Referat Kegawatdaruratan Paru REFERAT KEGAWATDARURATAN PARU Pembimbing: Dr. Titi Sundari, Sp.P Dr. Adria Rusli, Sp.P Penyusun: Patrisiea Caroline (406147006) Indah Pratiwi (406147034) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA KEPANITERAAN BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI PROF. DR. SULIANTI SAROSO Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso Periode 2 Februari – 11 April 2015 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Referat Kegawatdaruratan Paru
REFERAT KEGAWATDARURATAN PARU
Pembimbing:
Dr. Titi Sundari, Sp.P
Dr. Adria Rusli, Sp.P
Penyusun:
Patrisiea Caroline (406147006)
Indah Pratiwi (406147034)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
KEPANITERAAN BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI
PROF. DR. SULIANTI SAROSO
JAKARTA
PERIODE 2 FEBRUARI 2015 – 11 APRIL 2015
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 1
Referat Kegawatdaruratan Paru
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga referat yang berjudul Kegawatdaruratan Paru ini dapat diselesaikan
dengan baik. Adapun referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit
Dalam.
Referat ini antara lain menguraikan dengan singkat tentang definisi, etiologi,
epidemiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan pada penyakit yang termasuk
kegawatdaruratan paru.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna baik
materi maupun teknik penulisan, dan penulis dengan senang hati akan menerima segala
kritikan yang ada sebagai suatu pandangan yang membangun agar di kemudian hari dapat
membuat referat yang lebih baik. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih pada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan referat ini sehingga dapat selesai sesuai
waktu yang ditentukan, terutama saya ucapkan terima kasih kepada dr. Titi Sundari Sp. P dan
dr. Adria Rusli, Sp.P selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam pengerjaan
referat ini.
Akhir kata, Penulis berharap semoga referat ini dapat meningkatkan pengetahuan
pembaca dan bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, Maret 2015
Penulis
BAB I
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 2
Referat Kegawatdaruratan Paru
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Manusia memiliki 2 proses pernafasan dalam tubuh, yaitu pernafasan luar
(eksterna), suatu penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida dari tubuh
secara keseluruhan serta pernafasan dalam (interna), penggunaan oksigen dan
pembentukan karbondioksida oleh sel-sel serta pertukaran gas antara sel-sel tubuh.
Secara garis besar terdapat empat tahapan proses pernapasan diantaranya yaitu, 1)
ventilas, 2) difusi O2 dan CO2 melalui membran respirasi, 3) transportasi O2 dan CO2 dari
& kedalam sel, 4) pengaturan ventilasi oleh saraf.
Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru terganggu, yang bila
tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut
yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen dalam arteri (hipoksemia) atau
naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduannya.
Kedaruratan paru atau pernafasan merupakan faktor yang diperhitungkan dalam
gawat darurat pasien, banyak kasus yang gagal bukan akibat penyakit primernya, tetapi
karena kegagalan fungsi pernafasan baik karena gangguan sentral maupun akibat
infeksi. Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi yang serius dan
membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar antara: 1) Penyakit primer yang mengenai
sistem bronkopulmoner seperti hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status
asmatikus, dan Edema paru. 2) Gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap
gangguan organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi pusat
pernafasan. Pada semua keadaan, perhatian utama harus lebih ditujukan kepada
tindakan penyelamatan dari pada penyelidikan diagnostik. Bila tindakan penyelamatan
telah berjalan, selanjutnya dilaksanakan evaluasi dan pengelolaan penyakit dasar
pasien.
BAB II
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 3
Referat Kegawatdaruratan Paru
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Gagal Nafas Akut
II.1.1 Definisi Gagal Napas Akut
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel – sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal (Amin dan Purwoto, 2014). Secara
sederhana peranan pernafasan ialah mempertahankan PO2, PCO2 dan pH arteri agar
tetap normal. Gagal napas akut secara numeric didefinisikan sebagai kegagalan
pernapasan bila tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg tanpa
atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) > 45 mmHg (Amin dan
Purwoto, 2014).
Apabila terdapat tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO2) < 60 mmHg, yang berarti
terdapat gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa
(fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21, maupun saat mendapat bantuan oksigen. Sedangkan
jika terdapat tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) > 50 mmHg berarti terjadi
gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang
asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi
terhadap pH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak
normal, meskipun masih dibawah 50 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini
dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia (Gunning, 2003).
II.1.2 Klasifikasi Gagal Napas Akut
Gagal napas dapat dibagi menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas
hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut
berkembang dalam waktu menit sampai jam dan gagal napas kronik berkembang
dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi
dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya pH hanya akan
menurun sedikit (Amin dan Purwoto, 2014).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 4
Referat Kegawatdaruratan Paru
Gambar 1. Klasifikasi Gagal Napas
1. Gagal Napas Hipoksemia / Gagal Napas Tipe I / Gagal Oksigenasi
Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas
hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2 normal
atau rendah. Derajat PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas
hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada
lingkungan yang tidak biasa, diamana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat
rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal
napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim
paru atau sirkulasi paru (Alfred, 2008). Contoh klinis yang umum menunjukan
hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 adalah pneumonia, aspirasi isi lambung,
emboli paru, asma dan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) (Amin dan
Purwoto, 2014).
2. Gagal Napas Hiperkapnia / Gagal Napas Tipe II / Gagal Ventilasi
Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar
PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2
tersisih dialveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan
hiperkapnia dan hipoksemia bersamasama, kecuali bila udara inspirasi diberi
tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 5
Referat Kegawatdaruratan Paru
napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim
paru seperti dinding dada, otot pernapasan atau batang otak. Penyakit paru
obstruktif kronik yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien
dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory
Distress Syndrome) berat dapat menunjukan gagal napas hiperkapnia (Amin dan
Purwoto, 2014).
II.1.3 Etiologi
Penyebab gagal napas ini dibagi menjadi gangguan ekstrinsik paru dan gangguan
intrinsik paru. (Alfred,2006). Untuk gangguan ekstrinsik paru terdiri dari : Penekanan
pusat pernapasan (over dosis obat, trauma serebral/infark, poliomyelitis bulbar, dan
kelainan kardiovaskular (gagal jantung, emboli paru) dan pneumotoraks (Alfred,2006).
II.1.4 Patofisiologi
A. Patofisiologi Gagal Napas Hipoksemia
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 6
Referat Kegawatdaruratan Paru
Istilah hipoksemia menunjukan PO2 yang rendah didalam darah arteri (PaO2)
dan dapat digunakan untuk menunjukan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler
paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah
atau berkurangnya saturasi oksigen didalam hemoglobin. Hipoksia berarti
penurunan penyampaian ( delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan
penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat menyebabkan hipoksia. Hipoksia
dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya
curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana
PaO2 arterial dapat meningkat atau norma (Amin dan Purwoto, 2014).
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama yaitu
berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena
(venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru,
dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan dipembuluh darah paru,
maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan
parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. Kadar PO2 darah vena
sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang
bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan
gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan
batas atas PO2 arteri dan semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2 (Amin
dan Purwoto, 2014).
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau
peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan
darah kapiler pulmonal (campuran vena).
a. Penurunan PO2 Alveolar
Fraksi oksigen inspirasi rendah
Bisa disebabkan suplai oksigen yang tidak baik atau peningkatan dead
space paru.
Tekanan barometrik rendah
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 7
Referat Kegawatdaruratan Paru
Tekanan atmosfer yang rendah menurunkan PO2 lingkungan sehingga
PAO2 dan PaO2 juga menurun.
Hipoventilasi berat
b. Pencampuran Vena (Venous Admixture)
Gangguan difusi
Terdapat berbagai lapisan antara rongga alveolar hingga mencapai
hemoglobin di dalam eritrosit. Kelainan pada lapisan tersebut dapat
menggangu proses difusi O2 dan CO2. Meskipun demikian CO2 lebih
mudah mengalami difusi 20x dibandingkan oksigen, sehingga kelainan
pada lapisan, seperti pada fibrosis paru dan edema tidak selalu
disertai hiperkapnia.
Ketidakseimbangan ventilasi/perfusi
Merupakan penyebab tersering hipoksia pada pasien dengan keadaan
kritis. Pada hipoksemia terjadi penurunan ventilasi. Biasanya karena
atelektasis, emboli paru, bronkospasme, obstruksi saluran nafas,
pneumonia atau ARDS.
Pirau Kanan-Kiri
Terjadi ketika sebagian darah vena pulmonal tidak meelwati alveolus
yang kaya oksigen, akhirnya saturasi Oksigen pada vena pulmonalis
menurun. Karena tidak melewati alveolus hipoksemia akibat pirau
tidak membaik pasca pemberian oksigen. Ketidakseimbangan V/Q
berat akibat alveolus kolaps seluruhnya, konsolidasi atau edema juga
dapat menyebabkan pirau kanan-kiri.
B. Patofisiologi Gagal Napas Hiperkapnia
Kegagalan napas hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh
hipoventilasi saja atau gabungan dengan salah satu atau semua mekanisme
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 8
Referat Kegawatdaruratan Paru
hipoksemia seperti ketidakseimbangan V/Q, pirau, atau mungkin gangguan difusi.
Kegagalan pada ventilasi murni terjadi pada gangguan ekstrapulmonal yang
melibatkan kegagalan kendali saraf atau otot-otot pernapasan. Contoh klasik
gagal napas hiperkapnia adalah PPOK dan melibatkan ketidakseimbangan V/Q dan
hipoventilasi (Amin dan Purwoto, 2014).
Hipoventilasi Alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses
metabolik setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari
kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2
ke ruang pertukaran gas dikedua paru, sedangkan VA adalah volume udara
yang dipertukarkan dialveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan
rumus :
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VA (L/men) X 1/863
Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA
menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan
terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan
hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar
tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan
menggunakan rumus PaCO2 diatas (Amin dan Purwoto, 2014).
Ventilasi Semenit
Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang ( dan PaCO2
meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langsung,jumlah total
udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur
dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit,
VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan
penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran
gas) dan ventilasi ruang rugi (dead space ventilation, VD)
VE = VA + VD
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 9
Referat Kegawatdaruratan Paru
VA = VE – VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VE (L/men) X (1-VD/VT)/863
VD/VT menunjukan derajat insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang
normal yang sedang istirahat sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut
berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru
proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT
meningkat juga. Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar) terjadi saat : nilai VE
dibawah normal, nilai VE normal/tinggi tetapi rasio VD/VT meningkat, dan
nilai VE dibawah normal dan rasio VD/VT meningkat (Amin dan Purwoto,
2014).
Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara
dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut
berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi).
Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis, jalan napas buatan dan
bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan
ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit
paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi
fisiologis.
Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah
aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching). Walaupun
V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan
bukan hiperkapnia, tetapi secara teori juga akan meningkatkan PaCO2.
Kenyataannya dalam hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching
yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan
PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak
menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan VE
(Amin dan Purwoto, 2014).
II.1.5 Gambaran Klinis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 10
Referat Kegawatdaruratan Paru
Manifestasi klinis gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran
hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan
ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispneu, takipneu
dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan
mendeteksi hipoksemia dan kemampuan system pernapasan untuk merespon. Pada
pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi
terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal,
tetapi juga didapatkan pada daerah sentral disekitar membran mukosa dan bibir
(Amin dan Purwoto, 2014).
Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi
pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan
yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme
ke arah anaerob disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat
didarah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat
menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir
abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang
lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen
(Amin dan Purwoto, 2014).
Aktivitas system saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya
takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang
lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardi, vasodilatasi, dan hipotensi, serta
menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung. Manifestasi gagal
napas hipoksemik akan lebih buruk lagi jika ada gangguan hantaran oksigen ke
jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang,
anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diprediksi akan mengalami hipoksia jaringan
global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok
hipovolemi yang menunjukan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial
ringan (Amin dan Purwoto, 2014).
Gambaran klinis hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.
Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 11
Referat Kegawatdaruratan Paru
terutama melalui turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan
akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas and cepat kedalam serebro spinal, pH
turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. 5 Peningkatan PaCO2 pada
penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal
meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar pH yang
rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain
daripada nilai PaCO2 mutlak
Gejala hiperkapnia dapat bersama-sama dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia
menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin
memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit
dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi gejala-gejala seperti dispneu, takipneu,
bradipneu dapat ditemukan pada gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas
hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan mekanisme penyebabnya,
dengan diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru
dan penyakit non paru (Amin dan Purwoto, 2014).
Tabel 1. Manifestasi klinis hipoksemia dan hiperkapnia
Hiperkapnia Hipoksemia
Somnolen Letargi Koma Asteriks Tidak dapat tenang Tremor Bicara kacau Sakit kepala Edema papil
Ansietas Takikardi Takipneu Diaforesis Aritmia Perubahan status mental Bingung Sianosis Kejang Asidosis laktat
II.1.6 Diagnosis
Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan
mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi
pada setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia ringan sangat sulit terdeteksi dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 12
Referat Kegawatdaruratan Paru
kadang tidak terdiagnosis. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk
dapat terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara
mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah arteri (arterial blood
gas), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap
untuk mengetahui apakah ada anemia yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan.
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlaying disease
(penyakit yang mendasarinya).2,3 Selain itu pemeriksaan fungsi pernapasan tidak boleh
diabaikan dalam diagnosis dan terapi perawatan yang adekuat, karena dengan
pemeriksaan ini kita menapatkan informasi yang berharga bukan hanya untuk
menentukan berat dan jenis gagal napas tetapi juga untuk mengenali mekanisme yang
terlibat. Sejumlah pemeriksaan fungsi ventilasi di samping tempat tidur juga sering
dilakukan untuk menilai cadangan ventilasi dan perlunya ventilasi mekanis. Status
ventilasi dan status asam-basa dinilai dengan memeriksa PaCO2, bikarbonat (HCO3-)
dan pH (Amin dan Purwoto, 2014).
II.1.7 Tatalaksana
Prioritas dalam penanganan gagal napas berbeda-beda tergantung pada faktor
etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien yaitu,
menangani sebab gagal napas dan bersamaan dengan itu memastikan adanya ventilasi
yang memadai dan jalan napas yang bebas. Karena hal yang paling mengancam nyawa
akibat gagal napas adalah gangguan pada pertukaran gas, maka tujuan pertama dari
terapi adalah memastikan bahwa hipoksemia, asidemia, hiperkapnia tidak mencapai
taraf yang membahayakan. PaO2 sebesar 40 mmHg atau pH sebesar 7,2 atau kurang
sangat sulit ditoleransi oleh orang dewasa dan dapat mengakibatkan gangguan otak,
ginjal, dan jantung, serta dapat terjadi disritmia jantung. PaCO2 diatas 70 mmHg dapat
mengakibatkan depresi sistem saraf pusat dan koma (Amin dan Purwoto, 2014).
Dasar pengobatan gagal napas akut dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan
yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 13
Referat Kegawatdaruratan Paru
adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru,
sedangkan pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
A. Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-
gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh kealam keadaan yang lebih buruk.
Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi
penyakitnya (Amin dan Purwoto, 2014).
Atasi Hipoksemia : Terapi Oksigen.
Atasi Hiperkapnia : Perbaiki Ventilasi (jalan napas dan ventilasi bantuan).
Ventilasi kendali.
Fisioterapi dada.
1. Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh
hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive akibat kenaikan PaO2
pasien dapat apneu. Terapi yang dilakukan adalah dengan menaikan
dengan hipotermi sampai 34 ̊ C atau pemberian obat pelumpuh otot
(Alfred,2008).
Ventilasi dilakukan secara bantuan dan terkendali. Cara pemberian oksigen
dapat dilakukan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe
venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi
kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%
(Alfred,2008).
Tabel 2. Cara Pemberian Oksigen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 14
Referat Kegawatdaruratan Paru
2. Perbaiki Ventilasi
Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara
sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan
mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis respiratori, hal ini harus
diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator.
Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru kronis yang menjadi akut
kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik dengan pH darah
tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal dikenal sebagai
asidosis respiratori terkompensasi sebagian atau penuh (Alferd,2008).
Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan pH
darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan,
dapat menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi
hipokalemia, gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti
jantung. Penurunan tekanan CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4
mmHg/jam (Amin dan Purwoto, 2014).
Perbaiki jalan napas (Air Way) terutama pada obstruksi jalan napas bagian
atas, dengan hiperekstensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior
menutupi jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka
dan mandibula didorong ke depan (triple airway manuver). Hal ini biasanya
berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan napas bagian atas. Sambil menunggu
dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada
obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain.
Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa
nasofaring atau pipa trakhea Alfred,2008).Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 15
Referat Kegawatdaruratan Paru
Berikan ventilasi bantuan kepada pasien. Pada keadaan darurat dan tidak
ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth
to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien
masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator,
seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressere
Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui sungkup muka yang
dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka
tekanan negatif yang ditimbulkan akan menggerakan ventilator dan
memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur (Guyton, et al,
2005).
3. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakhea dan dihubungkan dengan
ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya
diperlukan obat-obatan sedatif, narkotika, atau pelumpuh otot agar
pernapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator (Guyton, et al, 2005).
4. Fisioterapi Dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan
bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan kedua telapak tangan
pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan
juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi
dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti
mukolitik, bronkodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator (Amin
dan Purwoto, 2014).
B. Pengobatan spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlaying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 16
Referat Kegawatdaruratan Paru
memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau
bronkoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3. Pengobatan spesifik pada gagal nafas akut
1. Bronkodilator
Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos,
tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 17
Referat Kegawatdaruratan Paru
inflamasi. Merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruktif, tetapi
peningkatan resistensi jalan napas juga ditemukan oada banyak penyakit paru
lainnya, seperti edema paru, ARDS, dan mungkin pneumonia (Amin dan
Purwoto, 2014).
2. Agonis beta-adrenergik / simpatomimetik
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang
sama, efek samping sangat berkurang bila dilakukan dengan rute inhalasi,
sehingga dosis yang lebih besar dan lebih lama dapat diberikan. Efek samping
dari obat ini adalah tremor, takikardi, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia (Amin
dan Purwoto, 2014).
3. Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik)
tergantung pada derajat tonus parasimpatis instrinsik. Obat-obat ini kurang
berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih
berperan. Direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan
bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu digunakan dalam
kombinasi dengan agonis beta-adrenergik (Amin dan Purwoto, 2014).
4. Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-
adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada
pemasangan trakeostomi (Tanto-Liwang et al., 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
Tidak didapatkan darah pada nasofaring dan orofaring
Terdapat ronki basah / kering, pleural friction rub
Pada jantung terdapat tanda gagal jantung, hipertensi pulmonal, stenosis
mitral (Tanto-Liwang et al., 2014).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 24
Referat Kegawatdaruratan Paru
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks, DPL, ureum, kreatinin, urin lengkap, hemostasis, sputum BTA,
Gram, kultur, resistensi obat.
Bronkoskopi bertujuan untuk menentukan lokasi dan memastikan diagnosis.
II.2.6 Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah (Amirullah, 2004) :
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah:
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan
sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan
bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan .
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support kardiopulmaner
dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab
utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.Masalah utama dalam
hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dan penumpukan darah dalam saluran
napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptisis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 25
Referat Kegawatdaruratan Paru
paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam
jumlah banyak dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian.5,8
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif
Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut (Pitoyo, 2006) :
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan
dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan
darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan
pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali
disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan
dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan
sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran
nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat
pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan
sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein 10 - 20
mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga
kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita
dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 26
Referat Kegawatdaruratan Paru
c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam
kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Apabila
ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik
memberikan faktor tersebut dengan infus. Di beberapa rumah sakit masih
memberikan Hemostatika (Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari
atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat
memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat. Dapat juga
diberikan obat hemostatik lain seperti asam traneksamat, vit c, vit k, dan
kalsium.
d. Pemberian obat penekan refleks batuk
Obat antitusif tidak dianjurkan untuk digunkana dengan
pertimbangan batuk yang adekuat mungkin dibutuhkan untuk
mengeluarkan darah dari jalan napas dan mencegah asfiksia. Obat antitusif
hanya dipertimbangkan pada kasus dengan bercak darah minimal tetapi
batuk dangat kuat.
e. Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease)
Bila sebbanya infeksi (misalnya bronkiektasis, bronkitis kronik, dan
fibrosis kistik yang terinfeksi) antibiotik harus diberikan disertai teofilin atau
agonis b- adrenergik (sebagai perangsang gerakan mukosiliar). Pada
tuberkulosis paru yang terinfeksi selain obat anti tuberkulosis antibiotik
nonspesifik harus diberikan. Pada penyakit paru obstruktif kronik antibiotik
spektrum luas mempercepat penghentian hemoptisis.
2. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah
masif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru
adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah.Reseksi bedah segera pada tempat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 27
Referat Kegawatdaruratan Paru
perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan atas
pertimbangan (Arief, 2009):
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian
pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
II.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu ditentukan
oleh tiga faktor (Pitoyo, 2006):
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke
dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan (Arief, 2009):
Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan saluran
napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak tampak
anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000
cc/24 jam ).
Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah
terhisap ke bagian paru yang sehat.
Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan kolaps dan
terjadi atelektasis.
Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila perdarahan
terjadi dalam waktu lama.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 28
Referat Kegawatdaruratan Paru
II.2.8 Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami
hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor
yang menentukan prognosis (Pitoyo, 2006):
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
a. Hemoptisis < 200ml / 24 jam prognosa baik
b. Profuse massive > 600cc/24 jam prognosa jelek 85% meninggal
1) Dengan bilateral far advance dan faal paru kurang baik
2) Adanya kelainan jantung.
II.3 Acute Respiratory Distsress Syndrome (ARDS)
II.3.1 Definisi
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai
oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar – kapiler terhadap air, larutan dan
protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam
parenkim paru yang mengandung protein (Amin dan Purwoto, 2014).
Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa
tahun 1994 terdiri dari :
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut;
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang
mmHg, tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi
atrial kiri / (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).
Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor resiko terjadinya ALI dan tidak
adanya penyakit paru kronik yang bermakna (Amin dan Purwoto, 2014).
II.3.2 Etiologi
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma
jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit
apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru:
1. Trauma langsung pada paru
a. Pneumoni virus, bakteri
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock, Luka bakar hebat, tenggelam
c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
d. Pankreatitis
e. Uremia
f. Overdosis obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin
g. Idiophatic (tidak diketahui)
h. Bedah Cardiobaypass yang lama
i. Peningkatan TIK
j. Terapi radiasi
k. Trauma hebat, Cedera pada dada
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 30
Referat Kegawatdaruratan Paru
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau
cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan
kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal.
II.3.3 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadnya ARDS bisa karena akibat kelainan sistemik atau karena
kelainan paru itu sendiri. Dapat dilihat pada tabel 6 faktor resiko penyakit yang
berhubungan dengan ARDS.
Tabel 6. Faktor resiko yang berhubungan dengan ARDS
Akibat Sistemik Akibat Paru Sendiri
Luka berat Sepsis Pankreatitis DIC Shock Transfusi berulang Luka bakar Obat – obatan/ overdosis Opiat, aspirin, fenotoazin,
antidepresan trisiklik, amiodaron Kemoterapi Cardiopulmonary bypass Trauma kepala
Aspirasi asam lambung TB milliar Emboli karen pembekuan darah,
lemak, udara, atau cairan amnion Radang paru difus / luas Obstruksi saluran nafas atas Asap rokok yang mengandung kokain Near-drowning Keracunan oksigen, nitrogen diosida,
chlorine, sulfur dioksida, amonia, asap.
Trauma paru Lung reexpansion or reperfusion
II.3.4 Patogenesis
ALI / ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung.
Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang
dapat dijumpai secara tumpang tindih: inisiasi, amplifikasi, dan injury (Amin dan
Purwoto, 2014).
Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel – sel
imun dan non – imun melepaskan mediator – mediator dan modulator – modulator
inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 31
Referat Kegawatdaruratan Paru
netrofil teraktivasi, tertarik dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target
tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease,
yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase
ini disebut fase injury (Amin dan Purwoto, 2014).
Kerusakan pada membrane alveolar – kapiler menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar.
Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi
kerusakan lebih jauh. Terdapat tiga fase kerusakan alveolus (Amin dan Purwoto,
2014):
1. Fase eksudatif : ditandai edema interstitial dan alveolar, nekrosis sel
pneumosit tipe I dan denudasi / terlepasnya membran basalis, pembengkakan
sel endotel dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran
hialin pada duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga
ditemukan hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru;
2. Fase proliferatif : paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai
proliferasi sel epitel pneumosit tipe II;
3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
II.3.5 Diagnosis
Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi
faktor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronki
basah kasar yang jelas. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan
ronki basah. Gambaran hipoksia/sianosis yang tak respon dengan pemberian oksigen.
A. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia, dan
kebutuhan tinggi akan oksigen terinspirasi (FiO2) untuk mempertahankan saturasi
oksigen. Pasien mungkin demam atau hipotermia. Karena ARDS sering terjadi
dalam konteks sepsis, hipotensi terkait dan vasokonstriksi perifer dengan
ekstremitas dingin mungkin ada. Sianosis pada bibir dan kuku dapat terjadi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 32
Referat Kegawatdaruratan Paru
Pemeriksaan paru – paru dapat mengungkapkan adanya ronki basah kasar (rales)
bilateral (Amin dan Purwoto, 2014).
Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan nyeri perut
akut dalam kasus ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik tanpa
sumber yang jelas, perhatikan selama pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi
penyebab potensial dari sepsis, termasuk tanda-tanda konsolidasi paru-paru atau
temuan konsisten dengan abdomen akut. Bedakan edema paru kardiogenik dan
ARDS, hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung kongestif atau kelebihan beban
volume intravaskular, termasuk distensi vena jugularis, murmur jantung dan
gallop, hepatomegali, dan edema.
B. Pemeriksaan Penunjang
Dalam ARDS, jika tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2)
dibagi oleh fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya adalah 200 atau
kurang. Untuk pasien bernafas oksigen 100%, ini berarti bahwa PaO2 kurang dari
200. Pada cedera paru akut (ALI), rasio PaO2/FIO2 kurang dari 300. Pemeriksaan
penunjang untuk ARDS (Amin dan Purwoto, 2014). :
1. Laboratorium
a. Analisis gas darah : hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena
hiperventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis
respiratorik pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
b. Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi
sistemik dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
c. Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata
(sebagai bagian dari MODS / multiple organ dysfunction syndrome).
d. Sitokin – sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang meningkat
dalam serum pasien pada risiko ARDS
2. Pencitraan
a. Foto dada : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif
jernih, kemudian tampak bayangan radioopak difus dan tidak terpengaruh
gravitasi, tanpa gambaran kongesti jantung.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 33
Referat Kegawatdaruratan Paru
II.3.6 Perjalanan Penyakit
ARDS muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan penyakit yang
mempengaruhi paru secara langsung ( seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berta
dan kontusi paru) atau secara tidak langsung ( sepsis sistemik, trauma berat,
pankreatitis). Dalam 12 – 48 jam setelah kejadian awal pasien mengalami distress
pernapasan dengan perburukan sesak napas dan takipneu. Pemeriksaan gas darah
arteri menunjukkan hipoksemia yang tidak respon terhadap oksigen melalui nasal.
Infiltrat difus bilateral terlihat pada rontgen tanpa disertai gambaran edema paru
kardiogenik. ARDS merupakan bentuk acute lung injury yang paling berat dan
dicirikan oleh :
1. Riwayat trauma atau penyeakit yang menjadi inisiator
2. Hipoksemia refrakter terhadap terapi oksigen. Pada ARDS PO2/FiO2 <26
kPa (200mmHg)
3. Infiltrat difus bilateral pada rontgen toraks
4. Tidak ada bukti edem paru kardiogenik
II.3.7 Tatalaksana
1. Ambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator mekanik.
Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS meliputi:
Volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB).
Positive end expiratory pressure (PEEP) yang adekuat, untuk memberikan
oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman.
Menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah
titik refleksi dari kurva pressure-volume).
Menyesuaikan rasio I:E (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi
terhadap ekspirasi dan hiperkapnia yang diperbolehkan).
2. Obat – obatan :
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 34
Referat Kegawatdaruratan Paru
a. Kortikosteroid pada pasien dengan fase lanjut ARDS / ALI atau fase
fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten, pada
atau sekitar hari ketujuh ARDS..
b. Inhalasi nitric oxide (NO) memberi efek vasodilatasi selektif pada area paru
yang terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan
arteri pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi arterial. Diberikan
hanya pada pasien dengan hipoksia berat dengan refrakter (Amin dan
Purwoto, 2014).
3. Posisi pasien : posisi telungkup meningkatkan oksigenasi, tetapi tidak mengubah
mortalitas. Perhatian terutama saat merubah posisi telentang ke telungkup, dan
mencegah dekubitus pada area yang menumpu beban.
4. Cairan : pemberian cairan harus menghitung keseimbangan antara :
a. Kebutuhan perfusi organ yang optimal
b. Masalah ekstravasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular mendorong akumulasi cairan di alveolus.
Fokus utama ialah mempertahankan perfusi yang adekuat tanpa mengorbankan
oksigenasi. Restriksi cairan paling baik dimonitor dengan kateter arteri pulmonal, dan
cairan dipertahankan pada level dimana tekanan hidrostatik intravaskular terendah,
tetapi curah jantung adekuat. Tetapi hal ini tidak terbukti memperbaiki hasil
pengobatan.
II.3.8 Komplikasi
Multiorgan dysfunction syndrome (MODS)
Pneumonia nosokomial
Barotraumas, pneumotoraks
Trauma laring
Trakeomalasia
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 35
Referat Kegawatdaruratan Paru
Fistula trakeo – esophageal
Kematian
II.3.9 Prognosis
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh :
a. Faktor resiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain – lain
b. Penyakit dasar
c. Adanya keganasan
d. Adanya atau timbulnya disfungsi organ multipel
e. Usia
f. Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio PaO2
/ FIO2 dalam 3-7 hari pertama.
Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam 3 bulan dan
mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan keenam setelah
ekstubasi. 50% pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi dan
penurunan kapasitas difusi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup.
II.4 Status Asmatikus
II.4.1 Definisi
Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak
responsif dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian nebulasi
β-agonis (bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan respon yang baik.
Serangan pada status asmatikus dapat terjadi dari yang ringan sampai yang berat
tergantung dari tingkat obstruksi pada bronkus yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi, sekresi mukus dan inflamasi pada saluran pernapasan. Semuanya itu
dapat menyebabkan gejala berupa sesak napas, retensi dari CO2, hipoksemia dan
kegagalan pernapasan (Surjanto,et all, 2008). Asma adalah suatu inflamasi kronik pada
saluran pernapasan pada paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada bronkus
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 36
Referat Kegawatdaruratan Paru
secara episodik, bersifat reversible, umumnya berlangsung selama beberapa menit
sampai jam dan secara klinis dapat pulih secara normal.
II.4.2 Klasifikasi
Tabel 7. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan gambaran klinis (PDPI, 2006)
Derajat Asma Gejala Gejala malam Faal paruIntermitten(Bulanan)
o Gejala < 1x/ mingguo Tanpa gejala di luar
serangano Serangan singkat
o ≤ 2 kali sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi
o APE ≥80 % nilai terbaiko Variabilitas APE < 20 %
Persisten ringan(mingguan)
o Gejala > 1x / minggu, tetapi < 1x/ hari
o Serangan dapato Mengganggu aktivitas
dan tidur
o > 2x sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi
o APE ≥80 % nilai terbaiko Variabilitas APE 20 -
30%Persisten sedang(harian)
o Gejala setiap hario Serangan mengganggu
aktivitas dan tiduro Membutuhkan
bronkodilator setiap hari
o > 1x seminggu o VEP1 60 - 80 % nilai prediksi
o APE 60 - 80 % nilai terbaik
o Variabilitas APE >30 %
Persisten berat(kontinyu)
o Gejala terus meneruso Sering kambuho Aktivitas fisik terbatas
o Sering o VEP1 ≤60 % nilai prediksi
o APE ≤ 60 % nilai terbaiko Variabilitas APE >30%
II.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemilihan jenis pemeriksaan tergantung dari data riwayat penyakit dan kondisi pasien
(Surjanto,et all, 2008).
1. Pulse oximetry memberikan evaluasi saturasi oksigen, yang sangat penting karena
penyebab kematian utama pada status asmatikus adalah hipoksia. Keuntungan
penggunaan pulse oximetry adalah ia mudah didapatkan, tidak invasive,
menunjukkan monitoring yang berterusan, dan merupakan indikator yang baik
untuk hipoksemia akibat gangguan ventilasi/perfusi mismatch.
2. Pengukuran elektrolit serum adalah sangat penting, terutama untuk memonitor
kadar kalium serum. Obatan yang digunakan untuk mengobati status asmatikus
bisa menyebabkan hipokalemia. Nilai pH yang rendah bisa menyebabkan
peningkatan transien dari kalium.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 37
Referat Kegawatdaruratan Paru
3. Pemeriksaan analisa gas darah untuk mengukur kadar oksigen dan karbondioksida
didalam darah yang mengindikasikan terjadinya hipoksia dan hipoksemia. Serta
untuk mengetahui apakah telah terjadi asidosis atau alkalosis dengan mengukur
Ph dan HCO3-.
4. Pemeriksaan darah lengkap, bisa mengindikasikan ada infeksi bakteria; tapi
dengan penggunaan beta-agonis dan kortikosteroid bisa mengubah komposisi
dari sel darah putih dengan meningkatkan hitung sel darah putih perifer.
5. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi ,menilai hasil
provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan, dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah aliran puncak ekspirasi
Memonitor peak flow merupakan suatu pengukuran objektif terhadap obstruksi
saluran pernafasan pada anak yang cukup berusia dan kooperatif, dan bisa
mentolerir pemeriksaan ini tanpa memperparah penyakit yang dideritainya
(Rogayah, 2005).
6. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis diragukan. Tujuannya untuk
menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Dapat dilakukan dengan histamine,
metakolin, beban lari, udara dingin, uap air, allergen. Hipereaktivitas bronkus
positif aliran puncak ekspirasi (APE), Volume ekspirasi selama 1 detik (VEP1)
menurun > 15% dari nilai uji provokasi sebelumnya dan setelah diberi
bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila APE dan VEP1 sudah rendah dan
setelah diberi bronkodilator naik >15% berarti hipereaktivitas positif dan uji
provokasi tidak perlu dilakukan (Rogayah, 2005).
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan pada anak-anak dengan presentasi yang
atipikal atau yang tidak berespon terhadap terapi. Pada anak-anak yang sudah
diketahui menderita asma, pemeriksaan foto thoraks dilakukan jika curiga menderita
pneumonia, pneumothoraks, pseudomediastinum atau atelektasis yang signifikan.
II.4.4 PenatalaksanaanKepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 38
Referat Kegawatdaruratan Paru
Penanggulangan status asmatikus (Rogayah, 2005)
1. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.