1 JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I PENDAHULUAN Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa prapubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral. 1,2 Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif, mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar. 3,4 Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis, penentuan stadium dan penatalaksanaan juvenile angiofibroma nasofaring. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun arteriografi. Gambaran radiologi yang khas adalah adanya massa di nasofaring, destruksi tulang, dengan gambaran bowing di dinding posterior sinus maksilaris (Hofman-Miller sign), yang pada pemberian kontras tampak penyangatan kuat dan homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding vessel dari tumor, dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik. 4,5 Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pembedahan. Tetapi, pembedahan sendiri mempunyai risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor. 1,3
28
Embed
JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING
BAB I
PENDAHULUAN
Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan
gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas mengenai
remaja laki-laki pada masa prapubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis berulang
dan sumbatan hidung unilateral.1,2
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi
merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk
tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif,
mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang
tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar.3,4
Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis, penentuan
stadium dan penatalaksanaan juvenile angiofibroma nasofaring. Pemeriksaan radiologi dapat
dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun arteriografi. Gambaran radiologi yang
khas adalah adanya massa di nasofaring, destruksi tulang, dengan gambaran bowing di
dinding posterior sinus maksilaris (Hofman-Miller sign), yang pada pemberian kontras
tampak penyangatan kuat dan homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding
vessel dari tumor, dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik.4,5
Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pembedahan. Tetapi,
pembedahan sendiri mempunyai risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi
tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi
kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi
komplikasi dan meminimalkan residu tumor.1,3
2
Latar belakang diangkatnya kasus ini karena juvenile angiofibroma nasofaring
merupakan kasus yang jarang, dengan tujuan agar ahli radiologi dapat mempelajari aspek-
aspek penegakan diagnosa juvenile angiofibroma nasofaring, terutama dari modalitas
arteriografi dan penatalaksanaannya dengan embolisasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler. Secara histologi,
juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudokapsuler yang ditandai dengan komponen
vaskular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah dengan kaliber berbeda yang
menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas. Pembuluh darah mempunyai
dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan serabut elastis, memiliki lapisan otot yang tidak
lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi perdarahan. Angiofibroma di luar
nasofaring sangat jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua dan banyak pada
wanita, namun tumor kurang berifat vaskuler dan kurang agresif daripada juvenile
angiofibroma nasofaring.1,2,6
B. Patofisiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan mengenai
fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang
dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.7,8
Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa,
tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan menginvasi tulang cancellous
basisphenoid, sehingga pola penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina,
tumor tumbuh ke medial ke dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi
kontralateral. Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan
infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar dengan gambaran khas
pergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris, sampai berhubungan dengan otot
4
mastikator dan jaringan lunak pipi. Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis
interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita
melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi jika fissura
orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui dua mekanisme utama
yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan aktivasi osteoklast atau (2) langsung
tersebar di sepanjang arteri perforanates ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus.
Perluasan ke posterior berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya
dengan erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran
fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke intrakranial.1,6,9
C. Anatomi
Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris yang terletak
tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior maksilla. Batas
medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini penting karena
menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi penyebaran patologi diantara
mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui bagian
posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi
superior, menghubungkannya dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa
pterigopalatina berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa
pterigopalatina berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada
pelat tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina
mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla. Fossa pterigopalatina
berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen rotundum
dan ke dalam orbita melalui fissura orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi
segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan
5
memberikan dari cabang ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung,
palatum dan faring.10
Arteri karotis eksternal biasanya muncul pada setinggi vertebra servikalis ke tiga
(VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri karotis eksterna
⁻ Ventrikel lateralis sinistra, tertius dan kuadratus tak lebar/sempit
⁻ Air celluale mastoidea normodens
⁻ Tak tampak soft tissue swelling ekstrakranial
Kesan :
⁻ Massa nasofaring bilateral, yang meluas ke kavum nasi sinistra dan mendestruksi septum
nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya,
mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra.
⁻ Oedema cerebri, susp brain metastase.
26
Gambar 11. Pemeriksaan arteriografi dan embolisasi. Dilakukan pemeriksaan arteriografi karotis eksterna sinistra pada pasien dengan klinis suspek angiofibroma di cavum nasi, dengan teknik Seldinger, melalui a. femoralis dekstra. Pasien ditidurkan diatas bed cathlab, dilakukan tindakan aseptik antiseptik di daerah inguinal dekstra dengan betadin. Kemudian os ditutup dengan duk steril dari dada sampai kaki, kecuali daerah inguinal dekstra. Dilakukan pungsi a. femoralis dekstra dengan abbocath 18. Kemudian setelah darah memancar keluar, mandrin ditarik keluar digantikan dengan guide wire pendek, dilakukan cek fluoroskopi, guide wire masuk sampai bifurkasio aorta. Abbocath dilepas digantikan dengan introducer sheet, setelah masuk, guide wire dan introducer dilepas bersamaan, sehingga tinggal sheet-nya yang terpasang. Kemudian dimasukkan kateter vertebra no. 5F yang didalamnya sudah ada guide wire dimasukkan menuju a. karotis eksterna sinistra. Dimasukkan bahan kontras. Tampak kontras mengisi a. karotis eksterna sinistra sampai berlanjut ke a. maksilaris interna sinistra, tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris sinistra dan nasofaring sinistra. Tampak feeding vessel dari a. maksilaris interna sinistra. Dilanjutkan dengan embolisasi dengan larutan gelfoam, tampak aliran darah mulai melambat kemudian sebelum refluks dihentikan. Kesan : Angiofibroma di regio nasofaring sinistra dan maksilaris sinistra dengan feeding
vessel dari a. maksilaris interna sinistra.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of
Management. International Journal of Pediatrics. 2012: 1-11
2. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen
Med. 2010;7(4): 419-25
3. Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of Juvenile
Angiofibroma. AJR. 1979; 133: 657-63
4. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Radiologic
evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006; 5(1): 58-61
5. Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.
AJR. 1987;148: 209-18
6. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com [updated: Feb 7, 2013]
7. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery.
2009; 25 (3): 185-9
8. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, Herman P. Early
Postoperative CT Scanning for Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Detection of
Residual Disease. AJNR. 2005; 26: 82-8
9. Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In: Sutton D.
Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone. 2008 : 1544-83
10. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed. Elsevier;
2004
11. Jacksen JE, Allison DJ, Meaney.Angiography: Principles, Techniques and