Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA TIMOR BARAT Arnold E. Manu Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang Telp.(0380)-881084, HP.085239299545, E-mail: [email protected]ABSTRACT The objectives of this study were to evaluate the West Timor savanna productive at different season. The location of this study is in the station of Lili field, Assessment Institute for Agricultural Technology Naibonat Kupang, with 40 hectare of savannah for pasture, held in one year. The data collected are botanical composition, production, feed intake in savannah and forage quality also the carrying capacity. The data analyzed descriptively. The amount of goat used for measurement of feed intake in savannah is 10 does. The result showed that the averages of forage fluctuation available is between 0.61-4,33 ton/hectare. The lowest point of production is happened in the edge of dry season (October) that is 0.61 ton/hectare. Then it increases in early of rainy (December) and reaches the highest point in the early of dry season (April). From this point, then it decreases and reach the lowest point in October, so, the forage production in nature was increases in December. The composition rate of CP is very varied, that is 2.71- 9.48%. The composition of CP in nature grass has no significant difference with the composition in other locations of Timor, that is 2.26% in the ends of dry season and become 8-10% in the rainy. Most of forage on the pasture is nature grass that is upper 90% and relative less of leguminous plants. The lack proportion of leguminous plants in nature savannah result in the less of forage quality, especially during the dry season there is no legume proportion and the quality of nature grass become very low. Key words : Production, savannah, pasture, West Timor ABSTRAK Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda telah dilakukan di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, dengan sabana sebagai padang penggembalaan seluas 40 ha dan berlangsung selama 1 (satu) tahun. Data yang dikumpulkan adalah: komposisi botani, produksi, kualitas hijauan dan konsumsi di sabana serta daya tampung, data dianalisis secara deskriptif. Ternak yang digunakan untuk pengamatan konsumsi sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon. Pengukuran jumlah konsumsi pakan di sabana pada puncak musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi pada titik terendah terjadi pada puncak kemarau (Oktober) yaitu 0,61 ton/ha. Kemudian bergerak naik pada di bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada awal kemarau (April). Dari sini terus menurun dan mencapai titik terendah di Oktober. Kandungan PK sangat besar variasinya diantara 2,71-9,48%. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai dengan perubahan musim. Sebagian besar hijauan adalah rumput alam (di atas 90%), hanya terdapat sedikit tanaman
168
Embed
Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Prosiding Semnas II HITPI Page 184
PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA
TIMOR BARAT
Arnold E. Manu
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang
The objectives of this study were to evaluate the West Timor savanna productive at different season. The location of this study is in the station of Lili
field, Assessment Institute for Agricultural Technology Naibonat Kupang, with 40 hectare of savannah for pasture, held in one year. The data collected are botanical composition, production, feed intake in savannah and forage quality also the
carrying capacity. The data analyzed descriptively. The amount of goat used for measurement of feed intake in savannah is 10 does. The result showed that the
averages of forage fluctuation available is between 0.61-4,33 ton/hectare. The lowest point of production is happened in the edge of dry season (October) that is 0.61 ton/hectare. Then it increases in early of rainy (December) and reaches the
highest point in the early of dry season (April). From this point, then it decreases and reach the lowest point in October, so, the forage production in nature was
increases in December. The composition rate of CP is very varied, that is 2.71-9.48%. The composition of CP in nature grass has no significant difference with the composition in other locations of Timor, that is 2.26% in the ends of dry
season and become 8-10% in the rainy. Most of forage on the pasture is nature grass that is upper 90% and relative less of leguminous plants. The lack proportion of leguminous plants in nature savannah result in the less of forage
quality, especially during the dry season there is no legume proportion and the quality of nature grass become very low. Key words : Production, savannah, pasture, West Timor
ABSTRAK
Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda telah dilakukan
di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, dengan sabana sebagai padang penggembalaan seluas 40 ha dan berlangsung selama 1 (satu) tahun. Data yang dikumpulkan adalah: komposisi
botani, produksi, kualitas hijauan dan konsumsi di sabana serta daya tampung, data dianalisis secara deskriptif. Ternak yang digunakan untuk pengamatan
konsumsi sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon. Pengukuran jumlah konsumsi pakan di sabana pada puncak musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi
pada titik terendah terjadi pada puncak kemarau (Oktober) yaitu 0,61 ton/ha. Kemudian bergerak naik pada di bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi
pada awal kemarau (April). Dari sini terus menurun dan mencapai titik terendah di Oktober. Kandungan PK sangat besar variasinya diantara 2,71-9,48%. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai dengan perubahan musim. Sebagian
besar hijauan adalah rumput alam (di atas 90%), hanya terdapat sedikit tanaman
leguminosa. Konsumsi hijauan selama penggembalaan berkisar antara 0,7-1,9%
dari berat badan. Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam menyebabkan rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau
proporsi legum sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat rendah mutunya. Kata Kunci : Produksi, sabana, padang penggembalaan, Timor Barat
PENDAHULUAN
Timor Barat merupakan salah satu tempat konsentrasi ternak ruminansia di
Nusa Tenggara Timur (NTT). Ternak biasanya dipelihara dengan dilepas bebas di padang penggembalaan dan dikandangkan pada malam hari. Hal ini
dimungkinkan karena didukung oleh potensi alam Timor Barat yang memiliki padang sabana yang luas, menurut data tahun 1999 terdapat 1.399.980,824 ha, dan yang digunakan sebagai padang penggembalaan seluas 736.981 ha. Kawasan
pulau Timor memiliki kondisi alam yang dipengaruhi oleh sistem angin muson yang dicirikan dengan musim hujan yang pendek (tiga sampai empat bulan yaitu
Desember sampai Maret) dan musim kemarau panjang (delapan sampai sembilan bulan yaitu April sampai Nopember). Adanya jarak waktu yang tidak seimbang antara musim hujan dan musim kemarau mengakibatkan pengaruh negatif
terhadap kuantitas dan kualitas pakan yang tersedia di padang penggembalaan dan secara tidak langsung mempengaruhi proses produksi dan reproduksi ternak.
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim sistem Schmidt dan Ferguson, wilayah Timor Barat termasuk dalam tipe iklim E (agak kering) (Anonim, 2002). Kondisi ini berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan air tanah untuk proses
fisiologis tanaman. Besarnya hasil fotosintesis netto pada tanaman berhubungan erat dengan ketersediaan air di daerah perakaran termasuk hijauan yang terdapat
dalam hamparan sabana. Gejala yang sudah lazim terjadi adalah kekurangan air selama musim kemarau bagi pertumbuhan rumput, di samping terjadi kekurangan air selama
musim kemarau juga terjadi peningkatan suhu (mencapai di atas 32oC) yang mengakibatkan peningkatan laju proses fotosintesis dan menurun setelah
mencapai titik optimum. Keadaan ini bermuara pada menurunnya kualitas rumput yang ditandai dengan menurunnya kandungan protein kasar. Penurunan kandungan protein kasar akan berpengaruh terhadap penurunan total konsumsi
bermuara pada penurunan berat badan. Berdasarkan pemikiran ini maka telah dilakukan suatu penelitian yang
bertujuan untuk: mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, yang memiliki sabana sebagai
padang penggembalaan seluas 40 ha. Penelitian berlangsung selama 1 (satu) tahun yaitu selama 2 musim yang berbeda.
Prosiding Semnas II HITPI Page 186
Materi penelitian
Ternak percobaan. Ternak yang digunakan untuk pengamatan konsumsi di sabana sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon kering.
Peralatan. Peralatan yang digunakan adalah timbangan duduk merk Tanita kapasitas 115 kg dengan kepekaan 0,1 kg untuk menimbang ternak, untuk hijauan dengan timbangan merk Camry kapasitas 5 kg dengan kepekaan 20 g, dan
bingkai kuadrat untuk pengukuran produksi hijauan.
Metode penelitian
Untuk dapat menjawab tujuan yang diajukan dilaksanakan penelitian yang meliputi:
Padang penggembalaan sabana
Untuk keperluan pengamatan komposisi botani, produksi dan kualitas hijauan serta daya tampung, areal penggembalaan dibagi ke dalam 8 petak dengan luas masing-masing petak 5 ha. Pengukuran dilakukan dengan metode Halls et al.
(1964) yang dikutip Susetyo (1980) yaitu dengan menggunakan bingkai kuadrat berukuran 1 × 1 m2 sebagai titik pengamatan. Penempatan bingkai kuadrat
dilakukan dengan menggunakan bilangan teracak di setiap petak. Sebanyak 8 titik pengamatan untuk masing-masing petak sehingga diperoleh 64 titik pengamatan.
Pengamatan dilakukan sepanjang tahun setiap 2 bulan sekali.
Pengamatan komposisi botanis
Pada setiap titik pengamatan diamati vegetasi yang ada yaitu rumput, legum dan gulma, dan dihitung persentase masing-masing vegetasi dari setiap
petak. Kemudian dihitung rata-rata masing-masing vegetasi dari 64 titik pengamatan.
Pengamatan produksi hijauan
Untuk mengukur produksi hijauan pada padang penggembalaan, pada
setiap titik pengamatan hijauan dipotong setinggi 5 cm dari tanah. Selanjutnya dihitung produksi hijauan (g/BK/titik) setiap kali pemotongan dan produksi bahan
kering per hektar dari padang penggembalaan. Pemotongan dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan pengamatan komposisi botani, kualitas hijauan dan daya tampung. Dari 64 titik pengamatan ini kemudian dihitung rata-ratanya dan
dikonversi ke produksi per ha.
Pengamatan kualitas hijauan.
Pengamatan dilakukan sama dengan pengukuran produksi hijauan. Kualitas hijauan dilakukan dengan analisis nilai nutrien, meliputi kadar PK, LK,
SK, abu, Ca, P, BETN, energi, NDF dan ADF, sedangkan TDN dihitung dengan rumus Hartadi et al. (2005). Hijauan dari 64 titik pengamatan untuk setiap pemanenan dikomposit kemudian dikeringkan dan diambil sampel sebanyak 10%
untuk dianalisis.
Daya tampung
Perhitungan daya tampung padang penggembalaan dilakukan dengan membagi produksi hijauan/ha dengan kebutuhan BK/UT/tahun. Kebutuhan BK
Prosiding Semnas II HITPI Page 187
untuk 1 unit ternak (UT) adalah sebesar 2,5%/hari dari berat badan (BB). Satu UT
adalah satu ekor sapi dewasa dengan BB 400 kg atau 8 ekor domba dewasa dengan BB 40 kg/ekor (Anggraeny dan Umiyasih, 2005).
Pengukuran jumlah konsumsi pakan di padang penggembalaan
Estimasi konsumsi bahan kering (dry matter=DM) di sabana dilakukan
dengan metode Fecal Techniques dengan rumus Minson (Manu et al., 2007):
DM = keluaran feses sehari ( 1 - DMD )
Estimasi keluaran feses menggunakan external indicator (tracer) yaitu chromic oxide (Cr2O3) dan dilakukan selama 10 hari.
Keluaran feses/hari = Q/C Q = jumlah tracer yang diberikan per hari C = konsentrasi tracer pada sampel feses
Estimasi bahan kering tercerna (digestible dry matter = DMD) dari hijauan yang
digembalakan menggunakan internal tracer (tracer alami) yang tidak tercerna, dalam hal ini yang digunakan adalah lignin.
DMD = X2 – X1 X2
X1 = tracer alami di pakan X2 = tracer alami di feses
Dari data konsumsi di sabana ini diketahui berapa kekurangan bahan kering selama ternak kambing merumput.
Perhitungan konsumsi dilakukan pada puncak musim kemarau selama 10 hari di bulan Oktober. Tracer diberikan sebanyak 10 g/ekor/hari, sampel diambil dari feses yang baru keluar dari rectum ternak sebanyak ± 10 g setiap
pengambilan. Setiap hari diambil sebanyak 4 kali yaitu pada pukul 06.00, 11.00, 17.00 dan 22.00. Sampel selama 10 hari dikomposit dan diperiksa tracer alami
(lignin) dan tracer chromic oxide.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Hijauan
Hasil penelitian produksi hijauan dan besarnya kapasitas tampung lokasi penelitian tertera pada Tabel 1. Fluktuasi produksi hijauan dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1.
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi (BK, PK)
terendah terjadi pada puncak kemarau (September-Oktober), kemudian bergerak naik pada awal hujan yaitu bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada awal kemarau yaitu bulan April. Produksi hijauan kemudian menurun dan
mencapai titik terendah bulan Oktober, jadi produksi rumput alam mulai membaik pada bulan Desember.
Prosiding Semnas II HITPI Page 188
Hijauan di sabana merupakan asset yang sangat penting peranannya dalam
menunjang pengembangan usaha ternak ruminansia di Timor Barat. Hamparan areal penggembalaan terdiri dari spesies rumput dan legum lokal serta adanya
leguminosa pohon dan tanaman keras lainnya yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. Pengukuran produksi hijauan dalam areal penggembalaan, penting artinya dalam menentukan peluang pengembangan
ternak yang diusahakan di atasnya. Produksi dan kandungan kimia rumput alam di India yang beriklim semi arid seperti Timor dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004),
menunjukkan gejala yang sama. Tabel 1 menunjukkan bahwa variasi kandungan PK sangat besar yaitu diantara 2,71-9,48 %. Kandungan PK rumput alam ini tidak jauh berbeda dengan
PK rumput alam di lokasi lain di Timor yaitu 2,26% di akhir musim kemarau dan menjadi 8-10% di musim hujan. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai
dengan perubahan musim. Pada musim hujan kandungan dinding sel rumput alam di Timor yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebesar 65% dan meningkat menjadi 85% pada musim kemarau (Nulik dan Bamualim, 1998).
Tabel 1. Produksi, daya tampung dan kualitas hijauan di lokasi penggembalaan
selama penelitian Parameter Musim/Bulan
Hujan Awal kemarau Akhir kemarau
Des. Feb. Apr. Juni Agst Okt.
Produksi BK (ton/ha) 2,66 3,27 4,33 2,27 1,50 0,61
Daya tampung (UT/ha/thn) 0,74 0,91 1,20 0,83 0,42 0,17
Gambar 1. Fluktuasi ketersediaan hijauan di lokasi penelitian
Kandungan kimia hijauan alam ini sangat mempengaruhi kecernaan
pakan, karena kecernaan berhubungan erat dengan kandungan PK dan dinding sel (NDF). Semakin rendah PK dan semakin tinggi kandungan NDF akan semakin
0
1
2
3
4
5
Peb April Juni Agst Okt DesPro
du
ks
i BK
(to
n/h
a)
Bulan
BK
Prosiding Semnas II HITPI Page 189
memperkecil kecernaan suatu bahan pakan. Aoetpah (2002) melaporkan bahwa
kecernaan BO (bahan organik) rumput alam Timor tertinggi terjadi pada bulan Desember dimana rumput masih muda dan kandungan PK tertinggi di bulan ini,
dan kecernaan terendah di bulan Oktober. Setiap penurunan 1% PK maka kecernaan BO turun sebesar 1,77%.
Secara fisiologis dapat dijelaskan bahwa sintesis protein mikrobia
tergantung kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorbsi ammonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan dari rumen dan jenis fermentasi
rumen berdasarkan jenis pakan. Kualitas sumber protein penting karena 40% zein-nitrogen, 90% casein-nitrogen dan 50% nitrogen tanaman diubah menjadi protein mikrobia. Mikrobia rumen menggunakan 25-50% N dari protein pakan.
Kandungan PK ditentukan oleh konsentrasi N, semakin tingginya konsentrasi N hijauan yang digunakan oleh mikrobia akan meningkatkan aktivitas pencernaan
mikrobia terhadap kandungan BO pakan (McDonald et al., 2002). Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa kandungan NDF berfluktuasi
mengikuti musim. Kandungan NDF terendah terdapat pada musim hujan
(Desember dan Pebruari), terus bergerak naik dan tertinggi pada puncak musim kemarau yaitu Oktober. Fluktuasi kandungan PK dan NDF dapat digambarkan
dalam gambar seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Fluktuasi kandungan PK dan NDF hijauan sabana
Aoetpah (2002) mendapatkan bahwa semakin tinggi kandungan NDF akan menurunkan kecernaan BO pakan. Setiap kenaikan kandungan NDF rumput alam sebesar 1% akan mengurangi kecernaan BO secara in vitro rata-rata sebesar
0,87%. Daya cerna pakan dipengaruhi oleh komposisi nutrien dan daya cerna
berhubungan erat dengan kandungan serat kasar. Dinding sel tanaman terutama terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terutama jika berikatan dengan lignin. Setiap penambahan 10% serat kasar dalam tanaman menyebabkan
penurunan daya cerna BO sebesar 0,7-1,0 unit pada ruminansia (Katipana et al., 2009). Pada tanaman muda kandungan selulosa dan hemiselulosa kira-kira 40%
dari BK dan karbohidrat yang larut dalam air terutama fruktan kira-kira 25%. Bila hijauan semakin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa bertambah, sedangkan karbohidrat yang mudah larut berkurang. Selulosa berhubungan erat dengan lignin
dan kombinasi lignin-selulosa yang merupakan bagian terbesar pada tanaman yang tua maupun jerami. Selulosa dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim
tetapi oleh mikrobia, sedangkan lignin tidak dicerna oleh enzim maupun mikrobia
0102030405060708090
100
Des Feb Aprl Juni Agst Okt.
Ka
nd
un
ga
n(%
)
Bulan
PK
NDF
Prosiding Semnas II HITPI Page 190
rumen. Hal yang sama dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004) bahwa dengan
semakin rendah kandungan PK dan semakin tinggi serat kasar (ADF) kecernaan BO pada kambing yang merumput semakin menurun.
Terdapat banyak pendapat mengenai mengapa lignin dapat mengurangi biodegradasi BO. Jelantik (2001) merangkum beberapa pendapat yang menyebutkan berbagai alasan hubungan kandungan lignin terhadap kecernaan BO
antara lain karena sulitnya mikrobia melekat pada substrat, lignin membentuk lapisan bagian dalam yang tidak dapat dicerna, lignin terikat bersama-sama
hemiselulosa , atau lignin merupakan racun bagi mikrobia. Produksi rumput alam yang berfluktuasi ini menyebabkan jumlah ternak yang dapat ditampung per satuan luasan area penggembalaan juga berfluktuasi
seperti pada Tabel 1. Terjadi penurunan daya tampung padang penggembalaan yang tajam dari bulan Juni ke bulan Oktober. Produksi rumput alam menjadi
sangat rendah selama puncak musim kemarau sehingga daya tampung hanya 0,6 UT/ha. Hal ini terjadi terutama akibat tidak adanya pertumbuhan rumput selama tidak adanya curah hujan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau dan
ditambah dengan semakin naiknya suhu lingkungan dan semakin berkurangnya kelembaban sehingga udara menjadi sangat kering. Dengan demikian peranan
pakan yang berasal dari luar lahan penggembalaan menjadi sangat penting selama periode pertengahan sampai akhir musim kemarau, terutama pada wilayah yang mempunyai kepadatan ternak tinggi.
Dari data Tabel 1 ini jelas terlihat padang sabana mulai memasuki akhir musim kemarau sudah tidak bisa menyediakan rumput sebagai pakan ternak
dalam jumlah yang cukup. Kekurangan jumlah ini ditambah lagi dengan kualitas rumput yang sudah menurun karena tingginya kandungan SK, NDF dan rendahnya PK. Hal ini dapat mengakibatkan pada menurunnya produktivitas
ternak yang digembalakan di padang sabana ini.
Konsumsi di padang penggembalaan
Jumlah konsumsi BK pada puncak musim kemarau (bulan Oktober) dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil konsumsi BK pada Tabel 2 merupakan hasil
perhitungan dari rumus metode Fecal Techniques dan perhitungannya seperti tertera pada Lampiran 1.
Tabel 2. Konsumsi hijauan di padang penggembalaan jika kebutuhan BK 3% dari BB
pada akhir musim kemarau
No. Konsumsi bahan
kering (g)
Konsumsi bahan
segar (g)
Konsumsi BK
(% dari BB)
% Kekurangan
1 2
3 4 5
6 7
8 9 10
319,21 156,89
245,79 432,76 285,43
198,90 325,92
290,77 285,56 189,44
396,98 195,11
305,67 538,19 354,97
247,36 405,30
361,61 355,13 235,59
1,43 0,70
1,10 1,94 1,28
0,89 1,46
1,30 1,28 0,85
1,57 2,30
1,90 1,06 1,72
2,11 1,54
1,70 1,72 2,15
Prosiding Semnas II HITPI Page 191
Rata-rata konsumsi dari hasil perhitungan selama musim kemarau berkisar
antara 0,70% sampai 1,94% dari BB, jika kebutuhan BK dari ternak adalah 3% dari BB, maka selama kemarau ada kekurangan sebanyak 1,06% sampai 2,30%
dari BB. Keadaan ini jelas sangat jauh dari kebutuhan ternak karena pada bulan Oktober ini ketersediaan hijauan di lapangan sangat sedikit.
Komposisi Botani padang penggembalaan
Yang dihitung dalam penelitian ini adalah proporsi dari rumput,
leguminosa dan gulma. Setelah dihitung proporsinya maka untuk melihat jenis rumput dan leguminosa hanya diidentifikasi yang dominan saja. Jenis rumput dan leguminosa yang dominan terdapat di padang penggembalaan dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Jenis rumput dan legum yang dominan di padang penggembalaan Rumput Leguminosa Heteropogon contortus Digitaria sangunalis Bothriochloa timorensis Ischaemum timorense Digitaria sp Cyprus rotundus
Alysicarpus vaginalis Desmodium spp Glysine spp
Proporsi dari tanaman rumput, leguminosa dan gulma yang terdapat di
lokasi padang penggembalaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Proporsi rumput, leguminosa dan gulma di lokasi penggembalaan
Bulan Rumput (%) Leguminosa herba (%) Gulma (%) Desember 92,3 4,1 3,6 Pebruari 91,3 4,8 4,2 April 90,4 4,3 5,3 Juni 91,9 2,5 5,6 Agustus 98,5 0,2 1,3 Oktober 99,2 - 0,8
Sebagian besar hijauan yang ada di padang penggembalaan adalah rumput
alam yakni diatas 90%, hanya terdapat relatif sedikit tanaman leguminosa. Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam menyebabkan
rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau proporsi legum sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat rendah mutunya yang menjadi sumber pakan satu-satunya. Pada kebanyakan padang rumput alam di
Timor sekarang ditambah dengan ancaman gulma semak bunga putih (Chromolena odorata) yang semakin mempersempit lahan penggembalaan, tetapi
pada lokasi penelitian ancaman semak ini belum terlalu banyak karena gulma di stasiun ini secara rutin setiap musim hujan dimusnahkan.
Pemeliharaan yang dilakukan adalah ternak digembalakan sepanjang pagi
sampai sore hari dan pada malam hari dikandangkan. Setelah masuk kandang maka ternak diberi hijauan pohon, jenis hijauan yang diberikan sangat tergantung
pada ketersediaannya di sabana. Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada musim dan sifat dari regrowth tanaman setelah pemotongan, maka ada perbedaan
Prosiding Semnas II HITPI Page 192
hijauan yang diberikan sepanjang tahun, yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis hijauan yang diberikan kepada ternak selama dikandangkan Bulan Jenis Hijauan Desember – Januari Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica Pebruari – Maret Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica, Gliricidia
sepium April – Mei Gliricidia sepium, Leucaena leucochepala, Samania saman Juni – Agustus Samania saman, Schleichera oleosa September – Nopember Thamarindus, Schleichera oleosa
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Produksi dan kualitas hijauan, daya tamping sabana Timor Barat mengalami fluktuasi sesuai musim, produksi tertinggi di awal kemarau, kualitas terbaik di musim hujan serta produksi dan kualitas terendah di
akhir kemarau. 2. Di akhir musim kemarau ternak hanya mengkonsumsi 0,7-1,94% BK
hijauan sabana dari BB sehingga mengalami kekurangan 1,06-2,3% BK pakan dari kebutuhan 3 % BK berdasarkan BB.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeny, Y.N. dan U. Umiyasih. 2005. Tinjauan tentang upaya penyediaan hijauan pakan ternak sepanjang tahun di lahan kering. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan
Kering. Fapet-UGM, Yogyakarta. Anonim. 2002. Data Curah Hujan Daerah NTT. Stasiun Klimatologi Klas II
Lasiana, Kupang. Aoetpah, A. 2002. Fluktuasi ketersediaan dan kualitas gizi padang rumput alam di
pulau Timor. J.of Dryland Agric. Information 11:32-43. Pusat Penelitian
Lahan Kering Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang. Bhatta,R.,N.Swain, D.L. Verma and N.P.Singh. 2004. Study on feed intake and
nutrient utilitation of sheep under two housing system in a semi arid region of India. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17 (6):814-819.
Hartadi,H., S.Reksohadiprodjo, A.D.Tillman. 2005. Tabel-tabel Dari Komposisi
Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. Edisi kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Jelantik, I G.N. 2001. Improving Bali cattle (Bibos banteng Wagner) production Trough protein supplementation. PhD. Tesis. Dept. of Science and Animal Health. The Royal Veterinary and Agricultural University Copenhagen.
Katipana, N.G.F., J.I. Manafe, D. Amalo. 2009. Manfaat Limbah Organik Bagi Produktivitas Ternak Ruminansia, Ketahanan Pangan dan Pencemaran
Lingkungan: I. Uji Laboratoris Terhadap Produksi NH3 dan Tingkat Degradasi Protein Limbah Organik dari Mikrobia Rumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan – Undana. Kupang.
Prosiding Semnas II HITPI Page 193
Manu, A.E., E. Baliarti, S. Keman, F. Umbu Datta. 2007. Effects of Local Feed
Supplementation on the Performance of Bligon Goat Does at the End of Gestation Reared in West Timor Savannah. Anim. Proc. 9 (1): 1-8.
McDonald, P.; R.A Edwards; J.F.D. Greenhalgh; and C.A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. Prentice Hall. New York.
Nulik, J. dan A. Bamualim. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara.
Laporan Penelitian. BPTP Naibonat Kupang dan Eastern Island Veterinary Service Project.
Susetyo. 1980. Padang Penggembalaan. Balai Penyuluhan Pertanian Batangkaluku. Badan Pendidikan dan Latihan Penyuluh Pertanian, Departemen Pertanian.
Prosiding Semnas II HITPI Page 194
PENDUGAAN DAYA TAMPUNG RUSA LIAR (Cervus timorensis) DI
The objective of this experiment was to know carrying capacity of rusa deer (Cervus timorensisi) at Mar, Wasur National Park Merauke district. The data
collected were spesies of grasses, production each species and carrying capacity. The results showed species of grasses were Cynadon dactylon, Imperata cylindrica and Phragmites karka. Mar was dominated by Cynadon dactylon. The
production of Cynodon dactylon was 2.183 kg/ha. The Carryng capacity of rusa deer was 0,5 ha/head/year.
Key words : Carryng capacity, rusa deer, savannah, national park
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar
(Macropus agilis) di Mar Taman Nasonal Wasur Merauke. Variabel yang diamati yaitu jenis rumput, produksi per ha dan kapasitas tampung. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput
Mar yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-alang (Imperata cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka), dimana grinting
merupakan rumput yang sangat dominan. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) 2.183 Kg/ha. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5 Ha/ekor/tahun.
Kata kunci : Daya tampung, padang rumput, rusa liar, taman nasional
PENDAHULUAN
Latar belakang
Taman Nasional Wasur merupakan taman nasional yang terletak di kabupaten Merauke-Papua. Taman Nasioanl Wasur ditetapkan sebagai taman
nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan nomor : 448/Menhut-VI/1990, tertanggal 6 Maret 1990. Luas areal Taman Nasional Wasur sebesar 413.810 Ha.
Potensi flora dan fauna di Taman Nasional Wasur sangat besar. Taman ini
mempunyai 10 jenis induk vegetasi dengan daerah hutan savana 2/3 dari
seluruh taman. Habitat lain yang dapat dijumpai adalah hutan pantai, hutan bakau, hutan bambu, padang rumput dan rawa sagu yang cukup luas. Di Taman Nasional
Wasur terdapat sekitar 80 jenis mamalia, dimana 27 jenis merupakan jenis endemik. Jenis burung yang ada sekitar 390, sehingga merupakan daerah yang paling kaya di Papua (Petocz, R.G. , 1987). Jenis-jenis fauna antara lain kanguru/
walabi lincah (Macropus agilis), kaswari (Casuarius-casuaarius) dan fauna eksotik adalah rusa liar (Cervus timorensis).
Prosiding Semnas II HITPI Page 195
Permasalahan Mar, merupakan salah satu zona inti di dalam kawasan Taman Nasional
Wasur. Di lokasi tersebut banyak dijumpai padang rumput/savana yang sangat luas. Satwa yang bisa dilihat dalam padang rumput di Mar antara lain yaitu walabi lincah dan rusa liar. Pengelolaan padang rumput di Mar menjadi sangat penting,
karena padang rumput tersebut menjadi sumber pakan utama bagi rusa liar . Sedangkan rusa liar merupakan sumber protein yang penting juga bagi masyarakat
yang berdiam di dalam Taman Nasional Wasur maupun masyarakat di Merauke dan sekitarnya. Kondisi padang rumput yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai terjadi kondisi over grazing maupun under grazing oleh rusa liar pada
padang rumput tersebut. Untuk mencegah terjadinya kondisi over maupun under grazing di dalam
suatu kawasan padang rumput, salah satu caranya adalah dengan mengukur kapasitas tampung/carrying capacity pada lokasi tersebut. Dengan mengetahui adanya kapasitas tampung di padang rumput Mar, maka bisa diketahui berapa
jumlah ideal rusa liar yang dapat ditampung pada padang rumput tersebut. Hal ini menjadi sangat penting bagi strategi pengelolan kawasan zona inti di
Mar tersebut. Bila jumlah rusa liar berlebihan maka perlu dilakukan pemburuan terhadap rusa liar, agar tidak terjadi over grazing. Tetapi bila jumlah rusa liar dirasa kurang, maka perburuan perlu dilarang, karena akan mengakibatkan
terjadinya under grazzing di padang rumput tersebut. Mengingat sampai sekarang data tentang kapasitas tampung di Mar sampai saat ini belum ada, maka
penelitian untuk mengetahui kapasitas tampung di Mar mutlak perlu sebagai dasar dalam pengelolaan zona inti di Mar Taman Nasional Wasur Merauke.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar di Mar
Taman Nasonal Wasur Merauke.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dasar dalam melakukan strategi pengelolaan rusa liar di padang rumput Mar Merauke.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilakasanakan di padang rumput Mar Taman Nasional
Wasur. Penelitian dilaksanakan selama 7 hari.
Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu rumput. Sedangkan alat yang dipakai adalah : Timbangan duduk berkapasitas 2 kg, meteran rol, kantong plastik, parang, gunting, kwadran kayu ukuran 1 m2, spirtus, kertas koran,
buku identifikasi jenis rumput, dan alat tulis menulis.
Metoda
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metoda deskriptif dengan teknik survei. Survei dilakukan di Padang rumput Mar Taman Nasional
Prosiding Semnas II HITPI Page 196
Wasur Merauke. Untuk mengetahui produksi rumput dan kapasitas tampung,
pengambilan contoh rumput dilakukan secara stratifikasi dengan menggunakan metoda kwadran (Alikodra 1990) dan (Reksohadiprodjo, 1996). Sedangkan
koleksi spesimen dilakukan untuk mengetahui spesies rumput yang dimakan oleh rusa liar.
Identifikasi jenis rumput
Identifikasi jenis rumput dilakukan dengan mengamati jenis-jenis rumput
dan mencabut jenis rumput terutama yang sudah berbunga. Kemudian dicocokkan dengan buku identifikasi lapangan ( Mannetje L. „t and R.M. Jones, 1992). Rumput yang belum teridentifikasi, akan dibuat spesimen basah untuk
diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium atau spesimen tersebut nantinya dikirim ke Herbarium Bogoriense- Bogor.
Stratifikasi lokasi
Stratifikasi lokasi dilakukan berdasarkan jenis rumput yang tumbuh.
Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukan bahwa terdapat tiga jenis rumput yaitu grinting (Cynodon dactylon ), Palungpung (Prhagmites karka) dan Alang-
alang (Imperta cylindrica). Tetapi luasan palungpung dan alang-alang sangat kecil kurang dari 1%, maka pada kedua jenis rumput tersebut tidak diambil sampelnya. Sedangkan grinting tumbuh sangat dominan di padang rumput
tersebut hampir 100%, sehingga padang rumput sangat homogen. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan pengambilan sampel untuk rumput grinting pada tiga
lokasi yang berbeda. Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menempatkan kwadran 1 m2 pada padang rumput tersebut. Rumput yang masuk dalam kwadran semuanya dipotong
serendah mungkin dengan tanah, kemudian ditimbang berat segarnya. Pengukuran produksi padang rumput dimodifikasi dari (Reksohadiprodjo, 1996):
1. Diamati spesies padang rumput yang dikonsumsi oleh satwa, dan dihitung
produksinya per hektar 2. Dihitung % cover masing-masing spesies, kemudian dijumlahkan sehingga
merupakan total % cover. 3. Ditentukan P.U.F (proper use factor). untuk menjamin pertumbuhan
kembali. PUF untuk penggunaan padang rumput yang ringan adalah 25%
4. Dipertimbangakan juga periode merumput atau periode stay dan periode istirahat atau rest. Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996)
memasukkan periode rest(istirahat) 10-14 minggu atau 70 hari rata-rata dan periode merumput 30 hari untuk negara tropis. Persamaan Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996) untuk mengukur kebutuhan luas
tanah pertahun adalah : (Y-1) s = r
dimana Y = luasan tanah yang diperlukan oleh seekor satwa s = Periode merumput (30 hari) r = Periode istirahat (70 hari)
(Y-1) 30 = 70 30Y –30 = 70
Prosiding Semnas II HITPI Page 197
30Y = 100; Y = 3,3 (Kebutuhan tanah pertahun adalah
3,3 kali kebutuhan tanah perbulan).
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu : a. Jenis rumput
b. Produksi rumput dihitung dengan membandingkan berat segar rumput (gr) per luasan 1 m2.
c. Proyeksi daya tampung. Untuk menetapkan proyeksi daya tampung di daerah tropis dimodifikasi berdasarkan rumus Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo
( 1996) sebagai berikut : (y - 1 ) s = r
dimana : Y : angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per ekor rusa liar per tahun terhadap kebutuhan per bulan
S : periode merumput (S = stay : selama 30 hari) R : periode istirahat (r = rest : selama 70 hari)
Dengan menggunakan nilai r = 70 dan s = 30 pada rumus di atas, maka diperoleh nilai Y = 3,3. Sehingga dengan mengetahui kebutuhan luas tanah per bulan/Ha/ unit rusa liar (UR) , maka kebutuhan luas padang rumput atau daya tampung per
tahunnya dapat diketahui = 3,3 × taksiran kebituhan luas tanah /bulan/UR.
Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan secara tabulasi sesuai dengan variabel
pengamatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis-jenis Hijauan
Jenis-jenis hijauan yang terdapat dalam padang rumput Mar Taman Nasional Wasur yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynodon
dactylon) (L.) Pers.), palungpung — (Phragmites karka) (Retz.) Trin., Alang-alang – (Imperata cylindrical) (L.) Beauv. Grinting mempunyai daya pengikat tanah yang kuat dan tahan terhadap injakan sehingga rumput ini merupakan
rumput penutup halaman dan lapangan olah raga yang baik. Karena sifat-sifatnya itulah rumput ini sudah umum ditanam. Grinting juga merupakan rumput
makanan ternak yang bernilai tinggi. Tumbuhnya memberi respon terhadap pemupukan. Seperti jenis rumput lainnya, dalam penanamanya juga biasa dicampur dengan jenis legum yang tujuannya untuk meningkatkan nilai gizi dan
produksinya. Jenis legum yang dapat ditanam bersama-sama yaitu Trifolium repens, Trifolium procumbens, Trifolium dubium dan Lespedeza sp. (Anonimous, 1982)
Jenis legum (leguminosa) tidak dijumpai di padang rumput tersebut. Berdasarkan kandungan gizinya, maka legum lebih tinggi kandungan protein
kasarnya dari pada rumput ( McIlroy R.J., 1977). Dengan demikian maka sebenarnya rusa liar masih perlu suplai protein kasarnya dalam pakannya, sehingga pertumbuhan rusa liar bisa lebih baik lagi.
Prosiding Semnas II HITPI Page 198
Dimana salah satu fungsi dari protein adalah untuk pertumbuhan (Tilmann, dkk.,
1998). Disamping itu peranan legum sangat penting untuk satwa, legum juga mempunyai peranan sangat penting untuk padang rumput antara lain yaitu yaitu :
(1) memperbaiki kualitas produksi suatu padang rumput, karena kadar protein kasar legum yang lebih tinggi dari pada rumput. (2) Memanfaatkan transfer nitrogen dari legum untuk menjaga produksi rumput padang rumput karena
pelapukan bintil akar serta rontokan daun legum akan menyumbangkan N pada tanah setelah melewati proses dekomposisi. Hal tersebut pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas satwa/walabi yang hidup pada padang rumput tersebut (Humphreys, 1995). Alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan penanaman legum yang sudah ada di dalam Taman Nasional Wasur. Apakah
berupa legum pohon, legum yang menjalar atau legum perdu.
Produksi Hijauan
Berdasarkan pengamatan lapangan terdapat tiga jenis rumput yang dapat dikonsumsi oleh Rusa liar, yaitu palungpung, alang-alang dan grinting. Tetapi
yang diambil sebagai sampel hanya terhadap rumput grinting. Produksi rumput grinting dari tiga lokasi di Mar disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Produksi rumput grinting di padang rumput Mar
No Tempat/Lokasi Produksi ( gr / m2) Produksi (kg /Ha)
1
2 3
Lokasi I
Lokaasi II Lokasi III
195
210 250
1.950
2.100 2. 500
Rata-rata 218,3 2.183
Berdasarkan Tabel 1 tersebut diatas menunjukkan bahwa produksi rumput grinting rata sebesar 2.183 kg/Ha. Dapat dikatakan cukup tinggi.
Berdasarkan waktu pengambilan sampel pada bulan November, maka waktu tersebut merupakan akhir musim kering. Dengan demikian maka pada akhir musim keringpun produksi grinting masih cukup tinggi.
Menurut Subagiyo dan Kusmartono (1988), musim terutama curah hujan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi rumput. Dari
segi kualitas perubahan musim antara musim penghujan dan musim kemarau akan mengakibatkan adanya perubahan nilai gizi rumput. Hal ini disebabkan karena kandungan nilai gizi rumput berasal dari unsur hara dalam tanah. Dengan
berkurangnya kadar air tanah di musim kemarau, maka unsur hara tersebut kurang dapat diabsorbsi rumput untuk pembetukan zat gizi. Dengan demikian maka
kandungan protein kasarnya pun pada mudim kemarau akan menurun. Disamping itu radiasi sinar matahari yang lebih besar pada musim kemarau akan mengakibatkan pembentukan serat kasar yang lebih aktif, sehingga kandungan
kasar rumput akan lebih tinggi. Pada musim kemarau juga akan menurunkan kuantitas produksi rumput.
Karena kadar air tanah yang rendah, maka rumput akan mengalami hambatan pertumbuhan karena berkurangnya kadar air tanah serta kurang dapatnya unsur hara untuk diabsorbsi rumput untuk pertumbuhan tersebut. Bahkan penurunan
produksi rumput pada musim kemarau dapat mencapai lebih dari setengah
Prosiding Semnas II HITPI Page 199
produksi pada musim penghujan. Fluktuasi ini juga akan dapat mengakibatkan
fluktuasinya pertumbuhan satwa (rusa liar) di padang rumput tersebut.
Proyeksi Daya Tampung
Di dalam menentukan proyeksi daya tampung padang rumput Mar ditarik beberapa asumsi sebagai berikut:
Berat rata-rata rusa liar diasumsikan adalah 110 kg, Semiadi (1998) dalam Andoy E F S (2002) sehingga kebutuhan rumput/hijauan perhari adalah 10% dari
berat badan = 110 kg × 10% = 11kg. Sehingga kebutuhan perbulan = 11 kg ×30 = 330 Kg/bulan. Proyeksi daya tampung di padang rumput Mar disajikan dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Proyeksi kebutuhan lahan/ekor rusa liar
No Jenis
rumput Produksi (Kg/Ha)
PUF (25%)
Kons.pakan per bulan
(Kg)
Kebth. lahan
(bulan/ Ha)
Kebth. lahan
(tahun/ Ha)
1
Grinting
2.183
545,75(kg)
330
0,60
1,98
Keterangan : Kons.pakan : Konsumsi pakan
Kebuth. Lahan : Kebutuhan lahan
Berdasarkan tabel 2 di atas terlihat bahwa kebutuhan lahan seekor rusa
liar adalah 0,6 Ha/bulan atau 1,98 2 Ha/tahun. Dengan kata lain Daya Tampung
perhektar 0,5/ekor/th. Jumlah ini sama dengan yang dilaporakan oleh Burhanudin M dkk. (2008) sebesar 0,5 ekor/ha/tahun di Tanjung Pasir Taman Nasional Bali Barat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput Mar yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-alang (Imperata
cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka). 2. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) 2.183 Kg/ha. 3. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5
Ha/ekor/thn.
Saran
Hal-hal yang perlu disarankan setelah penelitian ini yaitu: perlu dilakukan survei jumlah populasi rusa liar di padang rumput Mar.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra Hadi S., 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prosiding Semnas II HITPI Page 200
Andoy Elvis Erikson Sonny, 2002. Studi Populasi Rusa Timr (Cervus timorensis)
dan Perburuan oleh Penduduk di Desa Poo, Tomer dan Sota Dalam Taman Nasional Wasur Merauke. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Negeri
Papua. Tanpa Publikasi. Anonimous, 1982. Rumput Dataran Rendah. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. Burhanudin Masy‟ud, Indra Hadi Kusuma dan Yandi Rahmadani, 2008. Potensi
Vegetasi Pakan dan Efektivitas Perbaikan Habitai Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainfile 1828) di Tanjung Pasir Taman Nasional di Taman
Nasional Bali Barat). Media Knservasi. Vol.13 No.2. Agustus 2008 : 57-64
Humphreys L.R., 1995. Diversity and Productivity of tropical legumes. In :
D‟Mello J.P.F. and Devendra C (ed)., 1995. Tropical Legumes in Animal Nutrition. CAB international, Wallingford UK.
Mannetje L. „t and R.M. Jones, 1992. Forages. Prosea, Bogor. McIlroy R.J., 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Petocz, R.G. , 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya. Pustaka Grafitipers, Jakarta.
Reksohadiprodjo Soedomo, 1996. Evaluasi Produksi Pasture. Dalam Kursus Singkat Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia. Jurusa liarn Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, Yogjakarta.
Soesanto, H dan Subagiyo, 1988. Landasan Agrostologi. NUFFIC. Universitas Brawijaya, Malang.
Subagiyo ,I. dan kusmartono, 1988. Ilmu Kultur Padangan. NUFFIC. Universitas Brawijaya, Malang.
Susetyo, 1979. Pengelolaan dan Pemanfaatan Padang Rumput. Direktorat
Jendral Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Tillman A.D., Hartadi H., Reksohadiprodjo S., dan Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press dan Fakultas Peternakan UGM., Yogjakarta.
Prosiding Semnas II HITPI Page 201
PENGARUH CARA PERSIAPAN LAHAN TERHADAP PRODUKSI
BAHAN KERING DAN KUALITAS Centrosema pubescent Benth. DAN
Calopogonium mucunoides Desv. DI PADANG RUMPUT ALAMI
Luh Suariani , I Nyoman Kaca dan Ni Made Yudiastari
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa
ABSTRACT
The low forage production of native grasslands result in the low ruminant husbandry production. One effort that can be done to increase production and
pasture qualities is by planting of/ improved legumes. Therefore, an experiment on land preparation was conducted to find a simple and cheap method for
legumes establishment. This research was conducted from February to June 2012, at Lumbung village, Selemadeg-Tabanan district. Factorial randomized block design with four land preparation methods (no tillage , herbicide aplication, with
burning and conventional tillage) and three kind legumes (without legumes, Centrosema pubescent Benth., and Calogonium mucunoides Desv.) was used for
this research. Treatments were replicated three times. The result showed that there were interactions between land preparation methods with the kind of legumes on growth, area cover, and botanical composision. Land preparation
method by spraying herbicide (glyphosate) after were cut previously, were the most adequate method for legumes planting to native grassland. To increase feeding stuff supply from native grasslands, planting centro at land preparation
method using systemic herbicide is must appropriate. Research for longer time to gain a data more precisely to forage production along the years is still required.
Key word: land preparation, legumes establishment, and native grassland.
ABSTRAK
Produksi hijauan di padang rumput alami yang rendah mengkibatkan
rendahnya produktivitas ternak ruminansia. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peroduksi dan kualitas hijauan adalah dengan penanaman/penyebaran leguminosa. Oleh sebab itu, diperlukan cara persiapan
lahan yang tepat dan murah untuk menanam leguminosa di padang rumput alami. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juni 2012, di
desa Lumbung, kecamatan Selemadeg-Tabanan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 4 × 3 , dengan 4 cara
persiapan lahan : persiapan lahan tanpa olah tanah (Pt), persiapan lahan dengan herbisida (Ph), persiapan lahan dengan pembakaran (Pp) dan persiapan lahan
secara konvensional (Pk) dan tiga jenis leguminosa : tanpa leguminosa, Centrosema pubescent Benth., dan Calogonium mucunoides Desv. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Hasil percobaan
menunjukkan terdapat interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap pertumbuhan, produksi dan kualitas hijauan di padang
rumput alami. Jenis leguminosa yang mampu menghasilkan bahan kering lebih tinggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrocema pubescens Benth. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering hijauan
Prosiding Semnas II HITPI Page 202
sebesar 20,8% pada pemotongan pertama dan 10,7% pada pemotongan kedua, dan
mampu meningkatkan kualitas protein hijauan sebesar 17,01% pada pemotongan pertama dan 38,95% pada pemotongan kedua. Cara persiapan lahan dengan
menyemprotkan herbisida yang berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara yang paling tepat dalam menanam leguminosa ke padang rumput alami. Untuk meningkatkan ketersediaan pakan berkualitas,
menanam centro ke padang rumput alami dengan cara persiapan lahan menggunakan herbisida yang berbahan aktif glyphosate adalah merupakan cara
yang paling tepat. Diperlukan suatu penelitian dalam jangka waktu yang panjang untuk memperoleh data yang lebih akurat mengenai produksi hijauan pakan sepanjang tahunnya.
Kata kunci: persiapan lahan, penyebaran legume, padang rumput alami
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan
produksi ternak ruminansia adalah tersedianya hijauan makanan ternak yang berkualitas sepanjang tahun. Hijauan makanan ternak yang berkualitas terutama terdiri dari rumput rumputan sebagai sumber energi dan leguminosa sebagai
sumber protein. Di Indonesia, khususnya di Bali, petani ternak masih memanfaatkan rumput lapangan sebagai pakan ternaknya (Mendra, 1992 ), karena
lahan yang khusus dipergunakan untuk menanam rumput tidaklah memadai. Padang rumput alami yang tersebar pada beberapa daerah di Indonesia
luasnya 2.399.597 ha, dan lebih dari 90% luas padang rumput yang diusahakan
untuk menghasilkan pakan ternak di Indonesia didominasi oleh rumput alam dan komponen leguminosa hampir tidak ada (Sanchez, 1993). Rendahnya
produktivitas ternak pada padang rumput alami didaerah tropis terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas hijauan. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas hijauan padang rumput alami adalah kelengasan dan
kesuburan tanah yang rendah (Sanchez, 1993). Di negara-negara maju, asosiasi rumput dan leguminosa banyak
diterapkan di padang penggembalaan (padang rumput). Bayer (1990) menyatakan bahwa keuntungan leguminosa dibandingkan dengan rumput adalah (1) leguminosa dapat mengikat N bebas dan bersimbiose dengan rhizobia, (2) kualitas
hijauan leguminosa tidak menurun drastis pada musim kemarau, (3) hijauan yang lebih banyak mengandung leguminosa mempunyai kandungan protein dan nilai
cerna yang lebih tinggi. Pada umumnya leguminosa yang diintroduksikan ke dalam padang rumput
adalah leguminosa penutup tanah (cover crops), seperti Centrosema pubescens,
Calopogonium mucunoides dan Pueraria phaseoloides. Jenis leguminosa penutup tanah ini adalah leguminosa tahunan yang tumbuhnya membelit dan memanjat, dan panjangnya bisa mencapai 5 m (Bogdan, 1977) Spesies tahunan seperti
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides ini mempunyai sistem perakaran yang kuat dan relatif tahan terhadap cekaman air. Centrosema
pubescens mempunyai pertumbuhan awal yang sangat lambat, tetapi akan berkembang sangat cepat dan agresif jika sudah beradaptasi, serta mempunyai daun yang lebat (Skerman, 1988). Sumbangan nitrogen yang dapat diberikan
Prosiding Semnas II HITPI Page 203
leguminosa setiap tahunnya pada padang rumput menurut Sanchez (1993) adalah
berkorelasi langsung dengan kandungan bahan kering bagian atas apabila spesies yang digunakan telah dikelola dengan baik.
Di beberapa tempat yang mengembangkan padang rumput leguminosa, daya tampung dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan padang rumput alamiah. Hal ini didukung oleh t‟Mannetje dan Jones (1992) yang
menyatakan bahwa pada pertanaman campuran rumput dan leguminosa dapat meningkatkan kapasitas tampung, meningkatkan kenaikan berat badan dan
meningkatkan produksi dari ternak. Leguminosa memerlukan aerasi yang baik supaya bintil akar dapat
berkembang dan memfiksasi N bebas dengan baik. Hasil fiksasi N inilah nantinya
yang akan membantu pertumbuhan leguminosa, sehingga mampu berproduksi maksimal dengan kualitas yang baik (Humphreys, 1980). Pada umumnya
leguminosa kalah bersaing dengan rumput lapangan yang telah menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Rumput-rumputan termasuk tanaman golongan C4 sedangkan leguminosa termasuk golongan C3. Tanaman C4 lebih efisien dalam
memanfaatkan sinar matahari, CO2 dan lebih efisien dalam penggunaan air, karena mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C3
(Sastroutomo, 1980). Cara persiapan lahan yang tepat juga bertujuan untuk mengurangi
kompetisi oleh rumput sehingga leguminosa dapat tumbuh optimum. Pemilihan
cara persiapan lahan ini sangat dibatasi oleh biaya, ketersediaan tenaga kerja dan luasan padang rumput yang akan diintroduksi dengan leguminosa, serta tingkat
erosi (Leach et al., 1976 dalam Nurjaya, 1987). Pengolahan tanah didalamnya termasuk pencangkulan sampai dengan
tanpa pengolahan hanya dibuat larikan atau ditugal.Selain dengan pengolahan
tanah pengelolaan padang rumput alam juga dapat dilakukan dengan pembakaran padangan. Maksud utama pembakaran adalah untuk memusnahkan tanaman
rumput dan gulma yang tua dan tidak palatabel dan kering, serta untuk merangsang pertumbuhan tanaman muda yang mengandung nutrisi yang lebih tinggi dan lebih disukai ternak. Pembakaran juga dapat memberantas hama dan
penyakit baik yang menyerang ternak atau tanaman (Reksohadiprodjo, 1994), serta melepaskan fosfor dan unsur hara yang lain yang terikat dalam jaringan
tanaman tua dan membuatnya tersedia bagi tanaman (Sanchez, 1993). Pengontrolan kompetisi tanaman juga dapat dilakukan dengan
menggunakan herbisida. Herbisida sistemik seperti dalapon dan glyphosate,
ditranslokasikan ke tanaman dan akan membunuh sampai ke akar tanaman. Nurjaya (1987) menemukan bahwa pada tanah berpasir, cara persiapan lahan
dengan memotong kemudian menyemprot dengan glyphosate 3 kg a.i. ha –1 dan setelah dua minggu ditanami, memberikan hasil yang lebih baik daripada persiapan lahan secara konvensional (membajak dan membersihkan tanaman yang
ada). Hal ini disebabkan oleh temperatur permukaan tanah lebih tinggi pada persiapan lahan secara konvensional dibandingkan dengan menyemprotnya
dengan herbisida.
Rumusan Masalah
Padang rumput alami didominasi oleh rumput-rumputan lokal sehingga kuantitas dan kualitas pakan ternak yang dihasilkan rendah. Penanaman
Prosiding Semnas II HITPI Page 204
leguminosa ke padang rumput alami merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan produktivitas padang rumput alami, namum leguminosa kalah bersaing dengan rumput-rumput yang telah ada. Untuk itu diperlukan cara
persiapan lahan yang dapat mendorong pertumbuhan leguminosa.
MATERI DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lumbung Kecamatan Selamadeg, Kabupaten Tabanan, yang merupakan salah satu daerah lahan kering di Bali. Jenis tanah dilokasi penelitian adalah tanah Inceptisol (berdasarkan peta jenis tanah
Propinsi Bali) dengan type iklim C menurut Schmit dan Ferguson (1951). Ketinggian tempat dilokasi penelitian adalah + 50m dari permukaan laut. Padang
rumput ini didominasi oleh rumput lapangan yang mempunyai rhizome (rizomathous). Tanah ditempat percobaan mempunyai kandungan N (rendah), P (sangat rendah) dan K(rendah) dengan tektur tanah liat.
Materi
Jenis leguminosa penutup tanah yang diintroduksikan pada padang rumput alami adalah centro (Centrosema pubescens Benth.) dan calopo (Calopogonium mucunoides Desv.), yang bijinya diperoleh dari BPT/HMT Ciawi
Bogor. Dalam percobaan ini di pupuk dengan 50 kg Urea ha-1, 75 kg SP36 ha-1
dan 75 kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Pemupukan dilakukan seminggu sebelum penanaman leguminosa. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Cangkul, sekop, dan sabit dipergunakan pada saat pengolahan lahan 2. Peralatan semprot (hand sprayer)
3. Timbangan yang berkapasitas 22,6 kg dengan ketelitian 10 g yang dipergunakan untuk menimbang hijauan segar, Timbangan “Mettler Toledo PB 3002” berkapasitas 500 g dengan ketelitian 0,01mg untuk
menimbang sampel keperluan analisis kimia 4. Timbangan Bonso model 323, kapasitas 5000 g dengan kepekaan 1 g
untuk menimbang berat kering oven hijauan dan komponen hijauan 5. Oven pengering model GC-2 untuk mengeringkan sampel hijauan 6. Grinder untuk menggiling sampel
7. Penggilingan elektronik dengan diameter lubang 0,1 mm , persiapan sampel untuk analisis kimia.
8. Dan berbagai peralatan yang diperlukan dalam analisis kandungan bahan kering dan protein hijauan makanan ternak.
Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah : a. Inokulan rhyzobium diperlukan untuk menginokulasi biji leguminosa,
b. Bibit leguminosa Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides,
Rancangan percobaan
Percobaan dilakukan dengan mempergunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap pola faktorial 4 × 3 dengan faktor pertama adalah empat cara persiapan
Prosiding Semnas II HITPI Page 205
lahan dan faktor kedua adalah dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa
penanaman leguminosa. Dari kedua faktor tersebut akan diperoleh duabelas kombinasi perlakuan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak
tiga kali, sehingga akan diperoleh 36 petak percobaan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah : Faktor I : Cara persiapan lahan yaitu :
Pt = Tanpa Olah Tanah (TOT), pada lahan padang rumput dibuat larikan untuk menanam leguminosa sedangkan tumbuhan yang sudah ada dipotong.
Ph = Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu kemudian disemprot dengan herbisida glyphosate 3 kg a.i.(active ingredient) ha-1. Setelah dua minggu biji leguminosa baru ditanam dalam larikan.
Pp = Memotong dan seminggu kemudian membakar padang rumput, lalu membuat larikan untuk ditanami leguminosa.
Pk = Pengolahan konvensional. Lahan diolah dengan mencangkul mengumpulkan dan membersihkan rumput-rumput serta akar rimpangnya, menghancurkan bongkahan tanah dan meratakan.
Faktor II adalah penanaman dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa
penanaman leguminosa yaitu : LTl = Tanpa ditanami leguminosa (kontrol) LCp = Centro (Centrosema pubescens Benth.)
LCm = Calopo (Calopogonium mucunoides Desv.)
Pertama-tama dilakukan Pelaksanaan pembuatan petak-petak yang jumlahnya 36 petak dengan ukuran petak 3 × 4 m dan jarak antar petak adalah
0,4 m. Setelah dirandom maka tanah baru diolah sesuai dengan cara persiapan lahan yaitu :
(a) Untuk Pt (Tanpa Olah Tanah). Rumput pada petak ini dipotong dan dibuat Larikan, kemudian ditanami dengan leguminosa.
(b) Untuk Ph (dengan herbisida). Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu
kemudian baru disemprot dengan herbisida. Penanam leguminosa dilakukan setelah 2 minggu penyemprotan.
(c) Untuk Pp (Pembakaran padang rumput). Rumput dipotong dan seminggu sebelum penanaman dilakukan pembakaran pada padang rumput.
(d) Untuk Pk (Pengolahan konvesional). Pembersihan dan pencangkulan lahan
dilakukan seminggu sebelum dilakukannya penanaman dengan leguminosa.
Biji leguminosa sebelum ditanam/disebar telah diskarifikasi. Kebutuhan biji centro dan calopo untuk setiap hektarnya adalah 5 kg dan 3 kg (t‟Mannetje dan Jones, 1992). Daya germinasi untuk centro adalah sebesar 80% dan 60%
untuk calopo.
Panen
Panen dilakukan dengan memotong tanaman pada ubinan dengan tinggi pemotongan lima sentimeter. Luas ubinan adalah 2 × 1,5 m (Gambar 2).
Tanaman sampel adalah tanaman yang akan diukur panjangnya dan selanjutnya akan didestruksi untuk melihat jumlah nodul efektifnya. Panen dilakukan
sebanyak dua kali yaitu pemotongan pertama pada saat tanaman berumur dua
Prosiding Semnas II HITPI Page 206
belas minggu, dan pemotongan kedua enam minggu kemudian (delapan belas
minggu setelah tanam).
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati meliputi variabel respon pertumbuhan dan produksi hijauan meliputi :
1. Komposisi botani 2. Kandungan dan produksi bahan kering (Dry Matter)
3. Kadar protein kasar (Crude Protein) hijauan 4. Kandungan abu dan bahan organik hijauan
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan apabila
terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan dan dilakukann transformasi beberapa data untuk menyeragamkan varians (Steel and Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Botani
Terdapat interaksi antara cara persiapan lahan (P) dengan jenis leguminosa
(L) terhadap komposisi botani rumput dan gulma pada pemotongan pertama dan pada komposisi botani rumput, legum dan gulma pada pemotongan kedua (Tabel
5.1). Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan mengakibatkan menurunnya prosentase rumput (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan pembakaran yang ditanami dengan Calopo.
Penurunan prosentase rumput sebesar 33% dan 43,93% masing-masing terjadi pada pastura yang ditanami Centro (LCp) dan Calopo (LCm) Pada pemotongan
pertama dan kedua, penanaman leguminosa juga mengkibatkan menurunnya prosentase gulma yang tumbuh dan cara persiapan lahan meningkatkan jumlah gulma secara nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada
penanaman dengan Calopo . Pada pemotongan kedua, persentase rumput cenderung meningkat
dibandingkan dengan pada pemotongan pertama. Dengan penanaman leguminosa prosentase rumput mengalami penurunan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa dan dengan persiapan lahan ternyata mampu menurunkan prosentase
rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan.
Produksi Bahan Kering Leguminosa, Rumput dan Gulma
Terdapat interaksi yang nyata antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap produksi bahan kering rumput pada pemotongan pertama
dan produksi bahan kering leguminosa, rumput dan gulma pada pemotongan kedua. Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa memberikan pengaruh yang
nyata terhadap produksi bahan kering leguminosa dan gulma pada pemotongan pertama (Tabel 5.1)
Prosiding Semnas II HITPI Page 207
Tabel 5.1 Signifikansi pengaruh cara persiapan lahan (P), jenis leguminosa (L)
dan interaksinya terhadap variabel yang diamati. Variabel Pengaruh
P L P X L
PEMOTONGAN PERTAMA
4 Komposisi botani (%)
a) Rumput ** ** **
b)Leguminosa ** ** NS
c) Gulma ** ** *
9 Produksi (t ha –1
)
a). Produksi bahan kering rumput ** ** **
b). Produksi bahan kering gulma ** NS NS
c). produksi bahan kering leguminosa ** ** NS
d).Produksi total bahan kering hijauan ** ** **
e). Produksi total protein kasar NS ** NS
10 Kualitas hijauan (%)
a). Kandungan protein kasar ** ** *
b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS
c). Kandungan bahan organik NS NS NS
d). Kandungan abu. NS NS NS
PEMOTONGAN KEDUA
4 Komposisi botani (%)
a) Rumput ** ** **
b) Leguminosa ** ** **
c) Gulma ** ** **
9 Produksi (t ha-1
)
a). Produksi bahan kering rumput ** ** **
b). Produksi bahan kering gulma ** ** **
c). produksi bahan kering leguminosa ** ** **
d) Produksi total bahan kering hijauan ** ** NS
e) Produksi total protein kasar ** ** **
10 Kualitas hijauan (%)
a). Kandungan protein kasar ** ** **
b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS
c). Kandungan bahan organik NS NS NS
d). Kandungan abu. NS NS NS
11 Jumlah nodul NS NS NS
Keterangan :
1) * = berbeda nyata (P < 0,05 )
2) ** = berbeda sangat nyata (P < 0,01)
3) NS = tidak berbeda nyata (P> 0,05)
Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan tanpa penanaman
leguminosa tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap poduksi bahan kering rumput, kecuali pada persiapan lahan secara konvensional (Tabel 5.2).
Penanaman centro mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput pada cara persiapan lahan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan. Pada penanaman calopo, persiapan lahan dengan pembakaran menghasilkan produksi
bahan kering rumput yang lebih tinggi dibandingkan dengan persiapan lahan konvensional, tetapi tidak berbeda nyata dengan persiapan lahan dengan herbisida
dan tanpa olah tanah. Persiapan lahan secara nyata (P<0,05) meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, tetapi penanaman leguminosa ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap berat
kering gulma (Tabel 5.2).
Prosiding Semnas II HITPI Page 208
Pada pemotongan kedua, persiapan lahan pada penanaman centro secara
nyata meningkatkan produksi bahan kering leguminosa dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, sedangkan pada calopo persiapan lahan dengan herbisida
dan tanpa persiapan lahan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.3). Produksi bahan kering leguminosa tertinggi dijumpai pada persiapan lahan dengan herbisida dan ditanami dengan centro, serta yang terendah dijumpai pada
persiapan lahan secara konvensional yang ditanami dengan Calopo (Tabel 5.3). Penanaman leguminosa mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput
dibandingkan dengan tanpa ditanami dengan leguminosa kecuali pada persiapan lahan secara konvensional. Tanpa penanaman leguminosa, cara persiapan lahan menekan produksi bahan kering rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan
lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Pada penanaman dengan centro,
cara persiapan lahan memberikan produksi rumput yang sama kecuali pada persiapan lahan secara konvensional yang mampu menekan produksi bahan kering rumput. Pada penanaman dengan calopo, cara persipan lahan tidak
memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.3).
Tabel 5.2 Pengaruh cara persiapan lahan (P) dan jenis leguminosa (L) terhadap
produksi bahan kering gulma dan leguminosa (t ha –1) pada
pemotongan pertama dan produksi bahan kering total (t ha-1) pada pemotongan kedua (Pem.II)
Perlakuan Produksi bahan kering Prod. Bahan
Pemotongan I Kering total
Leguminosa Gulma Pem. II
------t ha-1---------- ------t ha-1-----
Persiapan lahan
Pt (TOT) 1,47 c 0,68 b 2,85 a
Ph(herbisida) 2,39 a 1,06 a 2,84 a
Pp(pembakaran) 1,70 b 1,07 a 2,54 b
Pk(konvensional) 1,77 b 0,98 a 2,20 c
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) - 1,02 a 2,75 b
LCp (Centro) 1,71 b 0,89 a 3,08 a
LCm (calopo) 1,96 a 0,93 a 1,95 c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Tanpa penanaman leguminosa, persiapan lahan meningkatkan produksi
bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persipan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Pada penaman dengan centro, cara persiapan lahan meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa
persiapan lahan, sedangkan pada penanaman calopo persiapan lahan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi bahan kerinng gulma (Tabel
5.3)
Prosiding Semnas II HITPI Page 209
Produksi Total Bahan Kering Hijauan di Atas Tanah
Interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah
pada pemotongan pertama (Tabel 5.1) dan pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan dan jenis leguminosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tetapi tidak terdapat interaksi
antara keduanya (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, tanpa penanaman leguminosa, cara persiapan lahan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
(P>0,05) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah kecuali pada persiapan lahan secara konvensional. Penanaman centro, memberikan hasil yang berbeda nyata pada cara persiapan lahan yang berbeda, penanaman calopo
mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah meningkat dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.3).
Tabel 5.3 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap
produksi total bahan kering hijauan di atas tanah (DM) (t ha-1) pada
pemotongan pertama
Persiapan Jenis Leguminosa
Lahan Ltl LCp LCm
----------t ha -1 --------------
Pt (TOT) 3,93 ab 4,02 ab 3,36 b
Ph(herbisida) 3,69 ab 4,49 a 4,27 a
Pp(pembakaran) 3,71 ab 3,95 ab 4,19 a
Pk(konvensional) 1,83 c 3,76 ab 3,86 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%
Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan menurunkan (P>0,05) produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa
persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Cara persiapan lahan dengan herbisida memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah yang paling tinggi. Penanaman dengan centro meningkatkan (P<0,05)
produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa dan dengan penanaman calopo (Tabel 5.2).
Produksi Total Protein Kasar
Pada pemotongan pertama, jenis leguminosa memberikan pengaruh yang
sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total protein kasar (Tabel 5.1) dan pada pemotongan kedua interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa memberikan pengaruh yang sangat nyata (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama,
penanaman leguminosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi total protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa, tetapi
antara centro dan calopo menunjukkan hasil produksi protein kasar yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.4).
Pada pemotongan kedua, penanaman centro berpengaruh nyata
meningkatkan produksi total protein kasar hijauan dibandingkan dengan penanaman calopo dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel 5.4). Pada cara
Prosiding Semnas II HITPI Page 210
persiapan lahan dengan menggunakan herbisida yang diitanami dengan centro
memberikan hasil produksi total parotein kasar hijaun yang paling tinggi dan yang paling rendah dijumpai pada persiapan lahan secara konvensional yang tidak
ditanami dengan leguminosa.(Tabel 5.4).
Tabel 5.4 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap produksi
total protein (t ha-1) pada pemotongan kedua (Pem.II) dan kandungan bahan kering (%) pada pemotongan pertama (Pem.I) dan kedua
(Pem.II)
Perlakuan Prod. Total Kandungan Bahan
Protein kasar Kering
Pem.I Pem.I Pem.II
------t ha-1------ --------------% ------------
Persiapan lahan
Pt (TOT) 0,49 a 27,43 a 26,50 a
Ph(herbisida) 0,54 a 26,56 a 29,20 a
Pp(pembakaran) 0,57 a 26,29 a 25,66 a
Pk(konvensional) 0,52 a 25,71 a 25,51 a
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) 0,38 b 26,52 b 26,54 a
LCp (Centro) 0,59 a 28,86 a 27,26 a
LCm (calopo) 0,62 a 24,12 c 24,10 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Tabel 5.5 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa
terhadap produksi total protein kasar hijauan (t ha-1 ) pada pemotongan kedua
Persiapan Jenis leguminosa
Lahan Ltl LCp LCm
-------------- --t ha-1------- -------
Pt (TOT) 0,30 d 0,38 c 0,31 d
Ph(herbisida) 0,27 de 0,63 a 0,39 c
Pp(pembakaran) 0,27 de 0,46 b 0,26 de
Pk(konvensional) 0,22 e 0,43 b 0,28 de
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%
Kandungan Protein Kasar
Pada pemotongan pertama dan kedua terdapat interaksi yang nyata terhadap kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, penanaman leguminosa meningkatkan (P<0,05) kandungan protein kasar hijauan
dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa. Pada penanaman dengan centro, cara persiapan lahan meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.6)
Pada pemotongan kedua, penanaman leguminosa meningkatkan
Prosiding Semnas II HITPI Page 211
kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman
leguminosa. Cara persiapan lahan tanpa penanaman leguminosa tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan protein kasar hijauan.
Cara persiapan lahan dan penanaman leguminosa meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada penanaman calopo dengan cara persiapan lahan pembakaran (Tabel 5.6).
Tabel 5.6 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa
terhadap kandungan protein kasar hijauan (%) pada pemotongan pertama dan pemotongan kedua
Persiapan Jenis leguminosa Lahan Pemotongan I Pemotongan II
Ltl LCp LCm Ltl LCp LCm
-------------------- % ----------------- ------------------- % ----------------- Pt (TOT) 10,89 de 12,88 c 15,24 ab 9,33 e 11,98 d 13,38 c Ph(herbisida) 9,55 e 14,36 b 14,85 ab 8,94 e 18,60 a 18,24 a Pp(pembakaran) 11,42 d 14,84 b 16,49 a 9,86 e 15,22 b 13,95 c Pk(konvensional) 16,35 a 16,01 ab 16,81 a 9,3 e 15,51 b 18,67 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%
Kandungan Bahan Kering (DM)
Kandungan bahan kering (DM) pada pemotongan pertama dan kedua, hanya dipengaruhi oleh jenis leguminosa (P<0,01) sedangkan untuk cara
persiapan lahan tidak menunjukkan hasil yang nyata (P>0.05) (Tabel 5.1) . Pada pemotongan pertama, penanaman centro meningkatkan kandungan bahan kering hijauan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa dan dengan penanaman
calopo, tetapi pada pemotongan kedua, tanpa penanaman leguminosa dan dengan penanaman centro memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan penanaman calopo (Tabel 5.4).
Kandungan Bahan Organik
Pada pemotongan pertama dan kedua, perlakuan cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) pada kandungan bahan organik hijauan (Tabel 5.1). Kandungan bahan organik pada
pemotongan pertama yang terendah diperoleh pada cara persiapan lahan dengan pembakaran (Pp) dan yang tertinggi adalah pada persiapan lahan dengan herbisida
(Ph) tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), seperti tersaji dalam Tabel 5.7 berikut.
Prosiding Semnas II HITPI Page 212
Tabel 5.7 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis legum terhadap kandungan
bahan organik (%) pada pemotongan pertama dan kedua, kandungan abu (%) pada pemotongan pertama dan kedua , serta jumlah nodul
pada akhir penelitian
Perlakuan Kandungan Bahan Kandungan Abu Jumlah
Organik Nodule2)
Pem.I Pem. II Pem.I Pem. II
------- % --------- -------- % --------- (buah)
Persiapan lahan
Pt (TOT) 88,08 a1) 89,267 a 11,92 a 10,73 a 1,83 a
Ph(herbisida) 88,49 a 89,389 a 11,50 a 10,61 a 3,33 a
Pp(pembakaran) 86,98 a 89,953 a 13,02 a 10,05 a 2,50 a
Pk(konvensional) 88,11 a 89,880 a 11,89 a 10,12 a 2,17 a
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) 88,28 a 89,900 a 11,71 a 10,10 a
LCp (Centro) 88,00 a 89,301 a 12,00 a 10,70 a 2,92 a
LCm (calopo) 87,46 a 89,672 a 12,54 a 10,33 a 2,00 a
Keterangan : 1). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
2). Data ditransformasikan dengan transformasi logaritmik
Kandungan Abu
Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tdak menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan abu hijauan pada pemotongan pertama dan kedua (Tabel 5.1 dan 5.7).
Jumlah Nodul
Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap jumlah nodul pada akhir penelitian (Tabel 5.1 dan 5.7).
Pembahasan
Pada persiapan lahan dengan menggunakan herbisida, glyphosate yang bersifat sistemik berhasil membasmi rumput dan gulma sampai keakar-akarnya, sehingga produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tidak berbeda
dibandingkan tanpa pengolahan tanah dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel 5.4). Produksi bahan kering pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami
dengan leguminosa, sebagian besar terdiri dari leguminosa itu sendiri (54,82% pada centro, dan 54,24% pada calopo). Dengan rendahnya kompetisi rumput dan gulma maka produksi total bahan kering hijauan di atas tanah pada cara
persiapan lahan dengan herbisida juga mencapai hasil yang tertinggi (Tabel 5.4). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nurjaya (1986) yang
menyatakan bahwa cara persipan lahan dengan memotong dan menyemprot dengan herbisida glyphosat 3 kg a.i ha-1 dan setelah dua minggu ditanami dengan leguminosa, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara
persiapan lahan secara konvensional. Hal ini disebabkan oleh temperatur
Prosiding Semnas II HITPI Page 213
permukaan tanah lebih tinggi pada persiapan lahan secara konvensional
dibandinngkan dengan cara persiapan lahan dengan herbisida. Pada persiapan lahan dengan herbisida, produksi total bahan kering
hijauan di atas tanah tidak berbeda baik yang ditanami leguminosa atau tanpa penanaman leguminosa. Hal ini diakibatkan karena rumput merupakan sumber energi dengan kandungan bahan kering yang lebih banyak dibandinngkan dengan
leguminosa. Oleh sebab itu walaupun prosentase rumput lebih rendah pada penanaman dengan leguminosa, produksi total bahan kering hijauan di atas tanah
tidak berbeda nyata. Sementara itu, penanaman leguminosa pada perlakuan ini meningkatkan kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.7) dan juga meningkatkan produksi total protein kasar hijauan (Tabel 5.6). Hal yang sama
juga dinyatakan oleh Sanchez (1993), dimana dinyatakan bahwa peranan leguminosa dalam sistem asosiasi adalah untuk memberi tambahan nitrogen
kepada rumput dan memperbaiki kandungan hara secara menyeluruh pada padang penggembalaan terutama protein, fosfor dan kalium. Sementara itu, leguminosa yang berbeda mempunyai kemampuan untuk berkompetisi yang berbeda, dan
sangat ditentukan oleh sistem perakaran, lebar daun, dan sifat morfologis lainnya. Pada tanaman leguminosa, penampilan dan juga hasil akhir selain dipengaruhi
oleh sifat genetika dan lingkungan serta interaksi keduanya, juga dipengaruhi oleh efek dari rhizobium yang banyak terdapat dalam bintil akar. Kebanyakan leguminosa bergantung kebutuhan nitrogennya kepada N hasil fiksasi bukan dari
N inorganik. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi pertumbuhan leguminosa itu sendiri, sehingga N inorganik yang terdapat dalam tanah dapat
dimanfaatkan oleh tanaman lainnya (Sanchez, 1993). Hal ini lah yang mendorong lebih tingginya produksi pastura campuran.
Selain itu sistem penanaman campuran akan menghasilkan pakan yang
berkualitas karena komposisi pakan ruminansia yang baik tersusun dari rumput-rumputan dan leguminoa (Dubbs, 1971). Perbaikan kualitas hijauan selanjutya
akan meningkatkan daya tampung dan produktivitas ternak. Di beberapa tempat yang telah mengembangkan padang rumput campuran leguminosa, daya tampung ternak dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan padanng
rumput alamiahPada pemotongan kedua, terjadi kecenderungan yang sama seperti pada pemotongan pertama. Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah
cenderung menurun yang diakibatkan oleh pemotongan (pengaruh pemotongan tidak dianalisis secara statistik), yang menunjukkan centro dan calopo , terutama calopo (Tabel 5.4) tidak tahan terhadap pemotongan yang terlalu cepat (umur 6
mingggu setelah pemotongan pertama) dan pemotongan yang terlalu rendah (5 cm di atas tanah).
Selain itu, perakaran juga berperan dalam hal ini, dimana dengan perakaran yang bagus maka tanaman akan dapat lebih berkompetisi dalam menyerap unsur hara, air dan pada leguminosa, aerasi yang bagus pada tanah juga
akan sangat mempengaruhi aktivitas nodul, sehingga akan mempengaruhi juga kemampuannya dalam memfiksasi N bebas (Sanchez, 1993).
Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan dengan herbisida memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah yang tidak berbeda nyata dengan tanpa persiapan lahan, dan jenis leguminosa centro memberikan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan calopo dan tanpa penanaman leguminosa. (Tabel 5.2). Hal ini diakibatkan karena pada persiapan lahan dengan
Prosiding Semnas II HITPI Page 214
herbisida yang ditanami dengan leguminosa produksi bahan kering rumputnya
hampir sama dengan pada persiapan lahan tanpa olah tanah (Tabel 5.4), tetapi untuk produksi bahan kering leguminosa pada persiapan lahan dengan herbisida
pada penanaman centro memberikan hasil yang berbeda nyata. Hal inilah yang mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah, pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami centro memberikan hasil yang paling
tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penanaman leguminosa dan
cara persiapan lahan mampu menekan pertumbuhan rumput dibandingkan dengan tanpa olah tanah. Tanpa penanaman leguminosa, prosentase rumput masih tingggi tetapi dengan penanaman leguminosa prosentase rumput berkurang baik pada
pemotongan pertama maupun pada pemotongan kedua. Calopo, pada pemotongan pertama mempunyai daya menekan pertumbuhan rumput yang lebih tinggi
dibandingkan dengan centro. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa centro lebih tahan terhadap
pemotongan. Reksohadiprodjo (1994) menyatakan bahwa centro adalah
leguminosa dengan sifat tumbuh yang agresif, tumbuhnya merayap dan membelit dengan batang-batang yang dapat mengeluarkan akar dari tiap ruas batangnya,
sehingga dapat menghindari dari tertutupnya oleh bayangan tanaman yang tumbuh bersamanya, dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Centro merupakan tanaman leguminosa tahunan yang lebih tahan terhadap pemotongan jika
dibandingkan dengan calopo (Skerman, 1988). Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan
terhadap kualitas hijauan (kandungan bahan organik dan kandungan abu) kecuali terhadap kandungan protein kasar hijuan (Tabel 5.7). Pada semua perlakuan dihasilkan kandungan protein kasar di atas 7% yang merupakan kandungan
protein kasar kritis pada hijauan pakan ternak. Penanaman leguminosa nyata meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa
ditanami leguminosa (Tabel 5.7). Cara persiapan lahan dengan herbisida menghasilkan hijauan dengan kandungan protein kasar yang tertinggi, tetapi tidak berbeda dengan antara leguminosa centro dan calopo.
Semakin besar persentase leguminosa, maka kandungan protein kasar akan semakin besar dan semakin banyak prosentase rumput akan semakin menurunkan
kandungan protein hijauan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Miller (1984) dan Reksohadiprodjo (1994) yang menyatakan bahwa leguminosa mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik daripada rumput, memiliki kandungan protein kasar,
kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, dan seringkali mempunyai nilai serat kasar yang lebih rendah. Sementara itu, Mc Illroy (1977) menyatakan bahwa tingkat
dan stadia pertumbuhan tanaman erat kaitannya dengan perbaikan kualitas pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa nilai gizi jenis hijauan makanan ternak dipengaruhi oleh perbandingan daun/batang, fase pertumbuhan, kesuburan tanah dan
pemupukan, serta keadaan iklim. Lebih lanjut, Djuned, dkk. (1980) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi kimia hijauan
diantaranya adalah faktor tanaman meliputi umur, jenis dan bagian tanaman. Daun mempunyai nilai protein yang lebih tingggi dibandingkan dengan batang, karena pada batang lebih banyak mengandung serat kasar dibandingkan dengan
daun. Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dan kandungan protein
Prosiding Semnas II HITPI Page 215
kasar hijauan akan mempengaruhi produksi total protein kasar di padang rumput
alami. Produksi total protein kasar yang tertinggi diperoleh pada cara persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami dengan centro pada pemotongan pertama
dan kedua.(Tabel 5.1). Produksi total protein kasar berkorelasi erat dengan produksi bahan kering leguminosa. Semakin banyak jumlah bahan kering leguminosa pada hijauan akan semakin meningkatkan produksi total protein kasar,
dan dengan semakin banyaknya rumput maka akan mengakibatkan semakin rendahnya produksi total protein kasar. Selain itu produksi total protein kasar juga
berkorelasi erat dengan nodul yang terbentuk. Nodulasi leguminosa juga dapat mempertahankan tingginya konsentrasi protein pada rumput, sehingga keberadaan leguminosa dalam hijauan akan memberikan pakan yang lebih baik bagi ternak
(Skerman,1977). Penanaman centro pada perbagai cara persipan lahan, mampu meningkatkan produksi total protein kasar mendekati dua kali lipat pada
penanaman calopo. Hal ini disebabkan karena setelah defoliasi calopo lebih lambat tumbuh kembali dibandingkan dengan centro.
Kompetisi yang terjadi setelah defoliasi, antar spesies tanaman yang
berbeda atau pada spesies yang sama meliputi banyak faktor. Penampilan spesies tanaman yang berbeda dalam asosiasi yang berbeda dari sangat depresif, depresif
hingga menunjukkan interaksi yang tidak menguntungkan. Kompetisi akhirnya akan mengurangi jumlah faktor yang esensial bagi masing-masing individu. Berhasilnya tanaman dalam kompetisi tergantung pada kedalaman dan distribusi
akar, lebar daun dan sifat genetik (Donald,1963). Rumput merupakan tanaman C4 yang lebih efisien dalam memanfaatkan
sinar matahari, CO2 dan lebih efisien dalam penggunaan air, karena mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C3 (Sastroutomo, 1990). Hal tersebutlah yang akan membatsi pertumbuhan leguminosa setelah
pemotongan. Selanjutnya Mc.Illroy (1977) menyatakan bahwa penekanan ini disebabkan penaungan rumput dan persaingan akar dalam menyerap unsur hara di
dalam tanah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Terjadi interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa dalam
hal produksi dan kualitas hijauan di padang rumput alami.
2. Jenis leguminosa yang lebih mampu menghasilkan bahan kering yang lebih tingggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrosema pubescens
Benth. 3. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering dan
kualitas hijauan di padang rumput alami.
4. Cara persiapan lahan dengan menyemprotkan herbisida sistemik yang berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara
yang paling tepat dalam menanam leguminosa di padang rumput alami.
Prosiding Semnas II HITPI Page 216
Saran
1. Dalam upaya meningkatkan ketersediaan pakan ternak yang berkualitas, maka dapat dilakukan dengan mengintroduksikan leguminosa Centro kedalam
pastura alami dengan cara persiapan lahan menggunakan herbisida 2. Perlu dilaksanakan penelitian yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil
yang lebih tepat misalnya selama satu tahun, untuk melihat kemampuan
produksi padang rumput baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA
Alison, M.W. and W.D. Pitman. 1995. Legumes Use in Pastures. Louisiana Agriculture 38 : 16 – 17
Bahar,S., S. Hardjosoewignjo, I. Kismono, dan O. Haridjaja. 1999. “Perbaikan padang rumput alam dengan introduksi leguminosa dan beberapa cara pengolahan tanah”. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 4 (3) : 185 – 190
Bayer, W. 1990. Nappier Grass-A Promising Fodder for Smallholder Livestock Production in the Tropics. Plant Research and Development. p. 103-111
Bogdan , A. V. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and Legumes). Longman ,London and New York.
Crowder, L. V. and H.R. Cheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. First
Publ. Longman, London, New York. P. 63 - 81 Djuned H, M.H.D.Wiradisastra, T.Aisyah dan Ana Rochana. 1980. Tanaman
Makanan Ternak. Bagian Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung, 45 – 65.
Dubbs,A.I. 1971. “Competition between grass and legumes spesies on dryland”.
Agron.J. 63 : 359-362. Donald, C.M. 1963. “Competition among crop and pasture plants.
Adv.Agron.15.1-118 Humphreys , L. 1980. A Guide to Better Pasture for the Tropics and Subtropics.
Revised 4th. Wright Stephenson & Co. Australia.
Mendra, I. K. 1992. Evaluasi Penyediaan Hijauan Makanan Ternak di Delapan Kabupaten di Bali. Tim Ahli Ilmu Makanan Ternak UNUD bekerjasama
dengan Dinas Peternakan Propinsi Bali. Miller, D. A. 1984. Forage Crops. Mc Graw-Hill Book Company, New York. Nurjaya, I.G.M.O. 1987. “ Studies on management of Imperata cylindrica (L)
Beauv. for oversowing pasture legumes”. (Thesis). University of New England.
Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik . Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Reynolds S.G. 1995. Pasture Cattle-Coconut Systems. Food and Agriculture Organzation of The United Nations regional Office for Asia and the
Pasific (Rapa). Bangkok, Thailand. Sanchez P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 2. Terjemahan
Amir Hamzah. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Sarief. S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana . Jakarta.
Prosiding Semnas II HITPI Page 217
Skerman, P. J. 1988. Tropical Forage Legumes. Food and Agriculture
Organization of The United Nations. Rome. Steel, R. G. dan J.H. Torrie. 1989. Principles and Procedur of Statistic. Mc
Graw-Hill Book Company. New York. Suarna I W. 2001. “Pengaruh pupuk organik kascing terhadap pertumbuhan,
hasil dan kualitas hijauan dalam sistem asosiasi rumput leguminosa serta
dampaknya terhadap prestasi kambing PE jantan”. (Disertasi). Bandung. Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
„t Mannetje, L. and R.M. Jones. 1992. Plant Resources of South-east Asia, Forages. No.4. Prosea, Bogor. Indonesia.
Whiteman, P.C. ;L. R. Humphreys; N. H. Nonteith; E. H. Holt; P. M. Bryant and
J.E. Slater. 1974. A Course manual In A Tropical Pasture Science. A.A.U.C.S. Brisbane, Australia.
Whiteman, P.C. 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press, Oxf.
Prosiding Semnas II HITPI Page 218
PEMANFAATAN LIMBAH DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK
UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH
Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
ABSTRAK
Provinsi Aceh merupakan daerah prioritas penyumbang ternak sapi potong
yang memberi kontribusi terhadap penyediaan daging untuk konsumsi dalam daerah dan memberi pendapatan yang cukup tinggi 25,5%. Akan tetapi akhir-
akhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya sangat lambat, sehingga terjadi penurunan populasi ternak mencapai 1,25%. Salah satu penyebabnya yaitu rendahnya daya reproduksi terutama pada usaha peternakan rakyat akibat dari
terbatasnya ketersediaan pakan. Penelitian ini bertujuan untuk ; 1). Meningkatkan produksi dan produktivitas ternak untuk mencukupi kebutuhan daging 2).
mendapatkan teknologi pakan yang berasal dari limbah pertanian (padi dan kakao) sebagai sumber hijauan pakan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Bireuen. Ternak sapi di kelompokkan atas berdasarkan
umur dan bobot hidup. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Nilai ekonomis ransum dihitung menggunakan R/C ratio. Design
perlakuan pakan sebagai berikut : A0 =Perlakuan Petani dan A1 = 50% jerami padi fermetasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat ; A2 = 50% kulit kakao fermentasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat. Peubah yang diamati adalah:
Pertambahan bobot badan harian, konsumsi dan analisis ekonomi (B/C ratio). Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian A0 sebesar
0,759 kg, A1 sebesar 0,801 kg dan A2 sebesar 0,675 kg. Nilai B/C ratio Ao
sebesar 1,48 ; A1 sebesar 1,55, dan A2 sebesar 1,39. Kata kunci: integrasi, sapi, jerami padi, kulit kakao, ketahanan pakan
PENDAHULUAN
Kebijakan pembagunan peternakan di Provinsi Aceh dewasa ini lebih ditekankan pada upaya untuk menyongsong kecukupan daging 2014. Salah satu
faktor yang dominan pada keberhasilan pengembangan ternak adalah ketersediaan sumber pakan baik secara kuantitas maupun kualitas. Provinsi Aceh sebagai salah
satu Provinsi yang memiliki ternak sapi lokal dengan populasi sebesar 587,122 ekor memiliki potensi lahan pertanian berupa perkebunan, antara lain kebun kakao 105,625 ha dan lahan sawah 352,201 ha. Kedua komoditi tersebut memiliki
potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Akan tetapi akhir-akhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya
sangat lambat, sehingga terjadi penurunan populasi ternak mencapai 1,25% (Dinas Peternakan Prov. NAD, 2009). Hambatan utama petani ternak khususnya dalam peningkatan populasi ternak yaitu terbatasnya pakan. Perluasan areal untuk
penanaman rumput sebagai pakan ruminansia sangat sulit, karena alih fungsi lahan yang sangat tinggi. Mengingat sempitnya lahan penggembalaan, maka
usaha pemanfaatan sisa hasil (limbah) pertanian untuk pakan perlu dipadukan dengan bahan lain yang sampai saat ini belum biasa digunakan sebagai pakan.
Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan
Prosiding Semnas II HITPI Page 219
pertanian di wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama
dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat
dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat
tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran, Djajanegara, Kariyasa dan Kasryno, 2005).
Sistem integrasi tanaman ternak terdiri dari komponen budidaya tanaman, budidaya ternak dan pengolahan limbah. Penerapan teknologi pada masing-masing komponen merupakan faktor penentu keberhasilan sistem integrasi
tersebut. Agar sistem integrasi berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan produktifitas pertanian maka petani harus menguasai dan menerapkan inovasi
teknologi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003).
Berdasarkan peluang dan permasalahan yang ada Balai Penelitian Teknologi Pertanian Aceh sebagai ujung tombak Badan Litbang Pertanian yang
ada di daerah dapat memberi dukungan yang signifikan terhadap keberhasilan program Kementerian Pertanian. Terobosan yang dilakukan melalui keterpaduan sub sektor yang saling berkaitan antara ternak dan tanaman secara bersinergis dari
hasil limbah yang dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan peternak yang berwawasan agribisnis.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak untuk mencukupi kebutuhan daging dan mendapatkan teknologi pakan yang berasal dari limbah (kakao, jerami padi) sebagai sumber hijauan dan
ketahanan pakan serta bersifat agribisnis.
Metodologi Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten
Bireuen dari bulan Februari sampai dengan Desember 2012.
MATERI DAN METODE
Ternak sapi di kelompokkan atas dasar umur dan bobot hidup
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan dan 3 perlakuan. Adapun pakan perlakuan sebagai berikut :
Persiapan bahan biomas (jerami padi dan kulit kakao)
Proses biomas kulit buah kakao dihaluskan dengan pemakaian alat, kemudian difermentasikan dengan bantuan stater starbio dan didiamkan selama 21 hari, untuk proses biomas jerami padi yang sudah dipanen difermentasikan selama
21 hari dengan bantuan stater probion. Sebelum diberikan perlakuan, terlebih dahulu ternak ditimbang dengan bobot badan 180-230 kg/ ekor. Setiap ternak
Prosiding Semnas II HITPI Page 220
diberikan vitamin dan obat cacing. Dilakukan adaptasi selama 10 hari dengan
bahan pakan yang akan diuji. Setiap 10 hari ternak ditimbang. Pakan diberikan sebanyak 10% dari bobot badan. Konsentrat diberikan setiap pagi bersama dengan
mineral blok. Peubah yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan analisis ekonomi (B/C ratio) berdasarkan nilai input dan output.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik di Kabupaten Bireuen
Desa Juli Mee Tengoh merupakan salah satu desa di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen dengan luas wilayah 207 Ha. Jarak desa ke ibukota kecamatan
3,5 km dan jarak desa ke ibukota kabupaten 5,5 km. Desa ini mudah dikunjungi karena transportasi dan sistem komunikasi relatif lancar. Batasan desa adalah
sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Meunasah Teungoh Sebelah Timur berbatasan dengan Blang Keutumba
Sebelah Selatan berbatasan dengan Bate Raya, Peuraden Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Gunci
Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani
Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Juli Mee Teungoh sangat
beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani. Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman
semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan ditanam adalah kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura berupa rambutan dan pisang. Adapun komoditas ternak yang banyak diusahakan adalah sapi,
kerbau, kambing, ayam dan itik.
Karakteristik Fisik di Kabupaten Aceh Timur
Desa Lhok Asahan merupakan salah satu desa di Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur dengan luas wilayah 230 Ha. Jarak desa ke ibukota
kecamatan 1,5 km, dan jarak desa ke ibukota kabupaten 6,5 km. Batasan desa adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Seunebok Kuyun Sebelah Timur berbatasan dengan Meunasah Jempa Sebelah Selatan berbatasan dengan Keutapang Dua
Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Tengoh
Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani
Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Lhok Asahan sangat beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani.
Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan
ditanam adalah kelapa sawit, kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura berupa rambutan dan pisang. Adapun komoditi ternak yang banyak diusahakan adalah sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik. Susunan dan komposisi pakan sesuai
dengan pemberian saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
konsentrat) sebesar 72.66 g/ekor/hari dan perlakuan A2 (kulit buah kakao permentasi hijauan tambah 1% Konsentat) sebesar 60.66 g/ekor/hari.
Dari hasil data penelitian yang diperoleh A0, A1, dan A2 secara statistik
menunjukkan perbedaan tingkat pertambahan bobot badan ternak sapi yang nyata terutama antara perlakuan petani (A0) dengan perlakuan penambahan bahan
pakan hasil fermentasi yaitu A1 dan A2. Namun perbedaan pertambahan bobot bobot badan ternak sapi yang diberikan pakan perlakuan hasil fermentasi antara A1 dengan A2 memperlihatkan selisih yang tidak terlalu jauh. Hal ini disebabkan
karena pengaruh hasil proses fermentasi jerami padi (A1) yang menunjukkan serat-seratnya sudah terurai semua sehingga memberikan daya cerna lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan petani maupun perlakuan penambahan kulit buah
kakao difermentasi. Tingkat daya cerna pakan yang dikonsumsi dapat menunjukkan tingkat
tinggi rendahnya penambahan bobot badan, karena dapat memberikan gambaran seberapa banyak pakan yang dikonsumsi ternak dapat diserap oleh pili-pili usus untuk membentuk otot daging dan tidak banyak di buang dalam bentuk feses.
Fitriani (2003) menyatakan bahwa perlakuan amoniasi jerami padi dengan aditif mikroba dapat meningkatkan nilai kecernaan NDF dan hemisellulosa rumput.
Tabel 3. Rataan Pertambahan Bobot Badan Sapi Selama Penelitian (gram/ekor/hari)
Perlakuan Ulangan
Total Rata-rata 1 2 3
A0 38.97 39.96 37.98 116.91 38.97a
A1 69.03 37.98 74.97 217.98 72.66c
A2 56.97 62.01 63.0 181.98 60.66b
Ket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar perlakuan berbeda nyata (P>0,05)
Prosiding Semnas II HITPI Page 222
Konsumsi Ransum Selama Penelitian
Pemberian pakan pada sapi ini sebanyak 10% dari bobot badan. Perlakuan bahan pakan yang disusun terdiri dari tiga macam perlakuan yaitu ;
perlakuan A0 : pemberian pakan dilakukan oleh petani peternak atau perlakuan petani berupa hijauan segar 100%, perlakuan A1: (50% Hijauan, 50% jerami padi difermentasi, 1% konsentrat), dan perlakuan A2 : (50% Hijauan, 50% kulit buah
kakao difermentasi, 1% konsentrat). Selama penelitian pakan yang diberikan semua habis dimakan oleh ternak sapi tidak ada yang tersisa. Berdasarkan jumlah
perhitungan 10% dari bobot badan menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu jauh antara perlakuan A0 dengan perlakuan memakai bahan pakan hasil fermentasi yaitu ; perlakuan A1 dan perlakuan A2 dari jumlah pemberian pakan per-hari
sampai akhir penelitian.
Tabel 4. Jumlah konsumsi pakan per-individu ternak selama penelitian 90 hari (kg)
Bahan Pakan
Ransum Perlakuan
A0 A1 A2 Pemberian Pada Ternak 1661.4 1692 1703.7
Sisa pakan yang di Konsumsi 0 0 0
Jumlah Konsumsi Pakan 1661.4 1692 1703.7
Konsumsi pakan selama penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan A0 mengkonsumsi pakan sebanyak 1661.4 kg, perlakuan A1 sebanyak 1692 Kg,
dan perlakuan A2 sebanyak 1703.7 kg. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa tingkat konsumsi pakan perlakuan A1 dan A2 lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan A0. Disebabkan karena tingkat daya cerna bahan pakan hasil
fermentasi terutama kulit buah kakao dan jerami padi sehingga dimanfaatkan oleh ternak. Menurut Zainuddin (1995), kulit buah kakao mengandung 16.5% protein
dan 9.8% lemak dan setelah dilakukan fermentasi kandungan protein meningkat menjadi 21.9% serta mampu menurunkan kadar serat kasar dari 16.42 menjadi 10.15%.
Konsumsi pakan ditentukan oleh, kualitas pakan dan frekuensi pemberian pakan yang memberikan pengaruh besar terhadap pertambahan bobot badan dan
biaya produksi selama pemeliharaan sapi atau penelitian berlangsung. Walaupun seekor ternak memiliki potensi genetik tinggi, akan tetapi apabila tidak didukung oleh makanan yang baik mutu dan cukup jumlahnya, maka ternak kurang dapat
menampilkan potensi tersebut.
Analisa ekonomi (B/C Ratio)
Telah diketahui bahwa pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam suatu usaha peternakan baik itu ternak ruminansia maupun non ruminansia. Oleh
karena itu biaya pakan perlu ditekan serendah mungkin agar diperoleh pendapatan yang lebih baik atau setinggi mungkin. Pendapatan merupakan selisih antara
penerimaan dan biaya produksi selama penelitian, dimana semakin besar produksi yang dihasilkan semakin besar pula penerimaannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan analisis ekonomi (B/C ratio) adalah: konsumsi
ransum, bobot badan akhir, harga beli sapi, harga lainya dianggap sama. Hasil produksi dan keuntungan selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Prosiding Semnas II HITPI Page 223
Tabel 5. Hasil produksi ternak sapi selama penelitian 90 hari
Perlakuan Bobot Badan Awal
PBB Bobot Badan Akhir
Harga Karkas Rp/Kg
Penerimaan
A0 184.6 38.97 223.57 Rp. 35.000 Rp. 7.824.950
A1 188.0 72.66 260.66 Rp. 35.000 Rp. 9.123.100
A2 189.3 60.66 249.96 Rp. 35.000 Rp. 8.748.600
Tabel 6. Keuntungan bersih selama penelitian 90 hari
Perlakuan Penerimaan Biaya produksi Keuntungan
(Rp) (Rp)
A0 Rp. 7.824.950 Rp. 5.261.554 Rp. 2.563.396
A1 Rp. 9.123.100 Rp. 5.889.358 Rp. 3.233.742
A2 Rp. 8.748.600 Rp. 6.284.309 Rp. 2.464.291
Pemanfaatan limbah hasil pertanian (jerami padi dan kulit buah kakao) yang dilakukan pengolahan dengan cara fermentasi ternyata memberikan dampak positif terhadap percepatan pertambahan bobot badan ternak sapi penelitian, yang
memberikan selisih tingkat keuntungan yang tinggi yang diperoleh dari masing- masing pakan pelakuan dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi
tersebut. Dari hasil analisis ekonomi terhadap berbagai jenis pakan perlakuan penelitian (A0,A1,A2) ; Pakan perlakuan A0 biaya produksi Rp. 5.261.554,-, keuntungan Rp 2.563.396,- dengan B/C ratio 1,48 ; Pakan perlakuan A1 biaya
produksi Rp. 5.889.358,-, Keuntungan Rp. 3.233.742, -, dengan B/C ratio 1,55 ; dan pakan perlakuan A2 Biaya produksi Rp. 6.284.309,-, keuntungan Rp.
2.464.291,- B/C ratio 1,39. Berdasarkan data hasil penelitian usaha ternak sapi tentang perhitungan analisis ekonomi menunjukkan bahwa pakan perlakuan A1 (jerami padi
difermentasi), memberikan keuntungan yang lebih besar dengan biaya produksi rendah serta B/C ratio yang tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan
penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya. Dapat disimpulkan perlakuan pakan A1 dengan memanfaatkan jerami padi yang diolah dengan cara fermentasi dapat membantu petani ternak dalam memanfaatkan
produk limbah pertanian, sehingga dapat menurunkan ketergantungan terhadap ketersediaan hijauan pakan. Pemanfaatan limbah pertanian dapat dilakukan
sejalan dengan pengolahan lahan pertanian dan pengaturan penanaman hijauan makanan ternak.
Pakan perlakuan yang dilakukan petani atau perlakuan petani (A0)
berdasarkan data tingkat analisis ekonominya lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya,
hal ini disebabkan karena pakan perlakuan petani jumlah biaya produksi lebih rendah dengan hanya memakai pakan hijauan saja tanpa penambahan pakan lainnya namun tidak memberikan tingkat pertambahan bobot badan yang tinggi
seperti pada perlakuan penelitian dengan memakai bahan pakan hasil fermentasi lainnya (A1 dan A2).
Prosiding Semnas II HITPI Page 224
Biaya produksi adalah sejumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor
produksi, yang digunakan dalam proses produksi, dan biaya adalah suatu nilai yang dikorbankan untuk produksi (Teken dan Asnawi, 1977). Penerimaan adalah
hasil perkalian antara jumlah produksi fisik dengan harga satuan dari produksi tersebut. Dalam hal ini jelas bahwa harga dari jumlah produksi sangat menentukan besar kecilnya penerimaan (Bishop dan Toussaint, 1979). Sedangkan pendapatan
adalah jumlah penerimaan total dari hasil usaha setelah dikurangi biaya riil usaha (Adiwilaga, 19820).
Untuk menilai kelayakan ekonomi dari hasil penelitian maka digunakan analisa tingkat keuntungan dan rasio manfaat biaya (B/C Ratio) disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai B/C Ratio selama penelitian 90 Hari
Perlakuan Penerimaan Biaya produksi
B/C Ratio (Rp)
A0 Rp. 7.824.950 Rp. 5.261.554 1.48
A1 Rp. 9.123.100 Rp. 5.889.358 1.55
A2 Rp. 8.748.600 Rp. 6.284.309 1.39
KESIMPULAN
1. Pertambahan bobot badan sapi selama penelitian mengalami kenaikan yg
signifikan dengan pemberian ransum perlakuan yang terdiri dari pakan perlakuan Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian A0 sebesar 0,759 kg, A1 sebesar 0,801 kg dan A2 sebesar 0,675 kg.
Nilai B/C ratio Ao sebesar 1,48 ; A1 sebesar 1,55, dan A2 sebesar 1,39. 2. Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan seperti pelepah sawit, kulit
buah kakao yang di olah dengan cara fermentasi memberikan B/C ratio yang
lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, 2009. Data Base Peternakan Provinsi
Aceh. Banda Aceh. Fitriani. 2003. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Yang Diberi pakan Jerami padi
Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta
Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63
Zainuddin. 1995. Kecernaan dan Fermentasi Limbah Kakao serta Manfaatnya. Kumpulan Hasil-hasil Pertanian APBN TA 94/95, Balia Penelitian Ternak
2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
3DepartemenMakananTernakdanTeknologi Pakan, FakultasPeternakan IPB, Bogor.
ABSTRACT
Integreted pasture and livestock in coconuts based farming systems were expected to enhance the efficiency and the sustainability of land utilization.
The aim of this experiment was to studies the effects of stocking rate and grazing systems on performance of pasture. This experiment was conducted at
Coconut and Others Palma Research Center (BALITKA) Manado since July 2009 until June 2010. Two grazing system and three stocking rate were put on Split Plot arrangement based on Rendomized Block Design (RBD). Measured variables
were number of mother plant, ground tiller, aerial tiller, weight of dry roots and crown. The results shows that all highest performances measured were found
on the interaction of rotational grazing system (SP2) and stocking rate 2,31 AU (SR3).
Integrasin pastura dan ternak sapi ke dalam system pertanian berbasis kelapa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secar aberkelanjutan.
Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruhstocking rate dan system penggembalaan terhadap keragaan pastura.Penelitian ini telah dilakukan di Kebun
Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak Juli 2009 sampai Juni 2010. Perlakuan terdiri dari dua sistem penggembalaan dan tiga stocking rate diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada
Rancangan Acak Kelompok (RAK). Variabel yang diukur adalah jumlah tanaman induk, jumlah ground tiller, jumlah aerial tiller, bobot akar dan bobot crown.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua parameter keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan stocking rate 2,31 UT (SR3).
Kata kunci : keragaan, humidicola, sistempenggembalaan, stocking rate.
PENDAHULUAN
Frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan
produksi biomassa bahan kering hijauan di atas tanah (Flemmer et al., 2002) dan pada tekanan penggembalaan berat akan terjadi pengurangan absorbsi unsur hara
yang dapat mengancam terhadap pemulihan jaringan fotosintesis (Dawson et al., 2000), bahkan gangguan kehidupan perakaran dan kematian akar (Mousel et al., 2005). Namun demikian laporan terbaru menunjukkan naiknya frekuensi defoliasi
tidak berpengaruh terhadap produksi dan dinamika akar, sebaliknya menaikan
Prosiding Semnas II HITPI Page 226
konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar (Gittins
et al.,2010). Sebelumnya, Gao et al. (2007) melaporkan bahwa penggembalaan berat 2,9 Yaks/ha menghasilkan rasio biomassa akar/pucuk lebih tinggi dari pada
penggembalaan ringan 1,2 Yaks/ha dan medium 2,0 Yaks/ha. Naiknya alokasi, yang biomassa komponen akar rumput adalah respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah
direnggut (Wang et al., 2003). Ketika terjadi defoliasi atau perenggutan bagian pucuk tanaman akan
menyebabkan kehilangan unsur nitrogen, yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan kedua unsur tersebut. Untuk menjaga tanaman berada dalam keadaan homeostatis, secara otomatis tanaman akan melepaskan unsur
karbon ke lingkungan risosfer melalui eksudat akar (Manske, 2001; Kuzyakov, 2002; Mousel et al., 2003). Eksudat akar mengadung glukosa dan asam amino
yang optimal, akan menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan bakteri (Kuzyakov, 2002).
Pada umumnya rerumputan pakan tropis selalu menghasilkan biomassa
hijauan berlimpah. Namun tanpa manajemen penggembalaan yang benar akan terjadi akumulasi material mati yang dapat menghambat ternak untuk merumput
(Sollenberger dan Burns, 2001). Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput, dan sebagai contoh untuk jenis limpograss (Hemarthria altissima) dapat memenuhi kebutuhan ternak dan
memberi keragaan ternak terbaik pada struktur pastura dengan tinggi conopy 40 cm, sebagai ukuran tinggi tanaman yang terjangkau oleh ternak untuk
direnggut dengan ditandai suplai hijauan tertinggi (Newman et al., 2002). Tinggi tunggul yang tersisa 30 cm setelah digembalakan menghasilkan komponen daun lebih banyak dan memberikan efisiensi penggembalaan 80%, lebih tinggi
dibandingkan 68% pada tinggi tunggul 50 cm pada rumput P. Maximum (Carnevalli et al., 2006), demikian juga dilaporkan pada jenis rumput
Brachiaria yang lebih sering digembalakan, efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurang digembalakan (CIAT, 2006).
Pengaruh sistem penggembalaan terhadap produksi ternak tidak sebesar
pengaruh stocking rate (SR). Sistem penggembalaan rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan
bergizi, serta lebih disukai dan dipilih ternak (Mayne et al., 2000). Pada sistem penggembalaan rotasi dengan SR tinggi, memberikan kenaikkan hasil susu sapi per induk sebesar 16%, dibandingkan dengan hanya 4% pada SR
rendah,demikian juga pertambahan berat badan harian ternak sapi lebih tinggi pada rumput B.humidicola dengan naiknya SR (Pereira et al., 2009).
Penentu utama jumlah hijauan yang terenggut per hari oleh ternak sapi adalah bobot hijauan per renggutan.Volume tersebut ditentukan oleh tinggi rendahnya kanopi pastura, sebagai akibat dari perbedaan SR (Newman et al.,
2002; Carnevalli et al., 2006) dimana tinggi kanopi pastura antara 8-10 cm memberikan hasil pertambahan berat badan lebih tinggi (Mayne et al, 2000).
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Percobaan ini dilaksanakan di lapang pada kebun percobaan Balai
Prosiding Semnas II HITPI Page 227
Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Desa Paniki Bawah,
Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Secara geografis terletak pada 01o 30‟ LU, dan pada 124o 54‟ BT, dengan tinggi tempat 67 meter dpl.
Penelitian ini dimulai Juli 2009 sampai Juni 2010. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalahbibit tanaman B.humidicola, lahan pertanaman kelapa berumur 50 tahun, jarak tanam 9 × 9 m sesuai lahan yang
tersedia, luas lahan keseluruhan termasuk lahan cattle yard tempat diletakan timbangan ternak seluas 6 Ha, tetapi untuk penggembalaan seluas 5,76 Ha. Ternak
sapi sebanyak 36 ekor dengan berat badan awal 260-280 kg, yang deberikan suntikan subcutan dengan Ivomec (kontrol Endo dan Ecto parasit ternak sapi).
Alat yang digunakan adalah : traktor dan garuk, cangkul dan parang, timbangan ternak digital kapasitas 1000 kg, termometer suhu udara maksimum minimum Model Weatherguide TM System, Taylor Precision Products, Oak Brook, IL
60523.
Metode
Dalam percobaan ini perlakuan yang akan diuji adalah dua sistem penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP1) dan
penggembalaan rotasi pada tahap perkembangan tanaman rumput mencapai 3,5 daun dewasa yang dihitung berdasarkan akumulasi unit panas sebesar 456 DD
(SP2), dan stocking rate (SR) terdiri atas 0,77 UT/pedok (SR1), 1,54 UT /pedok (SR2), dan 2,31 UT/pedok (SR3). Percobaan ini menggunakan pola petak terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK).
Variabel yang diukur
Keragaan pastura yang diukur meliputi produksi biomassa (bobot kering), jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground dan aerial tiller) dengan mengikuti prosudur pengambilan sampel menurut petunjuk Busque dan Herero
(2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan percobaan ini untuk mempelajari bagaimana mekanisme
persistensi rumput B. humidicola setelah digembalai. Untuk itu beberapa variabel keragaan pastura telah diukur yang dapat menjadi indikator persistensi setelah
penggembalaan yaitu jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground tiller dan aerial tiller), bobot akar dan crown.
Tanaman Induk
Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata SP dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP2 SR3
(12,22 tanaman), lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan interaksi lainnya. Sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah diperoleh pada
interaksi SP2 SR1 sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih rendah dari interaksi lainnya.
Prosiding Semnas II HITPI Page 228
Tabel 1. Pengaruh interaksi perlakuan system penggembalaan dan stocking rate
terhadap keragaan pasture B.humidicola.
Interaksi Tanaman Induk
Parameter Aerial Tiller
Ground Tiller
Bobot Akar
Crown
SP1-SR1
SP1-SR2
SP1-SR3
SP2-SR1
SP2-SR2
SP2-SR3
6,22b
6,44b
9,22b
2,66c
7,00b
12,22a
13,22b 18,78b 26,55a 3,67c 14,00b 27,89a
16,55a 9,78b 7,33b
12,77a 4,55b 1,11c
4,35c
5,48b
6,06b
4,07c
5,80b
11,09a
5,11c
6,99b
9,78b
3,48c
9,01b
14,34a Ket : angka yang diikuti huruf tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata P<0,05
Anakan/Ground Tiller. Jumlah anakan (ground tiller) tertinggi pada interaksi SP2 SR3 (27, 89) dan SP1 SR3 (26, 55) dimana keduanya berbeda nyata
lebih tinggi dari interaksi lainya, tetapi keduanya tidak berbeda nyata. Sedangkan jumlah anakan yang paling rendah diperoleh pada interaksi SP2 SR1 (3,67) dan nyata lebih rendah dari interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan pada interaksi
perlakuan SP2 SR3 tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar biomassa hijauan terenggut oleh ternak, sehingga terjadi pengurangan phytomas berupa
mulsa dan material mati (Schuman et al., 1999). Kondisi ini memungkinkan penetrasi cahaya yang cukup dan meningkat kankecepatan pertukaran CO2melalui proses fotosintesis (Lecain et al., 2000; Bremer et al., 1998), dan
terjadi peningkatan suhu udara mikroklimat dekat permukaa ntanah yang merangsang pertumbuhan pucuk baru dari crown (McMaster et al., 2003).
Selanjutnya aktivitas fotosintesis meningkat pada bagian tanaman yang tidak terdefoliasi karena naiknya rasio akar tajuk yang bersinergi dengan naiknya intesitas penyinaran akibat lingkungan pastura semakin terbuka (Schnyder dan
de Visser, 1999; Thornton et al., 2000). Hasil penelitian Zhang et al. (2011) menunujukkan bahwa penggembalaan
berdampak positif terhadap perkecambahan, dimana pada pedok yang digembalai kumulatif perkecambahan meningkat 77% , sedangkan yang didefoliasi secara mekanik (mowing) peningkatan tersebut hanya 59%. Peningkatan jumlah
kecambah yang tumbuh tersebut berkorelasi positif dengan temperatur tanah lapisan atas (Wang et al., 2003). Pada pastura yang tidak digembalakan vegetasi rumput akan menutupi permukaan tanah sehingga membatasi masuknya cahaya
matahari yang akan menentukan tinggi rendahnya suhu tanah lapisan atas (Huang dan Gutterman, 2004; Romo, 2004).
Anakan/Aeriel tiller. Jumlah anakan (aerial tiller) tertinggi pada interaksi
SP1 SR1 (16,55) dan SP2 SR1 (12,77). Keduanya tidak berbeda nyata, tetapi nyata
dibandingkan dengan interaksi lainnya. Selanjutnya jumlah aerial tiller terendah dihasilkan oleh interaksi SP2 SR3 sebanyak 1,11 anakan. Hal ini disebabkan
sebagian besar pucuk tanaman terenggut oleh ternak sehingga kurang kemungkinan menghasilkan aerial tiller (Busque dan Herrero, 2001).
Bobot Akar dan Crown. Akar sebagai representasi sumber cadangan energy pada bagian tanaman di bawah tanah, dan dengan biomassa yang besar
Prosiding Semnas II HITPI Page 229
dapat memberikan kontribusi lebih banya unsur C dan N ke dalam tanah
(Mouselet al, 2003). Bobot akar seberat 11,09 g dan bobot crown sebanyak 14,34 g dihasilkan pada perlakuan SP2 SR3(Gambar), dan nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan interaksi lainnya.
Pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar bila
frekuensi defoliasi meningkat (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot
akar dan crown yang kami peroleh pada penelitian ini merupakan respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya
restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003). Hal ini penting mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padangrumput. Gao et al. (2007) melaporkan bahwap enggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio
akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium 2,0 yaks/ha. Hasil bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP2SR3
sebanyak 11,09 g. Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa pada sistem penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan pada sistemp
enggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada system penggembalaan rotasi tanman diberi kesempatan untuk bertumbuh kembali optimal. Dalam
perkembangan tanaman, naiknya proporsi pucuk selalu diimbangi dengan perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh Gittins et al. (2010) yang menunjukkan bahwa defoliasi yang berat tidak
berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown, kecepatan rekrutmen akar dan tingkat hidup akar rumput Poa ligularis. Penulis
tersebut mengatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis rerumputan yang tergolong persisten sebagai padang penggembalaan. Kemungkinan lain dari hasil penelitian kami adalah bahwa rumput B.humidicola
semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horinsontal ke stolon.
Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman rumput tidak tergantung sepenuhnya cadangan energi yang berasal dari akar dan crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007).
KESIMPULAN
Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
Semua keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem
penggembalaan rotasi (SP2) dan stocking rate tiga (SR3).
Prosiding Semnas II HITPI Page 230
DAFTAR PUSTAKA
Baruch, Z., O. Guenni. 2007. Irradiance and defoliation effects in three species of the forage grass Brachiaria. Tropical Grassland 41: 269-276
Busque.J., M. Herrero. 2001. Sward structure and patterns of defoliation of signal
gass (Brachiariadecumbens) pastures under different cattle gazing intensities. Tropical Gassland 35: 193-204.
Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006. Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176
Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006. Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca
under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176 Centro InternationaleAgicultureTropicale (CIAT). 2009. Exploiting biological
nitrification inhibition in agiculture. http://www.ciat.cgiar.org.
Dawson, L.A., S.J. Gayston., E. Paterson. 2000. Effects of gazing on the roots and rhizosphere of gasses. GasslandEcaophysisolgy and GazingEcoalogy. (Ed)
G. Lemaire et al. CAB International. Flemer, A.C., C.A. Busso., O.A. Fernandez., T. Montani. 2002. Root gowth,
appearance and disappearance in perennial gasses: Effects of the timming of
water stress with or without defoliation. Canadian Journal of Plant Science. 82: 539-547.
Gao, Y.H., P. Luo., N. Wu., W. Chen., G.X. Wang. 2007. Gazing intensity impacts on carbon sequestration in an Alpine Meadow on the Eastern Plateau. Research J. Agi and Biology Sci. 3 (6): 642-647.
Gittings,C., C.A. Busso., G, Becker., L. Ghermandi., G. Siffredi. 2010. Defoliation frequency affects morphophysiological traits in the
bunchgassPoaligularis. Int. J. Exptl Botany 79: 55-68. Gomez, A.A and A.A. Gomez. 1995. ProsedurStatistikuntukPenelitianPertanian.
(Edisi II). PenerbitUniversitas Indonesia.
Huang, Z., Y. Guttreman. 2004. Seedling desiccation tolerance of Leymusracemous(Poaceae) (wild rye) a perennial sand-dune grass
inhabiting the Junggar Basin of Xinjiang, China. Seed Sci. Res. 2(14): 233-241
SoilSci 165: 382-396 Lecain, D.R., Morgan, J.A., Schuman, J.D and H. Hart. 2000. Carbon exchange
rates gazed and ungazed pastures of Wyoming. J. Range Management. 53: 199-206.
Manske,L.L. 2001. Well-Timed gazing can stimulate gassgowth and tiller
development.North Dakota State University-NDSU Agiculture Communication. hhtp://www.ag.ndsu.nodak.edu
Mayne, C.S,.Wright, I.A and G.E.J. Fisher. 2000. Gassland management under gazing and animal respons. In: Gass Its Production and Utilization. Third Edition.Edited by Alan Hopkins. Institute of Gassland and Environment
Spring wheat leaf appearance and temperature: Extending the Paradigm?
Annals of Botany 91: 697-705. Mousel, E.M., W.H. Schacht., C.W. Zanner., L.E. Moser. 2005. Effects of
Summer gazing strategies on organic reserves and root characteristics of Big Bluestem. Crop Sci. 45: 2008-2014.
Newman,Y.C., Sollenberger.L.E., Kunkle.W.E and C.G. Chambliss. 2002.
Canopy height and nitrogen supplementation effects on performance of Heifersgazinglimpogass. Agon.J.94:1375-1380
Pereira, J.M., Tarre, R.M., Macedo, R and R.M. Boddey. 2009. Productivity of B.humidicola pastures in Atlantic forest region of Brazil as affected by stocking rate and the presence of a forage legume. Nutr. Cycl. Agoecosyst
83 : 179-196. Romo, J.T. 2001.Establishing winterfat in praire restorations in Saskatchewan.
Can. J. Plant Sci. 84: 173-179. Schnyder.H and R.de Visser. 1999. Fluxes of reserve-derived and currently
assimilated C and N in perennial Ryegrass recovering from defoliation.
Plant Physiol.199: 1423-1436. Sollenberger, L.E dan J.C. Burns. 2001.Canopy characteristics,
ingestivebehaviour and herbage intake in cultivated tropical grasslands. In: Proc. Int Cong., 19th. Sao Pedro, Brazil.
Thornton,B., Miilard,P., and U. Bausewein. 2000. Reserve formation and
recycling of carbon and nitrogen during regowth of defoliated plants. P. 85-99. In: G. Lamaire et al. (ed). Gassland ecophysiology and gazing
ecology. CAB Internatonal, New York. Wang, R.Z., Gao,Q and Q.S. Chen. 2003. Effects of climate change on biomass
and biomass and biomass allocation in Leymuschinensis (Poaceae) along
the Notrh-East China Transect (NECT). J. Arid.Environ. 54: 653-665. Zhang R.,D.Huang., K. Wang., Y.T. Zhang., C.W. Wang. 2011. Effect of mowing
and grazing on ramet emergence of Leymus racemosus inthe inner Mongolia Steppe during the spring regreening period. African J. Biotech. 10(12): 2216-2222.
Prosiding Semnas II HITPI Page 232
PERILAKU MAKAN RUMINANSIA SEBAGAI BIOINDIKATOR
FENOLOGI DAN DINAMIKA PADANG PENGGEMBALAAN
Suhubdy Yasin
Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan Padang Penggembalaan Kawasan Tropis,
Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram-NTB
Grazingland or Rangeland is an “eating table” of ruminants and/or other
herbivores for supporting their life. The adequacy and uptake of essential nutrients such as dry matter, protein and energy are very much determined by quality and phenology of pasture vegetation. The phenology of grass influences directly to
ingestive behaviour of the herbivores. During grazing time, ruminant animals/herbivores tend to select the pastures that are easy to be prehended for
fulfilling their dry matter requirement. Therefore, monitoring and recording the diurnal ingestive or grazing behaviour of ruminant animals or other herbivores would be as useful bioindicator for understanding the change of growth and
availability of grass on pasture and/or rangeland. This behavioral aspect of ruminants is also useful clue and effective information to be considered for
managing the grassland developments. This paper reviews and discusses the ingestive behaviour of ruminants as one of bioindicators determining the phenology of grass and dynamics of grasslands or rangelands.
Padang rumput (penggembalaan) merupakan “meja makan” bagi ternak ruminansia dan/atau herbivora lainnya untuk menopang hidupnya. Ketercukupan kebutuhan dan asupan zat gizi utama seperti bahan kering, protein dan energi
sangat ditentukan oleh mutu dan fenologi tumbuhan pakan tersebut. Fenologi tumbuhan pakan secara langsung mempengaruhi cara dan pola konsumsi
(ingestive behaviour) dari ternak herbivora. Pada saat merumput, ruminansia memiliki kecenderungan memilih dan menyenggut hijauan pakan yang gampang disenggut untuk memenuhi kebutuhan bahan kering pakannya. Oleh sebab itu,
memonitor dan merekam karakteristik aktivitas merumput (grazing) dan pola makan harian ruminansia dan/atau herbivora lainnya menjadi salah satu petunjuk
biologis (bioindikator) yang mungkin sangat berguna untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi terhadap padang penggembalaan dan aspek ini pula pada gilirannya menjadi salah satu faktor manajemen strategis pengelolaan padang
penggembalaan. Makalah ini mereview dan mendiskusikan tentang perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia sebagai salah satu bioindikator
fenologi dan dinamika padang penggembalaan alam dan/atau pastura. Kata kunci: bioindikator, fenologi tumbuhan, padang penggembalaan, padang
Secara alamiah, ternak ruminansia atau herbivora lainnya mengandalkan
hijauan pakan dan/atau padang penggembalaan sebagai sumber zat gizi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ternak ini memenuhi kebutuhan bahan kering, protein, dan energi dengan cara merumput secara bebas di atas padang
penggembalaan. Pemeliharaan ruminansia berbasis padang pengembalaan sangat intensif dilakukan di negara-negara yang sistem peternakannya sudah maju,
seperti misalnya di Australia, Amerika, dan New Zealand. Sedangkan di Indonesia, pemanfaatan padang rumput secara maksimal untuk produksi ternak ruminansia masih relatif terbatas, kecuali di beberapa wilayah seperti Nusa
Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
Secara tradisional (sistem pemeliharaan ternak berbasis cut-and-cary), sumber hijauan pakan untuk ternak ruminansia cenderung diperoleh dari lahan-lahan marginal seperti pinggir jalan raya, tepi sungai, areal persawahan, dan tanah
lapang yang berdekatan dengan tempat pemeliharaannya. Peternak mengarit hijauan pakan dan diberikan secara langsung kepada ternaknya di kandang dan
pada kondisi seperti ini ternak piaraannya tak ada kesempatan untuk menyeleksi atau memilih bahan pakan yang akan dikonsumsinya. Hal ini dimungkinkan karena ternak tersebut tidak ada kebebasan untuk memilih atau karena
keterbatasan jumlah dan/atau tempat pemeliharaannya. Sedangkan pada padang penggembalaan, ternak herbivora mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk
memilih hijauan pakan seluas-luasnya karena disamping ragam dan jenisnya yang banyak juga tempatnya yang luas. Pada kondisi seperti ini, jumlah dan jenisnya pakan yang disenggut (dikonsumsi) sangat dipengaruhi oleh karaketristik
morfologi (fisik), bologi, kimia, dan fenologi (fase pertumbuhan - vegetatif dan generatif) tumbuhan pakan yang tersedia di atas padang penggembalaan.
Ruminansia atau herbivora mempunyai kecenderungan memilih dan menyenggut hijauan (rerumputan, semak, dan/atau belukar) yang mudah disenggut untuk memenuhi kebutuhan bahan keringnya (Forbes, 1995; Gregorini, dkk., 2008;
Prache, dkk., 1998; Yasin, 2012). Pola makan ruminansia dan/atau herbivore non-ruminansia pada padang
penggembalaan dipengaruhi disamping oleh karakteristiknya, juga oleh fenologi dan karakteristik tumbuhan pakan itu sendiri. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi pada tumbuhan pakan baik karena faktor iklim maupun intervensi manusia
akan tercermin secara cepat pada pola merumput ternak herbivora. Di Indonesia, interaksi antara tumbuhan pakan dengan herbivora pada
padang penggembalaan masih relatif belum banyak diperhatikan atau diungkapkan baik secara praktis maupun ilmiah (Yasin, 2012 dan 2013). Makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendiskusikan pola makan ruminansia
(ingestive behaviour) sebagai salah satu bioindikator fenologi dan dinamika padang penggembalaan. Dan selanjutnya, informasi ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengelola dan mengembangkan padang penggembalaan sebagai basis pengembangan dan peningkatan produksi ternak ruminansia.
Prosiding Semnas II HITPI Page 234
NOLOGI DAN KARAKTERISTIK NUTRISI TUMBUHAN PAKAN
Fenologi tumbuhan didefinisikan sebagai siklus perubahan biologi
tumbuhan yang erat kaitannya dengan faktor iklim (MacAdam, 2009 dan Gibson, 2009). Pada saat musim penghujan, rerumputan yang potensial sebagai hijauan pakan tumbuh dengan baik dan produksi biomassanya relatif berlimpah. Akan
tetapi pada musim kemarau, produktivitasnya relatif sedikit. Artinya, faktor pembatasnya adalah ketersediaan air bukan hujan. Jika air dapat disediakan secara
memadai sepanjang tahun maka produksi dan ketersediaan hijuan pakan tak akan menjadi kendala.
Fenologi tumbuhan pakan sangat mempengaruhi nilai gizi dan tabiat
makan dan/atau ruminasia (Flores, dkk., 1993; Minson, 1990; Prache, 1997; Prache, dkk., 1998;). Pada fase vegetatif kandungan protein kasar cenderung
tinggi dan kadar seratnya relatif rendah. Demikian sebaliknya, kadar serat cenderung semakin meningkat pada saat mencapai fase generatif (Brazle., dkk., 2000). Tingginya kadar serat berkaitan erat dengan tingkat lignifikasinya. Hijauan
pakan biasanya disukai oleh ternak jika diberikan biomassa pada saat fase vegetatif dan kurang diminati jika diberikan pada saat sudah menua. Pada kondisi
padang penggembalan, hijauan pakan yang sudah menua akan menyulitkan ternak mengkonsumsinya hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam hal menyenggut dan mengunyahnya (Yasin, 2012). Di samping itu, nilai nutrisinya
(daya cerna) pun cenderung menurun (Tabel 1, Minson, 1990).
Tabel 1. Daya cerna (in vitro) lima species rumput tropis (Minson, 1990).
Gambar 1. Hasil pantauan perubahan biomassa (□) dan standing CP (■) dan
kandungan CP (○) dari tiga tingkat penggembalaan (a) NG: non-
grazed grassland, (b)LG: lightly grazed grassland, (c)MG: intermediately grazed grassland, dan (d)HG: heavily grazed grassland) pada stepa Xilingol, Mongolia (Kawamura dan Akiyama,
2010).
Perubahan kualitas hijauan pakan dapat dimonitor secara langsung dan tidak langsung. Cara jitu dan sahih untuk menilai qualitas hijauan pakan adalah dengan menyajikannya kepada ternak. Respons ternak ruminansia terhadap
hijauan yang dikonsumsinya dapat dimonitor dari pertambahan bobot badan dan produksi air susunya. Namun, melakukan percobaan pemberian pakan biasanya
relatif membutuhkan waktu, biaya, dan fasilitas yang mahal (NRC, 1962; „t Mannetje and Jones, 2000). Pada kondisi padang penggembalaan, kualitas dan kuantitas hijauan pakan sesungguhnya dapat diamati setiap saat dengan
memperhatikan tabiat atau pola makan ternak herbivore (Forbes, 1995). Gambar 1 mengilustrasikan perubahan kandungan nutrient (CP) dan biomassa hijauan pada
padang penggembalaan di Xilingol stepa di Mongolia (Kawamura dan Akiyama, 2010). Dari ilustrasi (Tabel 1 dan Gambar 1) menunjukkan bahwa fenologi nampak mempengaruhi kandungan protein, jumlah biomassa hijauan, dan daya
cerna tumbuhan pakan.
FENOLOGI, PERILAKU MAKAN RUMINANSIA, DAN DINAMIKA
PADANG PENGGEMBALAAN
Berbagai ahli nutrisi ternak ruminansia telah melaporkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara fenologi tumbuhan pakan, pola makan, dan dinamika padang penggembalaan (Bailey, dkk., 1996; Baumont, dkk., 2000;
Boland dan Scaglia, 2011). Selanjutnya Baumont dkk., (2000) menyimpulkan bahwa pada pastura, konsumsi, komposisi pakan, dan dampak merumput terhadap
Prosiding Semnas II HITPI Page 236
berkembangan vegetasi merupakan interaksi yang kompleks antara ternak dan
vegetasi. Dinamika padang penggembalaan sesungguhnya sangat komplek melibatkan komponen utama yaitu peternak, ternak, dan vegetasi. Ternak dan
tumbuhan pakan sangat rentan perubahan akibat perubahan pengaruh iklim. Oleh sebab itu, untuk kontinyuitas hubungan ini, peternak harus mampu mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi terutama dalam beradapatsi pada kondisi lokal-
setempat. Kepekaan peternak untuk memantau dan merekam setiap perubahan yang terjadi akan mendapatkan informasi yang akurat dalam mengelola padang
rumput alami maupun pastura. Ternak herbivora mengekploitasi vegetasi padang penggembalaan untuk
memenuhi kebutuhan bahan kering dan zat makanan esensial lainnya. Konsumsi
pakan merupakan penentu utama keberlangsungan hidup dan berproduksi. Pada kondisi padang penggembalaan yang kompleks, fenologi tanaman pakan secara
langsung mempengaruhi pola makan. Sebagai contoh, jika hijauan pakan yang tersedia relatif sedikit dan tinggi tanaman relatif rendah untuk disenggut secara maksimal, maka herbivora akan memperpanjang waktu merumput agar
mendapatkan total jumlah senggutan yang diharapkan (Baumont, dkk, 2000; Brazle, dkk., 2000; Kirch, dkk, 2007; Gregorini, dkk, 2006; 2008; 2009; Boland
dan Scaglia, 2011; Yasin, 2012). Jika hijauan yang tersedia sangat padat dan komposisi botaninya relatif seragam maka herbivora akan mempersingkat waktu merumput akan tetapi memperpanjang waktu ruminasi (Bailey, dkk., 1996;
Gregorini, dkk., 2008; Yasin, 2012). Ingestive behaviour dari ternak ruminansia ditentukan oleh karakeristik
vegetasi, kondisi fisiologi, dan aktivitas rongga mulut (buccal cavity) (Coleman, dkk., 1989; Yasin, 2012). Komponen pola makan dapat dijadikan parameter untuk menentukan konsumsi pakan harian dan secara keseluruhan hubungan
anatar komponen ingestive behaviour seperti diilustrasikan pada Gambar 2 (Gordon dan Lascano, 1993).
Gambar 2. Skema hubungan ingestive behaviour dengan konsumsi pakan harian
ruminansia (Gordon dan Lascano, 1993).
Prosiding Semnas II HITPI Page 237
Dalam waktu yang relatif lama (pada padang penggembalaan), konsumsi
harian dapat diestimasikan sebagai hasil kali antara massa senggutan (bite weight), laju senggutan (bite rate), dan wakru merumput (grazing time).
Sedangkan pada tingkatan individual rumpun (patch) dan dalam waktu yang relatif singkat/terbatas maka konsumsi pakan ditentukan oleh bite weight dan bite rate. Jadi pada kondisi padang penggembalaan, pola makan menjadi sangat
komplek akibat interaksi antara fenologi tumbuhan pakan, jenis ternak, fase fisiologi, serta faktor biotik dan abiotik lainnya (Coleman, dkk., 1989).
Pola makan ruminansia dan/atau herbivora lainnya sangat bervariasi mulai dari tingkatan individu tumbuhan pakan hingga pada skala lanskap (Coleman, dkk., 1989). Minson (1990) mengutip hasil penelitian Kibon dan Holmes (1987)
mengilustrasikan bahwa tinggi tanaman rumput berpengaruh terhadap pola makan, konsumsi, dan produktivitas sapi laktasi (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh tinggi tumbuhan pakan terhadap pola makan, konsumsi, dan
Perubahan bobot badan (kg/hari) -067 +0,15 Keterangan: * diukur dengan menggunakan plate meter dengan tekanan sebesar 4,8kg/m
2; OM:
organic matter; FCM: fat corrected milk.
Dari informasi pada Tabel 2 terindikasi bahwa fenologi tumbuhan pakan (misalnya tinggi tumbuhan pakan) dapat mempengaruhi pola makan dan produksi ternak ruminansia. Semakin tinggi rumput akan mempermudah ternak ruminansia
mengkonsumsinya dan pada gilirannya total konsumsi akan cepat terpenuhi. Seperti diketahui bahwa ternak ruminansia besar (kerbau dan sapi) menggunakan
lidah dan bibir untuk ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) dan kuda sebagai eating apparatus-nya, maka ternak ruminansia besar mempunyai tinggi minimum rerumputan agar dapat disenggutnya dengan optimal. Allden dan
Whittaker (1970) melaporkan bahwa ternak domba akan semakin meningkatkan jumlah senggutan per menit (biting rate) jika tinggi anakan rerumputan berkurang
dari 35 cm ke 5 cm dan semakin lebih ditingkatkan jumlah senggutannya jika tingginya semakin lebih rendah dari 5 cm. Untaian diskusi singkat dalam makalah ini menyajikan cukup informasi untuk menjelaskan bahwa tingkah laku makan
(ingestive behaviour) herbivora erat hubungannya dengan fenologi tumbuhan pakan dan dinamika padang rumput.
Prosiding Semnas II HITPI Page 238
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia dan/atau herbivora non-ruminansia merupakan salah satu bioindikator yang praktis, sakil dan mangkus untuk mengetahui perubahan fenologi, karakteristik tumbuhan
pakan, dan dinamika padang penggembalaan.
Saran
Bioindikator ini dapat juga dijadikan petunjuk agronomis dalam memaksimalkan komposisi botani padang penggembalaan, dan pada gilirannya
dapat pula dijadikan acuan ilmiah yang jitu untuk mengetahui perubahan kapasitas produksi, nilai gizi, dan strategi untuk mengembangkan ternak ruminansia
berbasis padang penggembalaan.
DAFTAR PUSTAKA
Allden, WG. Dan Whittaker, IA.McD. 1970. The determinants of herbage intake
by grazing sheep: The interrelationship of factors influencing herbage intake and availability. Aust. J. Agric. Res., 21:755-766.
Forbes, JM. 1995. Voluntary food Intake and Diet Selection in Farm Animals. CAB International, UK.
Gordon, IG. Dan Lascano, C. 1993. Foraging strategies of ruminant livestock on
intensively manged grasslands: potential and constrains. Proceedings of the XVII International Grassland Congress New Zealand, p.681-690.
Gibson, DJ. 2009. Grasses and Grassland Ecology. Oxford University Press, UK. Gregorini, P., Gunter, SA. dan Beck, PA. 2008. Matching plant and animal
processes to alter nutrient supply in strip-grazed cattle: timing of herbage
and fasting allocation. J. Anim. Sci., 86:1006-1020. Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Calwell, J., Bowman, MT., dan Coblentz,
Prosiding Semnas II HITPI Page 239
WK. 2009. Short-term foraging dynamics of cattle grazing swards with
different canopy structures. J.Anim. Sci. 87:3817-3824. Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Soder, KJ. dan Tamminga, S. 2008.
Review: The interaction of diurnal grazing pattern, ruminal metabolism, nutrient supply, and management in cattle. The Professional Animal Scientist, 24:308-318.
Gregorini, P., Tamminga, S. dan Gunter, SA. 2006. Review: Behaviour and daily grazing patters of cattle. The Professional Animal Scientist, 16:30-32.
Hodgson, J. 1982. Influence of sward characteristics on diet selection and herbage intake by grazing animal. Dalam: J.B. hacker (Ed): Nutritional Limit to Animal Production from Pastures. Commonwealth Agricultural Bureaux,
UK. Kawamura, K. dan Akiyama, T. 2010. Simultaneous monitoring of livestock
distribution and desertification. Global Environment Research, 14:29-36. Kirch, BH., Moser, LE., Waller, SS., Klopfenstein, TJ., Aiken, GE. dan
Strickland, JR. 2007. Selection and dietary quality of beef cattle grazing
smooth Bromegrass, Switchgrass, and Big Bluestem. The Professional Animal Scientist, 23:672-680.
MacAdam, JW. 2009. Structure and Function of Plants. Wiley Blackwell, USA. Minson, DJ. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press, Inc. San
Diego, USA.
National Research Council (NRC), 1962. Range Research. National Academy of Science-National Research Council, Washington DC, USA.
Prache, S. 1997. Intake rate, intake per bite and time per bite of lactating ewes on vegetative and reproductive swards. Appl. Anim. Behav., 52:53-64.
Prache, S., Gordon, IJ. Dan Rook, AJ. 1998. Foraging behaviour and diet
selection in domestic herbivores. Ann. Zootech., 47:335-345. Prache, S., Roguet, C., dan Petit, M. 1998. How degree of selectivity modifies
foraging behaviour of dry ewes on reproductive compared to vegetative swards structure. Appl. Anim. Behav., 57:91-108.
„t Mannetje, L. dan Jones, RM. 2000. Filed and Laboratory Methods for
Grassland and Animal Production Research. CABI Publishing, Wallingford, UK.
Yasin, S. 2012. Ingestive behaviour in ruminants: a methodological approach and implication to feeding management strategies. LAP Lambert Academic Publishing, Germany.
Yasin, S. 2013. Produksi Ternak Ruminansia (Kerbau dan Sapi). Pustaka Reka Cipta, Bandung.
Prosiding Semnas II HITPI Page 240
POTENSI HIJAUAN DI PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
Taufan P. Daru, Arliana Yulianti, dan Eko Widodo
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman
Alamat: Kampus Gunung Kelua, Jl. Pasir Balengkong Samarinda
The purpose of this study is to provide an overview of the potential forage crop in oil palm plantations in terms of botanical composition, production, and
chemical composition to estimate the carrying capacity of oil palm plantations at the age of 3 years and 6 years for beef cattle. Data collection was conducted in Samboja district, Kutai regency, East Kalimantan province, from January to
March 2013. Plant samples were taken under oil palm plantations age 3 years and 6 years. Each age of plantation were taken 5 hectares, and every hectare were
picked 10 points by using the quadrant size of 1 m × 1 m at random. The result showed that plants growing on palm oil plantations 3 years dominated by
Paspalum conjugatum (45.54%), followed by Mikania micrantha (9.93%), and Ottochloa nodosa (7.89%). While the age of 6 years dominated by Ottochloa
nodosa (33.89%), Melastoma malabatrichum (28.23%), and Paspalum urvillei (8.37%). Dry weight production of plantation age 3 years was 3,205.1 kg per ha decreased to 1,165.4 kg per ha in plantation age 6 years. Chemical composition,
especially CP increased from 8.25% at the age 3 years to 10.5% at the age 6 years, while CF decreased from 23.20% at the age 3 years to 22.43% at the age 6 years.
Carrying capacity of oil palm plantations age 3 years was 1.44 AU ha-1 yr-1 and age 6 years was 0.71 AU ha-1 yr-1. Naturally, oil palm plantation in Kutai regency, East Kalimantan has good potential as a source of beef cattle forage.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai potensi hijauan antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari komposisi
botani, produksinya dan kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan kapasitas tampung dari kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun untuk sapi potong. Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2013. Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa
sawit yang telah berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di ambil seluas 5 hektar, dan setiap hektar di ambil sebanyak 10 titik dengan menggunakan kuadran ukuran 1 m × 1 m secara acak. Hasil pengamatan
menunjukan bahwa tanaman yang tumbuh pada perkebunan kelapa sawit umur 3
tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan Ottochloa nodosa (7,89%). Sedangkan pada perkubunan
umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), Melastoma
malabatrichum (28,23%), dan Paspalum urvillei (8,37%). Produksi berat kering tanaman pada perkebunan umur 3 tahun adalah 3.205,1 kg per ha menurun
menjadi 1.165,4 kg per ha pada perkebunan umur 6 tahun. Kandungan zat-zat makanannya, terutama PK meningkat dari 8,25% pada umur tanaman 3 tahun menjadi 10,5% pada umur 6 tahun, sedangkan SK menurun dari 23,20% pada
umur 3 tahun menjadi 22,43% pada umur 6 tahun. Kapasitas tampung perkebunan kelapa sawit umur 3 tahun adalah 1,44 ST ha-1 th-1 dan umur 6 tahun adalah 0,71
ST ha-1 th-1. Secara alami, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur memiliki potensi yang baik sebagai sumber hijauan pakan sapi potong.
Kata kunci: Kelapa sawit, komposisi botanis, produksi hijauan, zat-zat makanan, kapasitas tampung
PENDAHULUAN
Populasi sapi potong di Provinsi Kalimantan Timur dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 tercatat 81.746 ekor (Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2012) dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 104.017 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2013). Di Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri peningkatannya cukup besar dari 12.470
ekor pada tahun 2007 menjadi 21.900 ekor pada tahun 2011 (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Meningkatnya populasi ini memberikan
konsekuensi terhadap penyediaan lahan bagi sapi potong. Lahan tersebut tidak hanya berperan sebagai sumber hijauan pakan, namun juga sebagai ruang jelajah. Hingga saat ini, di Provinsi Kalimantan Timur belum ada alokasi lahan yang
diperuntukan khusus sebagai kawasan peternakan, sehingga integrasi dengan berbagai subsektor pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman pangan, dan
hortikultura, serta kehutanan, maupun pertambangan merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan pakannya.
Pada tahun 2011, luas areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan
Timur sudah mencapai 827.347 ha dari 339.292,50 ha pada tahun 2007 (Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Seiring dengan meningkatnya
areal perkebunan kelapa sawit, maka potensi untuk mengembangkan ternak sapi potong secara terintegrasi di kawasan ini cukup besar. Menurut Direktorat Pakan Ternak (2011) Konsep integrasi ternak dalam usahatani tanaman baik itu tanaman
perkebunan, pangan, atau hortikultura adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktifitas dan produktifitas tanaman. Dengan
adanya ternak ini dapat meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus produksi ternaknya. Dengan demikian, dalam sistem integrasi ternak dan tanaman akan terjadi suatu hubungan yang saling menguntungkan (mutualism sinergicity).
Keberadaan ternak di perkebunan kelapa sawit memberikan beberapa keuntungan, diantaranya adalah mengurangi biaya untuk mengendalikan gulma
dan menyumbangkan kotoran ternak sebagai sumber hara bagi tanaman. Chung (1994) menyatakan bahwa kerbau yang dipelihara di kebun kelapa sawit dapat mengurangi biaya pengendalian gulma, selain itu juga akan diperoleh keuntungan
berupa daging dan ternak sebagai nilai tambah dalam proses produksi hilir. Diketahui, penggunaan herbisida sebagai pengendalian gulma dilakukan pada
Prosiding Semnas II HITPI Page 242
kisaran 13-18 kali pada saat tanaman muda.
Di Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya di Kecamatan Samboja, saat ini telah berkembang sistem pemeliharaan ternak sapi bali di bawah areal
perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan hijauan antar tanaman. Sistem integrasi sapi-sawit dengan memanfaatkan hijauan tersebut cukup prospektif untuk meningkatkan produksi ternak dan tanaman kelapa sawit yang baik. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai potensi hijauan antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari produksinya dan
kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan kapasitas tampung dari kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun di perkebunan rakyat, Kabupaten Kutai Kartanegara.
MATERI DAN METODE
Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai dengan
bulan Maret 2013. Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa sawit yang telah
berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di ambil seluas 5 hektar, dan setiap hektar di cuplik sebanyak 5 cuplikan dengan menggunakan kuadran ukuran 1 m × 1 m secara acak.
Untuk memperkirakan produksi hijauan per hektar digunakan rumus sebagai
berikut: P = C x 10.000 – (LP × JS), dimana P adalah produksi hijauan per hektar (kg), C adalah rata-rata berat hijauan per m2, LP adalah luas piringan pada pohon
kelapa sawit, dan JS adalah jumlah tanaman kelapa sawit dalam 1 hektar. Jumlah tanaman kelapa sawit rakyat yang ditanama di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai kartanegara rata-rata 136 pohon per hektar. Jari-jari piringan pada pohon
kelapa sawit umur 3 tahun adalah 2 m dan pada umur 6 tahun adalah 3 m. Dengan demikian luas piringan pohon kelapa sawit umur 3 tahun adalah 12,56 m2 per
pohon, dan umur 6 tahun adalah 28,26 m2 per pohon. Produksi hijauan antar tanaman yang dimaksud adalah produksi berat kering, yaitu hijauan segar yang telah di lakukan pengeringan dengan oven pada suhu 65oC selama 48 Jam atau
beratnya stabil. Komposisi botanis tanaman dihitung berdasarkan perbandingan berat kering
antara suatu spesies tanaman terhadap total berat kering seluruh tanaman dalam setiap cuplikan, kemudian dibandingkan terhadap seluruh cuplikan. Pengambilan sampel ini dilakukan sebelum dilakukan perhitungan produksi berat kering.
Komposisi kimia zat-zat makanan, dianalisis secara proksimat untuk memperoleh kandungan protein kasar, serat kasar, lemak kasar, dan abu. Analisis
proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman.
Untuk memperoleh perkiraan kapasitas tampung kebun kelapa sawit bagi
sapi potong, digunakan persamaan Voisin (Reksohadiprodjo, 1994). Persamaan tersebut, yaitu (Y – 1) s = r, dimana Y adalah jumlah luas lahan yang diperlukan
oleh seekor sapi, s adalah periode merumput pada setiap luas lahan, dan r adalah periode istirahat agar tanaman melakukan pertumbuhan kembali. Dalam penelitian ini s adalah 30 hari dalam satu bulan dan r adalah 60 hari. Sedangkan PUF
(proper use factor) yang diperhitungkan adalah 40%, dengan asumsi bahwa
Prosiding Semnas II HITPI Page 243
penggembalaan yang dilakukan adalah sedang. Setiap satu satuan ternak (ST)
dihitung setara dengan sapi jantan seberat 400 kg. Konsumsi hijauan segar diasumsikan 10% dari setiap satuan ternak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi botanis
Komposisi botanis adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap seluruh
tanaman yang tumbuh bersamanya. Hijauan yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit rakyat, Kecamatan Samboja merupakan hijauan alam, sehinga perubahan komposisi botanis hijauan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti
kesuburan tanah, ketersediaan air, dan naungan dari tajuk sawit (cahaya). Hasil penelitian ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa jenis tanaman yang tumbuh di bawah
kelapa sawit dengan umur yang berbeda proporsinya juga berbeda. Pada kebun kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), yang diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan
Ottochloa nodosa (7,89%), sedangkan di kebun kelapa sawit umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), yang diikuti oleh Melastoma
malabatrichum (28,23%) dan Paspalum urvillei (8,37%). Tabel 1. Komposisi botanis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit
umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara
No. Jenis tanaman
Komposisi botanis (%) pada
kelapa sawit umur
3 tahun 6 tahun
1 Ageratum conyzoides 0 1,06
2 Asystasia intrusa 5,49 1,17
3 Borreria latifolia 6,73 5,47
4 Chromolaena odorata 1.96 0
5 Clidemia hirata 0 1,14
6 Cyperus brevifolius 0 0,48
7 Cyperus rotundus 0 1,15
8 Imperata cylindrica 2,05 0
9 Leptochloa chinensis 0,57 7,95
10 Melastoma malabatrichum 3,89 28,23
11 Mikania micrantha 9,93 3,9
12 Nephrolepsis bisserata 1,45 0
13 Ottochloa nodosa 7,89 33,89
14 Panicum sarmentosum 5,73 0
15 Paspalum conjugatum 45,54 1,49
16 Paspalum urvillei 3,07 8,37
17 Solanum violaceum 5,7 5,4
Berdasarkan hal tersebut nampak bahwa O. nodosa memiliki proporsi yang
semakin tinggi dengan meningkatnya umur pohon kelapa sawit. Hal ini
Prosiding Semnas II HITPI Page 244
menunjukkan bahwa O. nodosa lebih tahan terhadap naungan dibandingkan P.
conjugatum, dimana proporsinya menjadi sangat kecil, dari 45,54% (3 tahun) menjadi 1,49% (6 tahun). Menurut Crowder & Chheda (1982) O. nodosa
merupakan rumput alam yang disukai oleh ternak dan sangat tahan terhadap naungan, sehingga memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan di bawah naungan. Suboh (1997) menjelaskan bahwa jenis tanaman yang biasa tumbuh di
bawah pohon kelapa sawit umumnya didominasi oleh O. nodosa, Axonopus compressus, Mikania scandens, dan A. intrusa. Jenis-jenis tanaman ini biasanya
tumbuh baik pada intensitas penyinaran sebesar 40-60%. Sapi pada umumnya merenggut tanaman ini, bahkan beberapa diantaranya memiliki kandungan zat makanan yang kualitasnya bersaing dengan tanaman pakan budidaya.
Produksi hijauan antar tanaman
Hasil pengukuran produksi hijauan segar per m2 untuk vegetasi yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun adalah 386,54 g m-2 dan pada umur 6 tahun adalah 189,29 g m-2. Setelah dilakukan konversi ke dalam 1
hektar yang selanjutnya dikurangi dengan luas piringan dalam 1 hektar untuk masing-masing umur tanaman, maka rata-rata produksi hijauan antar tanaman di
bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi hijauan antar tanaman di bawah pohon kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara
Umur tanaman kelapa sawit Produksi hijauan
Berat segar (kg ha-1) Berat kering (kg ha-1)
3 tahun 13.168 3.205,1 6 tahun 6.380 1.165,4
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut nampak bahwa dengan semakin meningkatnya umur tanaman kelapa sawit produksi hijauan yang tumbuh di bawahnya juga menurun. Semakin tingginya umur tanaman kelapa sawit penetrasi
cahaya yang menerobos daun kelapa sawit semakin rendah sehinnga berpengaruh terhadap produksi bahan kering tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa
sawit (Wong & Chin, 1998). Menurut Chin (1998) produksi bahan kering hijauan pakan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit muda dapat mencapai 1.600 sampai 2.600 kg per hektar dan menurun hingga mencapai 600 kg per hektar
dengan semakin dewasanya umur tanaman kelapa sawit. Dalam kasus lainnya, produksi bahan kering hijauan di bawah tanaman kelapa sawit umur 3-4 tahun
bisa lebih tinggi lagi dan dapat mencapai 13.280 kg per hektar per tahun (Abdullah, 2006). Produksi hijauan antar tanaman kelapa sawit memiliki variasi yang cukup tinggi berdasarkan derajat naungannya. Derajat naungan sangat
tergantung pada umur tanaman, tinggi tanaman, jarak tanam, kesuburan tanah, dan karakteristik kanopi. Biasanya, jumlah cahaya semakin menurun dengan
bertumbuhnya tanaman muda. Pada kasus tanaman karet dan kelapa sawit umur 6-7 tahun cahaya yang menerobos kanopi pada siang hari dengan penyinaran penuh hanya 10% dan penetrasi cahaya tersebut tidak berubah hingga tanaman
berumur 15-20 tahun (Chen, 1990). Pada transmisi yang rendah akan
Prosiding Semnas II HITPI Page 245
memberikan pengaruh terhadap mikroklimat yang ada di bawah kanopi, yang
kemudian menyebabkan suhu tanah menjadi lebih rendah. Kondisi yang demikian berpeluang menghambat pertumbuhan dan akumulasi bahan kering pada tanaman
yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit (Abdullah, 2011). Produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit
dapat diperbaiki melalui penanaman tanaman pakan unggul yang tahan terhadap
naungan. Hasil penelitian Hanafi (2007) mengemukakan terdapat beberapa tanaman pakan unggul yang tahan terhadap naungan, diantaranya adalah Digitaria
milanjiana, Stylosanthes guianensis, Paspalum notatum, dan Calopogonium caeruleum.
Komposisi Kimia Zat-zat Makanan
Komposisi kimia zat-zat makanan yang terkandung dalam hijauan yang
tumbuh di bawah pohon kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia zat-zat makanan hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun
Zat-zat makanan Umur Tanaman Kelapa Sawit
3 tahun 6 tahun
Protein kasar (%) 8,25 10,5
Serat kasar (%) 23,2 22,43
Lemak kasar (%) 4,2 2,4
Abu (%) 2,48 3,98
BETN (%) 61,87 60,69
Berdasarkan Tabel 3 tersebut nampak bahwa kandungan protein kasar dan abu pada hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 6 tahun
cenderung meningkat, sedangkan kandungan serat kasar, lemak kasar, dan BETN cenderung menurun. Meningkatnya kandungan protein kasar pada tanaman yang ternaungi oleh
kelapa sawit umur 3 tahun ke 6 tahun, dapat disebabkan oleh 2 hal. Pertama, akibat berubahnya komposisi botanis. Pada tanaman yang tumbuh di bawah
tanaman kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), sedangkan tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%). Diketahui kandungan
protein kasar P. conjugatum adalah 11,0 % dan O. nodosa 13,5% (Chen et al., 1991). Dengan demikian, kandungan protein kasar pada tanaman yang tumbuh di
bawah kelapa sawit umur 6 tahun lebih tinggi. Kedua, akibat berubahnya komposisi kimia yang disebabkan oleh naungan. Naungan memilki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas
hijauan, sehingga dapat merubah komposisi kimia. Kandungan protein kasar biasanya lebih tinggi pada bagian tanaman yang berada di atas daripada yang
berada di bawah (Buxton & Fales, 1994). Menurut Kephart & Buxton (1993) konsentrasi protein kasar jauh lebih responsif terhadap naungan dibandingkan
Prosiding Semnas II HITPI Page 246
komponen kualitas lainnya. Disebutkan pula bahwa naungan sebesar 63% dapat
meningkatkan konsentrasi protein kasar sebesar 26% pada rumput. Meningkatnya konsentrasi senyawa nitrogen akibat naungan biasanya dengan mengorbankan
karbohidrat terlarut. Kapasitas Tampung
Berdasarkan hasil perhitungan untuk mendapatkan kapasitas tampung per hektar tanaman kelapa sawit pada umur 3 tahun diperoleh hasil sebesar 1,44 ST
ha-1 dan untuk tanaman kelapa sawit umur 6 tahun sebesar 0,71 ST ha-1. Menurunnya kapasitas tampung ini berkaitan dengan menurunnya produksi hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit akibat semakin tuanya umur
tanaman kelapa sawit. Pada tanaman kelapa sawit umur muda menghasilkan hijauan yang tinggi sehingga dapat mendukung jumlah ternak yang optimum.
Menurunnya kapasitas tampung akibat semakin tuanya tanaman kelapa sawit juga ditunjukkan oleh Wan Mohammad et al. (1997). Ketika tanaman kelapa sawit berumur 1-2 tahun dapat menampung 3 ekor sapi per hektar, kemudian menurun
menjadi 2 ekor per hektar ketika tanaman telah berumur 2-3 tahun, selanjutnya menurun lagi menjadi 1 ekor per hektar pada tanaman umur 5 tahun.
Untuk mempertahankan kapasitas tampung sebaiknya dilakukan penggembalaan dengan sistem rotasi pada interval sekitar 60 hari. Chen & Dahlan (1995) menyarankan agar system rotasi dilakukan pada interval 6-8 minggu agar
diperoleh kapasitas tampung yang berkelanjutan. Hal itu juga perlu memperhatikan ketersediaan hijauan.
Dalam hal meningkatkan kapasitas tampung, selain memperbaiki jenis hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit, bisa juga melalui pemupukan. Hanafi (2007) melaporkan bahwa pemupukan dengan 100 kg urea +
50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk rumput, serta 50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk legume ha-1 tahun-1 dapat meningkatkan kapasitas tampung dari 2,78 ST ha-1
menjadi 5,12 ST ha-1 pada tanaman kelapa sawit umur 4 tahun.
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa hijauan antar tanaman di
perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan bagi sapi potong. Jenis-jenis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umumnya sebagai gulma, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan
pakan bagi sapi potong. Hal ini digambarkan oleh produksi hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit maupun komposisi kimia zat-zat makanan yang
dikandungnya. Berdasarkan produksi hijauan tersebut, perkebunan kelapa sawit rakyat yang berada di Kecamatan Sembija, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat menampung 1,44 ST ha-1 pada tanaman umur 3 tahun, dan menurun menjadi 0,71
ST ha-1 pada tanaman umur 6 tahun. Untuk mempertahankan kapasitas tampung tersebut diperlukan pengelolaan hijauan pakan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. 2006. The development of integrated forage production system for ruminants in rainy tropical region. Bull. Facul. Agric. Niigata Univ. 58 (2):
Prosiding Semnas II HITPI Page 247
125-128.
Abdullah, L. 2011. Prospek Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit-Sapi Potong dalam Upaya Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Nasional 2014 :
Sebuah Tinjauan Perspektif Penyediaan Pakan. Orasi Ilmiah, disampaikan pada Sidang Senat Terbuka (Wisuda) V Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur. Sangatta.
Buxton, D.R., Fales, S.L. 1994. Plant Environment and Quality. Dalam: Fahey, G.C (Ed). Forage Quality, Evaluation, and Utilization. American Society
of Agronomy, Madison, WI, USA. Chen, C.P. 1990. Problem and Prospects of Integration of Forage Into Permanent
Chen, C.P., Wong, H.K., Dahlan, I. 1991. Herbivores and the plantations. Proceedings of 3rd. International Symposium on Nutrition of Herbivores.
MSAP. Chen, C. P., Dahlan, I. 1995. Tree spacing and livestock production. Paper
presented at the FAO First International Symposium on the integration of
livestock to oil palm production. 25-27 May 1995, Kuala Lumpur, Malaysia.
Chin, F.Y. 1998. Sustainable use of ground vegetation under mature oil palm and rubber trees fo commercial beef production. Dalam: de la Vina, A.C., Moog, F.A., (eds). Proceedings of 6th. Meeting of the Regional Working
Group on Grazing and Feed Resources for Shoutheast Asia. Legaspi City, Philippines.
Chung, G.F. 1993. Herbicide evaluation for general weed control in immature oil palm with and without EFN mulching. Dalam: Jalami Sukaimi et.al., (eds). PORIM International Palm Oil Congress: Update are vision. Ministry of
Primary Industries Malaysia. Crowder, L. V., Chheda, H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman
group. New York Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Buku Statistik Perkebunan
Tahun 2007-2011. Perkebunan Kalimantan Timur, Samarinda.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Statistik Peternakan Kalimantan Timur Tahun 2007 – 2011. Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. 2013. Laporan Penyelenggara
Rapat Konsultasi dan Koordinasi Teknis Daerah (Rakontekda)
Pembangungan Peternakan dan Pertemuan Kelompok Tani Ternak Se Kaltim, Samarinda 25-26 Februari 2013. Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda. Direktorat Tanaman Pakan. 2011. Pedoman Umum Pengembangan Integrasi
Tanaman – Ruminansia Tahun 2012. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Jakarta. Hanafi, D.N. 2007. Keragaan Pastura Campuran pada Berbagai Tingkat Naungan
dan Aplikasinya pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kephart, K.D., Buxton, D.R. 1993. Forage quality responses of C3 and C4
perennial grasses to shade. Crop. Sci. 33: 831-837
Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Hijauan Makanan Ternak, edisi ke-3. BPFE.
Yogayakarta. Suboh, I. 1997. Memaksimumkan pendapatan penanam kelapa sawit integerasi
tanaman/ternakan di ladang sawit. Seminar Pekebun Kecil Sawit/ Eksekutif Estet Pamol, Sabah. PORIM, 27-29 April 1997.
Wan Mohammad, Hutagalung, W.E., Chen, C.P. 1987. Feed availability,
utilization and constraints in plantation of Asia and the Pacific performance and prospect. Trop. Grassl. 21 : 159-168.
Wong, C.C., Chin, F.Y. 1998. Meeting Nutritional Requirement of Cattle from Natural Forages in oil plantation. National Seminar Livestock and Crop Integration in Oil Palm Towards Sustainability, PORIM, 12-14 May 1998.
Keluang, Malaysia.
Prosiding Semnas II HITPI Page 249
PROSPEKTIF AGRONOMI DAN EKOFISIOLOGI Indigofera zollingeriana
SEBAGAI TANAMAN PENGHASIL HIJAUAN PAKAN
BERKUALITAS TINGGI
L. Abdullah
Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Indigofera sp. are very diverse legume species. The plant has been utilized as a natural dye for generations. One such species namely Indigofera zollingeriana has been widely used as forage because of its advantages in the
agronomic and nutritional aspect. However, agronomic knowledge about Indigofera is still limited. It is therefore, some results relating to agronomic and
nutritional aspect of I. zollingeriana are elucidated in this paper. Some of the information obtained during this study showed that from agronomic view point I. zollingeriana is a prospective plant, ease to be developed generatively and has a
high forage production capability and rapid regrowing. In addition it has the ability to adapt to drought condition.
Keyword: Indigofera zollingeriana, agronomic view, and regrowing.
ABSTRAK
Indigofera merupakan leguminosa yang sangat beragam spesiesnya dan kegunaannya. Masyarakat industri pakaian mengenal Indigofera sebagai tanaman
sumber pewarna alami yang sudah digunakan secara turun temurun. Salah satu spesies Indigofera seperti Indigofera zollingeriana telah banyak digunakan karena
kelebihannya secara agronomis maupun nutrisi menjadikannya salah satu pilihan sumber pakan berkualitas. Pengetahuan agronomi tanaman Indigofera masih perlu disosialisaikan kepada masyarakat agar penggunaan hijauannya lebih luas.
Beberapa informasi yang berhasil diperoleh dari penelitian selama ini menunjukan bahwa Indigofera secara agronomis mudah untuk dikembangkan secara
generative dan memiliki kemampuan produksi hijauan yang tinggi serta regrowing yang cepat. Selain itu memiliki kemampuan adaptasi kekeringan. Kata kunci: Indigofera zollingeriana, secara gronomi, dan regrowing
PENDAHULUAN
Indigofera zollingeriana termasuk salah satu genus tanaman yang memiliki kegunaan untuk industri baik industri pewarna secara alami maupun
industri peternakan. Keberadaan Indigofera di Indonesia telah dikenal sejak lama untuk industri pewarna alami. Namun dilaporkan oleh banyak peneliti bahwa
Indigofera selain sebagai sumber pewarna alami terdapat beberpa spesies Indigofera memiliki potensi sebagai hijauan pakan sumber protein. Setidaknya terdapat 700 spesies Indigofera yang telah teridentifikasi. Sebanyak 64 spesies
ditemukan mengandung senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2 sampai 12 mg NO2/g tanaman. Empat spesies yang diuji 4 sampai 12 mg NO2/g yang cukup
Prosiding Semnas II HITPI Page 250
beracun untuk umur anak ayam 1 minggu. Sekitar 20 spesies yang telah dipelajari
untuk tanaman pakan. Beberapa spesies Indigofera yang diketahui memiliki peranan penting sebagai bahan pakan antara lain, Indigofera zollingeriana,
Indigofera arrecta, Indigofera tinctoria, dan spesies lain seperti I. spicata and I. nigritana yang diujikan pada ternak tikus tidak menunjukan gejala abnormalitas secara histologi.
Secara nutritif telah dilaporkan bahwa I. zollingeriana tergolong sebagai tanaman legume semak yang mampu menghasilkan hijauan pakan dengan kualitas
tinggi (Abdullah et al., 2010) seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian cabang edible) Indigofera
zollingeriana
Sumber : (Abdullah et al., 2010)
Pengujian secara in vivo terhadap kambing perah PE dan Saanen dengan
pemberian hijauan I. zollingeriana dalam bentuk sampai taraf 100% menunjukan peningkatan produksi susu 14-28% dan persistensi produksi menjelang masa kering (Apdini, 2012). Produksi susu kambing menjelang masa kering dari ternak
kambing Saanen dan peranakan etawah (PE) yang diberi pellet daun I. zollingeriana sebanyak berturut-turut 761 ml dan 675 ml dibandingkan produksi
susu kambing pada waktu yang sama dari kambing Saanen dan PE berturut-turut yang hanya 379 ml dan 390 ml.
Banyak pertanyaan di lapangan tentang prospek Indigofera sebagai
tanaman pakan yang baru-baru ini mulai banyak dibicarakan dalam forum ilmiah. Secara ekofisiologis, I. zollingeriana termasuk tanaman yang sangat adaptif
terhadap kondisi lingkungan yang relatif kering, karena mekanisme fisiologi yang dibangun dalam sistem tubuh tanaman tersebut melalui ekskresi prolin menjadi salah satu cirinya, disamping terdapat mekanisme interaksi dengan hifa mikoriza
Prosiding Semnas II HITPI Page 251
yang sangat membantu I. zollingeriana untuk mempertahankan produksi daun
(Dianita, 2012). Indigofera dapat mempertahankan potensial airnya sangat rendah dibandingkan legum lainnya pada keadaan kekeringan selama ada mikoriza yang
berinteraksi dengannya. Secara agronomis Indigofera merupakan tanaman yang sangat mudah dikembangkan, karena potensi reproduksinya yang tinggi untuk menghasilkan polong dengan biji bernas, sifat tumbuh kembali (regrowing) yang
baik memungkinkan perkembangan cabang secara progresif, sehingga produksi daun yang tinggi, responsif terhadap pemupukan baik melalui media (tanah)
maupun langsung pada permukaan daun, dapat diperlakukan dengan menyisakan batang pada ketinggian 75-150 meter.
Produksi Hijauan dan Pembentukan Cabang/Ranting
Indikator produktivitas yang mudah diukur pada tanaman pakan adalah
produksi hijauan pakan (BK) selama setahun atau beberapa kali pemanenan. Hijauan yang dimaksud meliputi daun, tangkai daun dan ranting yang dapat dimakan (edible). Indigofera termasuk kedalam salah satu jenis tanaman herba
yang mampu menghasilkan hijauan pakan cukup tinggi (Gambar 1.) Kisaran produksi hijauan Indigofera yang dapat dicatat di kebun percobaan di Darmaga
dan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan IPB Jonggol antara 7-10 ton BK/ha/panen (catatan: bahwa produksi hijauan ini diperoleh dari tanaman yang diberi pupuk daun). Hasil pengamatan selama ini Indigofera memiliki prospek
yang cukup baik untuk dikembangkan karena alasan karakteristik agronomi dan nilai nutrisinya (Abdullah et al., 2012). Secara agronomis produksi hijauan pakan
mengalami peningkatan dari pemangkasan pertama hingga pemangakan ke empat (saat puncak musim hujan) secara eksponensial, namun mengalami pengurangan biomasa setelah pemanenan ke enam. Tingginya pemangkasan (intensitas
defoliasi) dapat berpengaruh terhadap produksi hijauan, meskipun faktor ini tidak nampak pengaruhnya terhadap produksi hijauan hingga pemanenan ke enam,
namun setelah pemangkasan ke enam pemangkasan dengan tinggi 1.00 meter menghasilkan hijauan pakan lebih tinggi dibandingkan dengan pemangkasan lebih pendek (0,75 m). Pemangkasan yang lebih tinggi hingga 1.5 m dilaporkan oleh
Andi Tarigan et al., (2010) menunjukan produksi hijauan lebih banyak dibandingkan pemangkasan yang lebih pendek, namun tidak mengubah jumlah
cabang yaitu sekitar 15-24 buah cabang.
Gambar 1. Dinamika produksi hijauan dan percabangan tanaman
Indigofera zollingeriana. Sumber : Abdullah et al (2010)
Prosiding Semnas II HITPI Page 252
Pertumbuhan dan produksi hijauan tanaman pakan dipengaruhi oleh
intensitas pembentukan percabangan/ranting. Jumlah cabang tanaman Indigofera pada umumnya berkisar antara 8-30 cabang sejak mengalami pemangkasan
pertama hingga pemangkasan ke-10. Setiap cabang memiliki sekitar 2-6 ranting yang pada umumnya masih dapat dikonsumsi ternak terutama dalam keadaan segar. Jumlah ranting dan cabang meningkat secara eksponensial sampai
pemangkasan ke-6 dan cenderung melambat diatas pemangkasan ke-8. Produksi hijauan pada sampai pada pemangkasan ke-6 masih mengikuti pola pembentukan
cabang dan ranting, sehingga korelasi keduanya positif (r=0.894). Peningkatan jumlah percabangan setelah pemangkasan ke-6 menyebabkan pertumbuhan daun (kanopi) saling menutupi dan banyak daun tidak efektif dalam melakukan proses
fotosintesis akibat ternaungi oleh daun diatasnya. Perbanyakan cabang ini menyebabkan penurunan produksi sehingga korelasi keduanya negatif (r=-0.979).
Berdasarkan pengalaman ini maka perlu dilakukan manajemen percabangan jika sistem pemangkasan dilakukan hingga ketinggian tanaman 0.75-1.00 m.
Ketahanan terhadap Cekaman Kekeringan
Sebuah kajian ekofisiologi yang mempelajari ketahanan Indigofera
zollingeriana terhadap cekaman kekeringan telah dilakukan oleh Herdiawan et al., 2012 dan Sowmen 2012. Kedua studi menemukan hasil bahwa Indigofera termasuk kedalam jenis tanam pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
Kemampuan I. zollingeriana terhadap cekaman kekeringan ditunjukan dengan nilai potensial air daun yang berkisar antara -1,8 mPa sampai -7,9 mPa. Selang
nilai potensial air daun ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi kekeringan yang ekstrim. Herdiawan et al., (2012) mengungkapkan bahwa meskipun terjadi penurunan produksi tajuk hingga
33,96% akibat pengurangan air hingga 25% kapasitas lapang, namun tanaman ini tetap menghasilkan tajuk, dan mengalami pemulihan ketika tanaman mendapatkan
air kembali. Tanaman I. zollingeriana mengalami titik layu permanen hingga umur 20
minggu untuk tanaman I. zollingeriana berumur sekitar 2 bulan, dimana kadar air
tanah tinggal 23%. Pada saat kondisi seperti ini tanaman ini menunjukan nilai potensi air daunnya terrendah yaitu -7.9 (Sowmen, 2012). Temuan ini telah
mengungkap bahwa I. zollingeriana merupakan tanaman pakan yang dapat bertahan pada kondisi kering.
Budidaya Tanaman Indigofera
Produksi Benih
I. zollingeriana merupakan salah satu jenis leguminosa semak yang sangat mudah menghasilkan benih. Jumlah polong dalam setiap tangkai bervariasi antara 7-17 buah dengan panjang polong antara 2.5-3.4 cm, jumlah benih per polong
antara 5-7 butir dengan didominasi benih bernas 64-82% (Gambar 2. Indigofera mulai berbunga sejak umur 2 bulan setelah transplantasi, dan bunga berkembang
menjadi polong memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Pematangan fisiologis benih terjadi hingga minggu ke-6 tergantung curah hujan. Warna polong yang sudah mengalami masak fisiologis adalah hitam kecoklatan dan terdapat relief
pada setiap segmen benih yang menunjukan benih bernas. Polong merupakan salah satu bagian tanaman yang paling mudah diserang hama. Frekuensi investasi
Prosiding Semnas II HITPI Page 253
hama dan penyakit seperti jamur pada polong dapat mencapai 36% pada musim
hujan.
Gambar 2. Bentuk tanaman dan polong Indigofera zollingeriana
Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa mencapai 8-9%. Benih
normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan persentase perkecambahan (daya kecambah) 28-35% jika benih pernah mengalami
penyimpanan selama 2 bulan. Pada umumnya daya kecambah yang rendah disebabkan oleh kulit benih yang tebal dan invasi jamur pada saat perkecambahan. Pengalaman di laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB menunjukan
pemberian bahan organik (pupuk organik) pada media penyemaian dapat meningkatkan daya kecambah menjadi 67%-74%. Perlakuan benih dengan
skarifikasi pemanasan kering dari 30oC menjadi 45oC menurunkan daya kecambah dari 58% menjadi 29% pada pengamatan umur perkecambahan 7 hari. Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat fotoblastik negatif, karena
benih yang berkecambah pada germinator gelap lebih banyak dibandingkan germinator terang (44% - 57% vs 24% - 29%; P<0.05). Karakteristik fisiologi
lainnya dari benih I. zollingeriana adalah menurunnya daya kecambah benih jika telah mengalami penyimpanan dan penundaan waktu berkecambah. Penyimpanan lebih dari 4 minggu dapat menurunkan daya kecambah benih
hingga 24%. Secara fisik benih berwarna coklat (b) dan coklat kehitaman (c) bulat
berisi lebih baik dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau kecoklatan (Gambar 3). Penambahan panjang hipokotil dari umur kecambah 4 hari ke umur 7 hari mencapai 177%, namun mengalami penurunan penambahan
tinggi hipokotil sebanyak 26.26% dengan bertambahnya umur kecambah menjadi 14 hari. Pengeringan benih hingga 45oC dapat menurunkan daya kecambah benih
hingga 29.85% dan 41.53% berturut-turut pada umur kecambah 4 hari dan 14 hari.
Gambar 3. Bentuk dan warna benih Indigofera pada kondisi masak fisiologis
berbeda. Benih berwarna coklat kehitaman lebih bernas dibanding
yang masih muda (Sumber Foto : Nanda dan Rhoma, 2011)
Prosiding Semnas II HITPI Page 254
Persemaian
Benih Indigofera sangat mudah dihasilkan Persemaian benih pada baki yang berisi media tumbuh pasir, tanah dan pupuk kandang (1:1:1). Setelah
pengujian benih, benih langsung ditabur secara merata ke permukaan media tanam pada baki Penyiraman dilakukan secara hati-hati agar kecambah tidak rusak, tidak tergenang (Gambar 4). Hari ke 7-10 dipindahkan ke polibag ukuran 0.5 kg.
Bibit muda dipelihara di bawah naungan dengan menggunakan paranet naungan 65%. Pembersihan lahan, pembajakan, penggaruan, penggemburan, pengguludan
dan dibuat jarak tanam 1.5 × 1 m. Jarak individu tanaman antar guludan 1.5 m dan jarak invidu tanaman dalam guludan 1m. Populasi tanaman 6600 individu
tanaman/ha. Tanaman berumur 1 bulan dapat dipindahkan secara hati-hati ke lobang tanaman dengan jarak tanam yang sudah ditentukan.
Gambar 4. Proses penyemaian dan pembibitan tanaman Indigofera
Untuk hasil yang baik, pemberian pupuk kandang dalam lobang tanam
sebanyak 250-300g/lobang. Untuk menghasilkan bentuk tajuk yang baik dan pertumbuhan cabang yang baik, potong tanaman dengan ketinggian 75-100cm.
Pemotongan pertama sebaiknya dilakukan setelah tanaman mencapai target ketinggian yang diharapkan. Pemberian pupuk cair anorganik maupun organik seperti urin sapi dapat memacu pertumbuhan dan pembentukan tajuk lebih cepat
dibandingkan dengan kontrol (tanpa pupuk). Salah satu pupuk buatan yang dikembangkan di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB yang
dirancang khusus untuk pertumbuhan tajuk Indigofera adalah INDIGO-FERTILIZER dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk ini untuk setiap satu liter diencerkan dalam 100-150 liter, tergantung hasil yang diharapkan.
Kebutuhan pupuk cair untuk satu hektar adalah 10 botol untuk sekali penyemprotan. Pupuk daun diberikan 4 kali selama periode penanaman, yaitu
pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan 42 hari setelah pemangkasan atau panen sebelumnya (Gambar 5).
Pemanenan dilakukan dengan interval 60 hari, menyisakan tegakan
tanaman 75-100 cm. bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible). Batang yang tidak terpakai hasil pemangkasan yang dianggap tidak dapat dimakan
dapat digunakan sebagai kayu bakar ringan atau digunakan untuk mulsa. Pertumbuhan kembali (regrowth) tajuk Indigofera akan terlihat setelah satu minggu jika cukup curah hujan (Gambar 6). Daun dan batang dikeringkan,
Prosiding Semnas II HITPI Page 255
kemudian dirontokan dengan mesin perontok (daun kering dengan sendirinya
terlepas dari batang edible). Pengeringan dengan sinar matahari 4 jam sudah menyisakan kadar air sekitar 28%, dan pada 2 jam pertama kadar air sudah
mencapai 30%, atau pengeringan dengan oven 70oC selama 2 jam. Kadar air ini sangat sesuai untuk pembuatan tepung (agar tidak terlalu berdebu) dan mudah dibentuk pelet.
Gambar 5. Pertumbuhan, pembentukan tajuk dan penyemprotan pupuk cair pada
daun Indigofera
Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2010), mengungkapkan
bahwa aplikasi pupuk daun dapat memperbaiki produksi hijauan tanaman Indigofera, total produksi daun, rataan tinggi tanaman, rataan jumlah cabang, rataan persentase pucuk terhadap total daun dan rasio daun-batang. Seperti terlihat
pada Tabel 1. Respons tanaman I. zollingeriana terhadap perlakuan pemupukan daun menunjukan bahwa terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan
produktivitasnya. Pemupukan daun dengan menggunakan pupuk cair INDIGO-FERTILIZER juga dapat memperbaiki komposisi dan konsentrasi asam amino pada daun (Abdullah dan Kumalasari 2012). Pemupukan tidak hanya melalui
daun tetapi praktek pemupukan dengan pupuk organik pada tanah sangat dianjurkan, karena dapat meningkatkan produksi hijauan pakan secara signifikan
(18%).
Tabel 2. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan dan
pertumbuhan tanaman Indigofera
Sumber : Abdullah dan Kumalasari (2010)
Prosiding Semnas II HITPI Page 256
Produksi dan kualitas hijauan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi
daun muda dan daun tua tanaman Indigofera. Dinamika komposisi antara daun muda dan daun tuda terjadi sesuai waktu pemangkasan. Hasil studi menunjukan
bahwa semakin tua umur pemangkasan dari 38 hari menjadi 88 hari semakin meningkat proporsi daun tua dari 58.4% menjadi 75.3% dan semakin menurun proporsi daun muda dari 41.6% menjadi 24.7% (Abdullah dan Suharlina, 2010),
meskipun produksi total hijauan meningkat dari 2673 kg BK/ha/panen menjadi 5410 kg BK/ha/panen. Konsekuensi perubahan komposisi ini adalah penurunan
kualitas yang ditunjukan oleh penurunan kandungan protein dari 22% menjadi 20%, dan penurunan kecernaan bahan kering dari 74.52% menjadi 67.39% serta penurunan kecernaan 73.79% menjadi 69.63%.
Gambar 6. Pemanenan menghasilkan hijauan pakan dan batang untuk kayu bakar.
Pertumbuhan kembali setelah pemanenan pada musim hujan bisa terlihat setelah satu minggu
Peran Tanaman Indigofera terhadap Kesuburan Tanah
Sebagai tanaman leguminosa yang akan dikembangkan untuk sumber
hijauan pakan, Indigofera juga diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap kestabilan kesuburan tanah. Mekanisme simbiosis untuk fiksasi nitrogen udara dengan bakteri rhizobium dan transfer unsur hara dan air melalui simbiosis
dengan mikoriza diharapkan dapat meningkatkan peran Indigofera dalam menjaga ekologi tanah. Hasil pengamatan pada pot terkontrol di rumah kaca menunjukan
bahwa keberadaan Indigofera dipandang mampu mempertahankan kandungan C, N dan P. Indigofera mampu meningkatkan residu akar dan asam organik pada tanah sehingga dapat meningkatkan taraf kandungan karbon organik tanah sebesar
16.8%, yang berarti dapat memberikan peluang untuk berkembangnya mikroorganisme tanah (Suharlina dan Abdullah, 2012). Demikian halnya dengan
kandungan N dan P tanah yang relatif masih stabil setelah penanaman Indigofera, meskipun sebagian telah dimanfaatkan (uptake) oleh tanaman untuk kebutuhan pertumbuhan dan pembentukan tajuk. Hal penting lainnya secara mikrobiologis,
keberadaan perakaran Indigofera pada tanah dapat meningkatkan populasi bakteri pelarut fosfat, yang diduga menjadi salah satu factor stabilnya kandungan fosfat
tersedia pada tanah setelah penanaman Indigofera.
KESIMPULAN
Indigofera zollingeriana sebagai tanaman leguminosa sangat potensial
sebagai sumber hijauan pakan, yang secara agronomis mudah dikembangkan melalui benih. Reproduktivitas yang tinggi memungkinkan pengembangan secara
Prosiding Semnas II HITPI Page 257
nasional untuk suplementasi protein dan perbaikan asupan nutrisi lainnya untuk
ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by
different concentration of foliar fertilizer. Med Pet., 33(3): 169-175 Abdullah, L and Suharlina, 2010. Herbage yield and quality of two vegetative
parts of Indigofera at different time of first regrowth defoliation. Med. Pet., 1(33): 44-49.
Abdullah, L. N.R. Kumalasari, Nahrowi dan Suharlina. 2010. Pengembangan
Produk Hay, Tepung dan Pelet Daun Indigofera sp. sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah. Laporan Penelitian.
Fakultas Peternakan IPB. Abdullah, L. and N.R.Kumalasari. 2012 Amino Acid Contents of Indigofera
arrecta Leaves After Application of Foliar Fertilizer. Journal of
Agricultural Science and Technology Vol. 1 No.8, hal 1224-1227, Des 2011, ISSN 2161-6256, David Publishing Co. Illinois, Amerika Serikat.
Abdullah, L., A. Tarigan, Suharlina, D. Budhi, I. Jovintry dan T.A. Apdini. 2012. Indigofera zollingeriana : A promising forage and shrubby legume crop for Indonesia. Proceeding the 2nd International Seminar on Animal
Industry. JCC, Jakarta p.149-153 Andi Tarigan, L. Abdulla, S.P. Ginting dan I.G. Permana. 2010 Produksi dan
komposisi serta nutrisi In vitro Indigofera sp. Pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 15(3): 188-195.
Apdini, T.A.P. 2011. Pemanfaatan Pellet Indigofera sp. pada Kambing Perah
Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm , Skripsi, IPB.
Aylward, J.H.; Court, R.D.; Strickland, R.W.; Hegarty, M.P. 1987. Indigofera species with agronomic potential in the tropics. Rat toxicity studies. Australian Journal of Agricultural Research. v. 38(1) p. 177-186.
Dianita, R. 2012. Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and non Legume Plants in Integrated System. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor. Iwan Hrdiawan,L. Abdullah, D. Sopandi, P.D.M.H. Karti and N. Hidayati. 2012.
Productivity of Indigofera sp. At different drought stress level and
defoliation interval. J. Animaland Veterinary Sci. 17(2):276-283 Suharlina dan L. Abdullah., 2012. Peningkatan produktivitas Indigofera sp.
Sebagai pakan hijauan berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organic cair : 1. Produksi hijauan dan dampaknya terhadap kondisi tanah. Pastura, Journal Tumbuhan Pakan Tropika, 1(2): 39-43
Williams., M. C 1981. Nitro Compounds in Indigofera Species.Agronomy Journal, Vol. 73 No. 3, :434-436
Prosiding Semnas II HITPI Page 258
MASALAH PENGEMBANGAN HIJAUAN MAKANAN TERNAK
DI ACEH
M. Nur Husin dan Didy Rachmadi
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
ABSTRACT
Forage development in Aceh is slow if it is compared to other Agriculture
sectors. Program of population growth of animal ruminant and its genetic quality depend on the quality and production of forage since forage is the basis of animal
feed of ruminant. The problems found were: forage planting was vegetative and the raising system of ruminant was permanent grazing (traditional system). There is no standard regulation about the land used in raising animal in agriculture area,
and no investor to develop Animal Husbandry sector as well. The result of the research on the plant of grass and legume in Experimental Farm, University of
Syiah Kuala shows that it can improve carrying capacity from 6 Animal Unit (AU) to 12 AU. There is a valuable potential land in Aceh to develop animal ruminant in West Indonesia in order to achieve self supporting of meat in
Indonesia. Without sufficient fund this program is impossible to be implemented in the future.
Key words: Forage, problems, and development.
PENDAHULUAN
Pembangunan peternakan di Aceh mempunyai peranan penting dalam pembangunan pertanian secara keseluruhan, namun kemajuannya dirasakan lamban bila dibandingkan dengan kemajuan di sektor pertanian lainnya. Berbagai
faktor yang menyebabkan lambatnya kemajuan ini dapat diidentifikasi antara lain: Adanya penyakit parasiter, keguguran, mutu genetik ternak yang rendah,
kurangnya pemanfaatan bibit hijauan unggul dan cara beternak yang masih tradisional. Program peningkatan populasi dan mutu genetik ternak ruminansia selalu di
dasarkan kepada peningkatan mutu dan produksi hijauan, karena hijauan merupakan basis utama makanan ternak ruminansia. Tanpa perbaikan mutu dan
produksi hijauan adalah sulit untuk memajukan usaha pengembangan ternak ruminansia. Usaha apapun (pengobatan, bibit unggul) tidak akan nampak hasilnya apabila masalah hijauan makanan ternak tidak ditanggulangi terlebih dahulu.
Hijauan yang mempunyai produksi tinggi membutuhkan tempat tumbuh (tanah) dengan tingkat kesuburan tinggi. Kenyataan menunjukan bahwa lahan
yang tersedia untuk pengembangan perternakan adalah lahan klass IV sampai kritis. Lahan ini harus dikelola dengan hati-hati disertai pemupukan berat. Penanaman hijauan unggul (rumput, dan leruminosa) memungkinkan daya
tampung ternak dapat di pertinggi 5-20 kali (Mc Ilroy, 1976) di samping dapat meningkatkan kesuburan tanah akibat fiksasi nitrogen oleh leguminosa. Tanaman
leguminosa selain mempunyai protein tinggi juga dapat berfungsi ganda dalam penghematan penggunaan pupuk dan sintetik. Setiap kg N yang difiksasi setara dengan 2,22 kg pupuk urea (N urea 46%)
Program budidaya hijauan unggul telah lama dilakukan di Aceh. Namun
Prosiding Semnas II HITPI Page 259
hasilnya masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain:
1. Keinginan masyarakat untuk menanam rumput unggul masih rendah, karena tersedia rumput alam
2. Nilai ekonomis hijauan sangat rendah di bandingkan dengan tanaman lain. 3. Tidak mempunyai kebun bibit hijauan disetiap Kabupaten/Kota yang mudah
diperoleh peternak kecuali kabupaten Aceh Besar
4. Sistem pemeliharaan ternak dipedesaan pada umumnya masih tradisional Merubah sistem usaha ternak dari sistem tradisional ke intensif bukanlah
pekerjaan yang mudah karena memerlukan perubahan bentuk usaha tani ternak, disamping memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberanian, kepercayaan dan modal usaha yang memadai. Untuk ini diperlukan pemikiran
para cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu dan investor untuk mengolah sumber daya alam yang tersedia secara optimal.
PEMBAHASAN
Potensi Ternak Ruminansia
Potensi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba lokal)
sampai saat sekarang masih menjadi primadona dalam penyediaan daging di Aceh. Jumlahnya semakin berkurang akibat adanya konflik bersenjata yang dimulai tahun 1976 antara GAM dan pemerinta RI yang berkepanjangan dan
ditambah Tsunami 2004. Potensi genetik sapi aceh tidak terlalu rendah dibandingkan sapi bali.
Pertambahan berat badan sapi jantan aceh yang dipelihara secara tradisional pada umur 2-3 tahun antara 252-354 g/hari per ekor dan yang intensif 400-500 g/hari/ekor (Basri, 2003) sedangkan sapi bali mempunyai tambahan berat badan
Menurut BPS (2012) di Aceh terdapat 701.284 ekor sapi (19.743 di antaranya adalah sapi bali), kerbau 303.156 ekor, kambing 768.869 ekor, dan domba 168.994 ekor. Populasi sapi, kambing dan domba terbesar di temukan di
pantai utara Aceh (Banda Aceh Sampai Aceh Tamiang), sedangkan populasi kerbau banyak di temukan di Pantai Barat Selatan (Banda Aceh sampai Aceh
Singkil, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Pulau Simeulu). Pemotongan ternak sapi 75.097/ekor/tahun, kerbau 25.513/ekor/tahun, kambing 169.764 /ekor/tahun, dan domba 43.780/ekor/tahun. Harga daging di Banda Aceh termasuk harga tertinggi
di Dunia. Secara konkrit harga daging sapi, kerbau dan domba berkisar antara Rp 110.000-Rp. 120.000 /kg dan harga daging kambing berkisar antara Rp 140.000-
Rp 150.000 /kg. (Mai 2013) dan pada hari Megang (2 hari sebelum bulan puasa/idul Fitri dan Idul Adha) harga daging naik 20-30%. Sistem pemeliharaan ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba pada
umumnya secara tradisional. Dimana ternak dilepas bebas mencari makan sendiri di permukiman penduduk atau di jalan raya. Hal ini merugikan banyak pihak
karena menjadi hama bagi tanaman pertanian dan mengakibatkan sering terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Pemeliharaan secara intensif dengan pemberian hijauan unggul banyak di temukan di bantaran Krueng Aceh
dan Kabupaten Aceh Besar.
Prosiding Semnas II HITPI Page 260
Potensi Lahan
Aceh mempunyai lahan padang penggembalaan seluas 500.000/ha pada tahun 1973. Akibat infasi tanaman industri, perkebunan dan permukiman penduduk,
sekarang luasnya 232.023 ha, persawahan 314.991 ha, lahan kering 139.049 ha, kebun rakyat 800.401 ha, perkebunan besar (sawit dan karet) 200.680 ha, lahan pemukiman 305.624 ha, merupakan sumber lahan yang dapat digunakan untuk
pengembangan hijauan dan ternak (BPS, 2012). Merubah sistem usaha ternak tradisional ke intensif akan memberikan
keuntungan antara lain; 1. Mempertinggi daya guna tanah dan daya tamping ternak 2. Memperluas lapangan kerja bagi pengangguran dan masyarakat pedesaan
3. Dapat menambah pendapatan dan mengurangi kemiskinan 4. Dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pengangguran dan Kemiskinan
Komplek bersenjata antara GAM dan Pemerintah RI yang berkepanjangan
ditambah gempa dan Tsunami 26 Desember 2004, yang melanda Aceh telah menimbulkan banyak korban jiwa manusia, ternak, tananam, harta benda, mata
pencaharian yang tidak terkira nilainya. Namun disisi lain, terdapat hikmah besar yang timbul secara spontan dan sangat luar biasa dari masyarakat Indonesia dan Internasional yang membantu perjuangan hidup mati rakyat Aceh. Perdamaian
antara GAM dan Pemerintah RI 15 agustus 2005 di Helsinki telah membawa angin sejuk bagi rakyat miskin untuk bangkit kembali menyongsong hari depan
yang lebih cerah. Daerah Aceh sejak kemerdekaan merupakan salah satu daerah kaya di Indonesia dan dijuluki sebagai daerah modal (Soekarno, Presiden RI) namun
kenyataannya sampai saat ini merupakan salah satu daerah miskin di Indonesia dengan jumlah penduduk 5,1 juta jiwa, penduduk miskin 19,46% dan
pengangguran 7,43% (di atas rata-rata nasional). Tidak diketahui secara pasti kapan kemiskinan dan penganguran dapat ditanggulangi di Aceh. Masalah kemiskinan dan kesempatan kerja merupakan masalah nasional yang belum dapat
ditanggulangi sampai saat sekarang. Jangankan masyarakat miskin dan pemuda putus sekolah, ―Lulusan Sarjana‖ saja banyak yang menganggur belum
mendapat pekerjaan yang layak. Menciptakan lapangan kerja pada saat sekarang bukanlah pekerjaan mudah, karena memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberaniaan dan modal usaha yang
memadai. Membuka usaha peternakan adalah salah satu alternatif untuk menggurangi
pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan strategi dan terobosan Gubernur Aceh (Zaini Abdullah, 2013) memilih bidang usaha peternakan menjadi salah satu usaha andalan untuk memerangi kemiskinan
dan pengangguran “Pekerjaan ini tidak semudah membalik telapak tangan”
Budidaya Hijauan
Budidaya hijauan unggul daerah Aceh di temukan berkembang pesat dipinggiran Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Daerah ini dikenal sebagai
kantong tempat penggemukan ternak dikandang (zero grazing). Diprediksi jumlah
rumput unggul yang telah dibudidaya mencapai 2.465 ha, dimana 70% berada di
Prosiding Semnas II HITPI Page 261
kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar dan 30% di wilayah Aceh lainnya.
Keadaan ini disebabkan karena sumber bibit hijauan unggul yang tersedia hanya adalah di Unit Pelaksana Teknis Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan
Makanan Ternak (BPTU-HMT) Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Jarak (BPTU-
HMT) Indrapuri dengan ibu kota Banda Aceh 30 km.
Hasil penelitian hijauan unggul yang dikumpulkan dari kebun percobaan HMT Unsyiah (Husin dkk., 2012) tertera pada Tabel 1.
Proyeksi hasil penelitian pada kebun kelapa rakyat yang ditumbuhi rumput
alam dengan penggantian spesies hijauan unggul daya tampung ternak dapat ditingkatkan 8-12 Unit Ternak (UT/ha).
Kendala Pengembangan Hijauan Makanan Ternak Unggul
1. Sukar mendapat bibit dalam bentuk biji, reproduksi hijauan dilakukan dengan
cara vegetative (stek, stolon, dan anakan). 2. Pengembangan hijauan di daerah permukiman penduduk memerlukan biaya
tambahan untuk pemagaran, agar ternak tidak masuk ke kebun hijauan.
3. Sebagian tanah peternakan telah mendapat HGU diterlantarkan oleh pemilik modal berdasi.
4. Tidak ada aturan yang jelas dari pemerintah tentang tata laksana penggunaan tanah.
5. Program pengembangan bibit hijauan dari dinas terkait sangat sedikit.
Saran
1. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus membuat peraturan yang jelas tentang Tata Laksana Penggunaan Tanah Peternakan, Tanaman Pangan, Perkebunan, Budi daya Perikanan, dan Kehutanan.
2. Pemerintah membatalkan HGU dari pengusaha berdasi apabila dalam 1 (satu) tahun HGU tersebut tidak diusahakan.
3. Membuat kebun bibit hijauan makanan Ternak (HMT) di setiap Kecamatan minimal 10 ha.
Prosiding Semnas II HITPI Page 262
4. Memberi pelatihan budidaya hijauan ternak kepada petani ternak yang
melibatkan tenaga ahli hijauan. 5. Pemerintah perlu menyediakan dana khusus untuk pengembangan HMT
dan ternak melalui dana APBN, APBA, dan APBD. 6. Pemerintah mencari Investor untuk menanam modal pada usaha
peternakan di Aceh agar realisasi swasembada daging di Indonesia
terpenuhi.
DAFAR PUSTAKA
BPS., 2012. Aceh dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh.
Rachmadi, D. 2012. Penggunaan Bungkil Inti Sawit dalam Ransum terhadap Pertambahan Sapi Brachman Cross. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala. Basri, H. 2003. Penggunaan Molases dalam Ransum terhadap Pertambahan Berat
Badan Sapi Aceh. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian Universitas Syiah
Sitepu, M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik. PT. Indek. Jakarta.
Zaini, A. 2013. Memperkuat Perekonomian yang Inklusif Melalui Penanggulangan Kemiskinan dan Penurunan Pengangguran Menuju Aceh
Sejahtera. Tabloid Tabangun Aceh. Edisi 31, April 2013, Banda Aceh.
Prosiding Semnas II HITPI Page 263
PRODUKSI PADANG PENGGEMBALAAN ALAM DAN POTENSI
PENGEMBANGAN SAPI BALI DALAM MENDUKUNG PROGRAM
KECUKUPAN DAGING DI PAPUA BARAT
Onesimus Yoku, Andoyo Supriyantono, Trisiwi Widayati dan Iriani Sumpe
Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Papua Jl. Gunung Salju Amban Manokwari
ABSTRACT
West Papua is an area with high potential for the development of beef
cattle because the capacity of the area is quite extensive. Availability of the natural resources provides great opportunities to develop of Bali cattle business. This study aims to analyze the botanical composition, carrying capacities, and
forage production potential in Kebar, West Papua. Botanical composition was analyzed by the ranking method (dry weight rank) which observing only three
types of forage that has a big contribution, and set them as 1, 2, and 3 ranking based on dry matter, while forage production was estimated by sample method using 1 m2 quadrants. The results showed that almost 100% forage on pasture
were dominated by grass; very low carrying capacity of natural pastures, it was about 0.48 to 1.70 UT / ha / year; forage production on natural pastures have not
any potential for planing of Bali cattle/beef cattle development to support beef sufficiency program in West Papua. Keywords: grassland natural, botanical composition, carrying capacities
ABSTRAK
Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan
ternak sapi potong karena daya dukung wilayah cukup luas. Ketersediaan sumberdaya alam tesebut memberikan peluang besar bagi pengembangan usaha
peternakan sapi bali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi botanis, kapasitas tampung, dan potensi produksi hijauan pakan di dataran Kebar kabupaten Tambraw provinsi Papua Barat. Komposisi botanis dianalisis dengan
metode ranking (dry weight rank) yaitu dengan mengobservasi hanya tiga jenis hijauan yang mempunyai kontribusi besar, dan menetapkannya sebagai ranking 1,
2, dan ranking 3 berdasarkan bahan kering, sedangkan produksi hijauan pakan diestimasi dengan metode cuplikan menggunakan kuadran berukuran 1 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 100% hijauan pada padang
penggembalaan di dominasi jenis rumput; kapasitas padang penggembalaan alam sangat rendah yaitu 0,48-1,70 UT/ha/tahun; dan produksi hijauan pada padang
penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk rencana pengembangan ternak sapi bali dan/atau sapi potong untuk mendukung program kecukupan daging sapi di provinsi Papua Barat.
Kata Kunci: Padang penggembalaan alam, komposisi botanis, kapasitas tampung
PENDAHULUAN
Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan
ternak sapi potong karena daya dukung wilayah berupa padang penggembalaan
Prosiding Semnas II HITPI Page 264
alami cukup luas. Ketersediaan sumberdaya alam tesebut memberikan peluang
besar bagi pengembangan usaha peternakan sapi bali. Namun demikian sapi bali saat ini cenderung mengalami penurunan kualitas karena adanya seleksi negatif
ditingkat peternak (Djagra et al., 2002; Jan, 2000; Talib et al., 2002; Supriyantono et al., 2011).
Pembangunan peternakan secara nasional secara mutlak memerlukan
peran serta peternakan rakyat, mengingat produksi ternak di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional (99,70%) dan sisanya
sebesar 0,30% diusahakan oleh perusahaan berskala besar (Soedjana, 2005). Sehingga sangat perlu untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam mengembangkan peternakan rakyat, melalui dukungan baik dari permodalan,
teknologi, bibit, manajemen pengembangan melalui standardisasi usaha peternakan.
Peningkatan kualitas bibit sapi bali dapat dilakukan dengan mengembangkan village breeding center (VBC) dengan melibatkan masyarakat. Salah satu daerah pengembangan VBC di Papua Barat adalah Kabupaten Kebar
yang memiliki hamparan padang penggembalaan seluas ±1.500 ha. Daerah ini diharapkan mampu menjadi salah satu lumbung daging sapi di Papua Barat guna
mendukung Program Swasembada Daging Sapi 2014. Pengembangan padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat
dilakukan hanya jika diketahui susunan/komposisi vegetasi dan kapasitas tampung
padang penggembalaan dimaksud.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi yaitu padang penggembalaan alam
kampung Inam dan kampung Jandurau. Kampung Inam dan Kampung Jandurau merupakan bagian dari wilayah distrik Kebar, kabupaten Tambrauw, provinsi
Papua Barat. Lokasi pengambilan sampel (cuplikan) ditetapkan secara purposif
berdasarkan jenis vegetasi (hijauan pakan ternak) dan luas padang penggembalaan
alam. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal. Menurut petunjuk Susetyo (1980) yaitu untuk padangan dengan luas 65 ha, ditetapkan sebanyak 100
cuplikan. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal. Metode dry weight rank (DWR) digunakan untuk mengestimasi komposisi
jenis-jenis hijauan pakan (komposisi botani) atas dasar bahan kering. Metode DWR digunakan dengan mengobservasi hanya tiga jenis hijauan yang mempunyai kontribusi besar yang ditemukan dalam kuadran (ranking 1, 2, dan 3) tanpa melakukan pemotongan
dan pemisahan spesies hijauan. Selanjutnya untuk mengetahui produksi hijauan dan
sampel untuk analisis laboratorium, hijauan yang terdapat dalam areal kuadran dipotong sekitar 5-10 cm di atas permukaan tanah dan ditimbang beratnya
menggunakan timbangan digital kapasitas 5 kg dengan ketelitian 10 g. Variabel penelitian meliputi komposisi botani dan kapasitas tampung.
Komposisi botani dihitung untuk mengetahui komposisi atau susunan spesies
hijauan pada suatu padang penggembalaan. Jenis hijauan yang termasuk dalam ranking 1, 2, dan 3, tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan.
Selanjutnya dikalikan dengan angka konstanta berturut-turut 8,02; 2,41; dan 1 (jika total tidak sama) atau 70,2; 21,1; dan 8,7 (jika total sama) ,
Prosiding Semnas II HITPI Page 265
Kapasitas tampung dihitung berdasarkan petunjuk Subagio dan
Kusmartono (1988). Menentukan kuantitas produksi hijauan dalam kuadran 1 m2. Menetapkan Proper use factor (PUF) tergantung pada jenis ternak yang
digembalakan, spesies hijauan, dan kondisi tanah padang penggembalaan. Penggunaan padang penggembalaan ringan, sedang, dan berat nilai PUFnya masing-masing 25-30%, 40-45%, dan 60-70%. Menaksir kebutuhan luas tanah
per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan dan pada penelitian ini diperhitungkan sebesar 10% dari berat badan ternak. Menaksir
kebutuhan luas tanah per tahun didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu padang penggembalaan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali (periode istirahat) dan siap untuk digembalakan lagi.
Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari.
Taksiran kebutuhan kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin, yaitu : (Y-1) s = r, dimana : Y = angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per tahun terhadap kebutuhan per bulan, s = periode merumput, dan r
= periode istirahat. Angka konversi luas tanah yang dibutuhkan dari per bulan menjadi per tahun sebesar 3,3 ((Y-1) s = r ; r = 70 hari, dan s = 30 hari).
Pengukuran kapasitas tampung sapi dengan dasar kebutuhan pakan untuk ternak sapi dewasa per hari adalah 3,1 kg bahan kering atau 10% dari berat badannya (Reksohadiprodjo, 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Botani
Hasil penelitian menunjukkan bahwa padang penggembalaan alam
memiliki variasi jenis hijauan (vegetasi) sangat tinggi. Jenis-jenis hijauan yang tercatat pada tiga ranking terbanyak untuk dua lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada dua lokasi kampung Inam
NO Nama hijauan/Spesies Kel. Wanimeri
(%)
Kel.
Bitawi
(%)
Keterangan
1 Bothriochloa ischaemum 14,29 R
2 Kyllinga brevifolia (teki) 38,93 R
3 Ischaemum indicum 24,64 R
4 Cyperus rotundus (teki) 4,28 R
5 Hyparrhenia hirta 14,29 R
6 Scirpus grossuss (teki) 3,56 R
7 Imperata cylindrica 73,42 R
8 Osmunda regalis (paku) 22,01 BP
9 Mikania cordata 2,28 BP
10 Lycopodium cernuum (paku) 2,28 BP
TOTAL 100,00 100,00
Rumput 100,00 73,42
Hijauan lain - 26,58
Keterangan : Kel. = kelompok; Ket. = keterangan, R = rumput, BP = bukan pakan ternak
Pada lokasi kampung Inam jenis hijauan yang dominan sangat berbeda pada dua lokasi, masing-masing lokasi kelompok Wanimeri adalah tumbuhan teki
Prosiding Semnas II HITPI Page 266
(Kyllinga brevifolia) sebesar 38,93% dan 100% termasuk kategori rumput,
sedangkan pada kelompok Bitawi didominasi oleh Imperata cylindrica sebesar 73,42% dengan sebaran 73,42% rumput dan 26,58 bukan pakan ternak.
Tabel 2. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada lokasi kampung Jandurau
No. Nama hijauan/Spesies Persen Ket.
1. Paspalum conjugatum 18,28 R
2. Ischaemum indicum 12,87 R
3. Ipomea batas 0,73 BP
4. Phragmites karka 1,75 R
5. Mikania cordata (bkn pakan) 0,73 BP
6. Cyperus rotundus (teki) 9,36 R
7. Sida rhumbefolia 2,48 BP
8. Imperata cylindrica 20,76 R
9. Osmuda regalis (paku tauge) 11,70 BP
10. Rumput kelinci btg merah 0,73 R
11. Hyparrhenia hirta 9,79 R
12. Amaranthus sp (bayaman-bkn hmt) 1,75 BP
13. Panicum bunga coklat 6,58 R
14. Kyllinga brevifolia (teki) 1,75 R
15. Lycopodium cernuum (paku jari) 0,73 BP
TOTAL 100,00
Rumput 73,42
Hijauan lain 26,58
Keterangan : Ket. = Keterangan, R = Rumput, BP = Bukan pakan ternak Pada lokasi kampung Jandurau tiga jenis hijauan yang dominan, masing-
Ischaemum indicum dan tidak ditemukan jenis hijauan legum, tetapi hanya jenis rumput dan jenis hijauan lainnya yang tidak termasuk jenis hijauan pakan (tidak
dapat dikonsumsi ternak). Kondisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Setiana (2010) bahwa ternak ruminansia secara alami memanfaatkan tumbuhan untuk kebutuhan hidupnya, terutama jenis tumbuhan berasal dari famili Gramineae atau
Poacea atau rumputan. Menurut Kristianto dan Nappu (2004), sistem pemeliharaan sapi potong di tingkat petani juga masih kurang optimal, oleh
karena ternak sapi pada siang hari diikat di padang penggembalaan alam dengan kualitas hijauan yang masih rendah, karena komposisi hijauan pakan ternak didominasi oleh alang-alang dan semak belukar. Selanjutnya dikemukakan
bahwa hijauan pakan ternak lokal yang tidak bernilai gizi tinggi merupakan penyebab utama rendahnya produks i sapi.
Potensi Produksi Hijauan dan Kapasitas Tampung
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas tampung padang
penggembalaan alam di dataran Kebar cukup rendah yaitu berkisar antara 0,48-1,70 UT/ha/thn. Potensi produksi hijauan dan kapasitas tampung padang
penggembalaan menurut lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.
Prosiding Semnas II HITPI Page 267
Tabel 3. Potensi produksi hijauan dan estimasi kapasitas tampung
a. Padang Penggembalaan Alam
Variabel Pengamatan/Uraian
KAMPUNG INAM KAMPUNG JANDURAU
Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam
Produksi hijauan , kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478
Produksi hijauan , kg/ha, *10.000 9550 17510 10540 4780
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa produktivitas padang penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk mendukung rencana
pengembangan ternak sapi potong (sapi bali). Kapasitas tampung padang penggembalaan alam sangat rendah yaitu berkisar antara 0,48-1,70 UT/ha/thn atau setinggi-tingginya dapat menampung 2 unit ternak (2 ekor sapi betina dewasa atau
1 UT setara satu ekor sapi betina dewasa dengan berat badan 250 kg). Diperlukan upaya-upaya perbaikan padang penggembalaan alam dan
peningkatan kapasitas tampung. Salah satu upaya alternatif yaitu membangun kebun hijauan pakan ternak. Jika dalam luasan 1 ha ditanami rumput raja dengan jarak tanam 100 cm × 60 cm, untuk jangka waktu satu tahun dapat mencapai
kapasitas tampung sekitar 28,72 UT/ha/thn atau setara 28,72 atau 29 ekor sapi
dewasa (lihat Tabel 3). Untuk mendukung peningkatan produksi sapi potong dan usaha untuk mencapai program swasembada daging sapi, maka diperlukan perbaikan tatalaksana pemeliharaan sapi di tingkat petani secara tepat (Kristianto
dan Nappu, 2004)
Komposisi Kimia Padang Penggembalaan Alam
Hasil analisis komposisi kimia nutrien hijauan pakan di lokasi penelitian, masing-masing bahan kering (BK), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat
kasar (SK), dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) disajikan pada Tabel 4.
Prosiding Semnas II HITPI Page 268
Tabel 4. Komposisi kimia hijauan pakan di padang penggembalaan alam Kebar
No Komponen Komposisi Kisaran
1. Air (%) 9,74 8,25 – 10,75 2. BK (%) 90,26 89,26 – 91,75
Ca (%) 0,0874 0,0357 – 0,1162 P (%) 0,0809 0,0651 – 0,0993
8. GE (Kal/g) 4391,63 4092,55 – 4747,86 Keterangan :
BK =bahan kering, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK = serat kasar,
BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, Ca = kalsium, P = fosfor, Kalori = gross energy (GE) Rata-rata kandungan PK hijauan pakan pada padang penggembalaan alam
sebesar 3,99% termasuk dalam kategori sangat rendah. Hal ini sesuai yang
dikemukakan oleh Siregar (1994) bahwa hijauan dikategorikan pada kualitas rendah bila kandungan protein kasarnya kurang dari 5%, sedang bila kandungan
PK adalah 5-10%, dan tinggi bila PK hijauan adalah lebih besar dari 10%. Rata-rata kandungan PK padang penggembalaan sebesar 3,99% (Tabel 1)
disebabkan karena komposisi botani hijauan sebagian besar adalah jenis rumput,
sebagian kecil hijauan bukan pakan, dan tanpa leguminosa. Kondisi padang penggembalaan ini akan berdampak pada rendahnya produktivitas ternak karena
kebutuhan minimal PK bagi ternak ruminansia sebesar 8% tidak terpenuhi. Produktivitas dan kualitas padang penggembalaan di kampung Inam dan
Jandurau perlu ditingkatkan dengan introduksi hijauan pakan jenis rumput dan
leguminosa yang sesuai kondisi setempat atau sesuai dengan jenis tanah dan kondisi iklim.
KESIMPULAN
Hijauan pakan yang mendominasi padang penggembalaan alam Kebar adalah jenis rumput dengan kapasitas tampung sangat rendah yaitu 2 UT/ha/tahun.
Produktivitas padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat ditingkatkan dengan introduksi spesies yang cocok dan potensi produksi tinggi dan/atau perlu dilakukan program pemberian pakan tambahan (dasar hijauan pakan).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Proyek: DP2M
Ditjen Dikti, Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Nomor Kontrak:
244/SP2H/PL/Dit.Litabmas/ III/2012.
Prosiding Semnas II HITPI Page 269
DAFTAR PUSTAKA
Djagra, I.B., I.G.N.R. Haryana, I.G.M. Putra, I.B. Mantra, A.A. Oka., 2002. Ukuran Standar Tubuh Sapi Bali Bibit. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan Fakultas Peternakan Universitas
Udayana, Denpasar. Jan, R., 2000. Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan
Pengembangan Sapi Bali di Daerah Tingkat I Bali. Tesis PPS-UGM, Yogyakarta.
Kristanto, L.K dan M. B. Nappu. 2004. Prospek Pengembangan Sapi Potong
Melalui Pola Pengembangan Kolektif Dalam Upaya Swasembada Daging Sapi di Kalimantan Timur. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Samarinda
Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak. BPFE. Yogyakarta.
Kebutuhan luas lahan per bulan UT/ha/ta 262080/9125 28,72
Estimasi Produksi Hijauan Produksi Hijauan TOTAL
Rata-Rata (kg/ha) Rata-Rata (kg/ha) PRODUKSI
HUJAN
(100%)
PANAS
(60%) HUJAN KEMARAU (kg/ha/thn)
67.200,00
40.320,00
168.000,00
94.080,00 262.080,00
Prosiding Semnas II HITPI Page 271
hun
c. Total kapasitas tampung
29,68 30,49 29,78 29,20
PERTUMBUHAN GENERATIF ALFALFA (Medicago sativa L)
MUTAN TROPIS, RESPON TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT
(HASIL MUTASI INDUKSI EMS)
Widyati-Slamet. Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan manajemen pemupukan fosfat untuk pertumbuhan generatif alfalfa yang ditanam pada ketinggian tempat
tertentu. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), terdiri dari 5 perlakuan (0, 50, 100, 150, 200 kg P2O5/ha) dan 4 kelompok ulangan. Variabel
yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemupukan fosfat tidak berpengaruh terhadap
jumlah tanaman yang berbunga dan berpolong pada umur 14 minggu. Pemupukan fosfat tidak nyata meningkatkan persen tanaman alfalfa yang berbunga dan
berpolong, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Alfalfa mutan membutuhkan pemupukan fosfat 122,50 kg P2O5/ha untuk mendapatkan berat per 100 biji yang maksimum.
Kata kunci: alfalfa, pemupukan P, pertumbuhan generatif
ABSTRACT
The research was aimed to obtain management of Phosphat fertilization
for the growth generative of alfalfa at a certain altitude. The research Completely Randomized Block Design with 5 treatments (0, 50, 100, 150, 200kg P2O5 /ha)
and 4 replicated. The variable observed growth generative of alfalfa (number of flowering plants, the number of pods plants and weight per 100 seeds). The result of research showed P fertilization had no effect on the number of flowering plants
and pod plants at the age of 14 weeks. P fertilization did not increase the percent of alfalfa plants were flowering and pods. Fertilizing of mutan alfalfa with 122.50
kg P2O5/ha of P-fertilizer provided the maksimum weight of 100 seeds. Keywords: alfalfa, P fertilization, generative growth
PENDAHULUAN
Alfalfa (Medicago sativa L. ) dikenal sebagai “Queen of Forages", palatabel dan bergizi, kaya protein, vitamin dan mineral (Orloff, 1997), dapat dipakai sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak karena
mempunyai serat kasar dan protein kasar yang tinggi. Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate (Hoy et al., 2002) dan
merupakan tanaman hari panjang. Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan
kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative
Prosiding Semnas II HITPI Page 272
Extension Service, 1998).
Kelebihan tanaman alfalfa dapat hidup 3 hingga 12 tahun, tergantung varietas dan iklim di mana tanaman itu hidup. Tingginya dapat mencapai satu
meter, memiliki akar yang sangat panjang hingga mencapai 4,5 meter. Keunggulan itulah yang menyebabkan alfalfa mampu bertahan hidup, sekalipun saat terjadi kekeringan.
Alfalfa adalah tanaman tahunan berupa herba berakar dalam, bercabang dan membentuk rhizom, mempunyai batang mendatar, menanjak sampai tegak,
berkayu di bagian dasar, cabang-cabang di bagian dasar dan menanjak setinggi 30-120cm, satu tangkai berdaun tiga (trifoliat), panjang daun 5-15mm, berbulu pada permukaan bawah, tangkai daun berbulu, bunga berbentuk tandan yang rapat
berisi 10-35 bunga, mahkota berwarna ungu atau biru jarang yang berwarna putih (Mannetje dan Jones, 2000). Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa tersaji
pada Ilustrasi 1. Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah
temperate (Hoy et al., 2002). Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari
dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan
kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Karakteristik Alfalfa di daerah temperate antara lain: kapasitas produksi tinggi (40-150 ton bahan segar/ha/th), kualitas hijauan tinggi
(PK 18-24%), nilai kemampuan tumbuh tinggi yang dipengaruhi tekanan musim dan resistensi terhadap penyakit daun dan tunas serta penyakit akar, kecepatan
tumbuh setelah pemotongan, penghasil biji yang baik (Smith et al., 1986). Alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan merupakan hasil perbaikan dari alfalfa subtropis yang dilakukan para ahli pertanian di Taiwan, dapat beradaptasi dan tumbuh baik
di daerah tropis di Propinsi Taiwan sebagai penghasil hijauan. Perbaikan alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan telah dilakukan agar dapat beradaptasi secara
alami sebagai penghasil biji. Alfalfa di Indonesia belum menghasilkan biji. Akibatnya tanaman alfalfa tidak berkembang karena keterbatasan bibit (Sajimin, 2011).
Tanaman Alfalfa
Daun Alfalfa
Bunga Alfalfa
Polong alfalfa
Ilustrasi 1. Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa
Prosiding Semnas II HITPI Page 273
Perbaikan tanaman dapat dilakukan antara lain dengan melakukan mutasi
induksi yang dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga benih yang dihasilkan dapat dipakai sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan tanaman yang
dikehendaki. Keragaman yang tinggi merupakan salah satu faktor untuk merakit varietas unggul baru (Hutami et al., 2006).
Unsur fosfat (P) pada dosis tinggi lebih diinginkan legume untuk memacu
pertumbuhan (Mikkelsen, 2004; Liani et al., 2011). Penelitian Yu et al. (2007) menunjukkan bahwa alfalfa sangat sensitif terhadap P tersedia dan terdapat
korelasi positif antara penurunan P tanah tersedia dengan hasil hijauan alfalfa setelah berumur 3 tahun. Pemupukan P sampai 100kg P2O5 /ha dan Interval defoliasi yang berbeda tidak mempengaruhi produksi bahan kering (BK), protein
kasar (PK) maupun serat kasar (SK) hijauan alfalfa (Widyati-Slamet et al., 2008). Liani et al. (2011), mendapatkan produksi bahan kering tertinggi dengan
pemupukan TSP dengan dosis 125 mg P2O5/kg tanah.
MATERI DAN METODE
Materi Penelitian yang digunakan biji hasil alfalfa mutan, hasil mutasi
induksi dengan EMS (Ethyl Methyl Sulfanate), kebun percobaan, kompos, pupuk Urea (45%N), SP-36 (36% P2O5 ), KCl (52%K2O), dan insektisida. Penelitian dilaksanakan di kebun di desa Sidomulyo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten
Semarang yang terletak pada ketinggian + 400 m dpl. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) terdiri dari 5
perlakuan dosis fosfat (0, 50, 100, 150 dan 200kg P2O5/ha) dengan 4 kelompok ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100
biji. Data yang diperoleh diolah secara statistik menurut prosedur analisis
ragam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati, apabila terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980) dan Uji Polinomial. Apabila diperoleh pengaruh kuadratik,
dirumuskan dalam persamaan Polinomial Kuadratik y = a + bx + cx2, selanjutnya untuk mendapatkan Titik Puncak (TP) perlakuan pemupukan P optimum
diperoleh dengan rumus; TP = - b , di mana a = intersep, b, c = koefisien regresi linier dan kuadratik.
2 c
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tempat Penelitian
Penelitian untuk produksi biji dilakukan pada lahan di desa Sidomulyo kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang terletak pada ketinggian +
400 m diatas permukaan laut. Hasil analisis tanah lahan penelitian mengandung P potensial 499,39 ppm dengan pH 6,57 Temperatur selama penelitian berkisar
antara 23-35oC dengan kelembaban berkisar antara 31-80%. Masa adaptasi tanaman alfalfa dari persemaian ke lahan + 2 minggu. Hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang menyebabkan curah
hujan tidak terukur. Data yang didapat dari Balai Meteorologi dan Geofisika didapatkan bahwa curah hujan selama bulan September 133 mm (4 hari hujan)
Prosiding Semnas II HITPI Page 274
lainnya tidak terukur. Curah hujan bulan Oktober 137 mm (10 hari hujan) lainnya
tidak terukur. Curah hujan bulan Nopember 217 mm (19 hari hujan) lainnya tidak terukur. Pengamatan pada tanaman alfalfa dilakukan selama 16 minggu (Agustus-
Nopember 2011) setelah benih ditanam ke lahan, karena pengaruh cuaca, beberapa tanaman belum berbiji, hal tersebut disebabkan karena Alfalfa tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat.
Pertumbuhan generatif alfalfa
Jumlah Tanaman Berbunga Jumlah tanaman yang berbunga diamati pada umur tanaman 14 minggu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berbunga. Persen jumlah tanaman yang berbunga pada pemupukan P yang beda tersaji pada
Tabel 1. Tabel 1. Jumlah tanaman yang berbunga (14 mg) pada Pemupukan P yang
P5 (200kg P2O5/ha) 81,25 81,25 87,25 62,5 78,06 Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Pemupukan P tidak mempengaruhi jumlah tanaman yang berbunga. Hasil
analisis tanah menunjukkan bahwa P2O5 total 323,43 ppm melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm) (Hardjowigeno, 1987), tetapi P yang ada pada
tanah bukan P tersedia, sehingga pemupukan P dengan berbagai level belum mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa. Alfalfa sangat sensitif dengan P tersedia (Yu et al., 2007), sehingga jika kandungan P pada media tanam cukup
tinggi, pemberian P tidak efektif. Kemungkinan P yang ada pada media tanam dalam bentuk mineral yang kompleks, biasanya sangat lambat tersedia dan sulit
diserap oleh tanaman (Agustina, 2004). Unsur P pada dosis tinggi lebih diinginkan legume untuk memacu pertumbuhan (Mikkelsen, 2004). Alfalfa pada umur 10 minggu setelah tanam sudah memasuki akhir fase vegetatif, karena
beberapa tanaman dalam petak sudah mulai berkuncup dan tinggi tanaman lebih dari 30 cm. Fase reproduktif alfalfa dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap
terakhir vegetatif dengan ditandai belum terdapat kuncup bunga dengan tinggi tanaman lebih dari 30 cm, tahap kuncup bunga, tahap berbunga pertama, berbunga semuanya dan pembungaan terakhir (Bagg, 2003).
Tanah lokasi penelitian pada waktu hujan tergenang air tetapi pada waktu kering tanahnya padat sehingga aerasi kurang baik. Aerasi yang kurang baik
penyerapan P dan unsur-unsur lain nya akan terganggu. Selama penelitian hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang
Prosiding Semnas II HITPI Page 275
menyebabkan curah hujan tidak terukur. Hujan yang turun hampir sepanjang
penelitian menyebabkan tanaman bagian bawah busuk karena tergenang air. Kisaran ph 4-9 secara normal. Kelarutan P paling tinggi pada pH yang rendah,
tetapi pada kenyataannya seringkali ion ini tidak banyak tersedia dalam larutan tanah, karena adanya ion Fe, Al atau Ca yang bereaksi dengan ion orthofosfat menjadi bentuk tambahan yang tidak tersedia dan sebagian besar fosfor yang
mudah larut diambil mikroorganisme tanah untuk pertumbuhannya yang diubah menjadi humus (Agustina, 2004). Fungsi P dalam tanaman antara lain adalah
mempercepat pembungaan. Jumlah Tanaman yang berpolong
Jumlah tanaman yang berpolong diamati pada umur tanaman 14 minggu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berpolong. Persen jumlah tanaman yang berpolong tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah tanaman yang berpolong (14 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda
Fosfat (P) cukup penting untuk produksi biji yang memuaskan. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan puncak yg cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan
meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan memperpanjang periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif dan hasil biji lebih rendah. Saat bunga sudah mulai mekar hujan turun sepanjang hari sehingga banyak bunga yang rontok dan daun alfalfa membusuk karena kelembaban cukup tinggi 75-85. Pertumbuhan alfalfa
membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5
atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998).
Waktu yang ideal alfalfa berbunga untuk produksi biji yang tinggi adalah
pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, yang terus sampai biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station
and Cooperative Extension Service, 1998). Kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi menyebabkan pada saat berbunga musim kemarau sudah berakhir dan hujan pada akhir bulan Nopember turun sepanjang hari walaupun curah hujan
masih rendah.
Prosiding Semnas II HITPI Page 276
Alfalfa berbunga kira-kira 7 minggu tiap periode, jika terjadi penyerbukan,
menghasilkan polong biji dan masak 3 sampai 5 minggu. Pada kondisi yang bagus tiap polong mengandung 3 sampai 5 biji. Dibawah kondisi tekanan
serangga yang tinggi, beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009).
Berat per 100 biji Bulan Nopember curah hujan merata sepanjang hari sehingga polong yang
telah terbentuk tidak mengandung biji. Beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup, hal tersebut disebabkan tanaman di bawah kondisi tekanan serangga yang tinggi (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009). Alfalfa
tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan
puncak yang cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan menunda periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif
dan hasil biji lebih rendah. Waktu alfalfa berbunga yang ideal untuk produksi biji yang tinggi adalah pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira
3 minggu, dan biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap berat per 100 biji alfalfa. Berat per 100 biji alfalfa pada pemupukan P yang berbeda tersaji pada Tabel 3.
Hasil uji Duncan menunjukkan berat per 100 biji pada pemupukan P dosis 50 kg P2O5/Ha lebih tinggi dari semua perlakuan pemupukan. Pemupukan sampai 50 kg P2O5/Ha meningkatkan berat per 100 biji pada alfalfa mutan kemudian
menurun pada perlakuan 100, 150, dan 200 kg P2O5/Ha.
Tabel 3. Berat per 100 biji (16 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda ========================================================== Perlakuan
P5 (200kg P2O5/ha) 1,3900 0,9240 0,8500 0,8700 1,0085b *Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Hasil uji lanjut menunjukkan besarnya nilai koefisien regresi pada
persamaan alfalfa mutan Y = 0,8348 + 0,0049 X - 0,00002 X2 (R2 = 0,13) yang mempunyai titik puncak 122,50 kg P2O5/Ha. Pemupukan alfalfa mutan 122,50 kg
P2O5/Ha memberikan berat per 100 biji yang optimum walaupun hanya dipengaruhi 13% oleh pemupukan P, Hal tersebut disebabkan kandungan P pada media tanam (499,39 ppm) melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm)
(Hardjowigeno, 1987), sehingga pemupukan P dengan berbagai level tidak akan
Prosiding Semnas II HITPI Page 277
mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa secara nyata.
Perubahan asam amino pada rantai DNA akan mempengaruhi metabolisme tanaman. disebabkan alfalfa mutan mengandung asam amino yang
kaya AT dan GC, sehingga beberapa asam amino berubah karena komposisi nya berubah (Yuwono, 2006). Perubahan asam amino akan mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Proses metabolisme tanaman akan mempengaruhi produksi
tanaman (biji). Pemakaian mutagen EMS dengan konsentrasi yang tepat menunjukkan mutasi yang positif (Chopde, 2006). Mutasi dengan EMS akan
menunjukkan peningkatan perubahan genetik (Jabeen dan Mirza, 2002). Perubahan genetik pada organisme yang tercermin dari perubahan ekspresinya mungkin dapat mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu.
Berdasarkan variabel genetik, alfalfa memiliki kemampuan beradaptasi yang baik untuk kondisi lingkungan yang berbeda (Radovic et al., 2009).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang dapat diambil adalah, bahwa pada kondisi tempat penelitian, tanaman alfalfa mutan kurang responsif terhadap pemupukan P.
Pemupukan P tidak meningkatkan persen tanaman berbunga dan berpolong alfalfa mutan, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Pemupukan 122,50 kg P2O5/ha cukup memberikan berat per 100 biji yang maksimum.
Dapat disarankan bahwa, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa mutan ini untuk produksi biji pada
kondisi yang lebih mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Agriculture Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998. Alfalfa
Production Handbook. Kansas State University, Manhattan, Kansas. Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta.
Bagg, J. 2003. Cutting Management of Alfalfa. Government of Ontario. Ontaria Hoy. D. M,., K. J. Mooere, J. R. George and E. C. Brummer. 2002. Alfalfa Yield
and Quality as Influenced by Establishment Method. Agron J. 94: 65-71. Hutami, S., I. Mariska dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan Keragaman Genetik
Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. J. AgroBiogen 2(2):81-88.
Liani, Y., H. H. Qing, Sumarsono, D.W. Widjajanto and J. Guanjie. 2011. Phosphate rock application on alfalfa (Medicago sativa L) production and
macronutrient in latosol soil. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 36 (4) : 290-296.
Mannetje, L dan R.M. Jones. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. PT.
Balai Pustaka, Bogor. Mikkelsen, R. 2004. Managing phosphorus for maximum alfalfa yield and quality.
Dalam: Proccedings National Alfalfa Symposium, San Diego 13-15 December 2004. CA, CU Cooperative Extension, University of California, Davis. Pp 617-622.
Oklahoma Cooperative Extension Service. 2009. Alfalfa Production Guide for the Southern Great Plains. Division of Agricultural Sciences and Natural
Prosiding Semnas II HITPI Page 278
Resources. Oklahoma State University, Stillwater, Oklahoma.
Sajimin. 2011. Medicago sativa L (alfalfa) sebagai tanaman pakan ternak harapan di Indonesia. Wartazoa vol 21(2):91-98.
Smith D, Raymond J.B and Richard P W. 1986. Forage Management. 5th Edition. Kendall/Hunt. Publishing Company. Dubuque. Iowa.
Steel, R.G.D and J.H Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistics. Mc.
GrawHill Book Company, Inc. New York. Widyati-Slamet, F. Kusmiyati dan E.D. Purbayanti. 2008. Produksi Alfalfa
(Medicago sativa). dengan Pemupukan Fosfat dan Interval Defoliasi yang Berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 33 (2 ): 158-163.
Yuwono, T.W. 2008. Bioteknologi Pertanian. Cetakan kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogjakarta Yu Jia, Xu Bingcheng, Li Fengmin and Wang Xiaoling. 2007. Availability and
Contributions of soil phosphorus to forage production of seeded alfalfa in semiarid Loess Plateau. Acta Ecologica Sinica. 2007, 27(1): 42-47.
Pendistribusian bahan tanam stek masih menjadi kendala karena sifatnya
yang mudah rusak akibat faktor luar seperti mikroba dan fungi. Metode penyimpanan stek yang baik diperlukan agar stek memiliki daya simpan yang
lebih lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahan dan alat yang dapat memperpanjang umur stek dan menentukan lama masa simpan yang terbaik untuk bahan tanam stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan ulangan 5 kali. Faktor A adalah perlakuan
pengawetan berupa 4 jenis bahan atau alat pengawet yaitu cairan gula 2%, cairan lilin, silica gel dan refrigerator (4°C) dan faktor B adalah 5 tingkat lama penyimpanan 3, 6, 9, 12 dan 15 hari. Bahan yang digunakan adalah stek rumput
gajah (Pennisetum purpureum Schummach) sebanyak 625 batang. Peubah yang diukur adalah keadaan umum stek, penyusutan bobot, awal pertumbuhan setelah
tanam, daya tumbuh, dan tinggi vertikal. Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi nyata (P<0,05) terhadap
penyusutan bobot stek yang berpengaruh nyata antara penggunaan bahan
pengawet dengan lama penyimpanan, interaksi terjadi pada bahan pengawet gula, silica gel, dan kontrol. Interaksi menunjukkan bahwa optimal lama penyimpanan
kurang lebih 13 hari. Lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh, dimana lama penyimpanan 15 hari menunjukkan penurunan daya tumbuh yang signifikan. Lama penyimpanan dan bahan pengawet berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap tinggi vertikal, dimana penyimpanan 15 hari secara signifikan berpengaruh pada tinggi vertikal dan rataan tinggi vertikal tertinggi
pada penggunaan lilin dan gula. Daya simpan stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach) dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahan pengawet gula, silica gel, lilin, dan refrigerator pada suhu 4° C selama 15 hari.
Kata kunci: Pennisetum purpureum Schummach, stek, bahan pengawet, penyimpanan.
ABSTRACT
Elephant grass‟s producers still can not distribute more than a week, because of the damaged of the cutting by external factors such as microbes and
fungi. Therefor it is necessary that both storages methods cuttings that have a longer shelf life. The aim of this study was to determine the materials and tools that can extend the life of old cuttings and det ermine the shelf life is best for
planting material cuttings of elephant grass. Experimental design used was completely randomized design (CRD)
factorial with repeated 5 times. A factor is a preservation treatment is 4 types of
materials or equipment that is preservative 2% liquid sugar, liquid wax, silica gel, an refrigerator (4°C) and factor B are 5 levels of storage time of 3, 6, 9, 12, and 15
days. The materials used are cutting grass counted 625 pieces. The variables measured were the general state of cuttings, weight decrease, and early growth after planting, growing power, and vertical height.
Results showed that the real interaction (P<0.05) the weight decrease significant cuttings between the used of preservatives with storage time, the
interaction occurs in sugar preservatives, silica gel and control. The teraction showed a point of intersection between the sugar, silica gel and control over storage time chart at approximately 13 days. Intersection indicates that the
maximum points of planting cuttings storage materials are given preservative sugar, silica gel, and control is about 13 days. Storage time significantly (P<0,05)
the ability of grow, where teh storage time of 15 day showed a significant reduction in the growth of storage longer than others. Preservative retention and significantly (P<0.05) to the vertical height, where the storage time of 15 day
showed higher average vertical drop significantly and the average height of the highest vertical is when using wax and sugar preservatives. The shelf life cuttings
of elephant grass (Pennisetum purpureum Schummach) can be improved by using sugar preservatives, silica gel, wax, and refrigerator at 4°C for 15 days storage time and quality is good for 15 days of shelf life that is using a refrigerator at 4°C.
Kendala yang dihadapi pada saat penyediaan dan penyebaran bahan tanam
stek (vegetatif) adalah sifatnya yang mudah rusak akibat proses fisiologis dan invasi mikroorganisme yang dapat menurunkan kandungan bahan organik. Dalam
distribusi stek yang relatif jauh memerlukan upaya penanganan stek yang tepat untuk mempertahankan kualitas bibit dan mempertahankan daya tumbuh selama penyimpanan. Bahan-bahan dan alat seperti lilin, gula, silica gel dan refrigerator
dapat digunakan sebagai sarana pengawetan. Penggunaan sarana pengawetan tersebut diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan dapat membantu
penyebaran hijauan yang berkualitas tinggi ke daerah yang membutuhkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa teknik
pengawetan untuk dapat mempertahankan umur bahan tanam stek rumput gajah
(Pennisetum purpureum Shummach) selama penyimpanan
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan mulai bulan April-Mei 2012, di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor.
Materi
Bahan yang digunakan adalah stek Pennisetum purpureum Schummach
umur 4 bulan, panjang 20-25 cm, sebanyak 625 stek. Stek diambil dari tanaman induk yang seragam dari Laboratorium Lapang Agrostologi. Bahan pengawet
Prosiding Semnas II HITPI Page 281
yang digunakan adalah larutan gula 2%, lilin, silica gel, dan pupuk. Alat yang
digunakan yaitu: refrigerator, karung, tali, polybag, dan cangkul.
Metode
Persiapan Stek dan Bahan Penyimpanan Stek 1. Pencelupan lilin
Kedua ujung stek dicelupkan ke dalam lilin yang telah. Setelah itu stek didiamkan hingga lilin memadat, lalu dimasukkan ke dalam karung dan diikat.
2. Pencelupan cairan gula Pencelupan stek pada cairan gula menggunakan konsentrasi 2%. Kedua ujung stek direndam di dalam cairan gula selama 30 menit. Stek ditiriskan lalu
dimasukkan ke dalam karung dan diikat dengan rapat. 3. Penambahan silica gel
Stek ditimbang satu persatu, lalu dimasukkan dalam karung bersama silica gel 30 g dalam kemasan berpori. Kemudian karung tersebut diikat dengan rapat.
4. Penggunaan refrigerator (suhu 4°C)
Refrigerator diatur suhunya menjadi 4ºC. Stek ditimbang dan dimasukkan ke dalam karung lalu diikat dan dimasukkan ke dalam refrigerator.
Penyimpanan
Penyimpanan stek dilakukan pada setiap perlakuan pengawetan dibagi
menjadi 5 yaitu lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari.
Penanaman
Setelah disimpan, stek ditimbang, dan ditanam di polybag yang berisi tanah dan pupuk kandang (10 g/polybag), KCl (2 g/polybag), dan SP36 (2 g/polybag.
Peubah yang diamati
a. Keadaan umum stek Keadaan umum yang diamati adalah perubahan warna, bau, fisik (tumbuhnya cendawan) dan tekstur, pada setiap lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari.
b. Penyusutan bobot stek Stek ditimbang sebelum dan sesudah penyimpanan, dan dihitung selisihnya.
Rumus : selisih bobot stek (g) = bobot stek awal (g) – bobot stek akhir (g). c. Awal pertumbuhan setelah tanam
Diamati dan dicatat munculnya tunas dan daun awal setelah penanaman stek
(setiap 2 hari hingga hari ke-14). d. Daya tumbuh
Pertumbuhan dilihat setelah muncul dua daun pada stek setiap perlakuan. e. Tinggi vertikal
Tinggi vertikal stek diukur 15 Hari setelah Tanam (HST).
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan pengulangan 5 kali, dan setiap ulangan terdiri dari 5 stek. Faktor A adalah perlakuan bahan/alat pengawet dan faktor B adalah lama
penyimpanan.
Prosiding Semnas II HITPI Page 282
Faktor A = Perlakuan bahan pengawet
A0 = Penyimpanan tanpa bahan pengawet (kontrol) A1 = Penyimpanan dengan cairan gula
A2 = Penyimpanan dengan cairan lilin A3 = Penyimpanan dengan silika gel A4 = Penyimpanan dengan mesin pendingin (refrigerator)
Faktor B = Lama penyimpanan stek B1 = Stek disimpan selama 3 hari
B2 = Stek disimpan selama 6 hari B3 = Stek disimpan selama 9 hari B4 = Stek disimpan selama 12 hari
B5 = Stek disimpan selama 15 hari
Model matematis yang digunakan pada penelitian ini yaitu: Yijk = µ + ai + bj + (ab)ij + eijk
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan untuk perlakuan bahan pengawet (A0,…,A5) ke-i perlakuan lama penyimpanan (B1,…,B5) ke-j dan ulangan k
µ = rataan umum ai = pengaruh perlakuan A ke-i bj = pengaruh perlakuan B ke-j
(ab)ij = pengaruh interaksi bahan pengawet ke-i dan lama penyimpanan ke-j eijk = galat faktor A ke-i, faktor B ke-j dan ulangan ke-k
Analisa data :
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam (ANOVA) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan yang dilakukan terhadap bahan tanam stek meliputi keadaan
fisiologis, kualitas, dan daya tumbuh yang disajikan pada Tabel 1. Stek dengan perlakuan menggunakan pengawet lilin sudah mulai mengalami perubahan warna,
bau, dan tekstur pada saat penyimpanan, karena lapisan lilin yang menutupi pori-pori pada stek tersebut rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Pengamatan bagian tekstur tidak terlihat adanya penyusutan meskipun bobotnya turun, hal ini
disebabkan karena penurunan bobot stek tidak terlalu banyak. Pelapisan lilin biasa digunakan pada buah-buahan. Permukaan buah yang dilapisi oleh lilin dapat
mencegah terjadinya penguapan air sehingga dapat memperlambat kelayuan dan menghambat laju respirasi (Suhaidi, 2008).
Pada perlakuan penanmabahan silica gel, terjadi perubahan warna stek
menjadi kuning kecoklatan, tumbuh cendawan dan terjadi penyusutan (keriput). Hal ini diduga karena kurang banyaknya jumlah silica gel yang digunakan
sehingga kurang dapat menyerap air yang dapat menyebabkan kebusukan dan kelembaban sehingga mempermudah tumbuhnya cendawan.
Stek yang disimpan dalam refrigerator dengan suhu 4°C warna, bau dan
tekstur stek masih tetap terjaga sama sebelum stek mendapatkan perlakuan. Pada penyimpanan dalam refrigerator aktivitas mikroba terhambat, sehingga tidak
Prosiding Semnas II HITPI Page 283
merusak stek. Menurut Thalib dan Widiawati (2010), penyimpanan pada suhu
dingin menyebabkan aktivitas mikroba akan semakin melemah.
Tabel 1. Perubahan Warna, Bau, Fisik (Cendawan), dan Tekstur Stek Selama Penyimpanan
Perlakuan Lama penyimpanan (hari)
3 6 9 12 15
Kontrol
Warna - + + + + + + + + + +
Bau - + + + + + + + + + +
Fisik (cendawan) + + + + + + + + + + +
Tekstur (keriput) - + + + + + + + + + +
Lilin
Warna - + + + + + + + +
Bau - - + + + + + +
Fisik (cendawan) + + + + + + + + +
Tekstur (keriput) - - - - -
Silica gel
Warna - + + + + + + + +
Bau - + + + + + + + + + +
Fisik (cendawan) + + + + + + + + + + + + +
Tekstur (keriput) - - + + + + + + + +
Refrigerator
Warna - - - - -
Bau - - - - -
Fisik (cendawan) - - - - -
Tekstur (keriput) - - - - -
Gula
Warna - + + + + + + + + + +
Bau - - + + + + + +
Fisik (cendawan) + + + + + + + + + + +
Tekstur (keriput) - - + + + + + + + +
Keterangan : Tanda (-) : belum ada perubahan, (+) : sudah terjadi perubahan dan semakin banyak
tanda (+) maka perubahan yang terjadi semakin meningkat.
Pada perlakukan dengan bahan pengawet gula, stek mengalami perubahan warna, bau, fisik (tumbuh cendawan), dan tekstur (keriput), yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang menjadikan gula sebagai sumber nutrisinya. Menurut Suwijah (2011), pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan karbon dan
nitrogen, dimana kebutuhan akan karbon dapat diperoleh dalam bentuk karbohidrat sederhana, misalnya adalah sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lain.
Penyusutan Bobot Stek
Data pada Tabel 2 menunjukkan adanya interaksi yang nyata (P<0,05)
terhadap perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan pengawet. Interaksi terjadi antara kontrol, gula dan silica gel, (Gambar 1), yang
Prosiding Semnas II HITPI Page 284
menunjukkan adanya titik perpotongan antara kontrol, gula dan silica gel pada
lama hari penyimpanan optimum (kurang lebih 13 hari).
Tabel 2. Rataan Penyusutan Bobot Stek (g) Selama Penyimpanan
Bahan Pengawet
Lama penyimpanan (hari)
3 6 9 12 15
Kontrol 2,76±2,18c 4,24±0,99c 6,04±1,34b 6,36±0,95b 8,68±1,91a
Gula 2,12±0,81c 5,48±1,97c 7,24±2,70b 6,24±1,51b 7,76±1,77a Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris menunjukkan interaksi yang berpengaruh nyata
pada (P<0,05) antara perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan
pengawet terhadap penyusutan bobot stek
Gambar 1. Grafik Interaksi Penyusutan Bobot Stek
Rataan penyusutan bobot stek pada setiap perlakuan yang disimpan di dalam refrigerator lebih rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lain. Hal ini disebabkan karena aktivitas hormon terhambat selama penyimpanan
dengan suhu dingin (4°C), sehingga laju respirasi menurun. Menurut Yunarti (2008), aktivitas tumbuh hormon semakin menurun sehingga bobot pada saat
sebelum dan sesudah penyimpanan tidak berbeda jauh. Stek yang paling banyak mengalami penyusutan bobot adalah peyimpanan
dengan menggunakan pengawet gula dan silica gel. Beberapa stek ditumbuhi
cendawan sehingga cadangan makanan dalam stek berkurang dan bobot stek menurun. Penyusutan bobot stek perlakuan gula dan silica gel masih lebih baik
dibandingkan dengan kontrol. Awal Pertumbuhan Setelah Tanam
Stek dengan perlakuan menggunakan bahan pengawet gula, silica gel, lilin sudah mulai tumbuh tunas 2 hari setelah penanaman. Perlakuan dengan
menggunakan bahan pengawet lilin yang disimpan selama 12 dan 15 hari, sebagian sudah mulai tumbuh tunas sebelum ditanam (Tabel 3).
Penyimpanan stek di dalam refrigerator memiliki pertumbuhan awal yang
relatif lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan yang lain, karena aktivitas hormon pertumbuhan dalam stek terhambat pada suhu dingin, maka
membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan suhu normal, Menurut Salisbury dan Ross (1992b), umumnya pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5
Kontrol
Lilin
Silica Gel
Refrigerator
Gula
Prosiding Semnas II HITPI Page 285
suhu, saat tanaman berada pada suhu optimum maka tanaman tersebut dapat
tumbuh dengan baik, tetapi pada saat tanaman berada pada suhu di bawah suhu minimun maka laju pertumbuhannya tidak baik.
Tabel 3. Awal Pertumbuhan Bahan Tanam Stek Setelah Tanam
Keterangan : (-):belum ada pertubuhan, (+) : sudah terjadi pertumbuhan tunas dan semakin banyak
tanda (+) maka pertumbuhan yang terjadi semakin meningkat.
Pada perlakuan silica gel, pertumbuhan paling lambat terjadi pada
penyimpanan 12 dan 15 hari akibat kontaminasi mikroorganisme yang mengambil cadangan makanan dalam stek. Hartman et al. (1997), menyatakan bahwa serangan cendawan pada stek dapat langsung menurunkan daya tumbuh dan
kemampuan stek untuk bertahan hidup sehingga stek mengalami kematian. Menurut Edi (2001), kecepatan tumbuh stek yang semakin menurun dikarenakan
cadangan karbohidrat yang diperlukan untuk energi oleh stek saat pertumbuhan tunas semakin berkurang, baik akibat respirasi ataupun fermentasi yang dilakukan oleh stek untuk mempertahankan jaringan maupun fermentasi yang dilakukan
oleh bakteri atau cendawan yang terdapat pada stek. Stek dengan pengawet gula sudah terlihat pertumbuhan tunas 2 hari setelah
tanam dan tumbuh dua daun sempurna pada hari ke 6. Cadangan makanan yang dibutuhkan selama penyimpanan masih tersedia, sehingga stek lebih cepat tumbuh. Napitupulu (2006) menyatakan bahwa cadangan makanan yang cukup
mampu memenuhi nutrisi bahan stek agar tetap bertahan hidup dimana bahan stek masih terlihat segar dan tahan terhadap penyakit.
Daya Tumbuh Stek
Stek yang diawetkan dengan lilin mulai tumbuh kuncup daun 2 hari setelah
penanaman, karena lapisan lilin menghambat kontaminasi mikroorganisme. Stek yang tidak tumbuh, lebih sedikit pada penggunaan pengawet gula dibandingkan dengan menggunakan lilin, silica gel, dan refrigerator. Cadangan makanan stek
masih tersedia sehingga daya tumbuhnya cepat. Penyimpanan dalam refrigerator, tunas tumbuh setelah 4 hari penanaman dan daya tumbuhnya lebih lambat
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Stek membutuhkan waktu sesuai suhu optimal untuk pertumbuhannya. Pengamatan pada keseluruhan perlakuan pada 2 minggu setelah penanaman, semua stek sudah tumbuh dengan sempurna,
Pada Tabel 4, pengawetan dan lama penyimpanan tidak memiliki interaksi yang nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh stek. Lama simpan berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap daya tumbuh stek (3, 6, 9, 12 dan 15 hari). Penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari menghasilkan daya tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan 15 hari, karena terjadinya penurunan cadangan makanan dalam stek
yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Saputri (2012), menyatakan
Prosiding Semnas II HITPI Page 286
bahwa penyimpanan selama 3 hari tidak menimbulkan kerusakan yang berarti
sehingga daya tumbuh masih tinggi. Penyimpanan pada suhu 4°C, daya tumbuh stek setelah 15 hari adalah
paling baik dibanding pengawetan lainnya. Pertumbuhan tunas yang cepat pada 4 hari setelah tanam dan hari ke 15 sudah tumbuh dua daun sempurna. Kemampuan tumbuh yang baik setelah disimpan pada suhu 4°C juga disebabkan penyusutan
bobot yang terkecil dibanding perlakuan lainnya. Pada perlakuan silica gel, daya tumbuh relatif lebih kecil akibat banyak ditumbuhi cendawan sehingga cadangan
makanan dalam stek berkurang. Stek dengan perlakuan lilin menunjukkan daya tumbuh yang baik karena rata-rata daya tumbuhnya tidak jauh berbeda dengan perlakuan penyimpanan menggunakan refrigerator, sehingga penggunaan lilin
dapat menjadi alternatif selain penggunaan refrigerator.
Tabel 4. Rataan Daya Tumbuh (%) Stek Berdasarkan Pengawetan dan Lama Bahan
Pengawet
Lama penyimpanan (hari)
3 6 9 12 15 Rata-rata
Kontrol 76± 0,26 100±0,00 96± 0,09 92±0,11 76±0,26 88±0,11
Keterangan : superskrip pada kolom dan baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05)
Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan pengawetan dan lama penyimpanan
tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Namun lama penyimpanan dan penggunaan bahan pengawet berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan tinggi vertikal.
Rataan tinggi vertikal pada lama penyimpanan 15 hari lebih rendah dibandingkan dengan lama penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari. Maka semakin lama penyimpanan, tinggi vertikal akan mengalami penurunan. Pengawetan dengan menggunakan
refrigerator suhu 4°C memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi vertikal yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lainnya, hal ini disebabkan
karena pada saat pengambilan data tinggi vertikal stek masih dalam tahap adaptasi terhadap lingkungan tempat penanaman stek setelah mengalami dormansi
Prosiding Semnas II HITPI Page 287
KESIMPULAN
Perlakuan pengawetan dengan menggunakan gula, silica gel, lilin dan
refrigerator dapat meningkatkan daya simpan dan pertumbuhan bahan tanam stek rumput gajah selama penyimpanan hingga 15 hari. Pengawetan yang paling baik adalah penyimpanan di dalam refrigerator dengan suhu 4°C.
DAFTAR PUSTAKA
Agribisnis Deptan. 2008. Pengawetan Bunga Potong.
http://www.agribisnis.deptan.go.id. [9 Maret 2011].
Edi, A. 2001. Perbandingan Daya Tumbuh dan Kesempurnaan Tumbuh Stek Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schummach) yang Disimpan
Dengan Metode Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hartman, H. T & D. E. Kester. 1997. Plant Propagation Principles and Practices.
5rd. Prentice Hill.New York. Meilawati, N. L. M. 2008. Pengaruh bahan stek dan konsentrasi zat pengatur
tumbuh hormonik terhadap keberhasilan stek Sansevieria trifasciata „Tiger Stripe‟. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Napitupulu, R. M. 2006. Pengaruh bahan stek dan dosis zat pengatur tumbuh
rootone-F terhadap keberhasilan stek Euphorbia milii. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rochman, K. dan S.S. Haryadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Diktat. Departemen Agronomi IPB, Bogor.
Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992a. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Terjemahan D.
R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Institut Teknologi Bandung (ITB)-Perss, Bandung.
Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992b. Fisiologi Tumbuhan jilid 3. Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Institut Teknologi Bandung (ITB) -Press, Bandung.
Saputri, E. L. 2012. Uji pengawetan terhadap daya simpan bahan tanam stek rumput meksiko (Euchlaena mexicana Schrad). Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhaidi, I. 2008. Pelapisan Lilin Lebah untuk Mempertahankan Mutu Buah
Selama Penyimpanan. Jurnal Penelitian Rekayasa. 1 (1): 47-50.
Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Raja Garfindo. Jakarta. Suwijah. 2011. Pengaruh kadar gula, vitamin C dan kadar serat dari sari buah
markisa ungu (Passiflora edulis var eduls) pada pembuatan nata de coco dengan menggunakan Acetobacter xylinum. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Thalib, A & Y. Widiawati. 2010. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Daya Inhibitor Metanogenesis Sediaan Cair Kultur Bakteri Acetoanaerobium
noterae dan Acetobacterium woodii. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku I: 880-886.
Yunarti, R. A. 2008. Pengaruh suhu pemeraman dan konsentrasi etilen terhadap
mutu buah sawo (Achras Zapota L.) varietas sukatali ST 1. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prosiding Semnas II HITPI Page 288
ANALYSIS AND EXPRESSION OF AL-TOLERANT GENES
FROM SOYBEAN [Glycine max (L.) Merryl] ON FORAGE CROPS AND
Escherichia coli
S. Anwar, Sumarsono, Karno and F. Kusmiyati
Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University
In order to analyze and to study expressions of the Al-tolerant genes, we
have examined five clone genes that were isolated from soybean cv. Lumut. Soybean cv. Lumut and Slamet, Centrocema pubescens, Pennisetum purpureum and Escherichia coli were selected for futher analysis. Based on the DNA
sequencing, searching enzyme restriction sites and searching DNA homology with the genebank database; the clones encoding: (1) Catalase (gmali12, that function
as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein/PCNALP (gmali15, that involved as one of transcriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22, this gene may play a role on stimulation of
cell growth/development), (4) Amine oxidase (gmAO, genebank accession number AF313622, a gene that function as amine oxidation and/or antioxidant),
and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP, genebank accession number AF091304, a serine protease gene). Expressions of the clone genes either on forage crops or Escherichia coli indicated that all of the clones are basic genes, but its expression
increased with aluminium induction (Al-induced genes) and involved in detoxification to Al stress. From this research, we also found similar responses between oxidative stress and Al stress to gene responses.
Keywords: Analysis, Expression, Al-Tolerant Genes, Soybean, Forage, E. coli
INTRODUCTION
Aluminum (Al) is regarded as one of the main toxic factors which exist in
most acidic soil in Indonesia (Notohadiprawiro, 1983), even of the world, comprising 1x109 hectares in the tropical and cool temperature regions (Van
Wambeke, 1976) or approximately 8% by Weight (Moller et al., 1984). Most Al in soil is insoluble, associated with complex aluminosilicates and oxides. However, under acidic soil condition (pH < 5) Al is converted from insoluble
forms into soluble Al +3 (Marschner, 1991; Driscoll and Schecher, 1990; and Kinraide, 1991), which block growth of plant roots (Rajaram and Villegus, 1990;
Kinraide and Ryan, 1991; Foy et al., 1978; Wagatsuma et al., 1987; and Taylor, 1991). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits plant growth, particularly in the tropical regions.
Approximately 40% of the world‟s arable soils are too acid, and Indonesia has over 47,6 millions hectares. A problem that is becoming increasingly severe,
because of the use of nitrogenous fertilizer, industrial pollution and acid rain (Van breeman, 1985). Eventhough, normal rainfall can also cause acidification of soils by promoting the leaching of basic cations such as Ca+2, Mg+2, K+ and Na+ (Foy,
1984). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits plant growth, particularly in the tropical regions (Kochian, 1995; Taylor, 1995;
Identifying genetic resistance to aluminium toxicity would be a valuable contribution toward the development of tolerant crops in the tropical areas,
especially in Indonesia. In these low pH aluminosilicate soils, the susceptibility of field crops to aluminium toxicity leads to the inhibition of root growth into the lower soil horison. Aluminium saturates the charged sites of the soil particle and,
along with the restriction of root growth, acts to impede cation exchange with subsoil elements (Ca+2, K+, and Mg+2), which are critical for normal plant
development. Determining the molecular basis of tolerance to increase levels of aluminium in certain crops (such as soybean) poses a significant challenge.
Soybean is one of important crops in Indonesia. Its specific material for
Indonesian tradisional food such as tempe, tofu, sauce and soybean milk have brought the soybean to an important position in Indonesian nutrition. Demand for
soybean is increasing with the increase on protein need due to improvement program on Indonesian nutrition. The development of animal husbandry in Indonesia have also increased the demand of this crop. Unfortunately, the
increase in demand for soybean can not be responded by the sufficient increase in production of this crop. This research was conducted to support soybean breeding
programs by molecular approach. Considering the importance of molecular information on soybean tolerance to Al, we proposed the research on molecular biology of soybean tolerance to al stress as follow-through from previous
research, by two approach: (1) Analysis of the Al-tolerant and (2) Study of expression of the cloned genes. The genes also have been evaluated to forage
crop by northern/slot blot hybridization (heterologous approach) and E. coli.
RESEARCH METHOD
The research consist of two programs: Research I (Analysis of Al-tolerant
genes) and Research II (Study expression of Al-tolerant genes). Research 1. There are 3 steps in this program: (a) Analysis of clone genes
by nucleotide sequencing, (b) Analysis of clone genes by searching restriction
enzyme sites and (c) Analysis of clone genes by searching homology with GeneBank database.
DNA synthesis for chain-termination sequencing is carried out two steps. In the first, the primed strand of DNA is extended and at the same time labelled by the incorporation of dye-nucleotide. . In the second step, dideoxynucleotides
are added to the population of labelled DNA molecules (ranging in length from a few to many hundreds of nucleotides) and synthesis continues until a ddNTP is
incorporated, thus terminating the chains. Analysis of clone genes by nucleotide sequencing was started with
cDNAs cloned from our previous study that is not analyzed yet (Anwar, 1999).
Plasmid cDNAs cloned are prepared using the alkaline lysis method (Sambrook et al., 1989). The selected cDNA clones was sequenced by dideoxynucleotide
chain-termination method (Sanger et al., 1977). Analysis of clone genes by searching restriction enzyme sites using the amino acid and restriction enzyme sites software that have been developed by
DCRG-team database, which provided information about analysis of DNA
Prosiding Semnas II HITPI Page 290
especially for searching of restriction enzyme sites, start and stop codon, amino
acid sequence, including number of ATGC and amino acid. Analysis of clone genes by searching homology with GeneBank database.
The resulted cDNA sequences are then compared to the existing genes sequences in Genebank. First, we access to the NCBI (National Center for Biotechnology Information) website (http://www.ncbi.nlm.nih.gov), and then select GeneBank
database for searching similarity/homology sites for nucleotide sequence (BLAST program/BLAST web). Finally, follow instruction provided in the web electronic
guide till resulted kinds of the genes. In Research II, expression of the cloned genes have been studied by (a)
using mRNA analysis by northern/slot blot hybridization method both on soybean
and forage crop and (b) Escherichia coli’s exposed to Al toxic level. There are 4 steps for analysis of transcript level/mRNA analysis i.e: (a) Planting material, (b)
total RNA Isolation, (c) probe preparation and (d) northern/slot blot hybridization. Planting material was planted described by Anwar (1999). Total RNA was
isolated from the root tips (± 5 mm) and/or leaf of soybean and forage crop
treated and untreated with Al+3, using phenol/SDS method (Ausabel et al., 1987).
Northern/Slot Blot Hybridization. Total RNA (10-15 g) samples was denatured with glyoxal and DMSO, and followed incubation in 65oC for 15
minutes. Then, the RNA was transferred to Hybond-N+ membranes (Amersham) by Slot-Hybridization (prior to use, the slot must be cleaned with 0.1 N NaOH and washed by steril water- DEPC treated). Probes was prepared from cDNA inserts
isolated from agarose gels and labelled by non radioactive system (ECL-system). Hybridization was performed as described in Virca et al. (1990). The filter was
washed twice with 2xSSC+0.4%SDS for 10 min at 42oC, and twice with 2xSSC for 5 min at room temperature. Filter was stripped by immersion in warm (60oC) 0.1% SDS and reprobed up to three times as described by Sambrook et al. (1989).
For Expression of clone genes by identifying tolerant-genes with its expression on Escherichia coli to Al toxic level was implemented by addition of
Al toxic level on LB (Luria Bertani) culture (2% bactotryptone, 0.5% yeast extract, 10 mM NaCl and 1% bactoagar. First of all, to set up assay for Al stress, E. coli and E. coli containing vector was cultured in LB with various Al treatment
(0-500 ppm). Assay for Al-toxic level based on the reduction of E. coli’s growth on media at least 75% from control (without Al). Secondly, all of the clones was cultured at LB plate with addition of Al-toxic level based on previous study for 2
days. The clones that involved to Al tolerance was indicated by E. coli (contained the clones) growing well in the selected media.
RESULTS AND DISCUSSIONS
Analysis of Al-tolerant Genes
There are five clones that are already analyzed (cDNA isolation and
sequencing, searching enzyme restriction sites and searching homology with GeneBank database) as shown on Table 1 and Figure 1-5. Based on the searching homology with the genebank database, the clones encode: (1) Catalase (gmali12,
that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein/PCNALP (gmali15, that involves as one of transcriptional regulator in the
Figure 5. Nucleotide sequence of the gmAP (Glycine max Aminoacyl
Peptidase) Clone.
Expression of Al-tolerant Genes
Plants show spesific responses to many kinds of stress (biotic and abiotic) including aluminium stress. Genes response to Al stress will be reflected by increasing transcription (production mRNA) level of one or more genes. The
molecular basis of these responses has not been completely worked out but there are clear examples of the expressions of many induced genes by aluminium stress.
Based on slot blot analysis (Figure 6), all of the genes are basic genes (appear at all of control media/media pH 6.0 without Al) , but its expression increased with Al stress (media pH 4.0 with Al stress). Clone gmali12 is coding
catalase which involved as antioxidant. This result indicated that genes response to Al stress is similar with oxidation stress responses. This novel information is
useful for genetic engineering. Similar result from the genes are expressed on Escherichia coli.
Prosiding Semnas II HITPI Page 293
Glycine max cv. Lumut a b c d
Glycine max cv. S lamet
a b c d Centrosema pubescens
a b c d Pennisetum purpureum
a b c d
gmali12
(% )
25 30 34 35
25 29 30 33
25 27 31 26
25 28 30 26
gmali15
(% )
22 23 26 30
25 25 31 35
20 28 30 34
25 30 32 33
gmali22
(% )
30 36 50 34
32 30 35 48
18 20 22 25
30 30 35 35
GmAO
(% )
25 30 35 40
20 20 22 35
0 0 0 0
20 20 24 25
GmAP
(% )
20 22 24 27
22 20 25 27
42 42 47 48
15 15 15 20
Notes : a = media pH 6.00 without Al; b = media pH 4.0 without Al
c = media pH 4.0 with 0.8 mM Al d = media pH 4.0 with 1.6 mM Al
Figure 6. Slot blot hybridization of clone genes on Glycine max,
Centrocema pubescens and Pennisetum purpureum
Assay for Al-toxic level on Escherichia coli, based on the reduction of E.
coli’s growth on media at least 75% from control (without Al). We found that 300 ppm Al is a critical assay for E. coli, and used it for study of expression of Al-
tolerant genes on Escherichia coli. The result of research is listed on Table 2-3 and Figure 7.
Table 2. Optical density value (OD550) of growth of E. coli in Luria Clone
From this research, we concluded that nucleotide and sequencing of Al-
tolerant genes are coding: (1) Catalase (gmali12, that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein (gmali15, that involved as one of
tanscriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22), (4) Amine oxidase (gmAO, genebank accession number AF313622), and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP, genebank accession number AF091304)
Expression of Al-tolerant genes (gmali12, gmali15, gmali22, gmAO, and gmAP) either on plant or Escherichia coli, indicated that all of the clones are
genes response to Al-induction and involved in detoxification to Al-stress.
ACKNOWLEDMENT
We appreciated and thank‟s to DGHE for sponsorship and for all of member‟s of Forage Science Laboratory Faculty of Animal Agriculture
Diponegoro University and PAU Bioteknologi IPB Bogor.
REFERENCES
Anwar, S. 1999. Cloning of Aluminium Induced Genes in Soybean [Glycine
max(L.) Merryl]. Dissertation PhD Program, IPB Bogor. Anwar, S., Karno, F. Kusmiyati, M. Jusuf and Suharsono. 2000. Glycine max
Ausubel, F.M., R. Brent, R.E. Kingston, D.D. Moore, T.G. Seidman, J.A. Smith
and K. Struhl. 1987. Current Protocols In Molecular Biology. John Wiley and Sons, New York.
Delhaize, E., P.R. Ryan and P.J. Randall. 1993. Aluminum tolerance in wheat (Triticum aestivum L.). II. Aluminum stimulated excretion of maliec acid from root apies. Plant Physiol. 103:695-702.
Driscoll, C.T. and W.D. Schecher. 1990. The chemistry of aluminum in the environment. Environ. Geochem. Health 12:28-49.
Foy, C.D., R.L. Chaney and Mc. White. 1978. The physiology of metal toxicity in plant. Annu. Rev. Plant Physiol. 29:511-566.
Foy, C.D. 1984. Physiological effects of hydrogen, aluminum, and manganese
Prosiding Semnas II HITPI Page 295
toxicity in acid soil. Agronomy Monograph 12:57-97.
Grierson, D. and S. Covey. 1985. Plant Molecular Biology. Blackie Publ., USA New York.176p.
Jusuf, M., Suharsono, and D. Sopandie. 1998. Molecular biology of soybean tolerance to aluminium stress. HTTP report Batch II. Jakarta.
Kinraide, T.B. 1991. Identity of the rhizotoxic aluminum species. Plant soil.
134:167-178. Kinraide, T.B and P.R. Ryan. 1991. Cell surface change may observe the
identity of the rhizotoxic aluminum species. In D.D. Randall, D.G. Blevins and C.D. Lies, ed., Current Topics in Plant Biochemistry and Physiology. Univ. of Missouri, Columbia, pp. 94-106.
Kochian, L.V. 1995. Cellular mechanisms of aluminium toxicity and resistant in plants. Ann.Rev.Plant.Physiol.Plnat Mol.Biol.46:237-260.
Marshner. 1991. Mechanism of adaptation of plants to acid soils. Plant Soil 134:1-20.
Matsumoto, H. 2000. Cell biology of aluminium tolerance and toxicity in higher
plants. Int.Rev.Cytol. (in press). Moller T., J.C. Bailar, J. Kleinberg, C.O. Guss, M.E. Castellion, and C. Motz.
1984. Chemistry with Inorganic Qualitative Analysis. Acad Press, Inc. Orlando.
Notohadiprawiro, T. 1983. Persoalan Tanah Masam Dalam Pembangunan
Pertanian Indoonesia. Bull Faperta UGM. 18:44-47. Rajaram, S. and E. Villegas. 1990. Breeding wheat (Triticum aestivum) for
aluminum toxicity tolerance at CIMMYT. P. 489-495. In N.E. Bassam et al (eds). Genetic aspexcts of plant mineral nutrition. Kluwer Acad. Publ., Dordrecht, the Netherlands.
Rhue, R.D., G.O. Grugan, E.W. Stockmeyer, and H.L. Everett. 1978. Genetic control of aluminum tolerance in corn. Crop Sci. 18:1063-1067.
Sambrook J, E.F. Fritsch and T. Mamatis 1989. Molecular Cloning : A laboratory Manual. Cold Spring Harbor laboratory Press, New York.
Sanger, F., S.Nicklen and A.R. Coulson. 1977. DNA sequencing with chain-
termination inhibitors. Proc.Natl.Acad. USA 74:5463-5467. Taylor G.J. 1991. Current views of the aluminum stress respons : the
physiological bases of tolerance. In D.D. Randall, D.G. Blevins and C.D. Miles, eds., Current Topics in Plant Biochemistry and Physiology. University of Missouri, Columbia, pp. 57-93.
Van Breemen N. 1985. Acidification and decline of Central European Forest. Nature : 316 : 16.
Van Wambeke A. 1976. Formation, distribution and consequence of acid soils in agriculture development. In M.J. wright and S.A. Ferrari, eds. Plant adaptation to mineral stress in problem soils. Spec. Publ. Cornell Univ.
Agric. Exp. Stn. Ithaca, New York. Pp. 15-24. Wagatsuma T., M. Kaneko and Y. Hayasaka. 1987. Destruction process of plant
EVALUASI PRODUKTIVITAS TANAMAN KERANDANG (Canavalia
virosa) SEBAGAI SUMBER HIJAUAN PAKAN TERNAK PADA LAHAN
PANTAI
Sajimin dan B.R. Prawiradiputra
Balai Penelitian Ternak P.O.Box 221 Bogor 16002
ABSTRAK
Tanaman kerandang (Canavalia virosa) adalah jenis leguminosa yang banyak tumbuh dilahan salin (pantai). Indonesia merupakan negara kepulauan
yang memiliki garis pantai yang panjang dan berpotensi apabila dikelola dengan baik seperti untuk penyediaan pakan ternak. Memelihara ternak merupakan alternatif diversifikasi usaha untuk meningkatkan taraf hidup nelayan pada saat
tidak melaut. Tujuan penelitian untuk mengetahui produktivitas hijauan tanaman kerandang pada berbagai media tanah. Rancangan percobaan adalah split plot
pola faktorial dengan faktor utama media tanam dan dosis pupuk limbah kopi. Perlakuan yang diuji adalah tanah, pasir kali dan pasir pantai, media tersebut diberi pupuk dengan dosis 0%, 5%, 10%, dan 15% yang diulang tiga kali.
Parameter yang diamati produktivitas hijauan setiap 60 hari, pertumbuhan tanaman setiap minggu setelah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produktivitas hijauan berat kering tertinggi pada media pasir kali 25,9 gram per panen pada dosis pemupukan 15%, kemudian diikuti pada media tanah 18,8 gram/tanaman/panen pada dosis 10%. Produksi terendah pada media pasir pantai
16,6 gram/tanaman/panen pada dosis 5%. Rataan produksi hijauan yang diberikan pupuk dibandingkan dengan perlakuan kontrol (0%) meningkatkan produksi
92,99%. Produksi hijauan tiap panen terjadi penurunan setelah pemotongan ke empat, sedangkan pada media pasir pantai pada awal produksi hijauan tertinggi kemudian panen berikutnya menunurun sampai panen ke lima. Hasil penelitian
ini disimpulkan bahwa tanaman kerandang dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan pemberian pupuk organik dan setelah empat kali pemanenan perlu
pemberian pupuk untuk mendapatkan hasil stabil. Kata kunci : canavalia virosa, produksi hijauan, pupuk limbah kopi.
PENDAHULUAN
Porsi utama pakan ternak ruminansia adalah dari hijauan pakan yang mencapai 80% dari pakan yang dikonsusmsi sebagai sumber serat. Namun pakan utama tersebut pada musim kemarau selalu terjadi masalah kekurangan. Hal ini ini
disebabkan pengembangan tanaman pakan pada umumnya dilahan-lahan marginal (kurang subur) atau sub-optimal.
Pemanfaatan lahan yang kurang subur untuk tanaman pakan menjadi sangat penting seperti tanah salin (pesisir). Ekstensifikasi tanah salin mempunyai potensi yang besar karena Indonesia merupakan negara pulau yang mempunyai
garis pantai yang panjang dengan didominasi lahan salin. Menurut Suhardi (2008) lahan pasir di Indonesia 181000 km yang berada disepanjang pantai dan belum
dimanfaatkan. Pengembangan tanaman pakan ternak pada lahan marginal di pesisir yang
mengandung kadar garam (salinitas) tinggi diperlukan upaya perbaikan lahan
Prosiding Semnas II HITPI Page 297
terlebih dulu agar tanaman mampu tumbuh dan berproduksi. Salinitas
mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui keracunan akibat penyerapan unsur garam berlebihan seperti natrium yang mengakibatkan
penurunan penyerapan unsur penting bagi tanaman (Purbayanti et al., 2010). Tanaman kerandang (Canavalia virosa Roxb) adalah termasuk keluarga
Leguminosa dan merupakan tanaman perenial yang tumbuh baik di daerah pantai
dengan perbanyakan taanaman dengan biji atau stek. Pemanfaatan biji kerandang dilakukan sebagai bahan pakan untuk menggantikan kedelai. Menurut Djaafar et
al. (2011) biji kerandang mengandung protein 31,3%, lemak 4,8%, abu 3,8% dan asam amino seperti isoleusine, histidine, cystine, methionin, dan threonine. Biji kerandang telah diolah menjadi tempe, tahu dan minuman fermentasi. Namun
mengandung HCN tinggi sehingga apabila digunakan sebagai bahan pangan perlu proses pengolahan yang benar untuk menurunkan kandungan HCN. Menurut
Winarti et al. (2009) produktivitas kerandang biji 909,07 kg/ha, kulit biji 290,99 kg/ha, kulit polong 809,94 kg/ha dan daun serta batang 3100 kg/ha/panen
Kerandang termasuk tanaman kacang-kacangan tropis tahunan yang
merambat, berdaun tiga dengan bunga warna pink. Panjang bunga kerandang 3 cm, ukuran polong 17 cm × 3 cm, warna biji coklat atau coklat kemerahan dengan
marble warna hitam (PROSEA, 1992). Tanaman tersebut mampu tumbuh cepat di lahan pasir dan merupakan tanaman penutup lahan yang bagus untuk lahan
pasir yang kering. Saat ini tanaman kerandang tumbuh sebagai tanaman liar, yang mampu hidup dan berproduksi tanpa adanya campur tangan manusia. Disamping
itu, kerandang juga mampu mengikat nitrogen dari udara sehingga berpotensi untuk memperbaiki kesuburan lahan.
Pengembangan tanaman kerandang sebagai pakan ternak didaerah pantai
merupakan sumber hijauan yang dapat digunakan oleh nelayan terutama pada saat tidak melaut. Penelitian ini bertujuan mempelajari produktivitas hiajauan dengan
pemotongan teratur dan pertumbuhan tanaman dengan penambahan pupuk organik serta kualitas hijauan.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balitnak Bogor pada tahun 2011 - 2012. Penelitian merupakan percobaan pot menggunakan media tanah, pasir kali, dan pasir pantai. Tanaman pakan yang digunakan kerandang (Canavalia virosa
Roxb (W&A). Percobaan disusun dengan rancangan split plot dengan dua faktorial yaitu media tanam dan dosis pupuk dengan 3 kali ulangan. Faktor
pertama media tanam tanaman dan faktor kedua dosis pupuk organik 0%, 5%, 10% dan 15% dari berat tanah.
Tahap persiapan dilakukan penyiapan media yang diisikan dalam pot
berisi tanah kering 7 kg. Kompos limbah kopi yang digunakan mengandung bahan organik C/N rasio 2,77%, P2O5 4,25%, N 4,90%. Sedangkan media tanam masing-masing tanah kandungan P 7,34%, K 8,32%, Mo 3,34% dan C/N rasio 7.
Media pasir kali kandungan P 8,69%, K 9,20%, Mo 2,53% dan C/N 8. Media pasir pantai kandungan P 6,41%, K 7,12%, Mo 4,21% dan C/N 7.
Pemberian pupuk dilakukan saat pengisian pot dicampur merata sesuai dengan perlakuan dan diinkubasikan selama satu bulan dan tiap tanaman menerima N 17,15 g (dosis 5%), 34,3 g (dosis 10%), dan 51,45 g (dosis 15%).
Prosiding Semnas II HITPI Page 298
Tanaman setelah tumbuh merata umur 3 bulan dilakukan penyeragaman
(dipangkas) kemudian dipotong setiap 60 hari. Peubah yang diamati meliputi laju pertumbuhan setiap 1 minggu (jumlah
tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Produksi hijauan segar dan kering setiap 2 bulan dan pada panen ke 4 (akhir) kegiatan diambil contoh hijauan komposit untuk analisa protein kasar, serat kasar, Calsium dan Fosphor.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju pertumbuhan tanaman
Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman kerandang pada media yang
berbeda memberikan respon pertumbuhan yang berbeda. Secara umum pada media pasir kali rata-rata pertumbuhannya tertinggi dengan pemberian pupuk
limbah kopi, kemudian diikuti pada media pasir pantai dan terendah pada media tanah (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang
Media percobaan
Dosis pupuk (%)
Panjang tunas (cm)
Jumlah daun (helai)
Jumlah cabang (buah)
Tanah 0 351,7 b 154,7 b 19,0 a
5 346,0 b 196,1 b 28,3 a 10 509,0 a 237,7 b 30,3 a 15 357,3 b 214,3 b 27,3 a
Pasir kali 0 257,7 b 144,0 b 29,3 a 5 604,7 a 293,3 b 37,0 a
10 640 a 327,3 a 37,7 a 15 544,7 a 305,7 a 36,3 a Pasir pantai 0 194,7 b 181,7 b 31,0 a
5 326,7 a 226,3 a 30,3 a 10 502,3 262,3 a 37,0 a
15 435,3 315,3 a 44,3 a Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata (P<0,05).
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa jika dibandingkan perlakuan dosis
pupuk yang diberikan 5%, 10% dan 15% tinggi tanaman tidak beda nyata (P<0,05) pada media tanah baik pada jumlah daun maupun cabang. Sedangkan
pada media pasir kali dan pasir pantai pemberian pupuk organik menunjukkan lebih tinggi. Namun jika dibandingkan dengan kontrol ada penbedaannya nyata lebih tinggi dan. Jumlah daun lebih banyak. Hal ini nampaknya pupuk yang
diberikan memberikan pengaruh pada pertumbuhan yang lebih cepat dengan jumlah cabang dan daun lebih banyak dari perlakuan kontrol. Keadaan ini
mengindikasikan tanaman yang meiliki daun lebih banyak merupakan sumber hijauan pakan yang baik. Keadaan ini juga terlihat pada hasil pengamatan pertumbuhan setiap minggu (Gambar 1).
Prosiding Semnas II HITPI Page 299
A. Gambar pertumbuhan tanaman pada media tanah
B. Gambar pertumbuhan tanaman pada lahan pasir kali
C. Gambar pertumbuhan pada media pasir pantai
Gambar 1. Pertumbuhan tanaman pada berbagai media tumbuh
Pada Gambar 1 terlihat bahwa dari pengukuran tinggi tanaman dari
Prosiding Semnas II HITPI Page 300
minggu pertama sampai minggu ke 7 (sebelum panen) menunjukkan kenaikan
yang cukup signifikan kecuali yang kontrol pertumbuhannya tetap bertambah walaupun tidak setinggi yang dengan perlakuan pupuk.
Sedangkan pada media tanah nampaknya perlakuan kontrol pertumbuhannya tidak banyak berbeda banyak dengan perlakuan pemberian pupuk. Hal ini diduga tanaman kerandang yang termasuk jenis legum mampu
mengikat nitrogen dari udara yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya sehingga dapat tumbuh baik pada media tanah dari pada media lainnya. Peran
pupuk kandang sebagai sumber organik tanah dan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman terlihat nyata meningkatkan laju pertumbuhan. Penggunaan pupuk organik menurut Purbayanti (2011) untuk tanah salin memberikan perbaikan sifat
kimia tanah yaitu penurunan salinitas dan perbaikan ketersediaan unsur hara. Bertambahnya unsur hara dari pupuk yang diberikan pada media menunjukkan
peningkatan pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan. Kemudian Burhanudin dan Nurmansyah (2010) juga melaporkan pupuk organik berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dalam menunjang pertumbuhan
tanaman. Karena dalam pemberian pupuk organik terjadi proses dekomposisi seperti yang dikemukakan Barber (1984) bahwa adanya proses dekomposisi dan
mineralisasi pupuk organik menghasilkan sejumlah hara dengan bantuan peran mikro organisme tanah. Unsur-unsur hara seperti Ca, Mg, dan K menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman untuk mendukung pertumbuhannya
seperti menambah tinggi, pertambahan cabang, dan tajuk tanaman. Selain itu pupuk organik juga berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dan pertumbuhan
tanaman karena hara tetap tersedia. Hal senada juga dikemukakan oleh Baver (1975) bahwa pupuk organik berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dalam menunjang pertumbuhan tanaman.
Pemberian pupuk organik pada penelitian ini dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman kerandang, sehingga dapat
memacu pertumbuhan tanaman. Sanchez (1976) melaporkan bahwa pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dapat meningkatkan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman.
Produksi hijauan
Produksi hijauan meningkat akibat pemupukan limbah kopi pada ketiga media yang diaplikasikan seperti yang tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata produksi hijauan berat segar dan berat kering Media tanam Dosis pupuk (%) Berat segar (g/tanaman) Berat kering (g/tanaman)
Tanah 0 176,26 b 37,16 b
5 302,83 a 60,69 a
10 437,55 a 87,09 a
15 263,39 a 48.35 a Pasir kali 0 157,19 b 38,09 b
5 572,57 a 123,38 a
10 665,54 a 107,26 a
15 633,56 a 129,71 a
Pasir pantai 0 193,81 b 43,24 b 5 304,74 a 68,56 a
10 342,74 a 74,8 a
15 370,56 a 77,86 a
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata (P<0,05)
Prosiding Semnas II HITPI Page 301
Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa peningkatan produksi hijauan rata-
rata 160,08% dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada semua media. Jika dibandingkan antara media tanah maka pada pasir kali produksi hijauannya
tertinggi kemudian diikuti pada media tanah dan terendah pada media pasir. Lebih tingginya pada media pasir kali disebabkan kandungan hara yang lebih tinggi C/N rasio (8) kandungan P (8,69%) dan K (9,20%). Sedangkan C/N rasio pada tanah
dan pasir kali 7. Hasil penelitian ini nampaknya kandungan hara media yang lebih tinggi dan adanya penambahan jumlah pupuk organik yang lebih banyak.
Sehingga ketersediaan unsur hara mencukupi untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Peningkatan hasil ini juga terlihat dari hasil hijauan yang dipanen tiap 2 bulan selama panen ke 1 - ke 4 produksinya masih tinggi kemudian panen ke 5
terjadi penurunan (Gambar 2).
A. Gambar produktivitas pada media tanah
B. Gambar produktivitas pada media pasir kali
C. Gambar produktivitas pada media pasir pantai
Gambar 2. Produktivitas hijauan tanaman kerandang pada panen 1 - panen 5
pada tiga media tanam.
Prosiding Semnas II HITPI Page 302
Pada Gambar 2 terlihat bahwa produksi hijauan rata-rata tiap panen
produksi hijauan tertinggi pada pemberian dosis 10% dari pada pemberian pupuk organik dinaikan 15% di tiga media tanam. Hal demikian nampaknya dalam
penyerapan hara tanaman ada batas optimum sehinggadengan peningkatan pemberian pupuk tidak meningkatkan produksi tanaman. Hasil serupa juga dilaporkan Dahono (2011) pada tanaman pegagan dengan pemberian pupuk
kandang yang lebih tinggi tidak menaikkan produktivitas, bahkan cenderung mengakibatkan penurunan kandungan asiatik oksida. Nampaknya hasil ini juga
terjadi demikian, sehingga yang efektif pemberian pupuk pada dosis 10%, sedangkan dengan dinaikan dosis pemberian tidak meningkatkan produksi hijauan maupun nutrisi.
Nilai nutrisi hijauan
Hasil analisa kandungan protein kasar tanaman kerandang mempunyai nilai tertinggi 27,25% pada aplikasi pemberian pupuk organik limbah kopi 5% pada media pasir kali. Hasil ini rata-rata dengan pemberian pupuk organik
maupun pada perlakuan kontrol tidak banyak perbedaan kandungan protein kasar, serat kasar, Ca dan P (Tabel 3).
Tabel 3. Kandungan protein kasar, serat kasar, Ca dan P pada tanaman kerandang
Pada Tabel 3 terlihat kandungan nutrisi hijauan protein kasarnya rata-rata
tinggi yaitu mencapai 18,53-27,25%. Hasil analisa tersebut menunjukkan tidak dipengaruhi oleh dosis pupuk yang digunakan karena pada perlakuan kontrol ada yang lebih tinggi dari perlakuan pemberian pupuk organik. Hal ini disebabkan
Kerandang termasuk tanaman leguminosa yang mampu mengikat nitrogen dari udara dan dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman sendiri.
Hasil penelitian ini rata-rata protein kasar daun 18,51-27,25% lebih tinggi dari yang dilaporkan Winarti et al (2009) tanaman kerandang dari lapang daunnya kandungan protein kasar 18,66%. Lebih tingginya kandungan protein kasar
disebabkan adanya pemberian pupuk sehingga ketersediaan hara yang dapat diserap oleh tanaman. Seperti yang dilaporkan Dahono et al. (2011) bahwa
Prosiding Semnas II HITPI Page 303
tanaman pegagan yang diberikan pupuk organik lebih tinggi juga meningkatkan
kandungan asiatik oksida.
KESIMPULAN
1. Pertumbuhan tanaman kerandang pada media tanah pasir kali tertinggi
sedangkan produksi hijauan tidak banyak berbeda. 2. Penggunaan pupuk organik dari limbah kopi dapat meningkatkan produksi
pada ketiga media rata-rata mencapai 160, 2 % dari perlakuan kontrol. 3. Kandungan nutrisi hijauan dari masing perlakuan maupun media tanam yang
berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Barber, S. A. 1984. Soil Nutrient Bioavailability : A Mechanistic Approach. John Willey & Sons. pp. 20-21.
Baver, L. D. 1975. Soil Physics. Third edition, John Willey and Sons, Inc. New York. 552 p.
Burhanudin dan Nurmansyah. 2010. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan kapur terhadap pertumbuhan dan produksi nilam pada tanah podsolik merah kuning. Bul.Littro. Vol 21(2). P138-144.
Djaafar, T.F., Y.P. Wanita dan E.S. Rahayu. 2011. Novel product, fermented drink from kerandang (C.virosa). The 12th Asean food Conference. 16 -
18 June 2011. Bangkok .Thailand. 704 -708. Dahono, M.Ghulamahdi, S.A. Azis dan Adiwirman. 2011. Kombinasi pupuk NPK
dan pupuk kandang dalam peningkatan pertumbuhan dan produksi
asiatik oksida tanaman Pegagan. Jurnal Littri. 17(2) : 51 - 59. PROSEA. 1992. Plant Resources of South-East Asia 4. Forages. Prosea, Bogor.
Purbayanti, E.D., D. Sutrisno, E. Hanudin dan S.P.S. Budi. 2010. Respon rumput benggala terhadap gypsum dan pakan di tanah salin. J. Agron. Indonesia. 381 : 75 - 80.
Suhardi. 2008. Pengembangan Agro industri berbasis pangan lokal untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Pros. Semnas Pengembangan produk
berbasis pangan lokal. Universitas Mercu Buana, Yogyakarta Sanchez, P. A. 1976. Properties and Management of Soils in The Tropics. John
Willey and Sons, Inc. New York. 618 p.
Winarti, E., Sarjiman, Supriyadi dan N. Cahyaningrum. 2009. Potensi kerandang (Canavalia virosa) sebagai sumber pangan dan pakan ternak alternatif. Pros.
Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. 765 - 769.
Prosiding Semnas II HITPI Page 304
INVENTARISASI HIJAUAN PAKAN KUDA PACUAN
DI NUSA TENGGARA BARAT*)
Sudirman
1), Gde Mertha
2) dan Suhubdy
1)
1)Dosen Fakultas Peternakan,
2)Dosen Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan - Universitas Mataram - Mataram,
Pacuan kuda dilaksanakan setiap tahun di provinsi Nusa Tenggara Barat yang
diikuti oleh tidak kurang dari 700 ekor kuda pacuan dalam lima kelas lomba. Kegiatan ini umumnya berlangsung selama 1-2 minggu di pulau Sumbawa dan senantiasa menjadi agenda hiburan rakyat serangkaian dengan acara perayaan
hari-hari besar nasional maupun regional dan/atau lokal. Selama kurun waktu tersebut, semua kuda yang akan dilombakan diberikan pakan berupa hijauan dari
jenis tumbuhan tertentu dan/atau spesifik. Tujuan penelitian ini adalah (1) menginventarisisr jenis-jenis tumbuhan yang dijadikan hijauan pakan kuda pacuan selama lomba berlangsung, dan (2) mengkaji komposisi nutrisi jenis
hijauan pakan dimaksud. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara. Semua kuda pacuan yang
berasal dari beberapa kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat yang mengikuti lomba pacuan kuda di kabupaten Sumbawa tahun 2012 diamati pemberian pakannya, kemudian dilakukan identifikasi dan analisis komposisi nutrisi jenis
hijauan yang diberikan. Untuk mengetahui jenis pakan yang diberikan, dilakukan pengamatan langsung dan wawancara dengan peternak kuda pacuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tercatat 9 jenis tumbuhan (2 famili, 8 marga) yang
diberikan pada kuda pacuan selama lomba berlangsung, yaitu Alysicarpus vaginalis (Fabaceae), Desmodium dichotomum (Fabaceae), Cynodon dactylon
(Poaceae), Cynodon sp. (Poaceae), Dactyloctenium aegyptium (Poaceae), Brachiaria sp. (Poaceae), Eleusine indica (Poaceae), Eulalia fimbriata (Poaceae) dan Leersia hexandra (Poaceae). Hijauan pakan diberikan pada kuda pacuan
dalam bentuk pakan tunggal maupun kombinasi diantara jenis-jenis tumbuhan tersebut dengan komposisi nutrisi yang berbeda.
Kata kunci: jenis hijauan pakan, kuda pacuan, poaceae, fabaceae
A research had been done aimed at (1) identifying and recording the kind of
forages offered to ricing horses during the ricing competition, and (2) Analyzing the chemical composition of that forages offered. Data had been collected by doing an direct observation to forages and interview to the owners of the ricing
horses who came to follow the competition at horse ricing arena at Sumbawa
Regency in 2012. All forages offered to each horse had been identified and sampled for analyzing the chemical composition. The results of this research is
that there were eight types of forages given to ricing horseS. Those are Alysicarpus vaginalis (Fabaceae), Desmodium dichotomum (Fabaceae), Cynodon dactylon (Poaceae), Cynodon sp. (Poaceae), Dactyloctenium aegyptium (Poaceae),
Eleusine indica (Poaceae), Eulalia fimbriata (Poaceae) dan Leersia hexandra (Poaceae). The forage offered to the horse was either as sole or combined diet
with different nutritional contents. Keywords: forages, fabaceae, poaceae, ricing horse, sumbawa
PENDAHULUAN
Pacuan Kuda pada awalnya merupakan sebuah tradisi pesta rakyat Nusa Tenggara Barat secara turun-menurun, khususnya di wilayah kabupaten se Pulau Sumbawa, sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rezeqi hasil panen padi. Mengingat masa panen tanaman padi waktu itu sekitar enam bulan yang ditanam di sawah tadah hujan, maka tradisi rakyat
dimaksud hanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Dengan semakin pendeknya umur tanaman padi dan/atau masa panen berubah menjadi dua kali setahun, maka acara Lomba Pacuan Kuda seringkali berlangsung lebih dari sekali setahun,
bahkan telah menjadi agenda rutin pengurus PORDASI (Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia) bekerjasama dengan pemerintah daerah dirangkaikan
dengan perayaan hari besar nasional maupun regional. Tidak kurang kurang dari 700 ekor kuda pacu terbagi dalam lima kelas terdaftar sebagai peserta pada setiap acara lomba yang memiliki bermacam-macam ciri yang bersifat karakteristik
morfologis (Sudirman, 2011). Hal inilah yang mendongkrak peluang peternak untuk memelihara ternak kuda jantan pilihan, terutama dari keturunan kuda yang
memiliki silsilah jawara. Apabila kuda pacu dimaksud telah menurun kecepatan atau tidak lagi menjuarai turnamen, masih memiliki nilai jual yang relatif tinggi karena dapat digunakan sebagai kuda penarik Cidomo (Sudirman, dkk., 2012).
Memelihara Kuda Pacu ternyata memerlukan perhatian khusus, terutama jenis hijauan pakan yang disajikan menjelang dan/atau pada saat dilombakan.
Hijauan pakan yang diberikan biasanya berupa campuran lebih dari lima jenis dengan harapan saling menutupi kekurangan nutrisi masing-masing. Pemberian hijauan pakan dimaksud hanya berpatokan pada tradisi yang turun-temurun atau
yang dilakuksn oleh pemilik kuda pacu yang seringkali menjadi juara pada beberapa even sebelumnya.Dengan kata lain, para pemilik kuda pacu tidak
mengerti nama dan nutrisi apa serta berapa nilai yang terkandung di dalamnya sehingga disenangi oleh kuda. Makalah ini menginformasikan beberapa jenis hijauan pakan pavorit Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat serta komposisi
kandungan makro-nutrisinya.
MATERI DAN METODE
Penelitian yang telah dilaksanakan bulan Januari 2012 bertepatan dengan pencanangan Revitalisasi Lomba Pacuan Kuda Tradisional Sumbawa oleh
Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat di Arena Pacuan Kuda Orong Gilae
Prosiding Semnas II HITPI Page 306
Sumbawa Besar. 179 orang resonden/pemilik kuda pacu yang telah berhasil
masuk babak semifinal (± 25 persen dari jumlah peserta) yang terbagi dalam lima kategori kelas lomba (TK = 40 orang, O = 57 orang, TH = 35 orang, T = 30 orang,
dan D = 35 orang). Wawancara dan inventarisasi langsung jenis hijauan pakan dilakukan pada
sore dan malam hari di lokasi kandang sementara yang didirikan di luar/tidak jauh
dari arena pacu. Sekitar 500 g sampel segar dari semua jenis hijuan pakan yang tersedia di dalam kandang diambil secara acak kemudian dibawa ke laboratorium
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan dan Laboratorium Analitik Universitas Mataram untuk dianalisis secara mikroskopis dan makroskopis (Mertha, 2012) dan analisa proksimat bahan kering, protein kasar, lemak kasar,
serat kasar, energi kasar, kalsium dan fosfor (Harris, 1970 ; Sudirman, dkk., 1993 ; Sudirman, 2013). Hasil penelitian berupa data kualitatif dibahas secara
diskriptif, dan data kuantitatif (nilai rata-rata) dianalisis statistik menggunakan program Microsoft Excel (Santosa dan Ashari, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wawancara yang dilakukan pada sore dan/atau malam hari, nampaknya lebih banyak diperoleh informasi terutama yang terkait dengan jenis hijauan pakan kuda pacu karena para responden cenderung berkumpul di kandang kuda
yang akan dilombakan keesokan harinya. Koleksi sampel semua jenis pakan tidak mengalami kesulitan karena pada umumnya telah tersedia sehari sebelumnya serta
dibersihkan dan dipilah-pilah berdasarkan jenisnya. Penelitian menemukan
tidak kurang 25 jenis hijauan pakan yang diberikan kepada kuda pacu
merupakan penyusun utama komposisi botani dan merupakan famili
Poaceae, Cyperaceae, Commelinaceae, Euphorbiaceae, Amaranthaceae, Fabaceae, Convolvuceae, dan lain-lain yang belum teridentifikasi. Tetapi hanya
delapan jenis hijuan pakan berikut ini (Tabel 1) yang dikoleksi dari responden termasuk dalam famili Poaceae dan Fabaceae.
Tabel 1. Jenis Hijauan Pakan Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat
Hasil pengamatan menunjukkan, Cynodon dactylon merupakan jenis
hijaun pakan yang dominan proporsinya dalam campuran pakan kuda pacu, relatif sama dengan komposisi botani hijauan pakan kuda penarik cidomo di Kota Mataram provinsi Nusa Tenggara Barat (Sudirman, dkk., 2012).
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan makro-nutrisi (bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kalsium dan fosfor) kelima jenis
Prosiding Semnas II HITPI Page 307
hijauan pakan kuda pacu di Nusa Tenggara Barat tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kadar Nutrisi Hijauan Pakan Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat
Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, LK = Lemak Kasar, SK = Serat Kasar,
GE = Gross Energy, Ca = Kalsium, P = Fosfor.
Data kadar bahan kering pada Tabel 2 merupakan porsi di dalam hijauan
pakan kering udara (air dry basis), tetapi setelah dikonversikan ke dalam hijauan segar ternyata kadar bahan keringnya (as fed basis) berturut-turut (dari atas ke bawah): 25,30%, 22,55%, 32,08%, 43,19%, 30,35%, 25,13%, 30,32%, dan
32,50%. Hasil analisis laboratorium terhadap bahan kering (as fed basis) tersebut memberikan informasi bahwa hijauan pakan yang diberikan telah dilayukan atau
mengandung kadar air sekitar 56, 81-77,45 persen. Secara umum dapat diartikan bahwa pemilik kuda pacu yang menjadi responden didalam penelitian ini telah memahami manajemen pemberian hijauan pakan atau efek negatif apabila ternak
mengkonsumsi hijauan pakan yang terlalu tinggi kadar air. Kadar protein kasar Cynodon dactylon yang direkam dalam penelitian ini
hampir dua kali lipat dibanding laporan yang lain yaitu sebesar 9,70%, sedangkan Dactyloctenium aegyptiu, Eleusine indica, dan Leersia hexandra relatif sama kandungan proteinnya dibanding pernyataan Anonimus (cit. Adawiyah, 2012)
yaitu masing-masing 7,4-8,6%, 9,6-10,1%, dan 13,98%. Tingginya kadar protein kasar Cynodon dactylon yang diberikan kepada kuda pacu di kabupaten pulau
Sumbawa diduga karena rumput dimaksud banyak tumbuh di areal persawahan atau sengaja dipelihara sebagai pakan kuda pacu. Selain kadar protein kasar yang relatif tinggi, informasi lain yang menarik terhadap Cynodon dactylon adalah
rendahnya kadar lemak kasar, tingginya energi, dan seimbangnya kandungan kalsium dan fosfor.
KESIMPULAN
Terinventarisir delapan jenis hijauan pakan kuda pacu di provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, relatif spesifik dan
telah menjadi pakan tradisional kuda pacu. Cynodon dactylon merupakan jenis hijauan pakan pavorit kuda pacu dengan proporsi komposisi botani di dalam campuran pakan sangat dominan dan diberikan minimal sebulan sebelum lomba.
Prosiding Semnas II HITPI Page 308
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Riza Fakhlevi, Lismadia Utami, Saudatul Adawiyah,
Yuni Sulastiani, Marninayanti, dan seluruh panitia Revitalisasi Lomba Pacuan Kuda Tradisional Sumbawa, yang telah membantu selama penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, Saudatul, 2012. Inventarisai Jeni Pakan dan Energi Pakan dan Kecepatan Lari Kuda Sumbawa. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Harris, Lorin E., 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild Animals. Volume 1. An International Research System and Procedures for
Analyzing Samples. Printed in the United States of America. Mertha, I Gde, 2012. Visualization of Forest Trees of Lombok. Biology
Departement Mataram University. Pendanaan dan Penerbitan: JIFPR dan
Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Santosa, P.B. dan Ashari, 2006. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan
SPSS. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Sudirman, Muhammad Warman, I Nyoman Budiardja, Sofyan D. Hasan, dan
Suhubdy, 1993. Aspek Pakan Kuda Pacuan di Nusa Tenggara Barat
Kaitannya dengan Kecepatan Lari. Laporan Penelitian. DP3M Dirjen Dikti. Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Sudirman, 2011. Penetapan Rumpun Kuda Sumbawa. Makalah disampaikan dan Dipertahankan di Depan Dewan Komisi Penilaian, Penetapan, dan Pelepasan Rumpun atau Galur Ternak. Bogor.
Sudirman, Suhubdy, Sofyan D. Hasan, Mohammad Iqbal, dan Oscar Yanuarianto, 2012. Profil Pakan Kuda Penarik Cidomo: Skrening Bahan Pakan Lokal
Berdasarkan Indeks Kecernaan. Laporan Penelitian. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Universitas Mataram.
Sudirman, 2013. Evaluasi Pakan Tropis, Dari Konsep ke Aplikasi (Metode in-
Vitro Feses). Pustaka Reka Cipta, Bandung.
Prosiding Semnas II HITPI Page 309
PRODUKTIVITAS TENAGA PENGARIT BERDASARKAN MODA
PENGANGKUT DI PETERNAKAN SAPI PERAH PONDOK RANGGON,
JAKARTA TIMUR
Iwan Prihantoro
1), M. A Setiana, Annisa Bahar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas tenaga pengarit dan efektivitasnya berdasarkan moda pengangkut yang dipergunakan di peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Peternakan sapi perah
Pondok Rangon merupakan salah satu peternakan yang masih bertahan di DKI Jakarta yang ketersediaan hijauan pakannya berasal pada padang rumput alam.
Penelitian didasarkan pada sumber data primer dan sekunder dengan cara sensus dari total 22 peternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak di Pondok Rangon 40,91% telah berumur > 55 tahun dan 45,46% telah memiliki
pengalaman >20 tahun. Kapasitas mengarit tertinggi pada umur 38 tahun (395 kg/hari) dan moda truck lebih efisien dalam penyediaan hijauan dibanding pick up
dan becak motor.
PRODUCTIVITY OF GRASS SEEKERS BASE ON THE TRANSPORT
VEHICLE USED IN PONDOK RANGGON DAIRY CATTLE FARM,
EAST JAKARTA
ABSTRACT
The aim of this study were analyze productivity of grass seekers base on the transport vehicle used in pondok ranggon dairy cattle farm, east jakarta. Pondok Ranggon farm is one of the dairy cattle farms in Jakarta where the supply of
forage depend on natural pastures. Research based on primary and secondary data from the farmers and grass seekers using census techniques of 22 farmers. The
result showed, that 40.91% farmers were > 55 years old and 45.46% had >20 years of experience. The highest capacity of grass seeker were 38 years old (395 kg/d). Truck more efficient in supplying forages (p<0.05) than pick up and motor
Usaha peternakan sapi perah sangat bergantung pada ketersediaan pakan terutama hijauan yang nilainya mencapai 60-70% dari biaya produksi. Mengingat
tingginya biaya tersebut, perlu adanya perhatian tentang penyediaan pakan yang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. DKI Jakarta merupakan kota metropolitan dengan pembangunan yang bertambah pesat setiap tahunnya yang
berdampak langsung terhadap berkurangnya lahan terbuka yang beralih fungsi menjadi berbagai macam jenis bangunan. Dibalik pesatnya pembangunan Ibukota,
masih terdapat kawasan peternakan yang berbasis sapi perah. Peternakan sapi perah Pondok Ranggon terletak pada koordinat 06o21.435‟ lintang selatan dan
Prosiding Semnas II HITPI Page 310
106o54. 391‟ bujur timur. Kawasan peternakan Pondok Ranggon berbatasan
langsung dengan jalan Munjul Raya Kecamatan Cipayung (sebelah utara), perikanan ikan arwana dan perkemahan pramuka Cibubur (sebelah barat),
Kabupaten Bekasi (sebelah selatan), dan Tempat Pemakaman Umum (sebelah timur).
Penyediaan hijauan makanan ternak di Jakarta cukup sulit didapat karena
ketersediaan lahan yang sedikit dan produktivitas hijauan sangat tergantung pada musim. Ketersediaan lahan hijau di Jakarta tiap tahun semakin berkurang seiring
bertambahnya penduduk, sehingga lahan hijau beralih fungsi menjadi pemukiman. Hal ini menyebabkan ketersediaan hijauan pakan ternak berkurang, sehingga peternak akan mencari hijauan ke daerah lain hingga ke luar daerah Jakarta. Pola
mengarit ke luar daerah ini mengakibatkan waktu peternak akan banyak terbuang untuk mencari hijauan daripada mengurus ternaknya.
Tingginya minat beternak sapi perah di Pondok Ranggon semakin menuntut pakan asal hijauan yang semakin tinggi. Permasalahan lain yang dihadapi yaitu umumnya peternak tidak memiliki lahan khusus penyedia hijauan seperti kebun
rumput potong. Hingga saat ini penyediaan hijauan sangat bergantung pada padang rumput alam yang ketersediaanya semakin menurun. Saat ini kajian
tentang produktivitas tenaga pengarit dan komposisi hijauan pakan domestik di daerah penyedia hijauan belum dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas tenaga pengarit
dan efektivitasnya berdasarkan moda pengangkut yang dipergunakan di peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan usaha ternak sapi perah Pondok
Ranggon Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Waktu penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Februari-April 2013.
Materi
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, GPS
device, kamera, dan kuisioner.
Prosedur
Pelaksanaan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
menggambarkan situasi atau keadaan berdasarkan data-data faktual dengan teknik survei dan observasi langsung di kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Responden dari
penelitian ini adalah peternak sapi perah di Pondok Ranggon, dimana pemilihan responden ini menggunakan teknik sensus terhadap 22 peternak sapi perah yang
berada di kawasan tersebut. Pengamatan dan pengukuran terhadap 19 peternak dari total 22 peternak yang berada dikawasan ini hanya dilakukan terhadap peternak atau buruh yang mengarit di area terbuka dalam penyediaan hijauan
pakan.
Prosiding Semnas II HITPI Page 311
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Observasi
di lapangan meliputi pengamatan aktivitas pengarit dengan mengikuti peternak selama mengarit dan dilakukan pencatatan serta dokumentasi. Observasi juga
dilakukan terhadap jarak dan waktu tempuh peternak ke tempat mengarit menggunakan GPS untuk mengetahui jelajah pengarit dalam mencari hijauan, dan jenis moda yang dipakai peternak untuk mengangkut dari hasil mengarit. Waktu
efektif dan areal jelajah peternak dalam mengarit dihitung, serta dilakukan penimbangan terhadap hasil mengarit tiap peternak.
Analisis Deskriptif
Data survei dan observasi yang diperoleh terhadap responden masing-masing dari peternak dan buruh pengarit di daerah Pondok Ranggon, kemudian
diolah secara deskriptif. Analisis deskriptif ini meliputi gambaran keadaan umum di daerah penelitian, serta menggambarkan karakteristik peternak dan tenaga pengarit yang meliputi, umur, pengalaman (beternak atau mengarit), pekerjaan,
dan pendidikan. Selain itu, analisis deskriptif dalam penelitian ini untuk menggambarkan komposisi hijauan yang dikonsumsi ternak, waktu dan jarak
tempuh ke tempat mengarit, moda transportasi yang digunakan dalam mengarit, serta kapasitas mengarit per satuan waktu dan areal jelajah dalam mengarit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Peternakan Pondok Ranggon
Kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggon terletak di Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Keadaan permukaan
tanah di Pondok Ranggon bergelombang dengan dengan ketinggian 36 mdpl dengan curah hujan 1000-2000 mm/tahun (Anggraeni, 2010). Temperatur dan
kelembaban udara harian berkisar antara 24-35oC dan 65-91% (Dewayani, 2012). Pondok Ranggon mempunyai luas wilayah 366.015 ha dengan jumlah penduduk 24.962 jiwa (Profil Kelurahan Pondok Ranggon, 2012).
Peternak di Pondok Ranggon secara turun-temurun telah melakukan kegiatan berternak secara tradisional sejak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Peternak di daerah ini telah memiliki struktur organisasi yang bernama Kelompok Tani Ternak Swadaya Pondok Ranggon yang berdiri sejak tahun 1993. Kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggon mempunyai luas sebesar 11 ha dari 30 ha
yang telah disediakan oleh pemerintah sesuai dengan SK Gubernur No. 300 tahun 1986. Ternak yang dipelihara meliputi ternak ruminansia, yaitu: sapi perah, sapi
potong, kerbau, domba, dan kambing perah. Sapi perah merupakan ternak dominan yang dipelihara dengan populasi 1.100 ekor atau setara dengan 941.5 satuan ternak.
Penggunaan Lahan Kelurahan Pondok Ranggon
Berdasarkan data penggunaan lahan, penggunaan lahan di Kelurahan
Pondok Ranggon terdiri dari perumahan, perkantoran, rekreasi, sekolah, sarana ibadah, pemakaman, jalur hijau dan lain-lain. Lahan yang dapat digunakan
sebagai sumber hijauan pakan di Kelurahan Pondok Ranggon meliputi jalur hijau sebesar 0.54% dan pemakaman sebesar 18.56%. Kondisi ini menggambarkan luas lahan hijau yang sangat terbatas. Hal ini dikarenakan maraknya pembangunan
pemukiman dan bangunan lainnya sehingga lahan untuk sumber hijauan pakan berkurang.
Prosiding Semnas II HITPI Page 312
Tabel 1 Luas Penggunaan Lahan di Kelurahan Pondok Ranggon Jenis Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
Perumahan 210.015 56.47 Perkantoran 4.6 1.24
Rekreasi/ OR 26 6.99
Fasum/Sekolah 20.5 5.51
Sarana Ibadah 22 5.92
Pemakaman 69 18.56 Jalur Hijau 2 0.54
Lain-lain 17.8 4.79
Sumber : Profil Kelurahan Pondok Ranggon, 2012
Karakteristik Peternak
Karakteristik peternak di Pondok Ranggon dibedakan berdasarkan umur
peternak, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pengalaman beternak. Berdasarkan Tabel 2, sebagian besar peternak di Pondok Ranggon berumur antara 25-70 tahun. Peternak berumur >55 tahun memiliki persentase paling besar yaitu
sebesar 40.91%. Umur tersebut merupakan umur yang cukup sulit untuk mendapat pengarahan dalam mengembangkan usaha ternaknya. Hal tersebut
dikarenakan peternak beranggapan bahwa pengalaman adalah sumber utama pengetahuan mereka dalam beternak.
Tingkat pendidikan peternak di Pondok Ranggon sebagian besar adalah
lulusan SMA (54.54%), sedangkan lulusan SD, D2, dan S1 masing-masing sebanyak 27.27%, 4.55%, dan 13.64%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
peternak memiliki pendidikan yang relatif cukup tinggi. Meskipun tingkat pendidikan tergolong cukup tinggi, peternak di Pondok Ranggon belum menerapkan teknologi/mekanisasi dan masih bersifat tradisional.
Pekerjaan utama masyarakat di Pondok Ranggon adalah peternak dengan persentase sebesar 90.9%. Secara umum peternak sapi perah di Pondok Ranggon
menjadikan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi perah memberikan jaminan pendapatan yang berkesinambungan jika dikelola dengan baik. Tingkat pengalaman beternak di Pondok Ranggon relatif
lama yaitu lebih dari 20 tahun yang merupakan warisan keluarga secara turun menurun.
a. 25 - 35 tahun 6 27.27% b. 36 - 45 tahun 2 9.09%
c. 46 - 55 tahun 5 22.73%
d. > 55 tahun 9 40.91%
Pendidikan
a. SD 6 27.27% b. SMA 12 54.54%
c. D2 1 4.55%
d. S1 3 13.64%
Pekerjaan
a. Peternak 20 90.9% b. Petani 1 4.55%
c. Lainnya 1 4.55%
Lama beternak
a. 1 – 10 tahun 8 36.36%
b. 11– 20 tahun 4 18.18% c. > 20 tahun 10 45.46%
Sumber : Data primer 2013
Prosiding Semnas II HITPI Page 313
Produktivitas Tenaga Pengarit dan Manajemen Pakan Hijauan
Penyediaan hijauan pakan tidak terlepas dari ketersediaan alam dan produktivitas tenaga pengarit. Berdasarkan status tenaga pengarit, hanya terdapat
5.26% pengarit yang berstatus sebagai pemilik ternak. Tenaga pengarit didominasi oleh tenaga lepas/buruh sebanyak 94.74%. Karakteristik tenaga pengarit di kawasan Pondok Ranggon disajikan pada Gambar 1.
Banyaknya tenaga pengarit meningkat seiring banyaknya jumlah ternak. Pengaruh ini dimodelkan dalam bentuk persamaan linear. Berdasarkan model
tersebut dapat diambil kesimpulan berupa satu tenaga pengarit bertanggung jawab terhadap 7.02 ST dengan Y = 32,23x - 25,21; R² = 0,552. Banyaknya kapasitas mengarit meningkat seiring besar berat badan pengarit dengan setiap kenaikan
bobot badan tenaga pengarit sebesar 1 kg meningkatkan menaikkan kapasitas mengarit sebesar 19.663 kg. Berdasarkan umur tenaga pengarit, kapasitas
mengarit tertinggi berada pada umur 38 tahun dengan kapasitas mengarit sebesar 395 kg/hari dan pengalaman mengarit cenderung meningkatkan banyak kapasitas mengarit.
Pemberian hijauan cenderung menurun seiring dengan banyaknya jumlah kepemilikan satuan ternak (Gambar 2). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
peternak dalam mengarit. Peternak cenderung mengkonpensasi kekurangan hijauan dengan konsentrat dan ampas tahu. Konsentrat memiliki zat makanan utama (protein, lemak, karbohidrat) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
ternak. penambahan konsentrat terhadap sapi perah dara pada usaha peternakan rakyat secara efektif meningkatkan pertambahan berat badan dan mempercepat
umur pubertas ternak (Mariyono et al., 1995)
(a) (b)
(c)
(d) Gambar 1
Keterangan : (a) adalah hubungan banyak pengarit terhadap jumlah ternak, (b) adalah hubungan kapasitas mengarit
terhadap bobot badan, (c) adalah grafik hubungan antara kapasitas mengarit terhadap umur, dan (d) adalah hubungan antara kapasitas mengarit terhadap pengalaman.
y = 32,234x - 25,214 R² = 0,5528
0
50
100
150
200
0 2 4 6Jum
lah
Te
rnak
(ST
)
Jumlah Pengarit (orang)
y = 19,663x - 761,01 R² = 0,6383
0
200
400
600
800
40 50 60 70kap
asit
as m
en
gari
t (k
g)
bobot badan tenaga pengarit (kg)
y = -0,4561x2 + 35,268x - 286,17
R² = 0,3439
0
200
400
600
800
0 20 40 60 80
Kap
asit
as m
en
gari
t (k
g)
Umur Tenaga Pengarit (tahun)
y = 26,451x + 221,18 R² = 0,2935
0
500
1000
1500
2000
0 10 20 30
Kap
asit
as m
en
gari
t (k
g)
Pengalaman Mengarit (tahun)
Prosiding Semnas II HITPI Page 314
Gambar 2 Manajemen pemberian hijauan pakan
Moda Penyediaan Hijauan di Pondok Ranggon
Moda penyediaan hijauan di Pondok Ranggon terbagi atas 3 jenis alat angkut yaitu gerobak (29%), pick-up (53%), truk (12%) dan becak motor (6%).
Berdasarkan hasil uji sidik ragam, moda truk berbeda nyata lebih efisien (p<0,05)
dibanding pick-up dan gerobak dalam perolehan hijauan. Hal ini disebabkan jarak tempuh yang lebih jauh dan areal jelajah yang lebih luas. Berdasarkan jumlah
ternak, moda truk nyata lebih banyak dari gerobak dan pick up. Meskipun demikian jumlah ternak/tenaga pengarit tidak menunjukkan perbedaan.
Tabel 3. Moda Penyediaan Hijauan Pakan
Parameter Jenis alat angkut
Gerobak Pick-up Truk
Jumlah Tenaga Pengarit (orang) 1.25±0.50c 2.33±0.71
b 4±0
a
Waktu tempuh (menit) 22.75±22.65 15.22±6.98 32±1.41
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama meunjukkan berbeda nyata pada
taraf p< 0.05
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak di Pondok Rangon 40,91% telah berumur > 55 tahun dan 45,46% telah memiliki pengalaman
>20 tahun. Kapasitas mengarit tertinggi pada umur 38 tahun (395 kg/hari) dan moda truck lebih efisien dalam penyediaan hijauan dibanding pick up dan becak motor.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, L. 2010. Evaluasi usaha sapi perah dalam aspek financial berdasarkan skala usaha yang berbeda (studi kasus pada kelompok tani ternak sapi perah
y = -0,2967x + 20,524 R² = 0,1272
y = 0,0572x + 8,4675 R² = 0,0623
y = 0,0803x + 4,3728 R² = 0,1657
0
5
10
15
20
25
30
8
12
18
29
30
37
40
46
42
48
10
8
Pe
mb
eri
an (
kg/S
T/h
ari)
Jumlah Ternak (ST)
Hijauan
Konsentrat
Ampas Tahu (BK)
Prosiding Semnas II HITPI Page 315
swadaya Pondok Ranggon di Jakarta Timur). Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Dewiyani, N. 2012. Hubungan antara produksi dan kualitas susu sapi perah
dengan faktor yang mempengaruhi (studi kasus di Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kantor Kelurahan Pondok Ranggon. 2011. Profil Kelurahan Pondok Ranggon
Tahun 2012. Kecamatan Cipayung. Kota administrasi Jakarta Timur. Mariyono, A. Musofie, D. Pamungkas dan D. E. Wahyono. 1995. Pengaruh
pemberian pakan konsentrat pada sapi perah dara dalam usaha peternakan rakyat terhadap tampilan produktivitas dan efisiensi ekonomis. J. Ilmu Penelitian Ternak Grati. Vol 4 (1) : 1-5
Prosiding Semnas II HITPI Page 316
PRODUKTIVITAS DAN EMISI POLUTAN KAMBING PERANAKAN
ETAWAH YANG DIBERI WAFER RANSUM BERBASIS LIMBAH
TERFERMENTASI INOKULAN KONSORSIUM MIKROBA
Mudita, I M., A. A. P. P. Wibawa, I W. Wirawan, I G. L. O. Cakra dan I B. G. Partama
A Research had been carried out to optimise quality of ration wafer based
on nonconventional waste through biofermentation of consortium microbe inocullant to support development sustainable goat livestock on Research Stasiun Faculty of Animal Husbandry Udayana University, Bukit Jimbaran, Badung
Regency. Five consortium microbe inocullants used as fermentor for production ration wafer based on nonconventional waste (WFc, WF1, WF2, WF3, and WF4)
were inocullant of 1,5% rumen liquor and 0,05% optyzime enzyme, and 4 bioinocullant produced by combination of 2 levels bali cattle rumen liquor (10% and 20%) and 2 levels termites (0,1% and 0,2%) cultivation on natural inocullant
medium (BR1T1, BR2T1, BR1T2 and BR2T2). Fifteen Goat of Etawah Crossbreed were used in this research which designed of Randomized Block Designed with
five treatments and three blocks. The treatments were WFC are wafer silage ration nonconventional waste fermented by 1.5% rumen liquor and 0.05% optizyme enzyme, WF1 are wafer silage ration fermented BR1T1, WF2 are wafer silage ration
fermented BR2T1, WF3 are wafer silage ration fermented BR1T2, and WF4 are wafer silage ration fermented BR2T2. The result showed there not significant
different (P>0,05) of animals productivities, production of N-NH3, Propionic, Butiric, pH, organic matter degradation on rumen, loss energy for VFA production, loss energy as methane, loss energy as heat, rumen protein microbes synthesis,
efficiency of protein microbes synthesis, dry matter and nutriens digestibility, and pollutant emisions of etawah crossbreed goat. Even though on total VFA, Acetic,
ATP production on rumen and synthesis of dry matter biomass microbes, given WF3 (ration wafer fermented by BR1T2) has higest value and significant different (P<0,05) with WFc (ration wafer fermented by 1,5% rumen liquor and 0,05%
optyzime enzyme), and lowest (P<0,05) of population of rumen protozoa. It was concluded that all ration wafer fermented consortium microbes inocullat has
similar productivities with lower pollutan emmisions of goat livestock. Key word: Biofermentation, Consortium Microbes Inocullant, Nonnconventional
Waste, Ration Wafer
PENDAHULUAN
Pemanfaatan sumber daya lokal asal limbah sebagai wafer ransum kambing akan mengoptimalkan pemanfaatan limbah, mengurangi sifat selektivitas
ternak dan pencemaran lingkungan (Hegarty, 2001; Bratasida, 2002). Disamping secara alami, kambing mampu mengkonversi pakan berserat menjadi sumber
energi utama (Wanapat, 2000). Namun hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan limbah sebagai pakan tanpa aplikasi teknologi menurunkan produktivitas serta meningkatkan emisi polutan (Wibawa et al., 2009-2011; Mudita et al., 2009-
2012). Hal ini menunjukkan konversi pakan berserat menjadi produk bermanfaat
(daging maupun susu) oleh kambing belum optimal, hanya 42% serat kasar pakan limbah dapat dicerna (Mudita et al., 2010). Hal ini disinyalir akibat tingginya
kandungan lignoselulosa pakan limbah yang membatasi pemanfaatannya oleh ternak (Perez et al., 2002).
Lignoselulosa merupakan komponen utama biomassa tanaman pembangun
dinding sel yang terdiri dari tiga polimer yaitu lignin (25-30%), selulosa (35-50%) dan hemiselulosa (25-30%) yang berikatan kuat melalui ikatan non-kovalen dan
kovalen silang (Howard et al., 2003). Lignoselulosa hanya bisa didegradasi secara sempurna oleh aktivitas kompleks enzim lignoselulase yang dihasilkan oleh kerjasama berbagai mikroba (Sarkar et al., 2011; Wongwilaiwalin et al., 2010).
Sehingga pemanfaatan isolat tunggal tidak mampu mendegradasi ketiga polimer tersebut secara sempurna.
Konsorsium mikroba merupakan sekelompok mikroba dengan aktivitas sinergis mendegradasi senyawa/substrat secara berkesinambungan menghasilkan produk akhir berupa monomer siap pakai (Pathma dan Sakthivel, 2012). Sarkar et
al. (2011) mengungkapkan pemanfaatan konsorsium mikroba mengoptimalkan biodegradasi senyawa lignoselulosa melalui efisiensi waktu dan meniadakan bau
busuk dekomposting limbah organik dapur. Wongwilaiwalin et al., (2010) mengungkapkan formulasi konsorsium mikroba dari 3 sumber serat yaitu baggas tebu, jerami padi dan tongkol jagung “MC3F” mampu mengefisienkan
dekomposisi biomassa menjadi produk bernilai tinggi dengan aktivitas enzim endoglukanase, xylanase dan β-glukanase tinggi. Di alam, berbagai konsorsium
mikroba dapat diperoleh seperti isi rumen, rayap, cacing tanah, lahan pertanian, lahan gambut dan sumber lainnya.
Hasil penelitian Hibah Bersaing I dan II (Wibawa et al., 2009-2010)
menunjukkan pemanfaatan 1,5% konsorsium mikroba cairan rumen sapi bali dan 0,05% enzim optizime menghasilkan wafer ransum limbah nonkonvensional
berkualitas dan produktivitas kambing PE yang tinggi. Sedangkan penelitian Mudita et al. (2009-2012) menunjukkan pemanfaatan konsorsium mikroba asal limbah rumen sapi bali dan rayap sebagai produk bioinokulan mampu
menghasilkan silase ransum berkualitas dengan tingkat kecernaan in-vitro yang tinggi. Hasil-hasil penelitian tersebut dievaluasi lebih lanjut dalam optimalisasi
pemanfaatan limbah dalam penegmbangan peternakan kambing kompetitif dan sustainable.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian Fapet UNUD Bukit Jimbaran dengan waktu pengamatan dan pengambilan data lapangan selama 2 bulan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 5 perlakuan dan 3 kelompok.
Tiap unit perlakuan menggunakan 1 ekor kambing PE betina muda dengan bobot badan awal 15,86 ± 2,57 kg/ekor. Lima inokulan konsorsium mikroba asal limbah
isi rumen sapi bali, rayap dan/atau enzim optyzime dimanfaatkan dalam penelitian ini. Satu inokulan terdiri dari 1,5% cairan rumen dan 0,05% enzim optizyme “R15E5” yang merupakan inokulan terbaik hasil penelitian Hibah Bersaing I dan
II, dan 4 bioinokulan yang diproduksi dari kombinasi 2 level cairan rumen {10% (R1) dan 20% (R2)} serta 2 level rayap {0,1% (T1) dan 0,2% (T2)} yang
Prosiding Semnas II HITPI Page 318
dibiakkan dalam medium inokulan alami secara anaerob T 39oC selama 1 minggu
(BR1T1, BR2T1, BR1T2 dan BR2T2) (Tabel 1). Inokulan tersebut dimanfaatkan dalam produksi wafer ransum perlakuan yaitu WFc = Wafer ransum terfermentasi
Peubah yang diamati adalah: 1) Variabel Produktivitas Ternak meliputi pertambahan bobot badan harian, konsumsi bahan kering dan nutrien ransum
(Bahan Organik/BO, Protein Kasar/PK, Serat Kasar/SK dan Gross Energy/GE), serta FCR, 2) Variabel Fermentasi Rumen, terdiri terdiri dari pH cairan rumen,
konsentrasi VFA Total dan Parsial (Asetat, Propionat, Butirat dan asam lain), dan konsentrasi NNH3 cairan rumen, bahan organik terdegradasi (BOTr) dalam rumen, produksi ATP dalam rumen, jumlah energi untuk produksi VFA, jumlah
energi hilang sebagai metan, jumlah energi hilang sebagai panas, sintesis biomassa mikroba, sintesis protein mikroba dan efisiensi sintesis protein mikroba,
3) Variabel Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Wafer Ransum, meliputi KcBK, KcBO, KcSK, KCPK, Kc.energi, serta 4) Variabel Emisi Polutan, meliputi kadar CH4 dan CO2 cairan rumen serta konsentrasinya tiap unit VFA total, serta
konsentrasi dan produksi NH3 feses dan urine harian.
Prosiding Semnas II HITPI Page 319
Tabel 2. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal
Bahan Penyusun Komposisi (%)
Jerami Padi 15,00
Serbuk Gergaji kayu 4,00
Umbi ketela pohon 10,00
Dedak Padi 25,00
Bungkil Kelapa 30,00
Molases 5,00
Urea 3,00
Garam dapur 1,50
Kapur/CaCO3 1,35
Lemak Tello 5,00
Pignox 0,15
TOTAL 100,00
Kandungan Nutrien *
Bahan Kering (% Asfed) 91,07
Bahan Organik (% BK) 85,46
Serat Kasar (% BK) 21,79
Protein Kasar (% BK) 14,71
Energi Bruto/GE (kkal/kg) 3222,55
Keterangan: * Hasil analisis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud
Tabel 3. Teknik Fermentasi Ransum Penelitian Wafer
Protein Kasar (% BK) 16,0837 16,1644 16,9250 17,1836 17,1393
Energi Bruto/GE
(kkal/kg) 3504,07 3521,65 3687,35
3743,68
3734,04
Keterangan: Hasil analisis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud
Pertambahan bobot badan ternak ditentukan melalui penimbangan bobot
badan ternak setiap dua minggu sekali selama penelitian, Konsumsi bahan kering dan nutrien ransum didasarkan pada jumlah konsumsi ransum (Asfed) dikalikan
kandungan bahan kering atau nutrien ransum, kecernaan bahan kering dan nutrien ransum dihitung berdasarkan persentase selisih jumlah konsumsi nutrien ransum dengan jumlah nutrien yang keluar melalui feses dibagi dengan jumlah konsumsi
Prosiding Semnas II HITPI Page 320
nutrien ransum. Populasi protozoa dihitung menggunakan haemocytometer
dengan pewarna larutan Methylgreen Formalin Saline/MFS (Ogimoto dan Imai, 1981), pH cairan rumen diukur dengan pH meter Hanna Tife HI 9025, Kadar
VFA total dihitung menggunakan metode General Laboratory Procedure (1966), VFA parsial (Asetat, Propionat dan Butirat) dianalisis menggunakan Standard Addition Technique dengan HPLC (ICI Organic Acids Column), sedangkan Asam
lemak lain dihitung dari selisih VFA total dengan jumlah konsentrasi asetat, propionat dan butirat. Konsentrasi N-NH3 atau NH3 cairan rumen, feses dan urine
ditentukan dengan metode Phenolhypochlorite (American Society of Limnology, 1969), Bahan Organik terdegradasi dalam rumen (BOTr) ditentukan dengan menghitung jumlah bahan organik tercerna dikalikan 0,65 (ARC, 1990).
Sedangkan efisiensi sintesis protein mikroba dihitung berdasarkan produksi mikrobial protein tiap 100 g unit bahan organik terdegradasi.
Produksi methan dan Carbondioksida diestimasi berdasarkan produksi VFA parsial (Owen and Goetsch, 1988), yaitu CH4 (mmol) = 0,5 Asetat – 0,25 Propianat + 0,5 Butirat. Sedangkan CO2 = 0,5 Asetat + 0,25 Propionat + 1,5
Butirat. Produksi ATP dalam rumen, jumlah energi untuk produksi VFA, jumlah energi hilang sebagai metan, jumlah energi hilang sebagai panas, sintesis
biomassa (BK) mikroba dan sintesis protein mikroba dihitung berdasarkan kesetimbangan fermentasi dalam rumen (Owens dan Goetsch, 1988), yaitu :
Produksi ATP dalam Rumen (mol) = 2,5Asetat + 2,75Propionat + 3,5Butirat
Energi VFA (Mkal) = 0,2094Asetat + 0,3672Propionat + 0,5243Butirat
Energi hilang sbg methan (Mkal) = 0,2108 × (0,5Asetat+0,5Butirat–
0,25Propionat)
Energi hilang sbg panas (Mkal) = 0,0042Asetat + 0,0028Propionat + 0,0188Butirat
Sintesis Biomassa Mikroba (g/h) = 25Asetat + 27,5Propionat + 35Butirat 6000 × Prod ATP dalam Rumen
Sintesis Protein Mikroba (g/h) =
162 × (0,5Asetat + 0,5Propionat + Butirat)
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P≤0,05), analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)/Honestly Significant Difference/HSD (Sastrosupadi, 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produktivitas ternak
Hasil penelitian menunjukkan, pemberian kelima wafer ransum berbasis
limbah nonkonvensional terfermentasi inokulan konsorsium mikroba menghasilkan produktivitas ternak sama (P>0,05) (Tabel 5), walaupun secara
kuantitatif pemberian WF3 menghasilkan pertambahan bobot badan harian, konsumsi serat kasar, konsumsi protein kasar dan konsumsi energi yang lebih tinggi masing-masing sebesar 0,54-10,62%, 1,27-9,44%, 1,25-24,62%, dan 1,25-
24,61%. Terhadap konsumsi bahan kering dan bahan organik, pemberian WFc menghasilkasn tingkat konsumsi secara kuantitatif tertinggi (510,88 g/e/h dan
441,90 g/e/h) yang lebih besar 0,04-1,15% dan 0,53-4,54% dibandingkan dengan pemberian wafer ransum lainnya.
Prosiding Semnas II HITPI Page 321
Tabel 5. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap
Produktivitas Kambing PE
Peubah Perlakuan1
SEM 3 WFc WF1 WF2 WF3 WF4
BB Awal (kg/ekor) 15,67a 15,72a 15,90a 15,93a 16,07a 1,26
Keterangan: 1) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu
Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum
terfermentasi bioinokulan BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi
bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2; 2)
Hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
(P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the Treatment Means
Dihasilkannya produktivitas yang sama menunjukkan semua inokulan konsorsium mikroba mempunyai kualitas baik yang ditunjukkan terjadinya
peningkatan kandungan protein dan energi serta penurunan kadar serat kasar wafer ransum terfermentasi yang dihasilkan dibandingkan dengan kualitas ransum basal (Tabel 2 dan 4). Hal ini cukup logis mengingat bioinokulan konsorsium
mikroba yang diproduksi dari limbah rumen sapi bali dan rayap mempunyai kandungan nutrien dan mikroba yang cukup tinggi (Tabel 1), sedangkan inokulan
R15E5 merupakan inokulan terbaik hasil penelitian hibah bersaing I dan II (2009-2010). Sehingga semua inokulan tersebut mampu menjadi fermentor yang baik untuk ransum berbasis limbah nonkonvensional. Disamping itu pada dasarnya
semua inokulan mengandung konsorsium mikroba dengan berbagai enzim pendegradasi serat, dimana limbah isi rumen sapi bali maupun rayap merupakan
sumber konsorsium mikroba dengan populasi bakteri, fungi, maupun protozoa yang tinggi serta kaya berbagai enzim pendegradasi serat, sedangkan enzim optyzime merupakan enzim kompleks yang mengandung selulase, hemiselulase,
amylase, protease, dan pektinase (Guntoro, Pers.Comm), sehingga inokulan yang dihasilkan kaya nutrien available, mikroba serta enzim pendegradasi serat pakan.
Secara kuantitatif, pemanfaatan bioinokulan konsorsium mikroba yang diproduksi dari limbah rumen sapi bali dan rayap (BR1T1, BR2T1, BR1T2 dan BR2T2) menghasilkan pertambahan bobot badan harian lebih tinggi 3,82-10,61%
dan dengan FCR lebih rendah 2,00-8,35% dibandingkan dengan pemanfaatan “R15E5” inokulan limbah cairan rumen dan enzim optizime pada saat konsumsi
bahan kering dan bahan organik secara kuantitatif lebih rendah 0,04-1,14% dan 0,69-4,34% (Tabel 5). Hal ini kemungkinan disebabkan adanya kandungan rayap pada bioinokulan alternatif yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas
enzim khususnya CMCase (endo β-D-1.4-glukanase), dimana diketahui rayap mempunyai aktivitas CMCase yang tinggi yaitu 0,6961-0,7638 U/mg atau 7,11-
33,95 kali lebih besar dibandingkan dengan aktivitas CMCase cairan rumen kerbau, bahkan 19,39-35,69 kali lebih besar daripada aktivitas enzim cairan rumen sapi (Prabowo et al., 2007). Disamping itu kombinasi rayap dan cairan
rumen disinyalir meningkatkan kemampuan bioinokulan dalam mendegradasi
Prosiding Semnas II HITPI Page 322
serat pakan, karena produk hasil degradasi CMC-ase (sebagian besar dihasilkan
mikroba rayap) dapat dilanjutkan untuk didegradasi oleh enzim eksoglukanase maupun β-glukosidase (banyak dihasilkan mikroba cairan rumen) (Prabowo, et
al., 2007; Tresnawati Purwadaria et al., 2003;2004), sehingga meningkatkan keseimbangan aktivitas kompleks enzim selulase (Beauchemin et al., 2003 dalam Prabowo et al., 2007).
Fermentasi Rumen
Terhadap proses fermentasi rumen, penggunaan bioinokulan yang diproduksi dari kombinasi 10% cairan rumen dan 0,2% rayap (BR1T2) sebagai fermentor dalam produksi wafer silase ransum berbasis limbah nonkonvensional
mengakibatkan penurunan (P<0,05) populasi protozoa sebesar 38,37%, meningkatkan (P<0,05) produksi VFA total (78,67%), asam asetat (88,69%)
produksi ATP dalam rumen (83,67%) dan sintesis bahan kering mikroba rumen sebesar 83,59%, sedangkan terhadap derajat keasaman rumen (pH), produksi N-NH3, asam propionat, asam butirat, jumlah bahan organik terdegradasi dalam
rumen, energi untuk produksi VFA, enegi yang hilang untuk produksi methan, enegi panas, sintesis protein mikroba maupun efisiensinya belum secara nyata
(P>0,05) menghasilkan nilai yang berbeda dibandingkan inokulan kombinasi cairan rumen dan enzim optizime (R15E5) (Tabel 6). Hasil penelitian juga menunjukkan penggunaan bioinokulan lain (BR1T1, BR2T1 dan BR2T2) secara
kuantitatif juga menurunkan populasi protozoa, meningkatkan VFA total, asam asetat, produksi ATP dalam rumen dan sintesis biomassa mikroba, walaupun
belum menunjukkan nilai berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan penggunaan inokulan R15E5 (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap Fermentasi Rumen Kambing PE
eSPM (g/100 g BOTr.) 108,27a 88,75a 89,07a 80,29a 94,01aa 20,02
Keterangan: 1) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan
BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2;
2) Hurup yang sama pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the
Treatment Means
Prosiding Semnas II HITPI Page 323
Peningkatan sintesis bahan kering mikroba rumen (Microbial Biomass Synthesis), produksi Adenosin Tri Phosphat/ATP dan produksi VFA total dan produksi Asam Asetat pada kambing PE yang diberi wafer silase ransum terfermentasi
bioinokulan BR1T2 (bioinokulan yang diproduksi menggunakan kombinasi 10% limbah cairan rumen dan 0,2% rayap) menunjukkan pada kombinasi level cairan rumen dan ekstrak rayap tersebut kondisi optimal rumen untuk pertumbuhan dan
aktivitas mikroba rumen khususnya bakteri pendegradasi serat pakan tercapai. Hal ini tampak secara nyata dari pH cairan rumen yang berada dalam kisaran normal
yaitu pH 7 (kisaran pH normal adalah 6-7, Theodorou dan France, 1993) serta didukung populasi protozoa terendah (4,08 x 104 sel/ml) (Tabel 6) sehingga pertumbuhan dan aktivitas bakteri rumen menjadi lebih baik. Hal ini sejalan
dengan pendapat Van Glyswyk (1995) yang menyebutkan populasi protozoa yang tinggi merupakan salah satu faktor pembatas aktivitas bakteri rumen khususnya
pada saat pasokan nutrien pakan rendah. Kamra (2005) juga menyatakan peningkatan populasi protozoa akan menurunkan populasi bakteri khususnya selulolitik bakteri akibat dimangsa protozoa. Sehingga penurunan populasi
protozoa dan kondisi pH rumen yang optimal serta didukung pasokan nutrien ready fermentable yang tinggi (produksi ATP, VFA, N-NH3) akan mendukung
pertumbuhan dan aktivitas bakteri sehingga sintesis biomassa mikroba akan meningkat. Optimalisasi bioproses dalam rumen yang ditunjukkan dengan adanya
sintesis biomassa mikroba, produksi ATP dan produksi VFA yang tinggi, disinyalir sebagai respon suplementasi 0,2% rayap pada bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen, dimana rayap telah diketahui mempunyai
berbagai mikroba (bakteri, fungi dan protozoa) serta menghasilkan kompleks enzim selulase dan dengan aktivitas enzim CMC-ase yang tinggi (Prabowo et al.,
2006; Tresnawati Purwadaria, 2003;2004). Tingginya kandungan dan aktivitas CMC-ase akan meningkatkan efektivitas degradasi serat ransum, dimana enzim CMC-ase merupakan enzim yang paling awal/pertama mendegradasi serat pakan
khususnya dalam memecah ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin selulosa dari serat ransum berbasis limbah inkonvensional sehingga terbentuk
rantai-rantai individu selulosa. Disamping itu adanya limbah cairan rumen yang juga diketahui mempunyai kandungan mikrobia dan enzim pendegradasi serat pakan yang tinggi pula khususnya enzim eksoglukanase dan β-glukosidase
(Prabowo et al., 2007; Mudita et al, 2008-2010) telah mampu secara baik memanfaatkan atau memproses lebih lanjut produk yang dihasilkan oleh aktivitas
enzim CMC-ase. Enzim eksoglukanase dan β-glukosidase (dari cairan rumen) akan bekerja melanjutnya proses degradasi serat pakan dengan cara memotong ujung-ujung rantai individu selulosa sehingga menghasilkan selobiosa, dan
selanjutnya enzim β-glukosidase akan menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Berlanjutnya secara baik degradasi serat ransum akan mengoptimalkan produksi
dan pemanfaatan nutrien available baik bagi mikroba rumen sendiri maupun induk semang yang ditunjukkan dengan dihasilkannya ATP, VFA maupun sintesis biomassa mikroba yang tinggi sehingga produktivitas dan efesiensi pemanfaatan
ransun oleh ternak akan meningkat (Tabel 5).
Kecernaan Nutrien Wafer Ransum
Terhadap kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum, pemanfaatan
Prosiding Semnas II HITPI Page 324
semua inokulan konsorsium mikroba sebagai fermentor wafer ransum limbah
nonkonvensional menghasilkan kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum yang sama (P>0,05) (Tabel 7), walaupun secara kuantitatif penggunaan
bioinokulan konsorsium mikroba limbah isi rumen sapi bali dan rayap (BR1T1, BR2T1, BR1T2 dan BR2T2) menghasilkan nilai yang lebih tinggi masing-masing sebesar 3,41-8,18%, 3,16-5,49%, 6,00-7,77%, 2,21-15,31% dan 6,97-9,05% untuk
kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar dan kecernaan energi dibandingkan dengan pemanfaatan
R15E5.
Tabel 7. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap
Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Wafer Ransum
Peubah Perlakuan
1
SEM3
WFc WF1 WF2 WF3 WF4
Kecernaan BK (%) 67,14a2 70,08a 69,43a 71,94a 72,63a 4,11
Kecernaan BO (%) 70,55a 73,27a 72,78a 74,42a 73,21a 4,81
Kecernaan SK (%) 46,64a 47,67a 48,91a 53,78a 51,97a 6,91
Kecernaan Energi (%) 71,83a 77,05a 77,09a 78,33a 76,84a 4,17
Keterangan: 1)WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan
BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2; 2) Hurup yang sama pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the
Treatment Means
Dihasilkannya kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum yang sama (P>0,05) menunjukkan semua inokulan konsorsium mikroba mempunyai
kualitas baik dan mampu menjadi fermentor yang baik sehingga mampu menghasilkan wafer ransum berkualitas berbasis limbah nonkonvensional (Tabel 4). Pemberian wafer ransum berkualitas baik yang ditunjukkan dengan adanya
palatabilitas yang tinggi (Tabel 5) serta ditunjang proses fermentasi rumen yang baik (Tabel 6) sehingga akan menghasilkan kecernaan nutrien wafer ransum yang
tinggi dan pada akhirnya menghasilkan produktivitas ternak yang baik pula. Emisi Polutan Usaha Peternakan Kambing PE
Emisi polutan usaha peternakan kambing PE yang diberi wafer silase ransum terfermentasi bioinokulan yang diproduksi dari cairan rumen dan rayap
(WF1, WF2, WF3, WF4) maupun terfermentasi inokulan cairan rumen dan enzim optizime (WFc) menghasilkan nilai yang berbeda tidak nyata (P>0,05) hampir pada semua peubah pengamatan kecuali kadar amoniak/NH3 urine (Tabel 8).
Peningkatan kadar NH3 urine terjadi pada ternak yang diberi perlakuan WF2 (wafer silase ransum terfermentasi BR2E1) yaitu 33,79 m.Mol atau meningkat
(P<0,05) sebesar 150,56% dibandingkan dengan perlakuan WFc (12,97 mg/h), namun berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan lainnya. Namun peningkatan kadar NH3 urine ini tidak sampai meningkatkan emisi NH3 urine
harian yang merupakan indikator secara langsung jumlah emisi yang dikeluarkan ke lingkungan, sehingga tidak membawa pengaruh negatif bagi lingkungan.
Prosiding Semnas II HITPI Page 325
Tabel 8. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap Emisi
WF1 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2;
2) Hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the Treatment Means
Tidak terjadinya peningkatan emisi polutan usaha peternakan kambing
yang diberi wafer silase ransum berbasis limbah terfermentasi produk/inokulan berbasis cairan rumen dan enzim optizime/rayap disebabkan berlangsungnya proses metabolisme yang cukup baik yang ditunjukkan adanya nilai FCR yang
cukup rendah, tingkat kecernaan bahan kering maupun nutrien yang cukup tinggi, dan bioproses dalam rumen yang baik (Tabel 5-7) sehingga emisi polutan yang
dihasilkan baik melalui fermentasi rumen (eruktasi gas methan), limbah feses maupun urin ternak penelitian cukup rendah. Disamping itu hal ini juga sebagai respon yang positif dari pemakaian kombinasi sumber inokulan baik kombinasi
limbah cairan rumen dengan enzim optizim maupun kombinasi limbah cairan rumen dengan rayap. Dimana kedua kombinasi sumber inokulan ini telah mampu
menghasilkan keseimbangan enzim yang baik dalam proses degradasi wafer ransum khususnya degradasi komponen serat pakan menjadi senyawa yang dapat dimanfaatkan/diserap tubuh ternak untuk menunjang produktivitasnya.
Disamping itu, bila dibandingkan dengan emisi polutan khususnya emisi CH4 dan CO2 per unit VFA total yang dihasilkan dari kambing PE yang diberi
wafer ransum tanpa aplikasi biofermentasi (Hasil penelitian Hibah Bersaing I Tahun 2009) yaitu masing-masing 33,15% dan 55,66% tiap unit VFA total (Wibawa et al., 2009; Mudita et al., 2010), menunjukkan pemanfaatan inokulan
konsorsium mikroba menghasilkan emisi CH4 dan CO2 lebih rendah masing-masing 20,72-25,49% dan 5,17-11,96%. Hal ini menunjukkan aplikasi teknologi
biofermentasi inokulan konsorsium mikroba sebagai fermentor dalam produksi wafer ransum berbasis limbah nonkonvensional mampu menurunkan emisi polutan usaha peternakan kambing PE.
Prosiding Semnas II HITPI Page 326
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian wafer
ransum terfermentasi kelima inokulan konsorsium mikroba menghasilkan produktivitas, kecernaan bahan kering dan nutrien ransum dan emisi polutan yang sama, sedangkan pemanfaatan bioinokulan BR1T2 menghasilkan VFA total, Asam
Asetat, produksi ATP di rumen dan sintesis biomassa mikroba tertinggi dibandingkan dengan bioinokulan lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dibiayai DP2M Dikti melalui Program Hibah Bersaing III (2011). Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada DP2M Dikti, Rektor Universitas Udayana, LPPM Unud, Dekan Fakultas Peternakan Unud, Dekan Fakultas Peternakan Unhas, Kepala Lab. serta staf analis laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Biofarmaka Fakultas
Farmasi Unhas, Kepala Lab dan analis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud atas segala bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.
Anonymous. Pedoman Kerja (Edisi Indonesia). Biocon Diagnostik. Quality Diagnostics Manufactured in Germany. PT. Biocon Indonesia, Jakarta Selatan
Association of Official Analytical Chemist (A.O.A.C.). 1980. Official Method of
Analysis. 13th Ed., Washington, DC. Bratasida. 2002. Sustainable human settlements CSD12, Navy, New York
Hegarty, R. 2001. Green House Gas Emission From The Australian Livestock Sector. What Do We Know, What Can We Do. Australian Green House Office, Canberra ACT. ISBN: 1 876536 69 1. [cited 2007 Decembre 24].
Available from: URL: http://www.greenhouse.gov.au/agriculture /publications/pubs/ methane_emissions.pdf
Howard R. L., Abotsi E., J. V. Rensburg E. L., and Howard S. 2003. Lignocellulose Biotechnology; Issues of Bioconversion and Enzyme Production. Review. African Journal of Biotechnology Vol. 2 (12); 602-619
International Atomic Energy Agency/IAEA. 1997. Estimation of Rumen Microbial Protein Production From Purine Derivatives in Urine. A laboratory
Manual for The FAO/IAEA Co-ordinated Research Programme on Development, Standardization and Validation of Nuclear Based Technologies for Measuring Microbial Protein Supply in Ruminant Livestock for
Improving Productivity. IAEA-TECDOC-945.Vienna, Austria Kamra, D. N. .2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special Section: Microbial
Diversity. Current Science. Vol. 89. No. 1. hal 124-135. [cited 2007 Decembre 20]. Available from: URL: http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf
Mudita, I M.. 2008. Suplementasi Multi Vitamin-Mineral dalam Ransum Komplit Berbasis Jerami Padi Amoniasi Urea untuk Meningkatkan Efisiensi Sintesis
Protein Mikroba Rumen Sapi Bali Penggemukan. Tesis Program Studi Ilmu
Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Mudita, I M., I G. L.O. Cakra, A.A.P.P.Wibawa, N.W.Siti. 2009. Penggunaan
Cairan Rumen sebagai Bahan Bioinokulan Plus Alternatif serta Pemanfaatannya dalam Optimalisasi Pengembangan Peternakan Berbasis Limbah yang Berwawasan Lingkungan. Laporan Penelitian Hibah Unggulan
Udayana. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar Mudita, I M., T.I. Putri, T.G.B. Yadnya, dan B. R. T. Putri. 2010a. Penurunan
Emisi Polutan Sapi Bali Penggemukan Melalui Pemberian Ransum Berbasis Limbah Inkonvensional Terfermentasi Cairan Rumen. Prosiding Seminar Nasional, Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
ISBN: 978-979-25-9571-0 Mudita, I M., A.A.P.P.Wibawa, I W.Wirawan, N.W.Siti, and I G.L.O.
Cakra.2011. Improving the Nutritive Value of Total Mixed Ration Based on By-Products Fermented by Rumen Liquor and Enzyme. Indonesian Journal of Nutrition & Feed Science Vol. 2 (1); 20-25.
Mudita, I M., I W. Wirawan, A.A.P.P. Wibawa, I G.L. O. Cakra and N. W. Siti. 2011. Optimising Rumen Function of Bali Cattle Fed Ration Based on
Agriculture By-Products with Supplementation of Multivitamin-Minerals. Proceedings 3nd International Conference on Biosciences and Biotechnology. 278-286
Mudita, I M., I W. Wirawan, A.A.P.P.Wibawa, dan I G. N. Kayana 2012. Penggunaan cairan Rumen dan Rayap dalam Produksi Bioinokulan Alternatif
serta Pemanfaatannya dalam Pengembangan Peternakan Sapi Bali Kompetitif dan Sustainable. Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Universitas Udayana, Denpasar.
Owens, F.N. dan A.L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed. The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A. Reston Book.
Prentice Hall, Eglewood Cliffs, New Jersey. Pathma, J. and N. Sakthivel. 2012. Microbial Diversity of Vermicompost bacteria
that Exhibit Useful Agricultural Traits and Waste Management
Potential.SpringerPlus.Vol.1(26);1-19 Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. De la Rubia, and J. Martinez. 2002.
Biodegradation and Biological Treatment of Cellulose, Hemicellulose and Lignin; an overview. Int. Microbial, 5: 53-56
Prabowo, A., S. Padmowijoto, Z. Bachrudin, dan A. Syukur. 2007. Potensi
Mikrobia Seluloltik Campuran dari Ekstrak Rayap, Larutan Feses Gajah dan Cairan Rumen Kerbau. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32[3] Sept. 2007
Putri, T.I., T.G.B.Yadnya, I M. Mudita, B.R. T. Putri., 2009. Biofermentasi ransum berbasis bahan lokal asal limbah inkonvensional dalam pengembangan usaha peternakan sapi Bali kompetitif dan sustainable.
Laporan Penelitian Tahun Pertama Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch IV. Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Sarkar, P., M. Meghvanshi and rajni Singh. 2011. Microbial Consortium; A New Approach in Effective Degradation of Organic Kitchen Waste. International Journal of Environmenmtal Science and development. Vol. 2 No. 3; 170-174
Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang pertanian. Edisi Revisi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI Page 328
Theodorou, M.K., and J. France. 1993. Rumen Microorganisms and Their
Interaction. In;Quantitative Aspests of Ruminant Digestion and Metabolism.Edited by; J.M. Forbes and J. France. Pages; 145-163. C-A-B
International. United Kingdom at The University Press, Cambridge. Tresnawati Purwadaria, Pesta A. Marbun, Arnold P. Sinurat Dan P. Ketaren.
2003a. Perbandingan Aktivitas Enzim Selulase Dari Bakteri Dan Kapang
Hasil Isolasi Dari Rayap. JITV Vol. 8 No. 4 Th 2003:213-219 Tresnawati Purwadaria, T., Pius P. Ketaren, Arnold P. Sinurat, and Irawan
Sutikno. 2003b. Identification and Evaluation of Fiber Hydrolytic Enzymes in The Extract of Termites (Glyptotermes montanus) for Poultry Feed Application. Indonesian Journal of Agricultural Sciences 4(2) 2003; 40-47
Tresnawati Purwadaria, T., Puji Ardiningsip, Pius P. Ketaren dan Arnold P. Sinurat. 2004. Isolasi dan Penapisan Bakteri Xilanolitik Mesofil dari Rayap.
Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Vol. 9, No. 2.September 2004, hlm. 59-62 Van Glyswyk, N.O. 1995. Factors Limiting Proliferation of Desirable Groups of
bacteria in The Rumen of Animals Fed Poor Quality Feeds of High Fibre
Content. In; Rumen Ecology Research Plannig. Proceeding of Workshop held at ILRI. Addis Ababa, Ethiopia 13 – 18 March 1995. Edited by;,R. J. Wallace
and A. L. Kassi. The International Livestock Research Institute, Nairobi, Kenya., Addis Ababa, Ethiopia.
Wanapat, M. 2000. Rumen Manipulation to Increase the Efficient Use of Local
Feed Resources and Productivity of Ruminants in the Tropics. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 Supplement July B: 59-67
Wibawa, A.A. A. P. P., I M. Mudita, I W. Wirawan. I G. L. O. Cakra. 2009-2010. Aplikasi Teknologi Suplementasi dan Biofermentasi dalam Wafer Ransum Komplit Berbasis Limbah Inkonvensional dalam Pengembangan Peternakan
Kambing Sustainable dengan Emisi Polutan Rendah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing I dan II Universitas Udayana, Denpasar
Wongwilaiwalin, S., U. Rattanachomsri, T. Laothanachareon, L. Eurwilaichirt, Y. Igarashi, V. Champreda. 2010. Analysis of a thermophilic lignocellulose degrading microbial consortium and multi-species lignocellulolytic enzyme
system. Enzyme and Microbial Technology Journal 47; 283-290.
Prosiding Semnas II HITPI Page 329
PENGARUH PEMBERIAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT
MENGANDUNG UREA-KAPUR DAN UBI KAYU TERHADAP
PENAMPILAN KAMBING PE
I G. Mahardika*; N.S. Dharmawan**; K. Budaarsa*
I G.L.O. Cakra* , I P. Ariastawa* dan Indra Arimahayana*
*Fakultas Peternakan Universitas Udayana
**Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana
ABSTRAK
Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian hijauan dan konsentrat yang mengandung urea-kapur dan ubi kayu terhadap produktivitas kambing. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan
dan 4 ulangan. Ke empat perlakuan yang dicobakan adalah Perlakuan A: ransum dengan 75% konsentrat (mengandung 4% urea, 2% kapur dan 50% ubikayu) dan
25% hijauan (40% gamal dan 60% rumput raja), perlakuan B: rasnsum yang terdiri 60% konsentrat 40% hijauan, perlakuan C: ransum dengan 45% konsentrat dan 55% hijauan dan perlakuan D: ransum dengan 30% konsentrat dan 70%
hijauan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa produktivitas kambing yang mendapat ransum dengan level konsentrat 45% sampai 75% tidak berbeda
sedangkan yang mendapat ransum dengan level konsentrat 30% lebih rendah. Ransum yang memebrikan nilai ekonomi tertinggi adalah ransum yang mengandung konsentrat antara 45% sampai 60%.
Kata kunci:Produktivitas, kambing, urea, kapur, ubi kayu.
EFFECT OF FORAGE AND CONCENTRATE FEED CONTAINING
UREA-LIME AND CASSAVA MEAL ON PRODUCTIVITY OF GOATS
I G. Mahardika*; N.S. Dharmawan**, K. Budaarsa*
I G.L.O. Cakra*, I P. Ariastawa* and Indra Arimahayana
*Faculty of Animal Husbandry, Udayana University
** Faculty of Veterinary Science, Udayana University
ABSTARCT
The experiment was conducted to study the effect of forage and
concentrate feed containing urea-lime and cassava meal on productivity of goat. Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and 4 replicates were used in this experiment. Treatment A: ration with 75% concentrate (4% urea 2%
lime and 50% cassava meal) and 25% forage (40% gliricidia leaf and 60% king grass), treatment B: ration with 60% concentrate and 40% forage, treatment C:
ration with 45% concentrate and 55% forage and treatment D: ration with 30% concentrate and 70% forage. Results of this experiment showed productivity of goat feed 45% to 75% higher than feed 30% concentrate. Ration with 45-60%
Suplementasi urea dapat digunakan sebagai sumber amonia (nitrogen),
tetapi urea sangat cepat melepas nitrogen (N) dalam rumen, dan dapat memproduksi amonia dengan cepat sehingga bila dosisnya berlebihan akan menyebabkan keracunan bahkan dapat menyebabkan kematian ternak (Stanton
dan Whittier, 2006). Huntington et al. (2006) melaporkan bahwa urea dihidrolisis dengan cepat dalam rumen dan puncak produksi amonianya dicapai pada 1 jam
setelah pemberian urea. Taknik untuk memperlambat pelepasan amonia dari hidrolisis urea di rumen dipandang lebih efisien, dan aman karena dapat mencegah keracunan amonia (Galo et al., 2003).
Penggunakan urea dalam ransum perlu disertai dengan penggunaan sumber energi (sumber karbohidrat) yang mudah larut/tersedia di dalam rumen,
karena untuk mensintesa protein mikroba yang optimal diperlukan keseimbangan antara energi (VFA) dan nitrogen dalam bentuk N-NH3. Bahan makanan sebagai sumber karbohidrat yang sudah umum digunakan adalah molasis, namun bahan
ini harganya tinggi dan keberadaannya tidak tersebar diseluruh Indonesia, oleh karena itu perlu dicarikan sumber karbohidrat alternatif lainnya seperti ubi kayu.
Ubi kayu mengandung energi yang tinggi (85% BK) tetapi rendah kandungan proteinnya (Kyotong dan Wanafat, 2004; Wanafat dan Khampa, 2007). Disamping itu ubi kayu mengandung karbohidrat lebih tinggi dibandingkan
dengan jagung (Somart et al., 2000; Chanjula et al., 2003). Hasil penelitian Chanjula et al., (2004) menunjukkan bahwa sinkronisasi penggunaan urea dengan
pati yang berasal dari ubi kayu atau jagung dalam ransum sapi perah memberikan respon yang tidak berbeda terhadap penampilan produksi sapi perah. Sebelumnya Gerparcio et al., (1979) mendapatkan kandungan pati ubi kayu (48,49%) lebih
tinggi dari kandungan pati jagung (45,35%). Disisi lain harga ubi kayu lebih murah dibandingkan dengan jagung. Dari fenomena ini dapat menunjukkan
bahwa ubi kayu dapat dijadikan sumber energi yang potensial sebagai pakan kambing. Namun imbangan yang optimal antara urea-kapur sebagai slow release urea (SRU) dan ubi kayu dalam ransum kambing Peranakan Etawah (PE) belum
ada informasinya. Penelitian pendahuluan kami mendapatkan bahwa penggunaan urea 5% dan 2% kapur dalam konsentrat yang disertai dengan penggunaan 50%
ubi kayu memberikan kinerja rumen yang terbaik. Berdasarkan atas hasil tersebut perlu dicoba berapa imbangan hijauan dan konsentrat tersebut di dalam ransum agar memberikan penampilan ternak yang terbaik dan efisiensi penggunaan pakan
yang tertinggi. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas kambing yang diberikan pakan konsentrat mengandung
urea-kapur dan ubi kayu. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain: 1) sebagai dasar penyusunan ransum ternak kambing dengan menggunakan limbah
pertanian yang disuplementasi dengan urea-kapur dan ubi kayu. 2) Penerapan hasil penelitian ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan
meningkatkan produktivitas ternak, 3) meningkatkan pendapatan peternak kambing karena menggunakan pakan yang efisien serta menghasilkan ternak dengan produksi yang baik.
Prosiding Semnas II HITPI Page 331
MATERI DAN METODE
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 ekor kambing
Peranakan Etawa (PE) jantan, dengan kisaran berat badan awal 25 kg. Kambing tersebut ditempatkan sacara acak dalam kandang individu dengan kapasitas satu ekor per kandang dan diberikan pakan sesuai dengan rancangan percobaan yang
digunakan. Ransum yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari imbangan antara
hijauan (40% gamal dan 60% rumput raja) dengan konsentrat yang mengandung urea-kapur dan ubikayu. Ransum disusun disesuaikan dengan standar kebutuhan kambing berat 25 Kg. dengan pertambahan berat badan 75g per hari (Kearl 1982)
dengan protein kasar 11% dan total digestible nutrien 72%. Penelitian menggunakan rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
ulangan dan 4 Perlakuan. Adapuan keempat perlakuan yang dicobakan adalah: Perlakuan A: Ransum yang terdiri dari 25% hijauan dan 75% konsentrat. Perlakuan B: Ransum yang terdiri dari 40% hijauan dan 60% konsentrat.
Perlakuan C: Ransum yang terdiri dari 55% hijauan dan 45% konsentrat. Perlakuan D: Ransum yang terdiri dari 70% hijauan dan 30% konsentrat.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan ternak, konsumsi pakan dan
konsumsi nutrien, pH rumen, NH3, VFA total, asam asetat, asam propionat, asam
butirat, gas methan, efisiensi dan sintesis protein mikroba, populasi protozoa. Di samping itu dihitung juga kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, kadar
urea darah, Sintesis Protein Mikroba (SPM), serta Neraca protein dan energi. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P< 0,05), analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari
Duncan (Steel dan Torrie, 1986).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penampilan ternak
Berat badan akhir kambing yang mendapat ransum yang terdiri dari 75% konsentrat dan 25% hijauan (perlakuan A) adalah: 36,65 kg, sedangkan berat
badan kambing yang mendapat perlakuan B, C dan D berturut-turut adalah: 36,20 kg; 35,15 kg dan 32, 75 kg. Berat badan akhir kambing pada perlakuan D nyata lebih rendah dari perlakuan A, B dan C (P<0,05). Lebih rendahnya berat badan
kambing pada perlakuan D tersebut disebabkan karena kambing pada perlakuan D mengkonsumsi nutrien (energi, protein) yang lebih rendah dari peerlakuan
lainnya. Bila dihitung kenaikan berat badan selama 16 minggu maka diperoleh kenaikan berat badan (PBB) kambing pada perlakuan A adalah: 112,50 g/h, sedangkan pada perlakuan B. 0,79% lebih tinggi dan pada perlakuan C 6,75%
lebih rendah dari perlakuan A, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Kanaikan berat badan kambing pada perlakuan D nyata 31,74% lebih rendah dari
perlakuan A (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan yang mengandung 45-75% konsentrat yang dikombinasikan dengan hijauan yang terdiri dari 40% gamal dan 60% rumput raja memberikan pertumbuhan yang tidak
berbeda, sedangkan bila konsentratnya dibawah 45%, maka pertumbuhan kambing menjadi nyata lebih rendah.
Prosiding Semnas II HITPI Page 332
Konsumsi ransum kambing yang mendapat perlakuan A adalah: 980,94
g/h, sedangkan konsumsi ransum pada perlakuan B, C dan D tidak berbeda dengan perlakuan A (P>0,05). Dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda
tersebut akan menyebabkan kambing mendapatkan nutrien dengan jumlah berbeda karena ransum pada perlakuan A mengandung konsentrat yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan kenaikan berat badan kambing yang mendapat
konsentrat yang lebih banyak adalah lebih tinggi. Akibatnya adalah FCR kambing pada perlakuan D paling tinggi.
Tabel 1. Penampilan Kambing yang mendapat pakan yang mengandung urea-
kapur dan ubi kayu Variabel Perlakuan
1)
A B C D
Berat badan awal (kg) 24.05a 23.50a 23.40a 24.16a2)
Berat badan akhir (kg) 36.1a 36.19a 35.15a 32.76b
Kenaikan berat badan (g/h) 112,5a 113,39a 104.91a 76,79b
Konsumsi BK (g/h) 980.94a 984,41a 970,82a 960,32a
FCR 8,72a 8,68a 9,25a 12,51b Keterangan: 1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan
B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan
2). Nilai yang diikuti oleh superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
Rendahnya pertumbuhan kambing pada perlakuan D disebabkan karena penggunaan konsentrat yang terlalu rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan
akan nutrien untuk pertumbuhan. Di samping itu rendahnya pasokan nutrien juga akan berpengaruh terhadap proses pencernaan di dalam rumen. Hal ini terlihat dari sintesis protein mikroba (SPM) pada perlakuan D paling rendah yaitu 65,42
g/h, sedangkan pada perlakuan A, B, dan C adalah: 76,85; 72,72 dan 67,62 g/h.
Kecernaan Pakan
Pengukuran secara in-vivo terhadap kecernaan bahan kering ransum dan kecernaan protein pakan mendapatkan bahwa kecernaan bahan kering ransum
pada perlakuan A adalah: 71,76% (Tabel 2), sedangkan kecernaan bahan kering pada perlakuan B dan C tidak berbeda dengan perlakuan A (P>0,05), tetapi
kecernaan bahan kering ransum perlakuan D nyata lebih rendah dari perlakuan A (P<0,05). Kecernaan protein semua ransum percobaan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 2. Kecernaan ransum yang mengandung urea-kapur dan ubi kayu pada
kambing Variabel Perlakuan
1)
A B C D
Kecernaan Bahan Kering (%) 71,76a 73,05a 70,16a 68,06a2)
Kecernaan Protein (%) 78,62a 78,80a 76,72a 75,00a
Sintesis Protein Mikroba (g/h) 76,85a 72,72a 67,62b 65,42b Keterangan: 1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan
B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan
C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan
2). Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
Prosiding Semnas II HITPI Page 333
Hasil pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) mendapatkan
bahwa KCBK ransum perlakuan A dan B tidak berbeda nyata (P<0,05) sedangkan pada perlakuan C dan D nyata lebih rendah dari perlakuan A. Menurunnya KCBK
pada perlakuan C dan D ini disebabkan karena menurunnya porsi konsentrat yang akan menyebabkan menurunnya jumlah jumlah nitrogen dan ubi kayu. Menurunnya jumlah nitrogen dan ubi kayu ini menyebabkan aktivitas mikroba
rumen akan menurun. Demikian pula dengan degradasi bahan organik yang juga menurun.
Kecernaan protein pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), walaupun ada kecenderungan meningkatknya porsi konsentrat menyebabkan kecernaan protein juga meningkat. Menurut Bach et al.
(2005) kecernaan protein ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tipe protein dan interaksinya dengan nutrien lain khususnya karbohidrat serta populasi
mikroba yang dominan. Hasil penelitian Suryani (2012) mendapatkan bahwa sapi bali yang diberikan ransum dengan kandungan gamal yang lebih tinggi kecernaan proteinnya meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena meningkatknya
populasi bakteri proteolitik yang mengakibatkan aktivitas proteolitik meningkat. Degradasi bahan kering dan bahan organik ini mempunyai hubungan
dengan sintesis protein mikroba yaitu semakin tinggi degradasinya dalam rumen, maka pembentukan protein mikroba juga meningkat. Hasil ini didukung dengan meningkatnya sintesis protein mikroba (SPM) pada ransum perlakuan A. Hasil
penelitian Erwanto (1995) mendapatkan bahwa pertumbuhan mikroba rumen tergantung kepada tersedianya sumber nitrogen, karbohidrat yang mudah larut.
Laju kelarutan karbohidrat merupakan faktor penentu produksi protein mikroba rumen. Karbohidrat berperan sebagai sumber energi dan sumber kerangka karbon bagi mikroba .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan jumlah konsentrat menjadi 45% dalam ransum menyebabkan menurunnya sintesis protein mikroba.
Penurunan ini erat kaitannya dengan menurunnya jumlah urea dan ubukayu yang didapatkan oleh kambing pada perlakuan C dan D. Stern et al. (2006), mendapatkan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan mikroba yang optimum
diperlukan pasokan nitrogen dan energi yang seimbang. Kelebihan nitrogen akan menyebabkan konsentrasi NH3 dalam rumen akan meningkat yang dapat
menyebabkan keracunan, sedangkan kelebihan energi akan menyebabkan penggunaan energi menjadi tidak efisien.
Keseimbangan Energi dan Protein
Pemberian ransum yang dengan komposisi hijauan dan konsentrat yang
mengandung urea-kapur dan ubikayu dalam jumlah berbeda menghasilkan energi tercerna yang tidak berbeda (Tabel 3). Namun penurunan jumlah konsentrat di dalam ransum akan menyebabkan menurunnya jumlah energi yang diretensi
secara signifikan (P<0,05). Penurunan energi yang diretensi ini disebabkan karena ransum dengan jumlah konsentrat yang lebih tinggi mempunyai keseimbangan
nutrien yang lebih baik sehingga efisiensi penggunaan energinya juga lebih baik. Hasil penelitian Partama et al. (2010) mendapatkan bahwa sapi bali yang diberikan pakan jerami padi amoniasi yang disuplementasi dengan konsentrat
menghasilkan retensi energi yang lebih tinggi. Meningkatnya retensi energi ini akan berdampak kepada pertumbuhan ternak yaitu semakin tinggi energi yang
Prosiding Semnas II HITPI Page 334
diretensi, maka pertumbuhan ternak lebih baik.
Tabel 3. Keseimbangan Energi dan Protein pada kambing yang mendapatkan
ransum mengandung urea-kapur dan ubi kayu. Variabel Perlakuan
1) A B C D
Energi tercerna/DE (k.kal/h) 2876a 2823a 2816a 2726a2)
Retensi Energi (k.kal/h) 326,1a 328,2a 304,8a 224,2b Konsumsi protein (g/h) 203,80a 194,551a 181,95ab 170,22b Protein tercerna (g/h) 160,20a 153,30a 139,60ab 127,70b Retensi protein (g/h) 21,72a 21,91a 20,24a 14,77b Keterangan: 1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan
B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan
C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan
D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan
2). Nilai yang diikuti oleh superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
Aspek Ekonomi
Harga ransum yang terdiri dari 75% konsentrat dan 25% hijauan
(perlakuan A) adalah Rp. 3.078, sedangkan harga ransum pada perlakuan B; C dan D berturut-turut adalah: Rp. 2.742; Rp. 2.407 dan Rp. 2.071. Kaikan berat
badan kambing yang mendapat perlakuan A, B, C dan D berturut-turut: 112,50 g/h, 113,39g/h, 104,91 g/h dan 76,79 g/h. Bila dihitung biaya pakan untuk kenaikan 1 kg berat badan (PBB), maka pada perlakuan A adalah Rp. 26.842/kg
PBB, sedngakan ransum pada perlakuan B, C dan D berturut-turut Rp. 23.811/kg PBB, Rp. 22.274/kg PBB dan Rp. 25.905/kg PBB. Dilihat dari aspek ini maka
ransum pada perlakuan B (60% konsentrat dan 40% hijauan) serta ransum pada perlakuan C (45% konsentrat dan 55% hijauan) memberikan nilai ekonomi tertinggi karena memerlukan biaya pakan paling murah untuk mendapatkan
kenaikan berat badan. Hubungan antara level konsentrat dengan biaya yang dibutuhkan untuk menaikan 1 kg kenaikan berat badan mengikuti persamaan Y =
Gambar 1. Hubungan antara level konsentrat dengan biaya pakan untuk
menaikan 1 kg berat badan
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Bia
ya p
akan
/PB
BB
(R
p/1
kg
PB
B)
Level konsentrat (%)
Prosiding Semnas II HITPI Page 335
Kurva Gambar 1. mengindikasikan bahwa pada level konsentrat yang
terlalu rendah meskipun biaya pakannya rendah akan menyebabkan kenaikan berat badan yang rendah sehingga tidaf efisien. Demikian juga dengan
penggunaan konsentrat yang terlalu tinggi menyebabkan biaya pakan yang tinggi, walaupun pertumbuhannya terbaik. Bila dilihat dari kurva tersebut, level konsentrat yang paling efisien antara 45% sampai dengan 60% atau pada rata-rata
penggunaan konsentrat 50%.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Produktivitas kambing yang mendapat pakan yang mengandung konsentrat yang mengandung ure-kapur dan ubi kayu di atas 45% lebih
baik dibandingkan dengan kambing yang mendapat pakan dengan konsentrat kurang dari 45%, sedangkan produktivitas kambing yang mendapat pakan yang mengandung konsentrat antara 45% sampai 70%
tidak ada perbedaan. 2. Level konsentrat (mengandung urea-kapur dan ubi kayu) 45% sampai 60%
dan hijauan 40% sampai 55% memberikan nilai ekonomi yang terbaik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Direktur Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat, Dikti atas pendanaan yang diberikan. Terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telah memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini.
Kepada Andi Udin Saransi (analisis) di Laboratorium Nutrisi Ternak Fakultas serta Yogi dan Putri (mahasiswa S2 Program Pascasarjana Unud) terimakasih atas
segala bantuannya selama penelitian lapangan dan di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Bach, A., S. Calsamiglia, dan M.D. Stern. 2005. Nitrogen Metabolism in The Rumen. J. Dairy Sci. 88(E.Suppl.): E9-E21. American Dairy Science
Association. Cherdthong, A., M. Wanapat and C. Wachirapakorn 2011. Influence of urea
calcium mixture supplementation on ruminal fermentation characteristics of beef cattle fed on concentrates containing high levels of cassava chips and rice straw.
Daily and alternate-day supplementation of urea or biuret to ruminants
Consuming low-quality forage: III. Effects on ruminal fermentation characteristics in steers. J. Anim. Sci. 82: 1528–1535.
Erwanto, 1995. “Optimalisasi system fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia” Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian
Galo, E., S.M. Emanuele, C.J. Sniffen, J.H. White and JR. Knapp. 2003. Effects of a polymer-coated urea product on nitrogen metabolism in lactating
Holstein dairy cattle. J. Dairy Sci. 86: 2154-2162. Huntington, G.B., D.L. Harmon, N.B. Kristensen, K.C. Hanson and J.W. Spears.
2006. Effects of a slowrelease urea source on absorption of ammonia and
endogenous production of urea by cattle. Anim. Feed Sci. Technol. 130: 225-241.
Kamra, D. N. .2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special Section: Microbial Diversity. Current Science. Vol. 89. No. 1. hal 124-135. [cited 2010 Decembre 20]. Available from:
URL:http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf. Khampa, S., M. Wanapat, C. Wachorapakorn, N. Nontaso and M. Watiaux ,2005.
Effect of urea level and sodium DL-malte in concentrate containing high cassava chip on ruminal fermentation effeciensy, microbial protein synthesis in lactating dairy cows raised under tropical condition. Asian-
Aust J. anim. Sci., 5: 837-844. Kiyothong, K. & M. Wanapat. 2004. Growth, hay yield and chemical composition
of cassava and Stylo 184 grown under intercropping. Asian-Aust.J.Anim.Sci.17:799-807.
McDonald, P., R. A. Edwards, dan J. F. D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition.
4th Edition. New York : Longman Scientific & Technical. Partama, I.B.G., I G.L.O. Cakra, I W. Matheus, I K. Sutama dan N.G.K. Roni.
2010. Increasing productivity of bali steer through supplementation of multi vitamins and minerals in ration based on ammoniation rice straw and agroindustrial by products. Proceeding Conservation and Improvement of
World Indigenous Cattle. Held by Study Centre for Bali cattle Udayana University.
Somart, K., Buttery, D.S., Rowlinson, P., and Wannapat, M. (2000). Fermentation characteristics and microbial protein
Stanton, T.L. & J. Whittier. 2006. urea and NPN for cattle and sheep.
http://www.ext.colostate.edu/Pubs/Livestk/01608.html. [25-01-2011] Stern, M.D., A. Bach and S. Calsamiglia. 2006. New Consepts in protein
Nutrition of Ruminants. 21st Annual Southwest Nutrition & Management Conference. February 23 – 24. Pp: 45 – 46.
Suryani. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali yang
Diberikan Pakan Hijauan dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sutardi, T, D. Sastradipradja, E. B. Laconi, Wardana, I G. Permana. 1995. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan serat Bermutu rendah , Defaunasi
Wanapat, M. and O. Pimpa. 1999. Effect of ruminal NH3N levels on ruminant fermentation, purine derivatives, digestibility and rice straw intake in
swamp buffaloes. Asian Aust. J. Anim. Sci. 12: 904-907. Wanapat, M. & S. Khampa. 2007. Effect of levels of supplementation of
concentrate containing high levels of cassava chip on rumen ecology,
microbial N supply and digestibility of nutrients in beef cattle. Asian- Aust.J.Anim.Sci. 20:75-81.
EKSPLORASI HIJUAN PAKAN BABI DAN CARA PENGGUNAANNYA
PADA PETERNAKAN BABI TRADISONAL DI PROVINSI BALI
K. Budaarsa, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa
Email: [email protected] HP. 08123629838 Fakultas Peternakan Universitas Udayana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hijauan yang
diberikan sebagai pakan ternak babi dan cara penggunaannya di propinsi Bali. Penelitian dilakukan dengan metode survei di seluruh kabupaten dan kota di Bali.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling, dengan pengelompokan atas dataran rendah dan dataran tinggi di masing-masing kabupaten dan kota. Pada masing-masing kelompok di ambil 2 orang peternak
babi tradisional, sehingga ada 4 peternak yang diwawancarai di masing-masing kabupaten dan kota atau 32 peternak di seluruh Bali. Hasil survei menunjukkan
bahwa ada perbedaan hijauan yang diberikan oleh peternak di dataran rendah dan dataran tinggi. Jenis hijauan yang diberikan di dataran rendah antara lain: batang pisang (Musa paradisiaceae), kangkung (Ipomaea aquatica), biah-biah
(Limnocharis flava), dan eceng gondok (Eichornia crassipes). Sedamgkan di dataran tinggi antara lain: batang pisang (Musa paradisiaceae), ketela rambat
(Ipomaea batatas), daunt alas (Colocasia esculenta) daun lamtoro (Leucaena leucocephala) dan dag-dagse (Pisonia alba). Batang pisang dominan (95 %) diberikan di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pemberian hijauan ada
dengan cara direbus ada yang diberikan dalam bentuk segar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat keragaman jenis hijauan pakan babi dan cara
pemberiannya antara di dataran rendah dengan dataran tinggi di Bali. Batang pisang merupakan hijauan yang paling banyak digunakan untuk pakan babi pada peternakan babi tradisional, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi.
Kata kunci: eksplorasi, hijauan dan peternakan babi tradisional
FORAGES EXPLORATION AND HOW TO USE ON TRADITIONAL
PIG FARM IN BALI PROVINCE
K. Budaarsa, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa
Email: [email protected] HP. 08123629838 Faculty of Animal Husbandry Udayana University
ABSTRACT
This study aims to determine the types of forages fed to pigs and how to use them on traditional pig farm in the province of Bali. The research was conducted using a survey in all districts and cities in Bali. Sampling was done by
stratified random sampling technique, by grouping the lowlands and highlands. In each of the 2 groups in the capture of traditional pig farmers, so there are four
farmers interviewed in each city or district and 32 farmers across Bali. The survey results indicate that there are differences in forage given by farmers in highlands and lowlands. Given type of forage in the lowlands include: banana stem (Musa
paradisiaceae), kale (Ipomaea aquatica), “biah-biah” (Limnocharis flava), and
water hyacinth (Eichornia crassipes). In the highlands include: banana stem (Musa paradisiaceae), sweet potatoes (Ipomaea batatas), taro leaf (Colocasia
esculenta) lamtoro leaf (Leucaena leucocephala) and “dag-dagse” (Pisonia alba). Banana stem dominant (95%) given in the lowlands and in the highlands. Giving forage there by boiling was provided in the form of fresh. The conclusion from
this study is that there is diversity of forage species and ways of administration among pigs in lowland plateau in Bali. Banana stem is the most widely used
forage to feed pigs on traditional pig farms, both lowland and highland. Keywords: exploration, forage and traditional pig farm
PENDAHULUAN
Peternakan babi di Bali masih menempati posisi penting bagi masyarakat pedesaan. Babi adalah salah satu komoditas ternak yang telah dipelihara sejak lama oleh masyarakat. Usaha peternakan babi di Bali sebagian besar merupakan
peternakan tradisional yang memelihara babi dua atau tuga ekor di masing-masing rumah tangga. Namun demikian, sudah banyak juga terdapat usaha peternakan
yang semi intensif dan bahkan modern dengan jumlah ternak piaraan lebih dari 100 ekor.
Peternak tradisional di pedesaan masih banyak yang memilih babi bali
untuk dipelihara, namun sudah banyak juga yang memelihara babi ras, diantaranya babi landrace, duroc, large wight, dan yang lainnya. Babi bali di Bali
memiliki status sosial-budaya yang sangat penting sekali. Untuk kegiatan upacara dan bahan upakara banyak mempergunakan daging babi. Selain untuk memenuhi kebutuhan untuk upacara agama, daging babi juga digunakan dalam berbagai
aktivitas sosial. Babi Bali sangat cocok dipelihara oleh para ibu rumah tangga di Bali sebagai celengan atau ”tatakan banyu”, karena dengan pemberian pakan
seadanya dan pemanfaatan limbah dapur (banyu dan sebagainya) babi bali telah mampu memberikan pertambahan berat badan yang baik.
Kalau dilihat sasaran yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, populasi babi tahun 2013 adalah 7.113.310 ekor dan tahun 2014 adalah 7.204.768 ekor. Sementara target produksi daging
babi tahun 2013 adalah 143.992 ton dan tahun 2014 sebanyak 247.420 ton. Oleh karena itu peningkatan produktivitas ternak babi menjadi suatu hal yang sangat penting, selain untuk meningkatkan komoditas ekspor, juga untuk memenuhi
permintaan dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat, contohnya untuk kebutuhan babi guling di Bali (Budaarsa, 2002 dan Budaarsa, 2006).
Meningkatnya permintaan daging babi dalam negeri sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk non muslim dan kunjungan wisatawan mancanegara yang terus meningkat (Budaarsa, 2012).
Peternakan babi tradisional di Bali masih menghandalkan limbah pertanian lokal dan hijauan yang ada di sekitar mereka sebagai pakan utama. Mereka tidak
mampu membeli pakan komersial, karena harganya sangat mahal. Limbah pertanian yang paling utama diberikan adalah dedak padi. Selain itu bungkil kelapa yang diperoleh dari proses pembuatan minyak secara tradisional, juga
biasa diberikan pada ternak babi. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur dengan hijauan.
Prosiding Semnas II HITPI Page 339
Hijauan yang diberikan jenisnya sangat beragam, tergantung lokasi daerah
dan musim saat itu. Di daerah dataran rendah, yang umumnya merupakan daerah persawahan, peternak lebih banyak memberikan kangkung sebagai hijauan pakan.
Sedangkan di daerah dataran tinggi atau pegunungan lebih banyak pohon ketela rambat yang diberikan. Pemberian hijauan ada yang diberikan dalam bentuk segar, ada juga diberikan dengan merebus terlebih dulu. Batang pisang ternyata
merupakan bahan pakan yang dominan digunakan oleh peternak babi di seluruh plosok daerah Bali.
Sampai saat ini belum ada informasi ilmiah mengenai jenis-jenis hijauan lokal dapat diberikan pada babi, termasuk cara pemberiannya. Padahal kenyataannya di lapangan peternak babi sebagaian besar memberikan hijauan
untuk ternak babinya. Hal ini dilakukan mengingat harga pakan komersial sangat mahal, tidak terjangkau oleh peternak, karena umumnya mereka beternak secara
tradisional dengan jumlah satu-tiga ekor. Informasi mengenai hijauan lokal dan kandungan nutrisinya untuk pakan babi hampir belum ada. Padahal peternak babi khususnya di pedesaan di Bali,
sangat menghandalkan hijauan sebagai makanan tambahan. Hal ini mendorong untuk dilakukannya penelitian ini, untuk memperkaya kasanah ilmu pengetahuan,
khususnya dalam pengembanan peternakan babi dengan berbasis sumber daya hijauan lokal yang melimpah.
MATERI DAN METODE
Materi dalam penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan oleh peternak babi tradisional di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling, dengan pengelompokan daerah atas dataran
rendah dan dataran tinggi di masing-masing kabupaten dan kota. Kesembilan kabupaten dan kota tersebut adalah : Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem,
Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung dan Kota Denpasar. Pada masing-masing kelompok di ambil 2 orang peternak babi tradisional, sehingga ada 4 peternak yang diwawancarai di masing-masing kabupaten dan kota atau 32 peternak di
seluruh Bali. Pengelompokan tersebut didasarkan atas adanya perbedaan jenis flora yang tumbuh di kedua dataran tersebut, walau perbedaannya tidak
signifikan. Di daerah dataran rendah secara umum adalah daerah persawahan, maka hijauan yang tumbuh adalah tanaman yang tahan air. Demikian sebaliknya, di daerah dataran tinggi umumnya daerah perkebunan, maka yang tumbuh adalah
tanaman yang kurang tahan air. Penelitian dilakukan selama 7 minggu. Saat melakukan wawancara dengan
peternak, sekaligus dilakukan pengamatan langsung terhadap pakan babi yang diberikan oleh peternak untuk diidentifikasi. Selain identifikasi jenis hijauan, juga di catat cara pemberiannya. Peternak yang dipilih adalah peternak babi
tradisonal yang dengan ciri-ciri antara lain : memelihara 1-4 ekor babi, babi diikat atau dikandangkan pada kandang sederhana, tidak memberikan konsentrat buatan
pabrik, dan tidak melakukan vaksinasi secara berkala. Data yang peroleh dianalisa secara sederhana menggunakan analisa kuantitatip dan deskriptif.
Prosiding Semnas II HITPI Page 340
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Hijauan
Kalau dilihat sebaran jenis hijauan yang diberikan oleh peternak babi di masing-masing kabupaten/kota di Bali, tampaknya tidak banyak perbedaan antara kabupaten satu dengan kabupaten lain. Jenis hijauan yang diberikan yaitu: batang
pisang, kangkung, ketela rambat, ketela pohon, daun papaya, daun pisang, bayam, eceng gondok, daun lamtoro, daun talas, suweg, ules-ules, kerokot, genjer, daun
candung, daun dag-dag, padang cekuh dan daun labu. Jenis hijauan yang diberikan dan nama lokalnya disajikan pada Tabel 1. Dari 32 orang peternak tradisional yang diwawancarai, sebanyak 30 orang
atau 95% yang memberikan batang pisang. Batang pisang sangat dominan digunakan baik di dataran rendah, maupun di dataran tinggi karena tanaman
pisang banyak tumbuh di kedua daerah tersebut. Batang pisang yang digunakan adalah batang pisang yang sudah dipanen. Peternak tidak memilih jenis pisang tertentu, yang penting pohon pisang tersebut sudah dipanen buahnya. Pohon
pisang ada di mana mana, dan panennya tidak mengenal musim. Oleh karena itu sangat mudah didapat tanpa harus membeli.
Hijauan ketela rambat dan kangkung, hampir ada di semua kabupaten dan kota di Bali. Kedua jenis tanaman ini juga banyak ditanam baik di dataran rendah, maupun di dataran tinggi. Di daerah persawahan biasanya petani menanam ketela
rambat sehabis panen padi, ketika musim kemarau, sebagai tanaman sela, menunggu musim tanam berikutnya. Pohon ketela rambat saat ini sudah
merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di pedesaan, sudah banyak peternak yang membeli pohon ketela rambat untuk babi piaraannya. Harganya relatif murah, satu ikat dengan berat kurang lebih 10 kg hanya Rp
10.000. Hijauan ketela rambat biasanya dipanen beberapa kali. Bisa dipotong secara selektif beberapa kali sebelum umbinya di panen. Kemudian terakhir
dicabut saat umbinya dipanen. Tanaman kangkung, selain ditanam secara khusus, juga banyak tumbuh secara liar di parit-parit, di pinggir sungai atau tanah-tanah kosong yang tergenang
air. Tanaman kangkung sebenarnya ditanam sebagai bahan sayur, tetapi juga diberikan untuk ternak babi. Oleh karena itu kangkung merupakan tanaman yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bahkan banyak sawah-sawah diperkotaan secara khusus ditanami kangkung dan dipanen setiap hari. Kangkung yang kualitas bagus dijual untuk sayur, yang kualitas kurang bagus dijual untuk pakan
babi. Tanaman kangkung sebenarnya secara umum ada dua jenis, yaitu kangkung darat dan kangkung air. Kangkung darat hidupnya memang di darat, kangkung
air hidup subur di daerah berair atau tergenang air. Kangkung yang banyak digunakan untuk pakan babi di Bali adalah kangkung air. Kalau dilihat dari ragam jenis hijauan yang diberikan pada ternak babi, di
daerah pegunungan jenis hijauannya lebih beragam dibandingkan dengan di daerah dataran rendah. Hal tersebut karena memang di daerah pegunungan
persedian hijauan lebih beragam. Sebagai contoh tanaman suweg (Amorphophallus campanullatus) dan ules-ules (Amorphophallus muelleri), hanya ditemukan di dataran tinggi atau di pegunungan dan sangat jarang terdapat di
dataran rendah apalagi di persawahan. Tanaman suweg dan ules-ules ini adalah tanaman semusim. Pohon dan daunnya muncul ke permukaan tanah hanya pada
Prosiding Semnas II HITPI Page 341
musim penghujan saja. Pada musim kemarau, pohonnya rontok, tetapi umbinya
tetap utuh di bawah tanah. Umbinya inilah di panen, bisa diolah untuk aneka jenis panganan.
Tabel 1. Beberapa jenis hiajauan untuk pakan babi di Bali
No Nama tanaman Nama latin Nama lokal (Bali)
1. Batang pisang Musa paradisiaceae Gedebong
2. Ketela Rambat Ipomaea batatas Sela bun
3. Kangkung Ipomaea aquatic Kangkung
4. Daun talas Colocasia esculenta Don tales
5. Ketela pohon Manihot utilissima Sela sawi/kesawi/sela prahu
6. Daun papaya Carica papaya Don gedang
7. Daun lamtoro Leucaena leucocephala Don lamtoro
8. Daun pisang Musa paradisiaceae Don biyu
9. Bayam Amaranthus caudatus Bayem
10. Eceng gondok Eichornia crassipes Eceng gondok
11. Daun dag-dag Pisonia alba Dag-dagse
12. Suweg Amorphophallus campanullatus Suweg
13. Ules-ules Amorphophallus muelleri Tiyih
14. Kerokot Portulaca oleracea Kesegseg
15. Genjer Limnocharis flava Biah-biah
16. Daun candung Don candung
17. Padang cekuh Padang cekuh
18. Daun labu Cucumbita maxima Don labu/waluh
Cara Pemberian
Pemberian hijauan pada peternakan babi tradisional dapat dikatagorikan
menjadi dua, yaitu pemberian dalam bentuk segar dan direbus. Pemberiann dalam bentuk segar ini dilakukan dengan cara memberikan langsung hijauan tersebut setelah diambil dari sumbernya. Sebagai contoh, tanaman kangkung diambil dari
kebun dalam jumlah tertentu langsung diberikan dengan menaruh di samping babi. Namun ada sebanyak 2% yang mencuci terlebih dahulu sebelum diberikan
kepada babi. Alasannya supaya bersih, sehingga babinya tidak sakit. Pemberian dalam bentuk segar mempunyai kelebihan antara lain: lebih praktis, kandungan nutrisinya utuh, dan tidak perlu waktu dan biaya untuk merebus. Kekurangannya:
sangat rentan terhadap penularan telur cacing, jika berlebihan ternak bisa keracunan akibat toksin yang dikandungnya, dan kecernaannya lebih rendah
dibandingkan yang direbus. Pemberian dengan cara merebus dilakukan terhadap hijauan yang menurut peternak dianggap membahayakan kalau diberikan dalam bentuk segar.
Pengetahuan tersebut mereka terima secara turun temurun, sehingga apa yang diwarisi itu akan diteruskan kembali kepada anak-anak mereka. Beberapa hijauan
yang harus direbus diantaranya: daun talas, genjer, suweg, ules-ules, candung, dan daun papaya. Alasan utama mereka merebus hijauan adalah supaya babi tidak keracunan. Alasan tersebut sangat masuk akal karena banyak diantara tanaman
tersebut yang mengandung toksin. Jika direbus maka kadar toksinnya akan berkurang, bahkan hilang.
Merebus hijauan sebelum diberikan kepada ternak babi ternyata memang ada manfaatnya. Pertama, toksin yang dikandungnya menjadi tidak aktif bahkan hilang, sehingga babi aman mengkonsumsinya. Kedua, meningkatkan
valatabelitas, lebih lahap dimakan oleh babi karena baunya lebih enak dan
Prosiding Semnas II HITPI Page 342
merangsang. Ketiga, kecernaannya meningkat. Hanya saja dengan merebus akan
membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak. Kalau diperhitungkan secara ekonomi, hal ini akan menambah biaya produksi. Hanya saja peternak tradisional
tidak memperhitungkan hal tersebut. Biasanya mereka merebus di atas tungku menggunakan kayu bakar. Hijaun yang direbus sebagian besar peternak (60%) mencampur dengan batang pisang, dedak padi atau polar.
Batang pisang sebelum diberikan terlebih dahalu dikupas lapisan luar yang agak tua, kemudian di iris-iris dengan ketebalan kurang lebih 0,5 cm. Irisan
batang pisang tersebut kemudian ditumbuk sampai agak halus, di campur dengan dedak padi atau polar, atau konsentrat lain yang dimilikinya. Semua peternak (100%) menambahkan garam dapur secukupnya pada campuran pakan yang
direbus, sebelum diberikan kepada babi. Pemberian garam dimaksudkan untuk menambah nafsu makan, disamping sebagai sumber mineral Na dan Cl. Peternak
tidak membeda-bedakan jenis batang pisang yang diberikan. Sangat tergantung dari jenis pisang apa yang kebetulan panen saat itu. Batang pisang kandungan utamanya adalah air, serat kasar dan mineral Zn (Hartadi, dkk. 1990). Jenis
tanaman di masing-masing daerah dan cara pemberiannya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis hijauan yang diberikan berdasarkan letak geografis/lokasi daerah dan cara pemberiannya
No Lokasi
daerah
Nama Tanaman Bahan Pencampur Cara Pemberian
1
Dataran
rendah
Ketela rambat - Diberikan utuh dalam bentuk segar
Kangkung - Diberikan dalam bentuk segar
Daun pisang - Diberikan dalam bentuk segar
Ketela pohon Daun talas, dedak Direbus dan ditambah garam secukupnya
Daun papaya Dedak, polar, bungkil kelapa Direbus
Bayam Diberikan dalam bentuk segar
Batang pisang Dedak padi, polar Diris-iris tipis, kemudian ditumbuk,
bisa segar basa direbus Daun talas Dedak padi, polar, batang
pisang
Pelepah dan daunnya dicincang,
kemudian direbus dengan bahan lain
Daun lamtoro - Diberikan dalam benuk segar
Eceng gondok Dedak padi, polar, batang pisang
Dalam bentuk segar atau direbus
Genjer Dedak padi, polar, batang
pisang
Direbus
Candung Dedak padi, polar, batang
pisang
Direbus
2
Dataran
tinggi
Ketela rambat - Diberikan dalam bentuk segar
Batang pisang
Dedak padi, polar, batang
pisang
Dalam bentuk segar atau direbus
Daun talas Direbus
Daun pisang - Diberikan dalam bentuk segar
Daun lamtoro - Dalam bentuk segar Bayam - Dalam bentuk segar
Daun papaya
Dedak padi, polar dan batang
pisang
Direbus
Daun dag-dag
Dedak padi, polar dan batang
pisang
dalam bentuk segar atau direbus
Suweg Dedak padi, polar dan batang
pisang
Direbus
Ules-ules Dedak padi, polar dan batang
pisang
Direbus
Kerokot Dedak padi, polar dan batang pisang
direbus
Prosiding Semnas II HITPI Page 343
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan sebagai pakan babi di Bali cukup banyak. Terdapat keragaman jenis hijauan pakan babi dan cara pemberiannya antara di dataran rendah dengan dataran tinggi di Bali.
Batang pisang merupakan hijauan yang paling banyak digunakan untuk pakan babi pada peternakan babi tradisional, baik pada dataran rendah maupun dataran
tinggi. Hijauan tersebut dapat diberikan dalam bentuk segar maupun direbus. Letak geografis (ketinggian tempat) mempengaruhi jenis hjauan yang tumbuh, sehingga menyebabkan ada perbedaan jenis hijauan yang diberikan untuk babi
antara dataran rendah dan dataran tinggi.
Saran
Perlu diupayakan pelestarian dan pengembangan hijauan lokal yang menjadi pakan ternak babi, sehingga bisa menunjang peningkatan produktivitas
usaha ternak babi di Bali yang berbasis bahan pakan lokal. Penelitian ilmiah perlu dilakukan untuk menggali potensi hijauan lokal untuk pakan babi, terutama dari
kandungan nutrisinya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih di sampaikan kepada Wayan Budiarta dan Gede Mahendra,
dan semua mahasiswa KKN Unud yang telah membantu mengumpulkan data lapangan. Demikian juga kepada anggota grup riset “Kajian Nutrisi Ternak Nonruminansia” yang telah memberikan dukungan semangat selama penelitian
ini, kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia 2011. Populasi Ternak 2010.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2011. Bali Dalam Angka 2011. Budaarsa, K. 2002. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan
Penelitian. DIK. Universitas Udayana. Budaarsa, K. 2006. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kabupaten Badung.
Laporan Penelitian. DIK. Universitas Udayana.
Budaarsa, K. 1997. Kajian Penggunaan Rumput Laut dan Sekam Padi sebagai Sumber Serat dalam Ransum untuk Menurunkan Kadar Lemak Karkas
dan Kolesterol Daging Babi. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Budaarsa, K. 2011. Nama Nama Latin Hewan. Denpasar. Udayana University
Press. Cahyanti, I.D., E. Anggarwulan dan W. Mudyantini. Pertumbuhan, Kadar
Klorofil dan Nitrogen Total Gulma Krokot (Portulaca oleracea Linn.) pada Pemberian Ekstrak Anting-anting (Acalypha indica.Linn.). BioSMART Vol. 7.1. 27-31.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKEDAS Indosesia Tahun 2007, DepKes, Jakarta.
Prosiding Semnas II HITPI Page 344
Hartadi,H., S Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Mansyur, U. Hidayat Tanuwiria dan Deny Rusmana. 2006. Eksplorasi Hijauan
Pakan Kuda dan Kandungan Nutrisinya. Universitas Padjadjaran Bandung.
Prosiding Semnas II HITPI Page 345
POTENSI PENGEMBANGAN HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI
DI BAWAH POHON KELAPA
KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
1Artise H.S. Salendu dan
2Femi H. Elly
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi,
Jl. Kampus Bahu Kleak Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia
Kecamatan Lolayan memiliki potensi untk pengembangan ternak sapi dilihat dari populasi ternaknya dan sumberdaya lahan. Permasalahannya lahan
yang ada belum dioptimalkan. Lahan di bawah kelapa dibiarkan ditumbuhi rumput liar yang dikonsumsi oleh ternak. Berdasarkan pemikiran tersebut, telah dilakukan penelitian tentang potensi pengembangan hijauan makanan ternak sapi.
Tujuan penelitian adalah menganalisis kapasitas tampung lahan di bawah pohon kelapa untuk hijauan makanan ternak. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode suvey. Penetuan lokasi secara purposive yaitu desa Tonayan dan Bakan yang memiliki populasi ternak sapi terbanyak. Penentuan responden secara simple random sampling terhadap populasi petani di desa terpilih. Jumlah responden
sebanyak 52 orang. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif dengan menggunakan formulasi kapasitas tampung (carring capacity). Nilai kapasitas
tampung (carring capacity) untuk kecamatan Lolayan sebesar 9,68, artinya berdasarkan luas lahan yang tersedia maka populasi riil masih dapat ditingkatkan 9,68 kali. Nilai kapasitas tampung desa Bakan masih lebih tinggi dibanding
dengan desa Tonayan. Kesimpulan, kecamatan Lolayan memiliki potensi untuk pengembangan hijauan di bawah pohon kelapa dilihat dari nilai kapasitas
tampung. Pengembangan hijauan ini dapat memberikan manfaat baik bagi ternak sapi maupun bagi kelestarian lingkungan. Saran yang dapat disampaikan adalah pengembangan hijauan di bawah pohon dilakukan bersama-sama dengan
pemerintah dan perguruan tinggi. Kata kunci: ternak sapi, hijauan, kapasitas tampung, kelapa
POTENCY OF DEVELOPMENT FORAGE FOR CATTLE UNDER
COCONUT IN LOLAYAN DISTRICT
BOLAANG MONGONDOW REGENCY
1Artise H.S. Salendu dan
2Femi H. Elly
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi,
Jl. Kampus Bahu Kleak Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia
Lolayan districts have the potential remedy cattle development seen from the livestock population and land resources. The problem is that there has not
been optimized land. Land under coconut are left overgrown with weeds that are
consumed by livestock. Based on these ideas, research has been conducted on the potential development of cattle forage food. The purpose of research is to analyze
the capacities of land under coconut trees to forage fodder. The method used was a survey. Determination of the location has been done by purposive sampling, the village Tonayan and Bakan which has the largest cattle population. Determination
of the respondents by simple random sampling of the population of farmers in the selected villages. The number of respondents as many as 52 people. Data was
analyzed using descriptive analysis with a capacity formulation (carring capacity). Value capacities for Lolayan Distrct of 9.68, meaning that the area of land available then the real population could be enhanced 9.68 times. Bakan village
capacities value is still higher than the village Tonayan. Conclusion, Lolayan district has the potential for development of forage under coconut seen from a
capacity value. Forage development can provide benefits both for cattle and for environmental sustainability. Suggestions that can be delivered is the development of forage under the trees together with the government and universities.
Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang diandalkan oleh masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow. Ternak sapi di daerah ini sebagai sumber
pendapatan bagi masyarakat petani. Ternak sapi juga dimanfaatkan sebagai tenaga kerja untuk pengangkutan dan pengolahan lahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa ternak sapi sebagai sumber pendapatan alternatif bagi petani. Menurut
Elly, (2008) dan Elly et al. (2008), ternak sapi memiliki peran terhadap sumber pangan (daging), sebagai tabungan, sumber pendapatan dan devisa, sumber tenaga
kerja, sumber pupuk organik serta sumber energi alternatif. Kecamatan Lolayan sebagai salah satu kecamatan yang memiliki ternak
sapi terbanyak yaitu sebesar 3210 ekor atau sekitar 14,16 persen dari total
populasi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasarkan sumberdaya ternak yang ada maka populasi ternak sapi di Kecamatan Lolayan mempunyai potensi
untuk dikembangkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan pemeliharaan ternak sapi merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha peternakan di daerah tersebut. Hal ini seperti yang terjadi di NTT (Ratnawaty et
al., 2004). Permasalahannya ternak sapi masih dipelihara secara tradisional dan merupakan usaha sambilan. Ternak digembalakan di lahan lahan kering seperti di
lahan perkebunan kelapa. Ternak di daerah ini mengkonsumsi limbah pertanian dan rumput yang tumbuh liar di lahan bawah pohon kelapa tersebut. Hal ini yang menyebabkan produktivitas ternak sapi lebih rendah dibanding di daerah lain
seperti di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Lahan di bawah pohon kelapa di Kecamatan Lolayan dimanfaatkan petani
sebagai lahan tanaman pangan. Tetapi, hasil prasurvey menunjukkan bahwa lahan
di bawah pohon kelapa belum dimanfaatkan secara optimal. Artinya, lahan di bawah kelapa tersebut masih banyak yang hanya dibiarkan ditumbuhi rumput liar.
Disis lain, ternak sapi membutuhkan pakan untuk peningkatan bobot badan yang ideal sesuai dengan umur dan jenis ternaknya. Kondisi ini sama dengan di daerah lain di Sulawesi Utara, seperti hasil penelitian Salendu (2012) di Kabupaten
Prosiding Semnas II HITPI Page 347
Minahasa Selatan. Lahan di bawah pohon kelapa yang belum dimanfaatkan dapat
ditanami hijauan makanan ternak. Berdasarkan pemikiran tersebut maka telah dilakukan penelitian tentang potensi pengembangan hijauan pakan ternak sapi di
perkebunan kelapa di Kecamatan Lolayan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kapasitas tampung lahan di bawah pohon kelapa di Kecamatan Lolayan.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini telah dilakukan di Kecamatan Lolayan dengan menggunakan
metode survey. Jenis data yang digunakan adalah data cross section, dari sumber
data primer dan data sekunder. Data primer (cross section setahun) diperoleh dari wawancara langsung dengan responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
instansi yang terkait dengan penelitian ini serta data hasil penelitian yang dipublikasi. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dengan petani peternak serta pengamatan langsung di lapangan.
Desa sampel ditentukan secara purposive yaitu Desa Tonayan dan Desa Bakan yang memiliki populasi ternak sapi terbanyak (BPS Kecamatan Lolayan,
2012). Responden ditentukan secara simple random sampling dari populasi petani peternak sapi di desa terpilih. Jumlah responden sebanyak 52 sampel terdiri dari 32 petani peternak sapi untuk desa Tonayan dan 20 petani peternak sapi untuk
desa Bakan. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif dengan rumus kapasitas tampung (Kementerian Pertanian, 2010) sebagai berikut :
Kapasitas Tampung = K
P
Keterangan :
P : Produksi Hijauan (ton/ha/tahun) K: Konsumsi Ternak (ST/tahun) yaitu 35 kg/ST/hari
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecamatan Lolayan adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow yang memiliki luas wilayah 297 km dengan batas-batas : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kotamobagu dan Kecamatan Passi; Sebelah
Selatan dengan Kecamatan Pinolosian; Sebelah Barat dengan Kecamatan dumoga dan Sebelah Timur dengan Kecamatan Modayag.
Keberhasilan petani dalam berusaha ternak sapi ditentukan oleh tiga unsur yang saling terkait yaitu penggunaan bibit, pakan dan manajemen usaha tersebut. Selain itu, karakteristik petani peternak juga sangat menentukan keberhasilan
usaha ternak sapi. Karakteristik petani peternak dimaksud diantaranya umur, pendidikan dan jumlah anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
umur responden berkisar antara 26-79 tahun atau rata-rata 45,35 tahun. Umur responden sebagian besar (98,08 persen) dikategorikan sebagai umur produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar responden lebih mudah dalam
menerapkan iptek berkaitan dengan usahanya. Kiswanto et al. (2004) mengemukakan bahwa makin tinggi umur petani, sampai batas tertentu, maka
kemampuan untuk bekerja akan meningkat sehingga produktivitasnya meningkat. Tingkat pendidikan responden sesuai hasil penelitian berkisar antara
Prosiding Semnas II HITPI Page 348
tingkat pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi. Distribusi tingkat pendidikan SD
dan SMP masing-masing sebanyak 40,38 persen, SMA sebanyak 17,32 persen dan PT 1,29 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani
peternak di lokasi penelitian dikategorikan rendah. Padahal, tingkat pendidikan formal yang semakin tinggi dapat menyebabkan seseorang makin berpikir rasional (Kiswanto et al, 2004).
Pakan merupakan salah satu unsur keberhasilan usaha ternak sapi. Hasil penelitian menunjukkan ternak sapi mengkonsumsi limbah pertanian dan rumput
yang tumbuh liar di lahan-lahan pertanian. Fenomena ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Hasil penelitian Ratnawaty et al. (2004) menunjukkan hijauan yang biasa digunakan untuk konsumsi ternak sapi berasal dari rumput
alam dan limbah tanaman jagung, kacang tanah yang baru dipanen. Djajanegara dan Ismail (2004) mengemukakan sebagian besar (95-100 persen) petani di
Wonogiri, Brobogan dan Blora memanfaatkan limbah tanaman sebagai pakan sapi. Tetapi menurut Rohani et al. (2013), jerami tergolong pakan yang berkualitas rendah.
Ternak sapi di Kecamatan Lolayan sesuai hasil penelitian digembalakan di bawah pohon kelapa. Status lahan kelapa yang digunakan untuk menggembalakan
ternak sapi baik lahan sendiri maupun lahan yang dipinjam. Responden yang memiliki lahan kelapa berjumlah 34 orang petani (65,38 persen) sedangkan 18 orang petani (34,72 persen) memanfaatkan lahan kelapa dengan status pinjam.
Rata-rata luas lahan kelapa yang dimiliki dan dipinjam sebesar 1,47 Ha. Pemilikan ternak sapi di wilayah penelitian berkisar 2-6 ekor dengan
jumlah keseluruhan untuk 52 responden sebanyak 152 ekor yang terdiri dari 40 ekor jantan dan 112 ekor betina. Rumput yang dikonsumsi sesuai hasil penelitian berupa jerami jagung, jerami padi, rumput gajah dan rumput lapang (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Limbah/Rumput oleh Ternak Sapi di Wilayah
Penelitian No. Jenis Limbah/Rumput Konsumsi Rata-rata
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi jerami padi adalah yang terbanyak (38,21 persen). Hal ini ditunjang oleh keadaan wilayah penelitian yang
merupakan daerah produksi tanaman pangan (padi). Petani peternak dalam hal ini telah memanfaatkan limbah padi yang selama ini hanya dibakar, walaupun kualitas pakan tersebut masih sangat rendah.
Konsumsi rumput gajah adalah yang paling rendah yaitu sebanyak 17,70 persen. Rumput gajah di lokasi penelitian mudah diperoleh tetapi bukan ditanam
di lahan milik petani, sehingga untuk mendapatkannya membutuhkan waktu. Di daerah penelitian pernah diintroduksi rumput gajah tetapi hanya petani tertentu yang menanamnya. Pengetahuan petani tentang manajemen penanaman rumput
gajah sangat rendah. Rata-rata konsumsi ternak sapi per ekor untuk hijauan sesuai Tabel 1
Prosiding Semnas II HITPI Page 349
sebanyak 15,89 kg per hari per ekor. Konsumsi pakan ini belum sesuai dengan
yang dianjurkan yaitu sekitar 10 persen dari berat badan ternak sapi. Hal ini seperti yang dikemukakan Santoso (1989) bahwa ternak besar akan
mengkonsumsi hijauan sebesar 10 persen dari berat badannya atau sekitar 20-25 kg/ekor/hari.
Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan ternak sapi
(Salendu, 2012). Menurut Menegristek (2000), pakan yang makin baik kualitas dan kuantitasnya menyebabkan makin besar tenaga yang ditimbulkan dan makin
besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging. Ternak sapi dalam masa pertumbuhan dan sedang menyusui memerlukan pakan yang memadai dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kemampuan produksi ternak yang relatif rendah
tergantung kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia (Haryanto, 2009). Berdasarkan kebutuhan ternak sapi tersebut maka sangat diperlukan penyediaan
pakan yang cukup dan berkesinambungan. Sebagian besar lahan di bawah pohon kelapa di lokasi penelitian tidak
dioptimalkan. Ternak sapi yang digembalakan di bawah pohon kelapa hanya
mengkonsumsi rumput liar yang tumbuh di lahan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas pakan di lokasi penelitian
adalah lahan di bawah pohon kelapa ditanami hijauan makanan ternak. Penanaman hijauan makanan ternak juga dapat bermanfaat dalam mengurangi emisi CO2 (Salendu, 2012). Penanaman hijauan ini dianggap seperti program
mempertahankan kelestarian hutan yang sering dianjurkan. Emisi CO2 dari perubahan penggunaan lahan menurut Herman et al. (2006) dapat dikurangi
dengan cara konversi hutan. Menurut Hurteau and North (2009) hutan dipandang sebagai penyerap potensi karbon yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kecamatan Lolayan
memiliki potensi untuk pengembangan hijauan makanan ternak dilihat dari kapasitas tampung lahan yang tersedia. Menurut Kementerian Pertanian (2010)
kapasitas tampung adalah kemampuan lahan untuk menampung ternak per satuan ternak per satuan luas sehingga memberikan hasil yang optimal. Hasil analisis kapasitas tampung di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kapasitas tampung (carring capacity) untuk kecamatan Lolayan sebesar 9,68, artinya berdasarkan luas lahan
yang tersedia maka populasi riil masih dapat ditingkatkan 9,68 kali. Nilai kapasitas tampung desa Bakan masih lebih tinggi dibanding dengan desa Tonayan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengembangan hijauan di bawah
pohon kelapa dapat dilakukan di lokasi penelitian, malahan populasi ternak masih dapat ditingkatkan.
Tabel 2. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Kecamatan Lolayan, Desa Tanoyan
dan Desa Bakan Koefisien/Variabel Kecamatan Lolayan Desa Tanoyan Desa Bakan
Luas Lahan Kelapa 3308,14 40,00 45,00
Produksi Rumput
(Ton/Ha/Tahun) 120,00 120,00 120,00
POPRIL 3210,00 101,00 51,00
Konsumsi
Ternak(Kg/ST/Hari) 35,00 35,00 35,00
Kapasitas Tampung 9,68 3,72 8,29
Prosiding Semnas II HITPI Page 350
Hijauan yang dapat ditanam di bawah pohon kelapa berupa rumput dan
leguminosa. Leguminosa dapat berfungsi sebagai tanaman penutup di bawah pepohonan. Tanaman ini kebanyakan digunakan untuk lahan yang ditanami
tanaman keras seperti karet, kelapa sawit dan kelapa (Salendu, 2012). Keberadaan tanaman penutup tanah di bawah pohon kelapa berguna untuk melindungi tanah dari jatuhnya butir-butir hujan. Selain itu, adanya tanaman penutup tanah
menyediakan suatu perlindungan terhadap tanah sehingga dapat menjaga kesuburan tanah.
Jenis rumput yang dapat diintroduksi di lahan di bawah kelapa misalnya rumput Brachiaria mutica. Introduksi dapat dilakukan dengan memperhatikan manajemen penanaman rumput di bawah pohon kelapa harus sesuai dengan yang
dianjurkan. Menurut Rahim (2006), apabila rumput penutup (cover grass) digembalai secara berlebihan (over grazing) dapat menimbulkan erosi.
Pengendalian erosi sangat ditentukan oleh jumlah ternak yang digembalakan pada suatu areal padang rumput (stocking rate). Penggembalaan harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi over grazing, jumlah ternak sebaiknya
tergantung pada kapasitas tampung (carring capacity) lahan di bawah pohon kelapa tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecamatan Lolayan memiliki potensi untuk pengembangan hijauan di bawah pohon kelapa dilihat dari
nilai kapasitas tampung. Pengembangan hijauan ini dapat memberikan manfaat baik bagi ternak sapi maupun bagi kelestarian lingkungan.
Saran yang dapat disampaikan adalah pengembangan hijauan di bawah
pohon dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan perguruan tinggi sebagai pendamping.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Sam Ratulangi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh dana penelitian
melalui Hibah Unggulan UNSRAT Tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Djajanegera, A dan I.G. Ismail. 2004. Manajemen Sarana Usahatani dan Pakan
dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar, Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Elly, F.H., B.M. Sinaga., S.U. Kuntjoro and N. Kusnadi. 2008. Pengembangan
Usaha Ternak Sapi Melalui Integrasi Ternak Sapi Tanaman di Sulawesi
Utara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Prosiding Semnas II HITPI Page 351
Haryanto, B. 2009. Inovasi Tehnologi Pakan Ternak Dalam Sistem integrasi
Tanaman-Ternak Berbasis Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Pengembangan Innovasi Pertanian 2 (3). 2009: 163-176. Herman, F. Agus, and I. Las. 2006. Analisis Finansial dan Keuntungan yang
Hilang dari Pengurangan Emisi Karbon Dioksida pada Perkebunan Kelapa
Sawit. Jurnal Litbang Pertanian. Volume 28 (4), 2006. p: 127-133. Hurteau. M, and M. North. 2009. Fuel Treatment Effects On Tree-Based Forest
Carbon Storage And Emissions Under Modeled Wildfire Scenarios. J. Frontiers in Ecology and the Environment. Volume 7, Issue 8 (October 2009). p : 409-414.
Kementerian Pertanian. 2010. Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan.
Blue Print. Kementerian Pertanian, Jakarta. Kiswanto., A. Probowo dan Widyantoro. 2004. Transformasi Struktur Usaha
Penggemukan Sapi Potong di Jawa Tengah. Prosiding Seminar, Sistem dan
Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Menegristek. 2000. Budidaya Ternak Sapi Potong (Bos sp.). Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta.
Ratnawaty, S., M. Ratnada., Yusuf dan J. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar, Sistem dan
Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Rohani, St., I.M. Saleh dan M.Z. Mide. 2013. Pengaruh Pakan Komplit Berbahan
Jerami Padi Terhadap Peningkatan Berat Badan Sapi Yang Mempengaruhi Harga Jual Sapi di Kabupaten Sinjai. Prosiding. Seminar Nasional
Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:118-120.