BAB 1 PENDAHULUAN Asma dan chronic pulmonary obstructive disease (COPD), atau umumnya di Indonesia disebut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), merupakan dua penyakit pernapasan yang berbeda. Kelompok kerja internasional Global Initiative for Asthma (GINA) menekankan definisi asma sebagai bentuk reaksi radang kronik (sudah terjadi bertahun-tahun) pada saluran napas akibat hiperresponsivitas jalan napas yang bersifat reversible (dapat kembali atau mendekati keadaan seperti semula) dengan atau tanpa pengobatan dan gejala yang timbul bersifat episodik (hilang timbul).[1] Kelompok kerja internasional Global Initiative for COPD (GOLD) menekankan definisi PPOK sebagai reaksi radang kronik saluran napas akibat terpajan zat kimia, biasanya berupa gas, hingga terjadi gangguan pernapasan yang bersifat tidak sepenuhnya reversible.[2] Latar belakang demografis asma terutama diderita usia muda sementara PPOK terutama diderita usia tua. [1,2] Diagnosis asma tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi pada kelompok usia tua.[3] Kedua penyakit pernapasan ini menyebabkan keluhan yang hampir sama yaitu sesak dan kadang disertai dengan suara mengi (wheezing) pada saat bernapas atau awamnya disebut bengek. Sifat sesak ini, serta gejala-gejala lain, bila 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
Asma dan chronic pulmonary obstructive disease (COPD), atau umumnya
di Indonesia disebut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), merupakan dua
penyakit pernapasan yang berbeda. Kelompok kerja internasional Global Initiative
for Asthma (GINA) menekankan definisi asma sebagai bentuk reaksi radang
kronik (sudah terjadi bertahun-tahun) pada saluran napas akibat hiperresponsivitas
jalan napas yang bersifat reversible (dapat kembali atau mendekati keadaan
seperti semula) dengan atau tanpa pengobatan dan gejala yang timbul bersifat
episodik (hilang timbul).[1] Kelompok kerja internasional Global Initiative for
COPD (GOLD) menekankan definisi PPOK sebagai reaksi radang kronik saluran
napas akibat terpajan zat kimia, biasanya berupa gas, hingga terjadi gangguan
pernapasan yang bersifat tidak sepenuhnya reversible.[2]
Latar belakang demografis asma terutama diderita usia muda sementara
PPOK terutama diderita usia tua.[1,2] Diagnosis asma tidak tertutup kemungkinan
bisa terjadi pada kelompok usia tua.[3] Kedua penyakit pernapasan ini
menyebabkan keluhan yang hampir sama yaitu sesak dan kadang disertai dengan
suara mengi (wheezing) pada saat bernapas atau awamnya disebut bengek. Sifat
sesak ini, serta gejala-gejala lain, bila ditelusuri dengan teliti pada penyakit asma
berbeda dengan PPOK. Seseorang usia tua dengan keluhan sesak dapat
didiagnosis sebagai asma atau PPOK dan untuk menentukan kepastian antara
kedua diagnosis ini merupakan tantangan tersendiri. Tulisan kali ini berusaha
untuk membuka wawasan dan kewaspadaan mengenai bagaimana membedakan
diagnosis asma atau PPOK pada pasien usia tua.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi Asma
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-
ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering
ditemukanadalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi
saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi.
Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang
kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. (Bernstein, 2003)
Penderita asma memiliki tipe khusus peradangan pada saluran nafas yang
membuat mereka lebih responsif dari penderita nonasthmatics ke berbagai
pemicu, menyebabkan penyempitan berlebihan pada saluran nafas, mengi, dan
dyspnea. Penyempitan saluran napas biasanya reversibel, tetapi pada beberapa
pasien dengan asma kronis mungkin ada unsur obstruksi aliran udara ireversibel.
(Longo, 2012)
2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Gambar 2.1Faktor Resiko Asma (Longo, 2012)
2
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga
alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor
pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia
14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali
dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa
perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI),
merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin
dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum
jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
3
a. Alergen makanan. Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut,
kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan
pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu. Contoh: penisilin, sefalosporin,
golongan beta lactam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik,
antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi. Contoh: parfum, household spray, dan
lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
2.1.3 Klasifikasi asma
Gambar 2.2Klasifikasi Derajat Keparahan Asma (Rengganis, 2008)
2.1.4 Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup
4
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas
lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,3-6
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
5
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
(Bernstein, 2003)
2.1.5 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas
cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan
dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi
paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut
ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi
klinis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun
6
Pemeriksaan Penunjang (Gotzsche; Bernstein, 2003)
a. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal
paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara
yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. Untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas
besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE
dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.
d. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan
dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit
tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
e. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran
napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal
inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat
dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,
dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis
sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil
dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
7
f. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan
FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi.
Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen
spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang
sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada
subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam
yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai
ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding
dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat
dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,
histamin, dan metakolin.
2.1.6 Tatalaksana
Keberhasilan penatalaksanaan asma memerlukan pemahaman dua prinsip
dasar yaitu:
1. Pada asma ditemukan heterogenitas dalam hal etiologi penampilan
klinis,keparahan, mortalitas dan respons terhadap pengobatan. Karena
heterogenitas ini tidak mungkin satu pendekatan penatalaksanaan dapat
digunakan untuk semua pasien. Jadi pengobatan harus disesuaikan dengan
pasien secara individu.
2. Keparahan penyakit bisa bervariasi dalam kaitan dengan waktu. Walaupun
penyakit relatif stabil dalam waktu lama, kambuh akibat alergi atau infeksi
adalah umum pada asma. Oleh sebab itu pasien harus diminta kontrol
reguler dan pengobatan dimodifikasi berdasar kebutuhan yang dihadapi
(9).
2.1.6.1 Obat asma
Obat untuk asma dapat digolongkan menjadi pengendali (controller) dan
pelega (reliever). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk
membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti inflamasi.
Reliever adalah obat yang digunakan bila perlu berdasar efek cepat untuk
menghilangkan bronkokontriksi dan menghilangkan gejalanya (Gotzsche)
8
Obat-obat asma dapat diberikan lewat beberapa cara seperti: oral, inhalasi
atau injeksi. Keuntungan utama obat perinhalasi adalah langsung ke saluran nafas,
menghasilkan konsentrasi lokal tinggi dengan risiko efek sistemik kurang
(Gotzsche)
2.1.6.2 Aplikasi
Ada banyak pedoman penatalaksanaan asma internasional maupun nasional. Salah
satunya dari GINA (Global Initative for Asthma). Tujuan penatalaksanaan asma
(Gotzsche)
a. Mencapai dan mempertahankan kontrol asma
b. Mempertahankan level aktivitas norrnal termasuk exercise
c. Mernpertahankan fungsi paru mendekati normal bila mungkin
d. Mencegah eksaserbasi
e. Menghindari efek merugikan (adverse effect) obat asma
f. Mencegah kematian akibat asma
Komponen penatalaksanaan asma (Gotzsche)
a. Membangun kerjasama pasien-dokter
b. Identifikasi dan reduksi paparan faktor risiko
c. Assess, treat dan monitor asthma
d. Pengobatan waktu eksaserbasi
e. Kondisi khusus
a. Membangun kerja sama pasien-dokter
Pengelolaan asma yang efektif memerlukan pembentukan
hubungan kerja sama antara penderita asma, keluarga dengan tenaga
kesehatan. Tujuan kerja sama untuk membuat pasien asma bisa
memperoleh pengetahuan, kepercayaan dan ketrampilan untuk mengambil
peran utama dari penatalaksaan asmanya. Kerja sama terbentuk clan
diperkuat ketika pasien dan tenaga kesehatan mendiskusikan dan
menyetujui tujuan pengobatan, rnembangun rencana pengobatan tertulis
yang bersifat pribadi termasuk monitor sendiri oleh pasien dan evaluasi
periodik pengobatan pasien dan level asma kontrol .
9
Edukasi harus menjadi bagian integral dari semua interaksi antara
tenaga kesehatan dengan pasien . Dari edukasi dan kerja sama pasien-
dokter akan mengalir informasi spesifilk,Iatihan dan nasihat tentang:
Diagnosis
Perbedaan antara reliever dan controller
Kemungkinan efek samping obat
Penggunaan alat inhalasi
Pencegahan gejala dan serangan asma
Tanda asma yang memburuk dan tindakan yang diambil
Monitoring asma control
Bagairnana dan kapan mencari pertolongan medik
b. Identifikasi dan reduksi paparan faktor risiko
Walaupun terapi farrnakologi sangat efektif dalam mengendalikan
gejala dan memperbaiki kualitas hidup, tindakan untuk mencegah
terbentuknya asma, gejala asma dan asma dengan menghindari atau
mengurangi paparan faktor risiko harus diimplementasikan bilamana
mungkin.Saat ini hanya sedikit upaya yang dapat direkomendasikan untuk
mencegah asma karena terbentuknya penyakit asma bersifat kornplek
belum semua diketahui.
Pencegahan asma
Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan
sensitisasi alergi (terbentuknya atopi,nampaknya paling relevan waktu
prenatal dan perinatal) atau mencegah terbentuknya asma pada
individu yang tersensitisasi. Selain mencegah paparan tembakau/rokok
waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak ada intervensi
yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma.
Sensitisasi alergi dapat terjadi perinatal. Untuk saat ini masih
kurang informasi tentang dosis dan waktu kritis dari paparan alergi
untuk mengijinkan intervensi proses tersebut dan tidak ada strategi
yang dapat direkomendasi untuk rnencegah sensitisasi alergi prenatal.
10
Peranan diet terutama menyusui.Dari data yang ada diketahui bayi
yang rnendapat susu sapi atau protein soy mempunyai insiden penyakit
mengi lebih banyak dari bayi yang dapat ASI.
Hygiene hypothesis asma.Walaupun kontroversi namun telah
membawa penegasan bahwa mencegah sensitisasi alergi harus fokus
pada mengarahkan kembali respons imun dari bayi ke Th1 atau
modulasi T regulator cell.Tetapi strategi tersebut saat ini masih
merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih banyak.
Mencegah gejala asma dan eksaserbasi
Eksaserbasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor (disebut sebagai
triger) termasuk alergen,virus,polutan dan obat. Jika rnungkin harus
dihindari. Banyak pasien asma bereaksi dengan berbagai faktor yang
banyak dijumpai dilingkungan sehingga menghindari faktor-faktor
tersebut secara total biasanya tidak praktis dan sangat membatasi
pasien. Medikasi yang dapat membuat pasien asma terkontrol ternyata
banyak bermanfaat sebab pasien-pasien asma yang terkontrol baik
kurang sensitive terhadap faktor risiko tersebut.
o Alergen indoor : tungau domestik, alergen hewan (hewan
berbulu), alergen kecoak dan jamur
o Alergen outdoor : pollen dan mold.Tidak mungkin dihindari
total, untuk mengurangi paparan dengan menutup pintu,
jendela dan tetap tinggal dalam rurnah saat polen dan mold
kadarnya tinggi dan gunakan AC bila mungkin.
o Menghindari makanan
Alergi makanan sebagai faktot pencetus eksaserbasi asma tidak
sering dan terjadi terutama pada anak kecil. Melarang makan
tertentu sebaiknya tidak direkomendasikan dulu sebelum
challence tindakan tersamar ganda dibuat. jika challence positf
melarang makan dapat menghilangkan eksaserbasi. Sulfit suatu
bahan pengawet sering rnenyebabkan eksaserbasi berat dan
kadang-kadang sampai kematian dan harus dihindari oleh
penderita yang sensistif. Membuktikan peranan bahan-bahan
11
makan lain seperti yellow dye tartazine, benzoat, MSG sulit
memastikan dan peranan bahan tersebut nampaknya kecil.
2.1.6.3 Assess,Treat dan Monitor asma
Tiap pasien harus di assess untuk rnenetapkan regimen pengobatan saat
sekarang, kepatuhan pada regimen yang ada sekarang dan level asma kontrol.
Mengacu pada tujuan pengobatan asma maka penderita dapat dikelompokkan
menjadi: terkontrol, terkontrol parsial dan tidak terkontrol.
Level asma kontrol saat sekarang dan pengobatan yang digunakan
sekarang menentukan pemilihan obat farmakologi. Contoh:a)Pasien tak terkontrol
dengan regimen yang digunakan sekarang, maka pengobatan hrus ditingkatkan
sampai tercapai kondisi terkontrol. Jika kondisi terkontrol telah tercapai minimal
3 bulan, pengobatan diturunkan untuk menentukan step dan dosis terendah dari
pengobatan untuk mempertahankan keadaan terkontrol.b)]ika pasien terkontrol
parsial, peningkatan pengobatan harus dipertimbangkan. Dipikirkan opsi yang
lebih efektif (dosis ditingkatkan atau menambah pengobatan), kemampuan dan
biaya untuk opsi pengobatan yang mungkin ada dan kepuasan pasien dengan level
kontrol yang dicapai. (lihat skc-ma )
Gambar 2.3Asma managemen
12
Dari skema di atas ada 5 step yang memberi opsi untuk meningkatkan
efikasi. Step 2 adalah pengobatan awal untuk pasien asma dengan keluhan
persisten yang belum pernah diobati. Jika pada waktu konsultasi awal
menunjukkan asma sangat tidak
Terkontrol, pengobatan dianjurkan dimulai dari step 3.
Bila asma telah terkontrol, monitoring terus berjalan untuk memantau
keadaan terkontrol tersebut dan untuk menentukan step dan dosis obat terendah
yang diperlukan dengan biaya minimal dan kearnanan rnaksimal. Karakteristik
asma adalah suatu penyakit yang berubah-ubah maka pengobatan harus
disesuaikan secara periodik apakah kondisi terkontrol sudah tidak tercapai yang
ditandai dengan gejala meningkat atau terjadi eksaserbasi (5)
2.1.6.4 Pengobatan eksaserbasi
Asma eksaserbasi (asma akut atau asthma attack) adalah kejadian
peningkatan progresif keluhan sesak nafas, batuk, mengi atau chest tightness atau
beberapa kombinasinya (Gotzsche)
Penyebab ekaserbasi (Bernstein, 2003)
Infeksi virus respirasi (paling sering)
Micoplasma pneumonia
Chlamydia pneumonia
Alergen
Iritan (SO2, Particulate pollutans)
Obat (aspirin)
Krisis emosi
Tidak patuh pada pengobatan
Asma eksaserbasi merupakan satu alasan paling sering dari pasien untuk
mencari pertolongan emergensi ke dokter umum atau instalasi gawat darurat.
Evaluasi data dari instalasi gawat darurat menyatakan pasien asma yang datang ke
IGD sebagian besar termasuk asma berat hanya sebagian kecil dengan asma
ringan dan sedang (4). Eksaserbasi asma bisa ringan,berat sampai mengacam
nyawa.Perburukan biasanya terjadi dalam hitungan jam atau hari kadang bisa
terjadi dalam beberapa menit. Eksaserbasi biasanyacmenujukkan ada kontak
dengan trigger. Yang paling sering adalah
13
infeksi virus atau alergen tetapi eksaserbasi yang berjalan gradual bisa terjadi
karena kegagalan penatalaksanaan jangka panjang (6).
Mortaliti dan morbiditi sering dikaitkan dengan kegagalan dalam
mengenal berat eksaserbasi, upaya yang tidak adekuat pada saat onset dan
undertreatment eksaserbasi. Terapi eksaserbasi tergantung dari kondisi
pasiempengalarnan terapi tenaga kesehatan, terapi yang paling efektif untuk
pasien tertentu,obat-obat yang tersedia dan fasilitas gawat darurat.
Terapi utama untuk eksaserbasi adalah pernberian inhalasi b 2 agonist
berulang, glukokortikoid lebih awal dan oksigen (5). Sebelum memberi
pengobatan diperlukan evaluasi awal (assessment). Walaupun evaluasi awal
tersebut penting namun pada eksaserbasi berat pernberian oksigen dan beta 2
agonist harus didahulukan. Evaluasi keparahan penyakit diselesaikan dengan
menilai kemampuan pasien mengucapkan kalimat,tanda-tanda vital, PEFR dan
pulse oxymetri (4). Tujuan terapi adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas
dan hipoksemi secepat mungkin dan
mencegah kekambuhan. Yang paling penting dalam rnenentukan keberhasilan
terapi adalah monitoring kondisi pasien dan respons terapi dengan mengukur faal
paru.Pemulihan sempurna dari eksaserbasi biasanya gradual. Fungsi paru perlu
beberapa hari untuk kembali normal dan beberapa minggu untuk menurunkan
AHR (6).
2.1.6.4.1 Penatalaksanaan eksaserbasi di rumah sakit
Asma eksaserbasi berat rnerupakan gawat darurat medik yang mengancam
jiwa, oleh sebab itu pengobatan sering lebih aman dlkerjakan di Instalasi Gawat
Darurat (IGD). Langkah pertama:penilaian awal atas dasar riwayat penyakit
singkat dan pemeriksaan (pemeriksaan fisik,SaO2, PEFR/FEV1, BGA bila perlu)
yang terkait dengan eksaserbasi dibarengi dengan terapi awal. Pemeriksaan
laboratorium jangan sampai menunda terapi
Awal.
Pengobatan awal:
a. Oksigen untuk mencapai SaO2 e” 90%
b. Inhalasi SABA kontinyu selama 1 jam
14
c. Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respons segera atau jika pasien
sudah minum steroid oral atau episode berat. Evaluasi setelah 1 jam.
Selanjutnya pengobatan disesuaikan dengan respons pengobatan.
a. Respons baik: pulang
Kriteria: respons bertahan sampai 60 menit setelah pengobatan
terakhir. pemeriksaan fisik normal tidak ada distress
PEFR > 70% prediksi
SaO2 > 90%
b. Respons tidak lengkap: dilanjutkan ke perawatan di ruang
perawatan intermediet Kriteria: ada faktor risiko near fatal asma.
Pemeriksaan fisik: tanda ringan-sedang
PEFR < 60% prediksi
SaO2 tidak ada perbaikan
c. Respons jelek ke ICU
Kriteria: ada faktor risiko near fatal asthma. Pemeriksaan fisik
gejala yang berat,ngantuk,bingung
PEFR < 30% prediksi
PaCO2 >45 mmHg, PaO2 < 60 mmHg
2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
2.2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara
yang tidak reversible total. Hambatan aliran udara biasanya progresif
dan dihubungkan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel berbahaya atau gas-gas (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2005).
2.2.2 Faktor Risiko
a. Faktor Host:
Genetik: defisiensi alfa 1 antitripsin, merupakan suatu kelainan
herediter.
Hipereaktivitas bronkus/asma.
Gender: pria lebih berisiko daripada wanita.
Penyakit anak-anak: infeksi saluran napas dan asma anak
(Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2005).
15
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang (PDPI, 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan paru (GOLD, 2014).
Bronkitis kronik (GOLD, 2014).
b. Faktor Eksternal:
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun
60-70 %). Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya
penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor
penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
1. Riwayat merokok: perokok aktif, perokok pasif, atau bekas
perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari
dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600 (PDPI, 2003).
Occupational dust and chemicals.
Polusi udara (indoor dan outdoor). Polusi udara terutama di kota
besar, di lokasi industri, dan di pertambangan (Pedoman
Diagnosis dan Terapi, 2005).
2.2.3 Patogenesis
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran
napas, parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai
bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD
8) dan netrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi menghasilkan berbagai
mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF alfa, dll yang mampu merusak
struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Di
samping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu ketidak
seimbangan protease dan antiprotease di paru dan stress oksidatif
(Pedoman Diganosis dan Terapi, 2005).
16
Gambar 2.4 Konsep Patogenesis PPOK
PPOK berkaitan dengan airflow limitation. Airflow limitation ini
bisa disebabkan karena banyak hal (GOLD, 2014).
Gambar 2.5 Mekanisme yang Mendasari Airflow Limitation pada PPOK
Berikut adalah perbedaan patogenesis asma dengan PPOK.
17
Gambar 2.6 Perbedaan Patogenesis Asma dan PPOK
2.2.4 Patologi
Perubahan patologi yang khas pada PPOK dijumpai di saluran
napas besar (central airway), saluran napas kecil (peripheral airway),
parenkim paru, dan vaskuler pulmonal.
a. Saluran napas besar.
Infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-
kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel Goblet
meningkat
b. Saluran napas kecil.
Inflamasi kronis menyebabkan siklus injury dan repair
dinding saluran napas berulang. Proses repair akan menghasilkan
structural remodeling dari dinding saluran napas dengan
peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang
menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi saluran napas
permanen.
c. Parenkim paru.
Destruksi parenkim paru secara khas berupa emfisema
sentrilobuler. Kelainan tersebut lebih sering dibagian atas pada kasus
ringan, namun bila lanjut bisa terjadi di seluruh bagian paru dan juga
terjadi destruksi pada pulmonary capillary bed.
d. Perubahan Vaskuler Pulmonal.
18
Perubahan struktur yang pertama kali adalah penebalan
intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh
darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot
polos, proteoglikans, dan kolagen bertambah sehingga dinding
pembuluh darah bertambah tebal (Pedoman Diganosis dan Terapi,
2005).
2.2.5 Klasifikasi PPOK
Berikut ini adalah klasifikasi PPOK berdasarkan hasil FEV1
setelah pemberian bronkodilator (GOLD, 2014).
Gambar 2.7 Klasifikasi PPOK
2.2.6 Gejala Klinis
Dua keluhan utama adalah sesak dan batuk.
a. Sesak napas. Sesak timbul progresif secara gradual dalam beberapa
tahun. Mula-mula ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas
sehari-hari.
b. Suara mengi (wheezing)
c. Batuk kronis. Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan
memberat waktu pagi. Dahak biasanya mukoid tetapi berubah
purulen bila eksaserbasi
d. Batuk darah. Dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah
diduga dari saluran napas yang mengalami inflamasi dan
karakteristik: blood-streaked purulen sputum
e. Nyeri dada. Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK.
f. Anoreksia dan berat badan menurun (Pedoman Diganosis dan
Terapi, 2005).
19
Karakteristik PPOK adalah ada eksaserbasi. Bila penyakit
progresif, interval diantara eksaserbasi akut makin dekat
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat
hambatan aliran udara, berat ringan hiperinflasi paru, dan bentuk
tubuh. Awalnya hanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada
ekspirasi paksa. Bila obstruksi berlanjut tampak hiperinflasi dan
barrel chest. Suara napas menurun, ekspirasi memanjang, suara
jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot napas
tambahan atau pursed-lips breathing menunjukkan hambatan
aliran udara berat. Edema tungkai, juguler venous pressure (JVP)
meningkat, hepar teraba, dan hipertensi pulmonal adalah tanda
kor pulmonale kronikum dekompensata (Pedoman Diganosis dan
Terapi, 2005).
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis dibuat atas dasar:
a. Gambaran klinis: riwayat penyakit dan faktor risiko serta
pemeriksaan fisik.
Anamnesis
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan.
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
4.Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya
berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (PDPI, 2003).
Berikut adalah gejala klinis kunci untuk
mendiagnosis PPOK (GOLD, 2014):
20
Gambar 2.8 Gejala Klinis untuk Mendiagnosis PPOK
Pemeriksaan fisik PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.
Saat eksaserbasi mukolitik seperti N-acetyl cystein tidak menunjukkan
manfaat.
5. Kortikosteroid
Indikasi untuk eksaserbasi berat. Dosis pasti belum diketahui. Prednisolon
30-40 mg/hari selama 10-14 hari optimal bila ditinjau dari sudut efikasi
dan keamanan. Kortikosteroid dapat diberikan IV atau oral.
6. Cairan dan Elektrolit. Perlu dimonitor.
7. Nutrisi.
Tatalaksana: Tinggi protein rendah karbohidrat
Protein >1,5 mg/kgBB/hari (PDT, 2005).
(PDPI, 2003)Gambar 2.16
Algoritma Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
34
2.2.10 Komplikasi
1. Gagal Napas
Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan
Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan:
o Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
o Bronkodilator adekuat
o Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu
tidur
o Antioksidan
o Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
o Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
o Sputum bertambah dan purulen
o Demam
o Kesadaran menurun
2. Infeksi Berulang
Pada pasien PPOK, produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi
infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
3. Kor pulmonale
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat
disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003 & Pedoman Diagnosis dan
Terapi, 2005).
2.2.11 Pencegahan
- Mencegah terjadinya PPOK
o Hindari asap rokok
o Hindari polusi udara
o Hindari infeksi saluran napas berulang
- Mencegah perburukan PPOK
35
o Berhenti merokok
o Gunakan obat-obat adekuat
o Mencegah eksaserbasi berulang (Pedoman Diagnosis dan
Terapi, 2005)
2.2.12 Prognosis
Faktor-faktor yang terkait dengan penurunan survival adalah:
- Umur lanjut.
- Terus merokok.
- FEV1 awal < 50% prediksi.
- Penurunan FEV1 meningkat.
- Hipoksemi berat yang tidak diterapi.
- Kor pulmonale dan kapasitas fungsional jelek (Pedoman
Diagnosis dan Terapi, 2005).
36
BAB 3
KESIMPULAN
Asma dan PPOK merupakan dua jenis penyakit pernapasan yang serupa
dengan sifat dan perjalanan penyakit yang berbeda. Gejala yang timbul akibat
penyakit ini adalah sesak dan kadang disertai gejala lain. Kelompok usia tua
terutama dapat mengalami asma walaupun yang tersering adalah PPOK. Asma
terutama disebabkan dan dipicu oleh alergi sementara PPOK terutama disebabkan
oleh pajanan gas berbahaya seperti asap rokok yang berlangsung menahun/kronik.
Wawancara medis (anamnesis), pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang
(spirometri, DLCO, analisis gas darah dan uji tusuk kulit) secara mendalam akan
membantu untuk membedakan asma dan PPOK pada usia tua walaupun sulit.
Prinsip pengobatan hampir sama yaitu menghindari faktor risiko, mencegah
eksaserbasi, pemberian bronkodilator dan pemberian kortikosteroid. Khusus pada
PPOK, karena penyakit ini berlangsung menahun dan semakin lama semakin
memberat maka perlu ditambahkan fisioterapi paru dan bila perlu suplementasi
oksigen. Bronkodilator dan kortikosteroid dapat diberikan dan memiliki respons
yang berbeda antara kasus asma dengan PPOK pada usia tua. Efek samping dari
masing-masing obat juga perlu menjadi perhatian dalam pemberian obat pada
kasus asma dan PPOK pada usia tua.
37
DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, J. (2003). Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.
Busse PJ. Asthma in the Elderly. New England Society of Allergy [serial on the Internet]. 2011 [cited 2012 Feb]: Available from: http://www.newenglandsocietyofallergy.org/2011%20Fall%20Docs/Asthma%20in%20the%20Elderly%20handout.doc.
GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for Asthma; 2011 [updated 2011 Dec; cited 2012 Feb 14]; Available from: http://www.ginasthma.org/.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2014, Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2014.
Gotzsche, C. (n.d.). House dust mite control measures for asthma: systematic. Systematic review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria, 63,646.
Longo, D. L. (2012). Harrison's Principles of Internal Medicine. USA: The McGraw-Hill Companies.
PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit UI: Jakarta
Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT), 2005. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Paru. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo: Surabaya.
Rengganis, I. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana. Majalah Kedokteran Indonesia.
Sin BA, Akkoca Ö, Saryal S, Öner F, Mısırlıgil Z. Differences between asthma and COPD in the elderly. J Investig Allergol Clin Immunol. 2006;16(1):44-50.
Tzortzaki EG, Proklou A, Siafakas NM. Asthma in the elderly: can we distinguish it from COPD? Journal of Allergy. 2011;2011:843543 – 9.