BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Massa dalam nasofaring seringkali tenang sampai massa ini mencapai ukuran yang cukup mengganggu struktur sekitarnya. Gejala-gejala terdiri dari epistaksis posterior, keluarnya cairan postnasal, sumbatan hidung, dan tuli. Paralisis saraf kranial III, VI, IX, X dan XI dapat terjadi tapi biasanya merupakan gejala terakhir. Otitis media serosa timbul karena obstruksi tuba eustakius. Pada setiap orang dewasa yang timbul otitis media serosa unilateral, massa nasofaring sebaiknya diduga dan nasofaring di periksa. 1 Angiofibroma pertama kali dijelaskan oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM, namun Friedberg pertama kali menggunakan istilah angiofibroma pada tahun 1940. Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Biasanya terjadi selama pubertas, paling sering pada anak laki-laki. Tumor ini ditandai oleh obstruksi hidung yang dapat menjadi total, hyponasality, rasa tidak enak sewaktu menelan, obstruksi tuba auditiva dan epistaksis masif. 1,2,3 Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma adalah malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat laun membesar. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Massa dalam nasofaring seringkali tenang sampai massa ini mencapai ukuran yang cukup
mengganggu struktur sekitarnya. Gejala-gejala terdiri dari epistaksis posterior, keluarnya
cairan postnasal, sumbatan hidung, dan tuli. Paralisis saraf kranial III, VI, IX, X dan XI dapat
terjadi tapi biasanya merupakan gejala terakhir. Otitis media serosa timbul karena obstruksi
tuba eustakius. Pada setiap orang dewasa yang timbul otitis media serosa unilateral, massa
nasofaring sebaiknya diduga dan nasofaring di periksa.1
Angiofibroma pertama kali dijelaskan oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM, namun
Friedberg pertama kali menggunakan istilah angiofibroma pada tahun 1940. Angiofibroma
nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak,
secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas
ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan. Biasanya terjadi selama pubertas, paling sering pada
anak laki-laki. Tumor ini ditandai oleh obstruksi hidung yang dapat menjadi total,
hyponasality, rasa tidak enak sewaktu menelan, obstruksi tuba auditiva dan epistaksis
masif.1,2,3
Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma adalah
malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat laun membesar.
Angiofibroma nasofaring belia juga dikenal dengan beberapa nama, antara lain:
nasopharyngeal fibroma, bleeding fibroma of aolescence, fibroangioma. Tumor ini dapat
menekan jaringan otak sekitarnya dan terjadi perdarahan intraserebral atau ke dalam ruang
subaraknoid sedangkan fibroma merupakan tumor yang terutama terdiri dari jaringan fibrosa
atau jaringan penyambung yang berkembang secara sempurna. Sehingga angiofibroma dapat
diartikan sebagai suatu lesi atau tumor yang ditandai oleh proliferasi jaringan fibrosa dan
vaskuler.2,3
1.2. Batasan Masalah
Refrat ini membahas tentang anatomi nasofaring, definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis dari angiofibroma nasofaring belia
1.3. Tujuan Penulisan1
Refrat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai angiofibroma
nasofaring belia serta gambaran radiologi yang akan ditemui.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan refrat ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk kepada
berbagai literature dan makalah ilmiah.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Rongga faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
merupakan bagian atas dari saluran napas dan saluran cerna. Pada orang dewasa panjangnya
± 10 cm. Rongga faring dimulai dari basis occiput dan basis sphenoid sampai ke vertebra
servikal VI pada batas bawah dari kartilago krikoid.1
Faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu sepertiga bagian proksimal, dibatasi
oleh palatum mole disebut nasofaring dan dua per tiga bagian distal dibagi secara imaginer
menjadi orofaring (mesofaring) dan laringofaring (hipofaring). Nasofaring merupakan
saluran yang berfungsi untuk respirasi, berupa rongga dengan dinding kaku di atas, belakang
dan lateral, tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah.7
Gambar 1. Anatomi faring
Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai
arti penting, yaitu :7
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah yaitu jaringan adenoid3
2. Pada dinding faringeal lateral dan resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang
dikenal dengan fossa Rosenmuller
3. Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas kartilago saluran tuba
eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang, tampak tonjolan seperti ibu jari ke
dinding lateral nasofaring tepat di atas perlekatan palatum mole.
4. Koana posterior rongga hidung
5. Foramen kranial yang letaknya berdekatan dan foramen jugularis yang dilalui oleh saraf
kranial glosofaringeus, vagus dan assesorius spinalis
6. Pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior,
vena jugularis interna, arteri faringeal asenden dan foramen hipoglosus yang dilalui
nervus hipoglosus
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral
atap nasofaring
8. Ostium dari sinus – sinus sphenoid
2.2. Definisi
Angiofibroma nasofaring belia adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata
dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1
2.3. Insiden
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT, diperkirakan
hanya merupakan 0,05% dari tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-
laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia di atas 25 tahun.1,2
2.4. Etiologi
Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa
teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada dasarnya
teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal. 1
Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena
pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah
4
oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan
matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang
mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal
dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma
adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. 1,16
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan
hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis
kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita
angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak
adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan
terjadinya hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.1,16
2.5. Patofisiologi
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah. Tumor
ini diperkirakan berasal dari tempat perlekatan spesifik angiofibroma yang terletak di dinding
posterolateral atas rongga hidung. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi
sebelah posterior dan lateral koana di atas nasofaring, dekat dengan margin utama foramen
sphenopalatina. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang tepi atas
nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan
massa di atas rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior diawali dari bagian bawah
selaput lendir nasofaring, selanjutnya ke anterior dan inferior ruang postnasal. Akhirnya,
rongga hidung akan terisi pada satu sisi, dan septum akan menyimpang ke sisi lain.
Pertumbuhan superior diarahkan melalui sinus sphenoid, yang mungkin juga akan terkikis.
Sinus cavernosus dapat diserang jika terjadi penyebaran tumor yang lebih lanjut.1,2,4
5
Gambar 2. Lokasi tumor nasofaring
Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk
ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas
terus akan masuk ke fossa intratemporal lalu menyusuri rahang atas bagian belakang masuk
ke jaringan lunak antara otot maseter dan businator yang akan menimbulkan benjolan di pipi,
dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah meluas hingga fisura orbitalis, maka tumor
akan mendorong salah satu atau kedua bola mata sehingga mengakibatkan terjadinya
proptosis (tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”) dan atrofi N.
optikus.1,2
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan pterigomaksila
masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus
sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.1
Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat menimbulkan otitis media.
Bila tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan penyumbatan pada ostium sinus
sehingga terjadi sinusitis. Perluasan tumor ke arah orofaring dapat menekan palatum molle
sehingga menimbulkan disfagia yang lambat laun juga akan menyebabkan sumbatan jalan
napas.5,6
2.6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat bervariasi
tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit gejala yang paling
sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya
epistaksis masif yang berulang. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya
penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman.
Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang lanjut datang
dengan keadaan umum yang lemah, anemia, gangguan menelan, sefalgia hebat yang
menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial, dan gangguan pernapasan karena
tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat mengakibatkan deformitas wajah bila
6
mendesak bola mata, menyebabkan proptosis sehingga wajah penderita angiofibroma
nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal dengan “wajah kodok”.1,7
Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:1,7,8,9,10
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling
sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh tumor
memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal discharge).
Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat biasanya
menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranial.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.
6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga
kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan sekret saat
rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum nasi.
8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)
9. Nyeri telinga (otalgia)
10. Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),
11. Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke lateral.
7
Gambar 3. “Muka kodok” pada penderita angiofibroma nasofaring.
2.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan operasi. Biopsi
merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan yang massif. Biopsi
sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan persiapan untuk
operasi pengangkatan tumor.10,11
Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif yang
berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu perlu ditanyakan
tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan dan kelelahan.11,12
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan
konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya
diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan
pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya.
Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1
2.8. Radioanatomi
8
Gambar 4. Gambaran normal nasofaring, sinus maksilaris dan fossa infratemporal.
A. CT scan aksial melalui porsi tengah dari sinus maksilaris (M) dan bagian atas dari