya
hukum
peninjauan kembali di dalam undang-undang ini hanya diatur dalam
1 (satu)
pasal saja, yaitu Pasal 24 yang bunyinya:
1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat
hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
2. Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan
peninjauan kembali.
Pembatasan upaya hukum peninjauan kembali di dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ini di
atur
dalam Pasal 24 ayat (2). Pasal ini juga kerap dijadikan bahan
untuk diajukan
uji materil di Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) ini
terkait pembatasan
bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali di
uji dengan
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1),
Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 di dalam
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010. Para pemohon
merupakan para pencari keadilan yang menginginkan peninjauan
kembali
yang adil.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009
tentang Permohonnan Pengajuan Peninjauan Kembali
SEMA ini merupakan surat perintah dan petunjuk khusus yang
dikeluarkan oleh Mahakamah Agung untuk digunakan oleh setiap
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding untuk
melaksanakan aturan
mengenai upaya hukum peninjauan kembali sesuai dengan
undang-undang
yang berlaku. SEMA Nomor 10 Tahun 2009 ini menegaskan bahwa
-
26
lembaga hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar
biasa
yang hanya dapat dilakukan hanya 1 (satu) kali sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan.
Menurut pemantauan Mahkamah Agung, hingga saat ini masih ada
permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama
yang
diajukan lebih dari 1 (satu) kali, sehingga demi kepastian hukum
serta untuk
mencegak penumpukan permohonan peninjauan kembali di
Mahkamah
Agung, maka Mahkamah Agung memenadang perlu memberikan
petunjuk
sebagai berikut:
1. Permohonan Peninjauan Kembali dalam suatu perkara yang
sama
yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara
perdata
maupun perkara pidana dinyatakan bertentangan dengan undang-
undang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan
permohonan
peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua
Pengadilan tingkat pertama dengan mengacu secara analog
kepada
ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang
Mahkamah Agung, agar dengan penetapan ketua pengadilan
tingkat
pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima
dan
berkas perkaranya tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung
2. Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih
putusan
peninjauan kembali yang bertentangan dengan yang lain baik
dalam
perkara perdata maupun pidana, dan diantaranya ada yang
diajukan
peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali
tersebut
diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah
Agung.
Dikeluarkanya SEMA Nomor 10 Tahun 2009 ini menimbulkan
pertentangan dikalangan praktisi hukum. SEMA ini dinyatakan
tidak sesuai
dengan tujuan hukum yaitu keadilan. Pembatasan peninjauan
kembali yang
ditegaskan Mahkamah Agung dalam SEMA ini dirasa hanya
mementingkan
-
27
kepastian hukum dalam hal formil, tetapi mengabaikan inti dari
tujuan
hukum itu sendiri yaitu keadilan.
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan awal dari
permasalahan terkait pembatasan upaya hukum peninjauan kembali,
dimana
para pencari keadilan menginginkan upaya hukum peninjauan
kembali
memberikan hak yang sama bagi para pihak yang berperkara.
Dalam
putusan ini yang mengajukan permohonan adalah para pemohon dari
PT.
Haranggajang yang memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menguji
materiil yang ada para Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
keduanya
memilki frasa membatasi bahwa peninjauan kembali hanya dapat
dilakukan
1 (satu) kali.
Dalam proses uji materill ini terdapat pendapat dan keterangan
dari
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga Legislatif.
Keterangan
DPR terdapat pada bagian C [2.9] dari putusan ini yang
mengatakan:
“Bahwa dengan pengajuan peninjauan kembali yang tidak dibatasi,
justru
dapat menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan dalam
proses
pencarian keadilan. Karena apabila dibuka peluang untuk
pengajuan
peninjauan kembali lebih dari sekali, hal ini melanggar
undang-undang.,
dan juga mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang
yang
tidak berakhir tanpa ujung, yang justru dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan.”21
Dalam putusan ini pernyataan dari pemerintah dan DPR yang
merupakan satu kesatuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
ini
menegaskan dan menyatakan bahwa memang upaya hukum
peninjauan
kembali merupakan upaya hukum yang sifatnya luar biasa, yang
dalam
prosesnya harus dibatasi dan diatur secara jelas dan tegas dalam
peraturan
perundang-undangan yang mengatur agar tercapainya kepastian
hukum
21 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VII/2010, h. 64
-
28
yang adil. Pernyataan tersebut sesuai dengan asas “Litis Finiri
Oportet”
yang artinya setiap perkara harus ada akhirnya. Pernyataan
tersebut juga
sesuai dengan adagium yang menyatakan “Justice Delayed is
Justice
Denied” yang artinya bahwa keadilan yang tertunda-tunda atau di
perlambat
prosesnya merupakan keadilan yang tertolak, atau tidak
benar.
Dalam putusan ini terlihat juga pandangan Mahkamah dan
pemerintah bahwa memang benar Upaya Hukum “Peninjauan
Kembali”
adalah bentuk upaya hukum yang bersifat luar biasa atau
istimewa, yang
penggunaannya pun dilakukan secara selektif dan hanya digunakan
dalam
situasi khusus, karena sudah tidak akan ada upaya hukum lain.
Oleh
karenanya, penggunaannya pun dibatasi dengan syarat khusus yaitu
“(jika)
ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan
atau
kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya” [vide penjelasan
Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman]. Sehingga, upaya hukum “Peninjauan Kembali” ini sudah
tepat
apabila dibatasi hanya dapat diajukan satu kali [vide Pasal 66
ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-Undang Nomor
5
Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang
Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana],
mengingat
harus dipenuhinya azas keadilan hukum dan azas kepastian
hukum.
Bahwa menurut Mahkamah pembatasan permohonan peninjauan
kembali hanya untuk satu kali tidak ada relevansinya dengan
jaminan
persamaan di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pembatasan peninjauan kembali hanya
untuk
satu kali adalah pembatasan yang berlaku umum bagi setiap orang
dan tidak
ada pembedaan antara seseorang dengan seseorang yang lain in
casu
Pemohon. Dari pendapat DPR dan Pemerintah maka disimpulkan
bahwa
permohonan pemohon terkait uji materil pasal yang membatasi
soal
peninjauan kembali tidak beralasan.
-
29
Menurut Mahkamah jika ketentuan permohonan peninjauan
kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi, maka akan
terjadi
ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali
peninjauan
kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan
ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir
yang
justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang harus
memberikan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil
terhadap setiap orang.
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan putusan yang
memeriksa terkait pengajuan uji materiil pasal yang mengatur
terkait
pembatasan peninjauan kembali, namun dalam putusan kali ini
ranah yang
di uji merupakan ranah perkara pidana. Para pemohon yang terdiri
dari
Antasari Azhar, S.H., M.H., Ida Laksmiwaty S.H., Ajeng
Oktarifka
Antasariputri, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji
materiil
Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum
Acara Pidana yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas
suatu
pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.” Pasal tersebut
di
benturkan atau diuji dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang
sama di hadapan hukum.
Menurut pemohon bahwa larangan terhadap peninjauan kembali
untuk kedua kalinya setidak-tidaknya mengabaikan prinsip dan
nilai
keadilan materil, prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi
warga
negara untuk memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang
dengan
hukum responsif dan progresif, sehingga untuk pencarian keadilan
tidak
boleh ada pembatasan. Bahwa hal tersebut menyatakan bahwa
tujuan
utama dari adanya hukum adalah untuk menciptakan keadilan.
-
30
Bahwa dalam doktrin hukum pidana letak keadilan lebih tinggi
daripada kepastian hukum, sehingga apabila harus memilih maka
keadilan
mengeyampingkan kepastian hukum. Dengan demikian pengajuan
Peninjauan Kembali oleh korban atau ahli warisnya dan dapat
diajukan
lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan memperoleh
keadilan
harus diberi peluang walaupun mengeyampingkan kepastian hukum.
Di
sisi lain peninjauan kembali jelas-jelas tidak menghalangi
eksekusi
putusan pidana, sehingga sebenarnya tidak ada relevansinya
dengan
kepastian hukum.
Menurut pemohon bahwa permohonan pengujian undang-undang
ini berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
VIII/2010 dan Nomor 64/PUU-VIII/2010 di mana pengujian
judicial
review ditolak karena bersifat umum karena juga menguji UU
Mahkamah
Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya termasuk
Peninjauan Kembali terhadap perkara perdata . Sementara judicial
review
yang diajukan ini khusus terhadap Peninjauan Kembali pada
Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
menganut pembuktian materil sehingga untuk mendapatkkan
kebenaran
berdasarkan novum tidak boleh hanya dibatasi satu kali
pengajuannya.
Peninjauan Kembali yang diatur dalam KUHAP bersifat lex
spesialis
terhadap peninjauan kembali yang diatur Undang-Undang
Mahkamah
Agung dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Menurut mahkamah, apabila tidak diatur mengenai pembatasan
berapa kali upaya hukum (dalam hal ini peninjauan kembali)
dapat
dilakukan maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian
hukum
sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan yang
mengakibatkan penanganan perkara tidak pernah selesai. Selain
itu juga
dapat membuat menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan
itu
sendiri hingga jangka waktu yang tidak dapat ditentukan
mengingat
potensi akan timbulnya fakta hukum baru (novum) yang bisa
mengubah
putusan Peninjauan Kembali yang telah ada sebelumnya. Selain
itu, sistem
-
31
peradilan pidana (criminal justice system) yang adil akan
menjadi sistem
peradilan pidana yang berkepanjangan, melelahkan, serta
kepastian hukum
dan keadilan hukum juga tidak akan kunjung diperoleh.
Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum atas penyelesaian suatu perkara, sehingga seseorang tidak
dengan
mudahnya melakukan upaya hukum peninjauan kembali secara
berulang-
ulang. Lagi pula, pembatasan tersebut sejalan dengan proses
peradilan
yang menghendaki diterapkannya asas sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya proses
peradilan
berkepanjangan dan mengakibatkan berlarut larutnya pula
upaya
memperoleh 81 (delapan puluh satu) keadilan yang pada akhirnya
justru
dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri
sebagaimana dilukiskan dalam adagium "justice delayed justice
denied."
Mahkamah berpendapat bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat
asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada
akhirnya, namun
menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum,
sedangkan
untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara
detail dapat
diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali
satu
kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru
(novum). Hal
itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu
dijunjung tinggi
oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum
dan
keadilan.
Dalam hal ini mahkamah menyatakan menerima dan
mengabulkan permohonan pemohon terkait pembatasan peninjauan
kembali dalam perkara pidana. Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa
terdapat inkonstitusional dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP dan
menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam perkara pidana
boleh
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.22 Dasar pertimbangan
Mahkamah
Konstitusi dalam memutus perkara tersebut karena pasal 28J ayat
(2)
22 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34?PUU-XI/2013 Tentang
Pengujian
Undang-undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 89
-
32
UUD 1945 tidak dapat membatasi aturan dalam peninjauan kembali
hanya
satu kali. Hal tersebut dikarenakan upaya hukum pengajuan
peninjauan
kembali dalam perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi
manusia
yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan
kehidupan
manusia.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan pertimbanganya dalam
putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, bahwa upaya hukum peninjauan
kembali
untuk perkara diluar pidana, termasuk perkara perdata tetap
perlu dibatasi
hanya 1 (satu) kali. Hal tersebut berdasarkan pendapat
Mahkamah
Konstitusi dari Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Putusan
Mahkamah
Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010, karena dalam perkara perdata
yang
dikejar adalah kebenaran formil bukan kebenaran materil seperti
perkara
pidana.
B. Kerangka Teoritis
1. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab
secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara
normatif
adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara
pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan
keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi
suatu
sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan
atau
menimbulkan konflik norma yang dapat menyebabkan kekacauan
tatanan
hukum . Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian
aturan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Hal itu
dapat menyebabkan penyelesaian sengketa atau permasalahan
dalam
hukum menjadi terhambat dan dapat mengakibatkan tidak
tegaknya
keadilan itu sendiri di dalam suati hukum.
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das
sollen
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
-
33
dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
disepakati
dengan konsultasi bersama deliberative. Undang-undang yang
berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
untuk
dapat bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan
sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat.
Adanya
aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan
kepastian
hukum.23
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu
dapat mengetahu apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh
negara terhadap individu.
Kepastian hukum berangkat dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme di dunia hukum
yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang
mandiri,
karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain
sekedar
menjamin terwujudnya keadilan oleh hukum yang bersifat umum.
Sifat
umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak
bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan
semata-mata untuk kepastian.24
Upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang
luar biasa, yang dalam penegakkanya adalah dalam tingkat yang
paling
akhir dan harus bersifat pasti. Kepastian hukum harus diteggakan
dalam
penerapan hukum. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang
harus
diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Ketiga
unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian
secara
23 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2008),
h. 58 24 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,
(Bandung: Citra Aditya,
1999), h. 23
-
34
proporsional seimbang. Dalam prakteknya tidak selalu mudah
mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara
ketiga
unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang
harus
diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan akibat ketidakjelasan
dalam
suati perkara kapan akan berakhir.
2. Teori Kebenaran Hukum
Kebenaran hukum adalah suatu kenyataan yang terjadi dalam
suatu
peristiwa hukum. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum
acara
pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materil,
yaitu
kebenaran yang sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Hakim
perkara
pidana dalam mencari kebenaran materiil maka membutuhkan
peristiwa
hukumnya harus terbukti (beyond reasonable doubt).25
Dalam pembuktian hukum acara perdata adalah bertujuan untuk
mencari kebenaran formil (formeel waarbeid). Dalam perkara
perdata
hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para
pihak
yang berperkara atau hakim bersifat pasif. Jadi harkim untuk
mencapai
kebenaran formil cukup membuktian dengan bukti yang dominan
(preponderance of evidence).26 Dalam penegakkan hukum formil
proses
penegakkan hukumnya tidak boleh berlarut-larut.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Setelah peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian
terdahulu
terdapat beberapa kajian yang berkaitan dengan penelitian yang
ini yaitu:
1. Skripsi yang disusun oleh Asriandi.27 Perbedaan Peneliti
membahas
tentang putusan Peninjauan Kembali yang diajukan terhadap
putusan
25 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Rangkang
Education, 2013), h. 241 26 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata
Edisi ke 2, (Jakarta: Literata, 2010), h.
55 27 Asriandi, “Kepastian Hukum Peninjauan Kembali Pasca
Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Dan Surat edaran Mahkamah Agung
Nomor 7
Tahun 2014 Di Pengadilan Negeri Makassar”(Makassar: Skripsi
Universitas Islam
Negeri Makassar, 2017, h. 3
-
35
Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dan dikaitkan
dengan
peraturan perundang-undangan. Persamaan yang terdapat antara
peneliti
dan Asriandi ialah terkait tentang upaya hukum luar biasa
Peninjauan
Kembali dalam esensi kepastian hukum
2. Skripsi yang disusun oleh Gardanusa.28 Perbedaan Peneliti
membahas
tentang putusan Peninjauan Kembali yang diajukan terhadap
putusan
Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dan dikaitkan
dengan
peraturan perundang-undangan. Persamaan yang terdapat antara
peneliti
dan Gardanusa adalah terkait tentang upaya hukum luar biasa
Peninjauan
Kembali dalam esensi kepastian hukum.
3. Jurnal Mimbar Hukum/Volume 29/Nomor 2/Juni 2017/Halaman
189-
204. 29 Perbedaan dengan skripsi ini adalah, peneliti membahas
mengenai
upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perdata yang
harus
dibatasi berdasarkan kepastian hukum sedangkan dalam jurnal
ini
membahas mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali dalam
perkara
perdata yang menurut keadilan dapat dilakukan lebih dari satu
kali.
Persamaan yang terkandung dalam penelitian kali ini terdapat
dalam
objek pembahasan yang sama yaitu upaya hukum Peninjauan
Kembali
dalam perkara perdata.
28 Gardanusa, “Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan
Kembali DIdalam Perkara Pidana (Studi Kasus: Djoko Soegiarto
Tjandra)”, (Depok: Skripsi Mahasiswa Universitas Indonesia, 2013,
h. 4
29 Swantoro Herri, Efa Laela Fakhrihah, Isis Ikhwansyah,
“Permohonan Upaya
Hukum peninjauan Kembali Kedua Kali Berbasis Keadilan dan
Kepastian Hukum”.
(Mimbar Hukum, Vol. 29, No. 2, Juni 2017, h. 189
-
36
BAB III
DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018
A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 629/PK/Pdt/2015
Putusan Mahkamah Agung ini adalah putusan peninjauan kembali
yang
pertama dalam perkara sengketa tanah antara ahli waris melawan
PT. Suzuki
Indomobil, yang mana isinya adalah memeriksa perkara perdata
dalam
peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut dalam
perkara dengan
para pihaknya yaitu NY. MINTJE SARTJE MALEKE, NY. HERMI
VEIBE
SIWY, NY. HETTY SIWY, NY. HELLY DEBBY DESSY SIWY, dan
TUAN HARRY YOPPY SIWY. Semuanya bertempat tinggal di Jalan Jaga
1,
Desa Penasen, Kecamatan Kakas, Kabupaten Minahasa, Sulawesi
Utara,
merupakan Para Ahli Waris Sah dari Almarhum Herman Siwy; Dalam
hal ini
memberi kuasa kepada Syarif Fadillah, S.H., M.H dan kawan-kawan
Para
Advokat pada kantor Hukum Syarif Fadillah & Partners,
beralamat di Jalan
Raya Jatiwaringin Nomor 12, Pondok Gede, Kota Bekasi,
berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 7 Maret 2015, Para Pemohon Peninjauan
Kembali
dahulu Para Termohon Kasasi/Para Tergugat/Para Pembanding,
melawan PT
SUZUKI INDOMOBIL MOTOR dahulu PT INDOMOBIL SUZUKI
INTERNATIONAL, berkedudukan di Jakarta, beralamat kantor di
Jalan MT.
Haryono Kav. 8 Jakarta Timur, yang dalam hal ini diwakili oleh
Shuji Oishi
selaku Presiden Direktur PT Suzuki Indomobil Motor dahulu PT
Indomobil
Suzuki International, memberi kuasa kepada Dr. Otto Hasibuan,
S.H. M.M.,
dan kawankawan, Para Advokat pada kantor Advokat Otto Hasibuan
&
Associates, beralamat di Komplek Duta Merlin Blok B-30, Jalan
Gajah Mada
Nomor 3-5, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal
8 Juni
2015 Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/
Penggugat/Terbanding dan BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA Cq. KANTOR PERTANAHAN WILAYAH DKI
-
37
JAKARTA Cq. KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA JAKARTA
SELATAN, beralamat di Jalan Prapanca Raya Nomor 9 Jakarta
Turut
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Turut Termohon
Kasasi/Turut
Tergugat/Turut Terbanding.
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata Para
Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Para Termohon Kasasi/Para
Tergugat/Para Pembanding telah mengajukan permohonan
peninjauan
kembali terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 2111
K/Pdt/2013
tanggal 12 Desember 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap,
dalam
perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu
sebagai
Pemohon Kasasi/Penggugat/ Terbanding dan Turut Termohon
Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Turut Termohon Kasasi/Turut
Tergugat/Turut
Terbanding dengan posita gugatan sebagai berikut:
1. Bahwa gugatan ini diajukan oleh Penggugat dalam kepentingan
hukum
guna mempertahankan hak keperdataan Penggugat atas tanah
yang
diperoleh dan atau dikuasai sah secara hukum oleh Penggugat
yaitu atas
tanah seluas 3.880 m2 yang terletak di Jalan MT. Haryono Kavling
20,
Kecamatan Tebet, Kotamadya Jakarta Selatan, dengan batas-batas
tanah
sebagai berikut; sebelah Utara: Jalan Tebet Barat Dalam X,
Sebelah
Selatan: Jalan MT. Haryono, Sebelah Timur: Tanah Negara,
Sebelah
Barat: Tanah Milik PT Bank Mandiri, Tbk, sebagaimana dahulu
termasuk
pada Tanda Bukti Hak yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan
Nomor
3296/Tebet Barat, tertanggal 25 Oktober 2005 (selanjutnya
disebut “tanah
objek sengketa”).
2. Bahwa yang menjadi dasar hukum Penggugat memperoleh hak atas
tanah
objek sengketa tersebut adalah berasal dari transaksi jual-beli
tanah yang
dilakukan antara Penggugat selaku Pembeli dengan PT Satria
Dian
Kencana selaku Penjual pada tanggal 13 Desember 2004,
sebagaimana
dibuktikan berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 218/2004, tertanggal
13
Desember 2004, yang dibuat oleh Penjabat Pembuat Akta Tanah
Bray
Mahyastoeti Notonegoro, S.H., di Kotamadya Jakarta Selatan
yang
-
38
manaperalihan hak atas tanah objek sengketa telah turut serta
didaftarkan
peralihannya di Kantor Pertahanan Kotamadya Jakarta Selatan
pada
tanggal 21 Februari 2005.
3. Bahwa setelah hak atas tanah objek sengketa tersebut beralih
sah secara
hukum kepada Penggugat, selanjutnya Penggugat mengajukan
permohonan hak atas tanah objek sengketa yaitu Hak Guna
Bangunan
Kepada Turut Tergugat, dan melalui Surat Keputusan Kepala
Kantor
Wilayah BPN DKI Jakarta Nomor: 086/51-550.2-09.02-2005
tertanggal
11 Oktober 2005, Penggugat diberikan hak guna bangunan di atas
tanah
objek sengketa sebagaimana berdasarkan Sertifikat Hak Guna
Bangunan
Nomor 3296/Tebet Barat, yang dikeluarkan oleh Kantor
Pertanahan
Kotamadya Jakarta Selatan tertanggal 25 Oktober 2005.
4. Bahwa kemudian dalam perkembangannya, hak atas tanah objek
sengketa
yakni hak guna bangunan yang dipegang/diperoleh sah secara hukum
oleh
Penggugat termaksud pada butir 3 di atas, terancam
keberadaannya, akibat
adanya klaim/tuntutan yang dilakukan oleh (almarhum) Herman
Siwy
selaku Pewaris dari Para Tergugat (selanjutnya disebut “Pewaris
Para
Tergugat”) terhadap tanah objek sengketa dengan menggunakan
dasar
Akta Hibah Nomor 1 tertanggal 2 September 1996, yang terbuat
dihadapan
Tieneke Y.J. Mewengkang, S.H, Notaris di Tondano (selanjutnya
disebut
“Akta Hibah’’).
5. Bahwa kemudian dalam perkembangannya, hak atas tanah objek
sengketa
yakni hak guna bangunan yang dipegang/diperoleh sah secara hukum
oleh
Penggugat yaitu PT. Suzuki Indomobil termaksud pada butir 3 di
atas,
terancam keberadaannya, akibat adanya klaim/tuntutan yang
dilakukan
oleh (almarhum) Herman Siwy selaku Pewaris dari Para
Tergugat
(selanjutnya disebut “Pewaris Para Tergugat”) terhadap tanah
objek
sengketa di wilayah Tebet Jakarta Selatan dengan menggunakan
dasar
Akta Hibah Nomor 1 tertanggal 2 September 1996, yang terbuat
dihadapan
Tieneke Y.J. Mewengkang, S.H, Notaris di Tondano Sulawesi
(selanjutnya disebut “Akta Hibah’’).
-
39
6. Bahwa sebelum meninggal dunia, Pewaris Para Tergugat
mengklaim/menuntut bahwa tanah objek sengketa yang telah
diperoleh/dipegang hak atas tanahnya oleh Penggugat adalah
merupakan
tanah milik dari Pewaris Para Tergugat yang diperolehnya dari
Ny.
Annatje Magdalena Rombot selaku orang tua/ibu dari Pewaris
Para
Tergugat dengan berdasarkan akta hibah. Tuntutan/klaim termasuk
terlihat
secara nyata pada tanggal 26 November 2006, Pewaris Para
Tergugat telah
mengajukan permohonan kepada Turut Tergugatuntuk
diterbitkannya
sertifikat hak guna bangunan di atas bidang tanah kavling 19 dan
Kavling
20, yang terletak di Jalan MT. Haryono, Kelurahan Tebet
Barat,
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan yang dalam hal tersebut juga
termasuk
tanah objek sengketa (Tanah Kav. 20) milik Penggugat.
Bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 629/PK/Pdt/2015 ini
menghasilkan amar putusan yang hasilnya menyatakan bahwa
Mengabulkan
permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan
Kembali: 1.
NY. MINTJE SARTJE MALEKE, NY. HERMI VEIBE SIWY, NY. HETTY
SIWY, NY. HELLY DEBBY DESSY SIWY dan TUAN HARRY YOPPY
SIWY tersebut dan Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
2111
K/Pdt/2013 tanggal 12 Desember 2013.
Berdasarkan amar putusan PK tersebut dapat disimpulkan bahwa
Mahkamah Agung menerima permohonan upaya hukum peninjauan
kembali
dari para ahli waris dan menyatakan bahwa ha katas tanah adalah
milik para
ahli waris berdasarkan bukti baru (novum) berupa akta hibah
nomor 1 tanggal
2 September 1996, dan membatalkan putusan Kasasi yang
memenangkan PT.
Suzuki Indomobil atas hak tanah objek sengketa.
B. Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018
Putusan Mahkamah Agung ini merupakan putusan peninjauan
kembali
yang kedua dalam kasus sen