Referat Carcinoma Nasofaring Oleh : Nama : Muhammad Nauval NIM : H1A 007 042 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN
Referat
Carcinoma Nasofaring
Oleh :
Nama : Muhammad Nauval
NIM : H1A 007 042
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang bertumbuh (berawal) dari mukosa
nasofaring, dimana terdapat bukti adanya differensiasi skuamosa baik secara mikroskopik
atau ultrastruktural (WHO, 2005)
Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan 38.000
kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005). Sedangkan di Indonesia,
frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60
kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit
Tinggi (Adham, 2007)
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia. Dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa
Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid
berubah menjadi epitel skuamosa. (Adham, 2007) .
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data
patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976)
diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan
127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma
nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di
seluruh Indonesia. (Adham, 2007)
BAB II
ANATOMI
FARING
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat
pada bagian tengan faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada
dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran
napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams, 1997).
Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan
di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas
belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius ( Ballenger, 1997).
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams dalam
Adams et al, 1997):
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
Koana posterior rongga hidung.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
Batas-batas nasofaring: Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas
ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os
vomer Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara
tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller
BAB III
KARSINOMA NASOFARING
EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair
Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta ditemukan
lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang
25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam
pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari
ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari
penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)
dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964
(MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak
temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam
daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.
KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai
Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di
semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk
Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-
50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer)
tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000
kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak
kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika
utara dan timur (Lu, 2010).
Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF
berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah
insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden
tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan
menurun setelahnya.
Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan
cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan
Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi
epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah
satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)
pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China
town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan
penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan
Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang
masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang
dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’
untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama
di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi
maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang
Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan
konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu
adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi
yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. (Lu.
2010)
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat
people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak
mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti
epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang
dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh
keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000). (Lu.
2010)
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah
mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang
peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi
IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan
tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit
keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa
menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak
cukup untuk menimbulkan proses keganasan. (Lu. 2010)
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)
jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan
dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan
tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok , secara umum resiko
terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).
ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong
merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor
kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF
dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak
dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan
dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. (Lu. 2010)
Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari
pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di Cina selatan,
satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita
tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring
menderita keganasan organ lain. (Lu. 2010)
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu
kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami
(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara
terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB
dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA
( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika
dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan
di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi
cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis) (Lu.
2010).
PATOLOGI
Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang
sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius sehingga
akan menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan cairan di telinga tengah. Di
bagian posterior dinding nasofaring melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah
korpus os sphenoid dan bagian basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin
timbul di tempat-tempat tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring
atau fossa Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum.
Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing
menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke
sinus kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan
kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung karotis/jugularis
pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII. Di
nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral dan bermuara di
kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1997).
Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa
rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan
pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan
yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya.
Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan
diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba
eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid. Jarang
dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran
histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya
ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya
tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor nini
dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke
dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis, atau gejala di leher.
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring
harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala
belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena masih berada
dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)
Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan
gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma
nasofaring (Adham, 2007)
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula
ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih dahulu ke
dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf
jika belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak
disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila
sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini (Adham, 2007).
STADIUM
Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma nasofaring dibagi
menjadi: (Adham, 2007)
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak
N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional
N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar
N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau bilateral yang sudah
melekat dengan jaringan sekitar
M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh
M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
Stadium IV : T4 N0, N1 M0
T1 – T4 N2,N3 M0
T1 – T4 N0 – N3 M1
DIAGNOSIS
Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis karsinoma
nasofaring:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan nasofaring
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa adalah hasil
biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring dilakukan dengan anestesi
topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut:
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut ditaik
dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga palatum molle
tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca laring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut. Tumor akan terlihat lebih jelas
menggunakan nasofaringoskop. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan
hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret di daerah
lateral nasofaring dalam keadaan narkosis. (Wolden, 2001)
4. Pemeriksaan patologi anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO sebelum tahun
1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe diferensiasi
baik, sedang, dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan pada
umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang
prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif, sedangkan jenis
dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada tahun
1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi
2. Karsinoma non-keratinisasi
Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi (WHO,
2005).
4. Pemeriksaan radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis yang
lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang
lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitar.
Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada
umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil
mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa, atau
penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.
Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian tumor
pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001)
o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak
o Posisi basis cranii atau submentoforteks
o Tomogram lateral daerah nasofaring
o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring
CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah kemampuan
untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring. CT Scan mampu
membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak maupun perubahan-
perubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan tumor ke
jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran intracranial (Wolden, 2001).
DIAGNOSIS BANDING
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu
massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti
tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juvenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai
KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto
polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses
dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan
destruksi tulang hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada
pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals
ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis
eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang
sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan
pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan
ruang para faring kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini
dengan KNF.
5. Tumor kelenjarr parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak
dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada
sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang
tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat
KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di
daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical
bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar
tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Menigioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai
KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT
meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat
kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.
TATALAKSANA
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,
karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi
dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan
akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer
didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,
bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan
preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan
memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna
memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius
pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah
memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker
atau pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi
yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit
mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy )
telah digunakan dibeberapa negara maju. (Harry, 2002)
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose
Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa
khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi
granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya
yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.
Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral
kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu
penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih
terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai
4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh
antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap
dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi
sampai sekitar 7000 rad.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis
kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,
sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer
yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla
spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya
diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah. (Harry, 2002)
Dosis radiasi
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu dengan
periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,
“megavoltage”orthovoltage”
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon
dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksi
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar
parotis yang terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
-
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan
sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien
mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi
keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya
bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis
diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi
local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,
anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti
avomit, avopreg. (Harry, 2002)
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh. (Harry, 2002)
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi
menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi)
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah
anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan
rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel
rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel
kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi
oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker. (Wolden, 2001)
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,
yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.
Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal
hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping
pemberian kemoterapi. (Wolden, 2001)
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi
dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien
dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. (Harry, 2001)
Manfaat Kemoradioterapi adalah
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil
terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan
radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa
tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). (Wolden,
2001)
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel
kanker yang sublethal. (Wolden, 2001)
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan
dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal
pemberian. (Harry, 2001)
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single
agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel
kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah
Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi
paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring
yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi..
KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan
kelainan :
Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri
pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.
Ptosis palpebra ( N. III )
Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan
retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,
N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah
N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan saliva
N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum
mole
N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan
fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat
mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %,
sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
PROGNOSIS
Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker. Pada
studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system, menunjukkan angka
harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%, stadium II A-B, 95%,
stadium III 86%, dan stadium IV 73%.
Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terlena berumur lebih
muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang lebih
baik.
Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat menentukan
prognosis dari pasien (WHO, 2005)
PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr
yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko
tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara
massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan
dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.
Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu
(1)Aadanya infeksi EBV,
(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik
Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia.
Pada stadium dini yang diberikan adalah penyinaran dan hasilnya baik.
II. SARAN
Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering
mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang dengar, salit kepala dan
penglihatan dobel. Sebagai gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar limfe
leher dan kelumpuhan saraf otak.
Bila dijumpai gejala seperti yang disebutkan di atas, maka sebaiknya
dilakukan pemeriksaan lengkap sampai karsinoma nasofaring dapat
disingkirkan.
Bagi para penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi
diharapkan melalukan vaksinasi virus EBV.
Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan
terhadap penyakit ini dapat diperbaiki. Sehingga angka kematian dapat
ditekan.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta:
EGC. Hal: 263-271
Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.
Hal:182-187
Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam Ballenger:
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Hal: 1020-1039
Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK
USU,2002.h. 1-11.
Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma
In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical Oncology:
Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-156
World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification Head and Neck
Tumours. Lyon: IARC Press. Available at: www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php
accessed: 19 December 2011.