BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anastesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani artinya, an
tidak, tanpa dan aestheos yaitu persepsi, kemampuan untuk merasa,
secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anastesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Morgan, 2006).
Eter ([CH3CH2]2O) adalah salah satu zat yang banyak digunakan
sebagai anastesi dalam dunia kedokteran hingga saat ini. Eter
ditemukan seorang ahli kimia berkebangsaan spanyol, Raymundus
Lullius pada tahun 1275. Lullius menanmai eter sweet Vitriol. Eter
pertama kali disintesis Valerius Cordus, ilmuwan dari Jerman pada
tahun 1640. Kemudian seorang ilmuwan bernama W.G Frobenius,
mengubah nama sweet vitriol menjadi eter pada tahun 1777, dan
berselang dua tahun dari temuannya itu, Davy menjelaskan kegunaan
gas nitrogen-oksida dalam menhilangkan rasa sakit. Sebelum tahun
1844, gas eter maupun nitrogen-oksida banyak digunakan untuk pesta
mabuk-mabukan. Mereka menamai zat tersebut gas tertawa, karena efek
dari menghirup gas ini membuat orang tertawa dan llupa segalanya
(Morgan, 2006).
Seperti diketahui oleh masyarakat bahwa setiap pasien yang akan
menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani
prosedur anestesi. Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama
anestesi general yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi
lokal yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan
(pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu
hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade
selektif pada jaringan spinal atau saraf sekitar. Dalam pelaksanaan
anastesi terdapat beberapa obat anastesi yang digunakan yaitu
golongan sedatif, analgesik dan relaksan (Latief, 2010).
Selain obat-obat anestesi, juga digunakan sistem atau sirkuit
anastesi untuk menghantarkan oksigen dan gas anestesi. Sistem
anestesi dirancang untuk mempertahankan oksigen dalam paru-paru
(Latief, 2010).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anastesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani artinya, an
tidak, tanpa dan aestheos yaitu persepsi, kemampuan untuk merasa,
secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anastesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Morgan, 2006).
2.2 Anastesi General2.2.1 Definisi
Anastesi general artinya hilangnya rasa sakit disertai hilang
kesadaran. Ada juga mengatakan anestesi umum adalah keadaan tidak
terdapatnya sensasi yang berhubungan dengan hilangnya kesdaran yang
reversibel (Mangku, 2010). Anestesi general adalah obat yang dapat
menimbulkan anestesi yaitu suatu keadaan depresi umum dari berbagai
pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip
dengan keadaan pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan
maksud mencapai keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri
(analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap manipulasi
pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi). Anestesi
general yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara
keseluruhan, maka pada anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan
kombinasi hipnotika, analgetika, dan relaksasi otot (Mangku,
2010).
2.2.2 Syarat Ideal Anastesi General
1. Memberi induksi yang halus dan cepat.
2. Timbul situasi pasien tak sadar / tak berespons
3. Timbulkan keadaan amnesia
4. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot
pernafasan.
5. Hambat persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia
yang cukup untuk tempat operasi.
6. Berikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tak timbulkan
ESO yang berlangsung lama (Mangku, 2010).
2.2.3 Farmakokinetik dan Farmakodinamik
1. Farmakokinetik
Tercapainya konsentrasi obat anestetik yang adekuat dalam otak
untuk menimbulkan anestesi memerlukan transfer obat anestetik dari
udara alveolar kedalam darah dan otak. Kecepatan pencapaian
konsentrasi ini bergantung pada:
a. KelarutannyaSalah satu penting faktor penting yang
mempengaruhi transfer anestetik dari paru kedarah arteri adalah
kelarytannya. Koefisien pembagian darah; gas merupakan indeks
kelarutan yang bermakna dan merupakan tanda-tanda afinitas relative
suatu obat anestetik terhadap darah dibandingkan dengan udara.b.
Konsentrasi anastetik didalam udara inspirasiKonsentrasi anestetik
inhalasi didalam campuran gas inspirasi mempunyai efek langsung
terhadap tegangan maksimun yang dapat tercapai didalam alveolus
maupun kecepatan peningkatan tegangan ini didalam darah arterinya.
c. Ventilasi paru-paruKecepatan peningkatan tegangan gas anestesi
didalam darah arteri bergantung pada kecepatan dan dalamnya
ventilasi per menit. Besarnya efek ini bervariasi sesuai dengan
pembagian koefisien darah; gas.d. Aliran darah paruPerubahan
kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan mempengaruhi
transfer obat anestetik. Peningkatan aliran darah paru akan
memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri, terutama
oleh obat anestetik dengan kelarutan drah yang sedang sampai
tinggi.e. Gradient konsentrasi arteri-venaGradien konsentrasi obat
anestetik antara darah arteri dan vena campuran terutama bergantung
pada kecepatan dan luas ambilan obat anestesi pada jaringan itu,
yang bergantung pada kecepatan dan luas ambilan jaringan (Calvey,
2008).2.2.4 Macam Obat Anastesi General
1. Anastesi Inhalasi
Pada umumnya anestetik gas berpotensi rendah, sehingga hanya
digunakan untuk induksi dan operasi ringan. Anestetik gas tidak
mudah larut dalam darah sehingga tekanan parsial dalam darah cepat
meningkat. Batas keamanan antara efek anestesi dan efek letal cukup
lebar. Obat anestesi inhalasi ini dihirup bersama udara pernafasan
ke dalam paru-paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak
mengakibatkan narkose (Calvey, 2008).
a. N2O/ Gas Gelak
Dinitrogen Monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya
tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan
penguapan pada suhu kamar 50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesik
yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti
efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesik
maksimum 35% . Gas ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan
100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang
tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O
digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesik pada saat
proses persalinan dan pencabutan gigi (Morgan, 2006). 2. Anastesi
Volatile (Menguap)
Anestetik yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat
dasar yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai
sfat anestetik kuat pada kadar rendah, dan relatif mudah larut
dalam lemak, darah dan jaringan. Kelarutan yang baik dalam darah
dan jaringan dapat memperlambat terjadinya keseimbangan dan
terlawatinya induksi, untuk mengatasi hal ini diberikan kadar lebih
tinggi dari kadar yang dibutuhkan. Bila stadium yang diinginkan
sudah tercapai, kadar disesuaikan untuk mempertahankan stadium
tersebut. Untuk mempercepat induksi dapat diberika zat anestetik
lain yang kerjanya cepat kemudian baru diberikan anestetik volatile
(Morgan, 2006).
a. Eter
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau
mudah terbakar, mengiritasi saluran nafas dan mudah meledak. Sifat
analgesiknya kuat sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg
% sudah terjadi analgesik tetapi penderita masih sadar (Mangku,
2010).
Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi otot
karena efek sentral dan hambatan neuromuscular yang berbeda dengan
hambatan oleh kurare, sebab tidak dapat dilawan oleh neostigmin.
Zat ini meningkatkan hambatan neuromuscular oleh antibiotik seperti
neomisin, streptomisin, polimiksin dan kanamisin. Eter dapat
merangsang sekresi kelenjar bronkus. Eter diabsorpsi dan disekresi
melalui paru dan sebagian kecil diekskresi juga melalui urin, air
susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh (Mangku, 2010).
Keuntungan penggunaan eter adalah murah dan mudah didapat, tidak
perlu digunakan bersama dengan obat-obat lain karena telah memenuhi
trias anestesi, cukup aman dengan batas keamanan yang lebar, dan
alat yang digunakan cukup sederhana. Kerugiannya adalah mudah
meledak/terbakar, bau tidak enak, mengiritasi jalan napas,
menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah, menyebabkan mual dan
muntah, serta dapat menyebabkan hiperglikemia. Jumlah eter yang
dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi penderita,
kebutuhan dalamnya anestesi dan teknik yang digunakan. Dosis
induksi 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau campuran oksigen
dan N2O. Dosis pemeliharaan stadium III 5-15% volume uap eter
(Mangku, 2010).
b. Halotan
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak
iritatif, mudah menguap, tidak mudah terbakar/meledak, tidak
bereaksi dengan soda lime, dan mudah diuraikan cahaya. Halotan
merupakan obat anestetik dengan kekuatan 4-5 kali eter atau 2 kali
kloroform (Mangku, 2010).
Keuntungan penggunaan halotan adalah induksi cepat dan lancar,
tidak mengiritasi jalan napas, bronkodilatasi, pemulihan cepat,
proteksi terhadap syok, jarang menyebabkan mual atau muntah, tidak
mudah terbakar dan meledak. Kerugiannya adalah sangat poten,
relatif mudah terjadi overdosis, analgesi dan relaksasi yang
kurang, harus dikombinasi dengan obat analgetik dan relaksan, harga
mahal, menimbulkan hipotensi, aritmia, meningkatkan tekanan
intrakranial, menggigil pascaanestesi, dan hepatotoksik. Overdosis
relatif mudah terjadi dengan gejala gagal napas dan sirkulasi yang
dapat menyebabkan kematian. Dosis induksi 2-4% dan pemeliharaan
0,5-2% (Mangku, 2010).
c. Etilklorida
Etil klorida merupakan cairan tidak berwarna, sangat mudah
menguap, dan mudah terbakar. Anestesi dengan etil klorida cepat
terjadi namun cepat hilang. Induksi dapat dicapai dalam 0,5-2 menit
dengan waktu pemulihan 2-3 menit sesudah pemberian anestesi
dihentikan. Etil klorida sudah tidak dianjurkan lagi untuk
digunakan sebagai anestesi umum, namun hanya untuk induksi dengan
memberikan 20-30 tetes pada masker selama 30 detik. Pada sistem
tetes terbuka (open drop), etil klorida disemprotkan ke sungkup
dengan volume 3-20 ml yang menghasilkan uap 3,5-5% sehingga pasien
tidak sadar dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan obat lain
seperti eter. Etil klorida juga digunakan sebagai anestetik lokal
dengan cara menyemprotkannya pada kulit sampai beku (Mangku,
2010).
3. Anastesi Intravena
Obat ini biasa digunakan sendiri untuk prosedur pembedahan
singkat dan kebanyakan obat anestetik intravena dipergunakan untuk
induksi. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi
atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain
(Mangku,2010).
a. Barbiturat
Barbiturat menghilangkan kesadaran dengan blockade system
sirkulasi di formasio retikularis. Pada pemberian barbiturat dosis
kecil terjadi penghambatan sistem penghambat ekstra lemnikus,
tetapi bila dosis ditingkatkan sistem perangsang juga dihambat
sehingga respons korteks menurun. Barbiturat menghambat pusat
pernafasan di medulla oblongata. Barbiturat yang sering digunakan
untuk anastesi antara lain:
- Natrium Thiopental
Untuk induksi pada orang dewasa diberikan 2-4 ml larutan 2,5%
secara intermitten setiap 30-60 detik sampai tercapai efek yang
diinginkan. Untuk anak digunakan larutan pentotal 2% dengan
interval 30 detik dengan dosis 1,5 ml untuk berat badan 15 kg,3 ml
untuk berat badan 30 kg, 4 ml untuk berat badan 40 kg dan 5 ml
untuk berat badan 50 kg. Untuk mempertahankan anesthesia pada orang
dewasa diberikan pentotal 0,5-2 ml larutan 2,5%, sedangkan pada
anak 2 ml larutan 2%. Untuk anesthesia basal pada anak, biasa
digunakan pentotal per rectal sebagai suspensi 40% dengan dosis 30
mg/kgBB.
- Natrium Tiamilal
Dosis untuk induksi pada orang dewasa adalah 2-4 ml larutan
2,5%, diberikan intravena secara intermiten setiap 30-60 detik
sampai efek yang diinginkan tercapai, dosis penunjang 0,5-2 ml
larutan 2,5% a tau digunakan larutan 0,3% yang diberikan secara
terus menerus (drip).
- Natrium Metaheksital
Dosis induksi pada orang dewasa adalah 5-12 ml larutan 1%
diberikan secara intravena dengan kecepatan 1 ml/5 detik, dosis
penunjang 2-4 ml larutan 1% atau bila akan diberikan secara terus
menerus dapat digunakan larutan larutan 0,2% Mangku, 2010).
b. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general
anaesthetic. Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan
pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan
ortopedi, pasien risiko tinggi, tindakan operasi sibuk, dan asma
Kontraindikasinya adalah tekanan sistolik 160 mmHg dan diastolik
100 mmHg, riwayat penyakit serebrovaskular, dan dekompensasi
kordis. Dosis induksi 1-4 mg/kgBB intravena dengan dosis rata-rata
2 mg/kgBB untuk lama kerja 15-20 menit, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB
sesuai kebutuhan. Dosis pemberian intramuskular 6-13 mg/kgBB,
rata-rata 10 mg/kgBB untuk lama kerja 10-25 menit (Mangku, 2010).c.
Droperidol
Droperidol adalah turunan buturofenon dan merupakan antagonis
reseptor dopamin. Obat ini digunakan sebagai premedikasi
(antiemetik yang baik) dan sedasi pada anestesi regional. Obat
anestetik ini juga dapat digunakan untuk membantu prosedur
intubasi, bronkoskopi, esofagoskopi, dan gastroskopi.
Droperidol dapat menimbulkan reaksi ekstrapiramidal yang dapat
diatasi dengan pemberian difenhidramin. Dosis antimuntah droperidol
0,05 mg/kgBB (1,25-2,5 mg) intravena. Dosis premedikasi 0,04-0,07
mg/kgBB intravena. Dosis analgesi neuroleptik 0,02-0,07 mg/kgBB
intravena (Mangku, 2010).
d. Diazepam
Diazepam digunakan untuk menimbulkan sedasi basal pada
anesthesia regional, endoskopi dan prosedur dental, juga untuk
induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovascular. Dibandingkan dengan ultra short acting barbiturate,
efek anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat
dan masa pemulihannya lama. Diazepam juga digunakan untuk medikasi
preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan obat
anestesi local (Mangku,2010).
e. Etomidat
Merupakan anestetik non barbiturat yang digunakan untuk induksi
anestesi. Obat ini tidak berefek analgesic tetapi dapat digunakan
untuk anestesi dengan teknik infus terus-menerus bersama fentanil
atau secara intermiten. Dosis induksi eto-midat menurunkan curah
jantung, isi sekuncup dan tekanan arteri serta meningkat-kan
frekuensi denyut jantung akibat kompensasi. Etomidat menurunkn
aliran darah otak (35-50%), kecepatan metabolism otak, dan tekanan
intrakranial, sehingga anestetik ini mungkin berguna pada bedah
saraf. Etomidat menyebabkan rasa nyeri ditempat nyeri di tempat
suntik yang dapat diatasi dengan menyuntikkan cepat pada vena
besar, atau diberikan bersama medikasi preanestetik seperti
meperidin (Mangku, 2010).
f. Propofol
Propofol adalah campuran 1% obat dalm air dan emulsi berisi 10%
minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan lesitin telur. Propofol
menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol
dimetabolisme di hepar, metabolit yang tidak aktif dikeluarkan
lewat ginjal. Efek samping dari propofol adalah bradikardi, nausea,
sakit kepala, dan nyeri lokal pada daerah yang disuntikkan. Pada
dosis berlebihan dapat menyebabkan depresi jantung dan pernapasan.
Dosis induksi 1-2,5 mg/kgBB. Dosis rumatan 500 ug/kgBB/menit
infus.
Dosis sedasi 25-100 ug/kgBB/menit infus. Sebaiknya menyuntikkan
obat anastetik ini pada vena besar karena dapat menimbulkan nyeri
pada pemberian intravena (Mangku, 2010).
2.3 Anastesi Lokal
2.3.1 Definisi
Anestesi lokal adalah obat yang menghalangi secara reversibel
penerusan impuls saraf ke sistem saraf pusat pada kegunaan local,
dengan demikian dapat menghilangkan rasa nyeri, gatal-gatal, panas
atau dingin (Miller, 2010).
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat
terdifusi ke dalam sirkulasi. Pasien akan kehilangan rasa nyeri dan
sentuhan, aktivitas motorik, dan otonom (seperti pengosongan
kandung kemih). Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur
minor pada tempat bedah sehari.
Adapun mekanisme kerja meliputi :
- Cegah konduksi dan timbulnya impuls saraf
- Tempat kerja terutama di membran sel
-Hambat permeabilitas membran ion Na+ akibat depolarisasi
menjadikan ambang rangsang membran meningkat
- Eksitabilitas & kelancaran hambatan terhambat
- Berikatan dengan reseptor yang terdapat pada ion kanal Na,
terjadi blokade sehingga hambat gerak ion via membran.
2.3.2 Syarat Ideal Anastesi Lokal
1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara
permanen
2. Batas keamanan harus lebar
3. Tidak boleh menimbulkan perubahan fungsi dari syaraf secara
permanen
4. Tidak menimbulkan alergi.
5. Harus netral dan bening.
6. Toksisitas harus sekecil mungkin.
7. Reaksi terjadinya hilang rasa sakiit setempat harus
cepat.
8.Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk
jangka waktu yang yang cukup lama
9. Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga
stabil terhadap pemanasan (Miller, 2010).
2.3.3 Farmakokinetik dan Farmakodinamik
1. Farmakokinetik
Farmakokinetik suatu anestetik lokal ditentukan oleh 3 hal,
yaitu:
a. Lipid/Water solubility ratio, menentukan ONSET OF ACTION.
Semakin tinggi kelarutan dalam lemak akan semakin tinggi potensi
anestesi local.
b. Protein Binding, menentukan DURATION OF ACTION. Semakin
tinggi ikatan denganprotein akan semakin lama durasi nya.
c. pKa, menentukan keseimbangan antara bentuk kation dan basa.
Makin rendah pKa makinbanyak basa, makin cepat onsetnya. Anestetik
lokal dengan pKa tinggi cenderung mempunyai mula kerja yang lambat.
Jaringan dalam suasana asam (jaringan inflamasi)akan menghambat
kerja anestetik lokal sehingga mula kerja obat menjadi lebih lama.
Hal tersebut karena suasana asam akan menghambat terbentuknya asam
bebas yang diperlukan untuk menimbulkan efek anestesi (Calvey,
2008).
Kecepatan onset anestetika lokal ditentukan oleh:
a) Kadar obat dan potensinya
b) Jumlah pengikatan obat oleh protein dan
c) Pengikatan obat ke jaringan local
d) Kecepatan metabolisme
e) Perfusi jaringan tempat penyuntikan obat. Pemberian
vasokonstriktor (epinefrin) ditambah anestetika lokal dapat
menurunkan aliran darah lokal dan mengurangi absorpsi sistemik
(Calvey, 2008).
2. Farmakodinamik
Selama eksitasi, saluran natrium terbuka dan arus natrium masuk
ke dalam sel dengan cepat mendepolarisasi membran ke arah
keseimbangan potensial natrium (+40mV). Sebagai akibat depolarisasi
ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium
terbuka. Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah
keseimbangan potensial kalium (sekitar -95mV); terjadi lagi
repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Perbedaan
ionic transmembran dipertahankan oleh pompa natrium. Sifat ini
mirip dengan yang terjadi pada otot jantung dan anestesi local pun
mempunyai efek yang sama pada kedua jaringa tersebut (Calvey,
2008).
Anestesi local mengikat reseptor dekat ujung intrasel saluran
dan menghambat saluran dalam keadaan bergantung waktu dan voltase.
Bila peningkatan konsentrasi dalam secara progresif anestesi local
digunakan pada satu serabut saraf, nilai ambang eksitasinya
meningkat, konduksi impuls melambat, kecepatan muncul potensial
aksinya menurun, amplitude potensial aksi mengecil dan akhirnya
kemampuan melepas satu potensial aksi hilang. Efek yang bertambah
tadi merupakan hasil dari ikatan anestesi local terhadap banyak dan
makin banyak saluran natrium; pada setiap saluran, ikatan
menghasilkan hambatan arus natrium. Jika arus ini dihambat melebihi
titik kritis saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang
dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang
dibutuhkan untuk menghambat propagasi, potensial istirahat jelas
tidak terganggu.
Karakteristik Struktur-Aktivitas Anestesi Lokal. Makin kecil dan
makin banyak molekul lipofilik, makin cepat pula kecepatan
interaksi dengan reseptor saluran natrium. Potensi mempunyai
hubungan positif pula dengan kelarutan lipid selama obat menahan
kelarutan air yang cukup untuk berdifusi ke tempat kerja. Lidokain,
prokain, dan mepivakain lebih larut dalam air dibandingkan
tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Obat yang terakhir lebih kuat
dengan masa kerja yang panjang. Obat-obat tadi terikat lebih
ekstensif pada protein dan akan menggeser atau digeser dari tempat
ikatannya oleh obat-obatan lain (Calvey, 2008).
2.3.4 Macam Anastesi Lokal
1. Potensi Obat
SHORT actMEDIUM actLONG act
PrototipeProkainLidokainBupirokain
GolEsterAmidaAmida
Onset2515
Durasi30-4560-902-4jam
Potensi1315
Toksisitas1210
Dosis max12 Mg/KgBB6 mg/KgBB2 Mg/KgBB
MetabolismePlasmaLiverLiver
2. Macam Obat Anastesi Lokal
a. Lidokain
Lidokain (lignokain, xylocain) adalah anestetik lokal kuat yang
digunakan secara topikal dan suntikan. Efek anestesi terjadi lebih
cepat, kuat, dan ekstensif dibandingkan prokain. Larutan lidokain
0,25-0,5% dengan atau tanpa adrenalin digunakan untuk anestesi
infiltrasi sedangkan larutan 1-2% untuk anestesi blok dan topikal.
Untuk anestesi permukaan tersedia lidokain gel 2%, Sedangkan pada
analgesi/anestesi lumbal digunakan larutan lidokain 5% (Mangku,
2010).
b. BupivakainBupivakain adalah anestetik golongan amida dengan
mula kerja lambat dan masa kerja panjang. Untuk anestesi blok
digunakan larutan 0,25-0,50% sedangkan untuk anestesi spinal
dipakai larutan 0,5% (Mangku, 2010).
2.4 Obat-Obat Emergensi dalam Anastesi
1. Efedrin
Berfungsi meningkatkan tensi pada hipotensi yang tidak
disebabkan oleh karena kekurangan volume intravaskuler. Diberikan
dengan dosis 100 mg (2cc) pada pasien dengan penurunan TD >20%
dari TD awal (Mangku, 2010).2. Sulfas Atropin
Digunakan untuk bradikardi yang disebabkan oleh karena stimulasi
vagal, misalnya pada rangsang omentum, operasi urogenital.
Diberikan sebanyak 0,50 mg (2 cc) (Mangku, 2010).
3. Aminofilin
Berfungsi sebagai pengobatan dan pencegahan bronkokonstriksi
reversibel yang berhubungan dengan penyakit asma bronkial,
emfisema, dan bronkitis kronik. Diberikan dengan dosis 5 mg/kgBB
(Mangku, 2010).
4. Dexamethason
Digunakan untuk pasien yang mengalami reaksi anafilaktik. Bisa
juga untuk meredakan nyeri. Diberikan sebanyak 1 mg/kgBB (Mangku,
2010.
5. Adrenalin/Epinefrin
Merupakan terapi untuk bronkospasme, reaksi anafilaktik, cardiac
arrest, dan menurunkan toksisitas dari lokal anastesi. Adrenalin
0,1% injeksi diindikasikan untuk henti jantung (Mangku, 2010).
6. Succinil cholin
Diberikan apabila terjadi spasme laring dengan dosis 1 mg/ kgBB
(Mangku, 2010).2.5 Sistim Anestesi
2.5.1 Sistem Anastesi
Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan merupakan
sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari
mesin anestesi kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi
merupakan suatu pipa/tabung yang merupakan perpanjangan dari
saluran pernafasan atas pasien (nugroho, 2012).
Sistem pernafasan atau sirkuit anestesi ini dirancang untuk
mempertahankan tersedianya oksigen yang cukup di dalam paru
sehingga mampu dihantarkan darah kepada jaringan dan selanjutnya
mampu mengangkut karbondioksida dari tubuh. Sistem pernafasan ini
harus dapat menjamin pasien mampu bernafas dengan nyaman, tanpa
adanya peningkatan usaha bernafas, tidak menambah ruang rugi (dead
space) fisiologis serta dapat menghantarkan gas / agen anestesi
secara lancar pada sistem pernafasan pasien (nugroho, 2012) .
Sistem atau sirkuit anastesi dibagi menjadi empat, yaitu sistem
open, semiopen, semiclosed, dan closed seperti pada gambar
berikut:
Gambar 2.1 Klasifikasi Sistem Anastesi
1. Sistem Insuflasi
Istilah insuflasi menunjukkan peniupan gas anestesi di wajah
pasien. Meskipun insuflasi dikategorikan sebagai breathing system,
mungkin istilah ini lebih baik bila dianggap sebagai suatu teknik
anestesi tanpa hubungan langsung antara sebuah rangkaian alat
pernafasan dengan pasien. Karena anak-anak sering menolak
penempatan masker wajah atau melalui intravena, insuflasi berguna
sekali untuk induksi pasien anak-anak dengan anestesi inhalasi
(nugroho, 2012).
Gambar 2.2 Insuflasi agen anestesi di wajah pasien anak selama
induksi
Untuk menghindari penumpukan gas CO2, aliran gas harus cukup
tinggi sekitar 8-10 liter/ menit. Sistem insuflasi ini dapat
mencemari udara sekitar.
2. Sistem Open Drop
Sistem open drop adalah sistem anastesi yang sederhana, yaitu
dengan meneteskan cairan anastetik (eter, klorofom) dari botol
khusus ke wajah dengan bantuan sungkup Schimmelbusch. Sistem ini
tahanan nafasnya minimal dapat ditambahkan O2 melalui pipa kecil ke
dalam sungkup. Kekurangan dari sistem ini adalah selain boros,
udara ekspirasi mencemari lingkungan sekitar (nugroho, 2012).
Gambar 2.3 Sungkup Schimmelbusch
3. Sistem Mapleson
Sistem Mapleson diperkenalkan di Inggris oleh Prof. WW Mapleson
tahun 1954. Sistem mapleson ini memecahkan beberapa masalah ini
dengan menambahkan komponen (pipa pernafasan, fresh gas inlets
yaitu sisi tempat masuknya gas segar, katup APL (Adjustable
Pressure-Limitting) yaitu katup untuk menyesuaikan batas tekanan,
dan reservoir bag) dalam sirkuit pernafasan. Lokasi dari
komponen-komponen ini relatif menentukan kinerja sirkuit dan
merupakan dasar dari klasifikasi Mapleson (nugroho, 2012) .
Sirkuit Mapleson cukup ringan, sederhana dan tidak memerlukan
katup searah. Efisiensinya ditentukan oleh gas segar yang
dibutuhkan untuk mengeliminasi CO2. Karena tidak ada katup searah
dan absorpsi CO2 maka rebreathing dicegah dengan katup pengurang
tekanan. Selama pernapasan spontan, udara alveoli yang mengandung
CO2 akan dikeluarkan melalui katup (APL). Bila aliran gas segar
melebihi ventilasi semenit alveoli sebelum inhalasi terjadi maka
kelebihannya akan dibuang melalui katup.
Gambar 2.4 Komponen Rangkaian Mapleson
Gambar 2.5 Klasifikasi Mapleson
4. Sirkuit Lingkaran
Sistem sirkuit lingkaran menggunakan dua katup ekspirasi, satu
di dekat pasien, yang lainnya di dekat kantong cadang. Aliran gas
cukup 2-3 menit asalkan kadar O2 lebih dari 25%. Keuntungan sistem
ini adalah ekonomis karena aliran gas rendah, konsentrasi gas
relatif stabil, ada kehangatan dan kelembapan padan jalan napas,
dna tingkat polusinya rendah. Sedangkan kerugiannya, sistem ini
resistensinya tinggi, tidak ideal untuk anak, dan pengenceran udara
oleh ekspirasi. Pada sistem sirkuit lingkaran perlu adanya penyerap
CO2 yaitu sodalime atau baralime (nugroho, 2012).
Gambar 2.6 Sirkuit Lingkaran
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Anastesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Sebelum melakukan induksi anastesi perlu
dilakukan premedikasi untuk mempersiapkan kondisi pasien.Induksi
anastesi terdiri dari anastesi general dan lokal. Anastesi general
adalah obat yang menimbulkan keadaan yang bersifat reversibel
dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan. Obat anestesi
general dibagi menurut bentuk fisiknya dibagi terdiri dari tiga
golongan yaitu obat anestesi gas (inhalasi), obat anestesi yang
menguap dan obat anestesi yang diberikan secara intravena. Anestesi
general yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian
dihentikan.Anestesi lokal atau zat penghilang rasa setempat
merupakan obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara
reversibel penerusan impuls saraf ke sistem saraf pusat dan dengan
demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal gatal,
rasa panas atau dingin. Anestesi lokal adalah teknik untuk
menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian tubuh tertentu.
Selain obat-obat anestesi, juga digunakan sistem atau sirkuit
anastesi untuk menghantarkan oksigen dan gas anestesi. Sistem
anestesi dirancang untuk mempertahankan oksigen dalam paru-paru.
Sistem anastesi dibagi menjadi empat, yaitu sistem open, semiopen,
semiclosed, dan closed.
DAFTAR PUSTAKA
Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of
Pharmacology for Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing
2008; 110-126, 207-208
Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M.
Ruswan, Sp.An. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta 2010; 46-47, 81Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung
Senaphati. Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
2010
Miller, Ronald D. MD, et. al. Millers anesthesia. Elseveir 2010.
CDROOM. Accessed on 4 Maret 2013.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System. In: Clinical
Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill. New York: Lange Medical Books,
2006;242-52
Nugroho, Taufik Eko, dkk. Perkembangan Sirkuit Anestesi. Jurnal
Anastesiologi Indonesia. Volume IV, Nomor 1. 2012:36-42
26