LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN
POLA LONGITUDINAL SUNGAI
Oleh:
Setiawan Lara Sari
H1G010035
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIKJURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2011
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hilir ke hulu untuk mengetahui
faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidup
di perairan tersebut. Pola longitudinal digunakan di suatu perairan seperti sungai.
distribusi longitudinal terjadi dimana kemiringan tidak jauh berbeda dari hulu ke
hilir. Daerah hulu biasanya menunjukan toleransi yang besar sampai sepanjang
sungai. Perubahan longitudinal yang jelas berhubungan dengan perubahan yang
sangat terlihat yaitu suhu, kecepatan arus dan pH (Odum, 1973).
Faktor fisika kimia pada sungai yang panjang terdapat perbedaan antara
bagian hulu, tengah, dan hilir. Perubahan tersebut dapat terlihat pada bagian atas dari
aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Perubahan komposisi
komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer terakhir (Odum, 1993).
Air yang masuk ke sungai banyak dipengaruhi oleh vegetasi sekitar daerah
tangkapan air. Air ini akan membawa partikel tanah dan mineral tanah dari darat ke
sungai. Akibatnya, bila terjadi perubahan di daerah tangkapan air maka faktor fisika
dan kimia air sungai akan terpengaruh.
Zona utama sungai pada aliran air ada 2 macam yaitu zona air deras dan air
tenang. Zona arus deras yaitu daerah yang dangkal dan kecepatan arus cukup tinggi
untuk meyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas,
sehingga dasarnya padat. Zona arus tenang yaitu bagian sungai yang dalam dengan
kecepatan arus sudah berkurang, maka lumpur dan materi lepas cenderung
mengendap didasar. Sungai mengalami perubahan dari hulu ke hilir. Perubahan
tersebut dapat terlihat pada bagian atas dari aliran air, dan komposisi kimia berubah
dengan cepat. Perubahan komposisi komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer
terahir (Odum, 1993).
Perairan sungai terdapat faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi.
Faktor biotik diantaranya adalah zooplankton dan phytoplankton, sedangkan faktor
abiotik adalah suhu, penetrasi cahaya, kedalaman, kekeruhan oksigen terlarut
karbondioksida bebas, salinitas, arus dan pH. Faktor biotik dan abiotik merupakan
faktor pembatas yang dapat digunakan untuk dapat mengetahui keragaman
organisme dan kelimpahannya (Odum, 1993).
Sungai Serayu merupakan sungai yang terbesar di Karisidenan Banyumas
lahan di DAS Serayu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat antar lain sebagai
pemukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan kegiatan penambangan. Sungai
Serayu juga dimanfaatkan untuk kepentingan sebagai sumber air, yang merupakan
sumber utama bagi kebutuhan untuk konsumsi domestik, irigasi, rekreasi,
pembangkit tenaga listrik, tempat pembuangan limbah baik domestik maupun
industri, transportasi, penggalian tambang golongan C (batu dan pasir), dan
perikanan (karamba oleh penduduk sekitar)
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum pola longitudinal ekosistem sungai adalah untuk
mengetahui:
1. Pola longitudinal ekosistem yang mempengaruhi DAS Serayu
2. Parameter - parameter fisika kimia
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai
Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai
memiliki arus yang berbeda-beda di setiap tempatnya. Setiap aliran memilki
organisme yang berbeda pula. Pada aliran sungai terdapat dua zona utama, yaitu zona
air deras dan zona air tenang. Organisme pada zona air deras diantaranya adalah
Corydalus (Neuroptera), Dubiraphia, (Coelenterata), Gammarus dan Pontocorela
altnis (Crustacea), Cladophora, lumut air dari marga Fontinalis dan sebagainya.
Sedangkan organisme pada zona air tenang diantaranya adalah Encilosnia,
Hydropsyche, Hagenius, Siphlonurus, Gyrinid (kumbang), Ephemerophetra dan
sebaginya (Hawkes, 1979).
Sungai memiliki tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah hulu
merupakan daerah konservasi, daerah mempunyai kerapatan drainasi lebih tinggi,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih tinggi (lebih besar 15%). Daerah
hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, dan merupakan
daerah dengan kemiringan yang kecil (lebih kecil 8%). Daerah bagian tengah
merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda
(Asdak, 2007).
Secara alami faktor fisika kimia air berbeda antara bagian hulu, tengah dan
hilir. Perbedaan yang jelas adalah pada keadaan dasar sungai, yaitu berbatu, berpasir
atau berlumpur, dan terkait dengan kecepatan arus sungai. Kecepatan arus juga
berpengaruh terhadap kandungan oksigen terlarut di air. Perubahan pemanfaatan
daerah pinggir sungai oleh penduduk juga akan berpengaruh terhadap kualitas air,
yang sudah tentu akan berpengaruh terhadap kandungan fisik dan kimia sungai. Air
yang masuk ke sungai banyak dipengaruhi oleh vegetasi sekitar daerah tangkapan
air. Air ini akan membawa partikel tanah dan mineral tanah dari darat ke sungai.
Akibatnya, bila terjadi perubahan di daerah tangkapan air maka faktor fisika dan
kimia air sungai akan terpengaruh.
2.2. Parameter Fisika-Kimia
Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisika-kimia
perairan. Organisme yang dapat disesuaikan denagn kondisi fisika-kimia yang akan
mampu hidup (Krebs, 1978). Kehidupan ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh
volume air mengalir, kecepatan arus, pH, temperatur, dan konsentrasi oksigen
terlarut.
2.2.1. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal
dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer. Semakin banyak jumlah DO
(Dissolved Oxygen) maka kualitas air semakin baik. Oksigen terlarut
dibutuhkan bagi jasad hidup untuk pernafasan dan metabolisme yang
menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Kadar oksigen dalam air akan
bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan semakin tingginya salinitas
(Odum, 1971).
2.2.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)
Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan suatu pendekatan
analisis secara empiris global pada proses mikrobiologi yang terjadi didalam
air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk
menguraikan (oksidasi) hampir semua zat organik terlarut dan sebagai zat-zat
organik yang tersuspensi dalam air.
2.2.3. Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
mengatur proses yang terjadi di lingkungan perairan. Temperatur dalam suatu
perairan di pengaruhi oleh substrat, kekeruhan, air hujan, dan pertukaran
panas dengan permukaan air. Temperatur yang layak untuk kehidupan suatu
organisme air tawar berkisar antara 20ºC – 30ºC dengan suhu optimum
berkisar antara 25 ºC - 28 ºC (Iskandar, 2002). Temperatur sangat penting
bagi berlangsungnya proses metabolisma dalam perairan. Bagi komponen
biotik, temperatur mempengaruhi kandungan gas terlarut. Tiap-tiap
organisme mempunyai suhu optimum dan minimum yang berbeda-beda
dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri hingga titik
tertentu, sehingga untuk meyesuaikan suhu suatu habitat yang lainya dapat
beradaptasi (Odum, 1993).
2.2.4. Derajat keasaman air (pH)
Nilai pH dalam suatu perairan mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap organisme perairan. Sehingga pH dapat dijadikan sebagai
indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi
ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur hara yang bermanfaat bagi
kehidupan vegetasi akuatik. Setiap organisme memiliki batas toleransi
terhadap pH dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktifitas
fotosintesis, suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya anion, jenis dan
organisme. Suatu organisme dapat hidup dalam perairan yang mempunyai pH
netral dengan kisaran toleransi asam lemah sampai basa lemah (Barus, 2002).
2.2.5. Lebar sungai
Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula
jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et al., 1996). Keanekaragaman
dan kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan.
2.2.6. Kedalaman
Kedalaman merupakan tinggi rendahnya suatu perairan dari dasar
sungai sampai permukaan air. Kedalaman di dalam perairan dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup suatu organisme air. Karena perairan
yang dalam, akan ditempati suatu organisme yang jumlahnya sedikit dan
miskin oksigen. Kedalaman air yang baik suatu perairan sungai yaitu 2–3
meter. Kedalaman suatu perairan melebihi dari 3 meter akan menggangu
proses fotosintesis, karena cahaya tidak bisa menembus kedasar perairan yang
terlalu dalam (Hawkes, 1979).
2.2.7. Kejernihan air
Kejernihan merupakan faktor yang peting dalam suatu perairan.
Kecerahan menunjukan suatu tingkat kejernihan aliran air yang diakibatkan
oleh unsur-unsur sedimen baik yang bersifat mineral atau organik. Kejernihan
air digunakan sebagai indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya
yang jatuh diatas badan air. Semakin besar tingkat kejernihan suatu perairan,
semakin besar kemampuan bagi vegetasi akuatik untuk melakukan
fotosintesis (Asdak, 2007).
2.2.8. Substrat dasar
Substrat termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme.
Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar,
kerikil lumpur, tanah liat berpasir. Substrat dasar berupa batu besar, kerikil
ditempati banyak organisme. Sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur,
tanah liat berpasir ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1979).
2.2.9. Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di
perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau
diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress
dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran
listrik tinggi (Ewuise, 1990). Salinitas adalah nilai yang menunjukkan garam-
garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan
satuan promil (‰) (Barus, 2002). Slinitas memiliki pengaruh terhadap
tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara cepat umumnya menyebakan
tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air dipengaruhi oleh pencampuran air
laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi.
2.2.10. Skor fisik habitat
Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu
lingkungan habitat sungai tertentu. Nilai fisik tersebut dapat diperoleh
bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan dalam
keadaan sub optimal, optimal, atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup
didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termometer, kertas
pH, botol film, tali rafia, keping sechii, jarum altimeter, rolling meter, tongkat
skala, konduktivitas.
3.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan yaitu air sungai yang akan diteliti.
3.2. Metode
Metode yang diggunakan dalam praktikum ini dilakukan dengan
metode pengukuran faktor fisikokimia air dari hulu sampai dengan hilir
sepanjang sungai Serayu. Parameter yang akan di ukur yaitu kecerahan, pH,
suhu, kecepatan arus, konduktivitas, kedalaman, substrat dasar, riparian
vegetation, dan skor fisik habitat.
3.2.1. Parameter Fisika-Kimia
1. Oksigen Terlarut (DO)
2. Biological Oxygen Demand (BOD)
3. Pengukuran Suhu
4. Pengukuran Derajad Keasaman (pH)
5. Lebar Sungai
6. Pengukuran Kedalaman
7. Kejernihan Air
8. Pengamatan Substrat Dasar
9. Pengukuran Konduktifitas
10. Pengamatan Skor Fisik Habitat
3.2.1.1 Oksigen Terlarut (DO) menggunakan Metode Winkler (APHA, 1992)
Air diambil menggunakan botol Winkler sebanyak 250 ml tanpa ada
gelembung. Kemudian ditambahkan berturut-turut larutan MNSO4 dan KOH-
KI masing-masing sebanyak 1ml (digunakan pipet ukur atau jarum suntik).
Dibiarkan sesaat sampai endapan terbentuk. Ditambahkan H2SO4 pekat ke
dalam botol lalu dikocok sampai endapan larut. Diambil sebanyak 100 ml dan
dipindahkan ke dalam tabung erlenmeyer. Kemudian dititrasi dengan larutan
Na2S2O3 (0.025 N) sampai larutan berwarna kuning muda. Ditambahkan 10
tetes indikator amilum hingga berwarna biru. Dititrasi kembali dengan larutan
Na2S2O3 (0.025 N) sampai warna biru hilang. Dititrasi duplo dan hasilnya
dirata-rata. Setelah itu dihitung dengan rumus perhitungan:
Oksigen terlarut = 1000/100 x p x q x 8
Ket: p= volum larutan Na2S2O3
q= normalitas larutan
8= bobot setara larutan
3.2.1.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)
Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan metode Winkler (APHA,
1985) yaitu sampel dimasukkan ke dalam dua botol Winkler volume 250 ml
sampai penuh. Botol Winkler pertama segera diperiksa kandungan
oksigennya (DO0 hari), sedangkan botol Winkler kedua diinkubasi selama 5
hari pada suhu 200 C. Setelah diinkubasi selama 5 hari, diperiksa kandungan
oksigennya (DO5 hari). Untuk pengukuran blanko, prosedur kerja sama
seperti pada sampel.
Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus:
BOD = ¿¿
Keterangan:
A0 : oksigen terlarut sampel pada nol hari
As : Oksigen terlarut sampel pada lima hari
S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari
S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari
T : Persen perbandingan antara A0 : S0
P : derajat pengenceran
3.2.1.3. Pengukuran Suhu
Dicelupkan termometer pada perairan, tunggu sampai beberapa menit
sampai pengukuran stabil. Lakukan di 3 titik.
3.2.1.4. pengukuran Derajat Keasaman (pH)
Dicelupkan kertas pH ke dalam air, samakan perubahan warna pada
kertas dengan warna skala pH yang tercantum.
3.2.1.5. Lebar Sungai
Diukur dengan rolling meter dan jika tidak di dukung oleh situasi
dilakukan estimasi lebar sungai.
3.2.1.6. Pengukuran Kedalaman
Dilakukan pengukuran pada tiap 2 meter lebar sungai dengan tongkat
penduga yang telah diberi skala panjang.
3.2.1.7. Kejernihan Air
Dimasukkan Keping Secchi ke dalam air. Diukur kedalaman sampai
batas antara hitam dan putih tak dapat dibedakan. Jika sampai dasar sungai
masih dapat dibedakan, dicatat kedalaman sampai dasar tersebut.
3.2.1.8. Pengamatan Substrat Dasar
Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaur dan stribing, dan
dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan.
Diestimasi secara visual persentasi bagian dasar sungai yang tertutup
lumpur, pasir, kerikil, batu.
3.2.1.9. Pengukuran Konduktivitas
Diukur menggunakan konduktifitimeter dengan daya hantar listrik.
Konduktifitimeter dinetralkan atau dinolkan. Kemudian ujung
konduktifitimeter dimasukan kedalam air dan di tunggu sampe
konduktifitimeter berhenti dan menunjukan angka.
3.2.1.10. Pengamatan Skor Fisik Habitat
Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaur dan stribing, dan
dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan.
Faktor Fisiko Kimia
Habitat
parameterOptimal Suboptimal Marginal Poor
Substrat dasar
Lebih dari 60% dasara perairan terdiri atas kerikil, batu atau cadas dengan porsi yang kurang lebih sama. SKOR 20
30%-60% dari substrat dasar penilaian berupa batuan atau cadas. Substrat mungkin didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut. SKOR 15
10%-30% merupakan satu materi yang besar tetapi lumpur atau pasir 70-90% mendominasi substrat dasar.SKOR 10
Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan pasir dan materi yang lebih besar.SKOR 5
Kekomplekan habitat
Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang, tumbuhan akuatik terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai tertutup kanopi.SKOR 20
Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai cukup terlindungi oleh kanopi.SKOR 15
Habitat didominasi oleh 1 atau 2 macam komponen substrat, tumbuhan tepi yang menaungi segmen sungai sedikit.SKOR 10
Habitat monoton pasir dan lumpur menyebabkan habitat tidak bervariasi.SKOR 5
Kualitas yang menggenang
25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari setengah lebar sungai dan kedalamannya >1 m.SKOR 20
<5% bagian yang menggenang kedalamannya >1 m dan lebih lebih lebar dari ½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah lebar
Kurang dari 1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih dari lebar sungai. Bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/dangkal.Ha
Bagian yang menggenang kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang menggenang.SKOR 5
sungai dan kedalamannya >1m.SKOR 15
bitat tidak bervariasi.SKOR 10
Kestabilan tepi sungai
Tidak terdapat bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi untuk erosi.SKOR 20
Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur ada tetapi rendah.SKOR 15
Bagian tepi ada yang mengalami erosi saat banjir.SKOR 10
Bagian tepi sungai tidak stabil, sering terjadi erosi.SKOR 5
3.3. Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan pada tanggal 15 - 16 Oktober 2011 di
sepanjang Daerah Aliran Sungai Serayu. DAS Serayu yang diteliti terdiri dari
daerah Kanding, Kembangan, Mandiraja, Mrican, Selokromo, Selomerto,
Garung, dan Kejajar.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Fisiko-kimia
Sungai Perlakuan
Kanding Mrican Kemba-ngan
Si GaluhMandi-
rajaSelo-merto
Keja-jarGaru-
ng
O2 (ppm)4,4 8 4 7,6 5,6 5,2 7,6 6,4
BODo4,4 2 - 4,4 1,2 2 2 0,8
Suhu (0C) 280C 28,5oC 28,50C 260C 260C 250C 220C 230C
pH7,5 7 7,3 7 7 7 6,5 6,5
Lebar Sungai (m)30 30 30 20 30 20,5 11 14
Kedalaman (cm)7 110 60 82,5 60 60 38,67 25
Kejernihan (cm)8 85 60 50 50 42,5 38,67 25
Kecepatan Arus (m/s)
0,08 0,32 0,31 0,31 0,34 0,625 0,64 1,32
Konduktivitas
Skor Fisik Habitat
35 50 7,3 7 7 7 6,5 6,5
Substrat DasarBer-lumpur
berbatu Berbatu Kerikil Berbatu Berbatu Berbatu Berbatu
Tabel 2. Elevasi, Garis Lintang, dan Garis Bujur
Stasiun Elevasi Garis Lintang Garis BujurKanding 109º 20’ 511” 07º 30’ 705”Mrican 109º 35’ 48” 07º 24’ 3”
Kembangan 109º 26’ 04” 07 º 27’ 42”Sigaluh 109º 77’ 99” 07º 40’ 35”
Mandiraja 109º 46’ 47,63” 07º 24’ 11,69”Selomerto 109º 52’ 21” 07º 25’ 28”
Kejajar - -Garung 109º 55’ 272” 07º 17’ 716”
4.2. Pembahasan
1. O2
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
0123456789
O2 (ppm)
O2 (ppm)
Hasil pengamatan diperoleh data DO yaitu sungai Kanding 4,4,
Mrican 8, Kembangan 4, Sigaluh 7,6, Mandiraja 5,6, Selomerto 5,2, Kejajar
7,6 dan sungai Garung 6,4. Berdasarkan data, terlihat bahwa sungai Mrican
mempunyai DO paling tinggi yang artinya kualitas perairan di sungai tersebut
baik. Semakin banyak DO maka kualitas air semakin baik. Jika kadar oksigen
terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat
dari degradasi anaerobik yang terjadi.
2. BOD0
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
5
BOD0
BOD0
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data BOD yaitu sungai
Kanding 4,4, Mrican 2, Kembangan tidak ada hasil (gagal), Sigaluh 4,4,
Mandiraja 1,2, Selomerto 2, Kejajar 2 dan sungai Garung 0,8. Data
menunjukkan bahwa sungai Kanding dan Sigaluh mempunyai kandungan
BOD paling tinggi, artinya perairan disungai tersebut sudah tercemar.
Kandungan BOD dalam air ditentukan berdasarkan selisih oksigen terlarut
sebelum dan sesudah pengeraman 5 X 24 jam pada suhu 20ᴼC, BOD sebagai
indikator pencemaran suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD suatu
perairan menunjukkan bahwa perairan tersebut sudah tercemar.
3. Suhu (0C)
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
0
5
10
15
20
25
30
Suhu (°C)
Suhu (°C)
Data pengukuran temperatur sungai didapatkan: sungai Kanding
28,5ᴼC, Mrican 28ᴼC, Kembangan 28,5ᴼC, Sigaluh 26ᴼC, Mandiraja 26ᴼC,
Selomerto 25ᴼC, Kejajar 22ᴼC dan sungai Garung 23ᴼC. Berdasarkan data
tersebut dapat dilihat bahwa sungai yang memiliki suhu paling tinggi adalah
sungai Kanding dan Kembangan dengan temperatur mencapai 285ᴼC yang
terletak pada hilir sungai. Sedangkan sungai yang terletak pada hulu sungai
seperti sungai Kejajar memiliki temperatur yang lebih rendah, yaitu sekitar
22oC. Hal ini mungkin disebabkan oleh lokasi sungai Kejajar yang terletak
didataran tinggi dan jarang mendapatkan suplai sinar matahari. Ini sesuai
dengan tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa temperatur sangatlah
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang sampai pada air sungai.
Temperatur yang stabil dalam perairan adalah 25°C- 30°C. Temperatur
optimum yang layak untuk kehidupan organisme yaitu 25°C-28°C. Menurut
Effendi (2003) temperatur dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari
permukaan laut, sirkulasi udara serta kedalaman.
4. Derajat Keasaman (pH)
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
66.26.46.66.8
77.27.47.6
Derajat Keasaman (pH)
Derajad Keasaman (pH)
Hasil data yang diperoleh tingkat derajat keasaman air (pH) dari hulu
ke hilir adalah sungai Kanding 7,5, Mrican 7, Kembangan 7,3, Sigaluh 7,
Mandiraja 7, Selomerto 7, Kejajar 6,5 dan sungai Garung 6,5. Dari data
tersebut rata-rata nilai pH nya adalah 7 yang berarti netral, tidak terlalu asam
atau basa. Nilai pH pada daerah sungai Kejajar dan Garung yang terletak
pada hulu memiliki nilai pH yang berbeda dengan yang lain, yaitu 6,5. Hal ini
disebabkan adanya kandungan unsur belerang didalam air dibagian hulu
sungai Serayu. Belerang yang mengalir ke sungai berasal dari kawah gunung
yang berlokasi didataran tinggi Dieng. Nilai pH dibawah 7 berarti asam, sama
dengan 7 berarti netral, nilai dibawah 7 berarti basa. Hal tersebut sesuai
dengan pustaka KEPMEN LH NO.51/2004.
5. Lebar Sungai (m)
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
05
101520253035
Lebar Sungai (cm)
Lebar Sungai (cm)
Percobaan pengukuran lebar sungai diperoleh data sebagai berikut,
sungai Kanding 30 m, Mrican 30 m, Kembangan 30 m, Sigaluh 20 m,
Mandiraja 30 m, Selomerto 20,5 m, Kejajar 11 m dan sungai Garung 14m.
Dari data diatas lebar sungai pada sungai serayu dari hilir ke hulu memiliki
perbedaan, semakin kehilir lebar sungainya semakin besar dibandingkan pada
bagian hulu. Hal ini disebabkan oleh bentuk topografi, substrat dasar, riparian
vegetation, erosi dan arus sungai yang membawa endapan dari dasar sungai
tersebut.
6. Kedalaman (cm)
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
0
20
40
60
80
100
120
Kedalaman Sungai (cm)
Kedalaman Sungai (cm)
Pada pengukuran kedalaman sungai diperoleh data, sungai Kanding 7
cm, Mrican 110 cm, Kembangan 60 cm, Sigaluh 82,5 cm, Mandiraja 60 cm,
Selomerto 60 cm, Kejajar 38,67 cm dan sungai Garung 25 cm. Kedalaman di
sungai serayu pada setiap stasiun bervariasi, disebabkan oleh adanya
perbedaan suatu substrat dasar, kecepatan arus dan topografi dari sungai
tersebut. Berdasarkan data yang telah diperoleh, aliran sungai yang berada
pada bagian hulu memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan dengan
bagian hilir yang memiliki kedalaman rendah.
7. Kejernihan (cm)
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
0102030405060708090
Kejernihan (cm)
Kejernihan (cm)
Berdasarkan pengamatan tingkat kejernihan air yang dilakukan
disepanjang daerah sungai Serayu (DAS) diperoleh data sebagai berikut:
Kanding 8 cm, Mrican 85 cm, Kembangan 60 cm, Sigaluh 50 cm, Mandiraja
50 cm, Selomerto 42,5 cm, Kejajar 38,67 cm dan sungai Garung 25 cm.
Berdasarkan data tersebut sungai Mrican yang letaknya berada dihulu
mempunyai tingkat kejernihan yang tinggi yaitu 85 cm dibandingkan dengan
sungai yang berada dihilir seperti sungai Kanding yang memiliki tingkat
kecerahan air yang hanya 8 cm. Tingkat kecerahan disungai Mrican
disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa kerikil, batu-batuan
dan memiliki arus yang cukup deras untuk membawa materi dan endapan-
endapan yang berada pada dasar sungai. Berarti tingkat kejernihannya di
daerah hulu termasuk stabil, sebaliknya didaerah hilir tingkat kejernihannya
rendah (Sary, 2006). Tingkat kekeruhan air yang rendah disebabkan oleh
kandungan substrat dasar yang berupa lumpur, partikel yang mengendap dan
arus yang rendah.
8. Skor fisik habitat
Kanding
Mrican
Kemban
gan
Sigalu
h
Mandira
ja
Selomert
o
Kejajar
Garung
01020304050607080
Skor Fisik Habitat
Skor Fisik Habitat
Kondisi fisik habitat di bagian hulu seperti Mrican, Mandiraja,
Garung dan Kejajar sesuai kriteria penilaian kondisi fisik habitat menurut
Barbour and Stribling yaitu sub optimal. Artinya daerah hulu sungai Serayu
tersebut memiliki organisme akuatik yang bervariasi, baik kondisi lingkungan
sekitarnya bagi kehidupan organisme akuatik dan organisme-organisme
lainnya. Sedangkan pada daerah hilir seperti Kembangan, Selomerto,
Kanding dan Sigaluh sesuai kriteria penilaian kondisi fisik habitat tabel
Barbour dan Stribling yaitu marginal. Kriteria tersebut memiliki arti bahwa
kehidupan organisme didaerah hilir sungai Serayu kurang bervariasi jika
dibandingkan dengan daerah hulu. Dari data yang diperoleh sungai Mrican
adalah sungai yang memiliki skor fisik habitat paling tinggi dan sungai
Kembangan adalah sungai yang memiliki skor habitat paling rendah.
9. Tipe Substrat
Sungai Tipe Substrat
Kanding BerlumpurMrican BerbatuKembangan BerbatuSigaluh KerikilMandiraja berbatu Selomerto BerbatuKejajar BerbatuGarung Berbatu
Sungai Serayu mempunyai keanekaragaman substrat disetiap stasiun.
Substrat dasarnya yaitu sungai Kanding: berlumpur, Mrican: berbatu,
Kembangan: berbatu, Sigaluh: kerikil, Mandiraja: berbatu, Selomerto:
berbatu, Kejajar: berbatu dan Garung: berbatu. Dari hasil pengamatan
tersebut dapat dilihat bahwa sungai pada daerah hilir substat dasrarnya
didominasi oleh lumpur dan pasir. Sedangkan pada daerah hulu substrat
dasaranya didominasi oleh batu cadas, batu kerikil dan pasir.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengamatan tentang pola longitudinal sungai, dapat
disimpulkan:
1. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hulu ke hilir, faktor yang
paling mempengaruhinya adalah suhu, kecepatan arus, dan pH
2. Parameter – parameter fisika-kimia antara lain, oksigen terlarut, BOD, suhu,
pH, lebar sungai, kedalaman, kejernihan air, substrat dasar, konduktivitas,
dan skor fisik habitat.
5.2 Saran
1. Hasil dari praktikum ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk para sainstis
di bidang perikanan, bahwa keadaan pola longitudinal sungai Serayu telah
mengalami perubahan secara fisiko - kimia.
2. Menghentikan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran sungai
Serayu.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak. 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah mada
university press: Yogyakarta.
Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : fakultass MIPA Jurusan
Biologi USU
Effendi, H. 2003. Lahan Kualitas Air bagi Pengelola Sumberdaya & Lingkungan
Perairan. J MSP Fak. P & K IPB, Bogor.
Ewuise,Y. J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.Bandung: ITB.
Hawkes, H.A. 1979. Invertebrates an Indikator Of River Water Quality. In James, A.
And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons,
Toronto.
Iskandar. 2002. Struktur Komunitas Makrozoobenthos Sebagai Indikator
Kualitas Perairan di Situ Tonjong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB, Bogor.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology 3rd Edition. WB. Sounders Company,
Philadelphia, London
Odum, E. P. 1973. dasar-dasar ekologi. diterjemahkan oleh Thahmosamingan.
Gadjah Mada Press: Yogyakarta.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University
Press: Yogyakarta.
Sary. 2006. Bahan Kuliah Menejemen Kualitas air. Politehnik vedca. Cianjur