This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Seorang anak perempuan usia 4 tahun dibawa orangtuanya ke dokter praktek
Umum dengan keluahn terlihat pucat dan perut agak membuncit. Penderita juga lekas lemah,lelah, dan sering mengeluh sesak nafas. Pertumbuhan badannya terlambat bila dibandingkan
dengan teman sebayanya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjunctiva pucat, sklera agak ikterik, kulut pucat,
dan Splenomegali Schufer II.
Dokter menganjurkan beberapa pemeriksaan laboraturium, hasilnya sebagai berikut:
Pemeriksaan Kadar Nilai Normal
Hemoglobin (Hb) 9 g/dl 11,5 - 15,5 g/dl
Hematokrit (Ht) 30% 34 - 40%
Eritrosit 3,5 x 10 /μl 3,9 – 5,3 x 10
/μl MCV 69 fl 75 – 87 fl
MCH 13 pg 24 – 30 pg
MCHC 19 % 32 – 36 %
Leukosit 8000/ μl 5000 – 14.500 /μl
Trombosit 260.000/μl 250.000 – 450.000/μl
Retikulosit 2% 0,5 – 1,5 %
Sediaan apus darah tepi Eritrosit mikrositik hipokrom, anisopoikilosistosis, sel target
Pada pasien dengan kondisi pucat, mata kekuningan, sesak nafas, dan perut membuncit,
dilakukan anamnesis berdasarkan pengakuan pasien yg meliputi riwayat keluarga, riwayat
penyakit hati, konsumsi obat-obatan dan alcohol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
deformitas tulang wajah dan tulang panjang dan perut membuncit akibat pembesaran limpadan hepar, dari pemeriksaan darah lengkap ditemukan eritrosit, Hb, MCH, MCV, MCHC
menurun dan retikulosit meningkat, gambaran SADT terlihat morfologi eritrosit mikrositik
hipokrom lalu untuk diagnosis pastinya pasien disarankan melakukan elektroforesis Hb,
ditemukan HbA2 meningkat, sehingga dapat disimpulkan pasien mengidap thalassemia.
Thalassemia ini dapat disebabkan karena mutasi kromosom yang bersifat herediter, defisiensi
Asam folat dan sintesis HbA yang menyebabkan inefektifitas eritropoiesis. Namun kondisi
ini dapat dicegah dengan mengikuti konseling pranikah, pra natal bayi dan DNA screening.
Walau Thalassemia tidak dapat dihindari, penderita dapat melakukan transfuse darah bagi
yang mengindap Thalassemia beta major, spleenektomi dengan indikasi pan-sitopenia dan
transplantasi sum-sum tulang apabila sarana mendukung.
Biosintesis hemoglobinSintesis hemoglobin di mulai dalam proteoblast dan berlanjut bahkan dalam
stadium retikulosit pada pembentukan sel darah merah.
Oleh karena itu ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk kealiran darah, retikulosit tetap membentuk sejumlah kecil hemoglobin satu hari
sesudah dan seterusnya sampai sel tersebut menjadi eritrosit yang matur.
Tahap dasar pembentukan secara kimiawi :
Suksinil-KoA, di bentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin
membentuk molekul priol.
Empat priol bergabung membentuk protoporfirin IX bergabung dengan besi
membentuk molekul heme.
Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yaitu
globin yang di sintesis oleh ribosom membentuk sub unit hemoglobin yang di
Ditandai oleh defisiensi sintesis rantai β globin. Pada thalassemia β0 tidak terdapat sama
sekali rantai β globin dalam keadaan homozigot. Pada thalassemia β+ terdapat penuruan
sintesis β globin (tetapi masih dapat terdeteksi) dalam keadaan homozigot.
Silent carrier thalassemia-β
Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan merepresentasikan suatu thalassemia-β+. Bentuksilent carrier thalassemia-β tidak menimbulkan kelainan yang dapat diidentifikasi pada
individu heterozigot, tetapi gen untuk keadaan ini, jika diwariskan bersama-sama
dengan gen untuk thalassemia-β°, menghasilkan sindrom thalassemia intermedia.
Trait thalassemia-β
Individu dengan ciri (trait) thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia
defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama
waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait thalassemia-β mempunyai
peningkatan HbA2 yang berarti (3,4%-7%). Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai
sedikit kenaikan HbF, sekitar 2- 6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar
khas, dijumpai HbA2 normal dengan kadar HbF berkisar dari 5% sampai 15%, yang
mewakili thalassemia tipe δβ.
Thalassemia Intermedia.
Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa memproduksi sedikit
rantai β globin. Penderita biasanya mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari
derajat mutasi gen yang terjadi.
Thalassemia-β° homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor) Bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan kedua
kehidupan. Transfusi darah yang reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah
kelemahan yang amat sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia. Tanpa
transfusi, 80% penderita meninggal pada 5 tahun pertama kehidupan. Pada kasus yang
tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik disumsum tulang maupun di luar sumsum
tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi
masif sumsum tulang di wajah dan tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.
Dilihat dari distribusi geografiknya maka thalassemia β banyak dijumpai di
mediterania, timur tengah, india/Pakistan dan asia. Di siprus dan yunani lebih
banyak dijumpai varian sedangkan di Asia tenggara lebih banyak varian
.Prevalensi thalassemia di berbagai Negara adalah sebagai berikut : Italy :10%, yunani : 5-10%, cina : 2%, india : 1-5%, Negro : 1%, Asia tenggara : 5%.
Jika dilukiskan dalam peta dunia, seolah olah membentuk sebuah sabuk
(thalassemia belt) dimana indonesia masuk ke dalamnya.
2) Thalasemia alfa
Sering dijumpai di asia tenggara, lebih sering sering dari thalassemia beta.
LO.2.4. EtiologiThalassemia disebabkan oleh delesi (hilangnya) satu gen penuh atau sebagian dari
gen (ini terdapat terutama pada thalassemia α atau mutasi noktah pada gen (terutama
pada talasemia β, kelainan itu menyebabkan menurunnya sintesis rantai polipeptida yangmenyusun globin. (Sunarto, 2000)
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-
sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat,
bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi dan
destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian
biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa
atau beta dari hemoglobin berkurang. (Mansjoer, 2009)
a) Memperlambat pertumbuhan dan pubertas. Anemia dapat memperlambat
pertumbuhan anak dan perkembangannya.
b) Masalah tulang, thalassemia dapat membuat sumsum tulang (materi spons
dalam tulang yang membuat sel-sel darah) tidak berkembang. Hal ini
menyebabkan tulang lebih luas daripada biasanya. Tulang juga dapat
menjadi rapuh dan mudah patah.c) Pembesaran limpa. Limpa adalah organ yang membantu tubuh melawan
infeksi dan menghapus materi yang tidak diinginkan. Ketika seseorang
menderita talasemia, limpa harus bekerja sangat keras. Akibatnya, limpa
menjadi lebih besar dari biasanya. Hal ini membuat penderita mengalami
anemia parah. Jika limpa menjadi terlalu besar maka limpa tersebut harus
disingkirkan.
d.
Anemia berat dan tanda serta gejala lainnya
Orang dengan penyakit hemoglobin H atau thalassemia beta mayor (disebut juga
Cooley's anemia) akan mengalami talasemia berat. Tanda dan gejala-gejala
muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Mereka mungkin akan
mengalami anemia parah dan masalah kesehatan serius lainnya, seperti:a) Pucat dan penampilan lesu
b) Nafsu makan menurun
c) Urin akan menjadi lebih pekat
d) Memperlambat pertumbuhan dan pubertas
e) Kulit berwarna kekuningan
f) Pembesaran limpa dan hati
g) Masalah tulang (terutama tulang di wajah)
e. Anemia berat menjadi nyata pada usia 3-6bulan setelah kelahiran ketika
seharusnya terjadi pergantian dari produksi rantai γ ke rantai β
f.
Pembesaran hati dan Limpa terjadi akibat destruksi eritrosit yang berlebihan ,hemopoeisis extramedula, dan lebih lanjut akibat penimbunan besi. Limpa yang
besar , meningkatkan kebutuhan darah dengan meningkatkan volume plasma
dan meningkatkan destruksi eritrosit dan cadangan eritrosit
g. Pelebaran tulang yang hebat menyebabkan fasies thalasemia dan penipisan
korteks di banyak tulang, dengan suatu kecenderungan terjadinya fraktur dan
penonjolan tengkorak dengan suatu gambaran „ rambut berdiri” pada rontegen
h. Usia pasien dapat di perpanjang dengan pemberian transfuse darah tetapi
penimbunan besi yang disebabkan oleh transfuse berulang tidak terhindarkan
kecuali bila diberikan terapi khelasi. Tiap 500 l darah transfuse mengandung
sekitar 250 mg besi. Yang lebih memperburuk, absorpsi besi dari makanan
meningkat pada thalasemia β, kemungkinan akibat eritropoesisi yang inefektif.Besi erusak organ endokrin (dengan kegagalan pertumbuhan, pubertas yang
terlambat , atau tidak terjadi diabetes mellitus, hipotiroidisme,
hipoparatiroidise ) dan miokardium. Tanpa khalesi yang besi yang intensif,
kematian terjadi pada decade kedua atau ketiga, biasanya akibat gagal jantung
kohesif atau aritmia jantung.
i.
Infeksi dapat terjadi karena berbagai alas an. Pada masa bayi tanpa transfuse
yang mencukupi, anak yang menderita anemia rentan terhadap infeksi bakteri
( infeksi pneukokus, haemophilus dan meningokokus mungkin terjadi jika telah
dilakukan splenektomi dan tidak diberikan profilaksis penisilin).
j. Yersinia enterocolitica terutama di temuakan pada paasien kelebihan besi yang
sedang menjalani pengobatan desferioksamin. Transfuse virus elalui transfusi
LO.2.8. PenataLaksanaanPengobatan thalassemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari
gangguan. Seseorang pembawa atau yang memiliki sifat alfa atau beta talasemia
cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit atau tanpa
pengobatan. Terdapat 3 (standar) perawatan umum untuk thalassemia tingkat
menengah atau berat, yaitu transfusi darah, terapi besi dan chelation, serta
mmenggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah
dengan transplantasi sum-sum tulang belakang, pendonoran darah tali pusat, dan
HLA (Human Leukocyte Antigens).
a. Transfusi darah
Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk mempertahankan
hemoglobin diatas 10 g/dl setiap saat. Darah segar, yang telah di saring untukmemisahkan leukosit, menghasilkan eritrosit dengan ketahanan yang terbaik dan
reaksi paling sedikit. Pasien harus diperiksa genotipnya pada permulaan
program transfuse untuk mengantisipasi bila timbul antibody eritrosit terhadap
eritrosit yang di trnasfusikan .
Efeksamping dan indikasi cara pemberian trasfusi darah
Indikasi :
1. Kehilangan darah akut, bila 20 – 30% total volume darah hilang dan perdarahan masih
terus terjadi.2. Anemia berat
3. Syok septik (jika cairan IV tidak mampu mengatasi gangguan sirkulasi darah dan
sebagai tambahan dari pemberian antibiotik)
4. Memberikan plasma dan trombosit sebagai tambahan faktor pembekuan, karena
komponen darah spesifik yang lain tidak ada
5. Transfusi tukar pada neonatus dengan ikterus berat.
Memberikan Transfusi Darah
Sebelum pemberian transfusi, periksa hal sebagai berikut:
a. Golongan darah donor sama dengan golongan darah resipien dan nama anak serta
nomornya tercantum pada label dan formulir (pada kasus gawat darurat, kurangi
risiko terjadinya ketidakcocokan atau reaksi transfusi dengan melakukan uji silang
golongan darah spesifik atau beri darah golongan O bila tersedia)
b.
Kantung darah transfusi tidak bocor
c. Kantung darah tidak berada di luar lemari es lebih dari 2 jam, warna plasma darah
tidak merah jambu atau bergumpal dan sel darah merah tidak terlihat keunguan atau
hitam
d. Tanda gagal jantung. Jika ada, beri furosemid 1mg/kgBB IV saat awal transfusi darah
pada anak yang sirkulasi darahnya normal. Jangan menyuntik ke dalam kantungdarah.
Lakukan pencatatan awal tentang suhu badan, frekuensi napas dan denyut nadi anak.
Jumlah awal darah yang ditransfusikan harus sebanyak 20 ml/kgBB darah utuh, yang
diberikan selama 3-4 jam.
Selama transfusi
1. Jika tersedia, gunakan alat infus yang dapat mengatur laju transfusi (lihat gambar )
2. Periksa apakah darah mengalir pada laju yang tepat
3. Lihat tanda reaksi transfusi (lihat di bawah), terutama pada 15 menit pertama transfusi
4. Catat keadaan umum anak, suhu badan, denyut nadi dan frekuensi napas setiap 30 menit
5.
Catat waktu permulaan dan akhir transfusi dan berbagai reaksi yang timbul.
Setelah transfusi
Nilai kembali anak. Jika diperlukan tambahan darah, jumlah yang sama harus ditransfusikan
dan dosis furosemid (jika diberikan) diulangi kembali.
RISIKO TRANSFUSI DARAH
Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian situasi klinis yang
kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial menyelamatkan nyawa hanya bila
didukung dengan transfusi darah, maka keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggidaripada risikonya. Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang stabil
hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak menguntungkan. Dalam
hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan keuntungannya.Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan
penyakit infeksi dan risiko transfusi masif.20
IV.1. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi.
Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang
membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash.
Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai
dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam,takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-
berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein,
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah
merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel.
Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan
semakin meningkatkan risiko.1,8
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan
dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum
diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan
ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya
adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain
golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau
Duffy.1,8,16,17
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal transfusi,
kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar ataudalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-
satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi
dari setiap unit darah.1
Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi bila
terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi
ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki
penyakit dasar kardiovaskular.1,8
Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma merupakan salah
satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu,
defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan
produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal
transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa
demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan
leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi,
dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun
diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.1,8
IV.2. Reaksi Lambat
Reaksi hemolitik lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam,
anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancamnyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel
darah kompatibel dengan antibodi tersebut.1,8,16,17
Purpura pasca transfusi
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung
yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita.
Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10
hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL.
Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang
tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan
trombosit yang kompatibel dengan antibodi pasien.1,8
Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi pada pasienimunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien
imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel
(HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda,
seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-
12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat suportif.1,8
Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan
mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal
organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi
besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.1,8
Supresi imun
Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam beberapa cara, dan hal ini
menjadi perhatian karena adanya pendapat yang menyatakan bahwa angka rekurensi tumor
dapat meningkat. Selain itu juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa transfusi darah
meningkatkan risiko infeksi pasca bedah karena menurunnya respons imun: sampai saat ini,
penelitian klinis gagal membuktikan hal ini.1
Busch dkk18 (1993) melakukan randomized trial terhadap 475 pasien kanker kolorektal.
Penelitian membandingkan prognosis antara pasien kanker kolorektal yang dilakukan
transfusi autolog dengan transfusi allogenik. Didapatkan hasil bahwa risiko rekurensi
meningkat secara bermakna pada pasien yang dilakukan transfusi darah, baik allogenik
maupun autolog, bila dibandingkan dengan yang tidak dilakukan transfusi; risiko relatif
rekurensi adalah 2,1 dan 1,8; angka tersebut tidak berbeda bermakna satu dengan yang lain.
Jensen dkk19 melakukan penelitian randomized prospektif terhadap 197 pasien yang akan
menjalani operasi elektif kolorektal. Fungsi sel natural killer diteliti sebelum operasi, tiga,
tujuh dan 30 hari pasca operasi pada 60 pasien. Didapatkan hasil bahwa fungsi sel natural
killer mengalami ketidakseimbangan secara bermakna (p<0,001) sampai 30 hari pascaoperasi pada pasien yang dilakukan transfusi darah lengkap. Data di atas merupakan satu
kasus kuat yang menentang penggunaan transfusi darah lengkap pada pasien yang akan
menjalani operasi kolorektal elektif.
Penelitian tentang hubungan antara transfusi darah perioperatif dan rekurensi tumor padat
telah menimbulkan kontroversi. Analisis pada pasien yang dilakukan transfusi menyatakan
bahwa rekurensi berhubungan dengan transfusi darah lengkap namun tidak demikian halnyadengan transfusi konsentrat sel darah merah. Analisis selanjutnya dilakukan pada pasien
dengan kanker kolon, rektum, serviks dan prostat untuk menentukan apakah terdapat
perbedaan antara pasien yang menerima darah lengkap, sel darah merah, atau tidak dilakukan
transfusi. Pasien yang menerima ≥1 unit darah lengkap didapatkan keluaran yang jauh lebih
buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan transfusi (p<0,001). Sebaliknya,
pasien yang hanya menerima sel darah merah mengalami rekurensi progresif dan angka
kematiannya meningkat sesuai dengan jumlah transfusi; hal ini menggambarkan adanya
hubungan dengan jumlah transfusi. Berdasarkan analisis multivarian, transfusi darah ≤3 unit
darah lengkap berhubungan bermakna dengan rekurensi tumor yang lebih cepat (p=0,003)
dan kematian akibat kanker (p=0,02). Transfusi ≤3 unit konsentrat sel darah merah tidak
meningkatkan risiko rekurensi dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima transfusi(p=0,05). Perbedaan nyata terlihat antara pasien yang menerima beberapa unit sel darah
merah dan dibandingkan dengan pasien yang menerima satu unit darah lengkap, hal tersebut
sesuai dengan hipotesis bahwa transfusi plasma darah simpan menyebabkan rekurensi tumor
lebih awal pada beberapa kasus.20
Agarwal dkk21 (1993) menganalisis data 5.366 pasien yang dirawat di rumah sakit selama >2
hari pada 8 rumah sakit selama 2 tahun untuk menentukan apakah transfusi darah
mempengaruhi terjadinya infeksi setelah trauma. Dinyatakan bahwa insidens infeksi
berhubungan bermakna dengan mekanisme cedera. Hasil analisis regresi logistik bertahap
menunjukkan bahwa jumlah darah yang diterima dan skor tingkat keparahan cedera
merupakan dua variabel prediktor infeksi yang bermakna. Meskipun pasien sudahdikelompokkan berdasarkan derajat keparahan, ternyata angka infeksi meningkat secara
bermakna sesuai dengan jumlah darah yang ditransfusikan. Transfusi darah pada pasien
cedera merupakan variabel prediktor bebas penting akan terjadinya infeksi. Hal ini tidak
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin atau mekanisme dasar yang mempengaruhi tingkat
keparahan cedera.
Moore dkk22 dalam penelitian kohort prospektif terhadap 513 pasien trauma yang dirawat di
ICU dengan kriteria usia >16 tahun, skor keparahan trauma >15 dan bertahan hidup >48 jam
menyimpulkan bahwa transfusi darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya gagal organ
multipel (multiple organ failure = MOF) yang tidak bergantung pada indeks syok lainnya.
Zallen dkk23 melakukan studi kohort prospektif terhadap 63 pasien yang berisiko menderita
MOF pasca trauma untuk mengetahui apakah umur PRC yang ditransfusikan merupakan
faktor risiko timbulnya MOF pasca trauma. Dalam penelitian ini terdapat 23 pasien yang
diidentifikasi menderita MOF dan menerima 6-20 unit PRC dalam 12 jam pertama setelah
trauma. Umur PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama dicatat dan dilakukan regresi
logistik multipel terhadap pasien yang menderita MOF maupun tidak. Disimpulkan bahwa
umur PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama merupakan faktor risiko tidak bergantung
(independent) atas terjadinya MOF.
IV.3. Penularan Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada berbagai hal,
antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan, status
imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah.8 Saat ini dipergunakan model matematis
untuk menghitung risiko transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C,
hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV). Model ini berdasarkan fakta
bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah
infeksi dimana darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).24
Transmisi HIV
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada akhir tahun 1982 dan
awal 1983. Pada tahun 1983 Public Health Service (Amerika Serikat) merekomendasikan
orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah. Bank darah
juga mulai menanyakan kepada donor mengenai berbagai perilaku berisiko tinggi, bahkan
sebelum skrining antibodi HIV dilaksanakan, hal tersebut ternyata telah mampu mengurangi
jumlah infeksi HIV yang ditularkan melalui transfusi. Berdasarkan laporan dari Centers forDisease Control and Prevention (CDC) selama 5 tahun pengamatan, hanya mendapatkan 5
kasus HIV/tahun yang menular melalui transfusi setelah dilakukannya skrining antibodi HIV
pada pertengahan maret 1985 dibandingkan dengan 714 kasus pada 1984.24
Pengenalan pemeriksaan antibodi HIV tipe 2 ternyata hanya sedikit berpengaruh di Amerika
Serikat, yaitu didapatkan 3 positif dari 74 juta donor yang diperiksa. Perhatian terhadap
kemungkinan serotipe HIV tipe 1 kelompok O terlewatkan dengan skrining yang ada
sekarang ini, timbul setelah terdapat 1 kasus di Amerika Serikat, sedangkan sebagian besar
kasus seperti ini terjadi di Afrika Barat dan Perancis. Di Amerika Serikat, dari 1.072 sampel
serum yang disimpan tidak ada yang positif menderita HIV tipe 1 kelompok O.24
Untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui transfusi, bank darah mulai menggunakan
tes antigen p24 pada tahun 1995. Setelah kurang lebih 1 tahun skrining, dari 6 juta donor
hanya 2 yang positif (keduanya positif terhadap antigen p24 tetapi negatif terhadap antibodi
HIV).24
Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C
Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis B pada tahun 1975 menyebabkan
penurunan infeksi hepatitis B yang ditularkan melalui transfusi, sehingga saat ini hanya
terdapat 10% yang menderita hepatitis pasca transfusi. Makin meluasnya vaksinasi hepatitis
B diharapkan mampu lebih menurunkan angka penularan virus hepatitis B. Meskipun penyakit akut timbul pada 35% orang yang terinfeksi, tetapi hanya 1-10% yang menjadi
kronik.24
Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang setelah penemuan virus
hepatitis C dan dilakukannya skrining anti-HCV. Risiko penularan hepatitis C melalui
transfusi darah adalah 1:103.000 transfusi. Infeksi virus hepatitis C penting karena adanya
fakta bahwa 85% yang terinfeksi akan menjadi kronik, 20% menjadi sirosis dan 1-5%
menjadi karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat sirosis dan karsinoma hepatoselular
adalah 14,5% dalam kurun waktu 21-28 tahun.22 Prevalensi hepatitis B di Indonesia adalah
3-17% dan hepatitis C 3,4% sehingga perlu dilakukan skrining hepatitis B dan C yang cukup
Di Amerika Serikat prevalensi hepatitis G di antara darah donor adalah 1-2%.22 Banyak
orang yang secara serologik positif virus hepatitis G juga terinfeksi hepatitis C. Meskipun
infeksi hepatitis G dapat menimbulkan karier kronik akan tetapi tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa infeksi hepatitis G dapat menyebabkan hepatitis kronis maupun akut.25
Infeksi yang disebabkan kontaminasi komponen darah oleh organisme lain seperti hepatitis A
dan parvovirus B19, untuk darah donor yang tidak dilakukan skrining serologis, telah dicatat
tetapi perkiraan angka infeksi melalui transfusi tidak ada.23 Infeksi karena parvovirus B19
tidak menimbulkan gejala klinis yang bermakna kecuali pada wanita hamil, pasien anemia
hemolitik dan imunokompromais. Di Amerika Serikat, penularan virus hepatitis A melalui
transfusi darah hanya terjadi pada 1: 1 juta kasus.24
Di Kanada 35-50% darah donor seropositif terhadap sitomegalovirus (CMV).23 Di Irlandia
didapatkan angka 30%, tetapi hanya sebagian kecil dari yang seropositif menularkan virus
melalui transfusi.8 Risiko penularan CMV melalui transfusi terutama terjadi pada bayidengan berat badan sangat rendah (<1200 g), pasien imunokompromais terutama yang
menjalani transplantasi sumsum tulang dan wanita hamil pada trimester awal yang dapat
menularkan infeksi terhadap janin. Penularan CMV terjadi melalui leukosit yang terinfeksi;
oleh sebab itu teknik untuk mengurangi jumlah leukosit dalam produk darah yang akan
ditransfusikan akan mengurangi risiko infeksi CMV. Komponen darah segar mempunyai
risiko infeksi CMV yang lebih tinggi daripada produk darah yang disimpan beberapa hari.25
HTLV-I dapat menyebabkan penyakit neurologis dan leukemia sel T pada dewasa. Biasanya
penyakit timbul beberapa tahun setelah infeksi dan hanya sedikit yang pada akhirnya
menderita penyakit tersebut. HTLV-I dapat ditularkan melalui transfusi komponen sel darah.
Prevalensi tertinggi ada di Jepang dan Kepulauan Karibia.8 Sedangkan hubungan antaraHTLV-II dengan timbulnya penyakit masih belum jelas, tetapi infeksi dapat ditemukan pada
pengguna narkotika intravena. Dikatakan bahwa infeksi akan timbul pada 20-60% resipien
darah yang terinfeksi HTLV-I dan II. Transmisi dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan
darah dan jumlah sel darah merah dalam unit tersebut. Darah yang telah disimpan selama 14
hari dan komponen darah nonselular seperti kriopresipitat dan plasma beku segar ternyata
tidak infeksius.24
Kontaminasi bakteri
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan 1-2% konsentrat
trombosit.1 Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat timbul sebagai hasil paparanterhadap bakteri kulit pada saat pengambilan darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah
oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia
pada donor saat pengambilan darah yang tidak diketahui.25
Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sel darah merah
atau plasma sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan
hampir semua bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6°C
dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan,
sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan pada suhu 4°C. Stafilokok tumbuh
dalam kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada suhu 20-
40°C. Oleh karena itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.1,22 Gejalaklinis akibat kontaminasi bakteri pada sel darah merah timbul pada 1: 1 juta unit transfusi.
Risiko kematian akibat sepsis bakteri timbul pada 1:9 juta unit transfusi sel darah merah. Di
Amerika Serikat selama tahun 1986-1991, kontaminasi bakteri pada komponen darah
sebanyak 16%; 28% di antaranya berhubungan dengan transfusi sel darah merah. Risiko
kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan penggunaan transfusi darah autolog.25
Penularan sifilis di Kanada telah berhasil dihilangkan dengan penyeleksian donor yang cukuphati-hati dan penggunaan tes serologis terhadap penanda sifilis.25
Kontaminasi parasit
Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia pada saat
pengumpulan darah. Kriteria seleksi donor berdasarkan riwayat bepergian terakhir, tempat
tinggal terdahulu, dan daerah endemik, sangat mengurangi kemungkinan pengumpulan darah
dari orang yang mungkin menularkan malaria, penyakit Chagas atau leismaniasis. Di Kanada
dan Amerika Serikat penularan penyakit Chagas melalui transfusi sangat jarang.23 Risiko
penularan malaria di Kanada diperkirakan 1:400.000 unit konsentrat sel darah merah, di
Amerika Serikat 1:4 juta unit darah, sedangkan di Irlandia saat ini tidak ada laporanmengenai penularan malaria melalui transfusi darah.8,25
Penyakit Creutzfeldt-Jacob
Pasien yang berisiko terinfeksi penyakit Creutzfeldt-Jacob seperti pasien dengan riwayat graft
durameter atau kornea, injeksi hormon pertumbuhan atau gonadotropin yang berasal dari otak
manusia atau ada riwayat keluarga kandung garis keturunan pertama yang menderita penyakit
Creutzfeldt-Jacob secara permanen tidak boleh menyumbangkan darah. Hal ini dilakukan
meskipun penularan penyakit Creutzfeld-Jacobs melalui transfusi belum pernah dilaporkan.
Riwayat transfusi darah telah dilaporkan pada 16 dari 202 pasien dengan penyakit
Creutzfeldt-Jacob, angka ini sama dengan yang terdapat pada kelompok kontrol.8,25
b. Suplemen asam folat
Asam folat diberikan secara teratur (missal 5 mg /hari ) jika asupan diet buruk
c. Terapi Khelesi
Terapi khalesi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi.
Obat pengkelasi besi yang dikenal adalah deferoksamin, deferipron, dan deferasirox.3
1. Deferoksamin (DFO)
Dosis standar adalah 40 mg/kgBB melalui infus subkutan dalam 8-12 jam denganmenggunakan pompa portabel kecil selama 5 atau 6 malam/minggu. Lokasi infus
yang umum adalah di abdomen, daerah deltoid, maupun paha lateral. Penderita yang
menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum < 1000 µg/L. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah toksisitas retina, pendengaran, gangguan tulang
dan pertumbuhan, reaksi lokal dan infeksi.
2. Deferipron (L1)
Kelebihan deferipron dibanding deferoksamin adalah efek proteksinya terhadap
jantung. Anderson dkk menemukan bahwa pasien thalassemia yang menggunakan
deferipron memiliki insiden penyakit jantung dan kandungan besi jantung yang lebihrendah daripada mereka yang menggunakan deferoksamin. Meskipun begitu, masih
terdapat kontroversi mengenai keamanan dan toksisitas deferipron sebab deferipron
dilaporkan dapat menyebabkan ES: agranulositosis, artralgia, kelainan imunologi, dan
fibrosis hati. Saat ini deferipron tidak tersedia lagi di Amerika Serikat.
3. Deferasirox (ICL-670)
Deferasirox adalah obat kelasi besi oral yang baru saja mendapatkan izin pemasaran
di Amerika Serikat pada bulan November 2005. Terapi standar yang dianjurkan
adalah 20-30 mg/kgBB/hari dosis tunggal. Deferasirox menunjukkan potensi 4-5 kali
lebih besar dibanding deferoksamin dalam memobilisasi besi jaringan hepatoseluler,
dan efektif dalam mengatasi hepatotoksisitas. ES: yang mungkin terjadi adalah sakit
kepala, mual, diare, dan ruam kulit.
4. Terapi-Kombinasi
Dapat berupa terapi kombinasi secara simultan maupun sekuensial. Terapi kombinasi
secara simultan adalah pemberian deferoksamin 2-6 hari seminggu dan deferipronsetiap hari selama 6-12 bulan. Terapi kombinasi sekuensial adalah pemberian
deferipron oral 75 mg/kgBB selama 4 hari diikuti deferoksamin subkutan 40
mg/kgBB selama 2 hari setiap minggunya. Terapi kombinasi diharapkan dapat
menurunkan dosis masing-masing obat, sehingga menurunkan toksisitas obat namun
tetap menjaga efektifitas kelasi.
d. Vitamin c
Vitamin c ( 200 mg perhari ) meningkatkan ekresi besi di sebabkan oleh
desferioksamin.
e. Transplantasi Sumsum tulang
Transplantasi sumsun tulang alorgenik memberi prospek kesembuhan yang permanen.Tingkat kesuksesannya (ketahanan hidup bebas thalassemia mayor
jangka panjang) adalah lebih dari 80 % pada pasien muda yang mendapat
khelasi secara baik tanpa disertai adanya fibrosis hati ataupun splenimegali.
Saudara kandung dengan antigen leukosit manusia ( human leucocyte antigen,
HLA) yang sesuai (atau kadang kadang, anggota keluarga lainnya atau donor
sesuai yang tak memiliki hubungan) bertindak sebagai donor. Kegagalan utama
adalah akibat kambuhnya thalsemia , kematian ( misalnya akibat infeksi ) atau
penyakit graft versus host ( cangkok versus pejamu) kronik yang berat
f. Splenectomy
Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.
Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi elektif.
Pasien yang mengalami trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan protokol
ATLS (advanced trauma life support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan dan
sirkulasi. Bilas peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan untukmenilai cedera abdomen sebelum operasi.
Kontraindikasi open splenektomi
1. Tidak ada kontraindikasi absolute terhadap splenektomy
2. Terbatasnya harapan hidup dan pertimbangan resiko operasi
Kontraindikasi Laparoscopic Splenectomy
1.
Riwayat operasi abdominal bagian atas 2.
Gangguan koagulasi yang tidak terkontrol
3. Jumlah trombosit yang sangat rendah (<20,000/100>
4.
Perbesaran limpa secara massif misalnya perbesaran lebih dari 4 kali dari normal
5. Hipertensi porta
Persiapan
1. Anestesi umum.
2. Pipa nasogastrik.
3. Profilaksis antibiotik.
4. Profilaksis anti-DVT- stockings, heparin.
5. Posisi terlentang
Prosedur
Bisa digunakan insisi paramedian kiri atas, median, transversal atau subkostal kiri.
Pada kasus trauma, insisi mediana memungkinkan akses yang lebih baik ke alat dalam
lainnya.
Open splenektomi
Langkah pertama dan terpenting adalah memotong ligamen lieno-renalis. Dengan
berdiri di sebelah kanan pasien, dan dengan asisten menarik perlahan pinggir kiri dari luka
operasi, jalankan satu tangan pada limpa ke bawah sampai ligamen lieno-renalis. Dengan
lembut, tarik limpa dan potong ligamen lieno-renalis, mulai dari bagian bawah dan bergerak
ke atas kutup atas dengan menggunakan gunting dengan gagang panjang.
Sekarang geser limpa ke atas dengan tangan kiri dan perlahan -lahan dorong
peritoneum dengan swab pada stick.. Jaringan terus disapu dari belakang limpa, saat limpa
dibawa ke arah luar. Kemudian omentum bisa dilepas dari kutup bawah dengan memotongvasa gastroepiploica sinsitra antara forsep arteri dan ligasi dengan benang serap. Pada tahap
ini, vasa brevia yang berjalan dari kutup atas limpa ke lambung melalui ligamen gastro-
lienalis harus diikat dan dipotong sendiri-sendiri. Jaga untuk tidak merusak lambung.
Kemudian perhatian dialihkan ke pembuluh limpa. Jalankan beberapa jari kiri ke sekeliling
hilus dan palpasi cabang-cabang arteri lienalis saat arteri tersebut memasuki limpa. Dengan
ibu jari pada kauda pankreas untuk melindunginya, klip dan pisahkan cabang-cabang ini beserta vena-venanya.Selanjutnya sisa ligamen gastro-lienalis bisa dipotong. Limpa bisa
diangkat dan pembuluh- pembuluh utama diikat rangkap dua, arteri sebelum vena. Suction
drain ditempatkan pada rongga subfrenik dan dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.
LO.2.9. Pencegahan
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir
dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitusecara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan caramelakukan penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderitathalassemia mayor. Sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukanskrining untuk mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing ), konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.
1. EdukasiEdukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang
penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia denganfrekuensi kariernya yang cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harusdiajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia.Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan informasitentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara
pencegahannya.
Program pencegahan thalassemia harus melibatkan banyak pihak terkait.
Sekitar 10% dari total anggaran program harus dialokasikan untuk penyediaan
materi edukasi dan pelatihan tenaga kesehatan.2. Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia, Yunani dan tempat
yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi. Skrining pada populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan diagnostik pranatal telah menurunkan insidensthalassemia secara dramatis.Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia padasuatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuanuntuk mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan menginformasikankemungkinan mendapat anak dengan thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukanuntuk menghindarinya.Algoritma skrining identifikasi karier rekomendasi the Thalassemia International
Federation (2003) mengikuti alur pada gambar 4 sebagai berikut :
Target utama skrining adalah penemuan β- dan αo thalassemia, serta Hb S, C, D, E.15Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pada daerahdengan risiko tinggi dapat dilakukan program skrining khusus pranikah atau sebelummemiliki anak.
Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarkan penelusuran
silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan skrining populasi.
Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai karier, maka skrining pada
anggota keluarga yang lain dapat dilakukan. Skrining silsilah genetik
khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi perkawinan antar kerabat
dekat.Metode pemeriksaan thalassemia yang definitif dan akurat meliputi pemeriksaankualitatif HbA2, HbF, rasio sintesis rantai globin dan analisis DNA untuk mengetahui
mutasi spesifik. Namun, semua pemeriksaan ini mahal. Pasien thalassemia selalumengalami anemia hipokrom (MCH < 26 pg) dan mikrositik (MCV < 75 fl),karenanya kedua kelainan ini tepat digunakan untuk pemeriksaan awal karierthalassemia. Kemungkinan anemia mikrositik akibat defisiensi besi harus
disingkirkan melalui pemeriksaan porfirin bebas eritrosit, feritin serum atau kadar besi serum, dengan total iron-binding capacity.
3. Konseling Genetika
Istilah konseling genetika pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Sheldon Redd
(1947) dari Dight Institute for Human Genetics, University of Minnesota. Konseling
genetika dapat diartikan sebagai “memberi informasi atau pengertian kepada
masyarakat tentang masalah genetik yang ada dalam keluarganya” .
Pada prinsipnya sebelum dilakukan konseling genetika dibutuhkan seorang
konselor. Konselor ini tidak harus seorang dokter, tetapi dapat juga berupa perawat,
bidan, psikolog, bahkan pekerja sosial (Simon and Pardes, 1977). Yang terpenting
seorang konselor sudah terlatih dan sangat menguasai tentang thalassemia. Seorangkonselor harus dapat menyampaikan informasi seputar thalassemia. Informasi itu
menyangkut 3 hal pokok, yaitu:
1. Tentang penyakit thalassemia itu sendiri, bagaimana cara penurunannya, dan
masalah-masalah yang akan dihadapi oleh seorang penderita thalassemia major.
2.
Memberi jalan keluar cara mengatasi masalah yang sedang dihadapi oleh klien dan
membiarkan mereka membuat keputusan sendiri sehubungan dengan tindakan yang
dilakukan.
3. Membantu mereka agar keputusan yang telah diambil dapat dilaksanakan dengan
baik dan lancar.
Secara umum sasaran dari seorang konselor genetika adalah pasangan pranikah,
terutama yang berasal dari populasi atau etnik yang berpotensial tinggi menderita
thalassemia. Kepada pasangan tersebut perlu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
hematologis (full blood count) terlebih dahulu sebelum menikah. Hal tersebut untuk
memastikan apakah mereka mengemban cacat genetik thalassemia.
Apabila hanya salah satu yang mengemban risk factor dari thalassemia relatif
rendah. Namun, apabila keduanya carrier, perlu dikonfirmasikan apabila mereka tetap
menutuskan untuk melangsungkan pernikahan, maka persentase keturunan yang akan
menderita thalassemia major adalah sebesar 25%. Keputusan yang diambil sangat
bergantung kedua pasangan tersebut.
Konseling genetik secara khusus juga ditujukan untuk pasangan yang beresiko
tinggi, baik yang terjaring pada pemeriksaan premarital maupun pasangan yang telahmemiliki anak dengan kasus thalassemia sebelumnya. Kepada mereka perlu
diberitahukan bahwa telah ada teknologi yang dapat membantu mengetahui apakah
janin yang dikandung menderita thalassemia ataupun tidak, yang dikenal dengan nama
diagnosis prenatal.
Perlu diinformasikan pula mengenai prosedur diagnosis, tingkat kesalahan
diagnosis, biaya serta kemungkinan abortus akibat pengambilan sample. Dengan
demikian, klien dapat mempertimbangkan untung-ruginya sebelum mengambilkeputusan. (Blumberg et.al, 1975)
Kesuksesan konseling genetik sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
sosial budaya kedua pasangan. Berdasarkan pengalaman negara yang meniliki
prevalensi tinggi kasus thalassemia, seperti Sisilia, Cyprus, dan Italia, program
konseling genetik dan diagnosis prenatal dapat menurunkan insedensi dari kasus
Thalassemia hingga mencapai 80% dalam 10 tahun terakhir. (Cao dan Rosatelli, 1988)
Mayoritas pasangan yang beresiko tinggi untuk melahirkan anak dengan kasus
thalassemia, biasanya tetap memutuskan untuk menikah. Namun, mereka lebih
memilih untuk tidak memiliki keturunan. Hal tersebut tentunya berlawanan dengan
masyarakat kita. Hal tersebut dikarenakan paradigma masyarakat yang cenderung
mencap menikah adalah untuk memperoleh keturunan.(Ganie, 2005)
Tubuh kesehatan dunia (WHO) menyarankan 2 tahap strategi dalam pencegahan
thalassemia.
Tahap 1, melibatkan pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan
menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang mempunyai resiko
tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak dengan penyakit thalassemia.
Tahap ke2, melibatkan penyaringan penduduk untuk mengenal pasti pembawa dan
memberi penjelasan kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakandiagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap talasemia.
Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang mengidap talasemia.
Pencegahan Primer
Penyuluhan sebelum perkawinan ( marriage counselling ) untuk mencegah
perkawinan diantara penderita talasemia agar tidak mendapat keturunan yang
hemozigot atau varian – varian talasemia dengan mortalitas tinggi.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami istri dengan talasemiaheterozigot. Salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengna sperma berasal
dari donor yang bebas talasemia . Kelahiran kasus homozigot terhindar tetapi 50 %
dari anak yang lahir adalah carier seperti ibunya sedangkan 50 % lainnya adalah
normal. Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion
merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot
intrauterin sehingga dapat dilakukan tindakan abortus provokatus.
4. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal padawanita hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanitahamil tersebut teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkandiagnosis pranatal pada janin serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen
thalassemia homozigot. Saat ini, program ini hanya ditujukan pada thalassemia β+dan βO yang tergantung transfusi dan sindroma Hb Bart‟s hydrops.Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan.1,3 Metodeyang digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA janin.Pengambilan sampel janin dilakukan melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis(VCS/ villi chorealis sampling ).
LO.2.10. Komplikasi
Komplikasi pada Jantung
Kelainan jantung khususnya gagal jantung kiri berkontribusi lebih dari setengah
terhadap kematian pada penderita thalasemia. Penyakit jantung pada penderita thalasemia
mungkin bermanifestasi sebagai kardiomiopati hemosiderrhosis, gagal jantung, hipertensi
pulmonal, arrithmia, disfungsi sistolik/diastolik, effusi pericardial, miokarditis atau
perikarditis. Penumpukan besi merupakan faktor utama yang berkontribusi terjadinya
kelainan pada jantung, adapun faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain genetik,faktor
imunologi, infeksi dan anemia kronik. Pada pasien yang mendapatkan transfusi darah tetapitidak mendapatkan terapi kelasi besi penyakit jantung simtomatik dilaporkan 10 tahun setelah
pemberian transfusi pertama kali.
Komplikasi endokrin
Insiden yang tinggi pada disfungsi endokrin telah dilaporkan pada anak, remaja, dan
dewasa muda yang menderita thalasemia mayor. Umumnya komplikasi yang terjadi yaitu
hypogonadotropik hipogonadisme dilaporkan di atas 75% pasien. Pituari anterior adalah
bagian yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang akan menggangu sekresi
hormonal antara lain disfungsi gonad. Perkembangan seksual mengalami keterlambatan
dilaporkan 50% anak laki-laki dan perempuan mengalami hal tersebut, biasanya pada anak
perempuan akan mengalami amenorrhea. Selama masa kanak-kanak pertumbuhan bisadipengaruhi oleh kondisi anemia dan masalah endokrin. Masalah tersebut mengurangi
pertumbuhan yang harusnya cepat dan progresif menjadi terhambat dan pada akhirnya bia
sanya anak dengan thalasemia akan mengalami postur yang pendek. Faktor-faktor lain yang
berkontribusi antara lain yaitu infeksi, nutrisi kurang, malabsorbsi vitamin D, defisiensi
kalsium, defisiensi zinc dantembaga, rendahnya level insulin seperti growth faktor-1(IGF-1)
dan IGF-binding protein-3(IGFBP-3). Komplikasi endokrin yang lainnya adalah intoleransi
glukosa yang disebabkan penumpukan besi pada pancreas sehingga mengakibatkan diabetes.
Disfungsi thyroid dilaporkan terjadi pada pasien thalasemia di mana hypothyroid merupakan
kasus yang sering ditemui, biasanya terjadi peningkatan kadar TSH. Hypothyroid pada tahap
awal bisa bersifat reversibel dengan kelasi besi secara intensif. Selain Hypotyroid kasus
lainnya dari kelainan endokrin yang ditemukan yaitu hypoparathyroid. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan kadar serum kalsium, phosphate dan
hormon parathyroid di mana kelainan ini biasanya ditemukan pada dekade kedua
kehidupan.
Komplikasi metabolik
Kelainan metabolik yang sering ditemukan pada penderita thalasemia yaitu rendahnya
masa tulang yang disebabkan oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi, disfungsi
multiendokrin dan defisiensi dari vitamin D, kalsium dan zinc. Masa tulang bisa diukur
dengan melihat Bone Mineral Density (BMD) dengan menggunakan dual x-ray pada tiga
tempat yaitu tulang belakang, femur dan lengan. Rendahnya BMD sebagai manifestasi
osteoporosis apabila T score <-2,5 dan osteopenia apabila T score-1 sampai-2.
Setelah dua tahun dari pemberian transfusi yang pertama kali pembentukan kolagen
dan fibrosis terjadi sebagai dampak dari adanya penimbunan besi yang berlebih. Penyakit hati
yang lain yang sering muncul yaitu hepatomegali, penurunan konsentrasi albumin,
peningkatan aktivitas aspartat dan alanin transaminase. Adapun dampak lain yang berkaitan
dengan penyakit hati adalah timbulnya Hepatitis B dan Hepatitis C
akibat pemberian transfusi.
Komplikasi Neurologi
Komplikasi neurologis pada penderita thalasemia beta mayor dikaitkan dengan
beberapa faktor antara lain adanya hipoksia kronis, ekspansi sumsum tulang, kelebihan zat
besi dan adanya dampak neurotoksik dari pemberian desferrioxamine. Temuan abnormal
dalam fungsi pendengaran, timbulnya potensi somatosensori terutama disebabkan oleh
neurotoksisitas desferioxamin dan adanya kelainan dalam konduksi saraf.
LO.2.11. Prognosis
Prognosis dari thalassemia tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan sejauh manaseorang individu mengikuti pengobatan yang telah ditetapkan dengan tepat. Penderita beta-
thalassemia mayor (bentuk yang paling parah dari thalassemia), dapat hidup sampai usia lima
puluhan dengan transfusi darah, terapi khelasi besi, dan splenektomi. Tanpa terapi khelasi
besi, bagaimanapun, hidup dibatasi oleh tingkat kelebihan zat besi dalam hati, dengan
kematian sering terjadi antara usia 20 dan 30. Transplantasi sumsum tulang dengan sumsum
dari donor yang cocok menawarkan tingkat 54% sampai 90% hidup untuk orang dewasa.
Hampir semua bayi lahir dengan alpha-thalassemia mayor akan meninggal akibat anemia.
Ada, Namun, sejumlah kecil yang dapat bertahan hidup setelah menerima prenatal
(intrauterin) transfusi darah. Prospek untuk pasien dengan HBH tergantung pada komplikasi
dari transfusi darah, splenomegali (pembesaran limpa), atau splenektomi (pengangkatanlimpa) dan derajat anemia.http://www.mdguidelines.com/thalassemia/prognosis