TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak 53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen (21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak trampil (BNP2TKI 2010). Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2) Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)
39
Embed
TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN PUSTAKA
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima
upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1)
Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di
negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan
TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan
dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.
Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen
TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di
Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya
data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja
berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak
53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen
Definisi Keluarga UU Nomor 10 Tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Melson (1980), keluarga
adalah kelompok dari individu-individu yang mencari pemaksimalan sumberdaya
materi dan fisik agar mencapai tujuan personal dan kelompok. Saxton (1990)
mengartikan keluarga sebagai hubungan antara dua atau lebih orang melalui
kelahiran, adopsi, atau perkawinan dan hidup dalam satu rumahtangga.
Keluarga dipandang sebagai: 1) Suatu sistem interaksi antar anggota
keluarga, 2) Suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (dyadic), 3) Sejumlah
interaksi antara seluruh sub kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya
hidup” lebih lama, serta hubungan biologis dan intergenerasi yang berkaitan
dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White 1996 dalam
Puspitawati 2006).
Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras
dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan. Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya tidak saja
mengentaskan keluarga dari kemiskinan harta atau kebutuhan fisik semata,
namun juga kebutuhan lainnya yang mencakup sosial psikologis dan
pengembangan diri untuk jangka waktu lebih lama (Anonim 1996).
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons
mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga
pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam
kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan
fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi
untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan
pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi
sistem masyarakat (Megawangi 1999).
11
Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur
internal keluarga, yaitu mengacu pada:
1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami
(pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita,
anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu
dengan status sosial berbeda.
2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu
atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial.
Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan
(equilibrium tendency).
3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya
seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal
dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan
tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk
keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah
tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah
laku setiap anggota keluarganya.
Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas
yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi
keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang
lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak
dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang
akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi
keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus
dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain:
(1) Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan
dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam
keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender,
generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.
(2) Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota
keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau
kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan
emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada
keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan
antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami
12
dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi
antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.
(3) Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam
hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan
jasa dalam keluarga.
(4) Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga
dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar
keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu
diperlukan.
(5) Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau
cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku
yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.
Peran dan Fungsi Keluarga serta Perubahannya Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal
menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola
kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut seorang profesor ilmu jiwa
bernama Lidz, diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai
dengan determinasi biologis dan psikologis manusia (Megawangi 1999).
Peran didefinisikan sebagai persepsi tingkahlaku interpersonal yang
dihubungkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang (Kammeyer
1987). Peran juga dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang
sesuai dengan kedudukannya.
Parson dan Bales (Megawangi 1999) menyatakan bahwa peran orangtua
dalam keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan oleh suami atau
bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur
istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk
kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada
bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti, suami
sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan keluarga
secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran
pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk
mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta
meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar
13
anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Istri diharapkan berperan
membawa kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat
tercapai.
Pembagian peran ekspresif dan instrumental menurut Kammeyer (1987)
dikaitkan dengan stereotip feminin dan maskulin seseorang. Wanita selalu
distereotipkan sebagai orang yang penuh emosional, perhatian dan pengasuhan,
lebih simpati, sensitif, mudah terharu, dan peduli terhadap orang lain dan mampu
memberikan dorongan sehingga cocok untuk melakukan peran ekspresif. Shaver
and Freedman (1976), Lunneborg and Rosenwood (1972), dan Bardwick (1971)
dalam Saxton (1990) berpendapat sama bahwa orang yang berperan sebagai
caretaker adalah orang yang memiliki karakter feminin dan bertindak sebagai
tenderness, compassion, dan penuh pengertian. Karakteristik feminin selalu
ditemukan pada perempuan dan karakter ini lebih banyak ditemukan pada
perempuan daripada laki-laki.
Menurut BKKBN (1996), delapan fungsi keluarga dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan
keluarga sejahtera adalah sebagai berikut:
(1) Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya didorong dan
dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis
yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan
seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang
beraneka ragam dalam satu kesatuan.
(3) Fungsi Cinta Kasih, dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh
terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan
anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga
sebagai wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh kasih lahir dan
batin.
(4) Fungsi Melindungi, keluarga adalah wahana utama yang memberikan rasa
aman dan nyaman serta kehangatan bagi seluruh anggota, anak, istri
maupun suami
(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme melanjutkan keturunan yang
direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia
yang penuh iman dan taqwa.
14
(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga
untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupannya di masa yang akan datang.
(7) Fungsi Ekonomi, mengembangkan kemampuan ekonomi keluarga agar
semua anggota mampu mengembangkan kemampuan ekonominya untuk
mandiri sehingga dapat mendukung ketahanan keluarga.
(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
Keluarga inti, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim
mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985):
(1) Pemberian afeksi, dukungan dan persahabatan
(2) Memproduksi dan membesarkan anak
(3) Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda
(4) Mengembangkan kepribadian
(5) Membagi dan melaksanakan tugas-tugas di dalam keluarga maupun
diluarnya
Menurut Guhardja dkk (1992), keluarga bertanggung jawab dalam
menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan
demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan,
tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:
(1) Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk
perkembangan fisik dan sosial. (2) Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk
pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Menurut Maryam (2007) ada persamaan beberapa fungsi yang
dikemukakan oleh Rice dan Tucker dengan PP No. 21 Tahun 1994 yaitu: (1)
Sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya
menurunkan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) Memiliki
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai
sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan
emosional lainya, dan (3) Memberikan peran sosial dan keagamaan dalam
kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-
norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam
15
keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang
Maha Pencipta.
Perbedaan dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas terletak peran
orangtua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Parson dan Bales
membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan
fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi
ekspresif yang diperankan oleh ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
1994 tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga kedalam peran
ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan
bersama-sama. Berikut ini disajikan Tabel 3 yang menjelaskan fungsi keluarga
dari berbagai sumber (Sunarti 2003).
16
Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber
BKKBN (1992) United Nation (1993) Mattesich & Hill dalam Zeitlin et al. (1995)
Rice & Tucker (1986) Roberta Berns (1997)
1. Keagamaan 2. Sosial budaya 3. Cinta kasih 4. Melindungi 5. Reproduksi 6. Sosial dan
pendidikan 7. Ekonomi 8. Pembinaan
lingkungan
1. Pengukuhan ikatan suami istri
2. Proteksi dan hubungan sosial
3. Sosialisasi dan pendidikan anak
4. Pemberian hak asasi manusia dan status
5. Perawatan dasar anak (dan lanjut usia)
6. Rekreasi dan perawatan emosi
7. Pertukaran barang dan jasa
1. Pemeliharaan fisik 2. Sosialisasi dan
pendidikan 3. Akuisisi anggota
keluarga baru melalui proteksi atau adopsi
4. Kontrol perilaku sosial dan seksual
5. Pemeliharaan moral keluarga dan motivasi untuk berperan di dalam dan di luar keluarga
6. Akuisisi anggota keluarga dewasa melalui pembentukan pasangan seksual
7. Melepaskan anggota keluarga dewasa
1. Fungsi ekspresif: memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak
2. Fungsi instrumental: manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui: a) proteksi dan sosialisasi anak, serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga
1. Reproduksi 2. Sosialisasi atau
pendidikan 3. Penetapan peran
sosial 4. Dukungan ekonomi 5. Dukungan emosi
(Sumber: Sunarti 2001)
17
Menurut Megawangi (1993) beberapa kendala yang dihadapi keluarga
Indonesia di dalam menjalankan fungsinya antara lain:
(1) Menurunnya kualitas dan kuantitas waktu bersama untuk Family
Togetherness. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) meneliti pengaruh
keadaan lingkungan kerja terhadap kehidupan keluarga pada keluarga sosial
ekonomi rendah. Ada tiga bentuk pola yang ditemui; pertama adalah yang
disebut positive carry-over dimana suasana pekerjaan cukup menyenangkan
dan tidak terlalu melelahkan, sehingga suami atau istri yang pulang ke rumah
akan mempunyai suasana emosi yang menyenangkan didalam membina
hubungan dengan masing-masing anggota keluarga. Bentuk keluarga kedua
yang lebih banyak ditemui pada keluara working class adalah yang disebut
negatif cary over dimana suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan
perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan sehingga waktu pulang ke
rumah dalam keadaan frustasi dan marah, yang membawa akibat negatif
pada hubungan antara suami-istri dan anak-anaknya. Kemudian bentuk yang
paling sering dijumpai adalah energy deficit. Pada bentuk ini pekerjaan
dianggap sangat membosankan dan melelahkan, sehingga sewaktu pulang
ke rumah keadaan fisik sangat capai dan tidak ada energi yang tertinggal lagi
untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.
(2) Wanita yang bekerja di luar rumah. Hasil penelitian McGurk (1993) dalam
Megawangi (1993) dilaporkan bahwa ada pengaruh negatif antara lamanya
anak diasuh oleh bukan ibunya dan pembentukan bonding, bahkan akan
memberi resiko kepada anak untuk mempunyai sikap agresif dan
pembangkang. Tetapi McGurk (1993) berpendapat bahwa keadaan ini akan
sangat tergantung pada kualitas, konsistensi, dan reability dari pola
pengasuhannya. Wanita kelas sosial menengah ke atas mungkin dapat
memilih alternatif pengasuhan yang baik sehingga kemungkinan untuk dapat
menghindari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan menjadi lebih besar
tetapi tidaklah demikian pada pekerja kelas bawah.
(3) Menurunnya otoritas orangtua. Sehubungan dengan menurunnya kuantitas
dan kualitas interaksi antara orangtua dan anak, dan berkurangnya bonding
antara orangtua dan anak, peran orangtua sebagai figur yang perlu dicontoh
menjadi berkurang. Pada zaman yang kompleks ini anak dihadapkan pada
bermacam-macam nilai dari lingkungannya seperti peer group, media cetak
atau elektronik, sekolah dll. Pada pihak orangtua sering terjadi sikap yang
18
ambivalen yaitu mereka merasa tidak mampu menjalankan fungsinya
sebagai orangtua di dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini disebabkan
perubahan sosial yang cepat dan menuntut penyesuaian sikap orangtua
terhadap anak-anaknya. Akibatnya banyak orangtua yang berpaling pada
para ahli pendidik atau menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah,
termasuk juga dalam pembentukan moral anak. Karena institusi sekolah tidak
dapat secara efektif memberikan dukungan moril kepada siswa sepenuhnya
dan membentuk moral para siswa, anak-anak remaja sering mengalami
adolence crisis, sehingga banyak yang berpaling kepada peergroupnya
daripada orangtuanya. Salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kota
lebih agresif adalah hubungan yang tidak baik antara orangtua dan anak
kerena kurangnya waktu kebersamaan. Hasil penelitian Ancok (1993) dalam
Megawangi (1993) pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja kota
cenderung mempunyai hubungan yang kurang baik dengan ayahnya
dibandingkan dengan remaja desa.
Yusuf (2000) dalam Jatiningsih (2004) menyebutkan bahwa keluarga
yang fungsional merupakan keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsi-
fungsinya yang ditandai oleh karakteristik: (1) Saling memperhatikan dan
mencintai, (2) Bersikap terbuka dan jujur, (3) Orangtua mau mendengarkan
anak, menerima perasaan dan menghargai pendapatnya, (4) Ada sharing
masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (5) Mampu berjuang
mengatasi masalah hidupnya, (6) Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi,
(7) Orangtua melindungi (mengayomi) anak, (8) Komunikasi antar anggota
keluarga berlangsung baik, (9) Keluarga memenuhi kehidupan psikososial anak
dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya, dan (10) Mampu beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi.
Rogers (1960) dalam Simamora (2005) menjelaskan perubahan fungsi
keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud:
(1) Pergeseran fungsi keluarga: Fungsi produksi, melindungi, mendidik, dan
fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi
di luar keluarga. Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa
keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan
kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani
kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut.
19
(2) Perubahan otoritas dalam rumah tangga: Otoritas ayah sebagai pengambil
keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentase
jumlah wanita bekerja.
(3) Perubahan dalam pencarian pasangan: Dewasa ini romantisme menjadi inti
pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak
memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan
bertemu sekali saja sebelum perkawinan.
(4) Perubahan sikap terhadap perceraian: Dulu perceraian dianggap kotor dan
dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-
pasangan yang tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian.
Akibatnya angka perceraian meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri pula
remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat.
(5) Perlakuan terhadap kaum tua: Kaum tua atau yang sudah jompo kurang
dihoramati lagi. Kecenderungan keluarga saat ini memilih jauh dari tempat
tinggal orangtua atau mertuanya.
(6) Perubahan jumlah dan ukuran keluarga: Rata-rata ukuran keluarga sejak
Tahun 1800 menurun akibat peningkatan metode pengaturan kelahiran,
pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai
keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan.
(7) Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada
keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan
orangtua. Dewasa ini individualisme justru diprioritaskan ketimbang
familisme.
Menurut teori tantangan dan tanggapan Arnold Toynbee (Narwanto
2007), ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan budaya tersendiri bagi
keluarga Tenaga Kerja Wanita. Secara tradisional, pola keluarga patriarki
menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik, terutama
mengasuh anak. Ketika istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), keluarga yang
ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan
budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam ekosistem keluarga itu
menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju
keseimbangan baru.
Penelitian oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di
Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The
International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW
20
Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran kolektif
menghadapi ketidakseimbangan tersebut. Artinya, ruang kosong yang ditinggal
istri menjadi tanggung jawab bersama antara suami, orangtua, atau kerabat yang
lain. Kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran:
(1) Suami mengambil alih peran yang ditinggal istri. Mereka mengurusi berbagai
pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.
(2) Suami mengambil sebagian peran yang ditinggal istri. Mereka biasanya
dibantu ibu atau anggota keluarga lain.
(3) Suami tidak mengambil peran. Pola yang dapat dikatakan sebagai kegagalan
keluarga dalam melakukan transformasi nilai ini membuat ibu atau mertua
TKW mengambil alih peran domestik keluarga.
Analisis Gender dan Peran Perempuan Konsep Gender Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi
dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil
konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman serta
dukungan masyarakat itu sendiri (UNFPA et al. 2005 dalam Puspitawati 2007).
Dalam pembahasan mengenai gender dikenal adanya dua aliran atau
teori, yaitu teori nurture dan teori nature, namun berdasarkan kedua teori
tersebut dikembangkan konsep teori yang merupakan kompromistis atau
keseimbangan yaitu teori equilibrium. Teori nurture mengungkapkan bahwa
perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya merupakan hasil konstruksi
sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas berbeda, sedangkan teori
nature berisi bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga
harus diterima. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa
diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran
yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak bisa karena memang
berbeda secara kodrat alamiahnya. Teori equilibrium merupakan pandangan
yang tidak mempertentangkan antara kaum lelaki dan perempuan, karena
keduanya bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dikehidupan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Puspitawati 2007).
Dalam memahami konsep gender ada dua hal yang harus dipahami, yaitu
(Puspitawati 2007):
21
(1) Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat
sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi
korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi: (1)
Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan), (2) Subordinasi yaitu keyakinan
bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
dibanding dengan jenis kelamin lainnya, (3) Pandangan stereotip yang sering
kali bersifat negatif secara umum dan dapat menyebabkan ketidakadilan
karena bersumber dari pandangan gender yang menyangkut pelabelan
terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, (4) Kekerasan terhadap
perempuan sebagai akibat dari perbedaan peran yang terjadi dalam berbagai
bentuk, (5) Beban kerja yang merupakan bentuk diskriminasi dan
ketidakadilan gender karena beban kerja yang harus dijalankan oleh salah
satu jenis kelamin tertentu.
(2) Kesetaraan dan Keadilan gender yaitu suatu kondisi dimana porsi dan siklus
sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis,
adapun kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara
perempuan dan laki-laki.
Analisis Gender Ada beberapa model teknik analisis gender yang dikembangkan oleh
para ahli untuk menganalisis peran di dalam keluarga dan masyarakat, antara
lain:
(1) Teknis Analisis Model Harvard. Model ini terdiri atas sebuah matiks yang
mengumpulkan data pada tingkatan mikro (masyarakat dan rumah tangga),
meliputi pembagian tiga kegiatan (kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial
masyarakat) berdasarkan jenis kelamin, rincian sumber-sumber apa yang
dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan kegiatannya, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender.
(2) Teknik Analisis Model Moser. Model ini mencakup penyusunan pembagian
kerja berdasarkan gender dan mengembangkan kebutuhan gender dari sudut
perempuan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan praktis gender
(kebutuhan yang harus dipenuhi) dan kebutuhan strategis gender (kebutuhan
yang disebabkan posisi subordinat mereka).
22
Dukungan Sosial Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan bantuan
atau pertolongan dari orang lain. Pertolongan dari orang lain ini biasanya disebut
sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga besar,
masyarakat (tetangga), dan lembaga-lembaga masyarakat dimana orang itu
berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan,
termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan dan dalam pengasuhan anak.
Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial diartikan sebagai pemberian
dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau
lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa
kesulitan atau masalah. Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial
adalah pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang lain secara terus menerus untuk
kesejahteraan. Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996), mengartikan
dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan dasar seseorang (approval,
esteem, succor, dll) oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004)
mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian,
penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai
individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula.
Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996)
dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari:
1) Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan
perhatian. Menurut Witty et al. (1992) dalam Conger et al. (1994), individu
dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada
seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial
merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga
menimbulkan rasa aman dan percaya.
2) Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible
Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga
menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak.
3) Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang
lain, percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan
tingkah laku orang lain.
4) Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang
kenyataan, nasihat, penilaian terhadap situasi. Dukungan informasi
23
memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh
pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa
bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan
(Felton & Berry 1992 dalam Conger et al. 1994).
Pengasuhan Keluarga sebagai tempat pertama dan utama bagi anak untuk dididik dan
dibesarkan dalam pembentukan dan perkembangan pribadi dan perilaku. Faktor
yang mempengaruhi perilaku anak salah satunya adalah pengasuhan.
Pengasuhan merupakan interaksi antara ibu dan pengasuh dengan anak sesuai
keinginan pengasuh. Pengasuhan adalah segala interaksi antara orangtua
dengan anaknya dan praktek pengasuhan yang diberikan kepada anak. Interaksi
ini meliputi segala perilaku seperti minat, nilai, sikap dan kepercayaan yang
diajarkan kepada anak-anak melalui proses pendidikan dan pengasuhan
sepanjang hidup anak (Karyadi 1988).
Menurut Sunarti (2004) pengasuhan dapat diartikan sebagai
implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orangtua atau orang
dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung
jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang
baik. Rohner (1986) mengartikan pengasuhan sebagai salah satu bentuk pola
hubungan antara orangtua terutama ibu dengan anak, berupa kehadiran dan
perhatian ibu yang diekspresikan dalam bentuk perilaku, ucapan, ungkapan
emosi dan kasih sayang, arahan dan kegiatan perawatan ibu kepada anaknya.
Secara tradisional, beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan
mengasuh dikelompokkan menjadi (Bigner 1979):
(1) Cultural influence. Beberapa studi melaporkan adanya perbedaan pada
kelompok sosial terhadap cara pengasuhannya. Ditemukan bahwa
pertumbuhan mental secara potensial mempengaruhi perbedaan gaya
bahasa (mengajar) yang digunakan oleh ibu.
(2) Personality patterns. Johnson & Medinnus (1974) dalam Bigner (1979)
melukiskan bahwa hubungan antara orangtua dan anak sebagai ikatan
emosional. Orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik yang
tumbuh menjadi orang dewasa yang baik.
(3) Attitudes toward parenting. Menurut Diana Baumrind (1966) dalam Bigner
(1979), ada tiga tipe dasar pengasuhan, antara lain:
24
(a) Authoritarian attitudes, pola asuh ini merupakan bentuk interaksi antara
orangtua dan anak, dimana orangtua berusaha membentuk ,
mengendalikan dan mengevaluasi sikap juga tingkah laku anak sesuai
dengan patokan yang bersifat absolute dan baku yang diterapkan
orangtua dan ditunjukkan dengan peraturan ketat, tanpa memberi
kesempatan pada anak untuk mendapatkan penjelasan dan biasanya
disertai dengan hukuman fisik.
(b) Permissive attitudes, orangtua memberikan kebebasan kepada anak
dalam bertingkah laku. Orangtua tidak memberikan hukuman dan lebih
menerima serta menyetujui apa yang menjadi keinginan dan kemauan
anak sehingga anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa
yang dianggapnya baik karena pengawasan dari orangtua longgar.
Aturan dan batasan yang pasti dalam hal ini tidak ada.
(c) Authoritative attitudes, orangtua memberikan peraturan dengan
menggunakan penjelasan dan penalaran pada anak untuk membantu
anak mengetahui mengapa peraturan dibuat dan mengapa anak
diharapkan untuk bertingkah laku tertentu. Dalam proses interaksi ini
terlihat adanya saling memberi dan menerima antara orangtua dan anak
sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya pada orangtua.
(4) Role modeling. Sesuai dengan prinsip teori social learning, maka anak
sesungguhnya belajar dari mengamati tingkah laku, perbuatan, persepsi,
pemikiran, cara komunikasi dari orang dewasa yang ada di sekitarnya.
Melalui role modeling ini maka orangtua dapat mencontohkan perilaku yang
diharapkan tersebut (Hastuti 2007).
Ahli sosiologi mendeskripsikan peran istri-ibu dan suami-ayah
dihubungkan dengan peran jenis kelamin. Peran istri-ibu memiliki karakteristik
ekspresif dimana mampu mengekspresikan afeksi, kehangatan dan dukungan
emosianal kepada anggota keluarga yang lain. Disisi lain, peran suami-ayah
dikarakteristikkan oleh fungsi instrumental. Ayah dipandang sebagai pemberi
keputusan terakhir dan membuat hukuman, disiplin, dan pengontrol tingkah laku
anak. Robert Winch (Bigner 1979) mendiskusikan dua fungsi pengasuhan yang
mungkin dibagi antara ibu dan ayah. Fungsi nurturance diberikan kepada istri-ibu
(ekspresif) dimana istri-ibu melakukan pemeliharaan sehari-hari seperti memberi
makan, memandikan, dan memakaikan pakaian anak. Fungsi kedua yaitu control
25
yang dilakukan oleh suami-ayah (instrumental) dimana suami-ayah memiliki
ototitas dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak.
Dimensi Kehangatan (Warmth Dimension) Menururt Rohner (1986), pengasuhan dari dimensi kehangatan dapat
diekspresikan menjadi dua bentuk antara lain (Gambar 1):
1) Bentuk penerimaan orangtua (parental acceptance) yaitu berkaitan dengan
kehangatan, kasih sayang, cinta orangtua kepada anaknya, yang
diekspresikan melalui fisik dan verbal. Ekspresi fisik dari kehangatan dan
afeksi antara lain pelukan, kasih sayang, perhatian, ciuman, senyuman dan
lainnya yang mengindikasikan adanya dukungan. Ekspresi kehangatan dan
afeksi verbal antara lain pujian, mengatakan hal yang baik tentang anak,
mungkin menyanyikan lagu dan menceritakan cerita yang disukai anak.
2) Bentuk penolakan orangtua (parental rejaction) yaitu kebalikan dari dimensi
kehangatan, ada tiga bentuk antara lain: (1) hostility dan aggression, meliputi
perasaan marah, dendam, benci, iri atau dengki terhadap anak; (2)
indifference and neglect, diekspresikan ketika orangtua lalai untuk mengurus
fisik, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain anak. Orangtua
mengabaikkan kebutuhan, perhatian, harapan dan ketertarikan anak; dan (3)
Undifferentiated rejection, adalah perasaan tidak dicintai dan diinginkan.
Dagun (1990) dalam Briawan dan Herawati (2005) menyatakan bahwa
partisipasi ayah dalam membina pertumbuhan fisik dan psikologis anak tidak
kalah pentingnya dengan peran ibu dalam mengasuh anak. Oleh karena itu
untuk mendapatkan anak yang tumbuh dan berkembang secara optimal perlu
pengasuhan yang lengkap dari kedua orangtuanya.
Pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua supaya berkualitas dan
berhasil maka perlu diperhatikan: (1) Hubungan kasih sayang, (2)
Kelekatan/keeratan hubungan, (3) Hubungan yang tidak terputus, (4) Interaksi
yang memberikan rangsangan, (5) Hubungan dengan satu orang, (6) Melakukan
pengasuhan di rumah sendiri (Rutter 1984 dalam Nurani 2004).
26
Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental acceptance-rejection Sumber: Rohner (1986)