15
BAB I
Pendahuluan1.1 Latar Belakang
Spondilitis TB tuberculosis yang dikenal dengan Potts disease
adalah penyakit infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Secara umum TB masih menjadi
masalah di dunia, karena merupakan penyakit infeksi yang paling
banyak menyebabkan kematian di dunia, dimana 95% kasus didapatkan
di negara berkembang, dan 40% terjadi di Asia Tenggara.1 TB
extrapulmonar terjadi pada sekitar 10%-15% dari semua kasus TB,
tetapi pada pasien HIV, frekuensinya menjadi lebih tinggi.3
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada
tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat
gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut
tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya
basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk
kejadian tersebut menjadi jelas.4,5 Komplikasi spondilitis TB dapat
mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara
cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat
disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena
perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari
tulang dan debris.6 1.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8
juta per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis.2 Indonesia adalah penyumbang
terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus
baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan
angka kematian 140.000 orang pertahun. Kejadian TB ekstrapulmonal
sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling
sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah
dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.6,7
Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan
lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat
karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing
mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan
sacral.8,9,10
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan
spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit
ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non
traumatik.11 Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang
dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan dengan
insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang,
kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan
ini. 4,11
Gambar 1. Posisi kejadian TB Indonesia di dunia (2006)
BAB II
Landasan Teori
2.1 EtiologiPenyakit ini disebabkan oleh karena bakteri
berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi
penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai
penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling
sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,
ataupun non tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada
penderita HIV).2,11,12.
Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat
mempengaruhi pola resistensi obat. Mycobacterium tuberculosis
merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat
acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui
cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media
egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan
karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk
membedakannnya dengan spesies lain.42.2 PatogenesisBerdasarkan
konsensus umum, penyebaran TB pada tulang belakang adalah akibat
diseminasi secara hematogeneous dari basil tuberkulum baik secara
primer ataupun reaktivasi dari focus primer. Mycobacterium TBC
dapat berdiam diri (dormant) pada vertebra dalam waktu yang panjang
sampai meyebabkan manifestasi klinis. TB tulang belakang dapat
disebabkan akibat extensi dari abses paraspinal meskipun sangat
jarang terjadi. Drainase limfatik dari daerah yang berdekatan
seperti pleura atau ginjal dapat menyebabkan penyebaran alternatif
basil tuberkulum13,14.
Gambar 2. Anatomi vaskularisasi vertebrae
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau
lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang
berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan
bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang
mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra
yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70%
kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang
berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih
vertebra.5Setelah sampai di vertebra, lesi granulomatosa
berkembang, teriri dari nekrosis kaseosa di tengah, sel raksasa
dengan inti multipel, sel epithelioid dan limfosit perifer. Reaksi
inflamasi, yang disertai dengan pembentukan jaringan granulasi,
menyebabkan ekspansi tulang secara bertahap yang disertai dengan
rusaknya trabekulasi, demineralisasi progresif, destruksi tulang
dan, dalam tahap selanjutnya, yang pada akhirnya terjadi kerusakan
tulang rawan dengan keterlibatan diskus yang berdekatan. Margin
dari tulang, terdapat lesi litik yang berbeda dan biasanya tidak
ada regenerasi tulang atau reaksi periosteal. Fibrosis, sclerosis
tulang dan ankilosis terjadi ketika penyakit berlangsung kronis
sampai timbulnya manifestasi klinis . Paraosseous abses (disebut
'abses dingin'), erosi dan pembentukan saluran sinus dapat
terjadi.152.3 Manifestasi KlinisDiagnosis dini dan pengobatan
segera pada TB vertebral merupakan fundamental yang sangat penting
dalam pencegahan terjadinya deformitas spinal yang berat (gibus),
yang dapat menyebabkan terjadinya kifotik angulasi akut. Adanya
penundaan antara gejala awal dengan diagnose etiologi kemungkinan
disebabkan rendahnya insidens TB vertebral dan lambatnya
perkembangan dari gejala klinis. Waktu dari timbulnya gejala sampai
terdiagnosa dapat terjadi dalam beberapa hari sampai lebih dari
tiga tahun, tetapi kebanyakan dalam beberapa bulan.16Biasanya,
beberapa korpus vertebra dan diskus intervertebralis dapat
terlibat. Gejala yang timbul dapat berupa nyeri lokal, keterbatasan
gerak, dan pada fase akhir dari penyakit, deformitas spinal yang
berat (gibus) akibat terjadinya kifotik angulasi akut.gejala dan
komplikasi neurologis dapat terjadi baik pada awal ataupun akhir
dari tahapan penyakit. Nyeri radicular, sindroma kauda equine yang
berat dan kompresi dari medulla spinalis dengan paraplegia yang
dapat disebabkan karena edema, pelebaran vascular, retropulsif dari
debris, meningomyelitis atau adanya koleksi pada ruang subaraknoid.
Manifestasi TB secara sistemik dapat terjadi dengan gejala
diantaranya demam ringan terutama malam, kelesuan, malaise,
berkeringat di malam hari, anoreksia dan penurunan berat
badan.16
Gambar 3. Ilustrasi gibbus.2.4 DiagnosaDiagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesa sesuai dengan gejala atau manifestasi diatas,
ada tidaknya kontak dengan penderita TB, dan pemeriksaan fisik
didapatkan gibus dengan manifestasi neurologis dalam berbagai
tingkatan. Pada pemeriksaan laboratorium, sampai 10% pasien dengan
kasus TB didapatkan jumlah sel darah putih dan laju endap darah
yang normal.17 Sel darah putih yang abnormal, tingkat C-reaktif
protein atau pemeriksaan darah lengkap tidak berkontribus pada
diagnose. Ditemukannya laju endap darah yang meningkat, tidak
memperkuat diagnose, tapi berguna untuk mengetahui kemajuan pasien
dalam pengobatan. Tes tuberculin positif tidak banyak membantu
terutama di daerah endemis atau pasien yang telah mendapatkan
vaksin BCG.12 Dari semua pasien dengan TB vertebral, menunjukkan
angka negative sebanyak 14% dengan menggunakan test Mantoux dan
protein yang dimurnikan (purified protein). Test kulit yang
negative mungkin disebabkan adanya alergi, terutama pada pasien
dengan imunitas rendah dan pada orang tua.13 Akhirnya, pemeriksaan
radiologis dada dan riwayat kontak mungkin tidak positif.Konfirmasi
mikrobiologis dan atau histologist diperlukan untuk diagnosis pasti
dari TB vertebral dan aspirasi jarum halus (fine needle biopsy),
atau perkutaneus biopsy dengan panduan pencitraan radiologi, atau
biopsy terbuka (operasi) menjadi sangat penting.17 Diagnosa secara
histopatologis ditegakkan dengan ditemukannya granulomatous caseosa
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan batang tahan asam
Ziehl-Nielsen, dengan adanya DNA mikroba dengan pemeriksaan PCR,
atau dengan adanya BTA pada kultur.13 Jika pada pemeriksaan
bakteriologi negative dan hanya ditemukan granulomatous caseosa
pada pemeriksaan histologist, pemriksaan tambahan mungkin
diperlukan untuk membedakan dengan penyakit granulomatous yang
lain, seperti sarkoidosis, brucellosis, jamur atau mikobacteria
atipik, dan penyakit gout. 182.5 Diagnosa Banding TB Vertebral
Banyak proses infeksi yang memberikan gambaran radiologis
vertebral spondylodiscitis. Diantaranya adalah infeksi pyogenik,
seperti brucellosis, dan infeksi bakteri ataupun jamur lainnya.
Penyakit granulomatosis (sarkoidosis), fraktur akibat trauma
ataupun osteoporosis, neoplasma primer ataupun metastase mungkin
mempunyai gambaran radiologis yang menyerupai TB vertebral.
Diagnose lebih mengarah ke TB jika pada gambaran radiologis
ditemukan adanya massa kalsifikasi di paravertebral tanpa adanya
sklerosis ataupun pembentukan tulang baru. Sebaliknya, berkurangnya
jarak diskus intervertebralis sangat jarang ditemukan akibat
neoplasma, dan diskus yang dengan cepat memendek disertai adanya
destruksi, dengan sklerosis yang ekstensif, tanpa adanya gibbus dan
massa kalsifikasi paravertebral, lebih mendukung ke arah pyogenik
spondylodiscitis. Biopsi jarum halus dengan panduan CT mungkin
diperlukan dan memberikan diagnosis yang tepat dan terapi yang
sesuai. 17,182.6 Penatalaksanaan Vertebral TB
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan
dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi
menggunakan korset. Pengobatan non-operatif dengan menggunakan
kombinasi paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan
dapat disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat.
Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama
pengobatan.Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin,
dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial.
Meskipun beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya
6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan
sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan
gejala klinis atau stabilitas klinik pasien. Obat yang biasa
dipakai seperti pada Tabel 1.Pemberian obat bila dikombinasikan
antara INH dan rifampisin maka dosis dari INH tidak boleh lebih
dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh lebih dari 15
mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu puyer
tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan
terapi, anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal
pada penyakit dengan inflamasi superfisial membran yang non
spesifik untuk menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang
dari prostaglandin.
Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis
harus dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan
Potts paraplegi. Dikatakan bahwa 80% pasien yang terdeteksi lebih
awal akan pulih setelah arthrodesis. Dekompresi anterior
diindikasikan hanya pada beberapa pasien yang tidak pulih setelah
menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan
perbaikan dan pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak. Pada
umumnya artrodesis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi
pemulihan lengkap.
Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan
menunjukkan hasil yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan
pada stadium akhir terjadi pada seperempat jumlah pasien pasien.
Jika terjadi Potts paraplegia maka pembedahan harus dilakukan.
Indikasi pembedahan antara lain,
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan
konservatif, paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan
pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan motorik yang bersifat
komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif,
paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh
karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau
adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit,
paraplegia yang berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan
tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga
merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat
didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid,
paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit
atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.
B. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga
serangan awal sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua,
paraplegia yang disertai nyeri yang diakibatkan oleh adanya spasme
atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi seperti batu atau
terjadi infeksi saluran kencing.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang
mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi
anterolateral dan laminektomi. BAB III
Pembahasan Gambaran Radiologis
TB vertebra yang paling sering ditemukan di daerah vertebra
thorakalis bagian bawah dan lumbal atas. Keterlibatan vertebra
cervical dan sakral jarang terjadi. Dua pola osteomielitis
vertebral yang berbeda dapat dilihat. Temuan klasik
spondylodiscitis ditandai dengan destruksi dua atau lebih tulang
berdekatan dengan end plate menghadap diskus yang sama, infeksi
disk, dan umumnya massa paraspinal atau koleksi cairan, pola kedua
yang semakin umum adalah bentuk atipikal spondilitis tanpa
keterlibatan disk.2,18
Infeksi biasanya dimulai pada superior atau inferior dari korpus
vertebral anterior yang berdekatan dengan sudut discovertebral
junction, dan menyebar melalui ekstensi subligamentous dan
penetrasi lempeng subchondral. Perkembangan penyakit lebih lanjut,
lateral dan anterior korteks dari korpus vertebral menjadi hancur,
menyebabkan kolaps, kyphosis dan ketidakstabilan vertebral. Karena
diskus adalah daerah avaskular, infeksi pada diskus terlihat
terlambat, dan menyebabkan penyempitan sekunder ruang interdiskus,
herniasi diskus ke korpus vertebral yang kolaps. Ketika dua korpus
vertebra yang berdekatan terlibat, nutrisi dari disk menjadi
terganggu. Kolaps dan wedging dari beberapa korpus vertebral karena
kavitasi intraosseus meyebabkan terjadinya gibbus. Keterlibatan
lengkungan saraf dapat terjadi baik sendiri atau bersamaan dengan
lesi pada korpus vertebral.18
Gambar 4. A.Gambaran foto polos AP, laki-laki 50 th, menunjukkan
penyempitan ruang intervertebralis T8-9, yang berhubungan dengan
massa paraspinal di sebelah kiri. B. Lateral tomogram menunjukkan
destruksi diskus disertai erosi massif aspek inferior korpus
vertebra T8 dan superior end plate T9.
Pola keterlibatan atipikal TB vertebral lainnya terdiri dari
infeksi yang terjadi hanya pada satu kopus vertebra atau beberapa
vertebrae yang tidak berdekatan (skip lesion). Infeksi jaringan
lunak paravertebral dan atau epidural yang disertai pembentukan
abses dapat sampai jauh berjalan di bawah ligamentum longitunal
bawah anterior atau posterior, dan mungkin keluar melalui sinus
pada tempat yang tidak biasa, seperti daerah inguinal, gluteus,
atau dada. Infeksi paraspinal dapat melibatkan otot iliopsoas,
sehingga terjadi abses psoas yang meluas sampai ke daerah inguinal
dan paha. Proses kalsifikasi dalam abses TB merupakan pathognomonic
tuberkulosis paling baik dilihat pada CT scan.173.1 Plain
Radiografi
Foto polos pada spondylodiscitis karena TB memberikan gambaran
pemendekan korpus vertebra, ruang interdiskus yang menyempit,
erosi, batas yang tidak jelas dari endplate, adanya massa
paravertebral, dan kalsifikasi dari jaringan lunak. Bagaimanapun,
foto polos tidak sensitive untuk deteksi dini dari TB
vertebral.
Gambar 5. Foto polos pelvis AP wanita, 35 tahun dengan TB spinal
menunjukkan massa oval radiodense dengan titik kalsifikasi bagian
medial ilium dan sendi acroiliaka kanan. Khas untuk cold
abscess.
Penyempitan ruang interdiskus mungkin tidak terlalu jelas dan
keterlibatan korpus vertebral tidak akan terlihat sampai setidaknya
50% dari trabekular tulang menghilang.
Gambar 6. Diskitis Tuberkulosa. Laki-laki 39 tahun dengan
riwayat TB paru dengan gejala neurologis kompresi dari medulla
spinalis. A. Foto AP thoraks menunjukkan penyempitan diskus minimal
pada T9-T10 dan massa paraspinal kiri yang besar. B. myelogram
menunjukkan obstruksi total dari kontras pada ruang subaraknoid
pada level diskus yang terinfeksi.Abses paravertebral sangat sulit
diketahui pada vertebral torakalis meskipun dengan kekuatan yang
adekuat, atau hanya tampak bayangan psoas yang asimetris atau
menonjol. Tidak terdapat tanda spesifik dengan foto polos dalam
membedakan infeksi TB dengan infeksi pyogenik. 2,17
Gambar 7. Laki-laki 37 tahun. A. Foto polos menunjukkan kolapas
korpus vertebra dengan diskus yang maasih intak. B. CT torakal
menunjukkan massa paravertebral dengan penyangatan perifer. C. STIR
MRI memastikan adanya kolaps vertebra, hiperintens korpus vertebra.
D. Potongan koronal.
3.2 Computed Tomography
CT sangat penting terutama dalam menunjukkan awal focus infeksi
tulang yang kecil dan keterlibatan jaringan lunak. CT juga dapat
digunakan dalam follow up pasien dalam terapi obat anti TB.
Destruksi end plate, fragmentasi vertebra, dan kalsifikasi
paravertebral dapat ditunjukkang dengan CT dengan sangat baik.
Setelah penggunaa kontras, abses paravertebral atau epidural akan
tampak sebagai nodul dengan dinding yang menyangat dan jalan sinus
dapat diikuti.17 3.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Kemampuan multiplanar dan superior dalam kontras jaringan
membuat MRI menjadi modalitas utama dalam evaluasi dan follow up
spondylodiscitis. Keuntungan utama dari MRI dibandingkan CT dan
foto polos adalah mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dalam
deteksi dini proses inflasi dalam sumsum tulang dan perubahan
infiltrative end plate vertebra .MRI sangat berguna dalam
memberikan gambaran abses paravertebral, epidural, dan intraosseus
dan evaluasi kompresi medulla spinalis serta adanya lesi
intramedullary.12,17
Gambar 7. Laki-laki 34 tahun. A. CT scan menunjukkan destruksi
tulang bagian central yang terletak di bagian posterior, serta
destruksi batas posterior dari T12. B. Sagital T1. C. Sagital T2.
D. Sagital STIR MRI menunjukkan menunjukkan lesi vertebral, abses
intraosseus E. Axial. F. T1 kontras potongan sagital menunjukkan
penyangatan perifer dan abses paravertebral.
Gambar 8. Laki-laki 41 tahun. A. CT menunjukkan lesi osteolitik
pada anterolateral korpus T8 dan abses paravertebral. Kalsifikasi
heterotipik tampak dalam abses. B. Sagital MRI T1. C. Sagital MRI
T2. D. MRI T1 kontras potongan axial menunjukkan penyangatan
perifer dari abses paravertebral dan penyangatan yang nyata
menunjukkan keterlibatan epidural yang dapat menyebabkan
displacement medulla spinalis.
Temuan MRI pada osteomyelitis TB mungkin nonspesifik dan terdiri
dari intensitas sinyal rendah pada T1 dan peningkatan sinyal secara
heterogen pada T2. Pada abses intraosseus, lesi tampak hipointens
pada T1 dan sangat hiperintens pada T2 yang dapat dilihat ditengah
dari korpus vertebra13,18 Karakteristik gambaran TB vertebral pada
MRI adalah hipointens pada T1 baik pada korpus vertebral maupun
ruang diskus intervertebralis, sedangkan pada T2, menjadi
hiperintens pada diskus dan hipointnes pada korpus vertebra.
Sedangkan pada TB vertebral yang kronis, menunjukkan intensitas
yang bervariasi. 18
Penggunaan kontras gadolinium memberikan gambaran yang lebih
jelas adanya massa dan abses epidural, medulla dan radix saraf yang
tertekan. Penyangatan perifer terlihat pada abses dan mewakili
jaringan infeksi granulomatosa sedangkan area ditengah dengan
gambaran hipointens pada T1 merupakan gambaran nekrosis
sentral18BAB IVKesimpulan
Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks
dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Pemeriksaan radiografi
mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta follow up
penyakit. Jika dalam pemeriksaan didapatkan normal, salah satu
pemeriksaan jaringan harus dikerjakan untuk menyingkirkan
spondilitis TB. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis
atau paraplegi pada ekstremitas inferior sehingga pembedahan harus
segera dilakukan. Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit,
tata laksana dan komplikasi yang menyertai.
Gambar 9. Bagan prosedur tatalaksana Spondilitis TB
BAB VDaftar Pustaka1. Teo ELHJ, Peh WCG ; Imaging of
tuberculosis of the spine; Singapore Med J 2004 Vol 45(9) : 4392.
Greenspan, Adam ; Orthopedic Imaging : A Practical Approach, 4th
Edition ; Lippincot Williams&Wilkins 2004; 984
3. Bureau NJ, Cardinal E. Imaging of musculoskeletal and spinal
infections in AIDS. Radiol Clin North Am 2001; 39:343-55.
4. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord.
In : Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic
Science, Diagnosis and Management. London : Springer-Verlag, 1997 :
378-87.5. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric
Orthopedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-546.
IGE Paramarta, PS Purniti, IB Subanada, P Astawa; Spondilitis
Tuberkulosis; Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
7. Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous spondylitis. Didapat dari:
URL: http://www.gentili.net/frame. asp?ID= 823& URLID =313541
8. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root
Compresion. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nd ed.
Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388
9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In :
http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of
orthopaedics and traumatoloty.
10. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and
Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan
Education Ltd, 1999 : 62-6.
11. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The
spine. 3rd ed. Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders,
1992 : 1353-6412. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in
Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London :
Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6.13. Moore S.L., Rafii M.:
Imaging of musculoskeletal and spinal tuberculosis. Radiol Clin
North America, 2001, 39:329-342.
14. Kosinski M.A., Smith L.C.: Osteoarticular tuberculosis. Clin
Podiatr Med Surg, 1996, 13: 725-73915. Yao D.C., Sartoris D.J.:
Musculoskeletal tuberculosis. Radiol Clin North Am, 1995, 33:
679-68916. .Pertuiset E., Beaudreuil J., Liot F., etal. : Spinal
tuberculosis in adults. Astudy of 103 cases in a developed country,
1980-1994. Medecine, 1999,78: 309-32017. Huelskamp L., Anderson
S.,Bernhardt M.: TB of the spine: Potts disease. Orthop Nurs, 2000,
19:31-35.
18. AI De Backer, KJ Mortele, IJ Vanschoubroeck, et al :
Tuberculosis of The Spine : CT and MR Imaging Features; JBR-BTR,
2005, 88