I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumber
daya perikanan yang sangat besar. Sumberdaya perikanan tersebut berpeluang dan dapat
sesuai apabila dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Aceh
sebagai propinsi yang telah memiliki berbagai komunitas perikanan, salah satunya udang
pisang (panaeus spp), udang pisang yang di duga untuk saat ini belum di temukan di
wilayah lain. Potensi udang pisang (panaeus spp) sekarang dilakukan berbagai upaya
untuk dapat di domestifikasikan.
Beberapa hal yang harus di perhatikan dalam usaha budidaya udang, benur udang
pisang (panaeus spp) merupakan kendala pertama terhadap usaha budidaya di tambak.
Pada proses pemeliharaan udang pisang (panaeus spp) sering terjadi kematian, ketika
memasuki stadia post larva (PL) udang pisang sering melemah akibat stres,oleh karena itu
perlu dilakukan proses upaya untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan mengaplikasikan
vitamin C pada media pemeliharaan benur udang pisang (panaeus spp)
Vitamin C merupakan salah satu suplemen makanan bagi udang yang berguna untuk
melancarkan metabolisme dalam tubuh, mengatasi stres dan untuk menjaga daya tahan
tubuh udang. Aplikasi vitamin C pada pemeliharaan benur udang pisang (panaeus spp)
merupakan salah satu cara untuk mengurangi mortalitas pada proses pemeliharaan udang
pisang .
Dari uraian di atas, perlu di teliti aplikasi vitamin C pada pemeliharaan post larva
udang pisang dengan dosis yang berbeda untuk mengetahui laju pertumbuhan dan
kelangsungan hidup udang pisang (panaeus spp).
1
1.2 Identifikasi Masalah
Pada pemeliharaan benur udang pisang (panaeus spp) masih ditemukan tingkat
kematian benur yang relatif tinggi yang disebabkan kondisi stress karena adaptasi
lingkungan. Kondisi stress tersebut dapat diatasi dengan cara pemberian vitamin c karena
vitamin c dapat mengatasi stress dan menjaga daya tahan tubuh.
Berdasarkan uraian diatas permalahan dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai
berikut :
a) Apakah pemberian vitamin C yang berpengaruh pada post larva udang pisang dapat
meningkatkan laju pertumbuhan dan daya tahan tubuh bagi post larva udang pisang
(panaeus spp).
b) Brapa dosis vitamin C yang bagus bagi kelangsungan hidup benur udang pisang
(panaeus spp).
c) Berapa dosis vitamin C yang bagus bagi laju pertumbuhan benur udang pisang
(panaeus spp)
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
a) pemberian vitamin C berpengruh terhadap pemeliharaan udang pisang
(panaeus spp)
b) dosis vitamin C yang berbeda terhadap kelangsungan hidup post larva udang
pisang (panaeus spp) yang bagus.
c) dosis vitamin C yang berbeda terhadap laju pertumbuhan post larva udang
pisang (panaeus spp) yang bagus.
2
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pemeliharaan
post larva udang pisang (panaeus spp). dengan pencampuran vitamin C pada media
air sehingga dapat menjadi pedoman bagi pengusaha hatchery swasta serta menjadi
leteratur bagi proses belajar mengajar.
1.5 Hipotesis
Hipotesis yang di ajukan pada penelitian ini adalah tanpa pemberian vitamin
C yang dilarutkan kedalam media, pemeliharaan post larva udang pisang (panaeus
spp) dapat mengurangi laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang pisang
(panaeus spp).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Udang Penaeidae
Beberapa udang laut yang hidup di tambak kebanyakan dari famili
penaeidae, yakni udang windu (panaeus monodon) ,udang putih (panaeus
marguensis) ,udang vaname (liponeus vanamee) dan udang pisang
(panaeus spp). Berikut beberapa jenis udang ekonomis penting dari hasil
tambak.
Adapun dari jenis – jenis udang penaeidae yang dibudidayakan di
tambak lebih unggul dari komunitas udang windu (panaeus monodon)
dikarnakan dari bobot tubuh yang lebih besar, pakan yang sedikit serta
udang windu dapat tembus ke pasar internasional dengan harga yang
relatif tinggi.
Gambar 1. Morfologi Udang Penaeidae (Google image, 2014)
4
Tubuh udang agak melengkung (bongkok), udang berjalan dengan
cara merayap di dasar air menggunakan kaki-kakinya (pleopod) yang juga
dapat digunakan untuk berenang, sedangkan bagian ekornya yang terdiri
atas telson dan uropod digunakan sebagai pengendali.
2.1.1. Udang windu (panaeus monodon)
Udang windu adalah Nama populer yang dikenal diseluruh wilayah
Indonesia. Sedangkan nama – nama lokal dari udang ini yaitu udang
bango, udang sotong.sedangkan nama internasional adalah tiger prawn
lantaran berukuran besar dan warnanya yang bergaris- garis hitamputih
seperti harimau.
Udang windu dapat di klasifikasi sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Panaeus
Spesies : Panaeus monodon
Gambar 2. Udang windu
5
Menurut (Mintardjo 1970) habitat hidup udang windu stadia yuwana
adalah wilayah pantai berair payau pada daerah hutan bakaudan
berlumpur dengan campuran pasir subur, menjelang dewasa udang windu
akan bermigrasi ke laut lepas tempat udang tumbuh dewasa serta
melakukan pemijahan untuk bertelur kedalam laut bersalinitas tinggi,
serta benur akan di bawa ke pinggiran pantai oleh arus air laut.
2.1.2. udang putih (panaeus marguensis)
Diwilayah Indonesia ada dua spesies udang putih yaitu panaeus
marguensis dan panaeus indicus beberapa daerah mengenalnya sebagai
udang cucuk atau udang pengantin. Sifat morfologi yang khas sebagai
tanda pengenal udang ini ialah warna tubuhnya yang putih, sedangkan
ujung dan tepi ekor serta kaki udang berwarna merah kulitnya relatif tipis
dan dagingnya lebih lunak dibanding udang windu.
Adapun klasifikasi udang putih adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Panaeus
Spesies : Panaeus marguensis
6
Gambar 3. Udang putih
Menurut (Cook dan Rabanal) perbedaan antara panaeus marguensis
dan panaeus indicus sukar dikenali oleh karna itu jenis udang ini di
golongkan dalam kelompok panaeus marguensis. Meskipun pertumbuhan
udang marguensis lambat jika di budidayakan di tambak hanya mencapai
ukuran 20 gram selama tiga bulan tetapi benih alamnya sangat bayak.
Oleh karna itu petani gemar membudidayakan udang putih karena benur
udang windu sukar didapatkan.
2.1.3. udang vanname (Litopenaeus vanname)
Udang vaname adalah salah satu spesies udang yang berasal dari
perairan america dan hawai yang sukses di budidayakan di beberapa
negara di Asia. Secara ekologis udang vaname mempunyanyi siklus hidup
indentik dengan udang windu dan udang putih yang melepaskan telurnya
di perairan laut lepas.
Udang vaname dapat di klasifikasi :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
7
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vanname
Gambar 4. Udang vanname
Menurut kordi 2007 udang vanname juga dapat di serang penyakit,
jamur, protozoa, bakteri dan virus. Virus spesifik yang menyerang udang
ini adalah taura symdrom virus (TSV) dan pertama kali ditemukan virus ini
di muara sungai Taura, Equador. Virus ini sangat mematikan menyerang
benur udang di hatchery maupun di tambak pembesaran.
2.1.4. udang pisang (Panaeus spp)
Secara fisik, Udang pisang, Panaeus spp menyerupai udang windu.
Mulai dari rostrum, hepatic carina, morfologis dan bagian tubuh lainnya.
Tapi sifat dan warnanya mirip udang marguensis. Udang ini aktif di malam
hari dan memiliki sifat kanibalisme serta hidup dan mencari makan di
dasar perairan. Warna tubuh dan antenanya polos tidak berbelang serta
8
kaki renannya merah. Sedangkan unutk ukuran tubuh udang pisang lebih
besar dari marguensis dan vannamei.
Udang pisang dapat diklasifikan dengan udang windu karena jenis
udang ini masih satu famili dengan udang windu adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Panaeus
Spesies : Panaeus spp
Gambar 5.Udang Pisang (subang, 2014)
Udang pisang atau udang kelong termasuk ke dalam genus Panaeus
yang termasuk Decapoda, tubuhnya terdiri atas dua bagian yaitu bagian
kepala dan bagian perut. Semua bagian badan beserta anggotanya terdiri
dari ruas-ruas (segmen). Bagian kepala terdiri atas 13 ruas, diantaranya 5
9
ruas bagian utama kepala dan 8 ruas merupakan bagian dada. Sedangkan
bagian perut dari udang pisang ini terdiri atas 6 ruas. Tiap ruas badan
mempunyai sepasanga anggota badan yang beruas-ruas pula. Seluruh
tubuhnya tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang
terbuat atas chitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali sambungan-
sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan, sehingga
memudahkan udang untuk bergerak.
2.2 Habitat Hidup Udang penaeidae
Lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang mempunyai peranan penting.
Kondisi lingkungan akan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh udang dan kondisi
lingkungan yang baik akan menunjang kecepatan pertumbuhan udang. Udang pisang ini
bersifat Nocturnal yaitu aktif pada malam hari.Pada siang hari, udang ini lebih suka
beristirahat.
Udang penaeidae juga mempunyai siklus hidup (Toro dan Soegiarto,1979).Adapun
siklus hidup penaeidae adalah sebagai berikut :
a) Fase ditengah Laut
Udang dewasa berkembang biak ditengah laut.Beberapa saat sbelum kawin
udang betina molting terlebih dahulu.Matang telur ditandai dengan ovari yang
memanjang di bagian Dorsal yang melebar kekiri dan kekanan yang berwarna
kehijauan. Keadaan tersebut menandakan udang betina sudah siap bertelur, dan
spermatophora telah siap diterima dari udang jantan. Induk udang betina akan
melepaskan telurnya pada malam hari dan diletakkan didasar laut dan akan menetas
menjadi larva ( dalam bantuk beberapa tingkatan ) dan bersifat Planktonik.
10
Tingkat pertama larva adalah nauplius yang menjadi zoea dan kemudian
menjadi mysis,lalu menjadi post larva ( Pl ). Setelah menjadi post larva sampai
juvenil, larva akan terbawa arus ke daerah-daerah manggrov yang dekat ke muara
sungai.
b) Fase Peranan Di Muara Sungai
Post larva hidup secara merayap atau melekat pada benda-benda didasar
perairan muara sungai, di daerah-daerah hutan manggrov yang berfungsi sebagai
tempat perlindungan (ajukan ) dan tempat mencari makan ( feeding ground ).
Anakan udang hidup menyesuaikan diri pada salinitas yang bervariasi, antara
4-35 ppt, dengan suhu yang tinggi dan tumbuh menjadi juvenil muda sehingga siap
migrasi lagi kelaut ( Paula, 1998 ).
2.3 Kebutuhan Pakan Dan Kelangsungan Makan Udang
Semula udang Penaeid dikenal sebagai hewan bersifat omnivorous- scavenger artinya
ia pemakan segala bahan makanan dan sekaligus juga pemakan bangkai. Namun penelitian
selanjutnya dengan cara memeriksa isi usus, mengindikasikan bahwa udang Penaeid bersifat
karnivora yang memangsa berbagai krustasea renik amphipoda, dan polychaeta.
Oceanic Institute di Hawai membuktikan bahwa bacteria dan algae yang banyak
tumbuh di badan (kolom) air kolam yang agak keruh, ternyata berperan penting sebagai
makanan udang, menyebabkan udang tumbuh lebih cepat 50% dibanding dengan udang yang
dipelihara didalam kolam/bak yang berair sangat bersih. Catatan ini membuktikan bahwa
udang tumbuh optimum dikolam.
11
karena adanya komunitas microbial (Wyban & Sweeney,1991). udang bersifat
nocturnal. Sering ditemukan udang memendamkan diri dalam lumpur/pasir dasar kolam bila
siang hari, dan tidak mencari makanan. Akan tetapi pada kolam budidaya jika siang hari
diberi pakan maka udang akan bergerak untuk mencarinya, ini berarti sifat nocturnal tidak
mutlak udang memerlukan pakan dengan kandungan protein 35 %. Ini lebih rendah
dibanding dengan kebutuhan budidaya ikan kakap yang kebutuhan protein pakannya
mencapai 45 % untuk tumbuh baik. Ini berarti dari segi pakan udang lebih ekonomis.
12
2.4 Pertumbuhan Udang
Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai sebagai ukuran panjang atau berat dalam
sewaktu-waktu (Effendie, 1997). Kecepatan tumbuh pada udang dipengaruhi oleh 2 faktor,
yaitu frekuensi molting (ganti kulit) dan kenaikan berat tubuh setelah setiap kali ganti
kulit.Karena daging tubuh tertutup oleh kulit yang keras, secara periodik kulit keras itu akan
lepas dan diganti dengan kulit baru yang semula lunak untuk beberapa jam, memberi
kesempatan daging untuk bertambah besar, lalu kulit menjadi keras kembali.
14
Keterangan gambar
A. Fase postlarva (PL-1)
B. Dewasa
1. Carapace
2. Rostrum
3. Mata majemuk
4. Antennules
5. Prosartema
6. Antena
7. Maxilliped
8. Pereopoda
9. Pleopoda
10. Uropoda
11. Telson
(Sutaman, 1993).
a. Oesophagus
b. Ruang cardiac
c. Ruang pyloric
d. Cardiac plate
e. Gigi-gigi cardiac
f. Cardiac ossicle
g. Hepatopancreas
h. Usus
i. Anus
Proses molting dimulai dari lokasi kulit diantara karapas dan intercalary sclerite (garis
molting dibelakang karapas) yang retak/ pecah memungkinkan cephalothorax dan kaki-kaki
(appendiges) depan ditarik keluar. Udang dapat lepas sama sekali dari kulit yang lama dengan
cara sekali melentikkan ekornya. Semula kulit yang baru itu lunak, lalu mengeras yang
lamanya tak sama menurut ukuran/umur udangnya. Udang yang masih kecil, kulitnya yang
baru akan mengeras dalam 1-2 jam, pada udang yang besar bisa sampai 1-2 hari.
Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga mempengaruhi frekuensi molting.
Misalnya, suhu semakin tinggi semakin sering molting. Ketika sedang molting, penyerapan
oksigen kurang efisien, sehingga seringkali udang mati disebabkan hypoxia (kurang oksigen).
Udang yang menderita stress, dapat melakukan molting secara tiba-tiba, karena itu tehnisi
harus waspada dengan keadaan yang menyebabkan stress itu (molting merupakan proses
fisiologi). Secara alamiah, udang yang sedang molting membenamkan diri didalam pasir
dasar perairan untuk menyembunyikan diri terhadap predator.
2.5 Kebutuhan Lingkungan Benur Udang
Suhu air adalah parameter fisika yang di pengaruhi oleh kecerahan air untuk
mempengaruhi suhu tubuh udang, selanjutnya akan mempengaruhi laju metabolisme dan laju
pertumbuhan . DO atau Disoved Oxygen tergantung pada phytoplankton yang berada dalam
perairan, karena sangat berperan penting terhadap DO yang ada di dalam perairan ( Herlena,
2005 ).salinitas sangat berpengaruh pada proses pemeliharaan benur udang di hatchery
karena harus di sesuaikan dengan keadaan di laut lepas,salinitas yang optimal 30-36 ppt.
2.6 Faktor faktor penyebab daya tahan tubuh menurun pada benur udang pisang
15
Turunnya daya tahan tubuh benur udang pisang disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya:
a) Aklimatisasi
Proses aklimatisasi bisa menyebabkan benur udang stress dikarnakan pada saat
pemindahan benur udang terjadi perubahan pada parameter fisika kimia.
b) Penurunan suhu drastis
pada saat suhu tidak stabil benur akan terkejut dan menyebabkan stress pada
benur karena suhu sangat berpengaruh terhadap pemeliharaan benur udang di
hatchery.
c) Kekurangan DO pada media
Di saat kekurangan DO pada wadah sering diakibatkan oleh banyaknya
organisme yang hidup pada perairan tersebut baik protozoa maupun bakteri,
hingga mengakibatkan persaingan DO dalam perairan wadah penelitian.
2.7 Sifat Sifat Umum Vitamin C
Vitamin merupakan senyawa organik yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan
sebagai pemacu metabolisme tubuh.Jumlah yang dibutuhkan sedikit,tapi bila
kekurangan akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan penyebab penyakit
( Mujiman,1995 ). Telah banyak penelitian tentang peranan dan kebutuhan
vitamin C pada udangseperti halnya untuk meningkatkan pertumbuhan,mengatasi
stress,meningkatkan reproduksi dan meningkatkan imunitas terhadap serangan
penyakit.Vitamin merupakan nutrien organik yang dibutuhkan dalam jumlah kecil
bagi sejumlah fungsi biokimia dan umumnya tidak dapat disentesis oleh tubuh
sehingga harus di campurkan pada media air.
16
Penambahan vitamin C yang cukup perlu diberikan karena untuk
mengimbangi hilangnya vitamin C dalam proses pembuatan,penyimpanan dan
pencucian selama pemberian pakan ( Kanazawa,1990). Kekurangan vitamin C dapat
menimbulkan pertumbuhan yang menurun,daya tahan tubuh menurun dan kehilangan
keseimbangan tubuh. Selain itu vitamin C dapat digunakan sebagai bentuk
perlindungan terhadap serangan penyakit ( Sukmawati dkk, 1994 ).
2.8 Peran Vitamin C Secara Biologi
Vitamin C merupakan salah satu nutrien yang penting pada media ikan. Ikan
tidak dapat mensistesis vitaminC dalam tubuh, karena tidak adanya enzim L-
gulanolactoneoxidase yang diperlukan dalam sintesis vitamin C (Wilson, 1973 dalam
Al-amoudi, 1992).
Masumotomo et al. (1991) menyatakan bahwa vitamin C mutlak diperlukan
untuk pertumbuhan yang baik, karena vitamin mempertahankan atom besi pada status
terduksi dan memelihara aktivitas enzim hydroxylase, yang berfungsi untuk
pembentukan kerangka tubuh. Jika vitamin C cukup tersedia dalam tubuh, maka
proses sintesis kalogen akan sempurna , sehingga pertumbuhan ikan akan baik.
Hidroksilasi proline dan lysine terjadi setelah bersatunya proline dan lysine dalam
rantai peptida. Proses ini membutuhkan oksigen, ion besi, a-ketoglutarat, dan vitamin
C. Masumoto et al, (1991) menambahkan bahwa asam askorbat juga mempunyanyi
peran khusus dalam biosintesis katekholamin terjadi di sel kromafin. Saraf pusat ikan
sangat sensitif menerima rangsangan stres yang mengakibatkan peningkatan
kosentrasi plasma katekholamin. Vitamin C berperan dengan efektif menjaga bentuk
reduksi ion tembaga (Cu+) sebagai kofaktor yang dibutuhkan oleh enzim dopamineb-
hydroxylase pada produksi adrenalin dalam biosintesis katekkholamin, maka dalam
kondisi linngkungan yang tidak normal dan perubahan lingkungan secara cepat,
17
produksi katekholamin akan meningkat dan memacu hati untuk memproduksi glukosa
sebagai sumber energi untuk mengatasi stress, sehingga ikan mampu
mempertahankan tubuhnya dari goncangan fisiologis (masumoto et al, 1991)
Vitamin C dalam media air terbukti mampu meningkatkan daya tahan benur
udang dan ikan terhadap stress akibat kondisi lingkungan yang buruk maupun
penyakit. Kanazawa, 1996.vitamin di butuhkan untuk pertumbuhan yang normal,
pemeliharaan jaringan tubuh, dan reproduksi lingkungan , dan adanya stres fisiologis.
Kebutuhan vitamin C berpariasi sesuai dengan tubuh ikan Hunter et al (1979).
2.9 Definisi kebutuhan Vitamin C
Terjadinya gejala definisi vitamin C dalam tubuh. Defisiensi vitamin C pada
ikan disebabkan kurang terjadinya senyawa ini dalam ransum yanng diberikan, sedangkan
ikan tidak mampu untuk mensitesis Vitamin C dalam tubuh. Defisiensi Vitamin C pada ikan
menyebabkan pendarahan, pertumbuhan lambat, kelainan untuk bertulang serta peka terhadap
infeksi, defisiensi asam askorbat dapat menyebabkan skoliosis, lordosis, luka pada mata dan
menurunkan pertumbuhan. Bedasarkan penelitiann deshimaru dan kokarkin (2002) dalam
singkong terdapat p. Japonicus dilaporkan bahwa udang yang diberi ransum tanpa vitamin C
atau yang kurang, menunjukan gejala menjadi abu abu pada batas karapas, bagian bawah
abdomen dan pada ujung kaki penjalan.
Sedangkan litner et,al. (1979) menemukan gejala kekurangan vitamin C pada
p.californiensis yaitu luka yang berwana hitam pada seluruh permukaan tubuh, pada jaringan
di bawah kulit, pada dinding esophangus, usus, insang dan celah insang.
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
18
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di BBAP II, Jln. Laksamana malahayati, km. 16 Ujong Batee,
Gampong Neuhen kecamatan Baiturrahman, Aceh Besar. Dari tanggal 5 April 2014
sampai 24 April 2014.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Alat No
Nama Alat Satuan
Kegunaan
1 Thermometer oC Alat ukur suhu2 pH Meter Alat ukur kadar asam (pH)3 DO Meter ppm Alat ukur kadar oksigen
terlarut (DO)4 Refraktometer ppt Alat ukur salinitas5 Pipet suntik ml Untuk pemberian vitamin C6 Jangka sorong cm/
mmAlat ukur komoditas
7 aerasi Melarutkan oksigen8 Timbangan digital g Alat timbangan komoditas,
racun, kapur, pupuk, mollase, fermentasi dll
9 Skopnet unit Alat panen10 Gelas ukur ml Untuk melihat benur11 Terpal m Untuk menstbilkan suhu
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai
berikut:
19
Tabel 2. Bahan No
Nama Bahan Kegunaan
1 Benur Udang pisang
Biota Uji
2 silikat Kultur pakan alami3 Pupuk Kultur pakan alami4 Bibit skeletonema Pakan alami5 PK Sterilisasi6 Artemia Pakan Alami7 Vitamin C Bahan uji
3.3 Prosedur Penelitian
a. Persiapan media/Wadah penelitian
Wadah penelitian berupa toples yang bervolume 25 liter sebanyak 12 buah, tiap-
tiap wadah diisi air payau yang steril yang diambil dari bak tandon
b. Pemasangan aerasi pada media
Aerasi yang bertujuan untuk meningkatkan oksigen terlarut dalam media
penelitian, agar oksigen terlarut dalam wadah mencapai >3,0 ppt
c. Penebaran benur udang pisang paneus spp
Penebaran benur udang pisang dengan jumlah tiap-tiap wadah berjumlah 1000
ekor/20 liter air, pada saat penebaran harus dengan hati-hati supaya tidak terjadi stres
pada saat aklimatisas
d. Pemberian pakan
Pemberian pakan berlangsung selama masa pemeliharaan dengan limit waktu 4
jam sekali pakan yang diberikan berupa artemia dan monodon
20
e. Pemberian vitamin C
Pemberian vitamin C dengan dosis yang berbeda pada perlakuaan yang berbeda-
beda sebanyak 2 kali sehari (pagi dan sore) dengan cara melarutkan kedalam media
air dengan dosis yang berbeda-beda (1ml, 2ml, 3ml, 0 ml )
f. Pengontrolan
Pengontrolan setiap saat hingga mencapai masa panen benur selama 12 hari agar
mengetahui agar mengtahui parameter air dan daya tahan tubuh benur udang pisang
g. Panen
Panen dilakukan disaat stadia PL12 agar mengetahui sulvivarate dan laju
pertumbuhan benur udang pisang.
3.4 Rancangan penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak
Lengkap Non Faktorial, dengan 4 perlakuan dan masing-masing 3 pengulangan.
3.4.1. Rancangan Perlakuan
Perlakuan A = 0 vitamin C
Perlakuan B = 1 ml vitamin C/20 liter air
Perlakuan C = 2 ml vitamin C/20 liter air
Perlakuan D = 3 ml vitamin C/20 liter air
21
3.4.2. Rancangan Percobaan
Menggunakan Metode Rangcangan Acak Lengkap (RAL) Nonfaktorial dengan 4
perlakuan dan 3 ulangan data SR, pertumbuhan benur udang pisang ,dan jenis-jenis bakteri
yang di analisis dengan analisa ragam (Annova) bila berbeda nyata maka di lanjutkan dalam
uji lanjut. (sleel 1997.)
3.5 Parameter Pengamatan
3.5.1. kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup udang pisang dihitung dengan membandingkan jumlah
udang pisang pada hari ke N pemeliharaan,terhadap jumlah benur udang pisang
dihitung dengan menggunakan rumus (efendi 1997) :
SR = NT : NO x 100%
Keterangan
SR = kelangsungan hidup benur udang pisangNT = jumlah benur di akhir penelitian NO = jumlah benur di awal penelitian
Monitoring pertumbuhan udang untuk mengetahui laju pertumbuhannya dilakukan
dengan cara mencatat data pertumbuhan udang pada blanko monitoring pertumbuhan yang
dilakukan per minggu dengan sampling ukuran udang (Tribawono. 1972), dimana hasil
pengukuran tersebut dibandingkan normal udang sehingga nantinya akan diketahui apakah
terjadi stagnasi pertumbuhan atau tidak.
22
3.5.2. pertumbuhan benur udang pisang
Pertumbuhan udang pisang dapat dihitung berdasarkan rumus Pebriana et al. (2012)
yaitu :
G = Wt – W0
Keterangan :G = Pertambahan bobotWt = Bobot akhirW0 = Bobot awal
Pengamatan pertumbuhan harian dilakukan 7 hari sekali dengan menimbang bobot
total udang pisang. Laju pertumbuhan relatif udang pisang dapat di hitung berdasarkan rumus
De Silva (1995), sebagai berikut:
SGR=¿ (W 2 )−¿(W 1)
t 2−t 1 x100 %
Keterangan : SGR= laju pertumbuhan harian (%) W1 = Berat awal udang W2= Berat akhir udang t = Waktu pemeliharaan (hari)
3.5.3. parameter kualitas air
Pengamatan parameter kualitas air selama penelitian meliputi oksigen terlarut, pH,
salinitas, suhu. Data parameter kualitas air dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
23
Tabel 3. Parameter pengukuran
No Parameter yang di ukur Alat yang digunakan
1 Tingkat keasaman (pH) pH Pen2 Salinitas Handrefrakto meter3 Oksigen terlarut (DO) DO pen4 Suhu Termometer
3.6 Analisa statistik
Menggunakan Metode Rangcangan Acak Lengkap (RAL) Nonfaktorial dengan 3
perlakuan dan 3 ulangan.data SR, pertumbuhan udang pisang yang di analisis dengan analisa
ragam (Annova) bila berbeda nyata maka di lanjutkan dalam uji lanjut. sleel 1997.
24
Daftar pustaka
Cook and Rabanal .,poblem in shrimp in the south china sea region (Makati, Philiphines 1976).
Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Dwi Sri. Bogor
Fisher, W.L., 1985, Seismic Stratigraphic Interpretation and Petroleum Exloration, AAPG Department of Education, Texas
Hunter, J.E. 1979. The vitamins, pp. 32-102. In: Fish nutrition, J.E. Halver (ed.). Academic Press, Inc., California.
Kordi, 2007. Budidaya udang vanname. Surabaya : penerbit indah.
Kanazawa, A., S. Teshima, and K. Ono. 1979. Conversion of Linoleic Acid to n-3 Highly Unsaturated Fatty Acids in Marine Fishes and Rainbow Trout. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 46: 1231-1233.
Kokarkin, C., 2002. “Petunjuk Teknis Budidaya Udang Rostris”. Dirjen Perikanan. Jakarta.
Litner, M.C. 1979. Biokimia nutrisi dan metabolisme (terjemahan). Universitas Indonesia, Jakarta.
Novotny, V. and Olem, H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. New York: Van Nostrans Reinhold.
Mintarjo,k, dkk” result of pond culture of penaidae shrimp at the jepara center in 1970 ,bul.brackishwater, jepara. 3 (1&2):213-222.,1971.
Mujiman ,A. suyanto 2001. Morfologi udang genus panaeus jakarta
_______ , A. 1987. Morfologi udang. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mujiman. A .1995., makanan ikan . penebar jakarta swadaya.
Masumoto, T., H. Hokokawa, S. Shimeno.1991. ascorbic acid’s role in aquaculture nuttrition. P.42 in akiyama, D.M and R.K.H.Tan (editors) Proceedings of the aqua culture feed processing and nutrition workshop. American soybean Association. Singapura.
25
Purnomo.2008. Fisika Universitas. Erlangga. Jakarta.
Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1997. Principles and procedures of statistics. McGraw-Hill, Book Company, INC. London: 487 pp.
Sukmawati, D. 1994. Stres Oksidatif, Antioksidan Vitamin dan Kesehatan.
Tribawono, D., “pengenalan yuvenile udang windu sebbagai sarana pengembangan kultur udang tambak di jawa timur”, bul Disperikan Prop. Jatim. 1(3) :1-6.1972
Toro, V., dasn K. A. Soegiarto, 1979. Udang. Biologi Potensi, Budidaya dan Produksi di Indonesia. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi. (LON. Lipi). Jakarta, 229 hal.
Wilson, R. P. 1973. Utilization of dietary carbohydrate by fish. Aquaculture, 124 : 67-80.
26