REFERAT JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA Disusun oleh : Daksa Pradhana 030.03.051 Pembimbing : Dr. Anna Maria S Sp.THT Kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Periode 8 Juni – 11 Juli 2009 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2009 [Type text]
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFERAT
JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA
Disusun oleh :Daksa Pradhana 030.03.051
Pembimbing :Dr. Anna Maria S Sp.THT
Kepaniteraan klinik ilmu penyakit THTRumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Periode 8 Juni – 11 Juli 2009FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan
bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang
terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19
tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien
lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani
pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan.
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring,
tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Insiden dari
angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur
Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap
tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and
Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976)
mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and
Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London
dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi
JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada
eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik.
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi belum ada
yang benar-benar bisa menjelaskan dengan baik.
BAB II
ANATOMI NASOFARING
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 5
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus,
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu
jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial
glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan
arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian
lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
BAB III
JUVENILE NASOPHARYNGEAL ANGIOFIBROMA
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 6
ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan.
Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid-
stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh
hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang
terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak bukti memperlihatkan
secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA),
reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini
secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada
angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan
mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma
nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan studi imunositokimia
menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus
endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3%
positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil membuktikan
langsung adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau
faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk
inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan
dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi
angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan
pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor
gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1) yang biasa terdapat pada sel manusia dan
mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor terhadap antioksidan biasanya gen ini
menghilang pada para perokok. Hilangnya GSTM1 memicu keganasan pada traktus
respiratorius bagian atas. Gautham dkk menyelidiki hubungan perubahan pada
GSTM1 pada pasien non perokok yang menderita JNA. Hasilnya menunjukkan tiga
dari delapan pasien tidak menunjukkan tidak terdapatnya GSTM1.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 7
Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein perangsang
pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII ditemukan bersamaan
dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga
membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan tumor JNA.
Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar
adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi
autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus
gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-
keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP
ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada
pasien dengan sindrom ini.
Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa dekade
yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomopato;ogik masih sedikit
penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan penelitian
tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan atau tidak
menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang tumor
tersebut.
LOKASI
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar
nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul
dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring
dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus
maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.
PATOLOGI
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak
agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari
merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau
abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa
padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi.
Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari
endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus,
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 8
pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma,
menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid,
jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara
lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan
seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas,
mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis
tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin
padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Gambar 1. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang besar, tidak
bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam nasofaring.
JNA juga dapat berbentuk bertangkai (pedunculated) atau polypoid
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 9
Gambar 2. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit berbentuk
bintang (tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah berdinding tipis
(tanda panah)
PATOFISIOLOGI
Menurut Mansfield E (2006) , asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-
lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina
dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya
area jaringan endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak
dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 10
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina.
Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-
shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya
meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya
ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung
terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi
(eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika
tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding
posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid)
dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus
optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada
pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit
melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika
dibandingkan dengan JNA.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna
darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini,
biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke
rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 11
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi
(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya
sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye
pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut
(swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan
rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal
posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak
bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di
hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging
palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa
mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya
disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata
(orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata
menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga
terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun
hal ini jarang terjadi.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 12
Gambar 3. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan bagian
tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang
(mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang
berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun
mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal.
Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan.
Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak klinisi yang
merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi JNA dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring
juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun
didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut
dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa,
seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan,
biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 13
Pemeriksaa Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.
Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina
membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring
yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di sekitar nasofaring.
CT SCAN dan MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar,
atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi
JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan
keganasan yang lain. Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan dan
MRI dan aliran vaskulerdalam lesi akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran
pembesaran yang hampir homogen dari lesi ini membedakannya dengan massa
vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk membedakan dengan
gambaran jaringan lunak homogen lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa
hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Slain itu CT scan dan MRI apat
menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari
keterlibatanintrakranial.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 14
Gambar 4a (atas kiri). CT scan coronal dari lesi yang mengisi rongga hidung kiri dan sinus ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi ke kanan.
Gambar 4b (atas kanan). CT scan axial yang menutuprongga hidung kanan dan sinus paranasal
Gambar 4c (bawah). CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus kavernosus.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 15
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi
ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris
interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya
penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya
gagal.
Gambar 5. Gambaran angiogram JNA
STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang
terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging
System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk mengeluarkan JNA,
Chandler dkk merekomendasikan sistem stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC :
Stadium I : Tumor di nasofaring.
Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring
dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa
erosi superior dari tulang-tulang orbita.
Referat Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 16
Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial