Page 1
6
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
1. Sistem Saraf
1.1 Pengertian
Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem
saraf merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk memantau dan merespon
perubahan yg terjadi di dalam dan diluar tubuh atau lingkungan. Sistem saraf juga
bertanggung jawab sebagai sistem persepsi, perilaku dan daya ingat, serta
merangsang pergerakan tubuh (Farley et all, 2014). Kemampuan untuk dapat
memahami, mempelajari, dan merespon suatu rangsangan merupakan hasil kerja
terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk
kepribadian dan tingkah laku individu (Batticaca, 2008).
1.2 Fungsi Sistem Saraf
Saraf sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktifitas tubuh
manusia mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pengendali
atau pengatur kerja dan pusat pengendali tanggapan.
a. Saraf sebagai alat komunikasi antara tubuh dan dunia di luar tubuh. Hal
ini dilakukan oleh alat indera yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan
kulit. Karena ada indera, dengan mudah kita dapat mengetahui perubahan
yang terjadi di luar tubuh kita.
b. Saraf sebagai pengendali atau pengatur kerja organ tubuh sehingga dapat
bekerja serasi sesuai dengan fungsi masing-masing. Saraf sebagai pusat
Universitas Sumatera Utara
Page 2
7
pengendali tanggapan atau reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan di
sekitarnya. Karena saraf sebagai pengendali kerja alat tubuh maka jaringan
saraf terdapat pada seluruh alat tubuh (Syaifuddin, 2011).
1.3 Klasifikasi
Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan susunan saraf perifer.
Susunan saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan
medula spinalis. Susunan saraf perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom
(saraf simpatis dan saraf parasimpatis).
1.3.1 Susunan Saraf Sentral
Susunan saraf sentral terdiri dari:
1) Otak
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam
seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme
oksidasi glukosa. Otak mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh
(Batticaca, 2008). Otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meningen) dan
dilindungi oleh tulang tengkorak. Selaput otak terdiri dari tiga lapis yaitu
durameter (lapisan paling luar yang menutupi otak dan medula spinalis,
serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal dan tidak elastis),
araknoid (membran bagian tengah yang tipis dan lembut yang menyerupai
sarang laba-laba, berwarna putih karena tidak tidak dialiri aliran darah),
dan piameter (membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan
transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak)
(Batticaca, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Page 3
8
a) Serebrum
Sereberum atau otak besar mempunyai dua belahan yaitu hemisfer
kiri dan hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang
disebut korpus kollosum. Serebrum(telensefalon) terdiri dari korteks
serebri, basal ganglia dan rheniensefalon.
i) Korteks Serebri
Korteks serebri adalah lapisan permukaan hemisfer yang disusun
oleh substansia grisea. Beberapa daerah tertentu dari korteks serebri telah
diketahui memiliki fungsi spesifik. Brodmann (1909) membagi korteks
serebri menjadi 47 area berdasarkan struktur selular. Bagian-bagian dari
korteks serebri menurut Brodmann:
1. Lobus Frontalis
Area 4 (area motorik primer) sebagian besar girus presentralis dan
bagian anterior lobus parasentralis); area 6 bagian sirkuit traktus
piramidalis (area premotorik) mengatur gerakan motorik dan premotorik,
area 8 mengatur gerakan mata dan perubahan pupil; dan area 9, 10, 11, 12
(area asosiasi frontalis). Lobus frontalis terletak di depan serebrum, bagian
belakang dibatasi oleh sulkus sentralis rolandi.
2. Lobus Perietalis
Area 3, 1, 2 adalah area sensorik primer (area postsentral) meliputi
girus sentralis dan meluas ke arah anterior sampai mencapai dasar sulkus
sentralis dan area 5, 7 (area asosiasi somatosensorik) meliputi sebagian
permukaan medial hemisfer serebri.
Universitas Sumatera Utara
Page 4
9
3. Lobus Oksipitalis
Area 17 (korteks visual primer) permukaan medial lobus oksipitalis
sepanjang bibir superior dan inferior sulkus kalkanius; area 18, 19 (area
asosiasi visual) sejajar dengan area 17 meluas sampai meliputi permukaan
lateral lobus oksipitalis.
4. Lobus Temporalis
Area 41 (korteks auditori primer) meliputi girus temporalis superior
meluas sampai ke permukaan lateral girus temporalis; area 42 (area
asosiasi auditorik) korteks area sedikit meluas sampai pada permukaan
girus temporalis superior; dan area 38, 40, 20, 21, 22 (area asosiasi)
permukaan lateral dibagi menjadi girus temporalis superior, girus
temporalis media dan girus temporalis inferior. Pada bagian basal terdapat
girus fusiformis.
5. Area Broka
Area broka (area bicara motoris) terletak di atas sulkus lateralis,
mengatur gerakan berbicara.
6. Area Visualis
Area visualis terdapat pada polus posterior dan aspek medial
hemisfer serebri di daerah sulkus kalkaneus, merupakan daerah menerima
visual. Gangguan dalam ingatan untuk peristiwa yang belum lama.
7. Insula Reili
Insula reili yaitu bagian serebrum yang membentuk dasar fisura silvi
yang terdapat di antara lobus frontalis, lobus parietalis dan lobus
Universitas Sumatera Utara
Page 5
10
oksipitalis. Bagian otak ini ditutupi oleh girus temporalis dan girus
frontalis inferior.
8. Girus Singuli
Girus singuli yaitu bagian medial hemisfer terletak di atas korpus
kolosum.
Fungsi kortek serebri (Syaifuddin, 2011) yaitu:
1. Korteks motorik primer (area 4, 6, 8) mengontrol gerakan
volunter otot dan tulang pada sisi tubuh kontralateral. Impulsnya berjalan
melalui akson-akson dalam traktus kortikobulber dan kortikospinal, menuju
nuclei saraf-saraf serebrospinal. Proyeksi motori dari berbagai bagian tubuh
terutama daerah kaki terletak diatas, sedangkan daerah wajah bilateral terletak
dibawah. Lesi area 4 akan mengakibatkan paralisis kontralateral dari
kumpulan otot yang disarafi. Lesi area 6 dan 8 pada perangsangan akan timbul
gerakan mata dan kepala.
2. Korteks sensorik primer (area 3, 4, 5) penerima sensasi umum
(area somestesia); menerima serabut saraf yaitu radiasi yang membawa impuls
sensoris dari kulit, otot sendi dan tendo di sisi kontralateral. Lesi didaerah ini
dapat menimbulkan gangguan sensasi pada sisi tubuh kontralateral; dan
terdapat homunculus sensorik yaitu menggambarkan luas daerah proyeksi
sensorik dari bagian-bagian tubuh di sisi tubuh kontraleteral.
3. Korteks visual (area 17) terletak dilobus oksipitalis pada fisura
kalkarina; lesi iritatif menimbulkan halusinasi visual; lesi destruktif
Universitas Sumatera Utara
Page 6
11
menimbulkan gangguan lapangan pandang; dan menerima impuls dari radio-
optika.
4. Korteks auditorik primer (area 41) terletak pada tranvers temporal
girus di dasar visura lateralis serebri. Menerima impuls dari radiasioauditorik
yang berasal dari korpus genikulatum medialis. Lesi area ini hanya
menimbulkan ketulian ringan kecuali bila lesinya bilateral.
5. Area penghidu (area reseptif olfaktorius) terletak di daerah yang
berdekatan dengan girus parahipotalamus lobus temporalis. Kerusakan jalur
olfaktorius menimbulkan anosmia (tidak bisa menghidu). Lesi iritasi
menimbulkan halusinasi olfaktorius. Pada keadaan ini penderita dapat
menghidu bau yang aneh atau mengecap rasa yang aneh.
6. Area asosiasi, korteks yang mempunyai hubungan dengan area
sensorik maupun motorik, dihubungkan oleh serabut asosiasi. Pada manusia
terdapat tiga daerah asosiasi penting, yaitu daerah frontal (di depan korteks
motorik), daerah temporal (antara girus temporalis superior dan korteks
limbik) dan daerah parieto-oksifital (antara korteks somatetik dan korteks
vosual. Kerusakan daerah sosiasi akan menimbulkan gangguan dengan gejala
yang sesuai dengan tempat kerusakan. Misalnya, pada area 5 dan 7 akan
menimbulkan astereognosis (tidak mengenali bentuk benda, yang diletakkan
di tangan dengan mata tertutup) karena area ini merupakan pusat asosiasi
sensasi (indra) kulit.
Universitas Sumatera Utara
Page 7
12
ii) Basal Ganglia
Basal ganglia terdiri dari beberapa kumpulan substansia grisea yang
padat yang terbentuk dalam hubungan yang erat dengan dasar ventrikulus
lateralis. Ganglia basalis merupakan nuklei subkortikalis yang berasal dari
telensefalon. Pada gerakan lambat dan mantap basal ganglia akan aktif,
sedangkan pada gerakan cepat dan tiba-tiba basal ganglia tidak aktif. Basal
ganglia sudah mulai aktif sebelum gerakan dimulai, berperan dalam
penataan dan perencanaan gerakan yaitu dalam proses konversi pikiran
menjadi gerakan volunter. Kerusakan ganglia basalis pada manusia
menimbulkan gangguan fungsi motorik yaitu hiperkinetik (terjadinya
gerakan-gerakan abnormal yang berlebihan) dan hipokinetik (berkurangnya
gerakan, misalnya kekakuan) (Syaifuddin, 2011).
iii) Rinensefalon
Sistem limbik (lobus limbic atau rinensefalon) merupakan bagian
otak yang terdiri atas jaringan alo-korteks yang melingkar sekeliling hilus
hemisfer serebri serta berbagai struktur lain yang lebih dalam yaitu
amiglada, hipokampus, dan nuklei septal. Rinensefalon berperan dalam
fungsi penghidu, perilaku makan dan bersama dengan hipotalamus
berfungsi dalam perilaku seksual, emosi takut, marah dan motivasi
(Syaifuddin, 2011).
b) Serebelum
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fosa kranial posterior, dibawah
tentorium serebelum bagian posterior dari pons varoli dan medula
Universitas Sumatera Utara
Page 8
13
oblongata. Serebelum berfungsi sebagai pusat koordinasi untuk
mempertahankan keseimbangan dan tonus otot. Serebelum diperlukan
untuk mempertahankan postur dan keseimbangan saat berjalan dan berlari
(Syaifuddin, 2011).
c) Batang otak
Batang otak terdiri dari: a) Diesenfalon yaitu bagian otak paling atas
terdapat diantara serebelum dengan mesenfalon, b) Mesensefalon yaitu
bagian otak yang terletak diantara pons varoli dan hemisfer serebri, c) Pons
varoli terletak didepan serebelum diantara otak tengah dan medula
oblongata, d) Medula oblongata merupakan bagian otak paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Fungsi dari batang
otak yang utama adalah sebagai pengatur pusat pernafasan dan pengatur
gerakan refleks dari tubuh.
2) Medula Spinalis
Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang
keluar dari hemisfer serebral dan bertugas sebagai penghubung otak dan
saraf perifer. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Fungsi
medula spinalis sebagai pusat saraf mengintegrasikan sinyal sensoris yang
datang mengaktifkan keluaran motorik secara langsung tanpa campur
tangan otak (fungsi ini terlihat pada kerja refleks spinal, untuk melindungi
tubuh dari bahaya dan menjaga pemeliharaan tubuh) dan sebagai pusat
perantara antara susunan saraf tepi dan otak (susunan saraf pusat), semua
komando motorik volunter dari otak ke otot-otot tubuh yang
Universitas Sumatera Utara
Page 9
14
dikomunikasikan terlebih dahulu pada pusat motorik spinal. Pusat motorik
spinal akan memproses sinyal sebagaimana mestinya sebelum
mengirimkannya ke otot. Sinyal sensoris dari reseptor perifer ke pusat otak
harus terlebih dahulu dikomunikasikan ke pusat sensorik di medula
spinalis. Medula spinalis berfungsi untuk mengadakan komunikasi antara
otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam gerak refleks, denyut
jantung, pengatur tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah dan berisi
pusat pengontrolan yang penting (Setiadi, 2007).
1.3.2 Susunan Saraf Perifer
Susunan saraf perifer atau susunan saraf tepi merupakan
penghubung susunan saraf pusat dengan reseptor sensorik dan efektor
motorik (otot dan kelenjar). Serabut saraf perifer berhubungan dengan otak
dan korda spinalis. Serabut saraf perifer terdiri dari 12 pasang saraf cranial
dan 31 pasang saraf spinal. Setiap saraf spinal adalah gabungan dari
serabut motorik somatik, sensorik somatik dan otonom. Sistem saraf tepi
dibagi menjadi dua berdasarkan cara kerjanya, yaitu:
a. Susunan Saraf Somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi
sensoris dari tubuh. Indra somatik dapat digolongkan menjadi tiga jenis:
indra somatik mekanoreseptif, yang dirangsang oleh pemindahan
mekanisme sejumlah jaringan tubuh meliputi indra raba, tekanan, tekanan
yang menentukan posisi relatif, dan kecepatan gerakan berbagai bagian
tubuh; indra termoreseptor, mendeteksi panas dan dingin; dan indra nyeri,
Universitas Sumatera Utara
Page 10
15
digiatkan oleh faktor apa saja yang merusak jaringan, perasaan kompleks
karena menyertakan sensasi perasaan dan emosi (Syaifuddin, 2011).
b. Susunan Saraf Otonom
Saraf yang mempersarafi alat-alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru, lambung, usus dan ginjal. Ada dua jenis saraf
otonom yang fungsinya saling bertentangan, kedua susunan saraf ini
disebut saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
1) Saraf Simpatis
Saraf simpatis terletak di dalam kornu lateralis medula spinalis
servikal VIII sampai lumbal I. Sistem saraf simpatis berfungsi membantu
proses kedaruratan. Stres fisik maupun emosional akan menyebabkan
peningkatan impuls simpatis. Tubuh siap untuk berespon fight or flight
jika ada ancaman. Pelepasan simpatis yang meningkat sama seperti ketika
tubuh disuntikkan adrenalin. Oleh karena itu, stadium sistem saraf
adrenergik kadang-kadang dipakai jika menunjukkan kondisi seperti pada
sistem saraf simpatis (Batticaca, 2008).
2) Saraf Parasimpatis
Fungsi saraf parasimpatis adalah sebagai pengontrol dominan
untuk kebanyakan efektor visceral dalam waktu lama. Selama keadaan
diam, kondisi tanpa stres, impuls dari serabut-serabut parasimpatis
(kolenergik) menonjol. Serabut-serabut sistem parasimpatis terletak di dua
area, yaitu batang otak dan segmen spinal di bawah L2. Karena lokasi
serabut-serabut tersebut, saraf parasimpatis menghubungkan area
Universitas Sumatera Utara
Page 11
16
kraniosakral, sedangkan saraf simpatis menghubungkan area torakalumbal
dari sistem saraf autonom. Parasimpatis kranial muncul dari mesenfalon
dan medula oblongata. Serabut dari sel-sel pada mesenfalon berjalan
dengan saraf okulomotorius ketiga menuju ganglia siliaris, yang memiliki
serabut postganglion yang berhubungan dengan sistem simpatis lain yang
mengontrol bagian posisi yang berlawanan dengan mempertahankan
kesimbangan antara keduanya pada satu waktu (Batticaca, 2008).
1.4 Gangguan Fungsi Saraf
a. Tumor otak
Tumor otak merupakan lesi yang terletak pada intrakranial yang
menempati ruang didalam tengkorak. Tumor otak menunjukkan manifestasi klinis
yang tersebar bila tumor ini menyebabkan peningkatan tekanan intracranial serta
tanda dan gejala lokal sebagai akibat dari tumor yang menggangu bagian spesifik
dari otak. Gejala-gejala yang biasanya banyak terjadi akibat tekanan ini adalah
sakit kepala, muntah, papiledema, perubahan kepribadian dan adanya variasi
penurunan fokal motorik, sensori dan disfungsi saraf cranial (Smeltzer & Bare,
2002).
b. Meningitis
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi
otak dan medulla spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ
jamur. Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan tekanan
intrakranial, saktit kepala dan demam, perubahan pada tingkat kesadaran, iritasi
meningen, kejang, adanya ruam dan infeksi fulminating (Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Page 12
17
c. Aneurisma Intrakranial
Aneurisma intracranial (serebral) adalah dilatasi dinding arteri serebral
yang berkembang sebagai hasil dari kelemahan dinding arteri. Pecahnya
aneurisma selalu terjadi tiba-tiba, tidak selalu disertai dengan sakit kepala yang
berat dan sering kehilangan kesadaran untuk periode yang bervariasi. Mungkin
ada nyeri dan kaku leher bagian belakang dan medula spinalis akibat adanya
iritasi meningen (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Sklerosis Multipel
Sklerosis multiple (SM) merupakan keadaan kronis, penyakit sistem
saraf pusat degenerative dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi
pada otak dan medulla spinalis. Tanda dan gejala SM bervariasi dan banyak,
gejala primer paling banyak dilaporkan berupa kelelahan, lemah, kebas, kesukaran
koordinasi dan kehilangan keseimbangan. Gangguan penglihatan akibat adanya
lesi pada saraf optik atau penghubungnya dapat mencakup penglihatan kabur,
diplopia, kebutaan parsial dan kebutaan total (Smeltzer & Bare, 2002).
e. Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson adalah gangguan neurologic progresif yang
mengenai pusat otak yang bertanggung jawab untuk mengontrol dan mengatur
gerakan. Manifestasi utama penyakit Parkinson adalah gangguan gerakan, kaku
otot, tremor menyeluruh, kelemahan otot, dan hilangnya refleks postural. Pasien
mempunyai kesukaran dalam memulai, mempertahankan, dam membentuk
aktivitas motorik dan pengalaman lambat dalam menghasilkan aktivitas normal
(Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Page 13
18
f. Penyakit Alzhaimer
Penyakit alzhaimer atau demensial senile merupakan penyakit kronik,
progresif dan merupakan gangguan degenerative otak dan diketahui
mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri (Smeltzer &
Bare, 2002).
g. Cedera Kepala
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala dapat disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan olah raga dan luka
pada persalinan (Tarwoto, 2007).
h. Cedera Medula Spinalis
Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi
fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara menadadak sampai yang
menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia. Cedera
tulang belakang selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien mengeluh
nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung (Batticaca, 2008).
i. Stroke
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian
(Batticaca, 2008). Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana
yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada
Universitas Sumatera Utara
Page 14
19
stroke akut gejala klinis meliputi: kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah
yang timbul mendadak, gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan,
penurunan kesadaran, afasia (kesulitan bicara), disatria (bicara cadel atau pelo),
gangguan penglihatan, diplopia, ataksia, verigo, mual, muntah dan nyeri kepala
(Tarwoto, 2007).
j. Sindrom Guillain Barre
Sindrom Guillain Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan
oleh onset waktu akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial.
Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenerasi selaput myelin dari saraf
perifer dan kranial (Batticaca, 2008).
k. Bell’s Palsy
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-
supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin
akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan. Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan
penyebab dapat meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herpes simplek, herpes
zoster), penyakit autoimun atau kombinasi semua faktor (Batticaca, 2008).
2. Imobilisasi
2.1 Pengertian Imobilisasi
North American Nursing Diagnosa Association (NANDA)
mendefinisikan imobilisasi sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik.
Universitas Sumatera Utara
Page 15
20
Dalam hubungannya dengan perawatan pasien, maka immobilisasi adalah
keadaan dimana pasien berbaring lama ditempat tidur, tidak dapat bergerak secara
bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktifitas). Immobilisasi pada
pasien tersebut dapat disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, trauma, fraktur
pada ekstremitas atau menderita kecacatan (Asmadi, 2008).
Immobilisasi merupakan suatu keadaan dimana penderita harus istirahat
ditempat tidur, tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan
pada alat/organ tubuh yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai
suatu keadaan tidak bergerak/tirah baring yang terus-menerus selama 5 hari atau
lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Mubarak, 2008).
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imobilisasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2004), faktor-faktor yang
mempengaruhi kurangnya pergerakan atau immobilisasi adalah sebagi berikut :
a. Gangguan muskuloskletal
Gangguan pada muskuloskletal biasanya dipengaruhi oleh
beberapa keadaan tertentu yang menggangu pergerakan tubuh seseorang
misalnya; osteoporosis, atrofi, kontraktur, kekakuan sendi dan sakit
sendi.
b. Gangguan kardiovaskuler
Beberapa kasus kardiovaskuler yang dapat berpengaruh terhadap
mobilitas fisik seseorang antara lain postural hipotensi, vasodilatasi,
peningkatan valsalva maneuver.
Universitas Sumatera Utara
Page 16
21
c. Gangguan sistem pernapasan
Beberapa keadaan gangguan respirasi yang dapat berpengaruh
terhadap mobilitas seseorang antara lain penurunan gerak pernapasan,
bertambahnya sekresi paru, atelektasis dan hipostatis pneumonia.
2.3 Efek dari Imobilisasi
Potter & Perry (2005) menyatakan ada beberapa akibat yang ditimbulkan
oleh keadaan imobilisasi fisik antara lain:
1. Pengaruh Fisiologi
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko
terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur
klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang
dialami. Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit kronik
lebih cepat dibandingkan klien yang lebih muda.
2. Perubahan Metabolik
Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju
metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan.
Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi mengalami peningkatan BMR
diakibatkan karena demam atau peyembuhan luka.
3. Perubahan Sistem Respiratori
Klien imobilisasi berisiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru.
Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia
upenurunan sebanding kemampuan klien untuk batuk produktif. Sehingga
Universitas Sumatera Utara
Page 17
22
penyebaran mukus dalam bronkus meningkat, terutama pada klien dalam posisi
telentang, telungkup, atau lateral. Mukus menumpuk di regio yang dependen di
saluran pernapasan. Karena mukus merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan bakteri, maka terjadi bronkopneumonia hipostatik.
4. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga
perubahan utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus.
5. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan
mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui
kehilangan daya tahan, penurunan masa otot, atrofi, dan penurunan stabilisas.
Penurunan masa otot akibat dari kecepatan metabolisme yang turun dan
kurangnya aktivitas sehingga mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai
akhirnya memburuknya koordinasi pergerakan. Pengaruh lain dari keterbatasan
mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah gangguan metabolisme
kalsium dan gangguan mobilisasi sendi. Akibat pemecahan protein, klien
mengalami kehilangan massa tubuh, yang membentuk sebagian otot tidak mampu
mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Jika immobilisasi
berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan masa berkelanjutan.
Penurunan mobilisasi dan gerakan mengakibatkan kerusakan muskuloskeletal
yang besar, yang perubahan patofisiologi utamanya adalah atrofi.
Universitas Sumatera Utara
Page 18
23
Immobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet yaitu
gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena immobilisasi
berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat,
dan terjadi osteoporosis. Immobilisasi dan aktivitas yang terjadi tidak menyangga
tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga
menyebabkan kalsium terlepas kedalam darah, sehingga mengakibatkan
terjadinya hiperkalsemia. Immobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi.
Kontraktur sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh
sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak dugunakanya, atrofi, dan
pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat
mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Kontraktur menjadikan sendi pada
posisi yang tidak berfungsi.
6. Perubahan Sistem Integumen
Kerusakan integritas kulit mempunyai dampak yang bermakna pada
tingkat kesejahteraan, asuhan keperawatan, dan lamanya perawatan dirumah sakit.
Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenic paling umum dalam perawatan
kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus lansia dan yang
imobilisasi. Dekubitus terjadi akibat iskemia dan anoksia jaringan. Jaringan yang
tertekan, darah membelok, dan kontriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan
persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga respirasi seluler
terganggu, dan sel menjadi mati.
Universitas Sumatera Utara
Page 19
24
7. Perubahan Eliminasi Urine
Eliminasi urin klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak
lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan
kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar,
ginjal dan ureter membentuk garis datar. Ginjal yang membentuk urine harus
masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi
peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal
menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis
urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan atau ginjal.
8. Pengaruh Psikososial
Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensori, dan
sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. Perubahan
emosional paling umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan siklus
tidur-bangun, dan gangguan koping.
3. Konsep Rentang Gerak Sendi
3.1 Rentang Gerak
Menurut Potter & Perry (2006) rentang gerak merupakan jumlah maksimum
gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh:
sagital, frontal dan transversal. Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh
dari depan ke belakang membagi tubuh menjadi kiri dan kanan. Potongan frontal
melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan dan
Universitas Sumatera Utara
Page 20
25
belakang. Potongan transversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh
menjadi bagian atas dan bawah.
Untuk menjamin keadekuatan gerakan sendi atau mobilisasi sendi maka
perawat dapat mengajarkan klien latihan ROM. Apabila klien tidak mempunyai
kontrol motorik volunter maka perawat melakukan latihan gerak pasif (Potter &
Perry, 2006).
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan oleh sendi (Potter & Perry, 2006)
antara lain adalah:
a. Fleksi: menggerakkan sendi kearah pengurangan sudut sendi, misalnya
menekuk siku
b. Ekstensi: menggerakkan sendi kearah peningkatan sudut sendi, misalnya
meluruskan tangan
c. Hiperekstensi: ekstensi maksimal atau meluruskan sendi, misalnya
menekuk kepala ke belakang
d. Adduksi: gerakan tulang mendekati garis tengah tubuh
e. Abduksi: gerakan tulang menjauhi garis tengah tubuh
f. Rotasi: menggerakkan sendi mengelilingi pusat sumbu
g. Sirkumduksi: menggerakkan bagian distal tulang atau sendi dalam
lingkaran ketika akhir proksimal tetap terfiksasi
h. Eversi: menggerakkan telapak kaki keluar dengan cara menggerakkan
sendi pergelangan kaki
i. Inversi: menggerakkan telapak kaki kedalam dengan cara menggerakkan
sendi pergelangan kaki
Universitas Sumatera Utara
Page 21
26
j. Pronasi: menggerakkan lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap
kebawah
k. Supinasi: menggerakkan lengan bawah sehingga telapak tangan
menghadap keatas
l. Protaksi: menggerakkan bagian tubuh kedepan pada bidang yang sama,
paralel dengan dasar
m. Retraksi: menggerakkan bagian tubuh kebelakang pada bidang yang sama,
paralel dengan dasar
Gerakan yang dilakukan oleh sendi berbeda untuk setiap potongan tubuh.
Gerakan fleksi dan ekstensi pada jari tangan dan siku serta gerakan hiperekstensi
pada pinggul merupakan rentang gerak pada potongan sagital. Pada potongan
frontal gerakannya adalah abduksi dan adduksi pada lengan dan tungkai, eversi
dan inversi pada kaki. Sedangkan pada potongan transversal gerakannya adalah
pronasi dan supinasi pada tangan, rotasi internal dan eksternal pada lutut serta
dorsofleksi dan plantar fleksi pada kaki. Selain gerakan yang berbeda, setiap sendi
juga mempunyai rentang gerak maksimal yang dapat dicapai saat ia melakukan
aktifitasnya (Potter & Perry, 2006). Contoh gerakan sendi dan luas rentang gerak
yang dapat dicapai oleh masing-masing sendi dijelaskan pada tabel 2.1. berikut
ini:
Universitas Sumatera Utara
Page 22
27
Tabel 2.1 Rentang Gerak Sendi dan Luas Rentang GerakNO NAMA SENDI TIPE GERAKAN RENTANG
GERAK (°)1 Leher Fleksi
EkstensiHiperekstensiFleksi lateralRotasi
45451040-45180
2 Bahu FleksiEkstensiHiperekstensiAbduksiAdduksiRotasi dalamRotasi luarSirkumduksi
18018045-601803209090360
3 Siku FleksiEkstensi
150150
4 Lengan bawah SupinasiPronasi
70-9070-90
5 Pergelangan tangan FleksiEkstensiHiperekstensiAbduksiAdduksi
80-9080-9089-90Sampai 3030-50
6 Jari tangan FleksiEkstensiHiperekstensiAbduksiAdduksi
909030-603030
7 Ibu jari FleksiEkstensiAbduksiAdduksi
90903030
Universitas Sumatera Utara
Page 23
28
8 Pinggul FleksiEkstensiHiperekstensiAbduksiAdduksiRotasi dalamRotasi luar
90-12010-1530-5030-5030-509090
9 Lutut FleksiEkstensi
120-1300-15
10 Pergelangan kaki DorsifleksiPlantarfleksi
20-3045-50
11 Jari kaki FleksiEkstensiAbduksiAdduksi
30-6030-6015 atau kurang15 atau kurang
Sumber: Potter & Perry. (2006).
3.1.1 Rentang Gerak Aktif
Rentang gerak aktif adalah gerakan yang dicapai seseorang secara mandiri
tanpa bantuan. Jika rasa sakit terjadi selama ROM aktif mungkin karena kontraksi
atau peregangan jaringan kontraktil seperti otot, tendon, dan keterikatannya ke
tulang. Nyeri juga disebabkan oleh peregangan jaringan nonkontraktil, seperti
ligament, ligamen sendi, fasia dan kulit. Jika seseorang dapat menyelesaikan
ROM aktif dengan mudah dan tanpa rasa sakit, pengujian lebih lanjut dari gerakan
yang mungkin terjadi tidak diperlukan. Tetapi, jika ROM aktif terbatas,
menyakitkan, atau canggung, pemeriksaan fisik harus mencakup pengujian
tambahan untuk memperjelas masalah (Norkin & White, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Page 24
29
3.1.2 Rentang Gerak Pasif
Rentang gerak pasif adalah gerakan yang dicapai seseorang dengan bantuan
pemeriksa. Pengujian ROM pasif memberikan pemeriksa informasi tentang
integritas permukaan sendi, kapsul sendi dan ligamen yang terkait, otot, fasia dan
kulit. Tidak seperti ROM aktif, ROM pasif tidak tergantung pada kekuatan dan
kordinasi otot seseorang. Jika rasa nyeri terjadi selama ROM pasif, sering
disebabkan oleh karena bergerak, peregangan struktur kontraktil serta struktur
nonkontraktil (Norkin & White, 2009).
a. Hipomobilitas
Hipomobilitas adalah penurunan ROM pasif yang substansial kurang dari
nilai normal. Keterbatasan dalam ROM mungkin karena berbagai penyebab
termasuk kelainan permukaan sendi, pemendekan pasif kapsul sendi, ligamen,
otot, fasia, dan kulit; dan radang struktur. Hipomobilitas dikaitkan dengan banyak
kondisi ortopedi seperti osteoarthritis, arthritis, dan gangguan tulang belakang.
Penurunan ROM merupakan konsekuensi umum dari imobilisasi setelah patah
tulang dan pengembangan bekas luka setelah luka bakar. kondisi neurologis
seperti stroke, trauma kepala, cerebral palsy, dan sindrom nyeri regional kompleks
dapat juga mengakibatkan hipomobilitas karena hilangnya gerakan volunter, otot
meningkat, immobilisasi, dan nyeri. Disamping itu, kondisi metabolik seperti
diabetes juga dikaitkan dengan keterbatasan gerakan sendi (Norkin & White,
2009).
Universitas Sumatera Utara
Page 25
30
b. Hipermobilitas
Hipermobilitas yaitu peningkatan ROM yang melebihi nilai normal.
Misalnya, pada orang dewasa ROM normal untuk ekstensi pada sendi siku adalah
sekitar 0 derajat. Pengukuran ROM dari 30 derajat atau lebih ekstensi pada siku
adalah baik diluar ROM normal dan merupakan indikasi dari hipermobilitas pada
orang dewasa. Pada anak-anak biasanya terjadi beberapa kasus spesifik
meningkatnya ROM dibandingkan dengan orang dewasa. Peningkatan gerak yang
terjadi pada anak-anak ini adalah normal untuk usia mereka. Jika peningkatan
gerak bertahan di luar rentang usia yang diharapkan, itu akan dianggap abnormal
dan terjadi hipermobilitas. Hipermobilitas ini disebabkan oleh kelemahan dari
struktur jaringan lunak seperti ligamen, kapsul, dan otot-otot yang biasanya
mencegah gerakan berlebihan pada sendi. Dalam beberapa kasus hipermobilitas
mungkin karena kelainan permukaan sendi. Penyebab yang paling sering adalah
trauma sendi. Hipermobilitas juga terjadi pada gangguan herediter yang serius dari
jaringan ikat seperti sindrom Ehlers-Danlos, Marfan Sindroma, penyakit rematik,
dan osteogenesis imperfecta. Salah satu kelainan fisik khas sindrom down
hipermobilitas. Dalam hal ini umum hipotonia diduga menjadi faktor penting
untuk hipermobilitas tersebut (Norkin & White, 2009).
Universitas Sumatera Utara