Referat
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS
(CHRONIC KIDNEY DISEASE)
Oleh:
Irfan Prasetya Yoga G0006012
Hanifah Quatly A. G0006197
Nita Damayanti S. G0007015
Ariesia Dewi C. G0007042
Pembimbing
dr. Agung Susanto, SpPD
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dapat menjadi sebab maupun akibat dari penyakit ginjal kronik
(Chronic Kidney Disease/ CKD). Kejadian CKD menjadi ESRD (End Stage Renal
Disease) dapat dipicu oleh hipertensi, yang merupakan faktor penyebab kedua
terbanyak pemicu progresifitas CKD setelah nefropati diabetika.1
Angka kejadian hipertensi pada CKD berkisar 4,5-5% dari populasi total
penderita hipertensi, dan 84-92% dari total populasi penderita CKD. Hipertensi dapat
mempercepat progresifitas dari CKD melalui peningkatan ekskresi protein akibat dari
tingginya tekanan darah sistolik. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan
mengobati hipertensi pada CKD, dapat menghambat laju penurunan GFR pada CKD.
Perubahan eGFR (estimated Glomerulus Filtration Rate) dan albuminuria secara
independen merupakan faktor prediksi yang kuat terhadap progresifitas CKD. Ritz
menunjukkan dari 69000 subjek yang diperiksa, 4,7% adalah CKD dengan stage 3-4
(eGFR 15-59ml/menit), dan 69,4% dari populasi sampel telah berproses menjadi
ESRD.2,3
Obat antihipertensi golongan penghambat sistem renin angiotensin mempunyai
mekanisme khusus dalam menurunkan tekanan darah sistemik serta tekanan
intraglomerular. Adanya penghambatan laju penurunan GFR diharapkan dapat efektif
menghambat progresifitas CKD. ACEI (Angiotensin Converting Enzim Inhibtor) dan
ARB (Angiotensin Receptor Blokers) merupakan obat antihipertensi yang dapat
menghambat aktivasi A II (Angiotensin II) pada peredaran darah sistemik dan
peredaran darah pada ginjal serta organ-organ lain.4
Pedoman penanganan hipertensi pada CKD (K-DOQI, K-DIGO, JNC-7, ESH
2007) telah memfokuskan penanganan pada pencegahan progresifitas CKD dan
pencegahan komplikasi kardiovaskuler, serta merekomendasikan obat pilihan pertama
2
dalam penanganan hipertensi pada CKD berupa ACEI dan ARB. Pertimbangan obat
awal berupa kombinasi ACEI dan ARB dengan thiazide pada stage CKD awal, dan
dengan loop diuretika pada stage CKD yang lebih lanjut. Bahkan pada stage lanjut
dapat digunakan sampai 4 macam obat antihipertensi termasuk ACEI dan ARB.
Pengukuran tekanan darah yang paling baik dan mempunyai prediksi terhadap
progresifitas CKD adalah pengukuran tekaan darah 24 jam.5,6
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mekanisme progresifitas penurunan fungsi ginjal pada hipertensi, antara
lain:
1. Mekanisme autoregulasi tekanan glomerulus terganggu pada CKD, sehingga
tingginya tekanan darah sistemik diteruskan/ditransfer ke kapiler glomerulus
menyebabkan tekanan intraglomeruler meningkat.
2. Meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler glomerulus akan meningkatkan
filtrasi protein (terjadi albuminuria) dan disfungsi endotel, menyebabkan
pelepasan sitokin dan mediator inflamasi yang akan menginduksi perubahan
ginjal normal menjadi fibrosis ginjal.
3. Faktor non hemodinamik pada hipertensi terhadap progresifitas penurunan
fungsi ginjal (eGFR)
a. Aktifasi sistem rennin-angiotensin–aldosteron, tidak hanya terjadi
peningkatan tekanan darah tetapi juga menginduksi proliferasi seluler,
inflamasi dan akumulasi matriks pada glomerulus, intertisiel, vaskuler
sistemik, serta peningkatan tekanan intraglomerular.
b. Aktifasi simpatik
c. Ekspansi volume, sebagai pengaruh a dan b.1,2
B. Hipertensi pada CKD
1. Hipertensi sebagai akibat CKD
Prevalensi hipertensi meningkat bila fungsi ginjal makin turun, prevalensi
bervariasi berdasar penyakit ginjal yang mendasari, baik primer; pasien dengan
stenosis atau oklusi arteri renal atau sekunder : nefropati diabetik.6,7
2. Hipertensi sebagai faktor risiko CKD
4
Menurut penelitian oleh Klag,dkk yang meneliti tingginya tekanan
darah sistolik dan diastolik dengan hubungan terjadi CKD, adanya hubungan
korelasi yang positif antara hipertensi dengan ESRD . Nampak bahwa tekanan
darah > 210/120 mmHg mempunyai risiko 22 kali terjadinya ESRD dari
tekanan darah < 120/80 mmHg. Pada hipertensi stage I risiko ESRD 3 kali dari
tekanan darah 120/80 mmHg. Klag menyatakan bahwa peningkatan tekanan
darah sistol lebih sebagai prediktor yang kuat progresi CKD daripada
peningkatan tekanan darah diastolik. Hipertensi sistemik menyebabkan
aterosklerosis pada arteri renalis, nefrosklerosis pada glomerulus atau
atheroembolic disease serta injury pada ginjal (glomerulus). Tekanan darah
yang tidak terkontrol akan mempercepat penurunan fungsi ginjal. Beberapa
bukti penelitian menujukkan bahwa penurunan tekanan darah pada nilai normal
(optimal) sangat penting untuk mencegah progresifitas CKD.1,4
C. Pengendalian tekanan darah sistemik dan tekanan hidrostatik kapiler
glomerulus
Anatomi vaskuler glomerulus tersusun menjadi suatu rangkaian arteriole
aferen (RA) dan arteriole eferen (RE). Tekanan glomerulus ditentukan oleh 3
faktor : MAP (Mean Arterial Pressure) atau tekanan perfusi dan resistensi
relatif dari RA dan RE. Respon pertama dari peningkatan MAP adalah
meningkatkan RA untuk mencegah transmisi dari peningkatan tekanan
sistemik ke kapiler glomerulus. RE biasanya turun, hal ini untuk mengurangi
tekanan pada glomerulus, sehinga dapat membantu membatasi dari peningkatan
PGC (glomerular capillary hydraulic pressure) dan menjaga aliran plasma
ginjal tetap konstan. Sifat dari sirkulasi ginjal tersebut merupakan mekanisme
autoregulasi. Pada pasien dengan CKD, terjadi kegagalan pada mekanisme
autoregulasi tersebut. Untuk menkompensasi dari sebagian fungsi ginjal yang
telah rusak, glomerulus yang masih sehat melakukan perubahan adaptasi
5
dengan tujuan meningkatkan laju filtrasi. Perubahan yang terjadi antara lain
dengan menurunkan resistensi dari RA dan RE. Pada peningkatan tekanan
perfusi atau MAP, tekanan tersebut akan diteruskan secara langsung ke kapiler
glomerulus sehingga menghasilkan hipertensi kapiler glomerulus, peningkatan
filtrasi protein dan menyebabkan terjadi injury dari kapiler tersebut. atau pada
pemberian obat anti hipertensi yang mempunyai efek dilatasi arteriole
afferent.8,9
a. Normal
Terdapat
Gambar 1. Mekanisme autoregulasi kapiler glomerulus pada single glomerulus dari
ginjal normal. 10
6
b. CKD
Gambar 2. Mekanisme autoregulasi kapiler glomerulus pada single glomerulus dari
CKD . 10
Hubungan antara perubahan PGC dan jumlah glomerulus yang mengalami
sklerosis setelah mendapat terapi obat antihipertensi didapatkan korelasi yang
signifikan antara besarnya penurunan PGC dengan berkurangnya injury
glomerulus.10
Selain dengan menurunkan RA dan RE, terdapat mekanisme adaptasi yang lain
dari ginjal yaitu dengan hipertrofi ginjal. Hipertrofi ini juga menyebabkan
peningkatan dari tekanan kapiler glomerulus dan sebagai kompensasi dari
pembesaran ginjal ini adalah dengan meningkatnya radius dari kapiler glomerulus.
Sesuai dengan hukum Laplace, tegangan dinding dari pembuluh darah sebanding
7
dengan radius dari pembuluh darah serta tekanan darahnya. Capillary wall tension
yang meningkat menyebabkan glomerular capillary injury.
Gambar 3. Hipotesis tegangan dinding pembuluh darah 4
D. Hipertensi: berperan pada progresi CKD (nefrosklerosis) menuju ESRD
Glomerular pressure berkolerasi dengan glomerular injury. Kerusakan nefron
(penurunan fungsi ginjal) pada hipertensi melalui suatu proses yang akan berlanjut
menjadi ESRD. Proses tersebut antara lain adalah penurunan resistensi pre-
glomerular (arteriol afferent), menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler glomerulus (PGC), renal plasma flow dan GFR. Hipertensi intraglomerilar
diidentifikasi sebagai perubahan hemodimanik intraglomerular yang erat kaitannya
dengan perkembangan sklerosis glomerulus dan CKD progresif. Hubungan
langsung antara tekanan intraglomerulus dan sklerosis glomerulus, nampak pada
ilustrasi gambar 4 yang menunjukkan bahwa tercapainya penurunan PGC diikuti
dengan penurunan jumlah % injury glomerulus. Efek proteksi hanya terjadi bila
penurunan PGC > 6 mmHg. Hubungan antara tekanan darah sistemik dan tekanan
8
hidrostatik kapiler glomerulus sangat kompleks dan merupakan implikasi terapi
dan progresi CKD.11,12
Gambar 4. Korelasi tekanan gromerular dengan gromelorus injury11
E. Hipertensi dan perubahan mikrosirkulasi ginjal serta inflamasi
9
Gambar 5. Hubungan hipertensi dan kerusakan ginjal12
Secara teoritis hubungan hipertensi sistemik dan glomerulus terhadap
progresifitas CKD nampak pada gambar 5. Peningkatan tekanan intra glomerular
akan berakibat filtrasi protein meningkat dan kerusakan kapiler glomerulus,
keduanya akan menyebabkan pelepasan sitokin sebagai mediator aktifasi proses
inflamasi dan growth factor sera produksi dan degradasi matriks yang abnormal,
serta apoptosis sel ginjal. Perubahan fungsi seluler ini akan merangsang akumulasi
matriks dan kematian sel glomerulus dan sel tubulus, sehingga berubahan dari
jaringan ginjal normal menjadi fibrosis.
Hal yang penting pada proses ini adalah aktivasi dari sistem renin angiotensin-
aldosteron melalui hormone efektor A II (angiotensin II), tidak hanya terhadap
peningkatan tekanan darah sistemik dan tekanan intraglomerular tetapi juga efek
langsung menyebabkan injury pada kapiler glomerulus sebagai barier filtrasi
makromolekul dan stimulasi faktor yang merangsang growth factor dan akumulasi
matriks.13
F. Peran dari sistem renin-angiotensin-aldosteron pada progresifitas CKD
a. Efek perubahan hemodinamik
Sistem renin-angiotensin-aldosteron sebagai kunci progresi dari CKD,
baik melalui mekanisme hemodinamik ataupun melalui mekanisme non-
hemodinamik. Peningkatan aktivasi RAA pada CKD, merubah seting terhadap
respon peningkatan tekanan darah sistemik yang berakibat volume overload,
sehingga terjadi hipertensi sistemik. RAAS selain meningkatkan resistensi
sistemik dan MAP, juga mempunyai efek langsung pada tingkat mikrosirkulasi
dengan meningkatkan tekanan hidrostastik kapiler glomerulus. Respon
vasokonstriksi terhadap A II lebih dominan pada post-glomerular, hal ini
mengakibatkan tekanan intra-glomerular meningkat. Fenomena yang terjadi ini
sesuai dengan proses dari progresi CKD, berupa efek perubahan hemodinamik
10
pada glomerulus. Obat antihipertensi golongan penghambat RAAS mempunyai
efek yang lebih baik dalam menurunkan resistensi arteriole eferen dan
selanjutnya menurunkan tekanan glomerulus dan mengurangi injury
glomerulus.14
Gambar 6. Peranan A II dalam menginduksi progresivitas gagal ginjal 6
b. Cellular pathway
Proses progresi CKD akibat terjadinya perubahan fenotipe dari sel ginjal,
Fungsi sel ginjal berubah, terjadi profilerasi dari mesangial glomerulus, fibrosis
interstial, stimulasi apoptosis yang meningkatkan kematian sel, meningkatnya
produksi matriks, menurunnya degradasi matriks sehingga terjadi fibrosis
ginjal. Sebagai inti dari progresi CKD ini adalah meningkatnya produksi sitokin
dan growth factor sebagai respon aktivasi dari RAAS.
Faktor prediksi progresi CKD menjadi ESRD
1. Tekanan darah, terutama tingginya tekanan darah sistolik
2. eGFR
3. Proteinuria, albuminuria
Mencegah progresi CKD :
1. Kontrol tekanan darah sesuai target, dengan pilihan obat antihipertensi
golongan:
ACE-1, ARB, atau kombinasi ACE-I dan ARB, CCB non DHP, diuretika.
11
2. Menurunkan proteinuria/albuminuria
3. Diet rendah protein, diet rendah garam
4. Diet rendah fosfat
5. Kontrol glikemik dengan kadar HbA1c < 7 %
Target penurunan tekanan darah :
1. Hipertensi non diabetik dan CKD : tekanan darah < 140/90 mmHg
(JNC-7)
2. Diabetes mellitus : tekanan darah <130/80 mmHg
(ADA, JNC-7)
3. CKD : tekanan darah <130/80 mmHg
(KDOQI, JNC-7)
4. Ekskresi protein > 1gr/hari : tekanan darah < 125/75 mmHg
(NKF)
5. Mencegah progresif CKD : <120/80 mmHg
G. Antihipertensi rasional pada CKD
Semua obat antihipertensi mampu menurunkan PGC bila tekanan darah turun
mencapai tekanan optimal yang dapat memberikan preservasi ginjal. Obat
golongan penghambat sistem renin angiotensin aldosteron (ACE-inhibitor, ARB)
mempunyai nilai lebih dalam mencegah progresi CKD karena mempunyai efek
renoprotektor. Beberapa penelitian memperlukan lebih dari 1 macam obat untuk
mencapai tekanan darah optimal.
Tujuan terapi hipertensi pada CKD antara lain :
1. Mempertahankan/ preserve fungsi ginjal : mempertahankan GFR dan
mengurangi ekskresi protein.
2. Menurunkan tekanan darah secara agresif
3. Menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada CKD.
12
Terapi hipertensi pada CKD non diabetik dan CKD diabetik, level turunnya
tekanan darah sistolik dan level proteinuria dipakai sebagai diagnosis dan
prognosis progresifitas dan komplikasi CVD pada CKD.13,14
1. Hipertensi CKD non diabetik
a. Tekanan darah dianjurkan mencapai < 130/80 mmHg
b. CKD non diabetik dengan pemeriksaan urine dimana nilai rasio total
protein/kreatinin > 200 mg/g dengan atau tanpa hipertensi dianjurkan
diterapi dengan ACE-I atau ARB
2. Hipertensi CKD dengan diabetes
a. Target tekanan darah < 130/80 mmHg
b. CKD diabetes stage 1-4 : ARB atau ACE-I, bila diperlukan dikombinasi
dengan diuretika.
Rekomendasi penatalaksanaan hipertensi pemilihan obat anti hipertensi pada CKD
13
NKF-K/DOQI (2004), JNC-7 (2003), ADA (2004)
Clinical assessment of
Kidney disease
Blood
Pressure
Target
Preffered Agents
for CKD, with (or
without)
Hypertension
Other agent to reduced
CVD risk, target BP
Blood pressure >
130/80 mmHg and spot
urine total protein to
creatinin ratio > 200
mg/g
< 130/80 ACE Inhibitor or
ARB
Diuretik preffered then
BB or CCB
Blood pressure >
130/80 mmHg and spot
urine total protein to
craetinin ratio < 200
mg/g
< 130/80 No prefered Diuretik, BB or CCB
Blood pressure <
130/80 mmHg and spot
urine total protein to
craetinin ratio > 200
mg/g
130/80 ACE Inhibitor or
ARB
Diuretik preffered then
BB or CCB
Kidney disease in the
transplant recipient
< 130/80 None preferred CCB, diuretik, BB,
ACE-I, ARB
14
Gambar 7. Manajemen hipertensi pada CKD16
H. Pembahasan masing-masing kelas obat antihipertesi pada CKD
1. ACE Inhibitor
ACEI merupakan terapi lini pertama pada pasien dengan CKD dan
merupakan terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan
hipertensi. ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang
sekresi aldosteron.2,5
15
Gambar 8. Sistem renin-angiotensin dan system kallikrein-kinin
ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-
zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan
prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan
darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk
kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif
mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi
perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial.3.7
Beberapa studi menunjukkan kalau ACEI mungkin lebih efektif dalam
menurunkan risiko kardiovaskular dari pada obat antihipertensi lainnya. Pada
DM tipe 2, dua studi menunjukkan kalau ACEI superior daripada CCB.
ACEI menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung dan memperlambat progress penyakit ginjal kronis. Golongan ACEI
harus digunakan sebagai pengobatan lini pertama dalam terapi pada pasien-
pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi absolut. Selain terapi dengan
penyekat beta, bukti menunjukkan kalau ACEI lebih jauh menurunkan risiko
kardiovaskular pada angina stabil kronis (EUROPA) dan pada pasien-pasien
pasca infark miokard (HOPE). Data dari PROGRESS menunjukkan
16
berkurangnya risiko stroke yang kedua dengan kombinasi ACEI dan diuretik
tiazid.1
ACEI dapat di toleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien tetapi tetap
mempunyai efek samping. ACEI mengurangi aldosteron dan dapat menaikkan
kosentrasi kalium serum. Biasanya kenaikkannya sedikit, tetapi hiperkalemia
dapat terjadi. Terlihat terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, atau
diabetes melitus dan pada pasien yang juga mendapat ARB, NSAID, supplemen
kalium, atau diuretik penahan kalium. Monitoring serum kalium dan kreatinin
dalam waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikkan dosis ACEI
sering dapat mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi
yang serius.4,5
Batuk kering yang persisten terlihat pada 20% pasien; dapat dijelaskan
secara farmakologi karena ACEI menghambat penguraian dari bradikinin.
Batuk yang disebabkan tidak menimbulkan penyakit tetapi sangat menganggu
ke pasien. Bila ACEI diindikasikan untuk indikasi khusus gagal jantung,
diabetes, atau penyakit ginjal kronis; pada pasien-pasien dengan batuk kering,
ACEI diganti dengan ARB. ACEI merupakan kontraindikasi absolut untuk
perempuan hamil dan pasien dengan riwayat angioedema. ACEI harus dimulai
dengan dosis rendah terutama pada pasien dengan deplesi natrium dan volume,
eksaserbasi gagal jantung, lansia, dan yang juga mendapat vasodilator dan
diuretik karena hipotensi akut dapat terjadi. Penting untuk memulai dengan ½
dosis normal untuk pasien-pasien diatas dan dosis dinaikkan pelan-pelan.13,15
2. Diuretik
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk
kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk
mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan.
Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop,
agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium
17
adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan
efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya
diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat
pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap
lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton).
Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti
mendukung indikasi khusus.7,8
Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid
paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang,
diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi
sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal minum diuretik
harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari untuk
meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis,
diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang
menyebabkan diuresis yang nyata. Perbedaan farmakokinetik yang penting
dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama efek diuretiknya.
Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu paruh dari
kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja
hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama
dengan mekanisme extrarenal. Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan
darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain.
Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah
ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan.11,14
Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia,
hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi
seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek
pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang
dapat terjadi hipokalsemia. Studi jangka pendek menunjukkan kalau
indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi seksual.
18
Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek
samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT
100mg/hari). Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone
12.5 – 25 mg/hari, dimana efek samping metabolik akan sangat berkurang.14,15
Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang
menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat
bermasalah terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron yang terbaru.
Karena sangat selektif antagonis aldosteron, kemampuannya menyebabkan
hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium lainnya, bahkan spironolakton.
Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan
gynecomastia pada ±10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang
terjadi.14,15
3. Angiotensin Reseptor Blocker
Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim:
RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan
jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEI hanya
menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, dimana
ARB menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaam
ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II. 16
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1
(AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada
manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan
hormone antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak
memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang
menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan,
dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Studi
19
menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target
jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus
lainnya. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar,berarti menaikkan
dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah
yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi
antihipertensi dari ARB.8,9
Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup
panjang untuk pemberian 1 x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan
mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari
agar efektif menurunkan tekanan darah. ARB mempunyai efek samping paling
rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak
mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI.
Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,
hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya
sama dengan pada penggunaan ACEI. 13,14
4. Penyekat Beta
Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk hipertensi.
Beberapa studi telah menunjukkan berkurangnya risiko kardiovaskular apabila
penyekat beta digunakan pasca infark miokard, pada sindroma koroner akut,
atau pada angina stabil kronis. Walaupun pernah dikontraindikasikan pada
penyakit gagal jantung, banyak studi telah menunjukkan kalau karvedilol dan
metoprolol suksinat menurunkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung
sistolik yang sedang diobati dengan diuretik dan ACEI. Atenolol digunakan
pada DM tipe 2 pada studi UKPDS dan menunjukkan efek yang sebanding,
walaupun tidak lebih baik dalam menurunkan risiko kardiovaskular
dibandingkan dengan captopril. Ada perbedaan farmakodinamik dan
farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada, tetapi menurunkan tekanan
darah hampir sama.10.12
20
Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari penyekat beta yang
membedakan golongan ini yaitu efek:
• Kardioselektif (cardioselektivity)
• ISA (intrinsic sympathomimetic activity)
• Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)
Penyekat beta yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap
reseptor beta-1 dari pada reseptor beta-2 adalah kardioselektif. Adrenoreseptor
beta-1 dan beta-2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-
organ dan jaringan tertentu. Beta-1 reseptor lebih banyak pada jantung dan
ginjal, dan beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan pada paru, liver, pankreas,
dan arteri. Perangsangan reseptor beta-1 menaikkan denyut jantung,
kontraktilitas, dan pelepasan rennin. Perangsangan reseptor beta-2
menghasilkan bronchodilatatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta yang
kardioselektif kecil kemungkinannya untuk mencetuskan spasme bronkus dan
vasokonstriksi. Juga, sekresi insulin dan glikogenolisis secara adrenergic
dimediasi oleh reseptor beta-2. Penghambatan reseptor beta-2 dapat
menurunkan proses ini dan menyebabkan hiperglikemi atau menimbulkan
perbaikan hipoglikemi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah
penyekat beta yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat beta yang
nonselektif pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang
karena alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi, kardioselektifitas
adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat
beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk reseptor beta-1
dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1. Pada
dosis berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada
umumnya, penyekat beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk
mengobati hipertensi.13
Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic
(ISA). Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA
21
yang bekerja secara agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini
tidak menurunkan kejadian kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta
yang lain. Malahan, obat-obat ini dapat meningkatkan risiko pasca infark
miokard atau pada pasien dengan risiko penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA
jarang diperlukan. Akhirnya, semua penyekat beta mempengaruhi aksi
menstabilkan membrane (membrane-stabilising action) pada sel jantung bila
dosis cukup besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan bila karakteristik
antiaritmik dari penyekat beta diperlukan. Perbadaan farmakokinetik diantara
penyekat beta berhubungan dengan first pass metabolisme, waktu paruh, derajat
kelarutan dalam lemak (lipophilicity), dan rute eliminasi. Propranolol dan
metoprolol mengalami first-pass metabolism, jadi dosis yang diperlukan untuk
memblok reseptor beta akan bervariasi dari pasien ke pasien. Atenolol dan
nadolol mempunyai waktu paruh panjang dan di ekskresi lewat ginjal.
Walaupun waktu paruh dari penyekat beta lainnya jauh lebih singkat,
pemberian 1x/hari efektif karena waktu paruh dalam serum tidak berhubungan
dengan lama keja hipotensinya. Penyekat beta bervariasi dalam sifat
lipofiliknya atau penetrasinya ke susunan saraf pusat. Semua penyekat beta
melewati sawar darah-otak, tetapi agen lipofilik berpenetrasi lebih jauh
dibanding yang hidrofilik. Propranolol yang paling lipofilik dan atenolol yang
sedikit lipofiliknya. Jadi kosentrasi propranolol di otak lebih tinggi dibanding
atenolol bila dosis yang ekivalen diberikan. Hal ini mengakibatnya efek
samping sistim saraf pusat (seperti pusing dan mengantuk) dengan agen
lipofilik seperti propranolol. Tetapi, sifat lipofilik ini memberikan efek yang
lebih untuk kondisi nonkardiovaskular seperti migraine, mencegah sakit kepala,
tremor essensial, dan tirotoksikosis. Pemberian penyekat beta tiba-tiba dapat
menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard, dan bahkan kematian pada
pasien-pasien dengan risiko tinggi penyakit koroner. Pemberhentian tiba-tiba
juga dapat menyebabkan rebound hypertension (naiknya tekanan darah
melebihi tekanan darah sebelum pengobatan). Untuk mencegah ini, penyekat
22
beta harus diturunkan dosis dan diberhentikan secara perlahan-lahan selama 1
-2 minggu. Seperti diuretik, penyekat beta menaikkan serum kolesterol dan
glukosa, tetapi efek ini transien dan secara klinis bermakna sedikit. Penyekat
beta dapat menaikkan serum trigliserida dan menurunkan kolesterol HDL
sedikit. Penyekat beta dengan karakteristik memblok penyekat alfa (karvedilol
dan labatalol) tidak mempengaruhi kadar lemak.13,14,16
5. Calsium Channel Blocker
CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi
yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus
untuk yang berisiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat
tambahan atau pengganti. Data menunjukkan kalau dihidropiridine tidak
memberikan perlindungan terhadap kejadian jantung (cardiac events)
dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat beta) atau
ACEI pada pasien tanpa komplikasi. Pada pasien dengan hipertensi dan
diabetes, ACEI terlihat lebih kardioprotektif dibanding dihidropiridin. Studi
dengan CCB nondihidropiridin diltiazem dan verapamil terbatas, tetapi studi
NORDIL menemukan diltiazem ekivalen dengan diuretik dan penyekat beta
dalam menurunkan kejadian kardiovaskular. CCB dihidropiridin sangat efektif
pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension).
JNC 7 tidak mencantumkan hipertensi sistolik terisolasi berbeda dengan tipe
hipertensi lainnya, dan diuretik tetap terapi lini pertama. Bagaimanapun, CCB
dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan bila
diuretik tiazid tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien
lansia dengan tekanan darah sistolik meningkat. CCB bekerja dengan
menghambat influx kalsium sepanjang membran sel.14,16
Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe
L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat channel
tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas
23
CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu
sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada
efek farmakodinami yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem)
menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular.
Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang
bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau
menyebabkan gagal jantung pada pasien risiko tinggi. Diltiazem juga
mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil. Nifedipin yang bekerja
cepat (immediate-release) telah dikaitkan dengan meningkatnya insiden efek
samping kardiovaskular dan tidak disetujui untuk pengobatan hipertensi. Efek
samping yang lain dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala,
gingival hyperplasia, edema perifer, mood changes, dan gangguan
gastrointestinal. Efek samping pusing, flushing, sakit kepala, dan edema perifer
lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin verapamil dan diltiazem karena
vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin. Diltiazem dan verapamil dapat
menyebabkan anorexia, nausea, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil
menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi juga dengan
diltiazem tetapi lebih sedikit. Verapamil dan juga diltiazem (lebih sedikit) dapat
menyebabkan interaksi obat karena kemampuannya menghambat sistem
isoenzim sitokrom P450 3A4 isoenzim. Akibatnya dapat meningkatkan serum
konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh sistem isoenzim ini seperti
siklosporin, digoksin, lovastatin, simvastatin, takrolimus, dan teofilin.
Verapamil dan diltiazem harus diberikan secara hati-hati dengan penyekat beta
untuk mengobati hipertensi karena meningkatkan risiko heart block dengan
kombinasi ini. Bila CCB perlu di kombinasi dengan penyekat beta,
dihidropirine harus dipilih karena tidak akan meningkatkan risiko heart block.
24
Menurut European Society of Hypertension 2003, kombinasi dua obat untuk
hipertensi ini dapat dilihat pada gambar 9 dimana kombinasi obat yang
dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.
Gambar 9. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk obatobat
antihipertensi
I. Mekanisme ACE-I dan ARB dalam menghambat progresifitas CKD
Progresifitas CKD dipengaruhi oleh tingginya tekanan darah dan tingginya
level proteinuria, keadaan ini berkorelasi dengan aktivitas RAAS. ACE-I dan ARB
merupakan obat antihipertensi pilihan utama pada pasien CKD, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa obat ini efektif, mempunyai efek ganda selain
menurunkan tekanan darah juga secara independen mempunyai efek renoprotektif
yang kuat dengan menurunkan proteinuria lebih besar. Efek supresi ACE-I dan
ARB terhadap RAAS maksimal dapat dicapai bila pasien CKD dalam keadaan
tidak overload. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang dapat dicapai
ACE-I atau ARB tunggal sekitar 10-15 mmHg dan 5-10 mmHg. Efek penurunan
proteinuria yang optimal untuk memperbaiki renoproteksi dapat dicapai dosis
standar atau dengan meningkatkan dosis/titrasi (mencapai dosis supramaksimal)
dari ACE-I atau ARB atau kombinasi. Efek perbaikan proteinuria pada kombinasi
ACE-I (enalapril 10-20 mg) dan ARB (losartan 50-100 mg) lebih baik. Efek
25
penurunan tekanan darah lebih kecil pada ACE-I dosis maksimal dibanding
kombinasi pada dosis lebih kecil.10,12,13
Studi meta-analisis menyatakan bahwa kombinasi ARB yang ditambahkan
pada terapi ACE-I, efek penurunan tekanan darahnya lebih baik bila kombinasi
diberikan sejak awal. Penambahan ARB saat dosis ACE-I telah maksimal hanya
menunjukkan penurunan tekanan darah ≤ 5 mmHg. Dengan meningkatkan dosis
ACE-I dan ARB, secara signifikan menurunkan primary end point bila
dibandingkan dengan dosis konvensional.6,7
Suatu penelitian Eijkelkam, menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah
sistolik mencapai <130 mmHg dan ekskresi albumin <1 g/hr, terbukti secara
signifikan menurunkan progresi ESRD.15
Menurut Katayama, imidapril dan captopril (ACE-I) dapat menurunkan
tekanan darah sistolik dan diastolik <130/80 mmHg dan menurunkan albuminuria.
Tomino et al dalam Indonesian and Japan Collaborative Study of Imidapril renal
protection in CKD patient, dibuktikan bahwa imidapril saja atau dengan kombinasi
diltiazem (untuk mencapai tekanan darah lebih rendah) dalam 6 sampai 12 minggu
dapat menurunkan tekanan darah, menurunkan ekskresi albumin, dan kreatinin
tidak meningkat. Dengan kontrol tekanan darah yang ketat akan menghasilkan
penurunan proteinuria lebih baik serta menghambat ESRD. Kombinasi ACE-I dan
ARB lebih bermakna dalam menurunkan peningkatan kreatinin dan ESRD
(primary end point). Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa penghambat
RAAS mempunyai efek renoproteksi selain menurunkan tekanan darah juga
mencegah peningkatan serum kreatinin.12,16
J. Progresi , remisi, regresi CKD
Studi REIN, pasien dengan CKD non-diabetik dimana proteinuria >3 g/hr
dengan diberikan ramipril 10 mg/hari, efek jangka pendek penurunan eGFR
menjadi lebih lambat dan menghambat progresi ESRD. Dengan
kontrol/pengendalian tekanan darah menunjukkan efek renoproteksi yang spesifik
26
dengan penurunan proteinuria. Rugennenti, melakukan penelitian tentang “remissi
clinic” pada pasien CKD dengan proteinuria yang berat (proteinuria ≥3 g/hr),
diberikan terapi dengan protokol diet rendah garam (50-100 meq/hari), diet protein
0,8 mg/kgBB/hari. Obat yang dipakai adalah ramipril 5-10, losartan 50-100
mg/hari, verapamil 80-120 mg, atorvastatin 10-20 mg. Gambaran patologi
glomerulus menunjukkan struktur remodeling saat sebelum mendapatkan terapi
hipertensi, hasil setelah mendapatkan perlakuan sesuai protokol menunjukkan
adanya perbaikan fungsi dan struktur glomerulus.11,17,18
Target yang harus dicapai pada studi remisi klinik pada pasien hipertensi-CDK
adalah:
1. Tekanan darah tercapai <120/80 mmHg
2. Proteinuria <0,3 g/24 jam
3. Kadar LDL kolesterol <2,6 mmol/L
4. LDL + VLDL
5. A1C <7,5%
K. Ringkasan
Dari data USRD menunjukkan kejadian penyakit ginjal kronik (CKD)
meningkat, sebagian CKD progresif menjadi ESRD. Hipertensi merupakan faktor
risiko yang teridentifikasi sebagai penyebab ESRD setelah nefropati diabetika
(USRD). Hipertensi pada CKD kejadiannya sekitar 4,5-5% dari populasi
hipertensi, dan sekitar 84-92% dari populasi CKD. Hipertensi, proteinuria, eGFR
merupakan faktor prediksi yang kuat pada progresifitas CKD, oleh karena itu
penting sekali mempelajari faktor yang dapat memperbaiki klasifikasi CKD.
Berdasarkan guideline penatalaksanaan hipertensi pada CKD : K-DOQI (2004,
2007), JNC-7, ESH-2007 sebagai obat antihipertensi pilihan pertama adalah ACE-I
dan ARB atau kombinasi dan kombinasi dengan obat lain untuk mencapai tekanan
27
darah yang optimal serta penurunan proteinuria. Beberapa penelitian membuktikan
bahwa kombinasi ACE-I dan ARB yang diberikan sejak awal menghambat
progresi lebih baik daripada diberikan ARB bila ACE-I sudah mencapai dosis
maksimal. Imidapril (ACE-I) merupakan obat antihipertensi, dalam penelitian
terbukti mencegah progresifitas CKD dengan menurunkan tekanan darah dan
menurunkan proteinuria. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dapat
memperbaiki prognosis CKD.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Dworkin LD, Weir MR. Hypertension in renal parenchymal disease: role in
progression. In: Mechanism and clinical management of chronic renal failure.
Ed by Nahas AM, 2nd ed. 2000:173-201
2. Ritz E. Kidney in hypertension. 3rd Asian Forum of Chronic Kidney Disease
Initiative. 2009:18-9
3. Weir MR, Hanes DS, Klassen DK. Anti hypertensive drug. Barry Brenner and
Rector’s The Kidney. 2006;8 ed:1603-06
4. Mancia G, backer DG, Dominiczak A et al. ESH 2007
5. Weir MR. ACE inhibitors and angiotensin II receptor blockers in kidney
disease: are we denying protection to patient. The Kidney and Hypertension, ed
by Bakries G, 1st ed. 2004:105-15
6. KDOQI. Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations
for Diabetes and Chronic Kidney Disease. AJKD. 2007;S2:74-7
7. KDOQI. Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations
for Diabetes and Chronic Kidney Disease. AJKD. 2004, vol 43, no.5.S1:74-7
8. Berl T. Maximizing inhibitor of the rennin-angiotensin system with high doses
of converting enzyme inhibitors or angiotensin reseptor blockers. Nephrol Dial
Transplant. 2008,23:2443.7
9. Fogo AB. Glomelular hypertension, abnormal glomerular growth, and
progression of renal disease. Kid Int 2000, vol 57,S75:15-21
29
10. Klahr S and Morrissey. Comparative of ACE inhibition and angiotensin II
receptor blockade in the prevention on the renal damage. Kid Int 2000, vol
62,S23:6
11. Luno J, et al. Effect of dual blockade of rennin angiotensin system in primary
proteinuric nephropaties. Kid Int 2002, vol 62, Suppl 82,S47-S52
12. Katayama S. Effect of captopril or imidapril on progression of diabetic
nephropaty in Japanesse
13. Brazy P et al. Progressionn of renal insufficiency: Role of blood pressure. Kid
Int 1989, vol 35:670-4
14. Ruggenenti P et al. role of Remission Clinic in the longitudinal treatment of
CKD. J Am Soc Nephrol 2008,19:1213-24
15. Douglas G, Lance D. The Role of Hypertension in Progression of Chronic
Renal Disease. Hypertension and the kidney. B 61-618
16. Cohen DL, Townsend RR. Is There Added Value to Adding ARB to ACE
inhibitor in the Management CKD. JASNexpress 2008, September as
doi:10.1681/ASN.200804381
17. Hallan SI et al, Combining GFR and albuminuria to Classify CKD Improves
Prediction of ESRD. JASN Express 2009 April as
doi:10.1681/ASN.2008070730
18. Volpe M, Toci G, Paganone E. Fewer mega trial and more clinically oriented
studies in hypertension research? The case of blocking the Renin Angiotensin
Aldosteron system. JASN,2006:S36-43
30
31