CDK-208_vol40_no09_th2013 ok.indd
Diagnosis dan PenatalaksanaanSpondilitis Tuberkulosis
Zuwanda*, Raka Janitra***Dokter Umum di Jakarta, **Dokter Umum
di Atambua, Nusa Tenggara Timur
ABSTRAKSpondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium
tuberculosis pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis
memiliki perjalanan penyakit yang relatif indolen, sehingga sulit
untuk didiagnosis secara dini. Seringkali penderita mendapatkan
pengobatan pada keadaan lanjut dimana deformitas kifosis dan
kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel. Pemberian obat
anti-tuberkulosis adalah pilihan pengobatan awal yang terbaik pada
fase awal. Pembedahan pada spondilitis tuberkulosis dilakukan hanya
pada kasus melanjut, dengan variasi teknik yang beragam, bergantung
pada jenis kasus yang didapatkan. Pembedahan anterior dengan
instrumentasi adalah teknik yang paling sering dilakukan dan
dikaji. Namun, karena diagnosis dini spondilitis tuberkulosis yang
sulit, maka pembedahan tetap merupakan penatalaksanaan yang
umum.
Kata kunci: tuberkulosis, spondilitis, anti-tuberkulosis,
kifosis, instrumentasi, pembedahan anterior
ABSTRACTTuberculous spondylitis is M. tuberculosis infection of
the spine; its clinical course is relatively indolent. Patient
frequently diagnosed at late phase with irreversible kyphosis and
neurological deficit. Oral anti tuberculosis agents are treatment
of choice at early phase; surgery is reserved for advanced cases
with various techniques. Anterior approach with instrumentation is
the most common procedure. Zuwanda, Raka Janitra. Diganosis and
management of tuberculous spondylitis.
Key words:
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
661CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
PENDAHULUANInfeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa
disebut sebagai spondilitis tuberkulosis ( TB), sangat berpotensi
menyebabkan morbiditas serius, termasuk defisit neurologis dan
deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis
dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit
ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau
spondilitis piogenik lainnya.1 Diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna
seperti paraplegia.2,3
Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China
sebagai negara dengan populasi penderita TB terbanyak.4Setidaknya
hingga 20 persen penderitaTB paru akan mengalami penyebaran TB
ekstraparu.5 TB ekstraparu dapat berupa TB otak,
gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening,
osteoartikular, dan endometrial. Sebelas persen dari TB ekstraparu
adalah TB osteoartikular, dan kurang lebih setengah penderita TB
osteoartikular mengalami infeksi TB tulang belakang.6
Tata laksana spondilitis TB secara umum adalah kemoterapi dengan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT ), imobilisasi, dan intervensi bedah
ortopedi/ saraf. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
mengevaluasi efektivitas pendekatan penanganan spondilitis TB
dengan hasil dan rekomendasi yang beragam.
EPIDEMIOLOGIPada tahun 2005, World Health Organization (
WHO)memperkirakanbahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di
Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara global)
termasuk Indonesia.4Jumlahpenderita diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) oleh infeksi human
immunodeficiency virus (HIV ). Satu hingga lima persen penderita
TB, mengalami TB osteoartikular.1,7,8 Separuh dari TB
osteoartikular adalah spondilitis TB.6,8
Di negara berkembang, penderita TB usia muda diketahui lebih
rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di
negara maju, usia munculnya spondilitis TB biasanya pada dekade
kelima hingga keenam.9 TB osteoartikular banyak ditemukan pada
penderita dengan HIV positif, imigran dari negara dengan prevalensi
TB yang tinggi, usia tua, anak usia dibawah 15 tahun dan
kondisi-kondisi defisiensi imun lainnya. Pada pasien-pasien HIV
positif, insiden TB diketahui500 kali lebih tinggi dibanding
populasi orang
Alamat korespondensi email: [email protected]
HIV negatif. Di sisi lain, sekitar 25 50 persen kasus baru TB di
Amerika Serikat adalah HIV positif.10
PATOFISIOLOGI Patologi TB paruDroplet Mycobacterium tuberculosis
masuk melalui saluran napas dan akan menimbulkan fokus infeksi di
jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer (fokus Ghon).
Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan
terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan
dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional
disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak
cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen dan
bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal,
ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, hingga
endometrial.11,12
Patologi spondilitis TBSpondilitis TB dapat terjadi akibat
penyebaran secara hematogen/limfogen melalui nodus limfatikus
para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang
sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal
dari fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).12Dari paru-paru, kuman
dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus venosus
paravertebral Batson.8
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi
paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema
sumsum tulang belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang.
Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang, sehingga
tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan
tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat
oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli, periarteritis,
endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada vertebra
torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan
vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian
anterior badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior
menjadi lebih pipih daripada bagian posterior.8 Resultan dari
hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas
kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus (gambar 1).
Gambar 1 Gibbus. Tampak penonjolan bagian posterior tulang
belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifotik vertebra.13
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat,
banyaknya ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen
tulang belakang yang terlibat. Vertebra torakal lebih sering
mengalami deformitas kifotik.14Pada vertebra servikal dan lumbal,
transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan
vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis
fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan
menghilang dan mulai menjadi kifosis.15
Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta,
lesi vertebra torakal terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB,
diikuti dengan vertebra lumbal, dan yang terakhir vertebra
servikal. Lima hingga tujuh persen penderita mengalami lesi di dua
hingga empat badan vertebra dengan rata-rata 2.51.10Jika pada orang
dewasa spondilitis TB banyak terjadi pada vertebra torakal bagian
bawah dan lumbal bagian atas, khususnya torakal12 dan lumbal 1,
pada anak-anak spondilitis TB lebih banyak terjadi pada vertebra
torakal bagian atas.16,17
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke
otot psoas (disebut juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar.
Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi
reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.8
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan
terendah hingga kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit
hingga di bawah ligamentum inguinal atau regio gluteal.12
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus
infeksi vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB
non-contiguous, atau skipping lesion. Peristiwa ini dianggap
merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus
venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens
spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada16 persen kasus
spondilitis TB.18
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan
radiks terjadi akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis
spinalis oleh abses paravertebral, 2) subluksasio sendi faset
patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi
duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat
juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata
sebagai space occupying lesion.9,10
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defisit
neurologis dan tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya
terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Defisit neurologis dan
deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat
pada vertebra lumbalis.19 Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini
antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang
mendarahi medula spinalis segmen torakolumbal paling sering
terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri
ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan
paraplegia. 2) Diameter relatif antara medula spinalis dengan
foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar
kira-kira setinggi vertebra torakal10, sedangkan foramen vertebrale
di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen
vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada
kompresi dari bagian anterior.
MANIFESTASI KLINISManifestasi klinis spondilitis TB relatif
indolen (tanpa nyeri).8 Pasien biasanya mengeluhkan nyeri lokal
tidak spesifik pada daerah vertebra
yang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil, malaise,
berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai umur pada
anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien
dengan spondilitis TB.9Pada pasien dengan serologi HIV positif,
rata-rata durasi dari munculnya gejala awal hingga diagnosis
ditegakkan adalah selama28 minggu.20 Apabila sudah ditemukan
deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.15
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita.10
Defisit yang mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia,
nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri radikuler
menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis
TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya
karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara
serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu,
pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga Millar
asthma).8Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher
atau nyeri leher yang tidak spesifik.21
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik,
sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika
penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah satu sumber, insiden
paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen
penderita.9 Potts paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia
onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat
(late-onset).8 Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya
dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh
kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan
paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa
adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh
tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat
destruksi tulang sebelumnya.8,10
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi
terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu
anterior medula spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian
posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu
muncul.
Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa paraplegia terjadi pada
54 persen pasien yang mengalami gangguan kekuatan motorik.
Sedangkan deformitas tulang belakang hanya terjadi pada 21 persen
pasien-pasien tersebut. Tingginyaangka paraplegia mungkin
disebabkan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang masih rendah
sehingga pasien baru datang ke layanan kesehatan jika penyakit
sudah melanjut dengan gejala yang berat.22
DIAGNOSISDiagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan
sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis
piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang dan defisit neurologis.2,3,23
Penegakan diagnosis seperti pada penyakit- penyakit pada umumnya
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan
penunjang. Keberhasilan melakukan diagnosis dini menjanjikan
prognosis yang lebih baik.
Anamnesis dan Pemeriksaan FisikNyeri punggung belakang adalah
keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik dan membuat
diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB
paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap
spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya.
Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB
paru, atau riwayat gejala- gejala klasik (demam lama, diaforesis
nokturnal, batuk lama, penurunan berat badan) jika TB paru belum
ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan keluhan yang paling
sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari)
jika diobati secara adekuat.24Paraparesis adalah gejala yang
biasanya menjadi keluhan utama yang membawa pasien datang mencari
pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas,
baal, gangguan defekasi dan miksi.
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB
di paru atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak
spondilitis TB yang tidak menunjukkan tanda- tanda infeksi TB
ekstraspinal.9,25 Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh
hambatan
pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau
infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar sebagai
ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau bronkial
dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang
belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal dapat
menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan
terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit
juga harus diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel
hingga regio gluteal dan di bawah inguinal (trigonum femorale).
Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior rongga dada
atau abdomen.20
Terjadinya gangguan neurologis menanda- kan bahwa penyakit telah
lanjut, meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis
yang teliti sangat penting untuk menunjang diagnosis dini
spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan
gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa
kelumpuhan upper motor neuron (UMN), namun pada presentasi awal
akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul
spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan lower
motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks
spinalis anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama,
otot akan atrofi, yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat
diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba, nyeri, suhu),
dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif (gerak,
arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat
rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.
Pemeriksaan RadiologiRadiologihingga saat ini merupakan
pemeriksaanyang palingmenunjang untuk diagnosis dini spondilitis TB
karena memvisualisasilangsung kelainanfisik pada tulang belakang.
Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan
seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CT- scan), dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI).
PadainfeksiTBspinal,klinisidapat menemukan penyempitan jarak
antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan
vertebra, sekuestrasi, serta massa para vertebra.26 Pada keadaan
lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior sehingga
menyerupai
akordion (concertina), sehingga disebut juga concertina collapse
(gambar 3).1
1. Sinar-XSinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang
paling sering dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi
yang diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral.27Pada
fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan
vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus.
Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran
fusiformis.27
Pada fse lanjut, kerusakan bagian anterior se- makin memberat
dan membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang me-
manjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold
abscess.27 Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold
abscess dengan baik (gambar 2).28 Dengan proyeksi lateral, klinisi
dapat menilai angulasi kifotik di- ukur dengan metode Konstam
(gambar 3).1,29
Gambar 2 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB.
Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian
dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat terlihat
massa paravertebral yang samar, yang merupak cold abscess (panah
putih).26
Gambar 3 Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam. Pertama,
tarik garis khayal sejajar end-plate superior badan vertebra yang
sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang
ke anterior sehingga bersilangan. Sudut K pada gambar adalah sudut
Konstam, sedangkan Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung.
Pada contoh gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30.1,29
2. CT ScanCT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis
tulang, destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi
tulang, dan penyempitan kanalis spinalis (gambar 4). CT myelography
juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI.26 Pemeriksaan ini meliputi
penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural,
lalu dilanjutkan dengan CT scan.27
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna
untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas
kerusakan jaringan tulang.27 Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti
dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.
Gambar 4 Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan
aksial setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi
pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam), edema jaringan perivertebra
(kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah kecil
putih), dan abses psoas (panah putih besar).26
3. MRIMRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan
lunak. Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan
sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik
dengan pemeriksaan ini.26,30 Untuk mengevaluasi spondilitis TB,
sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang
meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi non-
contiguous.8,18
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.
Peningkatan sinyal- T1 pada sumsum tulang mengindikasikan
pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan
perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.31 Bagaimana
membedakan spondilitis TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan
dijelaskan pada bagian diagnosis diferensial setelah ini.
Gambar 5 Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB.
Pada MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang
menyebabkan kifosis berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak
(panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan medula
spinalis.19 Gambaran ini khas menyerupai akordion yang sedang
ditekuk.
4. Pencitraan lainnyaUltrasonografidapat digunakan untuk mencari
massa pada daerah lumbar. Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi
letak dan volume abses/massa iliopsoas yang mencurigakan suatu lesi
tuberkulosis.8
Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun pemeriksaan ini
hanya bernilai positif pada awal perjalanan penyakit. Selain itu,
bone scan sangat tidak spesifik dan ber-resolusi rendah. Berbagai
jenis penyakit seperti degenerasi, infeksi, keganasan dan trauma
dapat memberikan hasil positif yang sama seperti pada spondilitis
TB.
Pencitraan dengan 67Gadolinium diketahui berguna untuk
mendeteksi infeksi TB diseminata.1 Penggunaan pencitraan ini masih
belum lazim pada spondilitis TB.
Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis Untuk memastikan diagnosis
secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang belakang atau aspirasi
abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan dan dipandu
dengan CT scan atau fluoroskopi.1,19 Spesimen kemudian
dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur dan
pewarnaan basil tahan asam (BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur BTA
positif pada 6089 persen kasus.1,9
Studi histologi jaringan penting untuk memastikan diagnosis jika
kultur negatif, pewarnaan BTAnegatif,sekaligus menyingkirkan
diagnosis banding lainnya. Temuan histologi pada infeksi TB
jaringan adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma epiteloid), sel
datia langhans dan nekrosis kaseosa.27Selepiteloid adalah sel
mononuklear yang mem-fagositosis basil tuberkulosis dengan
sisa-sisa lemak kuman pada sitoplasmanya.8 Granuloma epiteloid
dapat ditemukan pada 89 persen spesimen yang merupakan gambaran
khas histologi infeksi TB. Superinfeksi kuman piogenik telah
dilaporkan pada beberapa kasus.
Jika biopsi jarum tidak dapat memastikan diagnosis, biopsi bedah
yang diikuti dengan kultur dapat dipertimbangkan.9 biopsi bedah
umumnya dilakukan pada keadaan dimana biopsi jarum sangat berbahaya
dan tidak menghasilkan spesimen (dry tap).
Kultur umumnya memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu 2
minggu. Kultur sebaiknya diikuti dengan uji resistensi OAT.8
Spesimen yang cocok untuk dijadikan kultur adalah organ-organ
dalam, tulang, pus, cairan sinovial, atau jaringan sinovial. Media
yang dapat digunakan adalah media berbasis telur,seperti media
Lowenstein-Jensen dan media berbasis cairan, seperti Becton-
Dickinson dan BACTECTM. Pajanan pasien dengan fluorokuinolon
sebelumnya akan memperlambat pertumbuhan kultur hingga2
minggu.8
Pemeriksaan laboratorisPolymerase Chain Reaction (PCR) dapat
digunakan untuk mendeteksi DNA kuman tuberkulosis. Lain halnya
dengan kultur yang memerlukan waktu lama, pemeriksaan ini sangat
akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan biayayang lebihmahal
dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja PCR adalah
memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga dapat
terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000
kuman). PCR memiliki sensitivitas sekitar 8098 persen dan
spesifisitas 98 persen.8
Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen
excretory-secretory ES-31 mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB,
IgA anti-TB, dan antigen31 kDa dikatakan dapat berguna, namun
efektivitasnya masih diuji lebih lanjut.8
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi studi hematologis. Laju
endap darah (LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik
menunjukkan proses infeksi granulomatosa TB. Peningkatan kadar
C-reactive protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses.10
Uji Mantoux positif pada sebagian besar pasien (8495 persen)32
namun hanya memberi petunjuk tentang paparan kuman TB sebelumnya
atau saat ini. Spesimen sputum memberikan hasil positif hanya jika
proses infeksi paru sedang aktif. Studi di Malaysia mengemukakan
bahwa kelainan hematologis yang paling sering ditemukan pada pasien
spondilitis TB adalah anemia normositiknormokrom,trombositosis
dengan/tanpapeningkatan LED dan leukositosis.33
Diagnosis DiferensialHal yang perlu digarisbawahi pada
spondilitis TB adalah nyeri punggung nonspesifik, deformitas
kifotik, kompresi medula spinalis yang sering menjadi alasan
penderita untuk datang berobat. Karena itu, pemikirian kemungkinan
diagnosis banding harus didasarkan pada hal ini. Sangat penting
untuk membedakan spondilitis TB dari penyakit lainnya, karena
terapi dini yang tepat dan akurat dapat mengurangi angka
disabilitas dan morbiditas pasien.30
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan
presentasi gejala yang serupa dengan spondilitis TB dan tidak mudah
untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan penunjang yang adekuat.
Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Streptococcus, dan Pneumococcus.30 Secara epidemiologi, spondilitis
piogenik lebih sering menyerang usia produktif, sekitar usia 3050
tahun. Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik dilaporkan
meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan antibiotik, tindakan
invasif spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah kasus baru
spondilitis TB semakin berkurang dengan penggunaanOAT. Spondilitis
piogenik memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang
hampir sama
dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering
terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering
menyerang vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra.24
Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah
leukosit, dan hitung jenis dapat membantu diagnosis. Pada
spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna dibandingkan
peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat normal.24Telah
dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI. Jung
dkk34 menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci yang
mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal berbatas
tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal
dan intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5)
keterlibatan vertebra torakal. 6) lesi multipel. Bila ada temuan
radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya
diagnosisinfeksipiogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk
menambahkan bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan
karakteristik infeksi piogenik.30 Kultur dan pewarnaan Gram
spesimen tulang yang diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat
memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan
invasif.9
Tumor metastatik spinal mencakup 85 persen bagian dari semua
tumor tulang belakang yang mengakibatkan kompresi medula spinalis.
Insiden tertinggi kasus tumor metastasik spinal pada usia di atas
50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal, lumbar
dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke
medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat, paru, limfoma,
sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna
dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral,
sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering melibatkan vertebra
torakal.
Keganasan primer pada pasien anak-anak yang cukup sering
menyebabkan kompresi medula spinalis meliputi neuroblastoma,
Sarkoma Ewing, dan hemangioma. Formasi abses dan adanya fragmen
tulang adalah temuan MRI yang dapat membedakan spondilitis TB dari
neoplasma.1
Keluhan yang sering berupa nyeri punggung belakang yang kronis
progresif yang tidak spesifik, hal inilah yang menyebabkan
neoplasma spinal sulit dibedakan dengan spondilitis TB.24 Adanya
riwayat keganasan di tempat lain dapat membantu penegakkan
diagnosis. Defisit neurologis terjadi tergantung tingkat lesi,
muncul jika tumor sudah menekan epidural dan medula spinalis.
Kolaps vertebra dengan deformitas kifotik atau skoliotik terjadi
akibat destruksi badan vertebra/ fraktur oleh invasi tumor dengan
diskus yang bebas dari kerusakan. MRI belum dapat secara pasti
menyingkirkan atau memastikan diagnosis tumor spinal. Semua
temuan-temuan MRI spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor
spinal.
Fraktur kompresi badan vertebra berpotensi menyebabkan
deformitas kifotik disertaigangguan neurologis dengan derajat yang
bervariasi. Trauma harus dengan kekuatan yang besar untuk membuat
badan vertebra yang bersangkutan retak, kecuali jika didapatkan
osteoporosis, usia tua atau penggunaan steroid jangka panjang.
Contoh klasik trauma yang menyebabkan fraktur kompresi seperti
jatuh dari ketinggian dengan bokong terlebih dahulu. Kecelakaan
mobil juga dapat menyebabkan dampak serupa. Mekanisme
fleksi-kompresi biasanya menyebabkan fraktur kompresi dengan bagian
anterior mengecil (wedge-shaped) dengan derajat kerusakan bagian
tengah dan posterior yang bervariasi. Medula spinalis segmen
torakal lebih sering mengalami cedera karena merupakan segmen yang
paling panjang dibandingkan segmen lainnya dan juga karena kanalis
spinalisnya yang lebih sempit dengan vaskularisasi yang tentatif.
Diagnosis ditegakkan dengan temuan klinis dan adanya riwayat trauma
yang bermakna dikombinasikan dengan ada/ tidaknya faktor risiko
seperti osteoporosis atau usia tua.
Pada negara dengan insidens bruselosis cukup
tinggi,spondilitisbruselosis merupakan diagnosis diferensial yang
utama. Demam, keringat dingin dan nyeri sendi adalah gejala yang
lebih sering ditemukan pada spondilitisbruselosis,sementara
gangguan neurologis dan deformitas lebih banyak ditemukan pada
spondilitis TB. Sakroiliitis dan diskitis lebih sering didapat- kan
pada pasien spondilitis bruselosis.35
Tabel 1 Klasifikasi Potts paraplegia37
StadiumGambaran Klinis
I. Tidak terdeteksi/ terabaikan(negligible)Pasien tidak sadar
akan gangguan neurologis, klinisi menemukan adanya klonus pada
ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.
II. RinganPasien menyadari adanya gangguan neurologis, tetapi
masih mampu berjalan dengan bantuan.
III. ModeratTidak dapat berpindah tempat (non-ambulatorik)
karena kelumpuhan (dalam posisi ekstensi) dan defisit sensorik di
bawah 50 persen.
IV. BeratStadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi, defisit
sensorik di atas 50 persen, dan gangguan sfingter.
Tabel 2 Klasifikasi klinikoradiologis37
StadiumGambaran klinikoradiologisDurasi perjalanan penyakit
I. Pre-destruktifKurvatura lurus, spasme otot perivertebral,
hiperemia tampak pada skintigrafi, MRImenunjukkan edema sumsum
tulang.< 3 bulan
II. Destruktif awalPenyempitan ruang diskus, erosi paradiskal.
MRI memperlihatkan edema dan kerusakan korteks vertebra, CT scan
menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.24 bulan
III. Kifosis ringan23 vertebra terkena (angulasi 1030)39
bulan
IV. Kifosis moderat>3 vertebra terkena (angulasi 3060)624
bulan
V. Kifosis berat>3 vertebra (angulasi >60)>2 tahun
Tabel 3 Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk
spondilitis TB.
TipeLesiPenatalaksanaanContoh
IALesi vertebra dan degenerasi diskus 1 segmen, tanpa kolaps,
abses, ataupun defisit neurologis.Biopsi perkutan dan
kemoterapi
IBAdanya cold abscess, degenerasi diskus 1 atau lebih, tanpa
kolaps ataupun defisit neurologis.Drainase abses dan debridemen
anterior/ posterior
IIKolaps vertebra Cold abscess KifosisDeformitas stabil, dengan/
tanpa defisit neurologisAngulasi sagital < 201. debridemen dan
fusi anterior2. dekompresi jika terdapat defisit neurologis3.
tandur strut kortikal untuk fusi
IIIKolaps vertebra beratCold abscessKifosis beratDeformitas
tidak stabil, dengan/tanpa defisit neurologisAngulasi sagital
20Penatalaksaan no II+ instrumentasi anterior/posterior
Diadaptasi dari: Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C,
Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classification and guide
for surgical treatment of spinal tuberculosis.38
Diagnosis diferensial lainnya yang perlu dipertimbangkan antara
lain: spondilitis jamur yang dapat ditemukan pada pasien- pasien
dengan inkompetensi imun36, mielitis transversa, sarkoidosis, dan
reumatoid artritis.9
KLASIFIKASIKlasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa
pihak dengan tujuan untuk menentukan deskripsi keparahan penyakit,
prognosis dan tatalaksana.
Klasifikasi Potts paraplegia disusun untuk mempermudah
komunikasi antar klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala
klinis pasien spondilitis TB. Klasifikasi klinikoradiologis untuk
memperkirakan durasi perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis
dan temuan radiologis pasien.
Klasifikasimenurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru
ini telah disusun untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik
untuk pasien yang bersangkutan. Sistem klasifikasi ini dibuat
berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain: formasi
abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi
sagital, instabilitas vertebra dan gejala neurologis; membagi
spondilitis TB
Tabel 4 ASIA Impairment Scale 39
StadiumGambaran neurologis
A. CompleteTidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada
segmen S4-5
B. IncompleteFungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di
bawah segmen lesi neurologis dan segmen S4-5
C. IncompleteFungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi
neurologis, dan lebih dari separuh otot kunci* di bawah segmen lesi
neurologis setidaknya memiliki kekuatan motorik di bawah 3
D. IncompleteSama seperti C, namun dengan kekuatan motorik di
atas 3
E. NormalFungsi motorik dan sensorik normal
Sindrom KlinisSindrom Brown Sequard, Sindrom Kauda Ekuina,
Sindrom Medula anterior, Sindrom Medula Sentral, Sindrom Konus
Medularis.
*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fleksi siku (C5),
ekstensi tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan
(C8), abduksi kelingking ( T1), fleksi tungkai (L2), ekstensi lutut
(L3), dorsofleksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5),
plantarfleksi kaki (S1). Pemeriksaan segmen S4 5 adalah dengan
menilai kontraksi sfinger ani volunter dan dan sensasi
perianal.
Tabel 5 Dosis Rekomendasi OAT pada anak (di bawah 12 tahun) dan
dewasa.43
ObatDosis mg/kgBB (dosis maksimum)
HarianDua kali semingguTiga kali seminggu
AnakDewasaAnakDewasaAnakDewasa
INH10205204015204015
RIF102010102010102010
PRZ153015305070507050705070
ETB15251525505025302530
SM204012182530253025302530
INH, isoniazid, RIF, rifampisin, PRZ, pirazinamid, ETB,
etambutol, SM, streptomisin.Dosis berdasarkan berat badan harus
disesuaikan pertambahan berat badan. Semua pasien yang menerima
dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya. PRZ dan SM
tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk pasien
anak karena sulit diobservasi fungsi visualnya.
menjadi tiga tipe (I, II, dan III).38
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan
memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula
spinalis, dapat digunakan klasifikasi American Spinal Injury
Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah pembaruan
dari sistem klasifikasi Frankel dan telah diterima secara luas.
ASIA impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe
(A, cedera medula spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis
inkomplit, E, normal) (tabel 4).39
Hasil penelitian tentang prognosis pasien dengan cedera medula
spinalis menyatakan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis ASIA
A, hanya memiliki paling tinggi lima persen kemungkinan menjadi
ASIA D, 20 50 persen pada ASIA B untuk menjadi ASIA D dalam 1
tahun, 60 75 persen pada ASIA C untuk menjadi ASIA D dalam 1
tahun.40
PENATALAKSANAANSebelum ditemukannya OAT yang efektif,
penganganan spondilitis TB hanya dengan metode imobilisasi, yaitu
tirah baring dan
korset/bidai. Mortalitas dan angka relaps sangat tinggi saat
itu.1
Sekarang,penanganan spondilitisTB secara umum dibagi menjadi dua
bagian yang berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan
pembedahan. Terapi medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi
pembedahan melengkapi terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan
keadaan individual tiap pasien. Pasien spondilitis TB pada umumnya
bisa diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah
dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan
penatalaksanaan spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB,
mencegah dan mengobati defisit neurologis, serta memperbaiki
kifosis.9
Parthasarathy dkk melakukan penelitian pada235 pasien
spondilitis TB tanpa paraplegia dengan tujuan membandingkan
efektivitas kemoterapi OAT dan intervensi bedah. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa pada fase awal, terapi medikamentosa
memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan terapi bedah.
Namun, ketika
deformitas kifosis telah melanjut, terapi medikamentosa justru
tidak begitu berguna. Terapi OAT selama 9 bulan memberikan angka
remisi yang lebih baik (hingga 99 persen) dibandingkan terapi OAT
selama 6 bulan.41
Untuk mempermudah klinisi menentukan tindakan yang cocok untuk
pasien, dapat digunakan klasifikasiGATA.38 Namun, penulis
menyarankan untuk menatalaksana pasien secaraindividual,danjuga
mempertimbangkan keahlian ahli bedah, serta ketersediaan fasilitas
rumah sakit.
1. MedikamentosaSpondilitis TB dapat diobati secara sempurna
hanya dengan OAT saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana
destruksi tulang dan deformitas masih minimal.8,37,42 Seperti pada
terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah
multidrug therapy. Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB
paru dapat pula digunakan pada TB ekstraparu, namun rekomendasi
durasi pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini masih belum
konsisten antarahli.
WorldHealthOrganization( WHO) menyarankan kemoterapi diberikan
setidaknya selama 6 bulan.43 British Medical Research Council
menyarankanbahwa spondilitis TB torakolumbal harus diberikan
kemoterapi OAT selama 6 9 bulan.2 Untuk pasien dengan lesi vertebra
multipel, tingkat servikal, dan dengan defisit neurologis belum
dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi kemoterapi
selama912 bulan.2
The Medical Research Council Committee for Research for
Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan
rifampisin harus selaludiberikan selamamasa pengobatan.9 Selama dua
bulan pertama (fase inisial), obat-obat tersebut dapat
dikombinasikandengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin
sebagai obat lini pertama. Hal ini senada dengan penelitian
Karaeminogullari dkk19 yang mengobati pasien spondilitis TB lumbal
dengan rifampisin dan insoniazid saja selama 9 bulan, dengan hasil
yang memuaskan.
Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus resisten pengobatan.
Yang termasuk sebagai OAT lini kedua antara lain: levofloksasin,
moksifloksasin,etionamid,tiasetazon, kanamisin, kapreomisin,
amikasin, sikloserin, klaritomisin dan lain-lain.
Adakalanya kuman TB kebal terhadap berbagai macam OAT. Multidrug
resistance TB (MDR-TB) didefinisikan sebagai basil TB yang resisten
terhadap isoniazid dan rifampisin.44Spondilitis MDR-TB adalah
penyakit yang agresif karena tidak dapat hanya diterapi dengan
pengobatan OAT baku. Regimen untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan
hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya bisa didapatkan dalam
3 bulan jika terapi berhasil.44 Adapula rekomendasi terbaru untuk
penganganan MDR-TB, yaitu dengan kombinasi 5 obat, antara lain: 1)
salah satu dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif melalui
hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi untuk periode minimal
selama 6 bulan,3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid,5)
antibiotik lainnya seperti amoksisilin klavulanat dan klofazimin.
Durasi pemberian OAT setidaknya selama 1824 bulan.45
The United States Centers for Disease Controlmerekomendasikan
pengobatan spondilitis
TB pada bayi dan anak-anak setidaknya harus selama 12 bulan.43
Durasi kemoterapi pada pasien imunodefisiensi sama pada pasien
tanpa imunodefisiensi. Namun, adapula sumber yang mengatakan
durasinya harus diperpanjang.43 Kemoterapi pada pasien dengan HIV
positif harus disesuaikan dan memerhatikan interaksi OAT dan obat
anti- retroviral. Zidovudin dapat meningkatkan efek toksik OAT.
Didanosin harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
penyanggah antasida.11
Perhimpuna Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi
OAT untuk pasien TB.11 Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru
kasus baru dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2
HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan,
atau2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau
2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian
regimen bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita.
Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps,
drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase
lanjutan, atau2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan.11,43
Deksametason jangkapendek dapat digunakan pada kasus dengan
defisit neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun,
belum ada studi yang menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis
TB.9
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT
telah dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat meningkatkan
proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama,
dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah diujicobakan
dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat di- sebutkan dapat
menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas
osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien dan
perlu dievaluasi lebih lanjut.46
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 34 minggu, nyeri
dan atau defisit neurologis masihbelum menunjukkan perbaikan
setelah pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi
atau tirah baring.47
2. PembedahanDengan berkembangnya penggunaan OAT yang efektif,
terapi pembedahan relatif ditinggalkan sebagai penatalaksanaan
utama pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang belakang
pada spondilitis sangat bervariasi, namun pendekatan tindakan bedah
yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap kasus harus dinilai
keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan
dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari
sebelum operasi OAT harus sudah diberikan.41 Kategori regimen OAT
yang diberikan disesuaikan jenis kasus yang ada dan dilanjutkan
sesuai kategori masing-masing.8,11
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi
drainase abses; debridemen radikal;penyisipan tandur tulang;
artrodesis/fusi; penyisipan tandur tulang; dengan atau tanpa
instrumentasi/ fiksasi, baik secara anterior maupun posterior; dan
osteotomi.
a. Indikasi dan KontraindikasiPembedahanIndikasi pembedahan pada
spondilitis TB secara umum sebagai berikut: 1) defisit neurologis
akut, paraparesis, atau paraplegia.2) deformitas tulang belakang
yang tidak stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis
progresif (30 untuk dewasa, 15 untuk anak- anak). 3) tidak
responsif kemoterapi selama4 minggu. 4) abses luas. 5) biopsi
perkutan gagal untuk memberikan diagnosis.41,42,48 6) nyeri berat
karena kompresi abses.47
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan lebih awal
mengingat potensi kecacatan yang akan terjadi. Jika mengikuti
klasifikasi GATA yang telah dijelaskan diatas, maka intervensi
bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB hingga GATA III.38
Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien
spondilitis TB adalaha kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini
kegagalan jantung dan paru harus ditangani terlebih dahulu untuk
menyelamatkan jiwa pasien.1
b. Pemilihan pendekatan pembedahan tulang belakangPemilihan
pendekatan pembedaan spondilitis TB bergantung pada banyak hal.
Hal-hal ter- sebut antara lain: kemampuan dan pengalam- an ahli
bedah, ketersediaan instrumen, personel anestesi, dan komorbid
pasien.
Pendekatan secara anterior lebih sering digunakan karena dapat
mencapai abses yang umumnya berada di anterior vertebra. Selain
itu, dengan pendekatan anterior, ahli bedah tidak perlu membuang/
memotong bagian vertebra segmen posterior sehingga vertebra relatif
utuh. Pendekatan anterior juga baik digunakan jika diputuskan untuk
memasang tandur dari tulang iga, sehingga tidak perlu melakukan
insisi di dua tempat.42Pendekatan anterior efektif untuk kasus
dengan defisit neurologis, lesi multi-level, atau abses yang
luas.14
Di sisi lain, pendekatan anterior kurang baik jika dilakukan
pada spondilitis TB multi-level dalam mengoreksi deformitas
kifotik.49 Pada keadaan ini, kombinasi dengan pendekatan posterior
untuk instrumentasi posterior diperlukan, baik melalui operasi
tunggal atau dua operasi.47 Prosedur operasi tunggal untuk dua
pendekatan dapat dilakukan dan ditujukan untuk mengurangi durasi
operasi dan mengurangi manipulasi tulang belakang yang relatif
tidak stabil.47
Sementara itu pendekatan posterior lebih diutamakan pada kasus
dimana segmen posterior vertebra lebih rusak daripada segmen
anterior, kasus dimana thorakotomi sangat berbahaya mengingat
komorbiditas seperti penyakit jantung/ paru.42 Sumber lain
mengatakan bahwa pendekatan posterior lebih menguntungkan dari segi
koreksi kifosis dan pemasangan implan, namun sering tidak adekuat
dalam melakukan dekompresi medula spinalis, debridemen, dan atau
evakuasi abses.49
Pendekatan secara anterolateral ekstrapleural memberikan paparan
lapangan kerja yang baik secara anterior maupun posterior,
memungkinkan dekompresi secara anterior dan penyisipan tandur
tulang secara anterior/ posterior. Teknik ini memiliki morbiditas
lebih rendah dibandingkan teknik lainnya yang menggunakan dua kali
pembedahan, namun teknik ini memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi.50
c. Pembedahan drainase absesSetelah terjadi pembentukan abses
(cold abscess) dan degenerasi setidaknya dua diskus, maka drainase
harus dilakukan. Abses dapat menekan medula spinalis sehingga
terjadi gangguan neurologis. Tindakan
ini dapat mencegah progresi perburukan gejala neurologis dan
mencegah kolaps vertebra.38
Abses dapat terbentuk di tingkat manapun sesuai fokus infeksi TB
pada vertebra. Pada tingkat servikal, abses dapat terjadi pada
rongga retrofaringeal dan segitiga posterior leher. Untuk abses
retrofaringeal dapat dilakukan pendekatan transoral, sedangkan pada
segitiga posterior insisi dilakukan pada margo posterior m.
sternokleidomastoideus. Pada tingkat torakal, abses dapat
dievakuasi secara kostotransversektomi. Drainase abses lumbar/
paravertebral dilakukanlewat insisi longitudinal dorsolateral.
Drainase abses psoas/ pelvis dapat dilakukan melalui segitiga Petit
atau insisi Ludloff.1
d. Pembedahan debridemen dan koreksi kifosisKarena lesi TB
spinal biasanya di bagian anteriorbadan vertebra,dekompresi
anterior sangat direkomendasikan banyak ahli.1,8 Instrumentasi
kemudian dilakukan untuk stabilisasi tulang belakang, untuk
melindungi tandur anterior yang disisipkan, dan sekaligus untuk
menjaga koreksi kifosis. Berikut akan dijelaskan berbagai macam
teknik pada pembedahan spondilitis TB.
d.1. Debridemen anterior dan fusi tanpa instrumentasiDebridemen
anteriordan fusitanpa instrumentasi diseut juga dengan Operasi
Hongkong. Pembedahan ini relatif mudah dan memerlukan waktu yang
singkat. Tindakan ini meliputi debridemen radikal pendekatan
anterior, diikuti penyisipan tandur tulang iga otogenik untuk
koreksi deformitas kifosis.Namun,teknikini tidak dapat digunakan
untuk kasus yang memerlukan rekonstruksi luas/ setidaknya dua
tingkat diskus.47 Tingkat kegagalan fusi dan migrasi tandur sangat
tinggi, sehingga sering pasien memerlukan operasi kedua.14
Penelitian oleh El-Deen dkk yang melakukan reseksi anterior
radikal, diikuti fusi anterior tanpa fiksasi internal yang
digantikan dengan fiksasi eksternal (plaster jacket) mendapatkan
hasil yang cukup memuaskan. Namun, salah satu kerugiannya adalah
durasi mobilisasi pasien yang lebih lambat dibandingkan dengan
fiksasi internal. Meskipun begitu, metode ini bisa dipertimbangkan
sebagai
alternatif yang memberikan hasil yang cukup memuaskan.51
d.2. Debridemen anterior diikuti dengan instrumentasi anterior
atau posteriorBanyak laporan penelitian yang mengatakan bahwa
metode ini menjanjikan hasil yang baik. Meskipun begitu, variasi
metode ini sangat banyak dan sangat bergantung pada kebiasaan dan
keahlian ahli bedah yang bersangkutan. Instrumentasi sangat
direkomendasikanpada kasusyang memerlukan debridemen radikal
setidaknya dua diskus dan satu badan vertebra.47Teknik ini adalah
metode yang paling sering dilakukan dan dikaji dalam
penelitian.
Benli dkk, melakukan penelitian dengan melakukan reseksi radikal
anterior dengan fusi anterior dan instrumentasi anterior pada 63
pasien spondilitis TB mendapatkan bahwa cara ini memberikan hasil
yang cukup memuaskan. Sebanyak 80 persen pasien mengalami remisi
neurologis secara lengkap,20 persen mengalami remisi inkomplit.
Dengan tambahan instrumentasi anterior, kemungkinan koreksi kifosis
meningkat hingga 80 persen dan dapat membantu menjaga hasil koreksi
tersebut.52
Pada penelitian prospektif oleh Cavusoglu dkk, dilakukan
debridemen anterior radikal, dekompresi dan fusi dengan menggunakan
instrumentasi anterior, tandur alogenik tibia pada 22 pasien
spondilitis TB lebih dari satu tingkat dan didapatkan hasil yang
baik. Pada pasien-pasien tersebut ditemukan adanya tanda-tanda fusi
pada semua pasien, berkurangnya rasa nyeri, perbaikan gejala
neurologis yang signifikan, yang dievaluasi dengan ASIA(American
spinal Injury Association) impairment scale, dan rata-rata koreksi
dari kifosis sebesar 74 persen.53
Penelitan oleh Jain dkk50, menyatakan bahwa tindakan dekompresi
anterior sangat dianjurkan pada pasien spondilitis TB. Pada38
pasien dengan spondilitis TB, dekompresi anterior, instrumentasi
posterior, dengan atau tanpa koreksi kifosis, dan fusi
anterior/posterior dilakukan dalam sekali pembedahan melalui
pendekatan anterolateral ekstrapleural. Pasien dioperasi dari
posisi lateral kiri menggunakan potongan T, pada apeks kifosis.
Beberapa tulang iga diangkat, dan dekompresi anterior
dilaksanakan, kolumna posterior diperpendek untuk mengoreksi
kifosis, jika perlu, distabilisasi dengan Hartshill rectangle dan
sublaminar wire. Kemudian penyisipan tandur tulang anterior/
posterior dilakukan. Nilai rata-rata kifosis pre- operatif sebesar
49,08 dan nilai rata-rata kifosis post-operatif sebesar 25o.
Sebanyak37 pasien mengalami resolusi sempurna dari defisit
neurologis dalam waktu 11 74 bulan. Fusi spinal terbentuk dalam
empat bulan untuk satu badan vertebra dan delapan bulan untuk dua
badan vertebra.
d.3. Dekompresi transpedikular Pendekatan transpedikular
memungkinkan akses anterior dan posterior melalui insisi tunggal.
Teknik ini dikatakan tidak cukup baik untuk kasus dengan destruksi
vertebra yang luas, dimana diperlukan debridemen anterior luas dan
rekonstruksi dengan tandur tulang.14
d.4. Pembedahan dengan pendekatan posterior sajaPada kasus
tertentu, pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk
mengangani pasien spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan
instrumentasi posterior operasi tunggal tanpa debridemen anterior.
Teknik ini banyak bergantung pada pemberian OAT untuk mengeradikasi
lesi spondilitis TB. Teknik ini tidak dapat digunakan pada kasus
dengan defisit neurologis, abses di bagian anterior, atau lesi di
banyak tingkat.14
d.5. Osteotomi dan reseksi kolumna vertebraJika telah terjadi
deformitas kifotik yang sangat kaku dan tajam, harus dilakukan
osteotomi untuk meningkatkan fleksibilitas vertebra. Osteotomi
dekanselasitranspedikular dapat mengoreksi deformitas kifotik
hingga2030 persen pada satu tingkat. Namun tindakan ini memiliki
angka komplikasi yang tinggi termasuk perdarahan dan gangguan
neurologis. Teknik ini dapat dilakukan dari anterior dan
posterior.
Wang dkk melaporkan penelitian pada sembilan pasien dengan
spondilitis TB, dengan kifosis hingga 90o dengan tektik osteotomi
transpedikular egg-shell dan reseksi kolumna vertebra
multi-level.Seluruh pasien mengalami fusi dan perbaikan neurologis,
dengan koreksi rata-rata kifosis 100o menjadi16o.54
e. Pembedahan pada kasus non-contiguous (skipping
lesion)Penelitian oleh Zhang dkk menyimpulkan bahwa spondilitis TB
non-contiguous multi- level dapat ditatalaksana dengan adekuat
dengan metode operasi tunggal pendekatan posterior
transforaminal,debridemen thorasik, dekompresi minimal, fusi
vertebra, dan instrumentasi posterior (modifikasi
TTIFTransforaminal Thoracic Interbody Fusion). Metode ini meliputi
reseksi sebagian korpus vertebra, sendi faset, prosesus transversus
dan iga, kemudian tandur tulang disisipkan pada defek reseksi, dan
terakhir dipasang implan posterior.55
Kekurangan dari modifikasi TTIF adalah: 1) terdapat risiko
kompresi medula spinalis, 2) debridemen anterolateral sulit
dilakukan, namun dengan pemberian OAT, dapat mengkompensasi hal
ini. Cara ini tidak dapat dipakai pada keadaan dimana abses luas
terbentuk di anterior korpus.55
f. Pembedahan invasif minimal Tindakan bedah invasif minimal
mulai menjadi trenddalam segala bidang pembedahan, termasuk
pembedahan tulang belakang. Pembedahan ini menjanjikan morbiditas
yang lebih rendah, waktu rawat yang lebih singkat, dan nyeri
pasca-operasi yang lebih ringan. Tidak semua operator menguasai
teknik ini karena memerlukan keahlian tersendiri.
Belum banyak ahli bedah tulang yang melakukan pembedahan invasif
minimal pada pasien spondilitis TB. Sejauh yang penulis ketahui,
terdapat dua jenis pembedahan invasif minimal yang telah dikaji
hasilnya, yaitu 1) fusi dan debridemen anterior dengan
video-assisted thoracoscopic surgery ( VATS), dan 2) pemasangan
pedicle screw posterior secara invasif minimal, diikuti fusi dan
debridemen posterolateral mini-open. Kedua teknik ini dapat
menghasilkan fusi vertebra yang adekuat, disertai dengan perbaikan
postur, fungsional dan neurologis yang memuaskan.56
g. Pilihan tandur tulangTandur tulang yang dapat digunakan pada
penatalaksanaan bedah spondilitis TB adalah tandur krista iliaka,
tandur iga, tandur tibia, tandur fibula, hingga tandur humerus,
baik otogenik ataupun alogenik. Tandur krista iliaka
trikortikal adalah pilihan utama untuk seluruh tingkat vertebra
karena tingginya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Namun,
khusus untuk operasi daerah torakal, tandur iga otogenik juga dapat
digunakan. Tandur fibula, tibia dan humerus digunakan pada keadaan
dimana defek debridemen terlalu luas untuk ditutup oleh krista
iliaka, atau iga tidak cukup panjang.1
h. Pembedahan pada Pasien AnakPada anak-anak, meskipun lesi
akibat spondilitis TB dapat sembuh dengan terapi non-operatif,
namun kifosis cenderung terus bertambah seiring dengan berjalannya
pertumbuhan, oleh karenaituperlu dilakukan koreksi kifosis secara
cepat dan stabilisasi vertebra pada fase aktif
penyakit.15,57Penatalaksanaan spondilitis TB anak harus secara
agresif. Koreksi deformitas tulang belakang pada pasien anak adalah
imperatif. Angulasi 15o saja cukup untuk menyebabkan gangguan
pertumbuhan tinggi.42
Pertumbuhan vertebra setelah pemasangan instrumen pada anak-anak
post-operasi koreksi kifosis telah dipelajari dan dievaluasi.
Pertumbuhan unit vertebra setelah pemasangan fiksasi
internalvertebra tidak memiliki perbedaan yang signifikan dibanding
vetebra yang intak. Di sisi lain, ditemukan adanya pertumbuhan
kolumna anterior sehingga membentuk sudut lordosis yang dapat
mengkoreksi kifosis secara sendirinya saat pertumbuhan berlangsung.
Dilaporkan juga bahwa dalam 2 tahun, dapat terjadi kompresi implan
terhadap diskus yang berpotensi menimbulkan degenerasi diksus
intervertebralis.57
i. Pembedahan pada Pasien Lansia Pada pasien lansia perlu
dipertimbangkan status nutrisi, komorbiditas yang ada sebelum naik
ke meja operasi. Kondisi vertebra yang relatif osteoporotik umumnya
tidak mampu menahan instrumen yang dipasang di bagian anterior.
Untuk didapatkan koreksi kifosis dan stabilisasi spinal yang baik,
diperlukan stabilisasi posterior dengan instrumentasi segmental
panjang.Pemberian anti- osteoporosis pre-operatif diperlukan untuk
meningkatkan angka fusi dan stabilisasi vertebra oleh
instrumen.58
Pilihan tandur yang baik adalah tandur alogenik, mengingat
sebagian besar pasien
lansia telah mengalami osteoporosis. Pen- dekatan bedah yang
dapat memberikan waktu operasi lebih singkat sangat
direkomendasikan mengingat toleransi pasien lansia yang lebih
rendah terhadap operasi. Pendekatan posterior operasi tunggal
direkomendasikan oleh Zhang dkk, jika memang pendekatan anterior
tidak dibutuhkan sekali. Penelitian Zhang dkk mengungkapkan bahwa
pendekatan posterior operasi tunggal memiliki angka komplikasi yang
lebih rendah.58
3. Imobilisasi Pasca-operasiImobilisasi yang singkat akan
mengurangi morbiditas pasien. Dengan instrumentasi, kebutuhan
imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien dapat cepat mencapai
status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada
tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket
Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal
bagian atas dapat diimobilisasi menggunakan body cast jacket.
Sedangkan pada lumbal bawah, lumbosakral, dan sakral dilakukan
imobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai
dengan fiksasi salah satu sisi panggul.12
a. Tirah baring, Imobilisasi, danFisioterapiTerapi pada
penderita spondilitis TB dapat pula berupa tirah baring disertai
dengan pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa imobilisasi.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut
atau bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup
untuk melakukan operasi tulang belakang, atau bila terdapat
permasalahan teknik operasi yang dianggap terlalu berbahaya. Jenis
imobilisasi yang dilakukan sama dengan imobilisasi pasca-operasi
yang telah dijelaskan sebelumnya. Imobilisasi dilakukan setidaknya
selama enam bulan.12
Tirah baring diikuti dengan pemakaian gips untuk melindungi
tulang belakang pada posisi ekstensi, terutama pada keadaan akut
atau fase aktif. Pemasangan gips ini ditujukan untuk imobilisasi
spinal, mengurangi kompresi medula spinalis dan progresi deformitas
lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung hingga
empat minggu. Alwali dkk melaporkan bahwa imobilisasi dengan
custom-made spinal jacket bersamaan dengan kemoterapi dapat menjadi
alternatif jika tindakan bedah tidak bisa dilakukan.29
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan adanya gangguan
fungsional. Dalam hal ini gangguan fungsional dikaitkan dengan
cedera medula spinalis yang menimbulkan kelumpuhan motorik,
sensorik, dan autonom. Intervensifisioterapi yang diberikan
disesuaikandengan modalitasyang terganggu.
Paraplegiayang mengharuskan pasien untuk terus duduk atau tidur
berpotensi menyebabkan ulkus dekubitus. Maka dari itu, posisi
baring harus sering diganti. Selain itu, pemeriksaan kulit secara
menyeluruh harus rutin dilakukan. Pasien dengan gangguan defekasi
dan berkemih dapat dibantu dengan
kateterisasiintermitendanevakuasifesessetiap hari. Mobilisasi
dengan kursi roda (wheelchair) dianjurkan setidaknya 10 hari
setelah dimulai pengobatan. Jika pasien sudah stabil, dapat
rencanakan untuk pelatihan kemandirian, kemampuan sosial dan
melakukan aktivitas sehari-hari dan berikutnya dapat diberikan
pelatihan vokasional.
Studi prospektif pada pasien spodilitis TB yang diterapi secara
medikamentosa atau bedah, direhabilitasi mulai dari masa
pre-operasi hingga 6 bulan pasca-operasi dekompresi dan fusi
spinal, membuktikan bahwa fisioterapi mampu meningkatkan kualitas
hidup pasien spondilitis TB, terlebih jika dikombinasi dengan
terapi kuratif yang adekuat. Terapi motorik yang dilakukan antara
lain difokuskan pada otot dada, perut, tungkai bawah, batang tubuh,
dan ekstensor sakrospinal. Skor Modified Barthel Index (MBI)
meningkat secara bermakna dimana pada saat permulaan hanya10,6
persen pasien termasuk dalam kategori mandiri, dan pada akhir studi
70,2 persen pasien termasuk dalam kategori mandiri.59
PROGNOSISPrognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1)
usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak lesi, 4) defisit neurologis,
5) diagnosis dini,6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid,
9)tingkat edukasi dan sosioekonomi.
Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik.12 Namun,
Parthasarathy dkk41 menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah 15
tahun dan dengan kifosis lebih dari 30o cenderung tidak responsif
terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk estetika,
dapat mengurangi
kemampuan bernafas.Diagnosisdini sebelum terjadi destruksi badan
vertebra yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi yang adekuat
menjanjikanpemulihan yang sempurna pada semua kasus. Adanya
resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis spondilitis TB.
Komorbid lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Penelitian lain di Nigeria22 mengatakan bahwa tingkat edukasi
pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk datang berobat. Pasien
dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat
sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia.
SIMPULANInfeksi spinal oleh tuberkulosis diperkirakan sekitar
satu hingga lima persen penderita
tuberkulosis.SpondilitisTBberpotensi menyebabkan morbiditas
seriusyaitu kelumpuhan dan deformitas tulang belakang yang hebat.
Diagnosis dini spondilitis TB masih terbatas. Keterlambatan
diagnosis masih sering ditemukan dan mampu menyebabkan perburukan
kualitas hidup penderita. MRI sampai saat ini merupakan sarana
pembantu penegakan diagnosis yang paling baik sekaligus
menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Namun, jika fasilitas
tidak memadai, CT scan, sinar-X, dan pencitraan lainnya dapat
membantu.
Baku emas untuk diagnosis pasti tetap menggunakan pemeriksaan
histologis dan mikrobiologis dari spesimen biopsi lesi TB. Namun
pemeriksaan terbaru seperti PCR dapat membantu, tentunya harus
dikorelasikan dengan klinis dan pemeriksaan lainnya.
Kemoterapi OAT adalah pilihan pengobatan awal yang terbaik,
terbukti paling efektif hingga saat ini. Terapi pembedahan relatif
ditinggalkan sebagai pilihan pengobatan yang utama. Pembedahan
dilakukan hanya dengan indikasi-indikasi tertentu. Namun karena
diagnosis dini spondilitis TB yang sulit, maka pembedahan tetap
masih merupakan penatalaksanaan yang umum. Variasi teknik
pembedahan sangat banyak dan belum ada teknik yang baku yang
dianggap paling efektif mengoreksi defisit neurologis dan
deformitas. Penatalaksanaan secara holistik harus dinilai setiap
pasien secara individual dan kembali lagi disesuaikan dengan
kemampuan tim medis yang ada.
DAFTAR PUSTAKA1. Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST,
Beaty JH, ed. Campbells Operative Orthopaedics. edisi ke-11. 2008.
vol. 2, hal. 22372. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ.
Current difficulties in the diagnosis and management of spinal
tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: 46-51.3. Sinan T, Al-Khawari
H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT and MRI
feature. Ann Saudi Med 2004; 24: 437-41.4. WHO. Global tuberculosis
control - epidemiology, strategy, financing. WHO Report 2005.
WHO/HTM/TB/2005.411.5. Agarwal P, Rathi P, Verma R, Pradhan CG:
Tuberculous spondilitis: `Global lesion. Special issues on
Tuberculosis. Bombay Hospital Journal. 1999.6. Leibert E,
Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal
tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.7. Ozol
D, Koktener A, Uyar ME. Active pulmonary tuberculosis with vertebra
and rib involvement: case report. South Med J 2006; 99: 171-3.8.
Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine.
Journal of Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14.9.
Infectious and noninfectious inflammatory disease affecting the
spine. Dalam: Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine
and Spinal Cord. Oxford University Press Inc. 2000. c. 9 h.325
335.10. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin
Dunia Kedokteran No. 137, 2002 29.11. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 512. Vitriana. Spondilitis
Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo. 2002.13. Australian Doctors International
website. Terserida pada URL:
http://poppy.enoch.com.au/adiv2/picture_gallery.php?id_gallery=7.au14.
Issack PS, Boachie-Adjei O. Surgical Correction of kyphotic
deformity in spinal tuberculosis. International Orthopedics (SICOT
) (2012) 36:353357. DOI 10.1007/s00264-011-1292-9.15. Jain AK,
Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal
tuberculosis-Prevention and correction. Indian J Orthop 2010
Apr-Jun; 44(2): 127136.16. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel
JA. Murray and Nadels Textbook of Resporatory Medicine. 4th ed.
Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005.17. Wilson J, MacDonald.
Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003. hal. 468.18. Polley P,
Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and
management. Eur Spine J (2009) 18:10961101.19. Karraeminogullari O,
Aydinli U, Ozerdemoglu R, Ozturk C. Tuberculosis of the Lumbar
Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and
Surgery. Orthopedics. January2007. Vol. 30. No.1.20. Papavramidis
TS, Papadopoulos VN, Michalopoulos A, Paramythiotis D, Potsi S,
Raptou G. Anterior chest wall tuberculous abscess: a case report. J
Med Case Reports. 2007; 1: 152.21. Li YW, Fung YW. A case of
cervical tuberculous spondilitis: an uncommon cause of neck pain.
Hong Kong j. emerg. med. Vol. 14(2) Apr 2007.22. Njoku CH, Makusidi
MA, Ezunu EO. Experiences in Management of Potts paraplegia and
Paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University
Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria.Annals of African Medicine. Vol.
6, No .1; 2007: 22 2523. Savvidou C, Triantopoulou, Chatziioannou,
Papailiou, et al. A rare radiological appearance of lumbar
tuberculous vertebral osteomyelitis. Eur J Orthop Surg Traumatol
(2010) 20:313316.DOI 10.1007/s00590-009-0563-2.24. Ahn JS, Lee JK.
Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic
Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2,
pp 75~79, 2007.25. Pertuiset E, Beaudreuil J, Liote F, et al.
Spinal tuberculosis in adults. A study of 103 cases in a developed
country, 1980-1994. Medicine (Baltimore). Sep 1999;78(5):309-20.26.
Teo EL, Peh WC. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med
J 2004. Vol 45(9); 439.27. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada
tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. Sept 2006.Vol.39.
No.328. El- Fiky AM. Surgical management of tuberculous spondilitis
in adults. Review in 20 cases. Pan Arab J Otrh Traum. Vol (2)/ No.
(2) 195 201.29. Alwali ANA. Spinal brace in tuberculosis of the
spine. Neurosciences 2003; Vol. 8 (1): 17-22.30. Harada Y, T Osamu,
Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of
Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging
32 (2008) 303309.31. Jain AK, Sreenivasan R, Saini NS, Kumar S, et
al. Magnetic Resonance evaluation of tubercular lesion in spine.
International Orthopedics (SICOT ) (2012) 36:261269.32. Hidalgo JA.
Pott Disease. [Online]. 2008 Aug 29 [cited 2009 Aug 27];[17
screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic33.
Muzaffar T, Shaifuzain AR, Imran Y, Noor Haslina MN. Hematological
changes in Tuberculous spondilitis patients at the hospital
universiti sains malaysia. Southeast Asian J Trop Med PublicHealth.
Vol 39 No. 4 July 2008.34. Jung NY, Jee WH, Ha KY, Park CK, Byun
JY. Discrimination of Tuberculous Spondilitis from Pyogenic
Spondilitis on MRI. AJR:182, June 2004. h. 1405 1410.35. Kurtaran
B, Sarpel T, Tasova Y, Candevir A, et al. Brucellar and tuberculous
spondylitis in 87 Adult patients: a Descriptive and Comparative
case series. Infectous Diseases in Clinical Practice.May 2008.
Vol.16,No.3.36. Son JM, Jee WH, Jung CK, Kim SI, Ha KY. Aspergillus
Spondilitis involving the Cervico-Thoraco-Lumbar Spine in an
Immunocompromised Patient: a Case Report. Korean J Radiol 8(5),
October 2007.37. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y.
Comparation Between Operative and Conservative Therapy in
Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Maj
KedoktIndon. Vo.60.No.7 (Jul 2010).38. Oguz E, Sehirlioglu A,
Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new
classification and guide for surgical treatment of spinal
tuberculosis. International Orthopaedics(SICOT ) (2008)
32:12713339. Young W. Spinal Cord Injury levels and Classification.
Page updated: 03/24/2009. Available from:
URL:http://wiseyoung.wordpress.com/2008/12/19/spinal-cord-injury-levels-and-
classification.40. McKinley W. Spinal Cord Injury: Neurological
examination, Classification and Prognosis. Tersedia pada:
URL:http://www.pmr.vcu.edu/presentations/pps/ASIA_pres.pps.41.
Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and
radical surgery - ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B:
464-71.42. Kaptigau WM, Koiri JB, Kevau IH, Rosenfeld JV. Surgical
Management of Spinal tuberculosis in Papua New Guinea. PNG Med J
2007. Mar-Jun;50(1-2):25-32.43. Hazra A, Laha B. Chemotherapy of
Osteoarticular Tuberculosis. Indian J Pharmacol. February 2005, Vol
37, Issue 1:5-12.44. Cherifi S, Guillaume MP, Peretz A.
Multidrug-resistant Tuberculosis Spondilitis. Acta Clinica Belgica,
2000; 55-1.45. Li L, Zhang Z, Luo F, Xu J, et al. Management of
drug-resistant spinal tuberculosis with a combination of surgery
and individualised chemotherapy: a retrospective analysis of
thirty-five
patients. International Orthopaedics (SICOT ) (2012)
36:277283.46. Quarta L, Corrado A, Melillo N, Trotta A, et al.
Combined Effect of Nerindronate and spesific antibiotic therapy in
a case of tuberculous spondylodiscitis. Rheumatol Int
2008:495498.47. Mak KC, Cheung KMC. Surgical treatment of acute TB
spondylitis: indications and outcomes. Eur Spine J. DOI
10.1007/s00586-012-2455-0. Publikasi online: 16 August 2012.48.
Jain AK. Tuberculosis of the spine. Clin Orthop Relat Res. Jul
2007;460:2-3.49. Qureshi MA, Khalique AB, Afzal W, Pasha IF, Aebi
M. Surgical Management of contiguous multilevel thoracolumbar
tuberculous spondylitis. Eur Spine J. DOI
10.1007/s00586-012-2459-9.50. Jain AK, Dhammi IK, Prashad B, Sinha
S, Mishra P. Simultaneous anterior decompression and posterior
instrumentation of the tuberculous spine using an anterolateral
extrapleural approach. J Bone Joint Surg (Br). 2008 Nov;
90(11):1477-81.51. El-deen MA. Surgical management of Dorsolumber
Tuberculous spondilitis in adults. Pan Arab J Orth Trauma. Vol (8)
No. (1)/ January 2004.52. Benli IT, Acaroglu E, Akalin S, Kis M,
Dumar E, Un A. Anterior radical debridement and anterior
instrumentation in Tuberculosis spondilitis. Eur Spine J (2003)12:
224234.53. Cavusoglu H, Kaya RA, Turkmenoglu ON, Tuncer C, Colak I,
Aydin Y. A long-term follw up study of anterior tibial allografting
and istrumentation in the management of thoracolumbar tuberculous
spondilitis. J Neurosurg spine 2008 8:30-38.54. Wang Y, Zhang Y,
Zhang X, et al. Posterior only multilevel modified vertebral column
resection for extremely severe Potts kyphotic deformity. Eur Spine
J 18(10):14361441.55. Zhang H, Lin M, Shen K, Ge L, et al. Surgical
management fot multilevel noncontiguous thoracic spinal
tuberculosis by single-stage posterior transforaminal, thoracic
debridement, limited decompression, interbody fusion, and posterior
instrumentation (modified TIFF). Arch Orthop Trauma Surg (2012)
132:751757. DOI: 10.1007/s00402-012-1473-z.56. Kandwal P, Garg B,
Upendra BN, Chowdhury B, Jayaswal A. Outcome of minimally invasive
surgery in the management of tuberculous spondylitis. Indian
Journal of Orthopedics (March2012). Vol. 46. Issue 2.57. Pershin
AA, Mushkin AI. Vertebral column growth in children after surgical
correction of severe kyphosis in tuberculosis spondilitis. Probl
Tuberk Bolezn Legk.2008;(12):45-7.58. Zhang HQ, Li JS, Zhao SS,
Shao YX, et al. Surgical management for thoracic spinal
tuberculosis in the elderly: posterior only versus combined
posterior and anterior approaches. ArchOrthop Trauma Surg. DOI
10.1007/s00402-012-1618-0, Published online: 6 October 2012.60. Nas
K , Kemaloglu MS, evik R, Ceviz A, Necmioglu S, Bkte Y. The results
of rehabilitation on motor and functional improvement of the spinal
tuberculosis. Joint Bone Spine. Vol. 71. Issue4. July 2004. p.
312-316.