Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar meyebabkan kerusakan yang serius organ-organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga. Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden yang berhubungan dengan cidera tusuk. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apa pengertian dari hepar injury (trauma hepar)? 1.2.2 Bagaimana etiopatogenesis dari hepar injury? 1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis pada hepar injury? 1.2.4 Bagaimana hasil pemeriksaan laboratorium dan rasdiologi pada hepar injury? 1.2.5 Komplikasi apa saja yang terjadi pada hepar injury? 1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan pada hepar injury? 1.2.7 Bagaimana asuhan keperawatan pada hepar injury? 1.3 Tujuan 1
36
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rongga abdomen memuat baik organ-organyangpadat maupun yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar meyebabkan kerusakan yang serius organ-organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.

Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besardariinsiden yang berhubungan dengan cidera tusuk.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa pengertian dari hepar injury (trauma hepar)?

1.2.2 Bagaimana etiopatogenesis dari hepar injury?

1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis pada hepar injury?

1.2.4 Bagaimana hasil pemeriksaan laboratorium dan rasdiologi pada hepar injury?

1.2.5 Komplikasi apa saja yang terjadi pada hepar injury?

1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan pada hepar injury?

1.2.7 Bagaimana asuhan keperawatan pada hepar injury?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari hepar injury

1.3.2 Untuk mengetahui etiopatogenesis dari hepar injury

1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis pada hepar injury

1.3.4 Untuk mengetahui hasil laboratorium dan radiologi pada hepar injury

1.3.5 Untuk mengetahui komplikasi pada hepar injury

1.3.6 Untuk mengetahui penatalaksanaan pada hepar injury

1.3.7 Untuk mengetahui asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien hepar injury

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN

Rongga abdomen memuat baik organ-organyangpadat maupun yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar meyebabkan kerusakan yang serius organ-organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.

Trauma abdomen menurut penyebabnya, dibagi atas :

A. Trauma TembusYaitu dengan penetrasi kedalam rongga perut, dapat disebabkan oleh luka tusuk atau luka tembak.

B. Trauam TumpulYaitu tanpa penetrasi kedalam rongga perut, dapat disebabkan oleh ledakan, benturan atau pukulan.

2.1.1 Cidera Pada Hepar

Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum mengalami cidera, baik trauma tumpul penetrasi dapat menyebabkan cidera. Trauma hepatik dapat menyebabkan kehilangan banyak darah kedalam peritoneum.

Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besardariinsiden yang berhubungan dengan cidera tusuk.

2.2 ETIOPATOGENESIS

Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi trauma tajam dan trauma tumpul. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat menjalar melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar. Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena-vena hepatik. Trauma tajam terjadi akibat tusukan senjata tajam atau oleh peluru. Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, dan arah trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih besar dan letaknya lebih dekat pada tulang costa, maka lobus kanan hepar lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri. Sebagian besar trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini dipercaya merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa, tulang belakang atau dinding posterior abdomen. Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau di daerah kanan bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada permukaan superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau contra coup biasanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau bokong yang pertama kali mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek pecahan pada penampang sagital hepar dan kadang-kadang terjadi pemisahan fragmen hepar.

Gambaran trauma hepar mungkin dapat seperti :

1. Subcapsular atau intrahepatic hematom,

2. Laserasi,

3. Kerusakan pembuluh darah hepar, dan

4. Perlukaan saluran empedu. Saat ruptur hepar mengenai kapsul Glissoni maka akan terjadi ekstravasasi darah dan empedu ke dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh, pengumpulan darah di antara kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada permukaan superior dari hepar. Ruptur sentral meliputi kerusakan parenkim hepar.

WOC

Trauma(kecelakaan) Penetrasi & Non-Penetrasi Terjadi perforasi lapisan abdomen(kontusio, laserasi, jejas, hematom) Menekan saraf peritonitis dan mengenai hepar Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri Motilitas usus Disfungsi usus Resiko infeksi Refluks usus output cairan berlebih Gangguan cairan Nutrisi kurang daridan eloktrolit kebutuhan tubuh Kelemahan fisik Gangguan mobilitas fisik(Sumber : Mansjoer, 2001)

2.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda

a. syok,

b. iritasi peritoneum dan

c. nyeri pada epigastrium kanan.

Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu

a. hipotensi, takikardi,

b. penurunan jumlah urine,

c. tekanan vena sentral yang rendah, dan

d. adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hepar.

Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual dan muntah.

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hepar akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hepar, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hepar lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma.

2.5 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan CT-scan tetap merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan sering dianjurkan sebagai sarana diagnostik utama. CT-scan bersifat sensitif dan spesifik pada pasien yang dicurigai suatu trauma tumpul hepar dengan keadaan hemodinamik yang stabil. Penanganan non operatif menjadi penanganan standar pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan CT-scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma hepar, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hepar yang memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hepar berat, dan digunakan untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT-scan terbukti sangat bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hepar. Dengan CT-scan menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus trauma hepar.

2.6 Komplikasi

Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai komplikasi, khususnya jika tindakan operasi dilakukan.

Komplikasi signifikan setelah trauma hati termasuk adalah

a. perdarahan post operatif,

b. koagulopati,

c. fistula bilier,

d. hemobilia, dan

e. pembentukan abses.

Perdarahan post operasi terjadi sebanyak < 10% pasien. Hal ini terjadi mungkin karena hemostasis yang tidak adekuat, koagulopati post operatif atau karena keduanya. Jika pasien tidak dalam keadaan hipotermi, koagulopati atau asidosis, maka tindakan eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh darah yang tampak mengalami perdarahan harus secara langsung di visualisasi dan ligasi, meskipun kerusakan lebih luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat.

2.7 Penatalaksanaan.

2.7.1 PraRumahSakit.

Fase ini dimulai pada tempat kecelakaan dengan pengkajian cepat terhadap cedera-cedera yang mengancam keselamatan jiwa.

a. Tingkat kesadaran .

b. Airway.

Ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas karena darah, cairan, lender

Lidah jatuh kebelakang atau tidak.

Jalan nafas efektif lewat hidung atau mulut.

Jaga kepatenan jalan nafas.

Apakah ada trauma pada wajah atau leher.

c. Breathing.

Kaji frekuensi dan kedalaman nafas.

Inspeksi kesimetrisandada.

Pergerakan nafas atau pergerakan dada.\

Ada atau tidak trauma pada dada.

Perkusi jalan nafas.

Auskultasi jalan nafas.

d. Sirkulasi.

Ukur nadi arteri karotis.

Akral dingin atau tidak.

Warna kulit mengalami sianosis atau tidak.

2.7.2 Rumah Sakit.

Pengkajian dan perawatan yang dilakukan setibanya dirumah sakit dibagi kedalam empat fase :

a. Evaluasi Primer.

Airway.

Breathing.

Sirkulasi.

Informasi tentang mekanisme terjadinya cidera dan gambaran tentang keadaan kecelakaan. Untuk memberikan petukjuk tentang kemungkinan terjadinya cidera seruis.

b. Resusitasi.

Resusitasi seringkali mulai dilaksanakan selama evaluasi primer dan memcakup tindakan terhadap kondisi-kondisi yang mengancam keselamatan jiwa sambil evaluasi pasien secara simultan.

c. Pengkajian Sekunder.

Apabila kondisi pasien sudah distabilkan, riwayat kesehatan yang lengkap termasuk informasi tentang mekanisme cidera harus diperoleh dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus dilakukan. Pemeriksaan dapat mencakup CT-Scan.

d. Penatalaksanaan Non-Operatif

Pasien dengan trauma tumpul hati yang stabil secara hemodinamik tanpa adanya indikasi lain untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif (80% pada dewasa, 97% pada anak-anak).Beberapa kriteria klasik untuk penatalaksan non operatif adalah: Hemodinamik stabil setelah resusitasi, Status mental normal dan Tidak ada indikasi lain untuk laparatomi.

Pasien yang ditangani secara non operatif harus dipantau secara cermat di lingkungan gawat darurat. Monitoring klinis untuk vital sign dan abdomen, pemeriksaan hematokrit serial dan pemeriksaan CT/USG akan menentukan penatalaksanaan. Setelah 48 jam, dapat dipindahkan ke ruang intermediate care unit dan dapat mulai diet oral tetapi masih harus istrahat ditemapt tidur sampai 5 hari. Embolisasi angiografi juga dimasukkan ke dalam protokol penanganan non operatif trauma hati pada beberapa situasi dalam upaya menurunkan kebutuhan transfusi darah dan jumlah operasi. Jika pemeriksaan hematokrit serial (setelah resusitasi) normal pasien dapat dipulangkan dengan pembatasan aktifitas. Aktifitas fisik ditingkatkan secara perlahan sampai 6-8 minggu. Waktu untuk penyembuhan perlukaan hepar berdasarkan bukti CT-Scan antara 18-88 hari dengan rata-rata 57 hari.

e. Penatalaksaan Operatif

Prinsip fundamental yang diperlukan di dalam penatalaksanaan operatif pada trauma hati adalah: Kontrol perdarahan yang adekuat, Pembersihan seluruh jaringan hati yang telah mati (devitalized liver). Drainase yang adekuat dari lapangan operasi

Tehnik Untuk Kontrol Perdarahan Temporer/Sementara

Dilakukan untuk dua alasan;

1. Memberikan waktu kepada ahli anestesi untuk mengembalikan volume sirkulasi sebelum kehilangan darah lebih lanjut terjadi.

2. Memberikan waktu kepada ahli bedah untuk memperbaiki trauma lain terlebih dahulu apabila trauma tersebut lebih membutuhkan tindakan segera dibandingkan dengan trauma hati tersebut.

Tehnik yang paling berguna dalam mengontrol perdarahan sementara adalah

1. Kompresi Manual, pembalutan perihepatik (perihepatic packing), dan parasat pringle. Kompresi manual secara periodik dengan tambahan bantalan laparatomi (Laparatomy pads) berguna dalam penatalaksanaan trauma hati kompleks dalam menyediakan waktu untuk resusitasi. Bantalan tambahan dapat ditempatkan diantara hati dan diafragma dan diantara hati dengan dinding dada sampai perdarahan telah terkontrol. 10 hingga 15 bantalan dibutuhkan untuk mengontrol perdarahan yang berasal dari lobus kanan. Pembalutan tidaklah berguna pada trauma lobus kiri, karena ketika abdomen dibuka, dinding dada dan abdomen depan tidaklah cukup menutup lobus kiri hati untuk menciptakan tekanan yang adekwat. Untungnya, perdarahan dari lobus kiri hati ini dapat dikontrol dengan memisahkan ligamentum triangular kiri dan ligamentum coronarius kemudian menekan lobus tersebut diantara kedua tangan.

2. Parasat Pringle ( Pringle Manuver) sering kali digunakan untuk membantu pembalutan /packing dalam mengontrol perdarahan sementara. Prasat Pringle adalah suatu tehnik untuk menciptakan oklusi sementara vena porta dan arteri hepatika yang dilakukan dengan menekan ligamentum gastrohepatik (portal triad). Penekanan ini dapat dilakukan dengan jari atau dengan menggunakan klem vaskuler atraumatik. Tehnik ini merupakan tehnik yang sangat membantu dalam mengevaluasi trauma hati grade IV dan V. Biasanya, pengkleman pada portal triad direalese setiap 15-20 menit selama 5 menit untuk memberikan perfusi hepatik secara intermitten. Bukti terbaru, dengan memberikan komplet oklusi sekitar satu jam tidak memberikan kerusakan iskemik pada hepar.

Perut kemudian ditutup, dan pasien dipindahkan ke ICU untuk resusitasi dan koreksi kekacauan metabolik. Dalam 24 jam, pasien dikembalikan ke ruang operasi untuk pengankatan balut itu kembali. Tindakan ini diindikasikan untuk trauma grade IV- V dan pasien dengan trauma yang kurang parah tetapi menderita koagulopati yang disebabkan oleh trauma yang menyertai.

Trauma vena juxtahepatik sering kali berakibat kematian. Prosedur kompleks dibutuhkan untuk mengontrol sementara perdarahan dari vena besar ini. Prosedur yang paling penting dilakukan adalah isolasi vascular hepatik dengan klem, shunt atrium kava, dan dengan penggunaan balon Moore-Pilcher, serta dengan melakukan pintas venovena.

Tehnik Tehnik Dalam Penatalaksanaan Definitif Trauma Hati

Tehnik yang dapat digunakan sebagai terapi definitif pada trauma hati berkisar dari kompresi manual hingga transplantasi hati. Laserasi parenkim hati grade 1 atau 2 dapat secara umum diatasi dengan kompresi manual. Apabila dengan tehnik ini tidak berhasil, seringkali trauma seperti ini diatasi dengan tindakan hemostatik topikal. Tindakan yang paling sederhana adalah dengan elektrokauterisasi, yang seringkali dapat mengatasi perdarahan dari pembuluh darah kecil yang dekat dengan permukaan hati. Perdarahan tidak berespon dengan elektrokauter mungkin dapat berespon dengan argon beam koagulator. Kolagen mikrokristalin bentuk bubuk juga berguna dalam situasi seperti ini. Bubuk tersebut ditempatkan dalam sponge bersih ukuran 4 x 4 kemudian digunakan langsung pada permukaan yang mengeluarkan darah dengan menekan bagian tersebut dan dipertahankan selama 5 hingga 10 menit. Lem fibrin (fibrin glue) telah digunakan dalam pengobatan laserasi superfisial dan laserasi yang dalam dan tampil sebagai agen topikal yang paling efektif. Lem fibrin ini pula dapat diinjeksikan secara dalam pada perdarahan akibat luka tembak dan luka tikam untuk mencegah diseksi luas dan kehilangan darah. Lem fibrin ini dibuat dengan mencampur fibrin konsentrat manusia (cryopresipitat) dengan larutan yang mengandung trombin bovine dan kalsium.

Perihepatik mesh yang merupakan absorbe mesh yang terdiri polyglactin oleh Brunet dkk, telah digunakan untuk perlukaan hepar grade II-V. Dilaporkan dengan cara ini tidak terbentuk hemobilia dan absces. Dengan penggunaan mesh sejak awal perdarahan dalam jumlah yang besar dapat dikurangi.

Meskipun beberapa laserasi grade III dan IV berespon terhadap tindakan topikal yang disebutkan sebelumnnya, tetapi pada kebanyakan kasus tidaklah demikian. Pada keadaan ini, satu satunya pilihan adalah dengan menjahit parenkim hati. Meskipun dikatakan sebagai penyebab nekrosis, akan tetapi tindakan ini masih sering digunakan. Menjahit parenkim hati seringkali dilakukan untuk mengatasi perdarahan persisten akibat laserasi dengan kedalaman kurang dari 3 cm. Bersama dengan hepatotomi dan ligasi selektif, tindakan ini juga merupakan alternatif yang cocok pada laserasi yang lebih dalam jika pasien tidak dapat mentoleransi perdarahan lebih lanjut. Material yang diperlukan adalah catgut chromic atau vicryl 0 atau 2.0 dan jarum kurva ujung tumpul. Untuk laserasi yang dangkal jahitan terus menerus sederhana (simple continuous suture) dapat digunakan untuk mendekatkan tepi luka. Untuk laserasi yang dalam , jahitan matras horizontal terputus (interrupted horizontal mattres suture) dapat ditempatkan secara pararel pada tepi luka. Ketika mengikat jahitan, satu yang harus dipastikan bahwa ketegangan yang adekuat telah tercapai apabila perdarahan telah berhenti.

Hepatotomi dengan ligasi selektif pembuluh darah yang mengalami perdarahan adalah tehnik penting yang lazim dipakai untuk luka tembus yang dalam atau luka tembus transhepatik. Tehnik finger frakture digunakan untuk memperluas panjang dan dalamnya laserasi hingga pembuluh darah yang mengalami perdarahan dapat diidentifikasi dan dikontrol.

Hepatotomi yang meliputi

a) Finger fracture,

b) pemisahan pembuluh darah atau duktus,

c) memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah.

Tindakan tambahan dalam penjahitan parenkimal atau hepatotomy adalah penggunaan omentum untuk mengisi defek luas pada hati sekaligus sebagai penopang jahitan. Alasan penggunaan omentum ini adalah bahwa omentum menyediakan sumber makrofag yang unggul dan mengisi ruang mati potensial dengan jaringan hidup, mengurangi terbentuknya absces, dan sebagai tamponade bagi perdarahan.

Omentum pack

Ligasi arteri hepatik mungkin cocok untuk pasien dengan perdarahan arteri dari dalam organ hati. Meskipun demikian tindakan ini hanya sedikit berperan pada keseluruhan penatalaksanaan trauma hati. Hal ini disebabkan karena tindakan ini tidak menghentikan perdarahan yang berasal dari sistem vena potra dan vena hepatika. Peranan primer tindakan ini adalah dalam penatalaksanaan trauma lobus yang dalam ketika penggunaan parasat pringle berhasil dalam menghentikan perdarahan arteri.

Debridemen reseksi diindikasikan pada parenkim hati bagian perifer yang mati (nonviable). Jumlah dari jaringan yang dibuang tidaklah melebihi 25% keseluruhan organ hati. Tindakan ini dilakukan dengan tehnik finger fracture atau elektrokogulasi dan cocok pada pasien trauma hati grade III hingga grade V.

Alternatif akhir untuk pasien dengan trauma unilobar yang luas adalah reseksi hepar anatomis. Dalam keadaan elektif, lobektomi anatomis dapat dilakukan dengan hasil yang sangat memuaskan. Reseksi anatomik pada trauma dibatasi pada lobektomi kanan, lobektomi kiri, dan segmentektomi lateral kiri. Jenis dan luasnya reseksi biasanya ditentukan dari sifat trauma. Untuk melakukan reseksi hati, hati harus dimobilisasi terlebih dahulu dengan memotong perlekatan ligamentumnya.

Mobilisasi Hepar

Untuk melakukan lobektomi kanan, kedua daun ligamentum koronarius harus dipotong. Jalur ke reseksi lobus kiri dipermudah dengan pemotongan ligamentum triangularis. Setelah kapsule hati diinsisi, parenkim hati mudah didiseksi dengan gagang pisau scalpel yang tumpul. Kehilangan darah dikurangi dengan kompresi hati oleh tangan asisten. Pembuluh darah dan saluran empedu yang ditemukan dapat diligasi sendiri-sendiri dengan benang atau klip. Segmentomi lateral kiri terdiri dari reseksi hati yang terletah di bagian kiri ligamentum falsiformis. Harus berhati hati untuk tidak meligasi pembuluh darah yang mungkin memasok segmen medial (segmen 4) lobus kiri. Setelah reseksi permukaan yang terbuka dapat ditutupi dengan memobilisasi ligamentum falsiformis dan memindahkannya ke daerah yang terbuka. Jika segmen medial lobus kiri (segmen 4) mengalami kerusakan yang parah, lobektomi hati kiri diindikasikan. Garis resksi untuk lobektomi kiri harus dilakukan ke bagian kiri fossa kandung empedu. Mutlak perlu untuk mengidentifikasi vena hepatik medial selama reseksi karena ia mengalirkan segmen superior lobus kanan dan sering mengalir ke vena hepatik kiri. Vena hepatik kiri harus diligasi dan dipotong prioksimal dari persambungan dengan vena hepatik medial. Vena porta kiri tidak boleh diligasi sampai terpapar dengan baik di dalam hilum karena ia mungkin memiliki cabang ke segmen anterior lobus kanan. Harus berhati-hati saat memotong saluran hepatik kiri karena saluran hepatik segmental dari kanan seringkali menyeberangi fisura segmental untuk mengalir ke saluran hepatik kiri. Arteri hepatik kiri hanya mempedarahi sisi kiri dan dapat diligasi dengan mudah.

Dalam melakukan lobektomi hati kanan, garis reseksi harus dibawa ke bagian kiri fossa kandung empedu. Vena hepatik medial harus diidentifikasi, dan diseksi harus dilakukan menuju vena kava ke bagian kanan vena hepatik medial. Arteri hepatik kanan dan vena porta dapat didiseksi pada awal reseksi dan diligasi untuk mengurangi

Jika kerusakan parenkim yang masif terjadi akibat trauma hati atau pada mereka yang memerlukan reseksi hati total, maka transplantasi hati dapat mejadi pilihan penatalaksanaan selanjutnya dan telah berhasil dilakukan. Jika transplantari sedang dipertimbangakan untuk penatalaksanaan selanjutnya, maka pasien hendaknya dirujuk ke pusat transplantasi secepatnya karena ketersediaan organ tidak dapat diramalkan.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

Contoh Kasus

Tn. K 35 tahun datang ke IGD RSUD Kota Jombang di antar istri dan anaknya Ny S 32 tahun dengan keluhan perdarahan terus menerus di bagian perut karena dibegal saat perjalanan pulang dari tempat kerjanya, Tn.K di tusuk berkali kali dengan pisau pada perut bagian kanan dan mengeluarkan banyak darah, pasien langsug di bawa ke rumah sakit, pasien sempat pingsan saat perjalanan ke RS. Pada pemeriksaan didapatkan TD : 100/70 mmHg, RR : 24x/menit, HR : 130x/menit , S : 36,5 C, CRT < 2 detik, pasien memegangi perutnya dan mengerang kesakitan skala nyeri 7, terdapat luka tusuk di bagian abdomen kanan hingga menembus hati, konjungtiva anemis, pasien tampak pucat dan lemah .

3.1 Pengkajian1. Identitas Klien

a. Nama: Tn. Kb. Umur: 35 tahunc. Jenis Kelamin: laki-lakid. No. RM: -e. Pendidikan: SMKf. Pekerjaan: Karyawan swastag. Agama: Islamh. Alamat: Mojosongo

Tanggal masuk: 20 Maret 2015jam 22.00

2. Identitas Penanggung Jawaba.Nama: Tn. Sb.Umur : 32 tahunc.Alamat : Mojosongo

3. Diagnosa Medis: ruptur hepar e.c trauma tembus abdomen

4.Riwayat Penyakit

a. Keluhan Utama

Keluarga pasien mengatakan terjadi perdarahan terus menerus.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk Rumah Sakit 30 menit yang lalu ( pukul 22.00 WIB). Kronologis klien: ketika sedang mengendarai sepeda motor pasien dibegal di jalan yang sepi didekat rumahnya, klien ditusuk berkali kali dengan pisau dan mengeluarkan banyak darah klien langsung di bawa ke RSUD Jombang, pasien sempat pingsan selama perjalanan menuju rumah sakit. Pasien perdarahan banyak dan mengerang kesakitan.

c. Riwayat Keluarga

Keluarga dan klien mengatakan anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa.

3.2 Pemeriksaan Fisik

1. Primary survey

Airway : Bebas, tidak ada secret, tidak ada obstruksi jalan nafas

Breathing : Klien bernafas secara spontan. Klien menggunakan nasal kanul O 3 liter/ menit.Frekuensi napas 24 x/ menit, pernafasan reguler.

Circulation : Terjadi perdarahan terus menerus pada perut bagian kanan, TD : 100/70 mmHg Hipotensi , HR : 130x/menit, S : 36,5 C, CRT < 2 detik

Disability: Keadaan Umum compos mentis GCS E4 V3 M5 Skala nyeri 7

Exposure: Terdapat jejas disertai perdarahan (trauma tembus) pada daerah abdomen

2. Secondary surveyAlergi: Klien dan keluarga mengatakan klien tidak memiliki alergi,

baik makanan ataupun obat-obatan.

Medicasi : Klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit

mengkonsumsi obat sakit kepala.

Pastillness : Klien pernah di rawat di RSUD jombang.

Lastmeal : Klien mengatakan sebelum kejadian, klien hanya minum segelas air putih

Environment: Klien tinggal di daerah yang jarang penduduknya dan pedesaan.

1. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan

Hasil

Normal

Gol Darah

B

-

Hemoglobin

10,5 gram/Dl

14-17,5 gram/dL

Hematokrit

25 %

30-46%

Leukosit

18900 sel/mm3

6000-17000 sel/mm3

Trombosit

208.000 sel/mm3

150.000-400.000 sel/mm3

Eritrosit

2.9 juta sel/mm3

4.0-5.5 juta sel/mm3

USG Abdomen

ruptur dan perdarahan pada hati, terdapat luka tembus

-

Diagnosa : ruptur pankreas e.c trauma tembus abdomen

ANALISA DATA

Tgl/Jam

Data

Etiologi

Dx Keperawatan

DS:

- KlienMengeluh perdarahan terus menerus

DO :

-Turgor kulit telastis, mukosa bibir kering, kulit pucat, konjungtiva anemis, terdapat luka tembus di abdomen, CRT < 2 detik

Perdarahan

Defisit volume cairan dan elektrolit

DS :

-Klien mengeluh nyeri perut

P = nyeri terjadi karena lika tembus

Q = nyeri seperti di tusuk

R = nyeri terjadi di bagian perut kanan atas

S = skala nyeri 7

T = nyeri di rasakan saat bernafas

DO :

- klien memegangi perutnya dan mengerang kesakitan, skala nyeri 7

Terdapat trauma abdomen tembus pankreas

-HR : 130x/menit

-RR : 24x/menit

-TD : 100/70 mmhg

Agen injuri fisik (trauma abdomen)

Nyeri Akut

DS :

Klien mengatakan badannya mengigil

DO :

Terdapat jejas dan hematoma pada abdomen sebelah kanan, terdapat luka tembus pankreas

Luka tampak kemerahanLeukosit : 18900 sel/mm3

Luka tembus abdomen

Resiko tinggi infeksi

3.3Diagnosa Keperawatan

1. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan.

2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri fisik (trauma abdomen).

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka tembus abdomen

3.4Intervensi Keperawatan

No

Diagnosa Keperawatan

NOC

NIC

1

Defisit Volume cairan dan elektrolit b/d pendarahan

Fluid balance

Indikator :

Konjungtiva tidak anemis.

Hasil lab normal (HB.)

Tidak ada perdarahan lanjutan

Fluid Management

Monitor TTV

Monitor tanda-tanda perdarahan.

Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

Monitor status dehidrasi

Monitor tanda-tanda perubahan sirkulasi ke jaringan perifer (CRT dan sianosis).

Monitor hasil laboratorium (trombosit).

Monitor tingkat Hb dan hematrokit

Kolaborasi pemberian cairan IV (cairan kristaloid NS/RL) sesuai indikasi.

Berikan transfusi darah.

Lakukan tindakan pembedahan jika diperlukan sesuai indikasi

2

Nyeri Akut b/d trauma abdomen

Pain Control

Indikator :

Klien mengatakan nyeri berkurang

Klien tampak tenang

Skala nyeri 1-3

Pain Management

Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, qualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi

Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien

Evaluasi peningkatan iritabilitas, tegangan otot, gelisah, perubahan tanda-tanda vital.

Berikan tindakan kenyamanan, misalnya perubahan posisi, masase

Ajarkan menggunakan teknik non-analgetik (relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik, akupresure)

Berikan lingkungan yang nyaman

Tingkatkan istirahat

Kolaborasi Berikan obat sesuai indikasi : relaksan otot, misalnya : dantren; analgesik

3

Resiko tinggi infeksi b/d luka tembus abdomen

Knowledge : infection control

Indikator :

Bebas dari tanda infeksi

Angka leukosit normal

Infection Control (Kontrol infeksi)

Pertahankan teknik isolasi

Batasi pengunjung bila perlu

Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan

Monitor leukosit

Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawtan

Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat

Tingktkan intake nutrisi

Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)

Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

Monitor hitung granulosit, WBC

Berikan perawatan kuliat pada area epidema

Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase

Ispeksi kondisi luka / insisi bedah

Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep

3.5Implementasi

Pelaksanaan keperawatan adalah tindakan keperwatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan yang sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal.

Pedoman Pengisian Format Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

1. Nomor diagnosis keperawatan/masalah kolaboratif.

Tulislah nomor diagnosis keperawatan/masalah kolaboratif sesuai dengan masalah yang sudah teridentifikasi dalam format diagnosis keperawatan.

2. Tanggal/jam

Tulislah tanggal, bulan, dan jam pelaksanaan tindakan keperawatan.

3.Tindakan

Tulislah nomor urut tindakan

Tindakan dituliskan berdasarkan urutan pelaksanaan tindakan

Tulislah tindakan yang dilakuakn beserta hasil atau respon yang jelas

Jangan lupa menuliskan nama/jenis obat, dosis,cara memberikat, dan instruksi medis yang lain dengan jelas

Jangan menuliskan istilah sering, kecil, besar, atau istilah lain yang dapat menimbulkan persepsi yang berbeda atau masih menimbulkan pertanyaan.

Untuk tindakan pendidikan kesehatan tulislah melakukan penkes tentang laporan penkes terlampir

Bila penkes dilakukan secara singkat tulislah tindakan dan respon pasien setelah penkes dengan jelas.

3.6Evaluasi

Evaluasi atau penilaian pada dasarnya adalah merujuk kepada suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengambil keputusan dalam rangka memberi nilai terhadap suatu. Dalam konteks keperawatan evaluasi adalah penilaian fase proses keperawatan, mempertimbangkan efektifitas tindakan keperawatan dan menunjukan perkembangan pasien terhadap pencapaian tujuan.

Dokumentasi Implementasi dan Evaluasi

Hari/ tanggal

NoDx

Waktu

Implementasi

Evaluasi

paraf

Kamis 20 Maret 2015

1

09.00

1. melakukan BHSP kepada px dan keluarga px

2. mengobservasi TTV

Nadi : 130x/menit

- RR : 24x/menit

- TD : 100/70 mmhg

S : 35,5 C

3. mempertahankan intake dan output yang akurat

4. pemberian cairan IV, persiapan apabila membutuhkan tranfusi

5. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan

6. Monitor status hidrasi

7. berkolaborasi dgn tim medis dalam pemberian terapi

S : Px mengatakan perdarahan mulai berkurang O : -KU lemah

- TTV normal

TD : 120/90 mmhg

RR : 22x/menit

Nadi : 100x/menit

S : 36 C

- turgor kulit normal

- konjungtiva anemis

A : masalah belum teratasi

P : intervensi dilanjutkan

Kamis

19 maret 2015

2

20.00

1. mengajarkan tehnik relaksasi : nafas dalam/panjang untuk mengurangi nyeri.

2. memberikan HE kpda px tentang penyebab timbulnya nyeri.

3. mengatur posisi pasien senyaman mungkin

4. berkolaborasi dgn tim medis dalam pemberian terapi

S : pasien mengatakan nyeri berkurang

O : -KU lemah

-skala nyeri 4

-TTV TD : 120/90 mmhg

RR : 22x/menit

Nadi : 100x/menit

S : 36 C

-px sudah tidak memegangi area nyeri

-px tidak lagi mengerang kesakitan

A : masalah belum teratasi

P : Intervensi dilanjutkan di ruangan

Kamis 19 maret 2015

3

23.00

1. melakukan BHSP pada px dan keluarga px

2. mengobservasi TTV

Nadi : 110x/menit

- RR : 20x/menit

- TD : 110/80 mmhg

S : 37,8 C

3. Anjurkan banyak makan yang mengandung protein

4. Perawatan luka

5. Anjurkan istirahat yang cukup

6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotik

S : Px mengatakan badannya menggigil

O : -KU lemah

-TTV

TD : 120/70 mmhg

RR : 22x/menit

Nadi : 120x/menit

S : 37 C

Terdapat bekas jahitan

Luka jahitan tampak kemerahan

A : masalah belum teratasi

P : intervensi dilanjutkan di ruangan

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi.

Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat menjalar melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar. Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena-vena hepatik.

DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heather.2012.Buku NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan.EGC:Jakarta

American College of Surgeon Committee of Trauma. 2004. Advanced Trauma Life Support Seventh Edition. Indonesia: Ikabi

Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

27