Angiofibroma Nasofaring I. Definisi Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor fibrovaskular jinak yang jarang, yang berasal dari area superoposterior foramen sfenopalatina. Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan. Tumor ini secara histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis bersifat destruktif. 1,2,5,8 Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga intrakranial. Perluasan ke intrakranial 10-30 % dari semua kasus dengan bagian yang sering dikenai adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media. Secara histopatologis tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat fibrosa dan unsur pembuluh darah. 1,2,5,8 II. Anatomi Rongga faring merupakan kantong fibromuskular yang bentuknya menyerupai corong, yang besar dibagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidug melalui koana, kedepan berhubungan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Angiofibroma Nasofaring
I. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor fibrovaskular jinak yang
jarang, yang berasal dari area superoposterior foramen sfenopalatina.
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan.
Tumor ini secara histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis
bersifat destruktif.1,2,5,8
Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya
dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal,
fossa temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga intrakranial. Perluasan
ke intrakranial 10-30 % dari semua kasus dengan bagian yang sering dikenai
adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media. Secara histopatologis
tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat fibrosa dan unsur
pembuluh darah. 1,2,5,8
II. Anatomi
Rongga faring merupakan kantong fibromuskular yang bentuknya
menyerupai corong, yang besar dibagian atas dan sempit dibagian bawah.
Kantong ini dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidug melalui koana, kedepan berhubungan dengan mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan dengan melalui aditus
laring dan kebawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior
pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Untuk tujuan klinis faring dibagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring.6
Batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah
adalah palatum mole, kedepan adalah rongga hidung sedangkan kebelakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring merupakan bagian dari faring yang berfugsi
untuk respirasi. Nasofaring mendapatkan suplai dari dari arteri faringeal asenden
dan cabang arteri maksila interna. Persarafan nasofaring berasal dari cabang N
IX, N X, dan saraf simpatis.6
1
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut dengan rosenmuller, kantong ratkhe
yang merupakan invaginas struktur embrio6
Gambar 1. Anatomi Nasofaring
III. Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma
nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak
yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada remaja pria
berusia antara 14-25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang
ada di kepala dan leher. Insiden pada usia dewasa sangat jarang ditemukan.
Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien dengan usia lebih dari 25 tahun
hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma nasofaring sedangkan jumlah kasus
di RS M.Djamil Padang bagian THT-KL, Juli 2008 – Desember 2010 berjumlah 9
orang dengan usia antara 13-21 tahun. Umumnya terdapat pada rentang usia 7
sampai dengan 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan
jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring
terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya
antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT. Di RSUP. H. Adam Malik dari
Januari 2001 – Nopember 2002 dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring.1,3
2
IV. Etiologi
Penyebab tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang
mengajukan berbagai macam teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2
golongan yaitu :1,3,5
1. Teori jaringan asal tumbuh
Teori jaringan asal tumbuh pertama kali ditemukan oleh Verneuil
yang diikuti oleh Bensch (1878). Ia menduga bahwa tumor terjadi
akibat pertumbuhan abnormal pada jaringan fibrokartilago embrionik
di daerah oksipital.
Teori yang sampai sekarang banyak dianut, dikemukakan oleh
Neel, yang berpendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah dinding postero-lateral atap rongga hidung,
tempat prossesus sfenoid palatum bertemu dengan ala horizontal dari
vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang sfenoid.
2. Teori Hormonal
Martin dkk pertama kali mengemukakan bahwa diduga
angiofibroma nasofaring merupakan hasil dari ketidakseimbangan
hormonal, yaitu adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen.
Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor
dengan jenis kelamin dan umur serta hambatan pertumbuhan pada
semua penderita angiofibroma nasofaring.
V. Patogenesis
Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa ditepi sebelah posterior dan
lateral koana pada atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluar dibawah
mukosa sepanjang atap nasofaring,mencapai tepi septum dan meluas kearah
bawah membentuk tonjolan masssa diatap rongga hidung posterior. Perluasan
kearah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum kesisi
kontralateral dan memipih konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar
kearah foramen sfenopalatina, masuk kefisura pterigomaksila dan akan mendesak
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan dipipi, dan rasa penuh diwajah.
Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak
3
gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”. Tumor juga dapat
meluas hingga kearah intrakranial
Perluasan kearah intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosum dan fosa hipofise5
VI. Perdarahan
Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama
biasanya berasal dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar
sumber perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor,
arteri meningeal rekuren dan arteri oksipital. Sebagian besar arteri pemasok tumor
ini merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Bila tumor meluas ke fossa
infratemporal, akan mendapatkan perdarahan dari arteri temporalis superfisialis,
arteri fasialis eksterna dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh
ke intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapatkan dari sistem a. karotis
interna.3
Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdarahan hebat,
yang dapat mencapai 2000-3000 cc dalam waktu yang singkat. Perdarahan saat
operasi dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor yang terangkat atau tumor
sudah terdapat di intrakranial. Perdarahan hebat selain mengganggu jalannya
operasi sehingga sulit untuk melihat asal tumor, juga dapat terjadi syok
hipovolemik dan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengurangi perdarahan
hebat, Pandi mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasinya, antara lain:
penggunaan anastesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. karotis eksterna,
terapi hormonal, radiasi, dan tindakan embolisasi preoperasi.3
VII. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan radiologik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologis jaringan tumor pasca operasi, sebaiknya tindakan biopsi
dihindari.3,5,7
4
VIII. Gejala Klinis dan Pemeriksaan fisik
Keluhan paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat yang bersifat
progresif, epistaksis berulang dan rinore kronik. Epistaksis biasanya hebat dan
jarang berhenti spontan. Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia, sefalgia, tuli
konduktif, deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat
menyebabkan sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia, dan
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura
orbitalis superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta
deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa
pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri rahang atas
bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan
businator. Hal tersebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus.
Perluasan tumor ke rongga intra kranial akan menimbulkan gejala neurologis.1,3,5,7
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi poterior maka akan tampak massa
tumor yang memiliki konsistensi kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh
selaput lendir sedangkan bagian yang meluas keluar nasofaring berwarna putih
atau abu-abu.
IX. Histopatologis
Secara makroskopis merupakan tumor yang konsistensinya kenyal keras,
warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Terdapat banyak
pembuluh darah pada mukosa dan tak jarang dijumpai adanya ulserasi. Pada
potongan melintang, tampak tumor tidak berkapsul, berlobus-lobus, tepinya
berbatas tegas, dan mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya.
Secara mikroskopik gambaran daerah vaskuler bervariasi, baik bentuk
maupun ukurannya dalam jaringan fibrosa. Sebagian terdiri dari jaringan
pembuluh darah dengan dinding yang tipis dalam stroma kolagen yang lebih
seluler. Sebagian lagi terdiri dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya,
terletak dalam stroma yang kurang seluler.1
5
Gambar 2 : tampak komponen vaskuler diantara stroma jaringan ikat
X. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologik dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
dan rencana tindakan selanjutnya. Pada pemeriksaan radiologik konvensional
akan terlihat gambaran klasik angiofibroma nasofaring dini. Gambaran ini di
sebut sebagai tanda “Holman Miller”. Dari pemeriksaan ini juga akan terlihat
adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring, atau erosi dinding orbita, arkus
zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.1,3,8
Pada pemeriksaan CT-Scan dengan potongan koronal dan aksial, akan
memberikan gambaran yang lebih jelas. Dengan pemeriksaan ini diketahui lokasi
tumor dan perluasaan ke struktur sekitarnya serta melihat adanya invasi ke
tulang.8
Gambar 3 : CT Scan JNA : a. Potongan koronal, b. Potongan aksial
6
Pemeriksaan magnetik resonance imaging dapat dilakukan dan bermanfaat
untuk melihat perluasan tumor ke intrakaranial dan hubungannya dengan
pembuluh darah utama serta struktur neurologik disekitarnya.8
Gambar 4 . MRI JNA : potongan koronal
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan gambaran
yang khas yaitu :
1. Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat
pertumbuhan tumor dari nasofaring ke arah fossa pterigomaksila.
2. Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan.
Pemeriksaan angiografi bertujuan untuk melihat pembuluh darah
pemasok utama, mengevaluasi besar dan perluasan serta residu tumor.
Suplai darah dapat dari kedua sisi leher.
XI. Stadium Tumor
Sistem penderajatan angiofibroma nasofaring pertama kali dikemukakan
oleh Sessions dkk, lalu dimodifikasi oleh Fisch dan Chandler.1,2,3,5,7,8
Klasifikasi menurut Session adalah :
1. Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau
nasofaringeal voult.
2. Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau
nasofaringeal voult dengan meluas setidaknya satu sinus paranasal.
7
3. Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.
4. Stadium IIB : Tumor memenuhi pterigomaksila tanpa mengerosi
tulang orbita.
5. Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas
sedikit ke intrakranial.
6. Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau
tanpa meluas ke sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:
1. Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa
mendestruksi tulang.
2. Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus
paranasal dengan destruksi tulang.
3. Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan
atau regio paraselar.
4. Stadium IV : Tumor menginvasi tumor kavernosus, regio kiasma
optik dan atau fossa pitultary.
Chandler seperti dikutip oleh Ungkanont membagi penderajatan tersebut
menjadi sebagai berikut:
1. Stadium I : Tumor terbatas di nasofaring
2. Stadium II : Meluas ke kavum nasi dan atau sinus sfenoid.
3. Stadium III : Meluas ke salah satu atau lebih sinus maksila dan
etmoid, fossa pterigomaksila dan infratemporal, orbita dan atau
pipi
4. Stadium IV : Meluas ke rongga intra kranial.
XII. Penatalaksanaan
Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini.
Penatalaksanaan tumor ini yaitu:3,5
1. Operasi
Operasi merupakan pilihan utama, pada penatalaksanaan
angiofibroma nasofaring. Operasi sebaiknya dilakukan di rumah skit
dengan fasilitas cukup. Beberapa pendekatan dapat dilakukan sesuai
dengan lokasi tumor, luas penyebara tumor, vaskularisasi,
8
keberhasilan embolisasi dan ketermpilan operator. Terdapat beberapa
pendekatan operasi seperti transpalatal (pendekatan trasnpalatal,
transpalatal dengan ekstensi sublabial) transmaksila (rhinotomi
lateral/maksilektomi medial, pendekatan osteotomi Le Fort I,