KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP (KLH)I. ISU GLOBAL
Masalah lingkungan global saat ini ialah pencemaran yang terjadi
hampir diseantero bumi, baik dinegara maju maupun di negara -
negara berkembang. Ada 4 hal pokok yang menyangkut masalah
lingkungan yaitu :
1. Perubahan tingkat pertumbuhan penduduk,
2. Perubahan dan pertumbuhan limbah bahan berbahaya baracun
(B3),
3. Pergeseran lokasi sumber dan penyebaran pencemaran dari
negara industri ke negara negara berkembang, serta
4. Menyebarnya dampak lokal menjadi global.
Masalah lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dengan masalah
penduduk, perhatian kita harus pula pada masalah kependudukan.
Dalam 10 tahun mendatang penduduk Indonesia akan bertambah 25 juta
orang, dari 180 juta orang (1990) sampai menjadi 205 juta orang
tahun 2000. Penduduk dunia akan berubah pula dari 5,4 milyar saat
ini sampai 6,4 milyar tahun 2000. Jadi dalam 10 tahun penduduk
dunia bertambah 1 milyar. Untuk melayani kebutuhan akan papan,
sandang dan pangan bagi 205 juta penduduk tahun 2000 itu harus
dilaksanakan pola pembangunan berkelanjutan.
Limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah
limbah dari industri kimia, misalnya pestisida dan sampah radio
aktif. Amerika Serikat adalah penghasil limbah B3 terbesar yaitu
sebesar 264 juta ton setiap tahunnya, yang terdiri dari residu
logam berat dan senyawa organik. Negara maju dengan ipteknya
mencoba menjaga lingkungannya. Namun kemampuan manusia terbatas.
Nyatanya saat ini Amerika Serikat memerlukan biaya sebesar 10
sampai 20 milyar dolar untuk membersihkan 2.000 sampai 10.000
tempat pembuangan limbah. Limbah atau pencemaran menjadi ciri
masalah lingkungan di negara industri kini telah memasuki negara
berkembang. Ada dua hal penyebab utama, yaitu pertumbuhan penduduk
yang sejalan dengan perkembangan ekonomi telah menimbulkan dampak
lingkungan dan yang kedua barangkali karena gerakan ekologi dangkal
negara maju yang mengekspor pencemaran ke negara berkembang untuk
mengurangi pencemaran di negara mereka sendiri. Pencemaran tidak
mengenai batas negeri (Polution no national boundary), sehingga
pencemaran pada suatu negara akan barakibat pada negara lain. Kasus
hujan adalah contoh nyata. Hujan asam adalah hujan dengan derajat
keasaman (pH) lebih kecil dari 5,6. Air hujan menjadi asam karena
terkontamidasi oleh sulfur dioksida (SO2) dan oksida nitrogen (Nox)
yang terbesar adalah kendaraan bermotor. Akibat hujan asam pada
bangunan, ekosistem danau, lahan, dan hutan, serta tanaman
pertanian sangatlah merugikan.
Karena penyebab hujan asam adalah kegiatan industri, maka dulu
disebutkan bahwa hanya terdiri di bumi belahan utara. Namun saat
ini, setiap negara yang mempunyai aktifitas industri akan mengalami
hujan asam, sehingga hujan asam sudah mulai terasa di kota kota
besar Indonesia, seperti Jakarta dan Bogor.Pencemaran global yang
lain adalah disebabkan oleh senyawa kimia Freon dan
cholrofluorcarbon (CFC), yang merusak lapisan ozon. Lapisan ozon
menyelubungi bumi di dalam stratosfir pada ketinggian sekitar 15
sampai 35 km dari permukaan bumi. Ozon menjadi penyaring sinar
ultraviolet jenis C atau disingkat UV C sangat berbahaya bagi
kehidupan, pada manusia menimbulkan kanker kulit.Isu lingkungan
global mulai muncul dalam berberapa dekade belakangan ini.
Kesadaran manusia akan lingkungannya yang telah rusak membuat isu
lingkungan ini mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan
adalah mengenai pemanasan global. Pemanasan global disebabkan oleh
efek rumah kaca yaitu bertambahnya jumlah gas-gas rumah kaca (GRK)
di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang seharusnya dilepas
ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan dan
menyebabkan temperatur permukaan bumi menjadi lebih panas
(iatpi.org).Hal-hal yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca
adalah polusi udara yang ditimbulkan oleh asap pabrik maupun
kendaraan bermotor. Lalu, membuang limbah ke tempat penimbunan
sampah yang menghasilkan metana. Metana juga dihasilkan dari limbah
binatang yang dipelihara untuk menyuplai kebutuhan susu dan daging
(seperti sapi) dan juga dari pertambangan Batubara (iatpi.org).
Kesadaran akan lingkungan dan pemanasan global ini membuat
sebagian golongan membuat organisasi pemerhati lingkungan. Di
Indonesia, kita mengenal WALHI dan untuk skala internasional kita
juga mengenal Greenpeace. Organisasi-organisasi tersebut merupakan
wadah dimana orang-orang dapat menumbuhkan kesadaran akan kondisi
lingkungannya saat ini. Organisasi semacam ini juga sering menjadi
yang terdepan dalam memperjuangkan keselamatan lingkungan.
Misalnya, para aktivis WALHI sangat menolak akan pendirian sebuah
PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di daerah Muria, Jawa
Tengah. Keberadaan PLTN ini nantinya dikhawatirkan akan berdampak
buruk terhadap kelangsungan lingkungan sekitar.Indonesia tercatat
dalam buku rekor dunia Guinness edisi 2008 sebagai negara yang
hutannya paling cepat mengalami kerusakan (deforestasi). Perkiraan
Greenpeace, 76%-80% deforestasi ini dipercepat oleh tingginya angka
pembalakan liar, penebangan legal, dan kebakaran hutan. Dalam data
yang dimiliki Greenpeace disebutkan dari 44 negara yang secara
kolektif memiliki 90% hutan dunia, negara yang meraih tingkat laju
deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia. Dengan 1,8
juta hektare hutan hancur per tahun antara tahun 2000 hingga 2005
-sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau
setara 51 kilometer persegi per hari. Total hutan Indonesia
mencapai 120,35 juta hektare dari wilayah seluas 1.919.440
kilometer persegi. Namun saat ini, Indonesia juga menjadi negara
penghasil kayu utama dunia dalam bentuk kayu lapis, kayu gergajian,
kayu pertukangan, furnitur, hingga ke produk bubur kertas. Tujuan
ekspor utama yaitu Malaysia, Singapura, China, Jepang, Korea
Selatan, negara Eropa, dan Amerika. (media-indonesia.com)
Sungguh tragis memang keadaan Indonesia saat ini. Negara kita di
mata internasional dianggap sebagai salah satu negara yang
menyumbang kerusakan alam global terbesar. Parahnya, Pemerintah
rela mengorbankan lingkungan demi mengejar pendapatan negara
semata. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Pemerintah
diharapkan dapat lebih bijak dalam menggunakan sumber daya alam,
khususnya yang berpengaruh dengan lingkungan global, seperti hutan
lindung. Masalah-masalah seperti pembalakan liar harus disikapi
dengan tegas. Pengkonsolidasian regulasi-regulasi yang mengatur
tentang penebangan hutan liar dan kerjasama antara pihak-pihak yang
berkepentingan adalah cara-cara yang dapat diterapkan dalam rangka
penyelamatan hutan di Indonesia dan lingkungan global.
Dalam ruang lingkup multilateral, pengangkatan tema mengenai
pemansan global atau global warming telah berlangsung lama.
Diantaranya adalah dengan adanya Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana
negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah
kacamereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun
1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan
dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol,
target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk
mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca karbondioksida
metan, nitrous oxide, sulfurheksafluorida, HFC, dan PFC yang
dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12.
Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7%
untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang
diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia
(unfccc.int).
Selain Protokol Kyoto, baru saja dilangsungkan konferensi
tentang perubahan iklim yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali,
Indonesia. Mulai banyaknya negara-negara yang mulai memikirkan
tentang keadaan lingkungan global diharapkan kan berdampak positif
terhadap upaya pelestarian lingkungan global dari pemanasan global
yang mengancam keberlangsungan seluruh makhluk hidup yang ada di
muka bumi. Namun, saat ini masih terdapat kendala-kendala seperti
masih belum sejalannya sikap yang diambil antara negara-negara maju
dengan negara-negara berkembang. Negara maju ingin negara
berkembang dapat mandiri dalam menyikapi masalah ini dan negara
berkembang ingin agar negara maju lebih serius akan menyikapi dan
menyelesaikan masalah lingkungan ini.
II. KARBONDIOKSIDA MASA KINI DAN PURBAKarbondioksida adalah gas
atmosphera yang terdiri daripada satu atom karbon dan dua atom
oksigen. Karbon dioksida merupakan sebatian kimia yang dikenali
ramai, ia biasanya dikenali dengan formulanya CO2.
Karbon dioksida terhasil daripada pembakaran bahan organik
sekiranya cukup oksijen hadir. Ia juga dihasilkan oleh pelbagai
mikroorganisma hasil penapaian dan pernafasan selular. Tumbuhan
menggunakan karbon dioksida semasa fotosintesis, menggunakan
kedua-dua karbon karbon dioksida dan oksijen untuk membina
karbohidrat. Tambahan lagi, tumbuhan membebaskan oksijen ke
atmosphera di mana ia akhirnya digunakan untuk pernafasan oleh
organisma heterotrophik, membentuk kitaran. Kehadirannya di
atmosphera Bumi pada kepekatan rendah dan bertindak sebagai gas
rumah hijau. Ia merupakan komponen utama kitaran karbon.2.1CIRI
CIRI KIMIA DAN FISIKAL
Karbon dioksida merupakan gas tanpa warna yang, apabila dihidu
pada dos yang tinggi (aktiviti merbahaya disebabkan risiko sesak
nafas), menghasilkan rasa masam dalam mulut and rasa menyengat di
hidung dan tekak. Kesan ini disebabkan oleh gas melarut dalam
selaput mukus dan air liur, membentuk larutan cair asid karbonik.
Kepadatannya pada 25C adalah 1.98 kg m&negatif;3, sekitar 1.5
kali ganda udara. Molekul karbon dioksida (O=C=O) terdiri daripada
dua ikatan berkembar dan mempunyai bentuk linear (lurus). Ia tidak
mempunyai dipolar eletrik. Apabila teroksida sepenuhnya, ia tidak
aktif dan tidak mudah terbakar.
2.2KARBONDIOKSIDA (CO2) MASA KINI
CO2 masa kini berasal dari gas buangan pernafasan (respirasi)
hewan dan manusia setiap saat, dan dari tumbuhan pada malam hari,
dari pembakaran kayu dan proses perombakan atau penguraian sisa
sisa tumbuhan dan hewan oleh mikroba. Gunung berapi yang masih
aktif mengeluarkan pula CO2. Dari CO2 kelompok ini sebagian secara
alami dipakai oleh tumbuhan hijau didarat untuk prosses
fotosintesis dengan adanya sinar matahari. Sebagian dari CO2 ini
akan larut didalam air pada temperature normal, sebagian lagi
embentuk asam karbonat lemah H2CO3. Tumbuhan ini didarat memakai
CO2 terlarut untuk fotosintesis di siang hari pada saat ada sinar
matahari. Karena permukaan air di bumi jauh lebih besar dari
permukaan daratan, maka diperkirakan CO2 yang disimpan di ar 60
kali lebih banyak dari CO2 atmosfir. Sebagian CO2 yang masih di
udara, secara alami ada yang bereaksi dengan uap air berupa awan,
sehingga terbentuk K2CO3, yamg menyebabkan air hujan mempunyai
derajat keasaman pH air hujan normal.
2.3KARBONDIOKSIDA (CO2) MASA PURBA
CO2 ini berasal dari pemakaian atau pembakaran minyak bumi, gas
alam dan batubara. Minyak bumi (bensin, minyak tanah, solar avtur)
dan gas alam (elpigi, LNG) serta batubara berasal dari hewan dan
tumbuhan masa lalu yang tertimbun jutaan tahun lamanya. Oleh karena
sisa atau bekas kehidupan masa lalu (purba) disebut sebagai fosil.
Di dalam kegiatannya, negara negara maju telah membakar bahan bakar
fosil dalam jumlah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun
sehingga sejak di mulainya industrialisasi di negara barat sampai
saat ini terjadi kenaikan konsentrasi CO2 global.Berbicara sedikit
statistik, mari kita lihat data dari Netherlands environmental
Assesment Agency. Disebutkan bahwa, ada lima negara yang menjadi
penyumbang terbesar buangan CO2, yaitu China, India, Amerika
Serikat, Uni Eropa, dan Russia. Sumber buangan CO2 yang terpenting
adalah hasil dari pembakaran bahan bakar fosil (industri maupun
pembangkit listrik) dan proses produksi semen.III. EFFEK RUMAH KACA
DAN KEKHAWATIRAN NEGARANEGARA INDUSTRI
Pengalaman petani di atas kemudian dikaitkan dengan apa yang
terjadi pada bumi dan atmosfir. Lapisan atmosfir terdiri dari,
berturut-turut: troposfir, stratosfir, mesosfir dan termosfer:
Lapisan terbawah (troposfir) adalah yang yang terpenting dalam
kasus ERK. Sekitar 35% dari radiasi matahari tidak sampai ke
permukaan bumi. Hampir seluruh radiasi yang bergelombang pendek
(sinar alpha, beta dan ultraviolet) diserap oleh tiga lapisan
teratas. Yang lainnya dihamburkan dan dipantulkan kembali ke ruang
angkasa oleh molekul gas, awan dan partikel. Sisanya yang 65% masuk
ke dalam troposfir. Di dalam troposfir ini, 14 % diserap oleh uap
air, debu, dan gas-gas tertentu sehingga hanya sekitar 51% yang
sampai ke permukaan bumi. Dari 51% ini, 37% merupakan radiasi
langsung dan 14% radiasi difus yang telah mengalami penghamburan
dalam lapisan troposfir oleh molekul gas dan partikel debu. Radiasi
yang diterima bumi, sebagian diserap sebagian dipantulkan. Radiasi
yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah.
Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh
molekul gas yang antara lain berupa uap air atau H20, CO2, metan
(CH4), dan ozon (O3). Sinar panas inframerah ini terperangkap dalam
lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di troposfir dan
permukaan bumi menjadi naik. Terjadilah Efek Rumah Kaca. Gas yang
menyerap sinar inframerah disebut Gas Rumah Kaca.
Seandainya tidak ada ERK, suhu rata-rata bumi akan sekitar minus
180 C terlalu dingin untuk kehidupan manusia. Dengan adanya ERK,
suhu rata-rata bumi 330 C lebih tinggi, yaitu 150C. Jadi, ERK
membuat suhu bumi sesuai untuk kehidupan manusia.
Namun, ketika pancaran kembali sinar inframerah terperangkap
oleh CO2 dan gas lainnya, maka sinar inframerah akan kembali
memantul ke bumi dan suhu bumi menjadi naik. Dibandingkan tahun
50-an misalnya, kini suhu bumi telah naik sekitar 0,20 C lebih.
Para ahli berpendapat pemanasan global dapat menyebabkan masalah
dan mencairnya es di kutub yang akan mnaikkan permukaan air laut
antara 60 90 m yang berarti akan menenggelamkan 20 % dari daratan
bumi. Fluroida di Amerika Serikat akan di tenggelamkan air laut,
Los Angeles dan New York akan tinggal sisa sisanya berupa pemuncak
pemuncak pencakar langit yang muncul di permukaan air. Kenaikan
panas bumi menyebabkan pula kegagalan pertanian, yang pada
gilirannya negara maju dan daya seperti USA akan berubah menjadi
negara miskin dengan penduduknya yang kelaparan. Negara kepulauan
Jepang akan tinggal 1 pulau saja yaitu Fujiama. Yang lebih drastic,
negara negara Eropa Barat, terutama Belanda akan tenggelam ,
sebagian lagi kebanjiran atau terendam air. Itulah kekuatan yang
mengancam negara negara industri.Pikiran sebagian ilmuwan dunia
kini diarahkan pada besarnya buangan gas karbon dioksida (CO2)
terhadap kelangsungan nasib bumi. Dalam beberapa dasawarsa terakhir
ini konsentrasi CO2 yang beredar di permukaan bumi telah meningkat
tajam. Perlu diingat adalah CO2 hanyalah salah satu komponen gas
rumah kaca disamping gas methan (CH4) dan gas-gas
chlorofluorokarbon (CFC). CO2 menjadi topik paling hangat karena
konsentrasinya meningkat secara exponensial seiring dengan proses
industrialisasi, sedangkan CH4 biasanya diproduksi alamiah (dari
proses pembusukan material organik). CFC sendiri produksi dan
pemanfaatannya sudah jauh berkurang. disamping itu, pemanfaatan CO2
yang dijerap dari cerobong-cerobong industri sungguh menantang alam
pikir dan memiliki masa depan ekonomi.
Dari grafik di bawah ini dapat dilihat prosentase kenaikan
masing-masing gas rumah kaca (termasuk CO2) semenjak tahun 1970
hingga 2004.
Sumbangsih CO2 mencapai 75% (atau setara dengan 45.000 megaton
CO2) dari seluruh kenaikan emisi gas rumah kaca (termasuk methana,
nitro oksida, dan gas-gas CFC).Indonesia juga disebut-sebut
penyumbang pemanasan global terbesar nomor tiga setelah China dan
Brazil karena gagal menjaga hutan tropisnya dari kerusakan. Karbon
netral yang terkandung dalam hutan tropis (pepohonan dan tanah
gambut) telah terkonversi menjadi CO2 dan terlepas ke udara akibat
dari pembukaan hutan dan pengolahan hasil hutan yang tidak
terkendali.
Kecenderungan penelitian terhadap pengurangan, penangkapan,
maupun pemanfaatan CO2 dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian
terkini di forum-forum ilmiah tentang CO2, gas rumah kaca, dan
teknologi bersih. Rangkaian tulisan ringan ini akan mengupas
masalah tersebut satu persatu.
Sasaran utama sistem penjerapan CO2 adalah buangan CO2 hasil
pembakaran batu bara dari pembangkit listrik, karena merupakan
salah satu penyumbang terbesar konsentrasi CO2 antropogenik di
atmosfer.
Ada tiga kemungkinan proses penjerapan CO2 yang terintegrasi
dengan sistem pembangkit listrik bahan bakar batu bara, yaitu
Post-Combustion system, Pre-Combustion system, dan Oxy-Combustion
(lihat diagram berikut ini).
Masing-masing sistem memiliki karakteristik buangan CO2 yang
berbeda, misalnya pada sistem Post-Combustion, konsentrasi gas CO2
hanya kisaran 3-15% pada tekanan atmosfer dan sisanya sebagian
besar adalah nitrogen (campuran gas ini disebut flue gas).
Sedangkan pada Pre-Combustion system, gas CO2 panas (400 oC) dengan
konsentrasi mencapai 40% bertekanan lebih dari 60 atmosfer
dihasilkan dari proses pembuatan syn gas.
Beberapa waktu belakangan ini diusulkan untuk menimbun CO2 di
kedalaman bumi dengan cara menginjeksikan CO2 ke dalam semacam
reservoir (sink) alam (menurut data di Amerika Serikat, 1120 hingga
3400 milyar ton CO2 dapat dimampatkan di bawah permukaan daratan
Amerika Serikat), atau menginjeksikannya pada sumur-sumur minyak
bumi demi memompa keluar semakin banyak minyak bumi (enhanced oil
recovery, EOR), atau menginjeksikan CO2 pada Coal Bed Methane (CBM)
untuk memompa keluar cadangan gas methan. namun semua itu
membutuhkan teknologi penjerapan dan pemisahan CO2 yang mumpuni
(handal) dan ekonomis sebelum proses penyimpanan.
IV. KEKELIRUAN NEGARA NEGARA INDUSTRI BARAT
Kini kita semakin yakin bahwa persoalan mendasar dari masalah
dunia saat ini adalah masalah prilaku manusia, pemanasan global
(global warming) yang menjadi isu hangat saat ini pada akhirnya
kembali kepada konteks prilaku manusia. Sejauh mana manusia dapat
menjadi subjek yang memberikan ketenangan dan kedamaian di alam
bumi ini. Hal itu tentunya sangat sulit diterapkan apabila melihat
kenyataan yang ada sekarang ini, paham neoliberalisme lebih
mempengaruhi pola interaksi sosial dan ekonomi masyarakat sehingga
hal-hal yang menyangkut etika publik dan masa depan dunia menjadi
dipertaruhkan oleh keinginan materialisme sesaat.Kini kita semakin
yakin bahwa persoalan mendasar dari masalah dunia saat ini adalah
masalah prilaku manusia, pemanasan global (global warming) yang
menjadi isu hangat saat ini pada akhirnya kembali kepada konteks
prilaku manusia. Sejauh mana manusia dapat menjadi subjek yang
memberikan ketenangan dan kedamaian di alam bumi ini. Hal itu
tentunya sangat sulit diterapkan apabila melihat kenyataan yang ada
sekarang ini, paham neoliberalisme lebih mempengaruhi pola
interaksi sosial dan ekonomi masyarakat sehingga hal-hal yang
menyangkut etika publik dan masa depan dunia menjadi dipertaruhkan
oleh keinginan materialisme sesaat.
Neoliberalisme sungguh menakutkan, paham ini terus
bermetamorfosis dalam berbagai bentuk yang terakhir adalah bentuk
budaya. Budaya popular yang terus dihembuskan oleh penganut neolib
telah berdampak pada perubahan prilaku sosial yang pada akhirnya
membentuk karakter 'homo economicus' tanpa batas. Kondisi ini
apabila dibiarkan berlarut-larut maka implikasinya ada dua hal
pertama, terjadinya dehumanisasi dan kedua,perubahan iklim dunia
yang mengarah pada kehancuran.
Seperti halnya yang terjadi saat ini, konfrensi perubahan iklim
untuk mensikapi kondisi bumi yang sudah sampai titik nadir akibat
ulah manusia. Ternyata sangat sulit menyatukan paham untuk
menentukan masalah iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan. Para
peserta dari negara berkembang dan negara maju cukup sulit menerima
bali road map. Keangkuhan Negara adidaya dan berkembang itu
semata-mata karena paham pembangunan yang lebih beroreintasi
neolib, artinya mereka akan rugi ketika harus mengikuti bali
roadmap dimana didalamnya ada keharusan mengurangi penggunaan
energi untuk indsutri. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi
kapitalisme telah membentuk pemikiran dan prilaku yang rakus dan
serakah hingga menyebabkan dunia ini diambang kepunahan.
Pemanasan global bukan hanya sekedar isu, tetapi ini sudah
menjadi fakta yang dapat menjadi masalah besar dikemudian hari.
Dari data World Resources Institute tahun 1994 menunjukkan bahwa
pada tahun 1991 AS mengkonsumsi energi hampir tiga kali lipat lebih
banyak dari Jepang untuk menghasilkan 1 dolar AS GNP-nya. Dengan
penduduk yang hanya 4,6 persen dari penduduk dunia, pada tahun 1991
AS menghasilkan 22 persen emisi global CO2. Dengan pola konsumsi
energi sebagai indikator bagi lingkungan yang berkelanjutan,
kelahiran bayi di AS menghasilkan 2 kali lipat dampak lingkungan
bagi bumi dibandingkan seorang bayi yang lahir di Swedia, 3 kali
lipat dibanding di Italia, 13 kali lipat dibanding Brazil, 35 kali
dari India, dan 140 kali lipat dibanding Bangladesh.
Dari data tersebut kita akan melihat betapa besar kebutuhan
energi negara maju di dunia ini yang disadari atau tidak telah
berpengaruh terhadap kondisi bumi. Kebutuhan energi di Negara maju
ini disebabkan oleh faktor pola hidup yang serba mewah dan
kebutuhan industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Pola
hidup masyarakat di Negara maju, rata-rata menggunakan fasilitas
AC, rumah luas dengan penghuni sedikit, kendaraan berenergi fosil,
pakaian berbahan kulit binatang, penggunaan air yang berlebihan,
makanan yang bersumber dari kimiawi dan yang paling penting adalah
industrialisasi di Negara-negara maju terutama Amerika Utara dan
Eropa. Telah menyumbang sekitar 22 milyar ton karbon per
tahunterutama dari konsumsi BBM, industri, dan penebangan hutan. Di
antara negara maju, penyumbang emisi terbesar adalah Amerika
(36,1%) disusul Rusia (17,4%), Jepang, dan negara Eropa lainnya
dalam persentase kurang dari 10%. Bandingkan dengan negara-negara
berkembang seperti Asia, Amerika Selatan, dan Afrika yang cuma
menyumbang sekitar 4 milyar karbon per tahunitu pun bukan dari
industri, melainkan perubahan penggunaanlahan.
Setelah konfrensi perubahan iklim berakhir kemarin (16/12)
dengan kesepakatan yang terbilang sukses, yaitu adanya kesepakatan
pengurangan emisi karbon, adanya kesepakatan pembayaran insentif
untuk mengurangi deforestasi melalui mekanisme REDD, terjadinya
kesepakatan mengenai transfer teknologi penangkapan dan menyimpanan
karbon (CSS) dari negara maju ke negara berkembang. Dari semua
hasil kesepakatan itu maka seluruh masalah perubahan iklim dunia
akan mengacu pada bali roadmap. Walaupun ada kemajuan dalam
konfrensi perubahan iklim di Bali, Namun sangat disayangkan dari
skema bali roadmap, oreintasi neoliberal masih sangat kental.
Pembayaran insentif, pengurangan emisi karbon dengan perhitungan
sesuai rate yang dikeluarkan setiap negara dan berbagai macam
proyek perubahan iklim lainnya. Saya memprediksi dana-dana yang
mengalir kebeberapa program ini akan sulit dimonitoring, apalagi
negara berkembang rentan dengan praktekkorupsi.
Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena penanganan perubahan
iklim ini sebetulnya tidak harus menggunakan pendekatan
neoliberalisme seperti terjadi saat ini. Kecenderungan pola-pola
neoliberal terlihat lebih dominan dibandingkan dengan cara-cara
pengembangan kebudayaan dan kearifan penanganan iklim diseluruh
dunia. Para peserta konfrensi rupanya larut dengan perlawanan
teradap negara maju untuk mengeluarkan insentifnya agar mengganti
dana perbaikan iklim di negara berkembang. Padahal agenda itu
seharusnya tidak perlu diprioritaskan tetapi menjadi isu kedua
setelah adanya komitmen yang terstruktur dan terkontrol dengan baik
mengenai komitmen bersama mengurangi emisi karbon dan standar hidup
maksimal meliputi gaya hidup, pemakaian rumah, penggunaan air,
pakaian atau yang sejenisnya disemua negara di dunia.
Solusi permasalahan pemanasan global tidak hanya terkait dengan
perbaikan hutan, pengurangan emisi karbon dengan mengganti energi
fosil menjadi energi biofuel, atau mengurangi instrialisasi di
seluruh negara. Tetapi yang lebih penting adalah kembalikan dimensi
humanisme dalam beragam kehidupan baik melalui pendidikan agama
ataupun kearifan spiritualitas lainnya. Inilah keyword utama yang
harus didorong semua pihak, agar masa depan dunia tidak menjadi
hantu yang menakutkan bagi anak cucu kita.V. KEANGKUHAN NEGARA
INDUSTRI
Negara-negara maju terutama Amerika terus menyalahkan negara
berkembang seperti Indonesia karena dianggap lalai menjaga
kelestarian hutan.
George Bush Senior, kala masih menjabat presiden Amerika
Serikat, berkata di Rio de Janeiro tahun 1992, Gaya hidup kami
tidak bisa dinegosiasikan. Ketika itu, dia menolak meratifikasi
Protokol Kyoto. Dengan pernyataan Bush ini, bukan saja Amerika
Serikat menolak untuk ikut ambil bagian dalam mengurangi pemanasan
global, tetapi juga menunjukkan sikap arogansi Amerika Serikat yang
tak mau tahu tentang kondisi dunia.Protokol Kyoto sendiri merupakan
kesepakatan yang penting untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan
global. Berawal pada bulan Desember 1997, negara-negara yang
tergabung dalam UNFCCC berkumpul di Kyoto, Jepang. Para pemimpin
negara ini sepakat menandatangani protokol Kyoto yang diadopsi dari
Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992.
Pernyataan pers PBB menyatakan protokol ini merupakan
persetujuan negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2 % dari tahun 1990. Gas yang
jadi kambing hitam pemanasan bumi ini antara lain berupa karbon
dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC dan
PFC.
Target Kyoto adalah pengurangan 8 persen untuk Uni Eropa, 7
persen untuk Amerika Serikat, 0 persen untuk Rusia dan batas
penambahan emisi yang diizinkan untuk Australia sebesar 8 persen
dan 10 persen untuk Islandia.
Semua pihak dalam UNFCCC dapat menandatangani atau meratifikasi
Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Sebagian
besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju
yang disebutkan dalam Annex I dalam UNFCCC.
Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol
tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru,
Rusia, Australia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan
Bulgaria.
Kini hanya tinggal Amerika Serikat yang masih menolak
meratifikasi Protokol Kyoto. Sebanyak 174 negara dan entitas
pemerintah diharuskan memenuhi target pengurangan emisi gas rumah
kaca menjelang 2012, kecuali untuk negara-negara berkembang. Negara
seperti China dan India termasuk yang mendapat pengecualian,
padahal mereka sedang dalam perjalanan untuk mengalahkan Amerika
Serikat sebagai pencemar terbesar di dunia.
Washington menjadikan pengecualian itu sebagai argumen utama
untuk tidak menandatangani protokol yang ditetapkan tahun 1997
tersebut. Pemerintahan Bush menyebut Kyoto cacat fatal, dan akan
melumpuhkan perekonomian Amerika Serikat.
Pemerintah Australia yang tadinya mengikuti jejak sekutunya AS
untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto sudah berubah haluan tahun
ini. Beberapa saat setelah dilantik sebagai Perdana Menteri
Australia, Kevin Rudd langsung menandatangani dokumen yang akan
menyiapkan negaranya untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Sebagai
sinyal atas komitmen tersebut, pemerintah Australia bahkan
menciptakan departemen baru bernama Departemen Perubahan Iklim.
5.1PENOLAKAN AS
Menurut Joseph Stiglitz, penerima Nobel Ekonomi 2001 dan
kritikus kebijakan pemanasan global, Protokol Kyoto hanya sampai
pada penyampaian pesan akan pentingnya isu pemanasan global pada
dunia.
Oleh karena itu, saat ini berkaitan dengan Konvensi Kerangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali, Amerika
memastikan mendukung kesepakatan internasional baru yang disebut
Bali Road Map atau Peta Jalan Bali. Peta Jalan Bali merupakan suatu
cara yang ditawarkan untuk menjalani proses menuju pasca Protokol
Kyoto yang berakhir 2012. Isinya antara lain rumusan soal mitigasi,
adaptasi, transfer teknologi serta mekanisme pendanaan terkait
penanganan perubahan iklim.
Pernyataan dukungan itu tetap tidak menghapus kesan arogansi
negara adidaya ini. Amerika, menurut Stiglitz, adalah negara
industri yang masih memiliki pandangan fundamental. Negara ini
masih mempercayai teknologi industri yang banyak memakan bahan
bakar bakar fosil. Saat Eropa dan Jepang mulai memproduksi
mobil-mobil kecil yang irit bahan bakar fosil, Paman Sam justru
melakukan sebaliknya. Autonet menyebutkan mobil-mobil produksi
Amerika semisal Ford atau General Motor rata-rata menghabiskan
lebih banyak bahan bakar dibandingkan mobil Eropa, Jepang atau
Korea.
Kebiasaan ini ada kaitannya dengan kebudayaan Amerika sendiri,
kata Emil Salim, pakar lingkungan hidup. Menurutnya dibandingkan
negara-negara lain di dunia, penduduk Amerika cenderung menggunakan
kendaraan besar. Kendaraan yang menghabiskan lebih banyak bahan
bakar fosil ini menjadi simbolisme maskulinitas ala Amerika.
Pemerintahan Bush telah mengambil kebijakan tidak akan
memaksakan peraturan pengurangan emisi pada industri Amerika.
Keputusan menerapkan teknologi ramah lingkungan pada industri hanya
didasarkan pada kesukarelaan masing-masing perusahaan. Pemerintahan
Bush juga mempertahankan Undang-undang Pertambangan Amerika yang
telah ketinggalan zaman. UU yang dibuat tahun 1872 ini sama sekali
tidak mengharuskan perusahaan tambang Amerika memperhatikan atau
mengurus dampak kerusakan lingkungan sekitar area tambang. New York
Post mencatat hingga tahun 2006 sekitar 500 ribu area bekas tambang
di Amerika terbengkalai.
Bush berasal dari latar belakang keluarga yang dekat dengan
industri minyak, dan ia sendiri seorang yang berpandangan
fundamentalis untuk masalah ini. Selama masih kuliah, Bush juga
sempat bekerja di bisnis minyak milik keluarganya. Tak heran jika
Bush tak ingin isu pemanasan global menggoncang bisnis minyak
Amerika.
Padahal menurut laporan terakhir organisasi Peace, Amerika
hingga tahun 2007 masih menduduki peringkat pertama Nnegara
penghasil emisi karbon dioksida terbesar. Serupa dengan China di
posisi kedua, emisi Amerika sebagian besar berasal dari pemakaian
energi negara tersebut. Dan penyerapan energi terbesar berasal dari
lingkungan industri. Amerika akan setuju dengan peraturan pemanasan
global apapun selama itu tidak berpengaruh pada industrinya, tegas
Stiglitz.
Memang tak semua politisi di AS mendukung kebijakan Bush.
Politikus Al Gore kini lebih dikenal sebagai aktivis lingkungan
hidup yang menantang kebijakan Bush. Karyanya berupa film
dokumenter Unconvenient Truth mengenai pemanasan global bahkan
meraih penghargaan Academy Award 2007. Secara pribadi Al Gore juga
memilih menggunakan mobil Hibrid yang lebih ramah lingkungan.
Menurut majalah Forbes, Gore sebenarnya telah berusaha memaksa
Amerika menerima Protokol Kyoto sejak tahun 2000. Namun ia kalah
dalam perebutan kursi kepresidenan, dan Amerika tetap menerapkan
kebijakan lingkungan sukarelanya.
Sebenarnya Amerika mampu membiayai industri yang ramah
lingkungan. Mampu tapi tak mau. Tak bisa diingkari perubahan
teknologi tetap akan memakan biaya tambahan.
Berupaya memecahkan masalah, Stiglitz mengemukakan solusi
pemanasan global yang berbasis ekonomi. Menurutnya masalah terletak
pada keengganan negara dan perusahaan polutan secara sukarela
membayar dampak sosial marjinal. Polusi akibat emisi karbon tak
bisa diingkari berdampak langsung terhadap lingkungan sosial.
Menurut Environmental Working Group dan Pew Campaign for
Responsible Mining jumlah klaim terhadap pertambangan Amerika naik
dari 207.504 di 2003 menjadi 376.500 di tahun 2007.
Solusinya, perusahaan-perusahaan ini harus dipaksa membayar
biaya marjinal itu lewat pajak, kata Stiglitz. Ukuran besar
kecilnya pajak, menurut dosen Universitas Columbia ini akan
ditentukan lewat dampak reduksi emisi sesuai yang dicita-dicitakan
Protokol Kyoto.
Di lain pihak, Stiglitz juga mempertimbangkan keadilan bagi
negara-negara yang diminta mempertahankan hutannya. Laporan
Greenpeace menyatakan pada tahun 2006 hutan tropis Amazon berkurang
25 persen dari luasnya semula. Meskipun pemerintah Brazil telah
berkomitmen akan mengurangi pembalakan hutannya.
Emil Salim bahkan mempertanyakan mengapa tidak ada kompensasi
bagi negara-negara berkembang yang mempertahankan hutannya. Padahal
mempertahankan hutan berarti mengurangi kesempatan membuka lahan
untuk pertanian.
Dalam makalah Economics and Politics of Gobal Climate, Stiglitz
mengemukakan solusi insentif berbasis pasar. Selain pengenaan pajak
untuk setiap emisi karbondioksida, perlu diterapkan penyeimbang
berupa subsidi dan tukar menukar teknologi antara negara-negara
dunia.
Untuk ini, setiap negara berkembang menurut Stiglitz memerlukan
insentif untuk melakukan efisiensi energi. Demikian, Amerika
sebagai negara maju seharusnya tak hanya berkomitmen pada reduksi
emisi karbon dalam negeri saja.5.2KETIDAKADILAN
Rusaknya hutan diklaim seakan sebagai penyebab utama pemanasan
global. Selalu diberitakan kebakaran hutan dan gambut yang ikut
meningkatkan tinggi muka laut akibat naiknya suhu udara dan
melelehnya es di Greenland dan Antartika.1