Top Banner
Referat PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS (CHRONIC KIDNEY DISEASE) Oleh: Irfan Prasetya Yoga G0006012 Hanifah Quatly A. G0006197 Nita Damayanti S. G0007015 Ariesia Dewi C. G0007042 Pembimbing dr. Agung Susanto, SpPD KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
31

89473087-gagal-ginjal.pdf

Apr 24, 2015

Download

Documents

ididgama

gagal ginjal
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Referat

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS

(CHRONIC KIDNEY DISEASE)

Oleh:

Irfan Prasetya Yoga G0006012

Hanifah Quatly A. G0006197

Nita Damayanti S. G0007015

Ariesia Dewi C. G0007042

Pembimbing

dr. Agung Susanto, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

Page 2: 89473087-gagal-ginjal.pdf

SURAKARTA

2012

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dapat menjadi sebab maupun akibat dari penyakit ginjal kronik

(Chronic Kidney Disease/ CKD). Kejadian CKD menjadi ESRD (End Stage Renal

Disease) dapat dipicu oleh hipertensi, yang merupakan faktor penyebab kedua

terbanyak pemicu progresifitas CKD setelah nefropati diabetika.1

Angka kejadian hipertensi pada CKD berkisar 4,5-5% dari populasi total

penderita hipertensi, dan 84-92% dari total populasi penderita CKD. Hipertensi dapat

mempercepat progresifitas dari CKD melalui peningkatan ekskresi protein akibat dari

tingginya tekanan darah sistolik. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan

mengobati hipertensi pada CKD, dapat menghambat laju penurunan GFR pada CKD.

Perubahan eGFR (estimated Glomerulus Filtration Rate) dan albuminuria secara

independen merupakan faktor prediksi yang kuat terhadap progresifitas CKD. Ritz

menunjukkan dari 69000 subjek yang diperiksa, 4,7% adalah CKD dengan stage 3-4

(eGFR 15-59ml/menit), dan 69,4% dari populasi sampel telah berproses menjadi

ESRD.2,3

Obat antihipertensi golongan penghambat sistem renin angiotensin mempunyai

mekanisme khusus dalam menurunkan tekanan darah sistemik serta tekanan

intraglomerular. Adanya penghambatan laju penurunan GFR diharapkan dapat efektif

menghambat progresifitas CKD. ACEI (Angiotensin Converting Enzim Inhibtor) dan

ARB (Angiotensin Receptor Blokers) merupakan obat antihipertensi yang dapat

menghambat aktivasi A II (Angiotensin II) pada peredaran darah sistemik dan

peredaran darah pada ginjal serta organ-organ lain.4

Pedoman penanganan hipertensi pada CKD (K-DOQI, K-DIGO, JNC-7, ESH

2007) telah memfokuskan penanganan pada pencegahan progresifitas CKD dan

pencegahan komplikasi kardiovaskuler, serta merekomendasikan obat pilihan pertama

2

Page 3: 89473087-gagal-ginjal.pdf

dalam penanganan hipertensi pada CKD berupa ACEI dan ARB. Pertimbangan obat

awal berupa kombinasi ACEI dan ARB dengan thiazide pada stage CKD awal, dan

dengan loop diuretika pada stage CKD yang lebih lanjut. Bahkan pada stage lanjut

dapat digunakan sampai 4 macam obat antihipertensi termasuk ACEI dan ARB.

Pengukuran tekanan darah yang paling baik dan mempunyai prediksi terhadap

progresifitas CKD adalah pengukuran tekaan darah 24 jam.5,6

3

Page 4: 89473087-gagal-ginjal.pdf

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme progresifitas penurunan fungsi ginjal pada hipertensi, antara

lain:

1. Mekanisme autoregulasi tekanan glomerulus terganggu pada CKD, sehingga

tingginya tekanan darah sistemik diteruskan/ditransfer ke kapiler glomerulus

menyebabkan tekanan intraglomeruler meningkat.

2. Meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler glomerulus akan meningkatkan

filtrasi protein (terjadi albuminuria) dan disfungsi endotel, menyebabkan

pelepasan sitokin dan mediator inflamasi yang akan menginduksi perubahan

ginjal normal menjadi fibrosis ginjal.

3. Faktor non hemodinamik pada hipertensi terhadap progresifitas penurunan

fungsi ginjal (eGFR)

a. Aktifasi sistem rennin-angiotensin–aldosteron, tidak hanya terjadi

peningkatan tekanan darah tetapi juga menginduksi proliferasi seluler,

inflamasi dan akumulasi matriks pada glomerulus, intertisiel, vaskuler

sistemik, serta peningkatan tekanan intraglomerular.

b. Aktifasi simpatik

c. Ekspansi volume, sebagai pengaruh a dan b.1,2

B. Hipertensi pada CKD

1. Hipertensi sebagai akibat CKD

Prevalensi hipertensi meningkat bila fungsi ginjal makin turun, prevalensi

bervariasi berdasar penyakit ginjal yang mendasari, baik primer; pasien dengan

stenosis atau oklusi arteri renal atau sekunder : nefropati diabetik.6,7

2. Hipertensi sebagai faktor risiko CKD

4

Page 5: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Menurut penelitian oleh Klag,dkk yang meneliti tingginya tekanan

darah sistolik dan diastolik dengan hubungan terjadi CKD, adanya hubungan

korelasi yang positif antara hipertensi dengan ESRD . Nampak bahwa tekanan

darah > 210/120 mmHg mempunyai risiko 22 kali terjadinya ESRD dari

tekanan darah < 120/80 mmHg. Pada hipertensi stage I risiko ESRD 3 kali dari

tekanan darah 120/80 mmHg. Klag menyatakan bahwa peningkatan tekanan

darah sistol lebih sebagai prediktor yang kuat progresi CKD daripada

peningkatan tekanan darah diastolik. Hipertensi sistemik menyebabkan

aterosklerosis pada arteri renalis, nefrosklerosis pada glomerulus atau

atheroembolic disease serta injury pada ginjal (glomerulus). Tekanan darah

yang tidak terkontrol akan mempercepat penurunan fungsi ginjal. Beberapa

bukti penelitian menujukkan bahwa penurunan tekanan darah pada nilai normal

(optimal) sangat penting untuk mencegah progresifitas CKD.1,4

C. Pengendalian tekanan darah sistemik dan tekanan hidrostatik kapiler

glomerulus

Anatomi vaskuler glomerulus tersusun menjadi suatu rangkaian arteriole

aferen (RA) dan arteriole eferen (RE). Tekanan glomerulus ditentukan oleh 3

faktor : MAP (Mean Arterial Pressure) atau tekanan perfusi dan resistensi

relatif dari RA dan RE. Respon pertama dari peningkatan MAP adalah

meningkatkan RA untuk mencegah transmisi dari peningkatan tekanan

sistemik ke kapiler glomerulus. RE biasanya turun, hal ini untuk mengurangi

tekanan pada glomerulus, sehinga dapat membantu membatasi dari peningkatan

PGC (glomerular capillary hydraulic pressure) dan menjaga aliran plasma

ginjal tetap konstan. Sifat dari sirkulasi ginjal tersebut merupakan mekanisme

autoregulasi. Pada pasien dengan CKD, terjadi kegagalan pada mekanisme

autoregulasi tersebut. Untuk menkompensasi dari sebagian fungsi ginjal yang

telah rusak, glomerulus yang masih sehat melakukan perubahan adaptasi

5

Page 6: 89473087-gagal-ginjal.pdf

dengan tujuan meningkatkan laju filtrasi. Perubahan yang terjadi antara lain

dengan menurunkan resistensi dari RA dan RE. Pada peningkatan tekanan

perfusi atau MAP, tekanan tersebut akan diteruskan secara langsung ke kapiler

glomerulus sehingga menghasilkan hipertensi kapiler glomerulus, peningkatan

filtrasi protein dan menyebabkan terjadi injury dari kapiler tersebut. atau pada

pemberian obat anti hipertensi yang mempunyai efek dilatasi arteriole

afferent.8,9

a. Normal

Terdapat

Gambar 1. Mekanisme autoregulasi kapiler glomerulus pada single glomerulus dari

ginjal normal. 10

6

Page 7: 89473087-gagal-ginjal.pdf

b. CKD

Gambar 2. Mekanisme autoregulasi kapiler glomerulus pada single glomerulus dari

CKD . 10

Hubungan antara perubahan PGC dan jumlah glomerulus yang mengalami

sklerosis setelah mendapat terapi obat antihipertensi didapatkan korelasi yang

signifikan antara besarnya penurunan PGC dengan berkurangnya injury

glomerulus.10

Selain dengan menurunkan RA dan RE, terdapat mekanisme adaptasi yang lain

dari ginjal yaitu dengan hipertrofi ginjal. Hipertrofi ini juga menyebabkan

peningkatan dari tekanan kapiler glomerulus dan sebagai kompensasi dari

pembesaran ginjal ini adalah dengan meningkatnya radius dari kapiler glomerulus.

Sesuai dengan hukum Laplace, tegangan dinding dari pembuluh darah sebanding

7

Page 8: 89473087-gagal-ginjal.pdf

dengan radius dari pembuluh darah serta tekanan darahnya. Capillary wall tension

yang meningkat menyebabkan glomerular capillary injury.

Gambar 3. Hipotesis tegangan dinding pembuluh darah 4

D. Hipertensi: berperan pada progresi CKD (nefrosklerosis) menuju ESRD

Glomerular pressure berkolerasi dengan glomerular injury. Kerusakan nefron

(penurunan fungsi ginjal) pada hipertensi melalui suatu proses yang akan berlanjut

menjadi ESRD. Proses tersebut antara lain adalah penurunan resistensi pre-

glomerular (arteriol afferent), menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik

kapiler glomerulus (PGC), renal plasma flow dan GFR. Hipertensi intraglomerilar

diidentifikasi sebagai perubahan hemodimanik intraglomerular yang erat kaitannya

dengan perkembangan sklerosis glomerulus dan CKD progresif. Hubungan

langsung antara tekanan intraglomerulus dan sklerosis glomerulus, nampak pada

ilustrasi gambar 4 yang menunjukkan bahwa tercapainya penurunan PGC diikuti

dengan penurunan jumlah % injury glomerulus. Efek proteksi hanya terjadi bila

penurunan PGC > 6 mmHg. Hubungan antara tekanan darah sistemik dan tekanan

8

Page 9: 89473087-gagal-ginjal.pdf

hidrostatik kapiler glomerulus sangat kompleks dan merupakan implikasi terapi

dan progresi CKD.11,12

Gambar 4. Korelasi tekanan gromerular dengan gromelorus injury11

E. Hipertensi dan perubahan mikrosirkulasi ginjal serta inflamasi

9

Page 10: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Gambar 5. Hubungan hipertensi dan kerusakan ginjal12

Secara teoritis hubungan hipertensi sistemik dan glomerulus terhadap

progresifitas CKD nampak pada gambar 5. Peningkatan tekanan intra glomerular

akan berakibat filtrasi protein meningkat dan kerusakan kapiler glomerulus,

keduanya akan menyebabkan pelepasan sitokin sebagai mediator aktifasi proses

inflamasi dan growth factor sera produksi dan degradasi matriks yang abnormal,

serta apoptosis sel ginjal. Perubahan fungsi seluler ini akan merangsang akumulasi

matriks dan kematian sel glomerulus dan sel tubulus, sehingga berubahan dari

jaringan ginjal normal menjadi fibrosis.

Hal yang penting pada proses ini adalah aktivasi dari sistem renin angiotensin-

aldosteron melalui hormone efektor A II (angiotensin II), tidak hanya terhadap

peningkatan tekanan darah sistemik dan tekanan intraglomerular tetapi juga efek

langsung menyebabkan injury pada kapiler glomerulus sebagai barier filtrasi

makromolekul dan stimulasi faktor yang merangsang growth factor dan akumulasi

matriks.13

F. Peran dari sistem renin-angiotensin-aldosteron pada progresifitas CKD

a. Efek perubahan hemodinamik

Sistem renin-angiotensin-aldosteron sebagai kunci progresi dari CKD,

baik melalui mekanisme hemodinamik ataupun melalui mekanisme non-

hemodinamik. Peningkatan aktivasi RAA pada CKD, merubah seting terhadap

respon peningkatan tekanan darah sistemik yang berakibat volume overload,

sehingga terjadi hipertensi sistemik. RAAS selain meningkatkan resistensi

sistemik dan MAP, juga mempunyai efek langsung pada tingkat mikrosirkulasi

dengan meningkatkan tekanan hidrostastik kapiler glomerulus. Respon

vasokonstriksi terhadap A II lebih dominan pada post-glomerular, hal ini

mengakibatkan tekanan intra-glomerular meningkat. Fenomena yang terjadi ini

sesuai dengan proses dari progresi CKD, berupa efek perubahan hemodinamik

10

Page 11: 89473087-gagal-ginjal.pdf

pada glomerulus. Obat antihipertensi golongan penghambat RAAS mempunyai

efek yang lebih baik dalam menurunkan resistensi arteriole eferen dan

selanjutnya menurunkan tekanan glomerulus dan mengurangi injury

glomerulus.14

Gambar 6. Peranan A II dalam menginduksi progresivitas gagal ginjal 6

b. Cellular pathway

Proses progresi CKD akibat terjadinya perubahan fenotipe dari sel ginjal,

Fungsi sel ginjal berubah, terjadi profilerasi dari mesangial glomerulus, fibrosis

interstial, stimulasi apoptosis yang meningkatkan kematian sel, meningkatnya

produksi matriks, menurunnya degradasi matriks sehingga terjadi fibrosis

ginjal. Sebagai inti dari progresi CKD ini adalah meningkatnya produksi sitokin

dan growth factor sebagai respon aktivasi dari RAAS.

Faktor prediksi progresi CKD menjadi ESRD

1. Tekanan darah, terutama tingginya tekanan darah sistolik

2. eGFR

3. Proteinuria, albuminuria

Mencegah progresi CKD :

1. Kontrol tekanan darah sesuai target, dengan pilihan obat antihipertensi

golongan:

ACE-1, ARB, atau kombinasi ACE-I dan ARB, CCB non DHP, diuretika.

11

Page 12: 89473087-gagal-ginjal.pdf

2. Menurunkan proteinuria/albuminuria

3. Diet rendah protein, diet rendah garam

4. Diet rendah fosfat

5. Kontrol glikemik dengan kadar HbA1c < 7 %

Target penurunan tekanan darah :

1. Hipertensi non diabetik dan CKD : tekanan darah < 140/90 mmHg

(JNC-7)

2. Diabetes mellitus : tekanan darah <130/80 mmHg

(ADA, JNC-7)

3. CKD : tekanan darah <130/80 mmHg

(KDOQI, JNC-7)

4. Ekskresi protein > 1gr/hari : tekanan darah < 125/75 mmHg

(NKF)

5. Mencegah progresif CKD : <120/80 mmHg

G. Antihipertensi rasional pada CKD

Semua obat antihipertensi mampu menurunkan PGC bila tekanan darah turun

mencapai tekanan optimal yang dapat memberikan preservasi ginjal. Obat

golongan penghambat sistem renin angiotensin aldosteron (ACE-inhibitor, ARB)

mempunyai nilai lebih dalam mencegah progresi CKD karena mempunyai efek

renoprotektor. Beberapa penelitian memperlukan lebih dari 1 macam obat untuk

mencapai tekanan darah optimal.

Tujuan terapi hipertensi pada CKD antara lain :

1. Mempertahankan/ preserve fungsi ginjal : mempertahankan GFR dan

mengurangi ekskresi protein.

2. Menurunkan tekanan darah secara agresif

3. Menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada CKD.

12

Page 13: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Terapi hipertensi pada CKD non diabetik dan CKD diabetik, level turunnya

tekanan darah sistolik dan level proteinuria dipakai sebagai diagnosis dan

prognosis progresifitas dan komplikasi CVD pada CKD.13,14

1. Hipertensi CKD non diabetik

a. Tekanan darah dianjurkan mencapai < 130/80 mmHg

b. CKD non diabetik dengan pemeriksaan urine dimana nilai rasio total

protein/kreatinin > 200 mg/g dengan atau tanpa hipertensi dianjurkan

diterapi dengan ACE-I atau ARB

2. Hipertensi CKD dengan diabetes

a. Target tekanan darah < 130/80 mmHg

b. CKD diabetes stage 1-4 : ARB atau ACE-I, bila diperlukan dikombinasi

dengan diuretika.

Rekomendasi penatalaksanaan hipertensi pemilihan obat anti hipertensi pada CKD

13

Page 14: 89473087-gagal-ginjal.pdf

NKF-K/DOQI (2004), JNC-7 (2003), ADA (2004)

Clinical assessment of

Kidney disease

Blood

Pressure

Target

Preffered Agents

for CKD, with (or

without)

Hypertension

Other agent to reduced

CVD risk, target BP

Blood pressure >

130/80 mmHg and spot

urine total protein to

creatinin ratio > 200

mg/g

< 130/80 ACE Inhibitor or

ARB

Diuretik preffered then

BB or CCB

Blood pressure >

130/80 mmHg and spot

urine total protein to

craetinin ratio < 200

mg/g

< 130/80 No prefered Diuretik, BB or CCB

Blood pressure <

130/80 mmHg and spot

urine total protein to

craetinin ratio > 200

mg/g

130/80 ACE Inhibitor or

ARB

Diuretik preffered then

BB or CCB

Kidney disease in the

transplant recipient

< 130/80 None preferred CCB, diuretik, BB,

ACE-I, ARB

14

Page 15: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Gambar 7. Manajemen hipertensi pada CKD16

H. Pembahasan masing-masing kelas obat antihipertesi pada CKD

1. ACE Inhibitor

ACEI merupakan terapi lini pertama pada pasien dengan CKD dan

merupakan terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan

hipertensi. ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,

dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang

sekresi aldosteron.2,5

15

Page 16: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Gambar 8. Sistem renin-angiotensin dan system kallikrein-kinin

ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-

zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan

prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan

darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk

kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif

mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi

perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial.3.7

Beberapa studi menunjukkan kalau ACEI mungkin lebih efektif dalam

menurunkan risiko kardiovaskular dari pada obat antihipertensi lainnya. Pada

DM tipe 2, dua studi menunjukkan kalau ACEI superior daripada CCB.

ACEI menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal

jantung dan memperlambat progress penyakit ginjal kronis. Golongan ACEI

harus digunakan sebagai pengobatan lini pertama dalam terapi pada pasien-

pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi absolut. Selain terapi dengan

penyekat beta, bukti menunjukkan kalau ACEI lebih jauh menurunkan risiko

kardiovaskular pada angina stabil kronis (EUROPA) dan pada pasien-pasien

pasca infark miokard (HOPE). Data dari PROGRESS menunjukkan

16

Page 17: 89473087-gagal-ginjal.pdf

berkurangnya risiko stroke yang kedua dengan kombinasi ACEI dan diuretik

tiazid.1

ACEI dapat di toleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien tetapi tetap

mempunyai efek samping. ACEI mengurangi aldosteron dan dapat menaikkan

kosentrasi kalium serum. Biasanya kenaikkannya sedikit, tetapi hiperkalemia

dapat terjadi. Terlihat terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, atau

diabetes melitus dan pada pasien yang juga mendapat ARB, NSAID, supplemen

kalium, atau diuretik penahan kalium. Monitoring serum kalium dan kreatinin

dalam waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikkan dosis ACEI

sering dapat mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi

yang serius.4,5

Batuk kering yang persisten terlihat pada 20% pasien; dapat dijelaskan

secara farmakologi karena ACEI menghambat penguraian dari bradikinin.

Batuk yang disebabkan tidak menimbulkan penyakit tetapi sangat menganggu

ke pasien. Bila ACEI diindikasikan untuk indikasi khusus gagal jantung,

diabetes, atau penyakit ginjal kronis; pada pasien-pasien dengan batuk kering,

ACEI diganti dengan ARB. ACEI merupakan kontraindikasi absolut untuk

perempuan hamil dan pasien dengan riwayat angioedema. ACEI harus dimulai

dengan dosis rendah terutama pada pasien dengan deplesi natrium dan volume,

eksaserbasi gagal jantung, lansia, dan yang juga mendapat vasodilator dan

diuretik karena hipotensi akut dapat terjadi. Penting untuk memulai dengan ½

dosis normal untuk pasien-pasien diatas dan dosis dinaikkan pelan-pelan.13,15

2. Diuretik

Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk

kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk

mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan.

Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop,

agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium

17

Page 18: 89473087-gagal-ginjal.pdf

adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan

efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya

diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat

pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap

lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton).

Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti

mendukung indikasi khusus.7,8

Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid

paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang,

diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi

sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal minum diuretik

harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari untuk

meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis,

diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang

menyebabkan diuresis yang nyata. Perbedaan farmakokinetik yang penting

dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama efek diuretiknya.

Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu paruh dari

kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja

hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama

dengan mekanisme extrarenal. Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan

darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain.

Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah

ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan.11,14

Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia,

hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi

seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek

pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang

dapat terjadi hipokalsemia. Studi jangka pendek menunjukkan kalau

indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi seksual.

18

Page 19: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek

samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT

100mg/hari). Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone

12.5 – 25 mg/hari, dimana efek samping metabolik akan sangat berkurang.14,15

Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada

pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang

menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat

bermasalah terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron yang terbaru.

Karena sangat selektif antagonis aldosteron, kemampuannya menyebabkan

hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium lainnya, bahkan spironolakton.

Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal

atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan

gynecomastia pada ±10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang

terjadi.14,15

3. Angiotensin Reseptor Blocker

Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim:

RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan

jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEI hanya

menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, dimana

ARB menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaam

ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II. 16

ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1

(AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada

manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan

hormone antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak

memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang

menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan,

dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Studi

19

Page 20: 89473087-gagal-ginjal.pdf

menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target

jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus

lainnya. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar,berarti menaikkan

dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah

yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi

antihipertensi dari ARB.8,9

Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup

panjang untuk pemberian 1 x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan

mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari

agar efektif menurunkan tekanan darah. ARB mempunyai efek samping paling

rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak

mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI.

Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,

hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya

sama dengan pada penggunaan ACEI. 13,14

4. Penyekat Beta

Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk hipertensi.

Beberapa studi telah menunjukkan berkurangnya risiko kardiovaskular apabila

penyekat beta digunakan pasca infark miokard, pada sindroma koroner akut,

atau pada angina stabil kronis. Walaupun pernah dikontraindikasikan pada

penyakit gagal jantung, banyak studi telah menunjukkan kalau karvedilol dan

metoprolol suksinat menurunkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung

sistolik yang sedang diobati dengan diuretik dan ACEI. Atenolol digunakan

pada DM tipe 2 pada studi UKPDS dan menunjukkan efek yang sebanding,

walaupun tidak lebih baik dalam menurunkan risiko kardiovaskular

dibandingkan dengan captopril. Ada perbedaan farmakodinamik dan

farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada, tetapi menurunkan tekanan

darah hampir sama.10.12

20

Page 21: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari penyekat beta yang

membedakan golongan ini yaitu efek:

• Kardioselektif (cardioselektivity)

• ISA (intrinsic sympathomimetic activity)

• Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)

Penyekat beta yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap

reseptor beta-1 dari pada reseptor beta-2 adalah kardioselektif. Adrenoreseptor

beta-1 dan beta-2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-

organ dan jaringan tertentu. Beta-1 reseptor lebih banyak pada jantung dan

ginjal, dan beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan pada paru, liver, pankreas,

dan arteri. Perangsangan reseptor beta-1 menaikkan denyut jantung,

kontraktilitas, dan pelepasan rennin. Perangsangan reseptor beta-2

menghasilkan bronchodilatatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta yang

kardioselektif kecil kemungkinannya untuk mencetuskan spasme bronkus dan

vasokonstriksi. Juga, sekresi insulin dan glikogenolisis secara adrenergic

dimediasi oleh reseptor beta-2. Penghambatan reseptor beta-2 dapat

menurunkan proses ini dan menyebabkan hiperglikemi atau menimbulkan

perbaikan hipoglikemi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah

penyekat beta yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat beta yang

nonselektif pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang

karena alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi, kardioselektifitas

adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat

beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk reseptor beta-1

dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1. Pada

dosis berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada

umumnya, penyekat beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk

mengobati hipertensi.13

Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic

(ISA). Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA

21

Page 22: 89473087-gagal-ginjal.pdf

yang bekerja secara agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini

tidak menurunkan kejadian kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta

yang lain. Malahan, obat-obat ini dapat meningkatkan risiko pasca infark

miokard atau pada pasien dengan risiko penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA

jarang diperlukan. Akhirnya, semua penyekat beta mempengaruhi aksi

menstabilkan membrane (membrane-stabilising action) pada sel jantung bila

dosis cukup besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan bila karakteristik

antiaritmik dari penyekat beta diperlukan. Perbadaan farmakokinetik diantara

penyekat beta berhubungan dengan first pass metabolisme, waktu paruh, derajat

kelarutan dalam lemak (lipophilicity), dan rute eliminasi. Propranolol dan

metoprolol mengalami first-pass metabolism, jadi dosis yang diperlukan untuk

memblok reseptor beta akan bervariasi dari pasien ke pasien. Atenolol dan

nadolol mempunyai waktu paruh panjang dan di ekskresi lewat ginjal.

Walaupun waktu paruh dari penyekat beta lainnya jauh lebih singkat,

pemberian 1x/hari efektif karena waktu paruh dalam serum tidak berhubungan

dengan lama keja hipotensinya. Penyekat beta bervariasi dalam sifat

lipofiliknya atau penetrasinya ke susunan saraf pusat. Semua penyekat beta

melewati sawar darah-otak, tetapi agen lipofilik berpenetrasi lebih jauh

dibanding yang hidrofilik. Propranolol yang paling lipofilik dan atenolol yang

sedikit lipofiliknya. Jadi kosentrasi propranolol di otak lebih tinggi dibanding

atenolol bila dosis yang ekivalen diberikan. Hal ini mengakibatnya efek

samping sistim saraf pusat (seperti pusing dan mengantuk) dengan agen

lipofilik seperti propranolol. Tetapi, sifat lipofilik ini memberikan efek yang

lebih untuk kondisi nonkardiovaskular seperti migraine, mencegah sakit kepala,

tremor essensial, dan tirotoksikosis. Pemberian penyekat beta tiba-tiba dapat

menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard, dan bahkan kematian pada

pasien-pasien dengan risiko tinggi penyakit koroner. Pemberhentian tiba-tiba

juga dapat menyebabkan rebound hypertension (naiknya tekanan darah

melebihi tekanan darah sebelum pengobatan). Untuk mencegah ini, penyekat

22

Page 23: 89473087-gagal-ginjal.pdf

beta harus diturunkan dosis dan diberhentikan secara perlahan-lahan selama 1

-2 minggu. Seperti diuretik, penyekat beta menaikkan serum kolesterol dan

glukosa, tetapi efek ini transien dan secara klinis bermakna sedikit. Penyekat

beta dapat menaikkan serum trigliserida dan menurunkan kolesterol HDL

sedikit. Penyekat beta dengan karakteristik memblok penyekat alfa (karvedilol

dan labatalol) tidak mempengaruhi kadar lemak.13,14,16

5. Calsium Channel Blocker

CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi

yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus

untuk yang berisiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat

tambahan atau pengganti. Data menunjukkan kalau dihidropiridine tidak

memberikan perlindungan terhadap kejadian jantung (cardiac events)

dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat beta) atau

ACEI pada pasien tanpa komplikasi. Pada pasien dengan hipertensi dan

diabetes, ACEI terlihat lebih kardioprotektif dibanding dihidropiridin. Studi

dengan CCB nondihidropiridin diltiazem dan verapamil terbatas, tetapi studi

NORDIL menemukan diltiazem ekivalen dengan diuretik dan penyekat beta

dalam menurunkan kejadian kardiovaskular. CCB dihidropiridin sangat efektif

pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension).

JNC 7 tidak mencantumkan hipertensi sistolik terisolasi berbeda dengan tipe

hipertensi lainnya, dan diuretik tetap terapi lini pertama. Bagaimanapun, CCB

dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan bila

diuretik tiazid tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien

lansia dengan tekanan darah sistolik meningkat. CCB bekerja dengan

menghambat influx kalsium sepanjang membran sel.14,16

Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe

L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat channel

tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas

23

Page 24: 89473087-gagal-ginjal.pdf

CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu

sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada

efek farmakodinami yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem)

menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular.

Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang

bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau

menyebabkan gagal jantung pada pasien risiko tinggi. Diltiazem juga

mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil. Nifedipin yang bekerja

cepat (immediate-release) telah dikaitkan dengan meningkatnya insiden efek

samping kardiovaskular dan tidak disetujui untuk pengobatan hipertensi. Efek

samping yang lain dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala,

gingival hyperplasia, edema perifer, mood changes, dan gangguan

gastrointestinal. Efek samping pusing, flushing, sakit kepala, dan edema perifer

lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin verapamil dan diltiazem karena

vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin. Diltiazem dan verapamil dapat

menyebabkan anorexia, nausea, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil

menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi juga dengan

diltiazem tetapi lebih sedikit. Verapamil dan juga diltiazem (lebih sedikit) dapat

menyebabkan interaksi obat karena kemampuannya menghambat sistem

isoenzim sitokrom P450 3A4 isoenzim. Akibatnya dapat meningkatkan serum

konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh sistem isoenzim ini seperti

siklosporin, digoksin, lovastatin, simvastatin, takrolimus, dan teofilin.

Verapamil dan diltiazem harus diberikan secara hati-hati dengan penyekat beta

untuk mengobati hipertensi karena meningkatkan risiko heart block dengan

kombinasi ini. Bila CCB perlu di kombinasi dengan penyekat beta,

dihidropirine harus dipilih karena tidak akan meningkatkan risiko heart block.

24

Page 25: 89473087-gagal-ginjal.pdf

Menurut European Society of Hypertension 2003, kombinasi dua obat untuk

hipertensi ini dapat dilihat pada gambar 9 dimana kombinasi obat yang

dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.

Gambar 9. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk obatobat

antihipertensi

I. Mekanisme ACE-I dan ARB dalam menghambat progresifitas CKD

Progresifitas CKD dipengaruhi oleh tingginya tekanan darah dan tingginya

level proteinuria, keadaan ini berkorelasi dengan aktivitas RAAS. ACE-I dan ARB

merupakan obat antihipertensi pilihan utama pada pasien CKD, beberapa

penelitian menunjukkan bahwa obat ini efektif, mempunyai efek ganda selain

menurunkan tekanan darah juga secara independen mempunyai efek renoprotektif

yang kuat dengan menurunkan proteinuria lebih besar. Efek supresi ACE-I dan

ARB terhadap RAAS maksimal dapat dicapai bila pasien CKD dalam keadaan

tidak overload. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang dapat dicapai

ACE-I atau ARB tunggal sekitar 10-15 mmHg dan 5-10 mmHg. Efek penurunan

proteinuria yang optimal untuk memperbaiki renoproteksi dapat dicapai dosis

standar atau dengan meningkatkan dosis/titrasi (mencapai dosis supramaksimal)

dari ACE-I atau ARB atau kombinasi. Efek perbaikan proteinuria pada kombinasi

ACE-I (enalapril 10-20 mg) dan ARB (losartan 50-100 mg) lebih baik. Efek

25

Page 26: 89473087-gagal-ginjal.pdf

penurunan tekanan darah lebih kecil pada ACE-I dosis maksimal dibanding

kombinasi pada dosis lebih kecil.10,12,13

Studi meta-analisis menyatakan bahwa kombinasi ARB yang ditambahkan

pada terapi ACE-I, efek penurunan tekanan darahnya lebih baik bila kombinasi

diberikan sejak awal. Penambahan ARB saat dosis ACE-I telah maksimal hanya

menunjukkan penurunan tekanan darah ≤ 5 mmHg. Dengan meningkatkan dosis

ACE-I dan ARB, secara signifikan menurunkan primary end point bila

dibandingkan dengan dosis konvensional.6,7

Suatu penelitian Eijkelkam, menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah

sistolik mencapai <130 mmHg dan ekskresi albumin <1 g/hr, terbukti secara

signifikan menurunkan progresi ESRD.15

Menurut Katayama, imidapril dan captopril (ACE-I) dapat menurunkan

tekanan darah sistolik dan diastolik <130/80 mmHg dan menurunkan albuminuria.

Tomino et al dalam Indonesian and Japan Collaborative Study of Imidapril renal

protection in CKD patient, dibuktikan bahwa imidapril saja atau dengan kombinasi

diltiazem (untuk mencapai tekanan darah lebih rendah) dalam 6 sampai 12 minggu

dapat menurunkan tekanan darah, menurunkan ekskresi albumin, dan kreatinin

tidak meningkat. Dengan kontrol tekanan darah yang ketat akan menghasilkan

penurunan proteinuria lebih baik serta menghambat ESRD. Kombinasi ACE-I dan

ARB lebih bermakna dalam menurunkan peningkatan kreatinin dan ESRD

(primary end point). Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa penghambat

RAAS mempunyai efek renoproteksi selain menurunkan tekanan darah juga

mencegah peningkatan serum kreatinin.12,16

J. Progresi , remisi, regresi CKD

Studi REIN, pasien dengan CKD non-diabetik dimana proteinuria >3 g/hr

dengan diberikan ramipril 10 mg/hari, efek jangka pendek penurunan eGFR

menjadi lebih lambat dan menghambat progresi ESRD. Dengan

kontrol/pengendalian tekanan darah menunjukkan efek renoproteksi yang spesifik

26

Page 27: 89473087-gagal-ginjal.pdf

dengan penurunan proteinuria. Rugennenti, melakukan penelitian tentang “remissi

clinic” pada pasien CKD dengan proteinuria yang berat (proteinuria ≥3 g/hr),

diberikan terapi dengan protokol diet rendah garam (50-100 meq/hari), diet protein

0,8 mg/kgBB/hari. Obat yang dipakai adalah ramipril 5-10, losartan 50-100

mg/hari, verapamil 80-120 mg, atorvastatin 10-20 mg. Gambaran patologi

glomerulus menunjukkan struktur remodeling saat sebelum mendapatkan terapi

hipertensi, hasil setelah mendapatkan perlakuan sesuai protokol menunjukkan

adanya perbaikan fungsi dan struktur glomerulus.11,17,18

Target yang harus dicapai pada studi remisi klinik pada pasien hipertensi-CDK

adalah:

1. Tekanan darah tercapai <120/80 mmHg

2. Proteinuria <0,3 g/24 jam

3. Kadar LDL kolesterol <2,6 mmol/L

4. LDL + VLDL

5. A1C <7,5%

K. Ringkasan

Dari data USRD menunjukkan kejadian penyakit ginjal kronik (CKD)

meningkat, sebagian CKD progresif menjadi ESRD. Hipertensi merupakan faktor

risiko yang teridentifikasi sebagai penyebab ESRD setelah nefropati diabetika

(USRD). Hipertensi pada CKD kejadiannya sekitar 4,5-5% dari populasi

hipertensi, dan sekitar 84-92% dari populasi CKD. Hipertensi, proteinuria, eGFR

merupakan faktor prediksi yang kuat pada progresifitas CKD, oleh karena itu

penting sekali mempelajari faktor yang dapat memperbaiki klasifikasi CKD.

Berdasarkan guideline penatalaksanaan hipertensi pada CKD : K-DOQI (2004,

2007), JNC-7, ESH-2007 sebagai obat antihipertensi pilihan pertama adalah ACE-I

dan ARB atau kombinasi dan kombinasi dengan obat lain untuk mencapai tekanan

27

Page 28: 89473087-gagal-ginjal.pdf

darah yang optimal serta penurunan proteinuria. Beberapa penelitian membuktikan

bahwa kombinasi ACE-I dan ARB yang diberikan sejak awal menghambat

progresi lebih baik daripada diberikan ARB bila ACE-I sudah mencapai dosis

maksimal. Imidapril (ACE-I) merupakan obat antihipertensi, dalam penelitian

terbukti mencegah progresifitas CKD dengan menurunkan tekanan darah dan

menurunkan proteinuria. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dapat

memperbaiki prognosis CKD.

28

Page 29: 89473087-gagal-ginjal.pdf

DAFTAR PUSTAKA

1. Dworkin LD, Weir MR. Hypertension in renal parenchymal disease: role in

progression. In: Mechanism and clinical management of chronic renal failure.

Ed by Nahas AM, 2nd ed. 2000:173-201

2. Ritz E. Kidney in hypertension. 3rd Asian Forum of Chronic Kidney Disease

Initiative. 2009:18-9

3. Weir MR, Hanes DS, Klassen DK. Anti hypertensive drug. Barry Brenner and

Rector’s The Kidney. 2006;8 ed:1603-06

4. Mancia G, backer DG, Dominiczak A et al. ESH 2007

5. Weir MR. ACE inhibitors and angiotensin II receptor blockers in kidney

disease: are we denying protection to patient. The Kidney and Hypertension, ed

by Bakries G, 1st ed. 2004:105-15

6. KDOQI. Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations

for Diabetes and Chronic Kidney Disease. AJKD. 2007;S2:74-7

7. KDOQI. Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations

for Diabetes and Chronic Kidney Disease. AJKD. 2004, vol 43, no.5.S1:74-7

8. Berl T. Maximizing inhibitor of the rennin-angiotensin system with high doses

of converting enzyme inhibitors or angiotensin reseptor blockers. Nephrol Dial

Transplant. 2008,23:2443.7

9. Fogo AB. Glomelular hypertension, abnormal glomerular growth, and

progression of renal disease. Kid Int 2000, vol 57,S75:15-21

29

Page 30: 89473087-gagal-ginjal.pdf

10. Klahr S and Morrissey. Comparative of ACE inhibition and angiotensin II

receptor blockade in the prevention on the renal damage. Kid Int 2000, vol

62,S23:6

11. Luno J, et al. Effect of dual blockade of rennin angiotensin system in primary

proteinuric nephropaties. Kid Int 2002, vol 62, Suppl 82,S47-S52

12. Katayama S. Effect of captopril or imidapril on progression of diabetic

nephropaty in Japanesse

13. Brazy P et al. Progressionn of renal insufficiency: Role of blood pressure. Kid

Int 1989, vol 35:670-4

14. Ruggenenti P et al. role of Remission Clinic in the longitudinal treatment of

CKD. J Am Soc Nephrol 2008,19:1213-24

15. Douglas G, Lance D. The Role of Hypertension in Progression of Chronic

Renal Disease. Hypertension and the kidney. B 61-618

16. Cohen DL, Townsend RR. Is There Added Value to Adding ARB to ACE

inhibitor in the Management CKD. JASNexpress 2008, September as

doi:10.1681/ASN.200804381

17. Hallan SI et al, Combining GFR and albuminuria to Classify CKD Improves

Prediction of ESRD. JASN Express 2009 April as

doi:10.1681/ASN.2008070730

18. Volpe M, Toci G, Paganone E. Fewer mega trial and more clinically oriented

studies in hypertension research? The case of blocking the Renin Angiotensin

Aldosteron system. JASN,2006:S36-43

30

Page 31: 89473087-gagal-ginjal.pdf

31