Referat Ilmu Kesehatan Jiwa
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Pembimbing :dr. Hening Madonna, Sp.Kj
Disusun oleh :
Pratama Adityabiantoro 1102010217Fakultas Kedokteran Universitas
YARSI
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Bhayangkara tk.I R.S. Sukanto-Jakarta
Periode: 16 Maret 2015 17 April 2015
I
PENDAHULUAN
Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan
masalah-masalah serius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi
tersebut merupakan sebagian dari pelbagai kondisi kedaruratan
psikiatrik. Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa kasus-kasus
tersebut merupakan keadaan yang perlu pertolongan segera,
menyebabkan dokter akan lebih banyak menemui kasus-kasus
kedaruratan psikiatrik tersebut. Hal ini juga sejalan dengan
peningkatan pemahaman bahwa perubahan status mental seseorang dapat
disebabkan oleh penyakit organik (sesuai dengan konsep hierarki
dalam pemahaman diagnosis gangguan jiwa).
Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat
penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan
kedaruratan medik yang terintegrasi.
Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi
untuk membuat diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering
diperlukan pemeriksaan fisik serta laboratorium yang sesuai dan
memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayanan yang
paling diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan
Consultation-Liaison Psychiatry bermanfaat untuk beberapa
penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri,
delirium, sindrom neuroleptik maligna, dll.
II
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Kegawatdaruratan psikiatri merupakan cabang ilmu kedokteran jiwa
dan kedokteran kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus
kedaruratan yanng memerlukan intervensi psikiatrik.
Dokter masa kini harus mengembangkan perannya untuk menjadi
bagian dari ruang gawat darurat psikiatrik. Kasus yang datang minta
pertolongan sangat bervariasi. Ada yang sekedar ingin minta resep,
ada yang memerlukan teman bicara, hingga yang merupakan kasus-kasus
psikiatrik, seperti : panik, kondisi medik umum (delirium,
intoksikasi, gejala putus zat, dll), krisis perkawinan, skizofrenia
atau psikosis akut, dll.
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran,
perasaan, dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik
segera, antara lain:
Kondisi gaduh gelisah
Dampak tindak kekerasan
Bunuh diri
Gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan obat
Delirium
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan
tepat adalah tujuan utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan
psikiatrik. Tindakan segera dengan pendekatan pragmatis, yang harus
dilakukan secara tepat adalah:1. Menentukan diagnosis awal,2.
Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan
segera sang pasien,3. Memulai terapi atau merujuk pasien ke
fasilitas yang sesuai.
Dalam kondisi tertentu, terkadang pasien tidak diharapkan berada
terlalu lama di unit gawat darurat, antara lain karena sifat
kegawatdaruratan yang tidak terduga, baik medis, klinis maupun
psikiatris, serta keterbatasan waktu, ruang, dan pemeriksaan
penunjang.
Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah:
menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan
tepat. Dengan tugas di unit gawat darurat yang sifatnya sering tak
terduga, banyaknya pasien dengan keluhan-keluhan fisik dan
emosional, terbatasnya waktu, ruang, dan pemeriksaan penunjang,
diperlukan pendekatan yang pragmatis bagi pasien. Kadang-kadang
lebih baik bagi pasien untuk tidak terlalu lama berada di unit
gawat darurat. Dalam proses evaluasi dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilaksanakan dengan lebih terstruktur. Secara umum,
fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke
unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar,
keluarga, teman ataupun polisi dapat melengkapi informasi, terutama
pada pasien mutisme, negativistik, tidak kooperatif atau
inkoheren.
Seperti halnya wawancara psikiatrik yang biasa dilakukan,
hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan dan yang diinterpretasikan. Karenanya diperlukan
kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi
terhadap apa yang dikatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh
pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
Sikap yang tenang dan jujur akan sangat diperlukan dalam proses
wawancara. Hal ini membuat pasien mengerti bahwa dokter memegang
kendali, dan bahwa keputusan untuk melakukan setiap tindakan,
adalah untuk mencegah perilaku yang melukai diri sendiri atau orang
lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan
penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status
fisik/neurologik, dan kalau perlu pemeriksaan penunjang.
Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oleh dokter di
unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan
darah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur yang dapat
memberikan suatu informasi yang bermakna secara cepat. Misalnya
seseorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam,
frekuensi nadi 120 per menit, dan tekanan darah meningkat,
kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu
gangguan psikiatrikApapun penyakit pasien yang sesungguhnya,
tanda-tanda vital dapat membantu dokter untuk memilih alur
diagnosis yang benar karena pemeriksaan ini saja sudah banyak yang
bisa kita simpulkan atau kita singkirkan.Pada bagan, dapat dilihat
salah satu model alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien darurat
psikiatrik.
Bagan alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat darurat
psikiatriPasien rujukan
Datang sendiri
Pasien diantar oleh polisi
Pelayanan gawat darurat psikiatrik
Triage
Tanda vital
Kesadaran
Pemeriksaan medik, neurologik
Pemeriksaan laboratorium
Triage psikiatrik
Evaluasi medik
Evaluasi psikiatrik; organik atau fungsional
Rawat bersama dengan disiplin ilmu lain Rawat inap psikiatrik
Rawat jalan
Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien
selanjutnya:
1. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di ruang gawat darurat, pola pelayanan dan komunikasi antar
staf, serta jumlah pasien dalam ruangan tersebut cukup aman bagi
pasien, baik secara fisik maupun emosional. Jika intervensi verbal
tidak cukup atau merupakan kontraindikasi, perlu dipikirkan
pemberian obat atau pengekangan. Perhatian perlu diberikan terhadap
kemungkinan timbulnya agitasi atau perilaku merusak.
2. Medik atau psikiatrik?
Penting sekali bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik,
psikiatrik, atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh
berbeda. Kondisi-kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi
berat dengan demam tinggi, kelainan metabolisme, tumor, AIDS,
intoksikasi atau gejala putus zat, seringkali menyebabkan gangguan
fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik pada umumnya.
Bila kondisi ini tidak ditangani semestinya, dapat menyebabkan
kematian. Karena itu dokter gawat darurat tetap harus menelusuri
semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak,
meskipun sebelumnya secara medik telah dinyatakan tak ada kelainan
oleh dokter lain.3. Psikosis
Yang penting disini bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi
seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya
tilikan mempengaruhi hidupnya. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya
terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam
berobat.
Komunikasi dengan pasien psikosis harus luwes dan tidak
bertele-tele. Semua intervensi klinis harus dijelaskan secara
singkat dan jelas, dalam bahasa yang dapat dimengerti. Jangan
mengharapkan pasien mempercayai atau mengharapkan bantuan kita.
Dokter harus siap untuk melakukan wawancara terstruktur atau
menghentikan wawancara sewaktu-waktu untuk membatasi kemungkinan
terjadinya agitasi atau regresi.
4. Suicidal atau homicidal
Pasien-pasien dengan kecenderungan ini sangat membahayakan
dirinya atau orang lain. Jangan pernah menyepelekan semua ancaman,
pikiran atau sikap yang menunjukkan adanya kecenderungan bunuh
diri, sampai terbukti hal itu tidak benar. Semua pasien dengan
kecenderungan bunuh diri harus diobservasi secara ketat.
Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan pada pasien.
5. Kemampuan merawat diri sendiriSebelum memulangkan pasien,
harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendiri,
mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan
atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu
indikasi rawat inap.
Indikasi rawat inap adalah:
Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain, Bila
perawatan di rumah tidak memadai, Perlu observasi lebih lanjut.2.1
Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis dan Terapi
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan
diagnosis dan terapi antara lain:
1. DiagnosisMeskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus
lengkap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk keakuratan data, misalnya penapisan toksikologi (tes
urin untuk opioid, amfetamin, benzodiazepin, kanabis, dsb),
pemeriksaan radiologi, EKG, tes laboratorium. Sedapat mungkin
pemeriksaan dan konsultasi medik untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab organik dilakukan di ruang gawat darurat. Data penunjang
seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar
(alloanamnesis dari keluarga, polisi, dll) juga dikumpulkan sebelum
kita menentukan tindakan. Prioritas utama memang kemanan, namun hal
ini jangan sampai menunda penegakan diagnosis.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan (bila memang diperlukan)
harus mengikuti prinsip terapi: maximum tranquilization with
minimum sedation.Tujuannya adalah untuk:
Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
Mengurangi/menghilangkan penderitaannya,
Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat kesimpulan
akhir.
Pasien yang tidur memang tidak dapat membahayakan orang lain,
tetapi kita pun tidak dapat melakukan pemeriksaan status mental
pada pasien tersebut. Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
Low-dose high-potency anti psychotics, seperti haloperidol,
trifluoperazine, perphenazine, dsb, karena batas keamanannya cukup
luas. Haloperidol terdapat dalam kemasan injeksi dan tetes (cairan)
sehingga memudahkan pemberian.
Atypical anti psychotics,seperti risperidone, quetiapine,
olanzapine. Olanzapine juga terdapat dalam bentuk injeksi.
Injeksi benzodiazepin. Kombinasi antipsikotik dengan
benzodiazepin kadang sangat efektif.
Kesalahan yang sering dilakukan oleh para dokter adalah:
1. Pemberian dosis yang terlalu besar atau penggunaan preparat
yang terlalu kuat (overmedication), sehingga evaluasi atau
pemulangan menjadi terlambat,
2. Pemberian dosis yang kurang atau pemberian preparat yang
kurang tepat (undermedication),
3. Penggantian obat yang terlalu cepat.
2.2 Rujukan/Pemindahan
Pada beberapa keadaan, misalnya psikosis akibat zat, reaksi
stres akut, dekompensasi psikologik sementara pada pasien dengan
gangguan kepribadian tertentu, akan lebih baik pasien tidak
langsung dirawat atau dipulangkan.
Penempatan di ruang observasi berkelanjutan akan memberikan
waktu bagi dokter untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut mengenai
penyebab gangguan mentalnya. Selain itu keadaan pasien juga akan
membaik bila berada di tempat yang aman.
Dengan demikian pasien mungkin tidak perlu dirawat di instalasi
rawat inap psikiatrik yang dapat menimbulkan stigma atau trauma
baginya. Intervensi krisis pada korban perkosaan atau korban trauma
lainnya, misalnya, juga dapat dilakukan pada fasilitas observasi
ini.
Bila pasien dianggap perlu untuk dirawatinapkan, sebaiknya hal
itu dilakukan dengan persetujuan pasien sehingga ia merasa dapat
mengendalikan hidupnya dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan berkenaan dengan pengobatannya. Bila pasien memang
membahayakan diri sendiri atau lingkungannya, maka hal itu dapat
dilakukan tanpa persetujuannya.
2.3 DokumentasiSemua penemuan dan tindakan harus didiskusikan
dan dicatat dengan baik untuk kepentingan pasien, dokter dan RS,
asuransi/pembayaran, dan hukum. Catatan medik harus dapat
menggambarkan keadaan pasien. Penemuan positif maupun negatif serta
informasi yang belu didapat sebaiknya dicatat. Nama-nama serta
alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi wajib dicatat.
Rencana penatalaksanaan awal dilakukan sesuai diagnosis kerja saat
itu.
A. Tindak kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu
diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau
tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat
timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula
terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup
sehari-hari dengan cara yang lebih baik. Tindak kekerasan dan
ancaman tindak kekerasan sering terjadi di ruang gawat darurat
psikiatrik serta sering menyebabkan permintaan konsultasi ke
psikiatri. Para dokter dan staf harus mengetahui cara cepat memulai
prosedur pencegahan peningkatan tindakan kekerasan ini. Prosedur
ini meliputi interensi perilaku, farmakologik serta
psikososial.
Tindakan kekerasan merupakan bagian dari suatu kondisi gaduh
gelisah. Kondisi gaduh gelisah dapat bermanifestasi dalam 3 hal,
yaitu:
Agitasi, merupakan perilaku patologi dengan manifestasi berupa
aktivitas verbal atau motorik yang tak bertujuan
Agresif, digunakan untuk binatang dan manusia. Pada manusia
dapat berbentuk agresi verbal atau fisik terhadap benda atau
seseorang
Kekerasan (violence), agresi fisik oleh seseorang yang bertujuan
melukai orang lain
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak
kekerasan adalah:
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila
paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding
hallucination),
Intoksikasi alkohol atau zat lain,
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat
hipnotik-seddatif
Katatonik furor
Depresi agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial),
Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis
dan temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
kekerasan,
Adanya rencana spesifik,
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya
kekerasan,
Laki-laki,
Usia muda (15-24 tahun),
Status sosioekonomi rendah,
Adanya riwayat melakukan tindak kekrasan,
Tindakan antisosial lainnya
Riwayat percobaan bunuh diri.
Adanya stresor yang baru saja terjadi
Riwayat tindak kekerasan merupakan indikator terbaik.
Faktor tambahan lain
Adanya riwayat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi korban
kekerasan
Riwayat masa kanak-kanak yang meliputi triad: mengompol, main
api, dan kekejaman terhadap hewan
Mempunyai catatan kriiminal
Pernah berdinas militer/polisi
Mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan
Riwayat tindak kekerasan dalam keluarga
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan
tindak kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya
adalah membuat diagnosis sebagai dasar rencana penatalaksanaan,
termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak
kekerasan berikutnya.
Asesmen pada kondisi gaduh gelisah
1. Singkirkan kondisi fisik
Riwayat medik, pemeriksaan fisik, radiologi, laboratorium bila
ada indikasi tentukan status HIV atau hepatitis C
2. Evaluasi adanya komorbiditas
Gangguan penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian antisosial
atau ambang
3. Efek samping obat
Akatisia
4. Penilaian risiko
Riwayat kekerasan, ide/tindakan bunuh diri sebelumnya, akses ke
senjata, catatan pengalihan tentang kriminal, isi
waham/halusinasi
Panduan wawancara dan Psikoterapi
Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan
batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical
restraints). Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan
(misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien
secara provokatif: minum tablet ini sekarang
Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak
dapat diterima,
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan
sikap tenang dan penuh kontrol.
Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda. Kita harus memperkirakan bahwa mungkin
saja terjadi suatu tindak kekerasan sehingga kita tidak akan
dikejutkan oleh suatu perilaku kekerasan yang mendadak
Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata. Pasien harus
menyerahkan senjatanya ke petugas keamanan (mis: satpam_.
Ketahuilah sebanyak mungkin tentang pasien sebelum anda
mewawancarai mereka. Jangan pernah mewawancarai pasien yang
bersikap beringas (violent) seorang diri atau di ruang tertutup.
Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik pasien seperti kalung
atau dasi. Usahakan agar dokter selalu terlihat oleh staf lainnya
Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan
itu pada anggota staf yang terlatih.
Jangan biarkan pasien mempunyai akses terhadap ruangan yang
berisi barang-barang yang dapat dijadikan senjata, misalnya brankar
atau ruang tindakan
Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang mungkin
merasa bahwa dokter mengamcamnya. Duduklah dengan jarak paling
tidak sepanjang lengan.
Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu
persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang
anda. Jangan pernah membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara
lain:
Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum
lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
Ancaman verbal,
Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata
(seperti garpu, asbak)
Agitasi psikomotor (merupakan indikator kuat) Intoksikasi
alkohol atau obat atau zat lain,
Waham kejar, dan Halusinasi yang menyuruh (commanding
hallucination)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat
pasien secara aman. Minta bantuan anggota staf lain sebelum agitasi
pasien meningkat. Seringkali, unjuk kekuatan dengan menghadirkan
banyak anggota staf yang tampak kuat sudah cukup untuk mencegah
tindak kekerasan.4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka
yang telah terlatih. Biasanya setelah pasien diikat diberikan
benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV,
pemeriksaan fisik dan wawancara pskiatrik. Evaluasi risiko bunuh
diri, kemudian rencana penatalaksanaan yang meliputi penanganan
tindak kekerasan yang mungkin muncul kemudia6) Ekspolasi
kemungkinan dilakukannya intervensi psikososial untuk mengurangi
risiko kekerasan. Jika tindak kekerasan itu berhubungan dengan
situasi atau orang tertentu, coba pisahkan pasien dari orang atau
situasi tersebut. Coba intervensi keluarga dan manipulasi
lingkungan lainnya. Apakah pasien tetap akan bersikap keras bila ia
tinggal dengan keluarga lainnya?
7) Mungkin pasien perlu dirawat untuk mencegahnya melakukan
tindak kekerasan. Observasi harus dilakukan terus menerus, meskipun
pasien dirawat di ruang perawatan psikiatri yang terkunci
8) Jika penanganan psikiatrik bukan hal yang sesuai dalam suatu
kasus, mungkin perlu melibatkan polisi atau aparat hukum
9) Calon korban harus diperingatkan seandainya masih ada
kemungkinan bahaya mengancam, misalnya bila pasien tidak
dirawat
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenangkan
pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau
IM,
Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan
dosis rata-rata per hari 13-14mg,
Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan
(dalam 2 menit).
Bila pasien sudah mendapat antipsikotik sebelumnya, berikan lagi
obat yang sama. Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang,
ulangi dengan dosis yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada
pasien yang mempunyai risiko kejang. Benzodiazepine mungkin tidak
akan efektif pada pasien yang sudah toleran; benzodiazepin juga
dapat menurunkan inhibisi yang secara potensial dapat memperburuk
kekerasan pada pasien. Untuk penderia epilepsi, mula-mula berikan
antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan benzodiazepine.
Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali
memberikan respon yang baik dengan pemberian -blocker seperti
propanolol. Penilaian kondisi gaduh gelisah secara objetif dapat
menggunakan instrumen The Excited Componen of The Positive and
Negative Syndrome (PANSS-EC), (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010)B. Bunuh Diri (Suicide)
Bunuh diri merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri
dan disengaja dimana bukan tindakan yang acak dan tidak bertujuan.
Sebaliknya, bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah atau
krisis yang hampir selalu menyebabkan penderitaan yang kuat.
Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena
enggan berhadapan dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat
ditangani. Menurut Keliat (1994) bunuh diri adalah tindakan agresif
yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan
merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam
keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif.
Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak
integritas diri atau mengakhiri kehidupan, dimana keadaan ini
didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk melukai diri
sendiri yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang
melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku yang
merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati dan
juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran
tentang kematian (Hoeksema, 2001).
Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri yang
asli (genuine suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi
(manipulative suicide). Bunuh diri asli adalah bunuh diri yang
dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mati dan tindakan yang
dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya tersebut, dilakukan
tanpa perhitungan yang salah (miscalculation).
Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi
tidak sungguh-sungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka
(bunuh diri) adalah percobaan yang terkontrol, yang dilakukan untuk
memanipulasi orang lain (Landis & Meyer, Shneidman, dalam
Barlow & Durand, 2002).
Lyttle (1986) juga membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan
usaha bunuh diri (parasuicide). Wilkinson menyebutkan jika bunuh
diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri
yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau
secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent).
Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada tindakan
menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang
mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri
(parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh
diri (attempted suicide).
Heeringan (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan
istilah yang digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu
sendiri dan usaha bunuh diri sebagai suatu perbuatan yang
menghasilkan kejadian fatal maupun tidak fatal.
3.2 Epidemiologi
Tiap tahun kira-kira 30.000 kematian di Amerika Serikat
disebabkan oleh bunuh diri. Angka tersebut adalah untuk bunuh diri
yang berhasil; jumlah usaha bunuh diri diperkirakan 8 sampai 10
kali lebih besar dari angka tersebut.
Antara tahun 1970 dan 1980 lebih dari 230.000 orang melakukan
bunuh diri di Amerika Serikat, kira-kira satu dalam setiap 20
menit, 75 bunuh diri dalam sehari. Angka bunuh diri total agak
tetap setiap tahunnya. Di tahun 1977 bunuh diri berada dalam
puncaknya yaitu 13,3 per 100.000. Sekarang, bunuh diri berada dalam
urutan kedelapan dari semua penyebab kematian di Amerika Serikat,
setelah penyakit jantung, kanker, penyakit serebrovaskular,
kecelakaan, pneumonia, diabetes melitus, dan sirosis.
Insiden bunuh diri di Amerika Serikat terjadi pada usia 15-24
tahun sedangkan dalam survey nasional baru-baru ini terhadap siswa
senior sekolah lanjutan 27% dari mereka pernah memikirkan secara
serius untuk bunuh diri dan salah satunya pernah mencobanya. Secara
internasional, angka bunuh diri yang lebih dari 25 per 100.000
orang terjadi di Skandinavia, Swiss, Jerman, Austria, Negara-negara
Eropa Timur, dan Jepang. Sedangkan yang kurang dari 10 per 100.000
orang terjadi di Spanyol, Italia, Irlandia, Mesir, dan Belanda.
Tempat bunuh diri nomor satu di dunia adalah Jembatan Golden Gate
di San Francisco, dengan lebih dari 800 bunuh diri sejak di buka
tahun 1937.3.3 Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab bunuh diri,
diantaranya adalah:
Faktor Sosial
Teori Durkheim. Sumbangan pertama yang besar untuk penelitian
pengaruh sosial dan kultural terhadap bunuh diri dilakukan pada
akhir abad yang lalu oleh ahli sosiologi Perancis Emile Durkheim.
Dalam upaya menjelaskan pola statistikal, Durkheim membagi bunuh
diri menjadi tiga kategori sosial : egoistik, altruistik, dan
anomik.
Bunuh Diri Egoistik diterapkan pada mereka yang tidak
terintegrasi secara kuat ke dalam kelompok sosial. Tidak adanya
integrasi keluarga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa orang
yang tidak menikah adalah lebih rentan terhadap bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah dan mengapa pasangan dengan
anak-anak adalah kelompok yang paling terlindung dari semua
kelompok. Masyarakat perkotaan memiliki lebih banyak integrasi
sosial dibandingkan dengan daerah pedesaan, jadi lebih sedikit
bunuh diri.
Bunuh Diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai
ikatan sosial yang kuat. Bunuh diri ini dimaksudkan demi kelompok,
hampir seperti bunuh diri ritual Jepang Seppuku yang dilakukan
ketika kekacauan melada masyarakat.
Bunuh Diri Anomik terkait dengan apa yang disebut Anomie atau
keadaan dimana anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang
seperti menjadi tunawisma atau yatim piatu. Orang tersebut merasa
tidak punya apa-apa dan ini berarti berada dalam keadaan tanpa
norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sosial
sehari-hari. Hal ini dapat menjelaskan mengapa mereka dengan
situasi ekonomi yang berubah secara drastik lebih rentan
dibandingkan mereka sebelum perubahan keberuntungan mereka. Anomik
juga dimaksudkan pada ketidakstabilan sosial, dengan kehancuran
standar dan nilai-nilai masyarakat.Faktor Psikologis
Teori FreudTilikan psikologis pertama yang paling penting ke
dalam bunuh diri berasal dari Sigmund Freud. Ia menggambarkan hanya
satu pasien yang mencoba bunuh diri, tetapi ia melihat banyak
pasien depresi. Dalam tulisannya Mourning and Melancholia, Freud
menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan agresi yang
dibelokkan ke dalam objek cinta yang terintroyeksi, dan ditangkap
secara ambivalen.
Teori MenningerBerdasarkan konsep Freud, Karl Menninger
menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah pembunuhan yang di
retrofleksikan, pembunuhan yang dibalikkan sebagai akibat kemarahan
pasien kepada orang lain, yang dibalikkan pada diri sendiri atau
digunakan sebagai pengampunan akan hukuman.
Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada
diri sendiri (konsep Thanatos dari Freud). Ia menggambarkan tiga
komponen permusuhan dalam bunuh diri : keinginan untuk membunuh,
keinginan untuk dibunuh dan keinginan untuk mati.
3 Teori Scheidman dan Farberow
Membagi 4 golongan yaitu:
1). Mereka percaya bahwa tindakan bunuh diri itu benar, sebab
mereka memandang bunuh diri sebagai peralihan menuju kehidupan yang
lebih baik atau mempunyai arti untuk menyelamatkan nama baiknya
(misal: Harakiri).
2). Mereka yang sudah tua, hal ini ditemukan pada orang yang
kehilangan anak atau cacat jasmaninya, yang menganggap bunuh diri
sebagai suatu jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan
bagi mereka.
3). Mereka yang psikotik, dan bunuh diri disini merupakan
jawaban terhadap halusinasinya atau wahamnya.
4). Mereka yang bunuh diri sebagai balas dendam, yang percaya
bahwa karena bunuh diri orang lain akan berduka cita dan mereka
sendiri akan dapat menyaksikan kesusahan orang lain itu.
Menurut Schneidman dan Farberow bunuh diri (suicide) mengandung
arti :
1. Ancaman bunuh diri (threatened suicided).
2. Percobaan bunuh diri (attempted suicided).
3. Bunuh diri yang telah dilakukan (comitted suicided).
4. Depresi dengan niat hendak bunuh diri.
5. Melukai diri sendiri (self destruction).
Teori-teori Baru
Peneliti bunuh diri kontemporer tidak yakin bahwa struktur
psikodinamika atau kepribadian spesifik berhubungan dengan bunuh
diri. Tetapi mereka telah menulis bahwa banyak yang dipelajari
tentang psikodinamika pasien bunuh diri dari khayalan mereka
seperti apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka
melakukan bunuh diri. Khayalan tersebut sering kali termasuk
keinginan untuk balas dendam, kekuatan, pengendalian atau hukuman;
untuk pertobatan, pengorbanan, atau pemulihan; untuk meloloskan
diri atau untuk tidur; atau untuk pembebasan, kelahiran kembali,
berkumpul kembali dengan orang yang telah meninggal atau untuk
hidup baru. Pasien bunuh diri yang paling mungkin melakukan
khayalan bunuh diri adalah mereka yang telah menderita kehilangan
objek cinta atau menderita cedera narsisistik, yang mengalami efek
berat seperti kemarahan dan rasa bersalah, atau yang
teridentifikasi dengan seorang korban bunuh diri. Dinamika kelompok
mendasari bunuh diri massal seperti yang terjadi di Masada dan
Jonestown.
Faktor Fisiologis
GenetikaTeori faktor genetik dalam bunuh diri telah diajukan.
Penelitian menunjukan bahwa bunuh diri cenderung berjalan di dalam
keluarga. Sebagai contohnya, pada orang yang mencoba bunuh diri
ditemukan adanya riwayat bunuh diri dalam keluarga lebih banyak
secara bermakna daripada orang yang tidak pernah melakukan bunuh
diri.
Satu penelitian terbesar menemukan bahwa resiko bunuh diri untuk
sanak saudara dari pasien psikiatri hampir delapan kali lebih
tinggi dibanding sanak saudara dari kontrol. Selain itu, resiko
bunuh diri pada sanak saudara pasien psikiatri yang melakukan bunuh
diri adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan pada sanak saudara
pasien psikiatri yang tidak melakukan bunuh diri.
NeurokimiaDefisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan
metabolisme 5-hydroxyindo-leacetic acid (5-HIAA), telah ditemukan
dalam kelompok pasien depresi yang mencoba bunuh diri. Pasien
depresi yang mencoba bunuh diri dengan cara keras (contoh, senjata
api atau meloncat) memiliki kadar 5-HIAA yang lebih rendah di dalam
cairan serebrospinalisnya dibandingkan pasien depresi yang tidak
melakukan bunuh diri atau yang mencoba bunuh diri dengan cara yang
kurang keras (overdosis zat).
Beberapa penelitian terhadap binatang dan manusia telah
menyatakan suatu hubungan antara defisiensi sistem serotonin
sentral dan pengendalian impuls yang buruk. Beberapa peneliti telah
memandang bunuh diri sebagai salah satu tipe perilaku impulsif.
Kelompok pasien lain yang diperkirakan memiliki masalah dengan
pengendalian impuls adalah pelaku kekerasan, pembakar rumah dan
mereka dengan ketergantungan alkohol.
Beberapa peneliti telah menemukan pembesaran ventrikular dan
elektroensefalogram (EEG) yang abnormal pada beberapa pasien bunuh
diri. Sampel darah dari kelompok sukarelawan normal yang dianalisis
untuk monoamin oksidase trombosit menemukan bahwa orang dengan
kadar enzim yang terendah didalam trombositnya memiliki prevalensi
bunuh diri delapan kali lebih besar didalam keluarganya,
dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar enzim yang
tinggi.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri
sebagai berikut:
1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (Death as retaliatory
abandonment).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi
tentang rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan
seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan
bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (Death as
retroflexed murder).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat
mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan.
Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat
merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan
untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (Death as reunion).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu
itu akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni
khayalan). Lebih sering ditekankan pada rasa puat untuk mengikuti
yang telah meninggal itu.
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (Death as self
punishment).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang
terjadi pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai,
maka keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah
sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri
merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa
berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik
lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan
diri dari tujuan itu.
3.4 Faktor yang terkait
Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri
adalah:
1. Jenis Kelamin
Laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri
dibandingkan wanita. Akan tetapi wanita adalah empat kali lebih
mungkin berusaha bunuh diri dibandingkan laki-laki.
2. Metode
Lebih tingginya angka bunuh diri yang berhasil pada laki-laki
adalah berhubungan dengan metode yang digunakan dimana laki-laki
menggunakan pistol, menggantung diri, atau lompat dari tempat yang
tinggi. Sedangkan wanita lebih mungkin menggunakan zat psikoaktif
secara overdosis atau memotong pergelangan tangannya, tetapi mereka
mulai lebih sering menggunakan pistol dibandingkan sebelumnya.
3. Usia
Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada
laki-laki, puncak bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita,
jumlah terbesar bunuh diri yang berhasil adalah diatas 55 tahun.
Orang lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri
dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Angka untuk
mereka yang berusia 75 tahun atau lebih adalah lebih dari tiga kali
dibandingkan angka untuk orang muda.
4. Ras
Angka bunuh diri diantara orang kulit putih adalah hampir dua
kali lebih besar dari angka bukan kulit putih, tetapi angka
tersebut masih diragukan, karena angka bunuh diri pada kulit hitam
adalah meninggi.
5. Status perkawinan
Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna
menurunkan risiko bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak
pernah menikah memiliki angka hampir dua kali lipat angka untuk
orang yang menikah. Bunuh diri lebih sering pada orang yang
memiliki riwayat bunuh diri dalam keluarganya dan yang terisolasi
secara sosial. Yang disebut bunuh diri ulang tahun (anniversary
suicide) adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut
hidupnya pada hari yang sama seperti yang dilakukan oleh anggota
keluarganya.
6. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar resiko
bunuh diri, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan
risiko. Pada umumnya, pekerjaan menghalangi bunuh diri. Bunuh diri
lebih tinggi pada orang yang pengangguran dibandingkan orang yang
bekerja. Selama resesi ekonomi dan depresi, angka bunuh diri
menjadi meningkat. Selama waktu tingginya pekerjaan dan selama
perang, angka bunuh diri menurun. Dokter secara tradisional
dianggap memiliki risiko terbesar untuk bunuh diri. Dokter
psikiatri dianggap memiliki risiko yang paling tinggi. Populasi
yang berada dalam risiko khusus adalah musisi, dokter gigi, petugas
hukum, pengacara dan agen asuransi.
7. Kesehatan Fisik
Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangat bermakna.
Penelitian postmortem menunjukan bahwa suatu penyakit fisik
ditemukan pada 25 sampai 75 persen dari semua korban bunuh diri.
50% orang dengan kanker yang melakukan bunuh diri melakukannya
dalam satu tahun setelah mendapatkan diagnosis. Tujuh penyakit
sistem saraf pusat yang meningkatkan risiko bunuh diri : epilepsi,
sklerosis multipel, cedera kepala, penyakit kardiovaskular,
penyakit Huntington, demensia, dan AIDS. Semua adalah penyakit
dimana diketahui terjadi gangguan mood yang menyertai.
Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam
bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada
orang yang aktivitas fisiknya memiliki kepentingan pekerjaan atau
rekreasional; kecacatan, terutama pada wanita; dan rasa sakit
kronis yang tidak dapat diobati.
Obat tertentu dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan
bunuh diri pada beberapa kasus. Diantara obat-obat tersebut adalah
reserpine (Serpasil), kortikosteroid, antihipertensi
(propanolol/Inderal), dan beberapa obat antikanker.
8. Kesehatan Menal
Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah
penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan
mental lainnya. Hampir 95 persen dari semua pasien yang melakukan
bunuh diri atau berusaha bunuh diri memiliki gangguan mental yang
terdiagnosis. Pasien yang menderita depresi delusional berada pada
resiko tertinggi untuk bunuh diri sebesar 80%. 25 persen dari semua
pasien yang memiliki riwayat perilaku impulsif atau tindakan
kekerasan juga berada dalam resiko untuk bunuh diri. Perawatan
psikiatrik sebelumnya untuk alasan apapun meningkatkan resiko bunuh
diri.
9. Pasien Psikiatrik
Resiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3
sampai 12 kali lebih besar dibandingkan bukan pasien psikiatrik.
Derajat resikonya adalah bervariasi tergantung usia, jenis kelamin,
diagnosis, dan status rawat inap atau rawat jalan. Diagnosis
psikiatrik yang memiliki resiko tertinggi untuk bunuh diri pada
kedua jenis kelamin adalah gangguan mood.
Relatif mudanya korban bunuh diri sebagian disebabkan oleh
kenyataan bahwa dua gangguan mental kronis yang memiliki onset
awal, skizofrenia dan gangguan depresif yang berat rekuren
berjumlah lebih dari setengah dari semua bunuh diri tersebut.
3.5 Gangguan-gangguan yang beresiko terjadinya bunuh diri :
1. Gangguan mood
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan
dengan bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan
bunuh diri dibanding pasien wanita. Kemungkinan orang terdepresi
yang melakukan bunuh diri meningkat jika tidak menikah, dipisahkan,
diceraikan, janda atau baru saja mengalami kehilangan. 2.
Skizofrenia
Resiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10
persen meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya
pada masa remaja atau dewasa awal dan sebagian besar pasien
skizofrenik yang melakukan bunuh diri melakukannnya selama
tahun-tahun pertama penyakitnya; dengan demikian pasien skizofrenia
yang melakukan bunuh diri cenderung relatif muda.
Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri mereka. Hanya
sejumlah kecil yang melakukan bunuh diri karena instruksi
halusinasi atau untuk melepaskan waham penyiksaan. Jadi, faktor
resiko untuk bunuh diri diantara pasien skizofrenik adalah usia
yang muda, jenis kelamin laki-laki, status tidak menikah, usaha
bunuh diri sebelumnya, kerentanan terhadap gejala depresif, dan
baru dipulangkan dari rumah sakit.
3. Ketergantungan Alkohol
15 persen orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh
diri. Kira-kira 80 persen dari semua korban bunuh diri yang
tergantung alkohol adalah laki-laki. Kelompok terbesar pasien
laki-laki yang ketergantungan alkohol adalah mereka dengan gangguan
kepribadian antisosial. Korban bunuh diri yang tergantung alkohol
cenderung merupakan golongan kulit putih, usia pertengahan, tidak
menikah, tidak memiliki teman, terisolasi secara sosial dan baru
saja mulai minum.
4. Ketergantungan Zat Lain.
Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan resiko
bunuh diri diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk
orang yang tergantung heroin kira-kira 20 kali lebih besar
dibandingkan angka untuk populasi umum.
5. Gangguan Kepribadian
Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam
gangguan kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan
kepribadian mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri
dalam beberapa cara : dengan mempredisposisikan pada gangguan
mental berat seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol,
dengan menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan penyesuaian sosial,
dengan mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan,
dengan mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau
fisik dan dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang
disekitar mereka, termasuk anggota keluarga, dokter dan anggota
staf rumah sakit.
Depresi adalah berhubungan tidak hanya dengan bunuh diri yang
dilakukan tetapi juga dengan usaha bunuh diri yang serius. Jika
orang yang melakukan usaha bunuh diri dinyatakan sebagai memiliki
maksud bunuh diri yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang
memiliki maksud bunuh diri yang rendah, mereka secara bermakna
lebih banyak adalah laki-laki, berusia lebih tua, tidak menikah
atau bercerai dan hidup sendirian. Kesimpulan dari korelasi
tersebut adalah bahwa pasien depresi yang melakukan usaha bunuh
diri yang serius lebih menyerupai korban bunuh diri dibandingkan
dengan mereka yang berusaha bunuh diri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menduga adanya resiko
bunuh diri:
adanya ide bunuh diri atau percobaan bunuh diri sebelumnya
adanya kecemasan yang tinggi, depresi yang dalam dan
kelelahan
adanya ide bunuh diri yang diucapkan
ketersediaannya alat atau cara untuk bunuh diri
memepersiapkan warisan terutama pada pasien depresi yang
agitatif
adanya krisis dalam kehidupan baik fisik maupun mental
adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri
adanya kecemasan terhadap keluarga jika terjadi bunuh diri
adanya keputus-asaan yang mendalam
Didalam menangani pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh
diri, pencegahan merupakan hal utama yang perlu diperhatikan.
Jika percobaan bunuh diri telah dilakukan dan tidak berhasil ,
sebagai klinisi kita harus melakukan pemeriksaan yang menyeluruh
dan lengkap baik secara fisik dan mental. Pada saat itu juga harus
diputuskan apakah pasien perlu dirawatatau tidak.
Hospitalisasi tergantung:
Diagnosis
Beratnya Depresi
Kuatnya ide bunuh diri
Kemampuan pasien dan keluarga mengatasi masalahnya
Keadaan kehidupan pasien
Tersedianya support sosial bagi pasien
Ada tidaknya faktor resiko bunuh diri pada saat kejadian
Yang bisa dilakukan dokter umum jika menjumpai pasien dengan
percobaan bunuh diri sebaiknya lakukan pertolongan pertama jika
diperlukan, rujuk pasien ke rumah sakit terdekat sambil membenkan
penjelasan ke keluarganya bahwa kondisi pasien perlu evaluasi dan
pertolongan lebih jauh baik fisik maupun mentalnya (tergantung
kondisi pasien).
Sebelum individu itu melakukan bunuh diri biasanya ia mengalami
suatu ksiris suicidal yang dpat diketahui dari adanya:
1. Isyarat: ucapan atau cerita tentang keinginan mati atau
catatan bunuh diri (suicidal note).
2. Jeritan minta tolong (cry for help) dengan ucapan, tulisan
atau perilaku tertentu yang menunjukkan ambivalensinya terhadap
bunuh diri.
Penyalahgunaan Alkohol
Presentasi terkait-alkohol adalah salah satu keadaan darurat
kejiwaan yang paling umum. Hal ini terkait dengan gangguan berikut:
intoksikasi, withdrawal, delirium intoksikasi, delirium withdrawal,
gangguan psikotik dengan delusi atau halusinasi, gangguan mood, dan
gangguan kecemasan.
Gambaran klinis keracunan umumnya tergantung pada tingkat
alkohol dalam darah pasien (BAL), tetapi BAL tidak dapat digunakan
secara eksklusif. Patologis keracunan, misalnya, dicirikan oleh
reaksi perilaku yang berlebihan terhadap kadar alkohol yang
mencukupi. Konsep ini agak kontroversial. Di kebanyakan yurisdiksi,
seorang individu dengan BAL 0,1 atau lebih dianggap secara hukum
sebagai mabuk. Jika pasien mabuk, dokter harus memastikan apakah
bahan kimia lain selain etanol adalah terkait dengan keadaan
klinis. Pemeriksaan toksikologi sangat penting. Keadaan mabuk
dicirikan oleh kombinasi perilaku nyata maladaptif atau perubahan
psikologis dan perubahan fisik (misalnya, bicara cadel, ataksia,
nystagmus, pingsan, koma) yang muncul selama atau setelah konsumsi
alkohol.
Alkohol withdrawal muncul dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah penghentian atau pengurangan dalam penggunaan alkohol
yang tinggi dan diperpanjang. Hal ini ditandai oleh keadaan
hyperadrenergic, agitasi, insomnia, gejala gastrointestinal,
halusinasi, tangan tremor, dan kejang. Baik keracunan dan
withdrawal mungkin terkait dengan delirium. Gangguan psikotik,
mood, dan kecemasan mungkin berkaitan dengan penggunaan
alkohol.
Penanganan
Keadaan koma harus diatasi sebagai keadaan kegawatdaruratan
medis. Pasien yang mabuk berat harus dipindahkan ketempat yang
tenang. Lorazepam atau haloperidol akan sangat efektif dalam
mengatasi agitasi. Pembatasan fisik atau dosis yang lebih tinggi
dari lorazepam dan haloperidol mungkin dapat digunakan, jika
diperlukan.Penyalahgunaan obat-obatan lainnya
Berikut adalah tabel penyalahgunaan obat dengan manifestasi
klinis, pemeriksaan fisik dan jenis obat yang digunakan.
Obat
Gejala fisik
Gejala psikiatri
Amfetamin
Peningkatan tekanan darah, midriasis.
Euphoria, kewaspadaan yang meninggi.
Cannabis
Takikardi
Cemas, sosial withdrawal.
Kokain
Peningkatan temperature, takikardi, tremor.
Euphoria, kewaspadaan yang meninggi
Halusinogen
Midriasis, takikardi, tremor.
Cemas, paranoia.
Inhalan
Nistagmus, aritmia.
Agresif, apatis.
Opioid
Miosis pada keracunan, midriasis pada withdrawal.
Agitasi, disforia.
Phencyclidine
Nistagmus, peningkatan tekanan darah, aritmia.
Mood labil, amnesia.
Sedative-hipnotik
Penurunan respirasi, tremor.
Agresif, mood labil.
3.6 Terapi
Tidak semua pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, beberapa
dapat diobati dengan rawat jalan. Untuk menentukan apakah
dimungkinkan terapi rawat jalan, klinisi harus menggunakan
pendekatan klinis yang langsung meminta pasien yang diduga
bermaksud bunuh diri untuk setuju menelepon segera jika mencapai
titik dimana mereka tidak yakin akan kemampuan mereka untuk
mengendalikan impuls bunuh dirinya. Pasien yang dapat membuat
persetujuan tersebut memperkuat keyakinan bahwa mereka memiliki
kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan
berusaha mencari bantuan. Jika pasien tidak dapat memenuhi komitmen
ini, maka perawatan di rumah sakit menjadi indikasi yang harus
diambil.
Menurut Schnedman, klinisi memiliki beberapa tindakan preventif
praktis untuk menghadapi orang yang ingin bunuh diri seperti :
1. Menurunkan penderitaan psikologi dengan memodifikasi
lingkungan pasien yang penuh dengan stress, menuliskan bantuan dari
pasangan, perusahaan atau teman.
2. Membangun dukungan yang realistik dengan menyadari bahwa
pasien mungkin memiliki keluhan yang masuk akal.
3. Menawarkan alternatif terhadap bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit tergantung pada
diagnosis, keparahan depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan
pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah, situasi hidup pasien,
tersedianya dukungan sosial dan ada atau tidaknya faktor resiko
untuk bunuh diri.
Dalam rumah sakit pasien mungkin menerima medikasi antidepresan
atau antipsikotik sesuai dengan indikasi, terapi individual, terapi
kelompok dan pasien mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan
rasa aman. Tindakan terapeutik lain tergantung pada diagnosis dasar
pasien. Sebagai contohnya, jika ketergantungan alkohol adalah
masalah yang berhubungan, terapi harus diarahkan untuk
menghilangkan kondisi tersebut.
Tindakan yang berguna untuk terapi pasien rawat inap yang
mencoba bunuh diri dan mengalami depresi adalah memeriksa
barang-barang pasien dan orang yang berkunjung ke bangsal. Hal ini
bertujuan untuk mencari benda-benda yang dapat digunakan untuk
bunuh diri dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh
diri. Idealnya, pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan
mengalami depresi harus diobati dalam bangsal yang terkunci dimana
jendela dipasang terali dan ruangan pasien harus berlokasi dekat
dengan tempat perawat untuk memaksimalkan pengamatan oleh staf
perawat. Tim yang mengobati harus memeriksa secara berulang atau
terus menerus mengawasi secara langsung. Terapi yang efektif dengan
medikasi antidepresan harus dimulai. Terapi elektrokonvulsif (ECT)
mungkin diperlukan untuk beberapa pasien yang terdepresi parah yang
mungkin memerlukan beberapa kali pengobatan.
Pasien yang sedang pulih dari depresi bunuh diri berada pada
resiko khusus. Saat depresi menghilang, pasien menjadi memiliki
energi dan mampu untuk melakukan rencana bunuh dirinya.
Kadang-kadang pasien depresi dengan atau tanpa terapi secara
tiba-tiba tampak damai dengan dirinya sendiri karena mereka telah
mengambil keputusan rahasia untuk melakukan bunuh diri. Klinisi
harus secara khusus mencurigai perubahan klinis yang dramatis
tersebut, yang mungkin meramalkan usaha bunuh diri.
Terapi Psikofarmaka
Seseorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati
atau baru mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama,
biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapatkan tranquilizer
ringan, terutama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah
golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari, selama
2 minggu. Hati-hati memberikan benzodiazepine pada pasien yang
hostile, karena penggunaan benzodiazepine yang teratur dapat
meningkatkan iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat dalam
jumlah banyak sekaligus kepada pasien (resepkan sedikit-sedikit
saja) dan pasien harus kontrol dalam beberapa hari.
Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat
darurat, meskipun biasanya terapi definitif pasien-pasien yang
mempunyai kecenderungan bunuh diri adalah antidepresan.
Antidepresan boleh diberikan di instalasi gawat darurat asal dibuat
perjanjian kontrol keesokan harinya secara pasti.
Manajemen intoksikasi atau withdrawal tergantung pada jenis obat
tertentu. Asosiasi gejala fisik dan kejiwaan harus menjadi faktor
dalam rencana perawatan segera. Kekerasan, psikosis, atau
peningkatan gejala mood, berkaitan dengan perilaku bunuh diri,
harus perawatan inap segera. Pembatasan Kimia (misalnya lorazepam
atau haloperidol), pengasingan, atau pengekangan fisik mungkin
diperlukan untuk mengelola perilaku kekerasan. Metadon atau
clonidine secara khusus ditunjukkan dalam opioid withdrawal.
Prinsip-prinsip rujukan rawat jalan adalah sama seperti untuk
alkohol.PENCEGAHAN BUNUH DIRISebagian besar bunuh diri pada
psikiatri dapat dicegah. Dimana depresi menjadi gangguan paling
sering yang menyebabkan seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Berdasarkan teori Psikodinamika oleh Sigmund Freud, fungsi Ego
sangat berhubungan erat dengan pertimbangan yang melibatkan
kemampuan menghadapi akibat dari suatu tindakan seseorang. Ego
dipakai dalam memecahkan masalah pribadi orang tersebut, khususnya
bila terjadi konflik dengan dunia realitas atau bila terdapat
ketidaksesuaian antara keinginan yang tidak sinkron secara
internal. Selain itu juga mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
dari suatu tindakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
Bunuh diri menjadi tindakan yang diambil pada orang-orang yang
mengalami gangguan kejiwaan seperti depresi akibat Ego tidak cukup
kuat menahan desakan ataupun dorongan-dorongan yang muncul dari
dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan
diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk
menyalurkan dorongan dari dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan
dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini
dipergunakan secara kaku, terus menerus dan berkepanjangan, maka
hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak
realistis seperti keinginan untuk bunuh diri.
Untuk mencegah terjadinya bunuh diri tersebut, maka
penanganannya dengan memberikan kesempatan kepada orang tersebut
untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaannya yang muncul
di dalam dirinya secara verbal. Dimana Ego akan lebih bebas dan
tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri
yang dikembangkannya. Adapun cara yang digunakan oleh Sigmund Freud
untuk terapi sekaligus untuk mengumpulkan data, yaitu :
1. Metode asosiasi bebas (free association), dimana pasien
diminta untuk berbicara tentang segala sesuatu dan apa saja yang
terjadi pada dirinya dengan leluasa dan tanpa perlu berusaha
membuat uraian yang logis, teratur dan penuh arti. Untuk menjaga
agar pengaruh gangguan yang datang dari luar tetap minimal,
biasanya pasien disuruh berbaring diatas dipan dalam ruangan yang
tenang. Ucapan-ucapan pasien yang serba tidak teratur ini merupakan
pernyataan yang memiliki hubungan dinamik dan penuh arti dengan
pernyataan sebelumnya, sehingga terbentuklah suatu rangkaian
asosiasi yang kontinyu dari awal hingga akhir. Mungkin banyak
ucapan yang menyesatkan maupun hambatan-hambatan, tetapi pada
akhirnya sejarah kejiwaan pasien dapat sampai kepada pendengar
(terapis) dengan mengikuti rangkaian asosiasi melalui lika-liku
ungkapan verbal.2. Analisis tentang mimpi (dream interpretation),
dimana pasien diminta secara spontan teringat tentang mimpi-mimpi
mereka dan selanjutnya melakukan asosiasi bebas tentang mimpi-mimpi
tersebut. Mimpi-mimpi yang dilaporkan dan asosiasi bebas yang
mengiringnya merupakan sumber informasi yang kaya tentang dinamika
kepribadian manusia.Peran Ego yang terpenting adalah sebagai
eksekutif organisasi kepribadian dimana energi digunakan untuk
menciptakan integrasi diantara ketiga sistem. Tujuan dari fungsi
integrasi Ego adalah untuk menciptakan keselarasan batin dalam
kepribadian antara Ego dengan lingkungan sehingga dapat berjalan
lancar dan efektif. Caranya, Ego harus mengendalikan Id dan
Superego agar Ego mampu mengarahkan kepribadian secara bijak supaya
bisa berhubungan dengan dunia luar. Apabila Id menguasai sebagian
besar energi, maka tingkah laku akan menjadi impulsif dan primitif,
bila Superego yang menguasai sebagian besar energi maka fungsi
kepribadian akan didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan
moralistik dari pada pertimbangan-pertimbangan realistik.
Antikateksis (daya kekang) suara hati bisa membelenggu Ego dengan
nilai moral dan menghalangi tindakan apapun sementara kateksis
(daya dorong) Ego ideal bisa menentukan norma-norma yang sangt
tinggi bagi Ego sehingga pribadi terus menerus dikecewakan dan
akhirnya mengalami perasaan gagal yang membuat depresi. B. Sindroma
Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang
behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Efek samping
pemberian obat-obatan antipsikotik seperti paskinsonism, distonia
akut, akatisia akut, diskinesia tardif. Gejalanya meliputi :
kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot
yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas
otonomik (takikardia, tekanan darah yang labil, keringat berlebih)
dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan
rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit
lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Tingkat
mortalitas dapat mencapai 20 persen. Sindroma neuroleptik maligna
biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik
pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama
pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin
terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi
dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat.
Faktor risiko lain adalah:
Dehidrasi, usia muda (20-40 tahun), laki-laki, malnutrisi, serta
pengekangan/pengikatan. Sindroma biasanya akan berkembang penuh
dalam 48 jam sesudah awitan. Angka kejadian berkisar antara 1-10 /
10.000.
Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru
menghentikan terapi dengan obat-obatan agonis dopaminergik seperti
carbidopa, levodopa, amantadine, dan bromocriptine
Penggunaan antipsikotik dengan lithium juga pernah dihubungkan
dengan timbulnya sindrom ini.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna
ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah
disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut: Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Mutism
Takikardia
Tekanan darah yang meningkat atau labil
Leukositosis
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara
jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang
menghambat reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan
reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala klinis
yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat
menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal
dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus
dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas.
Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan
ototPanduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik
sehingga perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan
perjalanan penyakitnya pada keluarga dan teman-temannya.
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada
pasien yang mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta
kekakuan otot.
Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap
antikolinergik biasa dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah
diagnosis sementara sindroma neuroleptik maligna.
Hentikna pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
Lakukan pmeriksaan laboratorium
Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan
menurnkan kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh,
masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah
mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik
semula yang efektif.
Terapi Psikofarmaka
Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan
sampai 45 mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus4.
DeliriumGambaran klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan delirium
sangat beragam diantaranya:1. Prodromal
Biasanya pasien akan mengeluh kelelahan, cemas, menjadi
iritabel, gangguan tidur
2. Gangguan kesadaran
Penurunan kejernihan tingkat kesadaran terhadap lingkungan
(kesadaran berkabut)
3. Kewaspadaan
Terdiri dari hiperaktivitas dan hipoaktivitas
Hiperaktivitas, kaitannya dengan sindrom putus zat, misalnya
flushing, berkeringat, takikardia, nausea, hipertermia dsb.
Hipoaktivitas seluruh aktivitas menurun sehingga sering
dikatakan sebagai depresi
4. Gangguan pemusatan perhatian
Ditandai oleh adanya kesulitan mempertahankan, memusatkan dan
mengalihkan perhatian5. Orientasi
Gangguan orientasi waktu sering terjadi (pada delirium yang
ringan), bila delirium berat akan mencakup orientasi tempat dan
orang
6. Bahasa dan kognitif
Sering terjadi abnormalitas dalam berbahasa dan terjadi
inkoherensi. Daya ingat dan fungsi kognitif umum mungkin
terganggu
7. Persepsi
Halusinasi visual dan auditorik sering ditemukan
8. Mood
Gejala yang sering nampak adalah merah, mengamuk, ketakutan yang
tidak beralasan. Perubahan mood dapat berfluktuasi sepanjang
hari.
9. Gangguan tidur-bangun
Individu sering menunjukan agitasi pada malam hari dan masalah
perilaku pada saat waktu tidur keadaan ini disebut Sundowning10.
Gejala neurologi
Meliputi disfasia, tremor, asteriksis, inkoordiais dan
inkontinensia urine. Kriteria diagnostik delirium yang berhubungan
dengan kondisi medik umum (DSM IV-TR)
a. gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran
terhadap lingkungan dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian).
b. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan
jangka pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi,
persepsi, ilusi dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir
dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi
yang khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat,
dan orang ).c. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari),
perjalanan penyakitnya singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi
sepanjang hari
d. Berdasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
atau laboratorium untuk menemukan penyebab delirium ini
Panduan wawancara dan psikoterapi
Bersikaplah suportif dan tidak mengancam. Meskipun demikian,
bersikaplah tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu
pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan ini
dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat) dan
bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif : minum tablet ini
sekarang!
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukan dan tularkan
sikap yang tenang serta penuh kontrol Tawarkan obat kepada pasien
untuk membantunya menjadi lebih tenang
Evaluasi dan penatalaksanaan
Dalam mengobati delirium, hal yang paling utama adalah mengobati
penyebabnya. Bila penyebabnya akibat toksisitas antikolinergik,
maka digunakan pisostigmin salisilat 1-2 mg intravena atau
intramuskular dan dapat diulang 15 30 menit bila diperlukan.
Terapi psikofarmaka
Selain hal-hal yang benar-benar merupakan keadaan gawat darurat,
ada gangguan psikiatrik yang sebetulnya tidak membahayakan nyawa
pasien tetapi dirasakan sangat menakutkan bagi pasien. Sehingga
seringkali ditemukan di ruang gawat darurat.
Yang tersering adalah gangguan panik yang mirip dengan serangan
jantung serta gangguan koversi yang mirip dengan gangguan
neurologik karena gejalanya dapat berupa: kejang, pingsan, lumpuh,
hilang ingatan dan keluhan sensori motorik lainnyaV
KESIMPULAN
Bunuh diri merupakan perasaan putus asa dan ketidak berdayaan,
konflik ambivalen antara keinginan hidup dan tekanan yang tidak
dapat ditanggung, menyempitnya pilihan yang dirasakan dan keinginan
untuk melarikan diri. bisa dikatakan bunuh diri merupakan cara
keluar dari masalah atau krisis yang hampir selalu menyebabkan
penderitaan yang kuat.
Orang yang mau melakukan bunuh diri memiliki riwayat, tanda dan
gejala kearah bunuh diri, seperti :
Upaya atau khayalan bunuh diri sebelumnya
Kecemasan, depresi dan kelelahan
Tersedia alat-alat untuk bunuh diri
Riwayat bunuh diri dalam keluarga
Gagasan bunuh diri yang diungkapkan
Krisis hidup seperti duka cita
Pesimisme atau keputusan yang pervasif
Menurut teori Psikodinamika dari Sigmund Freud, struktur
kepribadian Ego sangat mempengaruhi tindakan yang akan diambil
seseorang. Dimana peran Ego sebagai organ pelaksana (executive)
dari jiwa yang mengontrol pergerakan, persepsi, kontak dengan
kenyataan dan melalui mekanisme pertahanan yang ada padanya akan
memperlambat dan memodifikasi dorongan ekspresi atau denagn kata
lain Ego menjadi tidak bebas dan terus berlindung dibalik mekanisme
pertahanan diri yang dikembangkannya.
Untuk mengatasinya maka Sigmund Freud menggunakan metode free
association dan dream interpretation untuk membebaskan Ego supaya
keluar dan tidak berada dibalik mekanisme pertahanan. Selain itu
bila pencegahannya dengan Psikodinamika tidak dijalankan, maka
dapat terjadi gangguan kejiwaan yang nantinya mengarah ke bunuh
diri. Bila hal ini terjadi, maka pasien harus mendapatkan terapi
seperti rawat inap dan rawat jalan, pemberian obat-obat seperti
antidepresan atau antipsikosis. Selain itu pasien juga membutuhkan
terapi individu atau terapi kelompok sesuai indikasi dari diagnosis
dasar yaitu gangguan kejiwaan yang mencetuskan terjadinya bunuh
diri.DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Sadock. Comprehensive Textbook of Psychiatry. 7th
edition, volume 2. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia,
2000. Page 2031-20552. Maramis WF. Catatan Ilmu kedokteran Jiwa.
Cetakan ke-8. Airlangga University Press. Surabaya,2004. Hal
421-4473. Kusuma, Widjaja. Dari A sampai Z Kedaruratan Psikiatrik
dalam Praktek. Professional Books. Jakarta. 1997. Hal 3-86.4.
Emergency Psychiatry.
http://en.wikipedia.org/wiki/Emergency_psychiatry5. Endradita G.
Kedaruratan Psikiatrik Fokus Pada Gaduh Gelisah.
http://bakornas.com 6. Konsep Dasar Kedaruratan Psikiatri.
http://ss-uvie.blogspot.com/2010/11/konsep-dasar-kedaruratan-psikiatri.html7.
Hawari, D.; Psikopatologi Bunuh Diri . Balai penerbit FKUI ,
Jakarta, 2010.
8. Prayitno, A. ; Percobaan Bunuh Diri di Jakarta, Dalam
Hubungannya Dengan Diagnosis Psikiatri dan Faktor Sosiokultural,
Disertasi Gelar Doktor FKUI, 1984.
9. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan
kesembilan, Surabaya : Airlangga University Press, 2005.
10. Rumah Sakit Jiwa Lawang, Membangun Kesadaran-Mengurangi
Resiko Gangguan Mental dan Bunuh Diri, 2007. (online), available :
http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html
11. Suwanto, Bunuh Diri, 2009. (online), available :
http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php?
12. Kaplan dan Sadock. Kaplan H. I, Sadock B.J Sinopsis
Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri, Hal 353-367,
Klinis Edisi Ketujuh, Jilid Dua. Binarupa Aksara, Jakarta.
1997.
1