REFERAT RHINORRHEA Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok RSUP PERSAHABATAN Disusun oleh : ANDYA YUDHI WIRAWAN 1410221008 Pembimbing : dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL dr. Yulvina, Sp.THT-KL
REFERAT
RHINORRHEA
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok
RSUP PERSAHABATAN
Disusun oleh :
ANDYA YUDHI WIRAWAN
1410221008
Pembimbing :
dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL
dr. Yulvina, Sp.THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
REFERAT
RHINORRHEA
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Disusun Oleh:ANDYA YUDHI WIRAWAN
1410221008
Mengesahkan:
Koordinator Pendidikan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Ketua Wakil
dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL dr. Yulvina,Sp.THT-KL
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan yang berjudul
“RHINORRHEA”. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok di
RSUP Persahabatan.
Penyusunan laporan ini dapat terselesaikan tak lepas dari pihak-pihak yang
telah banyak membantu penulis dalam merampungkan laporan ini. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL selaku koordinator pendidikan di SMF
Telinga Hidung dan Tenggorok RSUP Persahabatan dan dr. Yulvina,
Sp.THT-KL selaku wakil koordinator pendidikan di SMF Telinga Hidung
dan Tenggorok RSUP Persahabatan atas bimbingan dan kesabarannya
selama selama penulis menempuh pendidikan di kepaniteraan klinik.
2. Dokter-dokter Spesialis THT di SMF Telinga Hidung Tenggorok RSUP
Persahabatan atas kesabaran dan bimbingannya selama penulis menempuh
pendidikan di kepaniteraan klinik.
3. Para staf medis dan non-medis yang bertugas di SMF Telinga Hidung
Tenggorok RSUP Persahabatan atas bantuannya untuk penulis.
4. Teman-teman seperjuangan di kepaniteraan klinik Telinga Hidung dan
Tenggorok.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang dapat membangun laporan ini kedepannya sangat
penulis harapkan demi perbaikan materi penulisan dan menambah wawasan
penulis.
Jakarta, Januari 2015
3
Penulis
BAB I
Pendahuluan
I.1. Latar belakang
Hidung terletak di pusat 1/3 tengah wajah, perubahan faal hidung
menimbulkan rangkaian gangguan mulai dari ketidaknyamanan dan penyakit
ringan yang berlangsung sementara, seperti infeksi saluran pernapasan atas hingga
gangguan yang dapat mengancam jiwa seperti atresia koana pada neonatus.
Gejala penyakit hidung dapat lokal maupun sistemik. Gejala gejala lokal
dapat berupa Rinorrhea, kongestif, perdarahan, nyeri anosmia atau perubahan
penghidu lain serta sekret post-nasal. Penyakit sistemik dapat bermanifestasi
dengan gejala dan perubahan jaringan hidung yang nyata.
Berdasarkan teori struktural, evolusioner dan fungsional, secara fisiologi
hidung dan sinus paranasal memiliki fungsi diantaranya; fungsi respirasi,
penghidu, fonetik serta fungsi statik dan mekanik dan refleks nasal. Fungsi
tersebut dapat mengalami gangguan apabila terjadi kerusakan atau ada sumbatan
pada hidung. Keluhan berupa keluar cairan dari hidung merupakan keluhan yang
pernah dirasakan oleh setiap orang dan bisa disertai dengan gejala lain. Rinorrhea
bukanlah suatu penyaki tetapi merupakan suatu gejala yang ditimbulkan dari
penyakit tertentu. Ada beberapa penyakit yang memiliki gejala berupa Rinorrhea
atau keluarnya cairan dari dalam hidung. Bisa penyakit peradangan, massa,
trauma dan lainnya
I.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini yaitu:
1. Sebagai pra-syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di SMF RSUP
Persahabatan, Jakarta.
2. Menambah ilmu dan wawasan serta membuka pikiran tentang ilmu
kesehatan telinga hidung dan tenggorok khususnya cairan atau sekret
yang keluar dari hidung.
4
BAB II
Tinjauan Pustaka
II.1. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian
lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar
dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan
bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu:
1. Paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan
2. Di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
3. Paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang
dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal
hidung dan menyatu dengan dahi. Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu
diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum.
Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini
bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah
yang disebut filtrum, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah
inferior oleh dasar hidung
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media dan konka inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil
lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka
6
suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan
celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat
muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid.
Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai
infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilla merupakan sinus
paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus
zigomatikus os maksilla.
Gambar 3. Sinus Paranasal
7
Pendarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
Gambar 4. Pendarahan Hidung
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis.
8
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus.
Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan
cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus
etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan
memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis
anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan
lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.
9
II.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, evolusioner dan fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Respirasi
Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaringg udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
2. Penghidu
Terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu.
3. Fonetik
Untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang.
4. Statik dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas
5. Refleks nasal
Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk hidung menuju sistem respirasi melalu nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius.
Fungsi pengaturan suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh:
1. Rambut (vibrissae)
2. Silia
10
3. Palut lendir
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
lebih besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
Fungsi Penghidu
Bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecapan adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti. Juga
untuk membedakan rasa asam.
Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
II.3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (respiratori) dan mukosa penghidu (olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang bersilia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak
11
bersilia. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal
dan selreseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.
Dalam keadaan normal, mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pda anyaman
kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini
membuka ke rongga sinusoid vena yang besar dan dindingnya dilapisi oleh
aringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya, sinusoid memiliki otot
sfingter. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang
lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai
jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.
II.4. Sistem Transpor Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersamau udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenar seromusinosa submukosa.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian
dari permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan
cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease dan IgA
sekretorik.
12
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal
yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme
dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas,
sedagkan IgG beraksi dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika
terpajan dengan antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret
sepanang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus
membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah.
Setingi ostium, sekret akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk
mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang
ringan tidak akan menghentikan atau mengubah transport dan sekret akan
melewati mukosa yang yang rusak tersebut. Jika sekret lebih kental, sekret akan
terhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus
frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan
pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus
atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.
Terdapat dua rute besar transport mukosilier pada dinding lateral:
1. Merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekretnya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan
menuju tepi prosesus unsinatus, dan sepanjangn dinding medial konka
inferior menuju nasofaring melewati bagian anterior orifisium tuba
eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan
skuamosa di nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan
gaya gravitasi dan proses menelan.
2. Merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian
postero-superior orifisium tuba eustachius.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung
dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret dari
13
septum akan berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke
belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius.
II.5. Rhinorrhea
Berasal dari kombinasi bahasa Yunani ‘rhinos’ yang berarti hidung dan
‘rrhea’ yang berarti aliran atau pembuangan atau pengeluaran. Rinorrhea dapat
didefinisikan sebagai keluarnya cairan dari hidung atau sering disebut pilek.
Sering muncul dari alergi atau penyakit tertentu dan menjadi gejala umum dalam
demam atau common cold. Hal ini dapat menjadi suatu efek dari menangis,
paparan suhu dingin, penyalahgunaan obat seperti opioid.
II.5.1 Tanda dan Gejala
Meskipun pilek itu sendiri merupakan gejala penyakit infeksi, alergi, iritasi
atau jenis peradangan hidung, namun masih ada beberapa gejala lain selain pilek
itu sendiri. Selain keluarnya cairan dari mukosa hidung yang bisa saja berwarna
jernih, kekuningan, kehijauan atau kecoklatan yang dapat menjadi salah satu
pertanda dari suatu penyakit.
Biasanya pilek juga disertai dengan kongesti di mukosa hidung sinusitis,
bersin, sakit kepala, menggigil, hilang kesadaran, sakit tenggorokan, demam,
epistaksis, gangguan pernapasan. Bisa juga menderita batuk ataupun malaise.
II.5.2 Etiologi
Rhinorrhea adalah suatu kondisi yang tidak bisa dihubungkan hanya dengan
satu penyebab tapi berbagai penyebab.
a. Alergi
Dipicu oleh alergen atau suatu benda asing yang masuk ke dalam hidung
melalui udara dan debu.
b. Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri dapat memicu rhinorrhea. Agen tersebut
yang bertanggung jawab dalam ISPA.
14
c. Bahan Iritan
Bahan iritan seperti penghilang cat kuku, cat, sampah, asap dan debu.
d. Makanan pedas
Makanan yang pedas atau kaya akan rasa pedas di dalamnya terdapat
sebuah senyawa kimia capsaicin atau sejenisnya dapat menyebabkan
inflamasi jaringan hidung yang menyebabkan keluarnya cairan mukosa
yang cair.
e. Cedera kepala
Cedera yang mengenai kepala atau otak juga dapat menyebabkan
Rinnorhea. Sebagai contohnya pada fraktur basis cranii yang menjadi
alasan utama penyebab cerebrospinal rhinorrhea.
II.5.3 Patofisiologi
Secara histologis, mukosa hidung dilapisi dengan epitel kolumnar yang
bersilia dan mengandung sel goblet serta kelenjar serosa dan mukosa. Apabila
terjadi peradangan, akan terjadi hipersekresi dan kerja silia terganggu. Pada
fraktur basis cranii akan terjadi bocornya cairan serebrospinal yang akan mengalir
ke hidung
II.5.4 Diagnosis
Dalam diagnosis penyakit dengan gejala rinore dilakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik serta penunjang agar tatalaksana dapat dilakukan secara
adekuat.
Gejala pilek adalah awal atau sumber indikasi dari suatu penyakit. Sekret
hidung dari satu atau kedua rongga hidung, konsistensinya sekret, encer, bening
seperti air, kental, nanah atau bercampur darah. Sekret ini keluar hanya pada pagi
hari atau pada waktu-waktu tertentu saja karena sangat penting untuk menentukan
diagnosa dan penatalaksanaannya.
Sekret hidung yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya jernih
hingga purulen. Sekret yang jernih seperti air dan banyak jumlahnya khas untuk
alergi hidung. Bila sekret berwarna kuning kehijauan biasanya berasal dari
sinusitis dan hidung dan bila bercampur darah hanya satu sisi patut dicurigai
15
adanya suatu massa atau tumor hidung. Sekret dari hidung yang turun ke
tenggorok disebut dengan post nasal drip yang kemungkinan berasal dari sinus
paranasal.
Anamnesa yang baik perlu menanyakan onset, progresifitas, karakteristik
cairan, faktor yang memperbaiki dan memperburuk, riwayat trauma, tanda
peradangan, riwayat alergi, pekerjaan, serta riwayat pengobatan.
Pemeriksaan fisik dari rhinorrhea terdiri dari pemeriksaan bagian wajah dan
hidung terutama di daerah sinus maksilaris dan frontalis. Sifat dan warna mukosa
hidung juga dinilai. Periksa hidung, cek aliran udara dari kedua rongga hidung.
Evaluasi ukuran, warna dan kondisi dari mukosa hidung. Apabila mukosa
berwarna merah atau berwarna pucat, biru atau abu-abu maka periksa juga area di
bawah masing-masing turbinate.
Pemeriksaan penunjang seperti smear eosinophil dan prick test yang tepat
serta stain Gram dan kultur bakteri dan jamur, dan foto rongent dari sinus pada
kasus yang dicurigai rhinosinusitis dapat membantu diagnosis pada kasus
rhinorrhea yang menetap.
16
II.5.5 Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Tabel 1. Perbedaan Rhinitis
Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor Rhinitis Medikamentosa
Definisi Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan
alergen tersebut.
Menurut WHO
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE
Keadaan Idiopatik yang
didiagnosa tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan
hormonal, dan pajanan obat.
Kelainan hidung berupa
gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan
pemakaian vasokonstriktor
topikal jangka lama dan
berlebihan menyebabkan
sumbatan hidung menetap.
Penyebab Kontak dengan alergen
Klasifikasi WHO 2001 (Initiative ARIA)
Berdasarkan sifatnya:
1. Intermitten
Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu
2. Persisten
Etiologi dan patofisiologi belum
diketahui dengan pasti namun
ada hipotesis:
1. Neurogenik
2. Neuropeptida
3. Nitrit Oksida
Penggunaan obat
vasokonstriktor topikal jangka
lama dan berlebihan
Gejala > 4 hari/minggu dan > 4 minggu
Derajat:
1. Ringan
Tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktivitas harian, bersantai, olahraga, bekerja, belajar
dan hal lain yang mengganggu
2. Sedang-Berat
Terdapat satu atau lebih gangguan diatas
4. Trauma
Diagnosis Anamnesa:
Bersin berulang (terutama pagi hari)
Kontak dengan debu
Rinore encer dan banyak
Hidung tersumbat
Hhidung dan mata gatal (dapat disertai lakrimasi)
Pemeriksaan Fisik:
Rinoskopi anterior
Mukosa edema
Anamnesa:
Hidung tersumbat,
bergantian kanan dan kiri
Rinore mukoid/serosa
Gejala memburuk pagi hari
waktu bangun tidur
Bersin
Pencetus: rangsangan non
spesifik (asap, bau
menyengat, makanan pedas,
Anamnesa:
Hidung tersumbat terus
menerus dan berair
Pemeriksaan:
Konka hipertrofi/edema
Sekret hidung berlebihan
Pemberian tampon
adrenalin, edema konka
tidak berkurang
18
Basah
Berwarna pucat
Sekret encer yang banyak
Persisten : mukosa inferior tampak hipertrofi
Allergic Shinner
Allergic Salute
Allergic Crease
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
tinggi: gangguang pertumbuhan gigi geligi
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
Dinding lateral faring menebal
Geographic Tongue
Pemeriksaan Penunjang:
Eosinofil meningkat
Serum IgE meningkat (tes RAST atau ELISA)
Sitologi: Eosinofil banyak (alergi inhalan), basofil >
5 sel/lap (alergi makanan), sel PMN (infeksi bakteri
Uji Kulit: SET untuk alergi inhalan, IPDFT untuk
udara dingin)
Pemeriksaan:
Mukosa hidung edema
Konka berwarna merah
gelap/merah tua
Permukaan konka
licin/hipertrofi
Rongga hidung terdapat
sekret mukoid sedikit/serosa
banyak
Penunjang:
Eosinofil jumlah sedikit
Uji Kulit Negatif
IgE normal
19
alergi makanan.
Terapi 1. Menghindari kontak dengan alergen
2. Medikamentosa :
Antihistamin -> AH1
Dekongestan
Kortikosteroid
3. Operatif
Konkotomi parsial
Konkoplasti
4. Immunoterapi
IgG blocking antibody dan penurunan IgE
1. Hindari stimulus
2. Medikamentosa:
dekongestan oral
obat cuci hidung
kauterisasi konka AgNO3
25%
Kortikosteroid
3. Operasi:
Bedah beku
elektrokauter
konkotomi parsial konka
inferior
1. Menghentikan pemakaian
obat tetes/semprot
vasokonstriksi hidung
2. Kortikosteroid jangka pendek
dan dosis Tappering off
3. Dekongestan oral
Tabel 2. Perbedaan Rhinitis (Lanjutan)
20
Penyebab Diagnosis Terapi
Rhinitis
Simpleks
Virus Hidung kering, panas dan gatal
Bersing berulang
Hidung tersumbat
Ingus encer → kental bila infeksi sekunder oleh
bakteri
Demam
Nyeri kepala
1. Istirahat
2. Analgetik
3. Antipiretik
4. Dekongestan
Rhinitis
Hipertrofi
Infeksi Berulang di
hidung/sinus
Lanjutan rinitis
alergi/vasomotor
Sumbatan hidung
Sekret banyak (mukopurulen)
Nyeri kepala
Konka hipertrofi, permukaan berbenjol-benjol
karena mukosa hipertrofi
1. Sesuai penyebab
2. Kauterisasi konka
Rhinitis
Atrofi
infeksi hidung yang kronik Bau napas
Ingus kental berwarna hijau
Krusta hijau
Gangguan penghidu
Sakit kepala
Hidung tersumbat
1. pemberian antibiotik
spektrum luas
2. obat cuci hidung
operatif
FESS
21
Rongga hidung lapang
Konka inferior dan media bisa hipertrofi atau atrofi
Rhinitis
Difteri
Corynebacterium Difetria Demam, toksikemia, limfadenitis, pralisi
Ingus bercampur darah
Pseudomembran putih, krusta coklat di nares dan
cavum nasi
1. Isolasi
2. ADS
3. Penisilin lokal dan
intramuskuler
Rhinitis
TB
M. Tuberculosis Hidung tersumbat
Sekret mukopurulen
BTA (+)
1. OAT
2. Obat cuci hidung
Rhinitis
Sifilis
Treponema pallidum Sama dengan rinitis akut lain
Bercak pada mukosa (gumma/ulkus)
Sekret mukopurulen berbau + krusta, perforasi
septum/hidung pelana
1. Penisilin
2. Obat cuci hidung
Rhinitis
Jamur
Dapat terjadi bersama dengan
sinusitis dan bersifat invasif
atau non-invasif
(Aspergillus, Candida,
Histoplasma, Fussarium dan
Mucor)
non-invasif
menyerupai rinolit (gumpalan jamur) dengan
inflamasi mukosa yang lebih berat
tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang
invasif
non-invasif
angkat seluruh gumpalan jamur
invasif
1. eradikasi penyebab dengan
anti jamur oral dan topikal
22
ditemukannya hifa jamur di lamina propria
perforasi septum atau hidung pelana
sekret mukopurulen
ulkus atau perforasi pada septum dan disertai
dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman
(Black Eschar)
2. cuci hidung
3. dioles dengan gentian violet
4. debridement seluruh
jaringan yang nekrotik
Tabel 3. Perbedaan Sinusitis
23
Sinusitis
Akut Sub Akut Kronik
Waktu 0 – 4 minggu 4 minggu – 3 bulan > 3 bulan
Patologi Penyumbatan kompleks
osteomeatal oleh infeksi,
obstruksi mekanis, alergi
mukosa reversibel
Sama dengan sinusitis akut Silia rusak → Perubahan
mukosa hidung → ireversibel,
kerusakan silia
Anamnesis hidung tersumbat
nyeri daerah sinus
nyeri alih →
maksila: kelopak mata, gigi,
dahi, depan telinga
etmoid: pangkal hidung,
bola mata, pelipis
frontal: dahi, kepala
sfenoid: verteks, oksipital,
belakang bola mata,
mastoid
Sama dengan sinusitis akut tapi
tanda radang akutnya mereda
Sekret di hidung
Post nasal drip
Rasa tidak nyaman, gatal di
tenggorok
Pendengaran terganggu
Nyeri kepala
Gangguan di mata
Batuk
Gejala saluran cerna akibat
mukopus tertelan
24
demam, lesu
Ingus kental, berbau
Pemeriksaan bengkak daerah
muka/pipi/kelopak mata
mukosa konka edema
hiperemis
post nasal drip
transluminasi (+)
air fluid level
Sama dengan sinusitis akut tapi
tanda radang akutnya mereda
Tidak seberat sinusitis akut
bengkak wajah (-)
sekret kental purulen
post nasal drip
Terapi 1. Antibiotik
2. Dekongestan lokal tetes
hidung
3. Analgetik
1. Antibiotik spektrum luas
2. Dekongestan lokal tetes hidung
3. Analgetik
4. Antihistamin
5. Mukolitik
6. diatermi
7. Pungsi irigasi
1. Antibiotik
2. Dekongestan lokal
3. Analgetik
4. Diatermi
5. Pungsi dan irigasi sinus
6. Operasi radikal
CWL, BSEF
25
II.5.6 Rhinorrhea akibat cairan serebrospinal
Rinorea Cairan Serebrospinal (RCS) adalah suatu keadaan adanya hubungan
yang tidak normal antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung.
Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya semua pertahanan yang
memisahkan antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung, yang ditandai
dengan adanya pembukaan pada arachnoid, dura dan tulang, yang merupakan
jalan keluar cairan serebrospinal (CSS) ke rongga hidung
Anamnesis yang lengkap merupakan langkah pertama dalam membuat
diagnosis kebocoran CSS. Gejala utama rinore CSS adalah adanya cairan bening
yang mengalir dari hidung. Pada kasus trauma, lebih kurang 55 % kasus rinore
CSS muncul dalam 48 jam setelah trauma, menjadi 70% pada akhir minggu
pertama ketika edema yang menghambat aliran kebocoran CSS menghilang.
Hiposmia atau anosmia merupakan keluhan tambahan lainnya yang terjadi
pada 60% - 80% kasus rinore CSS sebagai akibat kerusakan saraf olfaktori akibat
fraktur fossa kribriformis
Terapi
Penatalaksanaan konservatif pada rinore CSS dapat berupa istirahat di
tempat tidur dengan meninggikan kepala 15-30 derajat, sehingga mengurangi
jumlah cairan CSS yang keluar. Mencegah timbulnya batuk, bersin, nasal blowing
dan mengejan. Pencahar diberikan untuk mencegah mengejan. Disamping itu juga
diberikan antitusif dan antiemetik. Apabila tidak terdapat perbaikan dalam 72 jam,
drainase lumbal kontinu berulang dilakukan untuk empat hari berikutnya untuk
mengeluarkan CSS 150 ml/hari
Tindakan operasi pada rinore CSS dapat dibedakan atas pendekatan
intrakranial dan ekstrakranial, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-
masing. Pemilihan pendekatan tergantung pada penyebab kebocoran, lokasi
kebocoran, adanya peningkatan tekanan intrakranial dan adanya ensefalokel.
Pendekatan intrakranial memerlukan kraniotomi dapat berupa kraniotomi
frontal atau kraniotomi fossa media. Pendekatan ini cenderung dengan morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi serta perawatan yang lebih lama. Di samping itu
anosmia merupakan komplikasi yang sering pada tindakan kraniotomi akibat
cedera terhadap saraf olfaktori yang tidak dapat dihindari. Kelebihan pendekatan
ini adalah dapat melakukan penutupan defek pada dura secara rapat dan
penutupan kebocoran multipel.
Pendekatan intrakranial selanjutnya dibedakan atas ekstradural dan
intradural. Pada pendekatan ekstradural otak terhindar dari regangan saat
tindakan, berbeda dengan pendekatan intradural, meskipun memberikan lapangan
pandang yang lebih baik, namun tindakan ini menyebabkan otak terpapar
sehingga risiko terjadinya infeksi lebih tinggi. Pada kedua tindakan ini dilakukan
pengeluaran CSS melalui drain lumbal untuk beberapa hari pasca operasi sampai
diperkirakan edema otak menghilang.
27
BAB III
Kesimpulan
Rhinorrhea merupakan cairan atau sekret yang keluar dari hidung. Sekret
atau cairan yang keluar bias bersifat serosa, mukopurulen, ataupun darah.
Rhinorrhea sendiri bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu
penyakit. Oleh karena itu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang cermat dan teliti penting dilakukan guna membantu menegakkan
diagnosa kelainan yang mendasari rhinorrhea. Terapi yang adekuat juga
diperlukan guna menurunkan angka kekambuhan yang disebabkan oleh penyakit-
penyakit yang mendasari rhinorrhea serta komplikasinya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams,
Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor,
Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC.
Akshay. 2011. Rhinorrhea – Definition, Symptoms, Causes, Diagnosis and
Treatment. cited from: http://www.primehealthchannel.com/rhinorrhea-
definition-symptoms-causes-diagnosis-and-treatment.html.
Hall J. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC
Moore. Anatomi Klinis
Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia.
www.google.com