BAB II
BAB I1.1 Pendahuluan
Meningitis bakterial merupakan salah satu jenis penyakit infeksi
pada selaput pembungkus otak atau meningen serta cairan yang
mengisi ruang subarakhnoid. Meningitis bakterial merupakan penyakit
yang serius atau penyakit kedaruratan medik apabila tidak ditangani
dengan baik dan tepat. Etiologi atau penyebab dari meningitis
sebagian besar disebabkan oleh bakteri, dan selebihnya disebabkan
oleh virus, parasit serta jamur. Dari hasil laporan kasus, bakteri
penyebab meningitis terbanyak disebabkan oleh Hemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae dan Neisseria
meningitidis.11.2 DefinisiMeningitis bakterial adalah suatu
peradangan pada selaput otak ( araknoid dan piamater ), yang
menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman nonspesifik
dan nonvirus. Meningitis bakterial ditandai dengan peningkatan
jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti
adanya kuman penyebab infeksi pada cairan serebrospinal.2,3
1.3 Etiologi
Meningitis bakterial disebabkan oleh kuman nonspesifik dan
nonvirus. Sebagai kuman penyebab ialah jenis Pneumococcus,
Haemophilus influenzae, Staphylococcus, Streptococcus, E.coli,
Meningococcus dan Salmonella. Di Jakarta penyebab terbanyak ialah
Pneumococcus dan Haemophilus influenzae. Di Amerika penyebab
terbanyak Meningococcus, sedangkan di Jakarta jarang ditemukan.
Pada neonatus meningitis bakterial disebabkan oleh Group B
Streptococcus ( 49 % ), E coli ( 18 % ), Listeria monocytogenes ( 7
% ). Pada bayi dan anak anak dapat disebabkan oleh Haemophilus
influenzae ( 40 60 % ), Neisseria meningitidis ( 25 40 % ),
Pneumococcus ( 10 20 % ).3,4
1.4 Epidemiologi
Meningitis bakterial pada bayi dan anak masih sering dijumpai di
Indonesia. Angka kejadian tertinggi terjadi pada umur antara 2
bulan 2 tahun. Umumnya terjadi pada anak yang distrofik, yang daya
tahan tubuhnya rendah, dan hidup di lingkungan sosial ekonomi
rendah. Di Amerika Serikat pada tahun 1994 angka kejadian untuk
anak anak di bawah 5 tahun berkisar 8,7 per 100.000 sedangkan pada
anak di atas 5 tahun 2,2 per 100.000. Lebih sering terjadi pada
laki laki dibandingkan pada perempuan dengan perbandingan 1,7 3 :
1. Sekitar 80 % dari seluruh kasus meningitis bakterial terjadi
pada anak dan 70 % dari jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1
sampai 5 bulan.2,3
1.5 Patogenesis
Meningitis bakterial umumnya sebagai akibat komplikasi penyakit
lain. Umumnya penyebaran bakteri secara hematogenous yang berasal
dari infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis,
endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Bakteriemia biasanya
mendahului meningitis atau terjadi dalam waktu yang sama, sehingga
sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai
dengan kuman yang ada dalam cairan otak. Saluran napas merupakan
port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta.
Kuman dapat masuk dalam bentuk aerosol atau droplet dan kemudian
melekat pada sel epitel mukosa nasofaring untuk melakukan
kolonisasi. Kuman kemudian masuk ke dalam aliran darah dengan
menembus mukosa dan memperbanyak diri di dalam aliran darah yang
dapat menimbulkan bakteriemia. Dari aliran darah kuman masuk ke
dalam cairan serebrospinal, kemudian memperbanyak diri sampai
akhirnya menimbulkan peradangan pada selaput otak. Meningitis juga
bisa terjadi karena perluasan langsung infeksi yang letaknya
berdekatan dengan selaput otak seperti sinusitis, mastoiditis,
otitis media, abses otak, dan trombosis sinus cavernosus. Atau bisa
juga infeksi terjadi secara langsung pada keadaan seperti trauma
kepala terbuka, tindakan bedah otak, dan pungsi lumbal yang kurang
steril. Kuman atau bakteri yang ada pada saluran genital ibu sangat
mudah menginfeksi bayi baru lahir pada saat ketuban pecah. Group B
streptococcus dan Listeri monocytogenes dapat menginfeksi janin
secara transplasental. Keadaan ini dapat menimbulkan sepsis dan
kemudian meningitis. Resiko meningkat jika bayi lahir prematur atau
dengan BBLR.1,2,5
1.6 Patofisiologi
Patofisiologi meningitis bakterial merupakan proses yang
kompleks, komponen komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan
dalam menimbulkan respon radang pada selaput otak ( meningen ) yang
kememudian menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan
penurunan aliran darah otak yang dapat menimbulkan gejala sisa.
Umumnya otak dilindungi oleh sistem imun dan sawar darah otak pada
selaput darah otak yaitu antara aliran darah dengan otak. Jika
bakteri dapat lolos masuk ke dalam cairan otak maka bakteri akan
memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya
pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan otak.
Bakteri yang telah berkembang biak akan tersebar keseluruh ruang
subaraknoid secara pasif karena aliran cairan serebrospinal.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati akan
melepaskan dinding sel atau komponen komponen membran sel (
endotoksin, teichoic acid ) yang menyebabkan kerusakan jaringan
otak serta menimbulkan peradangan diselaput otak. Bakteri Gram
negatif pada waktu lisis akan melepaskan lipopolisakarida/
endotoksin, dan bakteri Gram positif akan melepaskan asam teikoat.
Adanya komponen bakteri yang dilepaskan oleh bakteri akan
menstimulasi sel Endotel dan sel makrofag sistem saraf pusat untuk
melepaskan mediator mediator inflamasi seperti Interleukin-1 ( IL-1
) dan tumor necrosis factor ( TNF ). Mediator mediator ini kemudian
menginduksi Prostaglandin E2 yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas sawar darah otak. Meningkatnya permeabilitas kapiler
ini menyebabkan cairan intravaskular akan merembes keluar ke dalam
ruang ekstraselular ( edema vasogenik ). Permeabilitas kapiler
selaput otak mempermudah migrasi neutrofil, sel fagosit,
polimorfonuklear sehingga terjadi pleositosis pada cairan
serebrospinalis yang menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel
sehingga terjadi pengumpulan cairan di dalam neuron, glia, dan sel
endotel yang menyebabkan pembengkakkan sel tersebut ( edema
sitotoksik ). Terjadinya proses fagositosis bakteri oleh sel
polimorfonuklear di ruang subaraknoid menyebabkan terbentuknya
debris sel dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang dapat menyumbat
saluran cairan serebrospinalis. Keadaan ini dapat menyebabkan
tekanan hidrostatatik ruang subaraknoid meningkat sehingga terjadi
pemindahan cairan dari sistem ventrikel ke jaringan otak ( edema
interstisial ). Ketiga macam edema serebri ini dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. IL-1 dan TNF juga menyebabkan
interaksi antara endotel dengan leukosit dengan akibat terjadinya
kerusakan endotel dan kemudian meningkatkan permeabilitas sawar
darah otak. Mediator diatas juga menginduksi produksi
platelet-activating factor ( PAF ) yang dapat menimbulkan trombosis
yang dapat mengganggu aliran darah ke otak. Tekanan intrakranial
yang meningkat juga menyebabkan penurunan aliran darah ke otak
sehingga otak kekurangan O2 untuk metabolisme sehingga terjadi
gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik
yaitu peningkatan kadar asam laktat dan penurunan pH cairan
serebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme
anaerobik.2,31.7 Gejala Klinis
Gejala klinis meningitis bakterial bervariasi tergantung umur
penderita, lamanya sakit sebelum mendapat perawatan, dan jenis
bakteri. Tidak ada gejala yang spesifik dimana gejala meningitis
juga bisa ditemukan pada anak anak yang tidak menderita meningitis.
Ada 3 gejala yang umum terjadi pada meningitis bakterial yaitu
gejala infeksi akut seperti anak tampak lesu, panas, dan anoreksia.
Gejala tekanan intrakranial yang meningkat seperti sering muntah,
nyeri kepala ( anak besar ), tangis yang merintih ( pada neonatus
), kesadaran menurun dari apatis sampai koma, kejang, ubun ubun
besar menonjol dan tegang. Gejala rangsangan meningeal seperti kaku
kuduk, tanda tanda spesifik seperti Kernig, Brudzinsky I dan II
positif, kadang ada nyeri punggung. Berdasarkan umur akan
didapatkan gejala klinis meningitis yang bervariasi. Pada neonatus
tanda tanda rangsangan meningeal jarang ada dan jika ada sulit
untuk di evaluasi. Biasanya pada neonatus didapatkan gejala demam,
gelisah, nafsu makan menurun, tangis yang merintih, dan muntah.
Pada anak yang berumur 1 18 bulan tanda dan gejala sering kali
tidak spesifik yaitu terdiri dari demam, gelisah, apatis sampai
somnolen, muntah, nafsu makan menurun, nangis jika dipegang, ubun
ubun besar menonjol, dan kejang. Pada anak yang lebih tua gejala
yang timbul terdiri dari demam, sakit kepala, tanda tanda
rangsangan meningeal, kejang, muntah, gelisah sampai somnolen, dan
jika sampai koma menandakan prognosisnya jelek.2,6
1.8 Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan cairan
serebrospinalis yang didapatkan dengan pungsi lumbal. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala dan tanda yang
akut, fulminan, dengan tanda-tanda khas "trias klasik" (3 tanda
klasik) yang berupa: demam, kaku kuduk dan penurunan kesadaran.
Tanda-tanda kaku kuduk biasanya sulit ditemukan pada keaadaan
tertentu seperti pada neonatus. Selain tiga tanda diatas mual,
muntah, kejang, fotofobia dan gejala klinis lainnya yang sudah
dijelaskan diatas juga dapat ditemukan. Pada bayi sering ditemukan
bulging (benjolan) pada fontanela bayi atau neonatus. Untuk mencari
adanya iritasi pada selaput meningen harus dilakukan tes kaku
kuduk, tanda brudzinki dan kernig. Pemeriksaan kesadaran pasien,
pemeriksaan saraf-saraf kranial dan tepi, serta dilakukan
pemeriksaan pada mata yaitu untuk melihat apakah telah terjadi udem
pada papil. Diagnosis meningitis tidak dapat dibuat hanya dengan
melihat gejala dan tanda saja. Karena tanda dan gejala seperti
tersebut diatas bisa juga ditemukan pada anak anak yang tidak
menderita meningitis bakterial. Diagnosis pasti dari meningitis
bakterial hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan cairan
serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh karena itu pungsi
lumbal harus dilakukan jika dicurigai meningitis bakterial dari
tanda dan gejala yang didapat. Pada fase awal penyakit bisa saja
hasil pemeriksaan cairan serebrospinalis normal, maka dari itu
jangan sampai menghilangkan kewaspadaan terhadap penderita yang
dicurigai meningitis bakterial dengan hasil pemeriksaan cairan
serebrospinalis normal. Pada meningitis bakterial umumnya cairan
serebrospinalis berwarna opalesen sampai keruh. Dari pemeriksaan
cairan serebrospinalis pada penderita meningitis bakterial akan
ditemukan pleositosis ( 500 10.000/mm3 ) dimana sel yang dominan
adalah polimorfonuklear yaitu neutrofil dan granulosit sampai
sekitar 95 %. Dengan perjalanan penyakit ada kenaikan bertahap
limfosit dan sel mononuklear yang besar dan adanya pengobatan
antibiotik sebelum pungsi lumbar dapat mengacaukan gambaran cairan
serebrospinalis. Glukosa menurun < 40 mg/dl kurang dari setengah
kadar glukosa serum. Protein meningkat biasanya diatas 75 % tapi
perlu diperhatikan kadar protein normal yang berbeda menurut umur.
Reaksi Nonne dan Pandy umumnya positif kuat. Kultur dan uji
resistensi bakteri pada cairan serebrospinalis baru ada hasil
setelah 24 72 jam. Hasil dari kultur dan uji resistensi akan
mengarahkan kita pada pengobatan yang tepat. CT scan diperlukan
untuk evaluasi kontra indikasi pungsi lumbal dan komplikasi -
komplikasi yang mungkin terjadi.2,3,4,6
1.9 Diagnosis banding
Ada beberapa penyakit yang memiliki gejala dan tanda yang hampir
sama dengan meningitis bakterial seperti meningitis aseptik,
meningitis tuberkulosa, meningitis fungi, meningoensefalitis, abses
otak. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan cairan
serebrospinalis dan jika perlu pemeriksaan foto roentgen.51.10
Pengobatan
Pasien meningitis purulenta pada umumnya kesadarannya menurun
dan seringkali disertai muntah dan atau diare. Oleh karenanya untuk
membina masukan yang baik, penderita perlu langsung mendapat cairan
intra vena dan jika terjadi asidosis diperlukan cairan yang
mengandung korektor basa. Bila anak kejang dapat diberikan diazepam
0,5 mg/kgBB/kali intravena yang dapat diulang dengan dosis yang
sama 15 menit kemudian bila kejang belum berhenti. Apabila kejang
berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital dengan dosis
awal 10 20 mg/kgBB IM, dua puluh empat jam kemudian diberikan dosis
rumat 4 5mg/kgBB/hari. Pada penelitian pemberian steroid dapat
mengurangi produksi mediator mediator radang, sehingga dapat
mengurangi kecacatan seperti paresis dan tuli. Diberikan 10 20
menit sebelum terapi antibiotika. Kortikosteroid yang memberikan
hasil baik ialah deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgBB/hari selama
4 hari. Pemberian antibiotik terdiri dari 2 fase, yaitu fase
pertama sebelum ada hasil biakan dan uji sensitifitas. Pada fase
ini pemberian secara empirik. Karena penyebab terbanyak H.
influenzae dam Pneumococcus maka digunakan kombinasi ampisilin dan
kloramfenikol secara intravena. Dosis ampisilin 200 300
mg/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis, kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 4 dosis, pada neonatus 50 mg/kgBB/hari. Paada bayi dan
anak pengobatannya selama 10 14 hari, dan pada neonatus selama 21
hari. Pengobatan secara empirik lain adalah pada neonatus digunakan
kombinasi antara ampisilin dengan aminoglikosid ( gentamisin ) atau
ampisilin dengan cefotaxim. Pada umur 3 bulan 10 tahun digunakan
kombinasi ampisilin dengan cefotaxim atau ampisilin dengan
seftriakson, atau ampisilin dengan kloramfenikol. Pengobatan fase
kedua dilakukan setelah ada hasil biakan dan uji sensitifitas
disesuaikan dengan kuman penyebab dan obat yang serasi. Berdasarkan
identifikasi jenis kuman, antibiotik yang digunakan untuk
meningitis purulenta karena H. influenzae adalah ampisilin,
kloramfenikol, seftriakson dan sefotaxim. Jika penyebabnya S.
pneumoniae diberikan penisilin, kloramfenikol, seftriakson,
cefuroksim, dan vankomisin. Jika penyebabnya N. meningitidis dapat
diberikan penisilin, kloramfenikol, sefuroksim, dan seftriakson.
Dosis antibiotika pada meningitis purulenta : ampisilin 200 300
mg/kgBB/hari, kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari, cefuroksim 250
mg/kgBB/hari, cefotaksim 200 mg/kgBB/hari, seftriakson 100
mg/kgBB/hari, gentamisin neonatus ( 0 7 hari ) 5 mg/kgBB/ hari, ( 7
28 hari ) 7,5 mg/kgBB/hari. Pungsi lumbal ulangan dilakukan apabila
klinis membaik pada hari ke-10 pengobatan, dan jika keadaan
laboratorium membaik pengobatan diteruskan 2 hari lagi, kemudian
dipulangkan. Pada neonatus lamanya pengobatan 21 hari.2,3 1.11
Prognosis
Ada banyak faktor yang menentukan prognosis dari meningitis
bakterial diantaranya umur pasien, jenis bakteri penyebab, berat
ringannya infeksi, lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan, dan
kepekaan bakteri terhadap antibiotik yang diberikan. Prognosis
buruk pada bayi yang berumur dibawah 6 bulan. Angka kematian
meningitis bakterial yang disebabkan oleh H. influenzae adalah
6,5%, N. meningitidis 12%, dan S. pneumoniae 28%. Apabila infeksi
yang terjadi disertai kejang kejang lebih dari 4 hari, DIC, dan
coma menunjukkan prognosis yang buruk. Apabila pengobatan terlambat
dan tidak adekuat dapat menimbulkan kematian dan kecacatan yang
permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik bersifat fatal. Terapi antibiotik yang tepat dan
pengobatan supportif dapat menurunkan angka kematian meningitis
bakterial pada masa setelah neonatus yaitu dibawah 10%.2,6,7BAB
II
KOMPLIKASI MENINGITIS BAKTERIAL DAN
PENATALAKSANAANNYA
3.1 KOMPLIKASI MENINGITIS BAKTERIAL
Dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna atau
pengobatan yang terlambat. Komplikasi bisa akut atau bisa juga
timbul dalam waktu yang lama setelah penderita sembuh. Komplikasi
akut yang mungkin terjadi ialah acute serebral edema,
ventrikulitis, efusi subdural, nekrosis dan destruksi nervus
cranialis, DIC, shock dan gagal napas, sekresi ADH yang berlebihan,
kejang, hidrosefalus, tuli, abses otak dan bisa juga karena
pengobatan. Komplikasi jangka panjang yang bisa terjadi antara lain
tuli saraf, kebutaan, sekuele neurologis berupa hemi paresis,
hipertonia muskulorum, defisit motorik, epilepsi, retardasi mental,
gangguan belajar, gangguan perhatian, dan gangguan bahasa.
Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan
penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi
adanya sekuele secara dini.2,33.2 KOMPLIKASI MENINGITIS BAKTERIAL
DAN PENATALAKSANAANNYA
Disini akan dijelaskan sedikit tentang komplikasi komplikasi
yang sering terjadi pada meningitis bakterial dan
penatalaksanaannya :
1. EFUSI SUBDURAL
Efusi subdural terjadi 10 30 % pada meningitis bakterial dan 85
90 % asimptomatik. Efusi subdural 50 % terjadi pada meningitis
karena H influenzae. Kemungkinan terjadinya efusi subdural perlu
dipikirkan jika demam tetap ada setelah 72 jam pemberian antibiotik
dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun ubun besar tetap
menonjol, gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal
atau kejang umum dan muntah muntah. Diagnosis ditegakkan dengan CT
scans. Pengobatan efusi subdural masih kontroversial, tetapi
biasanya dilakukan pungsi atau tap subdural. Dilakukan tap subdural
tiap 2 hari sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering
dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untuk dikeringkan. Pengeluaran
cairan dalam sekali tap subdural maksimal 30 ml dan dapat dilakukan
maksimal 6 kali.2,32. EDEMA SEREBRI
Edema serebri adalah pengumpulan cairan didalam jaringan otak,
baik intraseluler atau ekstraseluler. Edema serebri yang terjadi
pada meningitis ikut serta menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial. Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar
darah otak meningkat yang dapat menyebabkan edema vasogenik, karena
pleositosis dan toksin akan menyebabkan terjadinya edema
sitotoksik, dan karena aliran cairan serebrospinalis
terganggu/hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema
interstisial. Pengobatan edema serebri yaitu dengan memberikan
deksametason dosis 0,5 mg/kgbb/hari, i.v. atau i.m., dosis
diturunkan perlahan setelah beberapa hari bila ada perbaikan.
Manitol dosis 1,5-2 g/kgbb/hari, i.v. dalam 30-60 menit dapat
diulang setiap 8-12 jam dengan menggunakan larutan 15-20 %.
Furosemide dosis 2 mg/kgBB/hari, iv dibagi dalam 2 dosis.23.
VENTRIKULITIS
Ventrikulitis kadang kadang terjadi pada meningitis bakterial
dan sering terjadi pada neonatus dimana pernah dilaporkan terjadi
92 % pada neonatus dengan meningitis bakterial. Ini disebabkan
karena ruang subaraknoid dengan ventrikel dihubungkan oleh cairan
serebrospinalis yang pasang surut atau karena migrasi kuman yang
bergerak. Pada ventrikulitis dengan eksudat purulen dapat
menimbulkan penyumbatan pada akuaduktus Sylvii yang memang dasarnya
sudah sempit. Ini akan menyebabkan infeksi setempat atau abses
didalam ventrikel dan obat obatan baik yang diberikan secara
sistemik maupun secara intratekal melalui pungsi lumbal tidak bisa
mencapai ventrikel karena adanya sawar darah otak dan penyumbatan
di akuaduktus Sylvii. Pada keadaan seperti ini kadang kadang cairan
serebrospinalis yang didapat melalui pungsi lumbal sudah steril
tapi cairan ventrikel masih mengandung kuman yang dapat menjadi
sumber infeksi yang dapat menyebabkan meningitis kembali. Kita
patut curiga terjadi ventrikulitis jika tidak ada perbaikan klinis
atau laboratoris dengan pengobatan seperti lazimnya, penderita
tampak sakit berat, dan ada tanda tanda peninggian tekanan
intrakranial. Diagnosis pasti ditegakkan jika dari pemeriksaan
cairan ventrikel didapatkan leukosit lebih dari 200/ml dan biakan
cairan ventrikel positif. Karena obat yang diberikan secara
sistemik atau intratekal sulit mencapai ventrikel maka pengobatan
diberikan dengan memasukkan antibiotika secara langsung ke dalam
ventrikel. Karena pungsi ventrikel yang berulang ulang kurang baik,
maka pemberiannya dilakukan melalui reservoir Salmon-Rickham yang
dipasang didaerah frontal dengan membuat burrhole terlebih dahulu.
Reservoir ini dipasang di bawah kulit dan ujungnya kira kira 1 cm
di dalam ventrikel. Dosis obat yang dimasukkan ke dalam ventrikel
didasarkan atas perbandingan antara head circumference( HC ) dalam
cm dengan cerebral mantle ( CM ) dalam mm. Untuk menentukan CM di
daerah frontal, setelah pungsi ventrikel dan dikeluarkan cairan
untuk pemeriksaan, kemudian dimasukkan udara kira kira 5 10 ml dan
selanjutnya dibuat foto rontgen kepala.2,3
DOSIS ANTIBIOTIKA INTRARESERVOIR
ANTIBIOTIKA DOSIS SEHARI
HC : CM = 1,5 HC : CM (2
Ampisilin
Sodium sefalotin
Kloramfenikol
Gentamisin sulfat
Sodium metisilin
10 mg
25 mg
25 mg
2 mg
25 mg25 mg
50 mg
50 mg
4 mg
50 mg
4. HIDROSEFALUS
Hidrosefalus adalah keadaan patologis otak dimana terjadi
peningkatan cairan serebrospinalis ( CSS ) dengan atau pernah
dengan peningkatan tekanan intrakranial sehingga menyebabkan
pelebaran ruang tempat mengalirnya CSS. Pada meningitis terjadinya
hidrosefalus bisa disebabkan karena jalan liquor terganggu,
resorbsi menurun, atau bisa juga karena produksi meningkat. Karena
proses infeksi dapat menyebabkan perlekatan meningen sehingga dapat
terjadi obliterasi ruang subaraknoid yang mengganggu absorbsi.
Adanya eksudat purulen dapat menyebabkan obstruksi mekanik di
akuaduktus Sylvii atau sisterna basalis sehingga mengganggu
jalannya liquor dan menyebabkan pelebaran ruang diatasnya.
Hidrosefalus lebih banyak terjadi pasca-meningitis. Diagnosis
dibuat secara klinis dimana gejala yang tampak berupa gejala akibat
tekanan intrakranial yang meningkat seperti muntah, nyeri kepala,
kejang, dan kesadaran menurun. Kepala terlihat lebih besar
dibandingkan dengan tubuh. Penting dilakukan pengukuran lingkaran
kepala secara berkala, yaitu untuk melihat pembesaran kepala yang
progresif dan lebih cepat dari normal. Jika ubun ubun besar belum
menutup akan tampak melebar, menonjol, dan tegang. Sutura juga
dapat tampak melebar. Terapi yang bisa dilakukan yaitu dengan
memperbaiki hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat
absorpsi yakni menghubungkan ventrikel dengan subaraknoid. Misalnya
dengan ventrikulosisternotomi Torkildsen pada stenosis akuaduktus.
Tapi terapi ini hasilnya kurang memuaskan karena pada meningitis
disertai dengan insufisiensi fungsi absorpsi. Hasil yang lebih baik
dapat dicapai dengan mengalihkan aliran liquor dengan menghubungkan
ruang subaraknoid di daerah lumbal dengan peritonium (
spino-peritoneal shunt ) atau dengan menghubungkan ventrikulus
tertius dengan vena kava superior ( ventriculo-caval shunt ) atau
dengan rongga peritonium ( ventriculo-peritoneal shunt ). Untuk
kedua tindakan yang terakhir ini diperlukan suatu katup yang dapat
mengatur aliran tetap ventrikulovugal. Ada dua macam katup yang
dapat digunakan dalam oprasi shunt ini yaitu katup Spitz-Holter dan
katup Pudenz-Heyer.2,8
5. TULI
Gangguan pendengaran dapat terjadi dalam taraf ringan sampai
berat. Kira kira 5 30 % penderita meningitis bakterial mengalami
komplikasi tuli terutama yang disebabkan oleh S pneumoniae. Tuli
saraf lebih sering terjadi daripada tuli konduktif. Tuli konduktif
disebabkan karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis.
Tuli saraf lebih sering disebabkan karena sepsis koklear daripada
kelainan N. VIII. Adanya gangguan pendengaran pada penderita
meningitis dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP.
Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang
berat akan menetap. Pemberian deksametason dapat mengurangi
komplikasi gangguan pendengaran apabila diberikan sebelum pemberian
antibiotik dengan dosis 0,6 mg/ kgBB/ hari intravena dibagi 4 dosis
selama 4 hari. Gangguan pendengaran yang berat nantinya dapat
menyebabkan gangguan kemampuan bicara.2,46. EPILEPSI
Meningitis dapat menimbulkan sekuele di otak yang dapat
menimbulkan epilepsi di kemudian hari. Terapi pada kasus epilepsi
meliputi 2 hal yakni pemberian nasihat dan pemberian obat anti
konvulsan.a. Pemberian nasihat (advis)
Tujuan dari segala nasihat kita adalah agar penderita dapat
hidup dalam keadaan yang senormal mungkin. Penderita baik yang
masih sekolah maupun yang sudah bekerja dinasehati supaya melakukan
kegiatannya seperti biasa. Hanya bila penderita seorang pekerja
yang pekerjaannya dapat membahayakan dirinya barulah dinasihati
agar penderita pindah ke lapangan pekerjaan lain. Penderita tidak
diperkenankan untuk menjadi supir mobil dan hendaknya jangan
diberikan surat izin mengemudi, karena hal itu dapat membahayakan
dirinya, para penumpangnya, dan para pengguna jalan lain. Pada
dasarnya penderita dilarang mengemudikan kendaraan bermotor selama
penderita masih minum obat-obatan anti konvulsan.
Penderita tidak dilarang berolahraga, tetapi kepadanya supaya
tetap menjaga diri dan hendaknya jangan sampai kelelahan. Olah raga
berenang pun tidak dilarang asal ada yang menjaganya. Psikoterapi
memegang peranan yang sangat penting dalam menambah kepercayaan dan
membantu mengurangi atau menghilangkan rasa rendah diri pada
penderita. Makanan penderita harus teratur, penderita dijaga agar
jangan sampai merasa lapar. Bila penderita merasa lapar hendaknya
segera makan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Jika dewasa
kelak penderita epilepsi tidak diperbolehkan minum-minuman
beralkohol seperti bir dan lain lainnya. Tidak ada larangan
terhadap rokok atau kopi, asal jangan berlebihan. Buang air besar
harus teratur, bila ada obstipasi, hendaknya kepada penderita
diberikan laksansia ringan.Tidur harus teratur, penderita tidak
diperbolehkan bergadang. Tidak jarang bangkitan epilepsi timbul
setelah penderita kurang tidur. Pada penderita epilepsi pasca
meningoensefalitis yang kelak dewasa dan gravidae, lebih mudah
terjadi bangkitan-bangkitan epilepsi. Hal ini disebabkan karena
wanita yang hamil akan mengalami retensi natrium, hidrasi dan berat
badan yang bertambah, yang menimbulkan perubahan-perubahan
metabolisme dalam tubuh wanita tersebut, yang pada akhirnya
menurunkan ambang myokloni. Dalam keadaan demikian, sebaiknya dosis
obat antikonvulsan ditingkatkan untuk mencegah timbulnya bangkitan
epilepsi.
Bila penderita hendak bepergian jauh, maka dinasihati agar
penderita meminum obat anti-konvulsan secara teratur. Jangan sampai
kelelahan, tidur harus baik, dan diingatkan bahwa perubahan udara
sewaktu waktu memang dapat mengganggu. b. Pemberian obat-obat anti
konvulsan
Obat-obat anti-konvulsan yang dapat diberikan adalah:
1. Fenobarbital
Obat anti-konvulsan yang terbaik dan termurah adalah
fenobarbital (luminal). Obat ini untuk pertama kali dipergunakan
sebagai anti-konvulsan pada tahun 1912 oleh Hauptmann. Pemberian
luminal pada anak-anak disesuaikan dengan indikasinya. Untuk
tindakan preventif diberikan luminal sebesar 1 mg/kgbb/x secara
i.v. Untuk Kejang lama diberikan luminal 8 mg/kgbb/hr (2x, 2 hari),
lalu dilanjutkan luminal dosis 5 mg/kgbb/hr, dibagi dalam 2 dosis.
Untuk epilepsi umum pada anak berusia > 4 tahun tidak digunakan
luminal tapi valproic acid.2. Difenilhidantoin
Sebagai anti-konvulsan, obat ini pertama kali dipergunakan dalam
tahun 1938 oleh Merritt dan Putnam. Kelebihan dari obat ini adalah
oleh karena tidak bersifat sedatif. Dilantin tidak digunakan untuk
mengobati Petit Mal, tapi hanya untuk mencegah timbulnya bangkitan
epilepsi pada penderita Grand Mal dan Epilepsi Psikomotor.
Digunakan untuk terapi epilepsi pada anak > 4 tahun yang tidak
boleh diberikan luminal. Dosis pada anak-anak: maksimum 6
mg/kgbb/hari.3. Valium (diazepam)
Khusus disebutkan di sini kegunaan valium bila disuntikkan
secara intravena, pada terapi penderita dengan status epileptikus.
Dosis 0,5 mg/kgbb/x i.v. dan pada anak dengan berat badan 10 kg
diberikan sebanyak ampul per kali.4. Clonazepam
Clonazepam berkhasiat bila digunakan pada terapi penderita
dengan Petit Mal dan bangkitan akinetik dan mioklonik. Diberikan
dengan dosis 2,5 mg per hari, dibagi dalam 3 dosis.5.
Tridione/Paradione
Obat-obatan ini berasal dari kelompok oksazolidinedione.
Paradione ternyata kurang toksik dibandingkan tridione. Obat-obatan
ini dapat dipergunakan pada anakanak dengan Petit Mal. Dosis: 3 x
150-300 mg per hari, dosis ini dapat ditingkatkan hingga 3 g per
hari. Efek samping dari obat golongan ini adalah mengantuk,
fotofobia, akne, agranulosis dan anemia aplastik. 6. Zarontin
(Ethosuximide)
Zarontin sangat baik pada penderita dengan Petit Mal. Dosis pada
anak anak < 6 tahun adalah 2 atau 3 x 250mg-500mg per hari. Efek
sampingnya adalah anoreksia, nausea, muntah-muntah, dan depresi
sumsum tulang.
7. Valproic acid (Depakene)
Depakene dapat dipergunakan dalam pengobatan Petit Mal dan pada
myoclonic epilepsy dan bangkitan akinetik. Dosis pada anak-anak
sebesar 30-40 mg/kgbb/hari (2x sehari). Efek samping dapat berupa
badan terasa capai, mual, muntah, dan diare, berat badan bertambah,
tremor, trombositopenia ringan, dan peningkatan enzim enzim
hepatik. Sewaktu terapi dengan depakene hendaknya dipantau jumlah
trombosit dan fungsi hati. Pemberian obat-obat anti-konvulsan
dipertimbangkan untuk dihentikan bila penderita telah 1 tahun bebas
dari bangkitan epilepsi dan memperlihatkan E.E.G. yang normal. 87.
RETARDASI MENTAL
Terjadinya retardasi mental disebabkan karena brain damage yang
terjadi pada penderita meningitis. Karena brain damage merupakan
proses lampau yang tidak aktif lagi, tentunya tidak banyak lagi
yang dapat dilakukan untuk terapi kausal. Tetapi terdapat beberapa
hal yang masih dapat dilakukan yaitu:
1. Fisioterapi
Bila keterampilan motorik dapat ditingkatkan maka dapat pula
dilihat bahwa output yang lain seperti misalnya ketangkasan
lokomotorik, selfhelp, berbahasa dan lain-lain dapt meningkat
pula.2. Untuk menghilangkan spastisitas yang dapat menghalangi
gerakan penderita dapat diberikan diazepam.8BAB III
Ringkasan
Meningitis bakterial merupakan salah satu jenis penyakit infeksi
pada selaput pembungkus otak atau meningen serta cairan yang
mengisi ruang subarakhnoid. Meningitis bakterial adalah suatu
peradangan pada selaput otak ( araknoid dan piamater ), yang
menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman nonspesifik
dan non virus. Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab
meningitis terbanyak disebabkan oleh: Hemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis. Meningitis
bakterial pada bayi dan anak masih sering dijumpai di Indonesia.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada umur antara 2 bulan 2 tahun.
Ada 3 gejala yang umum terjadi pada meningitis bakterial yaitu
gejala infeksi akut seperti anak tampak lesu, panas, dan anoreksia.
Gejala tekanan intrakranial yang meningkat seperti sering muntah,
nyeri kepala ( anak besar ), tangis yang merintih ( pada neonatus
), kesadaran menurun dari apatis sampai koma, kejang, ubun ubun
besar menonjol dan tegang. Gejala rangsangan meningeal seperti kaku
kuduk, tanda tanda spesifik seperti Kernig, Brudzinsky I dan II
positif, kadang ada nyeri punggung. Komplikasi yang terjadi pada
meningitis bakterial dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang
tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi bisa akut
atau bisa juga timbul dalam waktu yang lama setelah penderita
sembuh. Komplikasi akut yang mungkin terjadi ialah acute serebral
edema, ventrikulitis, efusi subdural, nekrosis dan destruksi nervus
cranialis, DIC, shock dan gagal napas, sekresi ADH yang berlebihan,
kejang, hidrosefalus, tuli, abses otak dan bisa juga karena
pengobatan. Komplikasi jangka panjang yang bisa terjadi antara lain
tuli saraf, kebutaan, sekuele neurologis berupa hemi paresis,
hipertonia muskulorum, defisit motorik, epilepsi, retardasi mental,
gangguan belajar, gangguan perhatian, dan gangguan bahasa.
Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan
penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi
adanya sekuele secara dini.
DAFTAR PUSTAKA
1.Sari I D. Meningitis Bakterialis. Kalbe. 2003. Juni 23.
Available from: www.kalbe.Co.id/kf portal. Hsf / o / . Accessed
November 18; 2004
2. Soetomenggolo TS, Ismael S. Neurologi Anak. Jakarta. Balai
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2000
3. Hasan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak Buku Kuliah II.
Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2002
4. Kumar A. Bacterial Meningitis. Emedicine.2004 October,4.
Available from: www. Emedicine.com/PED/topic 198. htm 101k Accessed
November 10; 2004
5. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors: Nelson
Essentials of Pediatrics, ed 16, Philadelphia, 2000, WB Saunders,p.
382 - 385
6. Johnson GM, Wagner GE, Virella G. Meningitis and
Encephalitis, in: Microbiology and Infectious Diseases.p. 429 -
434
7. Prober CG. Central Nervous System Infections. In : Nelson
Text Book of Pediatrics.p. 2038 - 2044
8 Ngoerah GNGde. Dasar-dasar ilmu penyakit saraf. Cetakan
pertama. Surabaya. Penerbit Universitas Airlangga;
1990.hal.259-263.
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Andrea Nara Saputra, I KetutUmur : 1 tahun, 3 bulanJenis
Kelamin : Laki laki
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Banjar Sumbersari, Melaya, Jembrana.
MRS : 11 November 2012 ( pukul 01:34 WITA di Jempiring )
II. ANAMNESIS ( Heteroanamnesis )
Keluhan Utama : Kejang
Penderita kiriman dari RSUD Negara dirujuk dengan diagnosis
sementara ......... ke UGD RS Sanglah triage anak. Penderita
dikeluhkan kejang sejak kurang lebih 5 jam sebelum masuk rumah
sakit (pukul 21:00 wita) sebanyak 1 kali selama 20-30 menit, kejang
dikatakan pada seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku, mata mendelik
ke atas. Saat kejang penderita mengalami panas badan. Setelah
selesai kejang pasien dikatakan mengantuk (tidak sadar baik).
Kejang berhenti setelah mendapat obat dari pantat.
Panas badan sejak 3 hari yang lalu dikatakan mendadak tinggi,
tidak disertai dengan menggigil. Panas badan naik turun dengan obat
penurun panas. Panas badan tertinggi dikatakan mencapai 40,5oC
Penderita juga dikeluhkan sariawan sejak kemarin sebelum masuk
rumah sakit dan perut dikatan lebih kembung .....Keluhan mencret
tidak ada, BAB dikatakan seperti biasa, BAB dikatakan terakhir di
popok kurang lebih 8 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit dahuluPenderita dikatakan sempat demam 2 minggu
yang lalu disertai batuk kurang lebih selama 4 hari. Riwayat pada
bulan Juli 2012 operasi VP shunt.Pasien tidak meilikiriwayat
alergiRiwayat penyakit keluargaRiwayat kejang pada keluarga
disangkal
Riwaya sosial
Penderita merupakan anak ke-3 dari tiga bersaudara, dimana kedua
kakak penderita berada dalam keadaan sehatRiwayat
Pengobatan-Riwayat PersalinanAnak lahir normal ditolong oleh bidan,
dengan BBL:4.200 gram, ibu lupa akan panjang badan bayi serta
lingkar kepala bayinya saat lahir. Bayi dikatakan segera menangis
saat lahirRiwayat ImunisasiBCG 1 kali
Hepatitis B 3 kaliCampak 1 kali
Polio 3 kali
DPT 3 kaliRiwayat Nutrisi
Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif. Pasien hingga saat ini
masih mengkonsumsi susu formula. Pasien diberikan bubur susu saat
usia 6 bulan dengan frekuensi 2-3 kali sehari, dan nasi tim
diberikan sejak umur 8 bulan dengan usia 2-3 bulan.Riwayat tumbuh
kembang
Pasien mampu menegakkan kepala pada usia 8 bulan, membalik badan
pada usia 10 bulan. Pasien belum bisa duduk, merangkak dan
berdiri.Penilaian nyeri
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present :
Keadaan umum :
Kesadaran : Berat Badan : 9,5 kg
Nadi : 100 x/ menitLingkar KepalaRespirasi : 30 x/ menitLingkar
lengan atasTemp Aksila : 37,2 C
Status AntropometriPB : 75 cmBB: 9,0 kgLK:
LILA:BB/U: -0,12
PB/U: -1,00
BB/PB: 0,42
BBI: 9,15 kg
Status gizi berdasarkan waterlow: 103,8% (gizi baik)Status
General :
Kepala : Makrosefali, UUB datar
Mata : Konjungtiva pucat ( -/- ), ikterus ( -/- ), refleks pupil
( +/+ ) isokor
Doll eye movement ( + ), nistagmus ( - ), strabismus ( - ),
deviation
Conjugee ( - )
THT : Telinga
: secret (-)
Hidung
: Napas cupinghidung (-), sekret (-)
Tenggorokan: Faring : hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)Leher : Kaku kuduk ( + ) pembesaran
kelenjar ( - )
Brudsinski I (+), Brudsinski II (+)Thorax : Cor : S1 S2 normal,
reguler, murmur ( - )
Po : BV +/+, Rh -/-, Wh, -/-
Abdomen : Distensi ( - ), Bising usus ( + ) normal, hepar/lien
tidak dapat teraba
Ekstremitas : akral hangat ( + ), cyanosis ( - )
Reflek fisiologis ( + ) untuk keempat ekstremitas, reflek
patologis ( - ) untuk keempat ekstremitas.IV. PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
Darah lengkap
ParameterHasil (11/11)Hasil (16/11)SatuanNilai Rujukan
WBC34,86 15,30X103/L6,00-14,00
-NE%63,20 73,50 %18,30-47,10
-LY%30,6018,70 %30,00-64,30
-Mo%5,505,40%0,00-7,10
-Eo%0,020,30%0,00-5,00
-Ba%0,720,50%0,00-0,70
RBC4,161,97X106/L4,10-5,30
HGB7,0011,70 g/dL12,00-16,00
HCT 25,10 17,00%36,00-49,00
MCV60,40 86,10fL78,00-102,00
MCH16,9059,50Pg25,00-35,00
MCHC28,0069,10g/dL25,00-35,00
RDW15,1017,60%11,60-18,70
PLT661,90161,90X103/L140,00-440,00
&RETIC1,83
#RETIC73,40
#CHr20,50
11/11/2012ParameterHasilSatuanNilai RujukanRemarks
Fe36,09g/dL40,00-100,00rendah
TIBC265,52g/dL100,00-400,00
Feritin660,23Ng/ml30,00-400,00tinggi
LCS
ParameterHasil (11/11)Hasil (16/11)SatuanNilai Rujukan
Glukosa11,0073,40mg/ L50,00-75,00
N-TP263,00 20,50ng/dL15-45
a. Nonne+2negatif
b. Pandy+2negatif
c. Cell
- Mono
- Poly140
26
74/mm3
%
%--
--
--
Makroskopis
- Warna
- Bekuan
- DarahJernih
-
--
-
-
Mikroskopis
- Eritrosit
- Bentuk-
-/lp
12 November 2012ParameterHasil satuanNilai Rujukan Remarks
PT13,90detik< 2 detik dgn kontrol
INR1,179-0,90-1,10Tinggi
Kontrol PT14,10detik
APTT29,50detik 38oC
- Kenalog in oralbase cream (dioles 3x/ hari) di tempat
sariawanIX MONITORTanda vitalFOLLOW UP PENDERITA DI RUANGAN
TGLSOAP
22/9/2004Kejang (-)St Present
-Ku: Tampak lemas -Kes: iritabel
-HR:124X/mnt, -RR:56X/mnt dangkal, ireguler
-T( ax : 37,50C
St. Generalis
-Kepala : N cephali, UUB:datar -Mata: an (+), ikt(-) Rp +/+
isokor.doll eye movment (+), nistagmus (-), deviation conjugee
(-)
-THT:NCH(-), cyan(-) -Leher : KK (+), PK (-)
-Thoraks :Co/po dbn
-Abdomen :Distensi (-), BU (+) N, H/L ttb,
-Ext : Akral hangat (+), cyan (-) Kernig dan brudzinski (-)
Susp. Meningitis bakteri + anemia-IVFD Dext 10 % 20 tetes m /
menit
-Ampicilin 6 x 325 mg
-Cefotaxim 3 x 325 mg
-Luminal 2 x 13 mg
-Dexametason inj. 3 x 1mg
-Mx/ VS, kesadaran, kejang
-Pdx/ blood smear, reticulosit count, konsul THT
23/9/2004Kejang (-) St Present
-Ku: Tampak lemas -Kes: iritabel
-HR:164X/mnt, -RR:64X/mnt
-T( ax : 37,50C
St Generalis idem
Lab DL: WBC: 13,0 HB: 8,64 HCT: 24,7 PLT: 438, Blood smear
normokromik, normositik, anisositosisSusp. Meningitis bakteri +
anemia-Kebutuhan cairan = 520 cc/ hari
-IVFD Dext 10 % 250cc/hr =10 tetes m / menit, sisanya 270cc
lewat oral (ASI/PASI 25CC/2jam)
-Ampicilin 6 x 325 mg
-Cefotaxim 3 x 325 mg
-Luminal 2 x 13 mg
-Dexametason inj. 3 x 1mg
-Mx/ VS, kesadaran, kejang
Pdx/ LP
24/9/2004Kejang (-) minum ASI (+) kuatSt Present
-Ku:Sedang -Kes: CM
-HR:120X/mnt, -RR:30X/mnt
-T( ax : 37 0C
St Generalis
Jawaban THT : tidak didapatkan kelainan dibidang THT Meningitis
bakteri Idem
25/9/2004Kejang (-)Idem
LP = agak keruh, NONE: (-), PANDY: + 1, leukosit: 342, PMN:
29%,MN:71%, Eri:0-1/LPB,Tot prot. 114, glu : 13. Meningitis
bakteriIdem
LP = Jernih, tunggu hasil dari quantum
26/9/2004Kejang (-)idemidemidem
27/9/2004Kejang (-)idemidemIVFD D 5% Saline 10 tetes/ menit ,
yang lain idem
28/9/2004Kejang (-)Kes : iritabel N: 136X/menit, R: 56x/menit,
T( ax: 36,6 (CidemIdem
29/9/2004Kejang (-)Idem KK: (IdemIdem, Luminal stop
30/9/2004Kejang (-) IdemidemIdem, Dexametason 2 x 1mg
1/10/2004Kejang (-)IdemidemIdem, Dexametason 1 x 1mg
2/10/2004idemIdemidemIdem,ASI/PASI on demand
3/10/2004idemIdemidemidem
4/10/2004idemIdem, KK (-)idemIdem, dexametason stop
5/10/2004idemIdem, DL : WBC : 13,6 HB: 9,43 HCT : 27,4 % PLT:
327idemidem
6/10/2004Panas (+) Idem, T( ax:
37,7(C
LP: bening, jernih, NONE (-) PANDY (-), Leukosit 109, PMN: 73%
MN: 27% Eri: 2-3/LPB, Tot Prot: 84 Glu: 22idemIdem, Paracetamol 3 x
0,5 cc drip KP, Lakukan LP
7/10/2004idemidemidemidem
8/10/2004Idem, panas (-)idemidemidem
9/10/2004Idem idemidemidem
10/10/2004 Panas (+)Idem, T( ax:
38 (C
idemIdem, paracetamol 3 x 0,5 cc
11/10/2004idemIdem, T( ax:
38,8 (C
idemIdem
Cek DL
12/10/2004Kejang (-) Panas (-)-Ku: baik Kes: CM
T( ax:
36,4 (C
IdemIdem, Usul BPL besok ,
13/10/2004Panas (+)Idem, T( ax:
37,6 (C
idemInfus stop, antibiotika oral = Clabat 3 x Cth , paracetamol
3 x 0,5 cc ASI on demand
14/10/2004Panas (+) naik turunidemidemIdem
15/10/2004idemidemidemIdem, LP hari ini
16/10/2004Panas (-)Idem, LP = NONE: +3 PANDY: +3 Leukosit 247,
PMN 100%, Glu: 26idemidem
17/10/2004idemIdemidemIdem
18/10/2004idemIdem, LP = Bening,jernih NONE : +1 PANDY: +1
Leukosit : 168, PMN: 67%, MN: 33% Eri : 2-4/LPB Tot Prot: 146 Glu:
24idemIdem
19/10/2004idemidemidemIVFD D 5% 10 tetes/ menit, paracetamol 3 x
0,5 cc KP, ASI on demand
20/10/2004IdemidemidemIdem, Kalpicilin 6 x 325 mg, Cefotaxim 3 x
325 mg, Sanvita B Syrup.
Pulang paksa karena mau dirawat di rumah