Top Banner
Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA TIMOR BARAT Arnold E. Manu Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang Telp.(0380)-881084, HP.085239299545, E-mail: [email protected] ABSTRACT The objectives of this study were to evaluate the West Timor savanna productive at different season. The location of this study is in the station of Lili field, Assessment Institute for Agricultural Technology Naibonat Kupang, with 40 hectare of savannah for pasture, held in one year. The data collected are botanical composition, production, feed intake in savannah and forage quality also the carrying capacity. The data analyzed descriptively. The amount of goat used for measurement of feed intake in savannah is 10 does. The result showed that the averages of forage fluctuation available is between 0.61-4,33 ton/hectare. The lowest point of production is happened in the edge of dry season (October) that is 0.61 ton/hectare. Then it increases in early of rainy (December) and reaches the highest point in the early of dry season (April). From this point, then it decreases and reach the lowest point in October, so, the forage production in nature was increases in December. The composition rate of CP is very varied, that is 2.71- 9.48%. The composition of CP in nature grass has no significant difference with the composition in other locations of Timor, that is 2.26% in the ends of dry season and become 8-10% in the rainy. Most of forage on the pasture is nature grass that is upper 90% and relative less of leguminous plants. The lack proportion of leguminous plants in nature savannah result in the less of forage quality, especially during the dry season there is no legume proportion and the quality of nature grass become very low. Key words : Production, savannah, pasture, West Timor ABSTRAK Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda telah dilakukan di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, dengan sabana sebagai padang penggembalaan seluas 40 ha dan berlangsung selama 1 (satu) tahun. Data yang dikumpulkan adalah: komposisi botani, produksi, kualitas hijauan dan konsumsi di sabana serta daya tampung, data dianalisis secara deskriptif. Ternak yang digunakan untuk pengamatan konsumsi sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon. Pengukuran jumlah konsumsi pakan di sabana pada puncak musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi pada titik terendah terjadi pada puncak kemarau (Oktober) yaitu 0,61 ton/ha. Kemudian bergerak naik pada di bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada awal kemarau (April). Dari sini terus menurun dan mencapai titik terendah di Oktober. Kandungan PK sangat besar variasinya diantara 2,71-9,48%. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai dengan perubahan musim. Sebagian besar hijauan adalah rumput alam (di atas 90%), hanya terdapat sedikit tanaman
168

Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Dec 31, 2016

Download

Documents

tranphuc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 184

PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA

TIMOR BARAT

Arnold E. Manu

Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang

Telp.(0380)-881084, HP.085239299545, E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The objectives of this study were to evaluate the West Timor savanna productive at different season. The location of this study is in the station of Lili

field, Assessment Institute for Agricultural Technology Naibonat Kupang, with 40 hectare of savannah for pasture, held in one year. The data collected are botanical composition, production, feed intake in savannah and forage quality also the

carrying capacity. The data analyzed descriptively. The amount of goat used for measurement of feed intake in savannah is 10 does. The result showed that the

averages of forage fluctuation available is between 0.61-4,33 ton/hectare. The lowest point of production is happened in the edge of dry season (October) that is 0.61 ton/hectare. Then it increases in early of rainy (December) and reaches the

highest point in the early of dry season (April). From this point, then it decreases and reach the lowest point in October, so, the forage production in nature was

increases in December. The composition rate of CP is very varied, that is 2.71-9.48%. The composition of CP in nature grass has no significant difference with the composition in other locations of Timor, that is 2.26% in the ends of dry

season and become 8-10% in the rainy. Most of forage on the pasture is nature grass that is upper 90% and relative less of leguminous plants. The lack proportion of leguminous plants in nature savannah result in the less of forage

quality, especially during the dry season there is no legume proportion and the quality of nature grass become very low. Key words : Production, savannah, pasture, West Timor

ABSTRAK

Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda telah dilakukan

di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, dengan sabana sebagai padang penggembalaan seluas 40 ha dan berlangsung selama 1 (satu) tahun. Data yang dikumpulkan adalah: komposisi

botani, produksi, kualitas hijauan dan konsumsi di sabana serta daya tampung, data dianalisis secara deskriptif. Ternak yang digunakan untuk pengamatan

konsumsi sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon. Pengukuran jumlah konsumsi pakan di sabana pada puncak musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi

pada titik terendah terjadi pada puncak kemarau (Oktober) yaitu 0,61 ton/ha. Kemudian bergerak naik pada di bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi

pada awal kemarau (April). Dari sini terus menurun dan mencapai titik terendah di Oktober. Kandungan PK sangat besar variasinya diantara 2,71-9,48%. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai dengan perubahan musim. Sebagian

besar hijauan adalah rumput alam (di atas 90%), hanya terdapat sedikit tanaman

Page 2: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 185

leguminosa. Konsumsi hijauan selama penggembalaan berkisar antara 0,7-1,9%

dari berat badan. Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam menyebabkan rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau

proporsi legum sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat rendah mutunya. Kata Kunci : Produksi, sabana, padang penggembalaan, Timor Barat

PENDAHULUAN

Timor Barat merupakan salah satu tempat konsentrasi ternak ruminansia di

Nusa Tenggara Timur (NTT). Ternak biasanya dipelihara dengan dilepas bebas di padang penggembalaan dan dikandangkan pada malam hari. Hal ini

dimungkinkan karena didukung oleh potensi alam Timor Barat yang memiliki padang sabana yang luas, menurut data tahun 1999 terdapat 1.399.980,824 ha, dan yang digunakan sebagai padang penggembalaan seluas 736.981 ha. Kawasan

pulau Timor memiliki kondisi alam yang dipengaruhi oleh sistem angin muson yang dicirikan dengan musim hujan yang pendek (tiga sampai empat bulan yaitu

Desember sampai Maret) dan musim kemarau panjang (delapan sampai sembilan bulan yaitu April sampai Nopember). Adanya jarak waktu yang tidak seimbang antara musim hujan dan musim kemarau mengakibatkan pengaruh negatif

terhadap kuantitas dan kualitas pakan yang tersedia di padang penggembalaan dan secara tidak langsung mempengaruhi proses produksi dan reproduksi ternak.

Berdasarkan klasifikasi tipe iklim sistem Schmidt dan Ferguson, wilayah Timor Barat termasuk dalam tipe iklim E (agak kering) (Anonim, 2002). Kondisi ini berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan air tanah untuk proses

fisiologis tanaman. Besarnya hasil fotosintesis netto pada tanaman berhubungan erat dengan ketersediaan air di daerah perakaran termasuk hijauan yang terdapat

dalam hamparan sabana. Gejala yang sudah lazim terjadi adalah kekurangan air selama musim kemarau bagi pertumbuhan rumput, di samping terjadi kekurangan air selama

musim kemarau juga terjadi peningkatan suhu (mencapai di atas 32oC) yang mengakibatkan peningkatan laju proses fotosintesis dan menurun setelah

mencapai titik optimum. Keadaan ini bermuara pada menurunnya kualitas rumput yang ditandai dengan menurunnya kandungan protein kasar. Penurunan kandungan protein kasar akan berpengaruh terhadap penurunan total konsumsi

bermuara pada penurunan berat badan. Berdasarkan pemikiran ini maka telah dilakukan suatu penelitian yang

bertujuan untuk: mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, yang memiliki sabana sebagai

padang penggembalaan seluas 40 ha. Penelitian berlangsung selama 1 (satu) tahun yaitu selama 2 musim yang berbeda.

Page 3: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 186

Materi penelitian

Ternak percobaan. Ternak yang digunakan untuk pengamatan konsumsi di sabana sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon kering.

Peralatan. Peralatan yang digunakan adalah timbangan duduk merk Tanita kapasitas 115 kg dengan kepekaan 0,1 kg untuk menimbang ternak, untuk hijauan dengan timbangan merk Camry kapasitas 5 kg dengan kepekaan 20 g, dan

bingkai kuadrat untuk pengukuran produksi hijauan.

Metode penelitian

Untuk dapat menjawab tujuan yang diajukan dilaksanakan penelitian yang meliputi:

Padang penggembalaan sabana

Untuk keperluan pengamatan komposisi botani, produksi dan kualitas hijauan serta daya tampung, areal penggembalaan dibagi ke dalam 8 petak dengan luas masing-masing petak 5 ha. Pengukuran dilakukan dengan metode Halls et al.

(1964) yang dikutip Susetyo (1980) yaitu dengan menggunakan bingkai kuadrat berukuran 1 × 1 m2 sebagai titik pengamatan. Penempatan bingkai kuadrat

dilakukan dengan menggunakan bilangan teracak di setiap petak. Sebanyak 8 titik pengamatan untuk masing-masing petak sehingga diperoleh 64 titik pengamatan.

Pengamatan dilakukan sepanjang tahun setiap 2 bulan sekali.

Pengamatan komposisi botanis

Pada setiap titik pengamatan diamati vegetasi yang ada yaitu rumput, legum dan gulma, dan dihitung persentase masing-masing vegetasi dari setiap

petak. Kemudian dihitung rata-rata masing-masing vegetasi dari 64 titik pengamatan.

Pengamatan produksi hijauan

Untuk mengukur produksi hijauan pada padang penggembalaan, pada

setiap titik pengamatan hijauan dipotong setinggi 5 cm dari tanah. Selanjutnya dihitung produksi hijauan (g/BK/titik) setiap kali pemotongan dan produksi bahan

kering per hektar dari padang penggembalaan. Pemotongan dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan pengamatan komposisi botani, kualitas hijauan dan daya tampung. Dari 64 titik pengamatan ini kemudian dihitung rata-ratanya dan

dikonversi ke produksi per ha.

Pengamatan kualitas hijauan.

Pengamatan dilakukan sama dengan pengukuran produksi hijauan. Kualitas hijauan dilakukan dengan analisis nilai nutrien, meliputi kadar PK, LK,

SK, abu, Ca, P, BETN, energi, NDF dan ADF, sedangkan TDN dihitung dengan rumus Hartadi et al. (2005). Hijauan dari 64 titik pengamatan untuk setiap pemanenan dikomposit kemudian dikeringkan dan diambil sampel sebanyak 10%

untuk dianalisis.

Daya tampung

Perhitungan daya tampung padang penggembalaan dilakukan dengan membagi produksi hijauan/ha dengan kebutuhan BK/UT/tahun. Kebutuhan BK

Page 4: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 187

untuk 1 unit ternak (UT) adalah sebesar 2,5%/hari dari berat badan (BB). Satu UT

adalah satu ekor sapi dewasa dengan BB 400 kg atau 8 ekor domba dewasa dengan BB 40 kg/ekor (Anggraeny dan Umiyasih, 2005).

Pengukuran jumlah konsumsi pakan di padang penggembalaan

Estimasi konsumsi bahan kering (dry matter=DM) di sabana dilakukan

dengan metode Fecal Techniques dengan rumus Minson (Manu et al., 2007):

DM = keluaran feses sehari ( 1 - DMD )

Estimasi keluaran feses menggunakan external indicator (tracer) yaitu chromic oxide (Cr2O3) dan dilakukan selama 10 hari.

Keluaran feses/hari = Q/C Q = jumlah tracer yang diberikan per hari C = konsentrasi tracer pada sampel feses

Estimasi bahan kering tercerna (digestible dry matter = DMD) dari hijauan yang

digembalakan menggunakan internal tracer (tracer alami) yang tidak tercerna, dalam hal ini yang digunakan adalah lignin.

DMD = X2 – X1 X2

X1 = tracer alami di pakan X2 = tracer alami di feses

Dari data konsumsi di sabana ini diketahui berapa kekurangan bahan kering selama ternak kambing merumput.

Perhitungan konsumsi dilakukan pada puncak musim kemarau selama 10 hari di bulan Oktober. Tracer diberikan sebanyak 10 g/ekor/hari, sampel diambil dari feses yang baru keluar dari rectum ternak sebanyak ± 10 g setiap

pengambilan. Setiap hari diambil sebanyak 4 kali yaitu pada pukul 06.00, 11.00, 17.00 dan 22.00. Sampel selama 10 hari dikomposit dan diperiksa tracer alami

(lignin) dan tracer chromic oxide.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Hijauan

Hasil penelitian produksi hijauan dan besarnya kapasitas tampung lokasi penelitian tertera pada Tabel 1. Fluktuasi produksi hijauan dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1.

Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi (BK, PK)

terendah terjadi pada puncak kemarau (September-Oktober), kemudian bergerak naik pada awal hujan yaitu bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada awal kemarau yaitu bulan April. Produksi hijauan kemudian menurun dan

mencapai titik terendah bulan Oktober, jadi produksi rumput alam mulai membaik pada bulan Desember.

Page 5: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 188

Hijauan di sabana merupakan asset yang sangat penting peranannya dalam

menunjang pengembangan usaha ternak ruminansia di Timor Barat. Hamparan areal penggembalaan terdiri dari spesies rumput dan legum lokal serta adanya

leguminosa pohon dan tanaman keras lainnya yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. Pengukuran produksi hijauan dalam areal penggembalaan, penting artinya dalam menentukan peluang pengembangan

ternak yang diusahakan di atasnya. Produksi dan kandungan kimia rumput alam di India yang beriklim semi arid seperti Timor dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004),

menunjukkan gejala yang sama. Tabel 1 menunjukkan bahwa variasi kandungan PK sangat besar yaitu diantara 2,71-9,48 %. Kandungan PK rumput alam ini tidak jauh berbeda dengan

PK rumput alam di lokasi lain di Timor yaitu 2,26% di akhir musim kemarau dan menjadi 8-10% di musim hujan. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai

dengan perubahan musim. Pada musim hujan kandungan dinding sel rumput alam di Timor yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebesar 65% dan meningkat menjadi 85% pada musim kemarau (Nulik dan Bamualim, 1998).

Tabel 1. Produksi, daya tampung dan kualitas hijauan di lokasi penggembalaan

selama penelitian Parameter Musim/Bulan

Hujan Awal kemarau Akhir kemarau

Des. Feb. Apr. Juni Agst Okt.

Produksi BK (ton/ha) 2,66 3,27 4,33 2,27 1,50 0,61

Daya tampung (UT/ha/thn) 0,74 0,91 1,20 0,83 0,42 0,17

BK (%) 16,01 22,27 40,41 71,22 78,41 80,41

PK (%) 6,18 9,48 8,65 6,45 4,43 2,71

LK (%) 2,78 2,17 1,77 1,65 1,16 1,93 SK (%) 20,38 36,15 42,54 45,63 58,47 69,22

BETN (%) 61,47 50,63 46,83 44,88 43,77 42,11

Abu (%) 9,81 11,57 10,21 11,39 12,17 13,92

Ca (%) 0,43 0,56 0,62 0,84 1,13 1,22

P (%) 0,15 0,24 0,29 0,35 0,64 0,58 Gross Energi (Kkal/kg) 3897 3915 4055 4144 4065 3982

NDF (%) 51,04 54,18 58,65 65,55 76,48 89,48

ADF 32,12 36,45 38,44 46,48 55,10 51,14

DT UT/ha/thn 0,74 0,91 1,20 0,93 0,42 0,17

BK=bahan kering; PK=protein kasar; LK=lemak kasar; UT=unit ternak

Gambar 1. Fluktuasi ketersediaan hijauan di lokasi penelitian

Kandungan kimia hijauan alam ini sangat mempengaruhi kecernaan

pakan, karena kecernaan berhubungan erat dengan kandungan PK dan dinding sel (NDF). Semakin rendah PK dan semakin tinggi kandungan NDF akan semakin

0

1

2

3

4

5

Peb April Juni Agst Okt DesPro

du

ks

i BK

(to

n/h

a)

Bulan

BK

Page 6: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 189

memperkecil kecernaan suatu bahan pakan. Aoetpah (2002) melaporkan bahwa

kecernaan BO (bahan organik) rumput alam Timor tertinggi terjadi pada bulan Desember dimana rumput masih muda dan kandungan PK tertinggi di bulan ini,

dan kecernaan terendah di bulan Oktober. Setiap penurunan 1% PK maka kecernaan BO turun sebesar 1,77%.

Secara fisiologis dapat dijelaskan bahwa sintesis protein mikrobia

tergantung kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorbsi ammonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan dari rumen dan jenis fermentasi

rumen berdasarkan jenis pakan. Kualitas sumber protein penting karena 40% zein-nitrogen, 90% casein-nitrogen dan 50% nitrogen tanaman diubah menjadi protein mikrobia. Mikrobia rumen menggunakan 25-50% N dari protein pakan.

Kandungan PK ditentukan oleh konsentrasi N, semakin tingginya konsentrasi N hijauan yang digunakan oleh mikrobia akan meningkatkan aktivitas pencernaan

mikrobia terhadap kandungan BO pakan (McDonald et al., 2002). Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa kandungan NDF berfluktuasi

mengikuti musim. Kandungan NDF terendah terdapat pada musim hujan

(Desember dan Pebruari), terus bergerak naik dan tertinggi pada puncak musim kemarau yaitu Oktober. Fluktuasi kandungan PK dan NDF dapat digambarkan

dalam gambar seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Fluktuasi kandungan PK dan NDF hijauan sabana

Aoetpah (2002) mendapatkan bahwa semakin tinggi kandungan NDF akan menurunkan kecernaan BO pakan. Setiap kenaikan kandungan NDF rumput alam sebesar 1% akan mengurangi kecernaan BO secara in vitro rata-rata sebesar

0,87%. Daya cerna pakan dipengaruhi oleh komposisi nutrien dan daya cerna

berhubungan erat dengan kandungan serat kasar. Dinding sel tanaman terutama terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terutama jika berikatan dengan lignin. Setiap penambahan 10% serat kasar dalam tanaman menyebabkan

penurunan daya cerna BO sebesar 0,7-1,0 unit pada ruminansia (Katipana et al., 2009). Pada tanaman muda kandungan selulosa dan hemiselulosa kira-kira 40%

dari BK dan karbohidrat yang larut dalam air terutama fruktan kira-kira 25%. Bila hijauan semakin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa bertambah, sedangkan karbohidrat yang mudah larut berkurang. Selulosa berhubungan erat dengan lignin

dan kombinasi lignin-selulosa yang merupakan bagian terbesar pada tanaman yang tua maupun jerami. Selulosa dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim

tetapi oleh mikrobia, sedangkan lignin tidak dicerna oleh enzim maupun mikrobia

0102030405060708090

100

Des Feb Aprl Juni Agst Okt.

Ka

nd

un

ga

n(%

)

Bulan

PK

NDF

Page 7: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 190

rumen. Hal yang sama dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004) bahwa dengan

semakin rendah kandungan PK dan semakin tinggi serat kasar (ADF) kecernaan BO pada kambing yang merumput semakin menurun.

Terdapat banyak pendapat mengenai mengapa lignin dapat mengurangi biodegradasi BO. Jelantik (2001) merangkum beberapa pendapat yang menyebutkan berbagai alasan hubungan kandungan lignin terhadap kecernaan BO

antara lain karena sulitnya mikrobia melekat pada substrat, lignin membentuk lapisan bagian dalam yang tidak dapat dicerna, lignin terikat bersama-sama

hemiselulosa , atau lignin merupakan racun bagi mikrobia. Produksi rumput alam yang berfluktuasi ini menyebabkan jumlah ternak yang dapat ditampung per satuan luasan area penggembalaan juga berfluktuasi

seperti pada Tabel 1. Terjadi penurunan daya tampung padang penggembalaan yang tajam dari bulan Juni ke bulan Oktober. Produksi rumput alam menjadi

sangat rendah selama puncak musim kemarau sehingga daya tampung hanya 0,6 UT/ha. Hal ini terjadi terutama akibat tidak adanya pertumbuhan rumput selama tidak adanya curah hujan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau dan

ditambah dengan semakin naiknya suhu lingkungan dan semakin berkurangnya kelembaban sehingga udara menjadi sangat kering. Dengan demikian peranan

pakan yang berasal dari luar lahan penggembalaan menjadi sangat penting selama periode pertengahan sampai akhir musim kemarau, terutama pada wilayah yang mempunyai kepadatan ternak tinggi.

Dari data Tabel 1 ini jelas terlihat padang sabana mulai memasuki akhir musim kemarau sudah tidak bisa menyediakan rumput sebagai pakan ternak

dalam jumlah yang cukup. Kekurangan jumlah ini ditambah lagi dengan kualitas rumput yang sudah menurun karena tingginya kandungan SK, NDF dan rendahnya PK. Hal ini dapat mengakibatkan pada menurunnya produktivitas

ternak yang digembalakan di padang sabana ini.

Konsumsi di padang penggembalaan

Jumlah konsumsi BK pada puncak musim kemarau (bulan Oktober) dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil konsumsi BK pada Tabel 2 merupakan hasil

perhitungan dari rumus metode Fecal Techniques dan perhitungannya seperti tertera pada Lampiran 1.

Tabel 2. Konsumsi hijauan di padang penggembalaan jika kebutuhan BK 3% dari BB

pada akhir musim kemarau

No. Konsumsi bahan

kering (g)

Konsumsi bahan

segar (g)

Konsumsi BK

(% dari BB)

% Kekurangan

1 2

3 4 5

6 7

8 9 10

319,21 156,89

245,79 432,76 285,43

198,90 325,92

290,77 285,56 189,44

396,98 195,11

305,67 538,19 354,97

247,36 405,30

361,61 355,13 235,59

1,43 0,70

1,10 1,94 1,28

0,89 1,46

1,30 1,28 0,85

1,57 2,30

1,90 1,06 1,72

2,11 1,54

1,70 1,72 2,15

Page 8: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 191

Rata-rata konsumsi dari hasil perhitungan selama musim kemarau berkisar

antara 0,70% sampai 1,94% dari BB, jika kebutuhan BK dari ternak adalah 3% dari BB, maka selama kemarau ada kekurangan sebanyak 1,06% sampai 2,30%

dari BB. Keadaan ini jelas sangat jauh dari kebutuhan ternak karena pada bulan Oktober ini ketersediaan hijauan di lapangan sangat sedikit.

Komposisi Botani padang penggembalaan

Yang dihitung dalam penelitian ini adalah proporsi dari rumput,

leguminosa dan gulma. Setelah dihitung proporsinya maka untuk melihat jenis rumput dan leguminosa hanya diidentifikasi yang dominan saja. Jenis rumput dan leguminosa yang dominan terdapat di padang penggembalaan dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Jenis rumput dan legum yang dominan di padang penggembalaan Rumput Leguminosa Heteropogon contortus Digitaria sangunalis Bothriochloa timorensis Ischaemum timorense Digitaria sp Cyprus rotundus

Alysicarpus vaginalis Desmodium spp Glysine spp

Proporsi dari tanaman rumput, leguminosa dan gulma yang terdapat di

lokasi padang penggembalaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Proporsi rumput, leguminosa dan gulma di lokasi penggembalaan

Bulan Rumput (%) Leguminosa herba (%) Gulma (%) Desember 92,3 4,1 3,6 Pebruari 91,3 4,8 4,2 April 90,4 4,3 5,3 Juni 91,9 2,5 5,6 Agustus 98,5 0,2 1,3 Oktober 99,2 - 0,8

Sebagian besar hijauan yang ada di padang penggembalaan adalah rumput

alam yakni diatas 90%, hanya terdapat relatif sedikit tanaman leguminosa. Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam menyebabkan

rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau proporsi legum sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat rendah mutunya yang menjadi sumber pakan satu-satunya. Pada kebanyakan padang rumput alam di

Timor sekarang ditambah dengan ancaman gulma semak bunga putih (Chromolena odorata) yang semakin mempersempit lahan penggembalaan, tetapi

pada lokasi penelitian ancaman semak ini belum terlalu banyak karena gulma di stasiun ini secara rutin setiap musim hujan dimusnahkan.

Pemeliharaan yang dilakukan adalah ternak digembalakan sepanjang pagi

sampai sore hari dan pada malam hari dikandangkan. Setelah masuk kandang maka ternak diberi hijauan pohon, jenis hijauan yang diberikan sangat tergantung

pada ketersediaannya di sabana. Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada musim dan sifat dari regrowth tanaman setelah pemotongan, maka ada perbedaan

Page 9: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 192

hijauan yang diberikan sepanjang tahun, yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis hijauan yang diberikan kepada ternak selama dikandangkan Bulan Jenis Hijauan Desember – Januari Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica Pebruari – Maret Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica, Gliricidia

sepium April – Mei Gliricidia sepium, Leucaena leucochepala, Samania saman Juni – Agustus Samania saman, Schleichera oleosa September – Nopember Thamarindus, Schleichera oleosa

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Produksi dan kualitas hijauan, daya tamping sabana Timor Barat mengalami fluktuasi sesuai musim, produksi tertinggi di awal kemarau, kualitas terbaik di musim hujan serta produksi dan kualitas terendah di

akhir kemarau. 2. Di akhir musim kemarau ternak hanya mengkonsumsi 0,7-1,94% BK

hijauan sabana dari BB sehingga mengalami kekurangan 1,06-2,3% BK pakan dari kebutuhan 3 % BK berdasarkan BB.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeny, Y.N. dan U. Umiyasih. 2005. Tinjauan tentang upaya penyediaan hijauan pakan ternak sepanjang tahun di lahan kering. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan

Kering. Fapet-UGM, Yogyakarta. Anonim. 2002. Data Curah Hujan Daerah NTT. Stasiun Klimatologi Klas II

Lasiana, Kupang. Aoetpah, A. 2002. Fluktuasi ketersediaan dan kualitas gizi padang rumput alam di

pulau Timor. J.of Dryland Agric. Information 11:32-43. Pusat Penelitian

Lahan Kering Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang. Bhatta,R.,N.Swain, D.L. Verma and N.P.Singh. 2004. Study on feed intake and

nutrient utilitation of sheep under two housing system in a semi arid region of India. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17 (6):814-819.

Hartadi,H., S.Reksohadiprodjo, A.D.Tillman. 2005. Tabel-tabel Dari Komposisi

Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. Edisi kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Jelantik, I G.N. 2001. Improving Bali cattle (Bibos banteng Wagner) production Trough protein supplementation. PhD. Tesis. Dept. of Science and Animal Health. The Royal Veterinary and Agricultural University Copenhagen.

Katipana, N.G.F., J.I. Manafe, D. Amalo. 2009. Manfaat Limbah Organik Bagi Produktivitas Ternak Ruminansia, Ketahanan Pangan dan Pencemaran

Lingkungan: I. Uji Laboratoris Terhadap Produksi NH3 dan Tingkat Degradasi Protein Limbah Organik dari Mikrobia Rumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan – Undana. Kupang.

Page 10: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 193

Manu, A.E., E. Baliarti, S. Keman, F. Umbu Datta. 2007. Effects of Local Feed

Supplementation on the Performance of Bligon Goat Does at the End of Gestation Reared in West Timor Savannah. Anim. Proc. 9 (1): 1-8.

McDonald, P.; R.A Edwards; J.F.D. Greenhalgh; and C.A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. Prentice Hall. New York.

Nulik, J. dan A. Bamualim. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara.

Laporan Penelitian. BPTP Naibonat Kupang dan Eastern Island Veterinary Service Project.

Susetyo. 1980. Padang Penggembalaan. Balai Penyuluhan Pertanian Batangkaluku. Badan Pendidikan dan Latihan Penyuluh Pertanian, Departemen Pertanian.

Page 11: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 194

PENDUGAAN DAYA TAMPUNG RUSA LIAR (Cervus timorensis) DI

PADANG RUMPUT MAR TAMAN NASIONAL WASUR MERAUKE

Bambang Tjahyono Hariadi1)

dan Thimotius Sraun1)

[email protected]

ABSTRACT

The objective of this experiment was to know carrying capacity of rusa deer (Cervus timorensisi) at Mar, Wasur National Park Merauke district. The data

collected were spesies of grasses, production each species and carrying capacity. The results showed species of grasses were Cynadon dactylon, Imperata cylindrica and Phragmites karka. Mar was dominated by Cynadon dactylon. The

production of Cynodon dactylon was 2.183 kg/ha. The Carryng capacity of rusa deer was 0,5 ha/head/year.

Key words : Carryng capacity, rusa deer, savannah, national park

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar

(Macropus agilis) di Mar Taman Nasonal Wasur Merauke. Variabel yang diamati yaitu jenis rumput, produksi per ha dan kapasitas tampung. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput

Mar yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-alang (Imperata cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka), dimana grinting

merupakan rumput yang sangat dominan. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) 2.183 Kg/ha. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5 Ha/ekor/tahun.

Kata kunci : Daya tampung, padang rumput, rusa liar, taman nasional

PENDAHULUAN

Latar belakang

Taman Nasional Wasur merupakan taman nasional yang terletak di kabupaten Merauke-Papua. Taman Nasioanl Wasur ditetapkan sebagai taman

nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan nomor : 448/Menhut-VI/1990, tertanggal 6 Maret 1990. Luas areal Taman Nasional Wasur sebesar 413.810 Ha.

Potensi flora dan fauna di Taman Nasional Wasur sangat besar. Taman ini

mempunyai 10 jenis induk vegetasi dengan daerah hutan savana 2/3 dari

seluruh taman. Habitat lain yang dapat dijumpai adalah hutan pantai, hutan bakau, hutan bambu, padang rumput dan rawa sagu yang cukup luas. Di Taman Nasional

Wasur terdapat sekitar 80 jenis mamalia, dimana 27 jenis merupakan jenis endemik. Jenis burung yang ada sekitar 390, sehingga merupakan daerah yang paling kaya di Papua (Petocz, R.G. , 1987). Jenis-jenis fauna antara lain kanguru/

walabi lincah (Macropus agilis), kaswari (Casuarius-casuaarius) dan fauna eksotik adalah rusa liar (Cervus timorensis).

Page 12: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 195

Permasalahan Mar, merupakan salah satu zona inti di dalam kawasan Taman Nasional

Wasur. Di lokasi tersebut banyak dijumpai padang rumput/savana yang sangat luas. Satwa yang bisa dilihat dalam padang rumput di Mar antara lain yaitu walabi lincah dan rusa liar. Pengelolaan padang rumput di Mar menjadi sangat penting,

karena padang rumput tersebut menjadi sumber pakan utama bagi rusa liar . Sedangkan rusa liar merupakan sumber protein yang penting juga bagi masyarakat

yang berdiam di dalam Taman Nasional Wasur maupun masyarakat di Merauke dan sekitarnya. Kondisi padang rumput yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai terjadi kondisi over grazing maupun under grazing oleh rusa liar pada

padang rumput tersebut. Untuk mencegah terjadinya kondisi over maupun under grazing di dalam

suatu kawasan padang rumput, salah satu caranya adalah dengan mengukur kapasitas tampung/carrying capacity pada lokasi tersebut. Dengan mengetahui adanya kapasitas tampung di padang rumput Mar, maka bisa diketahui berapa

jumlah ideal rusa liar yang dapat ditampung pada padang rumput tersebut. Hal ini menjadi sangat penting bagi strategi pengelolan kawasan zona inti di

Mar tersebut. Bila jumlah rusa liar berlebihan maka perlu dilakukan pemburuan terhadap rusa liar, agar tidak terjadi over grazing. Tetapi bila jumlah rusa liar dirasa kurang, maka perburuan perlu dilarang, karena akan mengakibatkan

terjadinya under grazzing di padang rumput tersebut. Mengingat sampai sekarang data tentang kapasitas tampung di Mar sampai saat ini belum ada, maka

penelitian untuk mengetahui kapasitas tampung di Mar mutlak perlu sebagai dasar dalam pengelolaan zona inti di Mar Taman Nasional Wasur Merauke.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar di Mar

Taman Nasonal Wasur Merauke.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dasar dalam melakukan strategi pengelolaan rusa liar di padang rumput Mar Merauke.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu

Penelitian ini dilakasanakan di padang rumput Mar Taman Nasional

Wasur. Penelitian dilaksanakan selama 7 hari.

Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu rumput. Sedangkan alat yang dipakai adalah : Timbangan duduk berkapasitas 2 kg, meteran rol, kantong plastik, parang, gunting, kwadran kayu ukuran 1 m2, spirtus, kertas koran,

buku identifikasi jenis rumput, dan alat tulis menulis.

Metoda

Metoda yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metoda deskriptif dengan teknik survei. Survei dilakukan di Padang rumput Mar Taman Nasional

Page 13: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 196

Wasur Merauke. Untuk mengetahui produksi rumput dan kapasitas tampung,

pengambilan contoh rumput dilakukan secara stratifikasi dengan menggunakan metoda kwadran (Alikodra 1990) dan (Reksohadiprodjo, 1996). Sedangkan

koleksi spesimen dilakukan untuk mengetahui spesies rumput yang dimakan oleh rusa liar.

Identifikasi jenis rumput

Identifikasi jenis rumput dilakukan dengan mengamati jenis-jenis rumput

dan mencabut jenis rumput terutama yang sudah berbunga. Kemudian dicocokkan dengan buku identifikasi lapangan ( Mannetje L. „t and R.M. Jones, 1992). Rumput yang belum teridentifikasi, akan dibuat spesimen basah untuk

diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium atau spesimen tersebut nantinya dikirim ke Herbarium Bogoriense- Bogor.

Stratifikasi lokasi

Stratifikasi lokasi dilakukan berdasarkan jenis rumput yang tumbuh.

Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukan bahwa terdapat tiga jenis rumput yaitu grinting (Cynodon dactylon ), Palungpung (Prhagmites karka) dan Alang-

alang (Imperta cylindrica). Tetapi luasan palungpung dan alang-alang sangat kecil kurang dari 1%, maka pada kedua jenis rumput tersebut tidak diambil sampelnya. Sedangkan grinting tumbuh sangat dominan di padang rumput

tersebut hampir 100%, sehingga padang rumput sangat homogen. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan pengambilan sampel untuk rumput grinting pada tiga

lokasi yang berbeda. Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan menempatkan kwadran 1 m2 pada padang rumput tersebut. Rumput yang masuk dalam kwadran semuanya dipotong

serendah mungkin dengan tanah, kemudian ditimbang berat segarnya. Pengukuran produksi padang rumput dimodifikasi dari (Reksohadiprodjo, 1996):

1. Diamati spesies padang rumput yang dikonsumsi oleh satwa, dan dihitung

produksinya per hektar 2. Dihitung % cover masing-masing spesies, kemudian dijumlahkan sehingga

merupakan total % cover. 3. Ditentukan P.U.F (proper use factor). untuk menjamin pertumbuhan

kembali. PUF untuk penggunaan padang rumput yang ringan adalah 25%

4. Dipertimbangakan juga periode merumput atau periode stay dan periode istirahat atau rest. Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996)

memasukkan periode rest(istirahat) 10-14 minggu atau 70 hari rata-rata dan periode merumput 30 hari untuk negara tropis. Persamaan Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996) untuk mengukur kebutuhan luas

tanah pertahun adalah : (Y-1) s = r

dimana Y = luasan tanah yang diperlukan oleh seekor satwa s = Periode merumput (30 hari) r = Periode istirahat (70 hari)

(Y-1) 30 = 70 30Y –30 = 70

Page 14: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 197

30Y = 100; Y = 3,3 (Kebutuhan tanah pertahun adalah

3,3 kali kebutuhan tanah perbulan).

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu : a. Jenis rumput

b. Produksi rumput dihitung dengan membandingkan berat segar rumput (gr) per luasan 1 m2.

c. Proyeksi daya tampung. Untuk menetapkan proyeksi daya tampung di daerah tropis dimodifikasi berdasarkan rumus Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo

( 1996) sebagai berikut : (y - 1 ) s = r

dimana : Y : angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per ekor rusa liar per tahun terhadap kebutuhan per bulan

S : periode merumput (S = stay : selama 30 hari) R : periode istirahat (r = rest : selama 70 hari)

Dengan menggunakan nilai r = 70 dan s = 30 pada rumus di atas, maka diperoleh nilai Y = 3,3. Sehingga dengan mengetahui kebutuhan luas tanah per bulan/Ha/ unit rusa liar (UR) , maka kebutuhan luas padang rumput atau daya tampung per

tahunnya dapat diketahui = 3,3 × taksiran kebituhan luas tanah /bulan/UR.

Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan secara tabulasi sesuai dengan variabel

pengamatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis-jenis Hijauan

Jenis-jenis hijauan yang terdapat dalam padang rumput Mar Taman Nasional Wasur yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynodon

dactylon) (L.) Pers.), palungpung — (Phragmites karka) (Retz.) Trin., Alang-alang – (Imperata cylindrical) (L.) Beauv. Grinting mempunyai daya pengikat tanah yang kuat dan tahan terhadap injakan sehingga rumput ini merupakan

rumput penutup halaman dan lapangan olah raga yang baik. Karena sifat-sifatnya itulah rumput ini sudah umum ditanam. Grinting juga merupakan rumput

makanan ternak yang bernilai tinggi. Tumbuhnya memberi respon terhadap pemupukan. Seperti jenis rumput lainnya, dalam penanamanya juga biasa dicampur dengan jenis legum yang tujuannya untuk meningkatkan nilai gizi dan

produksinya. Jenis legum yang dapat ditanam bersama-sama yaitu Trifolium repens, Trifolium procumbens, Trifolium dubium dan Lespedeza sp. (Anonimous, 1982)

Jenis legum (leguminosa) tidak dijumpai di padang rumput tersebut. Berdasarkan kandungan gizinya, maka legum lebih tinggi kandungan protein

kasarnya dari pada rumput ( McIlroy R.J., 1977). Dengan demikian maka sebenarnya rusa liar masih perlu suplai protein kasarnya dalam pakannya, sehingga pertumbuhan rusa liar bisa lebih baik lagi.

Page 15: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 198

Dimana salah satu fungsi dari protein adalah untuk pertumbuhan (Tilmann, dkk.,

1998). Disamping itu peranan legum sangat penting untuk satwa, legum juga mempunyai peranan sangat penting untuk padang rumput antara lain yaitu yaitu :

(1) memperbaiki kualitas produksi suatu padang rumput, karena kadar protein kasar legum yang lebih tinggi dari pada rumput. (2) Memanfaatkan transfer nitrogen dari legum untuk menjaga produksi rumput padang rumput karena

pelapukan bintil akar serta rontokan daun legum akan menyumbangkan N pada tanah setelah melewati proses dekomposisi. Hal tersebut pada gilirannya akan

meningkatkan produktivitas satwa/walabi yang hidup pada padang rumput tersebut (Humphreys, 1995). Alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan penanaman legum yang sudah ada di dalam Taman Nasional Wasur. Apakah

berupa legum pohon, legum yang menjalar atau legum perdu.

Produksi Hijauan

Berdasarkan pengamatan lapangan terdapat tiga jenis rumput yang dapat dikonsumsi oleh Rusa liar, yaitu palungpung, alang-alang dan grinting. Tetapi

yang diambil sebagai sampel hanya terhadap rumput grinting. Produksi rumput grinting dari tiga lokasi di Mar disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Produksi rumput grinting di padang rumput Mar

No Tempat/Lokasi Produksi ( gr / m2) Produksi (kg /Ha)

1

2 3

Lokasi I

Lokaasi II Lokasi III

195

210 250

1.950

2.100 2. 500

Rata-rata 218,3 2.183

Berdasarkan Tabel 1 tersebut diatas menunjukkan bahwa produksi rumput grinting rata sebesar 2.183 kg/Ha. Dapat dikatakan cukup tinggi.

Berdasarkan waktu pengambilan sampel pada bulan November, maka waktu tersebut merupakan akhir musim kering. Dengan demikian maka pada akhir musim keringpun produksi grinting masih cukup tinggi.

Menurut Subagiyo dan Kusmartono (1988), musim terutama curah hujan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi rumput. Dari

segi kualitas perubahan musim antara musim penghujan dan musim kemarau akan mengakibatkan adanya perubahan nilai gizi rumput. Hal ini disebabkan karena kandungan nilai gizi rumput berasal dari unsur hara dalam tanah. Dengan

berkurangnya kadar air tanah di musim kemarau, maka unsur hara tersebut kurang dapat diabsorbsi rumput untuk pembetukan zat gizi. Dengan demikian maka

kandungan protein kasarnya pun pada mudim kemarau akan menurun. Disamping itu radiasi sinar matahari yang lebih besar pada musim kemarau akan mengakibatkan pembentukan serat kasar yang lebih aktif, sehingga kandungan

kasar rumput akan lebih tinggi. Pada musim kemarau juga akan menurunkan kuantitas produksi rumput.

Karena kadar air tanah yang rendah, maka rumput akan mengalami hambatan pertumbuhan karena berkurangnya kadar air tanah serta kurang dapatnya unsur hara untuk diabsorbsi rumput untuk pertumbuhan tersebut. Bahkan penurunan

produksi rumput pada musim kemarau dapat mencapai lebih dari setengah

Page 16: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 199

produksi pada musim penghujan. Fluktuasi ini juga akan dapat mengakibatkan

fluktuasinya pertumbuhan satwa (rusa liar) di padang rumput tersebut.

Proyeksi Daya Tampung

Di dalam menentukan proyeksi daya tampung padang rumput Mar ditarik beberapa asumsi sebagai berikut:

Berat rata-rata rusa liar diasumsikan adalah 110 kg, Semiadi (1998) dalam Andoy E F S (2002) sehingga kebutuhan rumput/hijauan perhari adalah 10% dari

berat badan = 110 kg × 10% = 11kg. Sehingga kebutuhan perbulan = 11 kg ×30 = 330 Kg/bulan. Proyeksi daya tampung di padang rumput Mar disajikan dalam

Tabel 2.

Tabel 2. Proyeksi kebutuhan lahan/ekor rusa liar

No Jenis

rumput Produksi (Kg/Ha)

PUF (25%)

Kons.pakan per bulan

(Kg)

Kebth. lahan

(bulan/ Ha)

Kebth. lahan

(tahun/ Ha)

1

Grinting

2.183

545,75(kg)

330

0,60

1,98

Keterangan : Kons.pakan : Konsumsi pakan

Kebuth. Lahan : Kebutuhan lahan

Berdasarkan tabel 2 di atas terlihat bahwa kebutuhan lahan seekor rusa

liar adalah 0,6 Ha/bulan atau 1,98 2 Ha/tahun. Dengan kata lain Daya Tampung

perhektar 0,5/ekor/th. Jumlah ini sama dengan yang dilaporakan oleh Burhanudin M dkk. (2008) sebesar 0,5 ekor/ha/tahun di Tanjung Pasir Taman Nasional Bali Barat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput Mar yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-alang (Imperata

cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka). 2. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) 2.183 Kg/ha. 3. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5

Ha/ekor/thn.

Saran

Hal-hal yang perlu disarankan setelah penelitian ini yaitu: perlu dilakukan survei jumlah populasi rusa liar di padang rumput Mar.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra Hadi S., 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Pusat Antar

Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 17: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 200

Andoy Elvis Erikson Sonny, 2002. Studi Populasi Rusa Timr (Cervus timorensis)

dan Perburuan oleh Penduduk di Desa Poo, Tomer dan Sota Dalam Taman Nasional Wasur Merauke. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Negeri

Papua. Tanpa Publikasi. Anonimous, 1982. Rumput Dataran Rendah. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. Burhanudin Masy‟ud, Indra Hadi Kusuma dan Yandi Rahmadani, 2008. Potensi

Vegetasi Pakan dan Efektivitas Perbaikan Habitai Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainfile 1828) di Tanjung Pasir Taman Nasional di Taman

Nasional Bali Barat). Media Knservasi. Vol.13 No.2. Agustus 2008 : 57-64

Humphreys L.R., 1995. Diversity and Productivity of tropical legumes. In :

D‟Mello J.P.F. and Devendra C (ed)., 1995. Tropical Legumes in Animal Nutrition. CAB international, Wallingford UK.

Mannetje L. „t and R.M. Jones, 1992. Forages. Prosea, Bogor. McIlroy R.J., 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya

Paramita, Jakarta.

Petocz, R.G. , 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya. Pustaka Grafitipers, Jakarta.

Reksohadiprodjo Soedomo, 1996. Evaluasi Produksi Pasture. Dalam Kursus Singkat Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia. Jurusa liarn Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, Yogjakarta.

Soesanto, H dan Subagiyo, 1988. Landasan Agrostologi. NUFFIC. Universitas Brawijaya, Malang.

Subagiyo ,I. dan kusmartono, 1988. Ilmu Kultur Padangan. NUFFIC. Universitas Brawijaya, Malang.

Susetyo, 1979. Pengelolaan dan Pemanfaatan Padang Rumput. Direktorat

Jendral Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Tillman A.D., Hartadi H., Reksohadiprodjo S., dan Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu

Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press dan Fakultas Peternakan UGM., Yogjakarta.

Page 18: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 201

PENGARUH CARA PERSIAPAN LAHAN TERHADAP PRODUKSI

BAHAN KERING DAN KUALITAS Centrosema pubescent Benth. DAN

Calopogonium mucunoides Desv. DI PADANG RUMPUT ALAMI

Luh Suariani , I Nyoman Kaca dan Ni Made Yudiastari

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa

ABSTRACT

The low forage production of native grasslands result in the low ruminant husbandry production. One effort that can be done to increase production and

pasture qualities is by planting of/ improved legumes. Therefore, an experiment on land preparation was conducted to find a simple and cheap method for

legumes establishment. This research was conducted from February to June 2012, at Lumbung village, Selemadeg-Tabanan district. Factorial randomized block design with four land preparation methods (no tillage , herbicide aplication, with

burning and conventional tillage) and three kind legumes (without legumes, Centrosema pubescent Benth., and Calogonium mucunoides Desv.) was used for

this research. Treatments were replicated three times. The result showed that there were interactions between land preparation methods with the kind of legumes on growth, area cover, and botanical composision. Land preparation

method by spraying herbicide (glyphosate) after were cut previously, were the most adequate method for legumes planting to native grassland. To increase feeding stuff supply from native grasslands, planting centro at land preparation

method using systemic herbicide is must appropriate. Research for longer time to gain a data more precisely to forage production along the years is still required.

Key word: land preparation, legumes establishment, and native grassland.

ABSTRAK

Produksi hijauan di padang rumput alami yang rendah mengkibatkan

rendahnya produktivitas ternak ruminansia. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peroduksi dan kualitas hijauan adalah dengan penanaman/penyebaran leguminosa. Oleh sebab itu, diperlukan cara persiapan

lahan yang tepat dan murah untuk menanam leguminosa di padang rumput alami. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juni 2012, di

desa Lumbung, kecamatan Selemadeg-Tabanan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 4 × 3 , dengan 4 cara

persiapan lahan : persiapan lahan tanpa olah tanah (Pt), persiapan lahan dengan herbisida (Ph), persiapan lahan dengan pembakaran (Pp) dan persiapan lahan

secara konvensional (Pk) dan tiga jenis leguminosa : tanpa leguminosa, Centrosema pubescent Benth., dan Calogonium mucunoides Desv. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Hasil percobaan

menunjukkan terdapat interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap pertumbuhan, produksi dan kualitas hijauan di padang

rumput alami. Jenis leguminosa yang mampu menghasilkan bahan kering lebih tinggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrocema pubescens Benth. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering hijauan

Page 19: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 202

sebesar 20,8% pada pemotongan pertama dan 10,7% pada pemotongan kedua, dan

mampu meningkatkan kualitas protein hijauan sebesar 17,01% pada pemotongan pertama dan 38,95% pada pemotongan kedua. Cara persiapan lahan dengan

menyemprotkan herbisida yang berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara yang paling tepat dalam menanam leguminosa ke padang rumput alami. Untuk meningkatkan ketersediaan pakan berkualitas,

menanam centro ke padang rumput alami dengan cara persiapan lahan menggunakan herbisida yang berbahan aktif glyphosate adalah merupakan cara

yang paling tepat. Diperlukan suatu penelitian dalam jangka waktu yang panjang untuk memperoleh data yang lebih akurat mengenai produksi hijauan pakan sepanjang tahunnya.

Kata kunci: persiapan lahan, penyebaran legume, padang rumput alami

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan

produksi ternak ruminansia adalah tersedianya hijauan makanan ternak yang berkualitas sepanjang tahun. Hijauan makanan ternak yang berkualitas terutama terdiri dari rumput rumputan sebagai sumber energi dan leguminosa sebagai

sumber protein. Di Indonesia, khususnya di Bali, petani ternak masih memanfaatkan rumput lapangan sebagai pakan ternaknya (Mendra, 1992 ), karena

lahan yang khusus dipergunakan untuk menanam rumput tidaklah memadai. Padang rumput alami yang tersebar pada beberapa daerah di Indonesia

luasnya 2.399.597 ha, dan lebih dari 90% luas padang rumput yang diusahakan

untuk menghasilkan pakan ternak di Indonesia didominasi oleh rumput alam dan komponen leguminosa hampir tidak ada (Sanchez, 1993). Rendahnya

produktivitas ternak pada padang rumput alami didaerah tropis terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas hijauan. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas hijauan padang rumput alami adalah kelengasan dan

kesuburan tanah yang rendah (Sanchez, 1993). Di negara-negara maju, asosiasi rumput dan leguminosa banyak

diterapkan di padang penggembalaan (padang rumput). Bayer (1990) menyatakan bahwa keuntungan leguminosa dibandingkan dengan rumput adalah (1) leguminosa dapat mengikat N bebas dan bersimbiose dengan rhizobia, (2) kualitas

hijauan leguminosa tidak menurun drastis pada musim kemarau, (3) hijauan yang lebih banyak mengandung leguminosa mempunyai kandungan protein dan nilai

cerna yang lebih tinggi. Pada umumnya leguminosa yang diintroduksikan ke dalam padang rumput

adalah leguminosa penutup tanah (cover crops), seperti Centrosema pubescens,

Calopogonium mucunoides dan Pueraria phaseoloides. Jenis leguminosa penutup tanah ini adalah leguminosa tahunan yang tumbuhnya membelit dan memanjat, dan panjangnya bisa mencapai 5 m (Bogdan, 1977) Spesies tahunan seperti

Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides ini mempunyai sistem perakaran yang kuat dan relatif tahan terhadap cekaman air. Centrosema

pubescens mempunyai pertumbuhan awal yang sangat lambat, tetapi akan berkembang sangat cepat dan agresif jika sudah beradaptasi, serta mempunyai daun yang lebat (Skerman, 1988). Sumbangan nitrogen yang dapat diberikan

Page 20: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 203

leguminosa setiap tahunnya pada padang rumput menurut Sanchez (1993) adalah

berkorelasi langsung dengan kandungan bahan kering bagian atas apabila spesies yang digunakan telah dikelola dengan baik.

Di beberapa tempat yang mengembangkan padang rumput leguminosa, daya tampung dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan padang rumput alamiah. Hal ini didukung oleh t‟Mannetje dan Jones (1992) yang

menyatakan bahwa pada pertanaman campuran rumput dan leguminosa dapat meningkatkan kapasitas tampung, meningkatkan kenaikan berat badan dan

meningkatkan produksi dari ternak. Leguminosa memerlukan aerasi yang baik supaya bintil akar dapat

berkembang dan memfiksasi N bebas dengan baik. Hasil fiksasi N inilah nantinya

yang akan membantu pertumbuhan leguminosa, sehingga mampu berproduksi maksimal dengan kualitas yang baik (Humphreys, 1980). Pada umumnya

leguminosa kalah bersaing dengan rumput lapangan yang telah menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Rumput-rumputan termasuk tanaman golongan C4 sedangkan leguminosa termasuk golongan C3. Tanaman C4 lebih efisien dalam

memanfaatkan sinar matahari, CO2 dan lebih efisien dalam penggunaan air, karena mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C3

(Sastroutomo, 1980). Cara persiapan lahan yang tepat juga bertujuan untuk mengurangi

kompetisi oleh rumput sehingga leguminosa dapat tumbuh optimum. Pemilihan

cara persiapan lahan ini sangat dibatasi oleh biaya, ketersediaan tenaga kerja dan luasan padang rumput yang akan diintroduksi dengan leguminosa, serta tingkat

erosi (Leach et al., 1976 dalam Nurjaya, 1987). Pengolahan tanah didalamnya termasuk pencangkulan sampai dengan

tanpa pengolahan hanya dibuat larikan atau ditugal.Selain dengan pengolahan

tanah pengelolaan padang rumput alam juga dapat dilakukan dengan pembakaran padangan. Maksud utama pembakaran adalah untuk memusnahkan tanaman

rumput dan gulma yang tua dan tidak palatabel dan kering, serta untuk merangsang pertumbuhan tanaman muda yang mengandung nutrisi yang lebih tinggi dan lebih disukai ternak. Pembakaran juga dapat memberantas hama dan

penyakit baik yang menyerang ternak atau tanaman (Reksohadiprodjo, 1994), serta melepaskan fosfor dan unsur hara yang lain yang terikat dalam jaringan

tanaman tua dan membuatnya tersedia bagi tanaman (Sanchez, 1993). Pengontrolan kompetisi tanaman juga dapat dilakukan dengan

menggunakan herbisida. Herbisida sistemik seperti dalapon dan glyphosate,

ditranslokasikan ke tanaman dan akan membunuh sampai ke akar tanaman. Nurjaya (1987) menemukan bahwa pada tanah berpasir, cara persiapan lahan

dengan memotong kemudian menyemprot dengan glyphosate 3 kg a.i. ha –1 dan setelah dua minggu ditanami, memberikan hasil yang lebih baik daripada persiapan lahan secara konvensional (membajak dan membersihkan tanaman yang

ada). Hal ini disebabkan oleh temperatur permukaan tanah lebih tinggi pada persiapan lahan secara konvensional dibandingkan dengan menyemprotnya

dengan herbisida.

Rumusan Masalah

Padang rumput alami didominasi oleh rumput-rumputan lokal sehingga kuantitas dan kualitas pakan ternak yang dihasilkan rendah. Penanaman

Page 21: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 204

leguminosa ke padang rumput alami merupakan salah satu cara untuk

meningkatkan produktivitas padang rumput alami, namum leguminosa kalah bersaing dengan rumput-rumput yang telah ada. Untuk itu diperlukan cara

persiapan lahan yang dapat mendorong pertumbuhan leguminosa.

MATERI DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lumbung Kecamatan Selamadeg, Kabupaten Tabanan, yang merupakan salah satu daerah lahan kering di Bali. Jenis tanah dilokasi penelitian adalah tanah Inceptisol (berdasarkan peta jenis tanah

Propinsi Bali) dengan type iklim C menurut Schmit dan Ferguson (1951). Ketinggian tempat dilokasi penelitian adalah + 50m dari permukaan laut. Padang

rumput ini didominasi oleh rumput lapangan yang mempunyai rhizome (rizomathous). Tanah ditempat percobaan mempunyai kandungan N (rendah), P (sangat rendah) dan K(rendah) dengan tektur tanah liat.

Materi

Jenis leguminosa penutup tanah yang diintroduksikan pada padang rumput alami adalah centro (Centrosema pubescens Benth.) dan calopo (Calopogonium mucunoides Desv.), yang bijinya diperoleh dari BPT/HMT Ciawi

Bogor. Dalam percobaan ini di pupuk dengan 50 kg Urea ha-1, 75 kg SP36 ha-1

dan 75 kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Pemupukan dilakukan seminggu sebelum penanaman leguminosa. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Cangkul, sekop, dan sabit dipergunakan pada saat pengolahan lahan 2. Peralatan semprot (hand sprayer)

3. Timbangan yang berkapasitas 22,6 kg dengan ketelitian 10 g yang dipergunakan untuk menimbang hijauan segar, Timbangan “Mettler Toledo PB 3002” berkapasitas 500 g dengan ketelitian 0,01mg untuk

menimbang sampel keperluan analisis kimia 4. Timbangan Bonso model 323, kapasitas 5000 g dengan kepekaan 1 g

untuk menimbang berat kering oven hijauan dan komponen hijauan 5. Oven pengering model GC-2 untuk mengeringkan sampel hijauan 6. Grinder untuk menggiling sampel

7. Penggilingan elektronik dengan diameter lubang 0,1 mm , persiapan sampel untuk analisis kimia.

8. Dan berbagai peralatan yang diperlukan dalam analisis kandungan bahan kering dan protein hijauan makanan ternak.

Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah : a. Inokulan rhyzobium diperlukan untuk menginokulasi biji leguminosa,

b. Bibit leguminosa Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides,

Rancangan percobaan

Percobaan dilakukan dengan mempergunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap pola faktorial 4 × 3 dengan faktor pertama adalah empat cara persiapan

Page 22: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 205

lahan dan faktor kedua adalah dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa

penanaman leguminosa. Dari kedua faktor tersebut akan diperoleh duabelas kombinasi perlakuan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak

tiga kali, sehingga akan diperoleh 36 petak percobaan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah : Faktor I : Cara persiapan lahan yaitu :

Pt = Tanpa Olah Tanah (TOT), pada lahan padang rumput dibuat larikan untuk menanam leguminosa sedangkan tumbuhan yang sudah ada dipotong.

Ph = Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu kemudian disemprot dengan herbisida glyphosate 3 kg a.i.(active ingredient) ha-1. Setelah dua minggu biji leguminosa baru ditanam dalam larikan.

Pp = Memotong dan seminggu kemudian membakar padang rumput, lalu membuat larikan untuk ditanami leguminosa.

Pk = Pengolahan konvensional. Lahan diolah dengan mencangkul mengumpulkan dan membersihkan rumput-rumput serta akar rimpangnya, menghancurkan bongkahan tanah dan meratakan.

Faktor II adalah penanaman dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa

penanaman leguminosa yaitu : LTl = Tanpa ditanami leguminosa (kontrol) LCp = Centro (Centrosema pubescens Benth.)

LCm = Calopo (Calopogonium mucunoides Desv.)

Pertama-tama dilakukan Pelaksanaan pembuatan petak-petak yang jumlahnya 36 petak dengan ukuran petak 3 × 4 m dan jarak antar petak adalah

0,4 m. Setelah dirandom maka tanah baru diolah sesuai dengan cara persiapan lahan yaitu :

(a) Untuk Pt (Tanpa Olah Tanah). Rumput pada petak ini dipotong dan dibuat Larikan, kemudian ditanami dengan leguminosa.

(b) Untuk Ph (dengan herbisida). Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu

kemudian baru disemprot dengan herbisida. Penanam leguminosa dilakukan setelah 2 minggu penyemprotan.

(c) Untuk Pp (Pembakaran padang rumput). Rumput dipotong dan seminggu sebelum penanaman dilakukan pembakaran pada padang rumput.

(d) Untuk Pk (Pengolahan konvesional). Pembersihan dan pencangkulan lahan

dilakukan seminggu sebelum dilakukannya penanaman dengan leguminosa.

Biji leguminosa sebelum ditanam/disebar telah diskarifikasi. Kebutuhan biji centro dan calopo untuk setiap hektarnya adalah 5 kg dan 3 kg (t‟Mannetje dan Jones, 1992). Daya germinasi untuk centro adalah sebesar 80% dan 60%

untuk calopo.

Panen

Panen dilakukan dengan memotong tanaman pada ubinan dengan tinggi pemotongan lima sentimeter. Luas ubinan adalah 2 × 1,5 m (Gambar 2).

Tanaman sampel adalah tanaman yang akan diukur panjangnya dan selanjutnya akan didestruksi untuk melihat jumlah nodul efektifnya. Panen dilakukan

sebanyak dua kali yaitu pemotongan pertama pada saat tanaman berumur dua

Page 23: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 206

belas minggu, dan pemotongan kedua enam minggu kemudian (delapan belas

minggu setelah tanam).

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati meliputi variabel respon pertumbuhan dan produksi hijauan meliputi :

1. Komposisi botani 2. Kandungan dan produksi bahan kering (Dry Matter)

3. Kadar protein kasar (Crude Protein) hijauan 4. Kandungan abu dan bahan organik hijauan

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan apabila

terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan dan dilakukann transformasi beberapa data untuk menyeragamkan varians (Steel and Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Botani

Terdapat interaksi antara cara persiapan lahan (P) dengan jenis leguminosa

(L) terhadap komposisi botani rumput dan gulma pada pemotongan pertama dan pada komposisi botani rumput, legum dan gulma pada pemotongan kedua (Tabel

5.1). Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan mengakibatkan menurunnya prosentase rumput (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan pembakaran yang ditanami dengan Calopo.

Penurunan prosentase rumput sebesar 33% dan 43,93% masing-masing terjadi pada pastura yang ditanami Centro (LCp) dan Calopo (LCm) Pada pemotongan

pertama dan kedua, penanaman leguminosa juga mengkibatkan menurunnya prosentase gulma yang tumbuh dan cara persiapan lahan meningkatkan jumlah gulma secara nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada

penanaman dengan Calopo . Pada pemotongan kedua, persentase rumput cenderung meningkat

dibandingkan dengan pada pemotongan pertama. Dengan penanaman leguminosa prosentase rumput mengalami penurunan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa dan dengan persiapan lahan ternyata mampu menurunkan prosentase

rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan.

Produksi Bahan Kering Leguminosa, Rumput dan Gulma

Terdapat interaksi yang nyata antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap produksi bahan kering rumput pada pemotongan pertama

dan produksi bahan kering leguminosa, rumput dan gulma pada pemotongan kedua. Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa memberikan pengaruh yang

nyata terhadap produksi bahan kering leguminosa dan gulma pada pemotongan pertama (Tabel 5.1)

Page 24: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 207

Tabel 5.1 Signifikansi pengaruh cara persiapan lahan (P), jenis leguminosa (L)

dan interaksinya terhadap variabel yang diamati. Variabel Pengaruh

P L P X L

PEMOTONGAN PERTAMA

4 Komposisi botani (%)

a) Rumput ** ** **

b)Leguminosa ** ** NS

c) Gulma ** ** *

9 Produksi (t ha –1

)

a). Produksi bahan kering rumput ** ** **

b). Produksi bahan kering gulma ** NS NS

c). produksi bahan kering leguminosa ** ** NS

d).Produksi total bahan kering hijauan ** ** **

e). Produksi total protein kasar NS ** NS

10 Kualitas hijauan (%)

a). Kandungan protein kasar ** ** *

b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS

c). Kandungan bahan organik NS NS NS

d). Kandungan abu. NS NS NS

PEMOTONGAN KEDUA

4 Komposisi botani (%)

a) Rumput ** ** **

b) Leguminosa ** ** **

c) Gulma ** ** **

9 Produksi (t ha-1

)

a). Produksi bahan kering rumput ** ** **

b). Produksi bahan kering gulma ** ** **

c). produksi bahan kering leguminosa ** ** **

d) Produksi total bahan kering hijauan ** ** NS

e) Produksi total protein kasar ** ** **

10 Kualitas hijauan (%)

a). Kandungan protein kasar ** ** **

b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS

c). Kandungan bahan organik NS NS NS

d). Kandungan abu. NS NS NS

11 Jumlah nodul NS NS NS

Keterangan :

1) * = berbeda nyata (P < 0,05 )

2) ** = berbeda sangat nyata (P < 0,01)

3) NS = tidak berbeda nyata (P> 0,05)

Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan tanpa penanaman

leguminosa tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap poduksi bahan kering rumput, kecuali pada persiapan lahan secara konvensional (Tabel 5.2).

Penanaman centro mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput pada cara persiapan lahan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan. Pada penanaman calopo, persiapan lahan dengan pembakaran menghasilkan produksi

bahan kering rumput yang lebih tinggi dibandingkan dengan persiapan lahan konvensional, tetapi tidak berbeda nyata dengan persiapan lahan dengan herbisida

dan tanpa olah tanah. Persiapan lahan secara nyata (P<0,05) meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, tetapi penanaman leguminosa ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap berat

kering gulma (Tabel 5.2).

Page 25: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 208

Pada pemotongan kedua, persiapan lahan pada penanaman centro secara

nyata meningkatkan produksi bahan kering leguminosa dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, sedangkan pada calopo persiapan lahan dengan herbisida

dan tanpa persiapan lahan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.3). Produksi bahan kering leguminosa tertinggi dijumpai pada persiapan lahan dengan herbisida dan ditanami dengan centro, serta yang terendah dijumpai pada

persiapan lahan secara konvensional yang ditanami dengan Calopo (Tabel 5.3). Penanaman leguminosa mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput

dibandingkan dengan tanpa ditanami dengan leguminosa kecuali pada persiapan lahan secara konvensional. Tanpa penanaman leguminosa, cara persiapan lahan menekan produksi bahan kering rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan

lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Pada penanaman dengan centro,

cara persiapan lahan memberikan produksi rumput yang sama kecuali pada persiapan lahan secara konvensional yang mampu menekan produksi bahan kering rumput. Pada penanaman dengan calopo, cara persipan lahan tidak

memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.3).

Tabel 5.2 Pengaruh cara persiapan lahan (P) dan jenis leguminosa (L) terhadap

produksi bahan kering gulma dan leguminosa (t ha –1) pada

pemotongan pertama dan produksi bahan kering total (t ha-1) pada pemotongan kedua (Pem.II)

Perlakuan Produksi bahan kering Prod. Bahan

Pemotongan I Kering total

Leguminosa Gulma Pem. II

------t ha-1---------- ------t ha-1-----

Persiapan lahan

Pt (TOT) 1,47 c 0,68 b 2,85 a

Ph(herbisida) 2,39 a 1,06 a 2,84 a

Pp(pembakaran) 1,70 b 1,07 a 2,54 b

Pk(konvensional) 1,77 b 0,98 a 2,20 c

Jenis Leguminosa

Ltl (Tanpa legum) - 1,02 a 2,75 b

LCp (Centro) 1,71 b 0,89 a 3,08 a

LCm (calopo) 1,96 a 0,93 a 1,95 c

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%

Tanpa penanaman leguminosa, persiapan lahan meningkatkan produksi

bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persipan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Pada penaman dengan centro, cara persiapan lahan meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa

persiapan lahan, sedangkan pada penanaman calopo persiapan lahan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi bahan kerinng gulma (Tabel

5.3)

Page 26: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 209

Produksi Total Bahan Kering Hijauan di Atas Tanah

Interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah

pada pemotongan pertama (Tabel 5.1) dan pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan dan jenis leguminosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tetapi tidak terdapat interaksi

antara keduanya (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, tanpa penanaman leguminosa, cara persiapan lahan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

(P>0,05) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah kecuali pada persiapan lahan secara konvensional. Penanaman centro, memberikan hasil yang berbeda nyata pada cara persiapan lahan yang berbeda, penanaman calopo

mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah meningkat dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.3).

Tabel 5.3 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap

produksi total bahan kering hijauan di atas tanah (DM) (t ha-1) pada

pemotongan pertama

Persiapan Jenis Leguminosa

Lahan Ltl LCp LCm

----------t ha -1 --------------

Pt (TOT) 3,93 ab 4,02 ab 3,36 b

Ph(herbisida) 3,69 ab 4,49 a 4,27 a

Pp(pembakaran) 3,71 ab 3,95 ab 4,19 a

Pk(konvensional) 1,83 c 3,76 ab 3,86 ab

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan menurunkan (P>0,05) produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa

persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Cara persiapan lahan dengan herbisida memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah yang paling tinggi. Penanaman dengan centro meningkatkan (P<0,05)

produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa dan dengan penanaman calopo (Tabel 5.2).

Produksi Total Protein Kasar

Pada pemotongan pertama, jenis leguminosa memberikan pengaruh yang

sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total protein kasar (Tabel 5.1) dan pada pemotongan kedua interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa memberikan pengaruh yang sangat nyata (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama,

penanaman leguminosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi total protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa, tetapi

antara centro dan calopo menunjukkan hasil produksi protein kasar yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.4).

Pada pemotongan kedua, penanaman centro berpengaruh nyata

meningkatkan produksi total protein kasar hijauan dibandingkan dengan penanaman calopo dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel 5.4). Pada cara

Page 27: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 210

persiapan lahan dengan menggunakan herbisida yang diitanami dengan centro

memberikan hasil produksi total parotein kasar hijaun yang paling tinggi dan yang paling rendah dijumpai pada persiapan lahan secara konvensional yang tidak

ditanami dengan leguminosa.(Tabel 5.4).

Tabel 5.4 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap produksi

total protein (t ha-1) pada pemotongan kedua (Pem.II) dan kandungan bahan kering (%) pada pemotongan pertama (Pem.I) dan kedua

(Pem.II)

Perlakuan Prod. Total Kandungan Bahan

Protein kasar Kering

Pem.I Pem.I Pem.II

------t ha-1------ --------------% ------------

Persiapan lahan

Pt (TOT) 0,49 a 27,43 a 26,50 a

Ph(herbisida) 0,54 a 26,56 a 29,20 a

Pp(pembakaran) 0,57 a 26,29 a 25,66 a

Pk(konvensional) 0,52 a 25,71 a 25,51 a

Jenis Leguminosa

Ltl (Tanpa legum) 0,38 b 26,52 b 26,54 a

LCp (Centro) 0,59 a 28,86 a 27,26 a

LCm (calopo) 0,62 a 24,12 c 24,10 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%

Tabel 5.5 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa

terhadap produksi total protein kasar hijauan (t ha-1 ) pada pemotongan kedua

Persiapan Jenis leguminosa

Lahan Ltl LCp LCm

-------------- --t ha-1------- -------

Pt (TOT) 0,30 d 0,38 c 0,31 d

Ph(herbisida) 0,27 de 0,63 a 0,39 c

Pp(pembakaran) 0,27 de 0,46 b 0,26 de

Pk(konvensional) 0,22 e 0,43 b 0,28 de

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Kandungan Protein Kasar

Pada pemotongan pertama dan kedua terdapat interaksi yang nyata terhadap kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, penanaman leguminosa meningkatkan (P<0,05) kandungan protein kasar hijauan

dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa. Pada penanaman dengan centro, cara persiapan lahan meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.6)

Pada pemotongan kedua, penanaman leguminosa meningkatkan

Page 28: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 211

kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman

leguminosa. Cara persiapan lahan tanpa penanaman leguminosa tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan protein kasar hijauan.

Cara persiapan lahan dan penanaman leguminosa meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada penanaman calopo dengan cara persiapan lahan pembakaran (Tabel 5.6).

Tabel 5.6 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa

terhadap kandungan protein kasar hijauan (%) pada pemotongan pertama dan pemotongan kedua

Persiapan Jenis leguminosa Lahan Pemotongan I Pemotongan II

Ltl LCp LCm Ltl LCp LCm

-------------------- % ----------------- ------------------- % ----------------- Pt (TOT) 10,89 de 12,88 c 15,24 ab 9,33 e 11,98 d 13,38 c Ph(herbisida) 9,55 e 14,36 b 14,85 ab 8,94 e 18,60 a 18,24 a Pp(pembakaran) 11,42 d 14,84 b 16,49 a 9,86 e 15,22 b 13,95 c Pk(konvensional) 16,35 a 16,01 ab 16,81 a 9,3 e 15,51 b 18,67 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Kandungan Bahan Kering (DM)

Kandungan bahan kering (DM) pada pemotongan pertama dan kedua, hanya dipengaruhi oleh jenis leguminosa (P<0,01) sedangkan untuk cara

persiapan lahan tidak menunjukkan hasil yang nyata (P>0.05) (Tabel 5.1) . Pada pemotongan pertama, penanaman centro meningkatkan kandungan bahan kering hijauan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa dan dengan penanaman

calopo, tetapi pada pemotongan kedua, tanpa penanaman leguminosa dan dengan penanaman centro memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan penanaman calopo (Tabel 5.4).

Kandungan Bahan Organik

Pada pemotongan pertama dan kedua, perlakuan cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) pada kandungan bahan organik hijauan (Tabel 5.1). Kandungan bahan organik pada

pemotongan pertama yang terendah diperoleh pada cara persiapan lahan dengan pembakaran (Pp) dan yang tertinggi adalah pada persiapan lahan dengan herbisida

(Ph) tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), seperti tersaji dalam Tabel 5.7 berikut.

Page 29: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 212

Tabel 5.7 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis legum terhadap kandungan

bahan organik (%) pada pemotongan pertama dan kedua, kandungan abu (%) pada pemotongan pertama dan kedua , serta jumlah nodul

pada akhir penelitian

Perlakuan Kandungan Bahan Kandungan Abu Jumlah

Organik Nodule2)

Pem.I Pem. II Pem.I Pem. II

------- % --------- -------- % --------- (buah)

Persiapan lahan

Pt (TOT) 88,08 a1) 89,267 a 11,92 a 10,73 a 1,83 a

Ph(herbisida) 88,49 a 89,389 a 11,50 a 10,61 a 3,33 a

Pp(pembakaran) 86,98 a 89,953 a 13,02 a 10,05 a 2,50 a

Pk(konvensional) 88,11 a 89,880 a 11,89 a 10,12 a 2,17 a

Jenis Leguminosa

Ltl (Tanpa legum) 88,28 a 89,900 a 11,71 a 10,10 a

LCp (Centro) 88,00 a 89,301 a 12,00 a 10,70 a 2,92 a

LCm (calopo) 87,46 a 89,672 a 12,54 a 10,33 a 2,00 a

Keterangan : 1). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%

2). Data ditransformasikan dengan transformasi logaritmik

Kandungan Abu

Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tdak menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan abu hijauan pada pemotongan pertama dan kedua (Tabel 5.1 dan 5.7).

Jumlah Nodul

Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap jumlah nodul pada akhir penelitian (Tabel 5.1 dan 5.7).

Pembahasan

Pada persiapan lahan dengan menggunakan herbisida, glyphosate yang bersifat sistemik berhasil membasmi rumput dan gulma sampai keakar-akarnya, sehingga produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tidak berbeda

dibandingkan tanpa pengolahan tanah dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel 5.4). Produksi bahan kering pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami

dengan leguminosa, sebagian besar terdiri dari leguminosa itu sendiri (54,82% pada centro, dan 54,24% pada calopo). Dengan rendahnya kompetisi rumput dan gulma maka produksi total bahan kering hijauan di atas tanah pada cara

persiapan lahan dengan herbisida juga mencapai hasil yang tertinggi (Tabel 5.4). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nurjaya (1986) yang

menyatakan bahwa cara persipan lahan dengan memotong dan menyemprot dengan herbisida glyphosat 3 kg a.i ha-1 dan setelah dua minggu ditanami dengan leguminosa, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara

persiapan lahan secara konvensional. Hal ini disebabkan oleh temperatur

Page 30: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 213

permukaan tanah lebih tinggi pada persiapan lahan secara konvensional

dibandinngkan dengan cara persiapan lahan dengan herbisida. Pada persiapan lahan dengan herbisida, produksi total bahan kering

hijauan di atas tanah tidak berbeda baik yang ditanami leguminosa atau tanpa penanaman leguminosa. Hal ini diakibatkan karena rumput merupakan sumber energi dengan kandungan bahan kering yang lebih banyak dibandinngkan dengan

leguminosa. Oleh sebab itu walaupun prosentase rumput lebih rendah pada penanaman dengan leguminosa, produksi total bahan kering hijauan di atas tanah

tidak berbeda nyata. Sementara itu, penanaman leguminosa pada perlakuan ini meningkatkan kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.7) dan juga meningkatkan produksi total protein kasar hijauan (Tabel 5.6). Hal yang sama

juga dinyatakan oleh Sanchez (1993), dimana dinyatakan bahwa peranan leguminosa dalam sistem asosiasi adalah untuk memberi tambahan nitrogen

kepada rumput dan memperbaiki kandungan hara secara menyeluruh pada padang penggembalaan terutama protein, fosfor dan kalium. Sementara itu, leguminosa yang berbeda mempunyai kemampuan untuk berkompetisi yang berbeda, dan

sangat ditentukan oleh sistem perakaran, lebar daun, dan sifat morfologis lainnya. Pada tanaman leguminosa, penampilan dan juga hasil akhir selain dipengaruhi

oleh sifat genetika dan lingkungan serta interaksi keduanya, juga dipengaruhi oleh efek dari rhizobium yang banyak terdapat dalam bintil akar. Kebanyakan leguminosa bergantung kebutuhan nitrogennya kepada N hasil fiksasi bukan dari

N inorganik. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi pertumbuhan leguminosa itu sendiri, sehingga N inorganik yang terdapat dalam tanah dapat

dimanfaatkan oleh tanaman lainnya (Sanchez, 1993). Hal ini lah yang mendorong lebih tingginya produksi pastura campuran.

Selain itu sistem penanaman campuran akan menghasilkan pakan yang

berkualitas karena komposisi pakan ruminansia yang baik tersusun dari rumput-rumputan dan leguminoa (Dubbs, 1971). Perbaikan kualitas hijauan selanjutya

akan meningkatkan daya tampung dan produktivitas ternak. Di beberapa tempat yang telah mengembangkan padang rumput campuran leguminosa, daya tampung ternak dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan padanng

rumput alamiahPada pemotongan kedua, terjadi kecenderungan yang sama seperti pada pemotongan pertama. Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah

cenderung menurun yang diakibatkan oleh pemotongan (pengaruh pemotongan tidak dianalisis secara statistik), yang menunjukkan centro dan calopo , terutama calopo (Tabel 5.4) tidak tahan terhadap pemotongan yang terlalu cepat (umur 6

mingggu setelah pemotongan pertama) dan pemotongan yang terlalu rendah (5 cm di atas tanah).

Selain itu, perakaran juga berperan dalam hal ini, dimana dengan perakaran yang bagus maka tanaman akan dapat lebih berkompetisi dalam menyerap unsur hara, air dan pada leguminosa, aerasi yang bagus pada tanah juga

akan sangat mempengaruhi aktivitas nodul, sehingga akan mempengaruhi juga kemampuannya dalam memfiksasi N bebas (Sanchez, 1993).

Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan dengan herbisida memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah yang tidak berbeda nyata dengan tanpa persiapan lahan, dan jenis leguminosa centro memberikan

hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan calopo dan tanpa penanaman leguminosa. (Tabel 5.2). Hal ini diakibatkan karena pada persiapan lahan dengan

Page 31: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 214

herbisida yang ditanami dengan leguminosa produksi bahan kering rumputnya

hampir sama dengan pada persiapan lahan tanpa olah tanah (Tabel 5.4), tetapi untuk produksi bahan kering leguminosa pada persiapan lahan dengan herbisida

pada penanaman centro memberikan hasil yang berbeda nyata. Hal inilah yang mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah, pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami centro memberikan hasil yang paling

tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penanaman leguminosa dan

cara persiapan lahan mampu menekan pertumbuhan rumput dibandingkan dengan tanpa olah tanah. Tanpa penanaman leguminosa, prosentase rumput masih tingggi tetapi dengan penanaman leguminosa prosentase rumput berkurang baik pada

pemotongan pertama maupun pada pemotongan kedua. Calopo, pada pemotongan pertama mempunyai daya menekan pertumbuhan rumput yang lebih tinggi

dibandingkan dengan centro. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa centro lebih tahan terhadap

pemotongan. Reksohadiprodjo (1994) menyatakan bahwa centro adalah

leguminosa dengan sifat tumbuh yang agresif, tumbuhnya merayap dan membelit dengan batang-batang yang dapat mengeluarkan akar dari tiap ruas batangnya,

sehingga dapat menghindari dari tertutupnya oleh bayangan tanaman yang tumbuh bersamanya, dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Centro merupakan tanaman leguminosa tahunan yang lebih tahan terhadap pemotongan jika

dibandingkan dengan calopo (Skerman, 1988). Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan

terhadap kualitas hijauan (kandungan bahan organik dan kandungan abu) kecuali terhadap kandungan protein kasar hijuan (Tabel 5.7). Pada semua perlakuan dihasilkan kandungan protein kasar di atas 7% yang merupakan kandungan

protein kasar kritis pada hijauan pakan ternak. Penanaman leguminosa nyata meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa

ditanami leguminosa (Tabel 5.7). Cara persiapan lahan dengan herbisida menghasilkan hijauan dengan kandungan protein kasar yang tertinggi, tetapi tidak berbeda dengan antara leguminosa centro dan calopo.

Semakin besar persentase leguminosa, maka kandungan protein kasar akan semakin besar dan semakin banyak prosentase rumput akan semakin menurunkan

kandungan protein hijauan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Miller (1984) dan Reksohadiprodjo (1994) yang menyatakan bahwa leguminosa mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik daripada rumput, memiliki kandungan protein kasar,

kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, dan seringkali mempunyai nilai serat kasar yang lebih rendah. Sementara itu, Mc Illroy (1977) menyatakan bahwa tingkat

dan stadia pertumbuhan tanaman erat kaitannya dengan perbaikan kualitas pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa nilai gizi jenis hijauan makanan ternak dipengaruhi oleh perbandingan daun/batang, fase pertumbuhan, kesuburan tanah dan

pemupukan, serta keadaan iklim. Lebih lanjut, Djuned, dkk. (1980) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi kimia hijauan

diantaranya adalah faktor tanaman meliputi umur, jenis dan bagian tanaman. Daun mempunyai nilai protein yang lebih tingggi dibandingkan dengan batang, karena pada batang lebih banyak mengandung serat kasar dibandingkan dengan

daun. Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dan kandungan protein

Page 32: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 215

kasar hijauan akan mempengaruhi produksi total protein kasar di padang rumput

alami. Produksi total protein kasar yang tertinggi diperoleh pada cara persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami dengan centro pada pemotongan pertama

dan kedua.(Tabel 5.1). Produksi total protein kasar berkorelasi erat dengan produksi bahan kering leguminosa. Semakin banyak jumlah bahan kering leguminosa pada hijauan akan semakin meningkatkan produksi total protein kasar,

dan dengan semakin banyaknya rumput maka akan mengakibatkan semakin rendahnya produksi total protein kasar. Selain itu produksi total protein kasar juga

berkorelasi erat dengan nodul yang terbentuk. Nodulasi leguminosa juga dapat mempertahankan tingginya konsentrasi protein pada rumput, sehingga keberadaan leguminosa dalam hijauan akan memberikan pakan yang lebih baik bagi ternak

(Skerman,1977). Penanaman centro pada perbagai cara persipan lahan, mampu meningkatkan produksi total protein kasar mendekati dua kali lipat pada

penanaman calopo. Hal ini disebabkan karena setelah defoliasi calopo lebih lambat tumbuh kembali dibandingkan dengan centro.

Kompetisi yang terjadi setelah defoliasi, antar spesies tanaman yang

berbeda atau pada spesies yang sama meliputi banyak faktor. Penampilan spesies tanaman yang berbeda dalam asosiasi yang berbeda dari sangat depresif, depresif

hingga menunjukkan interaksi yang tidak menguntungkan. Kompetisi akhirnya akan mengurangi jumlah faktor yang esensial bagi masing-masing individu. Berhasilnya tanaman dalam kompetisi tergantung pada kedalaman dan distribusi

akar, lebar daun dan sifat genetik (Donald,1963). Rumput merupakan tanaman C4 yang lebih efisien dalam memanfaatkan

sinar matahari, CO2 dan lebih efisien dalam penggunaan air, karena mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C3 (Sastroutomo, 1990). Hal tersebutlah yang akan membatsi pertumbuhan leguminosa setelah

pemotongan. Selanjutnya Mc.Illroy (1977) menyatakan bahwa penekanan ini disebabkan penaungan rumput dan persaingan akar dalam menyerap unsur hara di

dalam tanah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Terjadi interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa dalam

hal produksi dan kualitas hijauan di padang rumput alami.

2. Jenis leguminosa yang lebih mampu menghasilkan bahan kering yang lebih tingggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrosema pubescens

Benth. 3. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering dan

kualitas hijauan di padang rumput alami.

4. Cara persiapan lahan dengan menyemprotkan herbisida sistemik yang berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara

yang paling tepat dalam menanam leguminosa di padang rumput alami.

Page 33: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 216

Saran

1. Dalam upaya meningkatkan ketersediaan pakan ternak yang berkualitas, maka dapat dilakukan dengan mengintroduksikan leguminosa Centro kedalam

pastura alami dengan cara persiapan lahan menggunakan herbisida 2. Perlu dilaksanakan penelitian yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil

yang lebih tepat misalnya selama satu tahun, untuk melihat kemampuan

produksi padang rumput baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Alison, M.W. and W.D. Pitman. 1995. Legumes Use in Pastures. Louisiana Agriculture 38 : 16 – 17

Bahar,S., S. Hardjosoewignjo, I. Kismono, dan O. Haridjaja. 1999. “Perbaikan padang rumput alam dengan introduksi leguminosa dan beberapa cara pengolahan tanah”. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 4 (3) : 185 – 190

Bayer, W. 1990. Nappier Grass-A Promising Fodder for Smallholder Livestock Production in the Tropics. Plant Research and Development. p. 103-111

Bogdan , A. V. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and Legumes). Longman ,London and New York.

Crowder, L. V. and H.R. Cheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. First

Publ. Longman, London, New York. P. 63 - 81 Djuned H, M.H.D.Wiradisastra, T.Aisyah dan Ana Rochana. 1980. Tanaman

Makanan Ternak. Bagian Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung, 45 – 65.

Dubbs,A.I. 1971. “Competition between grass and legumes spesies on dryland”.

Agron.J. 63 : 359-362. Donald, C.M. 1963. “Competition among crop and pasture plants.

Adv.Agron.15.1-118 Humphreys , L. 1980. A Guide to Better Pasture for the Tropics and Subtropics.

Revised 4th. Wright Stephenson & Co. Australia.

Mendra, I. K. 1992. Evaluasi Penyediaan Hijauan Makanan Ternak di Delapan Kabupaten di Bali. Tim Ahli Ilmu Makanan Ternak UNUD bekerjasama

dengan Dinas Peternakan Propinsi Bali. Miller, D. A. 1984. Forage Crops. Mc Graw-Hill Book Company, New York. Nurjaya, I.G.M.O. 1987. “ Studies on management of Imperata cylindrica (L)

Beauv. for oversowing pasture legumes”. (Thesis). University of New England.

Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik . Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Reynolds S.G. 1995. Pasture Cattle-Coconut Systems. Food and Agriculture Organzation of The United Nations regional Office for Asia and the

Pasific (Rapa). Bangkok, Thailand. Sanchez P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 2. Terjemahan

Amir Hamzah. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Sarief. S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana . Jakarta.

Page 34: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 217

Skerman, P. J. 1988. Tropical Forage Legumes. Food and Agriculture

Organization of The United Nations. Rome. Steel, R. G. dan J.H. Torrie. 1989. Principles and Procedur of Statistic. Mc

Graw-Hill Book Company. New York. Suarna I W. 2001. “Pengaruh pupuk organik kascing terhadap pertumbuhan,

hasil dan kualitas hijauan dalam sistem asosiasi rumput leguminosa serta

dampaknya terhadap prestasi kambing PE jantan”. (Disertasi). Bandung. Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.

„t Mannetje, L. and R.M. Jones. 1992. Plant Resources of South-east Asia, Forages. No.4. Prosea, Bogor. Indonesia.

Whiteman, P.C. ;L. R. Humphreys; N. H. Nonteith; E. H. Holt; P. M. Bryant and

J.E. Slater. 1974. A Course manual In A Tropical Pasture Science. A.A.U.C.S. Brisbane, Australia.

Whiteman, P.C. 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press, Oxf.

Page 35: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 218

PEMANFAATAN LIMBAH DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK

UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH

Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh

ABSTRAK

Provinsi Aceh merupakan daerah prioritas penyumbang ternak sapi potong

yang memberi kontribusi terhadap penyediaan daging untuk konsumsi dalam daerah dan memberi pendapatan yang cukup tinggi 25,5%. Akan tetapi akhir-

akhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya sangat lambat, sehingga terjadi penurunan populasi ternak mencapai 1,25%. Salah satu penyebabnya yaitu rendahnya daya reproduksi terutama pada usaha peternakan rakyat akibat dari

terbatasnya ketersediaan pakan. Penelitian ini bertujuan untuk ; 1). Meningkatkan produksi dan produktivitas ternak untuk mencukupi kebutuhan daging 2).

mendapatkan teknologi pakan yang berasal dari limbah pertanian (padi dan kakao) sebagai sumber hijauan pakan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Bireuen. Ternak sapi di kelompokkan atas berdasarkan

umur dan bobot hidup. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Nilai ekonomis ransum dihitung menggunakan R/C ratio. Design

perlakuan pakan sebagai berikut : A0 =Perlakuan Petani dan A1 = 50% jerami padi fermetasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat ; A2 = 50% kulit kakao fermentasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat. Peubah yang diamati adalah:

Pertambahan bobot badan harian, konsumsi dan analisis ekonomi (B/C ratio). Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian A0 sebesar

0,759 kg, A1 sebesar 0,801 kg dan A2 sebesar 0,675 kg. Nilai B/C ratio Ao

sebesar 1,48 ; A1 sebesar 1,55, dan A2 sebesar 1,39. Kata kunci: integrasi, sapi, jerami padi, kulit kakao, ketahanan pakan

PENDAHULUAN

Kebijakan pembagunan peternakan di Provinsi Aceh dewasa ini lebih ditekankan pada upaya untuk menyongsong kecukupan daging 2014. Salah satu

faktor yang dominan pada keberhasilan pengembangan ternak adalah ketersediaan sumber pakan baik secara kuantitas maupun kualitas. Provinsi Aceh sebagai salah

satu Provinsi yang memiliki ternak sapi lokal dengan populasi sebesar 587,122 ekor memiliki potensi lahan pertanian berupa perkebunan, antara lain kebun kakao 105,625 ha dan lahan sawah 352,201 ha. Kedua komoditi tersebut memiliki

potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Akan tetapi akhir-akhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya

sangat lambat, sehingga terjadi penurunan populasi ternak mencapai 1,25% (Dinas Peternakan Prov. NAD, 2009). Hambatan utama petani ternak khususnya dalam peningkatan populasi ternak yaitu terbatasnya pakan. Perluasan areal untuk

penanaman rumput sebagai pakan ruminansia sangat sulit, karena alih fungsi lahan yang sangat tinggi. Mengingat sempitnya lahan penggembalaan, maka

usaha pemanfaatan sisa hasil (limbah) pertanian untuk pakan perlu dipadukan dengan bahan lain yang sampai saat ini belum biasa digunakan sebagai pakan.

Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan

Page 36: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 219

pertanian di wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama

dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat

dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat

tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran, Djajanegara, Kariyasa dan Kasryno, 2005).

Sistem integrasi tanaman ternak terdiri dari komponen budidaya tanaman, budidaya ternak dan pengolahan limbah. Penerapan teknologi pada masing-masing komponen merupakan faktor penentu keberhasilan sistem integrasi

tersebut. Agar sistem integrasi berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan produktifitas pertanian maka petani harus menguasai dan menerapkan inovasi

teknologi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003).

Berdasarkan peluang dan permasalahan yang ada Balai Penelitian Teknologi Pertanian Aceh sebagai ujung tombak Badan Litbang Pertanian yang

ada di daerah dapat memberi dukungan yang signifikan terhadap keberhasilan program Kementerian Pertanian. Terobosan yang dilakukan melalui keterpaduan sub sektor yang saling berkaitan antara ternak dan tanaman secara bersinergis dari

hasil limbah yang dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan peternak yang berwawasan agribisnis.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak untuk mencukupi kebutuhan daging dan mendapatkan teknologi pakan yang berasal dari limbah (kakao, jerami padi) sebagai sumber hijauan dan

ketahanan pakan serta bersifat agribisnis.

Metodologi Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten

Bireuen dari bulan Februari sampai dengan Desember 2012.

MATERI DAN METODE

Ternak sapi di kelompokkan atas dasar umur dan bobot hidup

menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan dan 3 perlakuan. Adapun pakan perlakuan sebagai berikut :

A0 = Perlakuan Petani A1 = 50% jerami padi fermetasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat A2 = 50% kulit kakao fermentasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat

Persiapan bahan biomas (jerami padi dan kulit kakao)

Proses biomas kulit buah kakao dihaluskan dengan pemakaian alat, kemudian difermentasikan dengan bantuan stater starbio dan didiamkan selama 21 hari, untuk proses biomas jerami padi yang sudah dipanen difermentasikan selama

21 hari dengan bantuan stater probion. Sebelum diberikan perlakuan, terlebih dahulu ternak ditimbang dengan bobot badan 180-230 kg/ ekor. Setiap ternak

Page 37: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 220

diberikan vitamin dan obat cacing. Dilakukan adaptasi selama 10 hari dengan

bahan pakan yang akan diuji. Setiap 10 hari ternak ditimbang. Pakan diberikan sebanyak 10% dari bobot badan. Konsentrat diberikan setiap pagi bersama dengan

mineral blok. Peubah yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan analisis ekonomi (B/C ratio) berdasarkan nilai input dan output.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik di Kabupaten Bireuen

Desa Juli Mee Tengoh merupakan salah satu desa di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen dengan luas wilayah 207 Ha. Jarak desa ke ibukota kecamatan

3,5 km dan jarak desa ke ibukota kabupaten 5,5 km. Desa ini mudah dikunjungi karena transportasi dan sistem komunikasi relatif lancar. Batasan desa adalah

sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Meunasah Teungoh Sebelah Timur berbatasan dengan Blang Keutumba

Sebelah Selatan berbatasan dengan Bate Raya, Peuraden Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Gunci

Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani

Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Juli Mee Teungoh sangat

beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani. Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman

semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan ditanam adalah kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura berupa rambutan dan pisang. Adapun komoditas ternak yang banyak diusahakan adalah sapi,

kerbau, kambing, ayam dan itik.

Karakteristik Fisik di Kabupaten Aceh Timur

Desa Lhok Asahan merupakan salah satu desa di Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur dengan luas wilayah 230 Ha. Jarak desa ke ibukota

kecamatan 1,5 km, dan jarak desa ke ibukota kabupaten 6,5 km. Batasan desa adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Seunebok Kuyun Sebelah Timur berbatasan dengan Meunasah Jempa Sebelah Selatan berbatasan dengan Keutapang Dua

Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Tengoh

Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani

Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Lhok Asahan sangat beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani.

Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan

ditanam adalah kelapa sawit, kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura berupa rambutan dan pisang. Adapun komoditi ternak yang banyak diusahakan adalah sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik. Susunan dan komposisi pakan sesuai

dengan pemberian saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Page 38: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 221

Tabel 1. Susunan pakan berdasarkan bahan kering

Bahan pakan Susunan Formulasi ransum (%)

A0 A1 A2 Hijauan 100 81.7 76.3 jerami padi fermentasi 0 18 0 kulit kakao fermentasi 0 0 23.4 Konsentrat 0 0.3 0.3

Total 100 100 100

Tabel 2. Komposisi bahan pakan sesuai jumlah yang diberikan (kg)

Bahan pakan Susunan Formulasi Ransum (kg)

A0 A1 A2

Hijauan 18.46 15.36 14.44

jerami padi fermentasi 0 3.38 0

kulit kakao fermentasi 0 0 4.43

Konsentrat 0 0.06 0.06

Total 18.46 18.8 18.93

Pertambahan Bobot Badan Selama Penelitian

Rata-rata pertambahan bobot badan sapi selama penelitian 90 hari

perlakuan A0 (perlakuan petani) sebesar 38.97 g/ekor/hari, perlakuan A1 (pemakaian 50% jerami padi permentasi tambah 50% hijauan tambah 1%

konsentrat) sebesar 72.66 g/ekor/hari dan perlakuan A2 (kulit buah kakao permentasi hijauan tambah 1% Konsentat) sebesar 60.66 g/ekor/hari.

Dari hasil data penelitian yang diperoleh A0, A1, dan A2 secara statistik

menunjukkan perbedaan tingkat pertambahan bobot badan ternak sapi yang nyata terutama antara perlakuan petani (A0) dengan perlakuan penambahan bahan

pakan hasil fermentasi yaitu A1 dan A2. Namun perbedaan pertambahan bobot bobot badan ternak sapi yang diberikan pakan perlakuan hasil fermentasi antara A1 dengan A2 memperlihatkan selisih yang tidak terlalu jauh. Hal ini disebabkan

karena pengaruh hasil proses fermentasi jerami padi (A1) yang menunjukkan serat-seratnya sudah terurai semua sehingga memberikan daya cerna lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan petani maupun perlakuan penambahan kulit buah

kakao difermentasi. Tingkat daya cerna pakan yang dikonsumsi dapat menunjukkan tingkat

tinggi rendahnya penambahan bobot badan, karena dapat memberikan gambaran seberapa banyak pakan yang dikonsumsi ternak dapat diserap oleh pili-pili usus untuk membentuk otot daging dan tidak banyak di buang dalam bentuk feses.

Fitriani (2003) menyatakan bahwa perlakuan amoniasi jerami padi dengan aditif mikroba dapat meningkatkan nilai kecernaan NDF dan hemisellulosa rumput.

Tabel 3. Rataan Pertambahan Bobot Badan Sapi Selama Penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan

Total Rata-rata 1 2 3

A0 38.97 39.96 37.98 116.91 38.97a

A1 69.03 37.98 74.97 217.98 72.66c

A2 56.97 62.01 63.0 181.98 60.66b

Ket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar perlakuan berbeda nyata (P>0,05)

Page 39: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 222

Konsumsi Ransum Selama Penelitian

Pemberian pakan pada sapi ini sebanyak 10% dari bobot badan. Perlakuan bahan pakan yang disusun terdiri dari tiga macam perlakuan yaitu ;

perlakuan A0 : pemberian pakan dilakukan oleh petani peternak atau perlakuan petani berupa hijauan segar 100%, perlakuan A1: (50% Hijauan, 50% jerami padi difermentasi, 1% konsentrat), dan perlakuan A2 : (50% Hijauan, 50% kulit buah

kakao difermentasi, 1% konsentrat). Selama penelitian pakan yang diberikan semua habis dimakan oleh ternak sapi tidak ada yang tersisa. Berdasarkan jumlah

perhitungan 10% dari bobot badan menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu jauh antara perlakuan A0 dengan perlakuan memakai bahan pakan hasil fermentasi yaitu ; perlakuan A1 dan perlakuan A2 dari jumlah pemberian pakan per-hari

sampai akhir penelitian.

Tabel 4. Jumlah konsumsi pakan per-individu ternak selama penelitian 90 hari (kg)

Bahan Pakan

Ransum Perlakuan

A0 A1 A2 Pemberian Pada Ternak 1661.4 1692 1703.7

Sisa pakan yang di Konsumsi 0 0 0

Jumlah Konsumsi Pakan 1661.4 1692 1703.7

Konsumsi pakan selama penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan A0 mengkonsumsi pakan sebanyak 1661.4 kg, perlakuan A1 sebanyak 1692 Kg,

dan perlakuan A2 sebanyak 1703.7 kg. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa tingkat konsumsi pakan perlakuan A1 dan A2 lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan A0. Disebabkan karena tingkat daya cerna bahan pakan hasil

fermentasi terutama kulit buah kakao dan jerami padi sehingga dimanfaatkan oleh ternak. Menurut Zainuddin (1995), kulit buah kakao mengandung 16.5% protein

dan 9.8% lemak dan setelah dilakukan fermentasi kandungan protein meningkat menjadi 21.9% serta mampu menurunkan kadar serat kasar dari 16.42 menjadi 10.15%.

Konsumsi pakan ditentukan oleh, kualitas pakan dan frekuensi pemberian pakan yang memberikan pengaruh besar terhadap pertambahan bobot badan dan

biaya produksi selama pemeliharaan sapi atau penelitian berlangsung. Walaupun seekor ternak memiliki potensi genetik tinggi, akan tetapi apabila tidak didukung oleh makanan yang baik mutu dan cukup jumlahnya, maka ternak kurang dapat

menampilkan potensi tersebut.

Analisa ekonomi (B/C Ratio)

Telah diketahui bahwa pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam suatu usaha peternakan baik itu ternak ruminansia maupun non ruminansia. Oleh

karena itu biaya pakan perlu ditekan serendah mungkin agar diperoleh pendapatan yang lebih baik atau setinggi mungkin. Pendapatan merupakan selisih antara

penerimaan dan biaya produksi selama penelitian, dimana semakin besar produksi yang dihasilkan semakin besar pula penerimaannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan analisis ekonomi (B/C ratio) adalah: konsumsi

ransum, bobot badan akhir, harga beli sapi, harga lainya dianggap sama. Hasil produksi dan keuntungan selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.

Page 40: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 223

Tabel 5. Hasil produksi ternak sapi selama penelitian 90 hari

Perlakuan Bobot Badan Awal

PBB Bobot Badan Akhir

Harga Karkas Rp/Kg

Penerimaan

A0 184.6 38.97 223.57 Rp. 35.000 Rp. 7.824.950

A1 188.0 72.66 260.66 Rp. 35.000 Rp. 9.123.100

A2 189.3 60.66 249.96 Rp. 35.000 Rp. 8.748.600

Tabel 6. Keuntungan bersih selama penelitian 90 hari

Perlakuan Penerimaan Biaya produksi Keuntungan

(Rp) (Rp)

A0 Rp. 7.824.950 Rp. 5.261.554 Rp. 2.563.396

A1 Rp. 9.123.100 Rp. 5.889.358 Rp. 3.233.742

A2 Rp. 8.748.600 Rp. 6.284.309 Rp. 2.464.291

Pemanfaatan limbah hasil pertanian (jerami padi dan kulit buah kakao) yang dilakukan pengolahan dengan cara fermentasi ternyata memberikan dampak positif terhadap percepatan pertambahan bobot badan ternak sapi penelitian, yang

memberikan selisih tingkat keuntungan yang tinggi yang diperoleh dari masing- masing pakan pelakuan dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi

tersebut. Dari hasil analisis ekonomi terhadap berbagai jenis pakan perlakuan penelitian (A0,A1,A2) ; Pakan perlakuan A0 biaya produksi Rp. 5.261.554,-, keuntungan Rp 2.563.396,- dengan B/C ratio 1,48 ; Pakan perlakuan A1 biaya

produksi Rp. 5.889.358,-, Keuntungan Rp. 3.233.742, -, dengan B/C ratio 1,55 ; dan pakan perlakuan A2 Biaya produksi Rp. 6.284.309,-, keuntungan Rp.

2.464.291,- B/C ratio 1,39. Berdasarkan data hasil penelitian usaha ternak sapi tentang perhitungan analisis ekonomi menunjukkan bahwa pakan perlakuan A1 (jerami padi

difermentasi), memberikan keuntungan yang lebih besar dengan biaya produksi rendah serta B/C ratio yang tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan

penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya. Dapat disimpulkan perlakuan pakan A1 dengan memanfaatkan jerami padi yang diolah dengan cara fermentasi dapat membantu petani ternak dalam memanfaatkan

produk limbah pertanian, sehingga dapat menurunkan ketergantungan terhadap ketersediaan hijauan pakan. Pemanfaatan limbah pertanian dapat dilakukan

sejalan dengan pengolahan lahan pertanian dan pengaturan penanaman hijauan makanan ternak.

Pakan perlakuan yang dilakukan petani atau perlakuan petani (A0)

berdasarkan data tingkat analisis ekonominya lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya,

hal ini disebabkan karena pakan perlakuan petani jumlah biaya produksi lebih rendah dengan hanya memakai pakan hijauan saja tanpa penambahan pakan lainnya namun tidak memberikan tingkat pertambahan bobot badan yang tinggi

seperti pada perlakuan penelitian dengan memakai bahan pakan hasil fermentasi lainnya (A1 dan A2).

Page 41: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 224

Biaya produksi adalah sejumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor

produksi, yang digunakan dalam proses produksi, dan biaya adalah suatu nilai yang dikorbankan untuk produksi (Teken dan Asnawi, 1977). Penerimaan adalah

hasil perkalian antara jumlah produksi fisik dengan harga satuan dari produksi tersebut. Dalam hal ini jelas bahwa harga dari jumlah produksi sangat menentukan besar kecilnya penerimaan (Bishop dan Toussaint, 1979). Sedangkan pendapatan

adalah jumlah penerimaan total dari hasil usaha setelah dikurangi biaya riil usaha (Adiwilaga, 19820).

Untuk menilai kelayakan ekonomi dari hasil penelitian maka digunakan analisa tingkat keuntungan dan rasio manfaat biaya (B/C Ratio) disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai B/C Ratio selama penelitian 90 Hari

Perlakuan Penerimaan Biaya produksi

B/C Ratio (Rp)

A0 Rp. 7.824.950 Rp. 5.261.554 1.48

A1 Rp. 9.123.100 Rp. 5.889.358 1.55

A2 Rp. 8.748.600 Rp. 6.284.309 1.39

KESIMPULAN

1. Pertambahan bobot badan sapi selama penelitian mengalami kenaikan yg

signifikan dengan pemberian ransum perlakuan yang terdiri dari pakan perlakuan Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian A0 sebesar 0,759 kg, A1 sebesar 0,801 kg dan A2 sebesar 0,675 kg.

Nilai B/C ratio Ao sebesar 1,48 ; A1 sebesar 1,55, dan A2 sebesar 1,39. 2. Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan seperti pelepah sawit, kulit

buah kakao yang di olah dengan cara fermentasi memberikan B/C ratio yang

lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, 2009. Data Base Peternakan Provinsi

Aceh. Banda Aceh. Fitriani. 2003. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Yang Diberi pakan Jerami padi

Fermentasi ditambah Aktivator Mikroorganisme. Skripsi Jurusan Peternakan Unsyiah, Darussalam Banda Aceh.

Pasandaran, Effendi. Djayanegara, Andi. Kariyasa, Ketut. Kasryno. Faisal.2006.

Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta

Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63

Zainuddin. 1995. Kecernaan dan Fermentasi Limbah Kakao serta Manfaatnya. Kumpulan Hasil-hasil Pertanian APBN TA 94/95, Balia Penelitian Ternak

Ciawi, Bogor.

Page 42: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 225

KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick

PADA SISTEM PENGGEMBALAAN DAN STOCKING RATE BERBEDA

DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA

Selvie D. Anis

1, M.A. Chozin

2, M. Ghulamahdi

2, Sudradjat

2dan H. Soedarmadi

3

1DepartemenNutrisidanMakananTernakFakultasPeternakan UNSRAT, Manado.

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

3DepartemenMakananTernakdanTeknologi Pakan, FakultasPeternakan IPB, Bogor.

ABSTRACT

Integreted pasture and livestock in coconuts based farming systems were expected to enhance the efficiency and the sustainability of land utilization.

The aim of this experiment was to studies the effects of stocking rate and grazing systems on performance of pasture. This experiment was conducted at

Coconut and Others Palma Research Center (BALITKA) Manado since July 2009 until June 2010. Two grazing system and three stocking rate were put on Split Plot arrangement based on Rendomized Block Design (RBD). Measured variables

were number of mother plant, ground tiller, aerial tiller, weight of dry roots and crown. The results shows that all highest performances measured were found

on the interaction of rotational grazing system (SP2) and stocking rate 2,31 AU (SR3).

Key word: performance, humidicola, grazing system, stocking rate.

ABSTRAK

Integrasin pastura dan ternak sapi ke dalam system pertanian berbasis kelapa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secar aberkelanjutan.

Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruhstocking rate dan system penggembalaan terhadap keragaan pastura.Penelitian ini telah dilakukan di Kebun

Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak Juli 2009 sampai Juni 2010. Perlakuan terdiri dari dua sistem penggembalaan dan tiga stocking rate diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada

Rancangan Acak Kelompok (RAK). Variabel yang diukur adalah jumlah tanaman induk, jumlah ground tiller, jumlah aerial tiller, bobot akar dan bobot crown.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua parameter keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan stocking rate 2,31 UT (SR3).

Kata kunci : keragaan, humidicola, sistempenggembalaan, stocking rate.

PENDAHULUAN

Frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan

produksi biomassa bahan kering hijauan di atas tanah (Flemmer et al., 2002) dan pada tekanan penggembalaan berat akan terjadi pengurangan absorbsi unsur hara

yang dapat mengancam terhadap pemulihan jaringan fotosintesis (Dawson et al., 2000), bahkan gangguan kehidupan perakaran dan kematian akar (Mousel et al., 2005). Namun demikian laporan terbaru menunjukkan naiknya frekuensi defoliasi

tidak berpengaruh terhadap produksi dan dinamika akar, sebaliknya menaikan

Page 43: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 226

konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar (Gittins

et al.,2010). Sebelumnya, Gao et al. (2007) melaporkan bahwa penggembalaan berat 2,9 Yaks/ha menghasilkan rasio biomassa akar/pucuk lebih tinggi dari pada

penggembalaan ringan 1,2 Yaks/ha dan medium 2,0 Yaks/ha. Naiknya alokasi, yang biomassa komponen akar rumput adalah respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah

direnggut (Wang et al., 2003). Ketika terjadi defoliasi atau perenggutan bagian pucuk tanaman akan

menyebabkan kehilangan unsur nitrogen, yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan kedua unsur tersebut. Untuk menjaga tanaman berada dalam keadaan homeostatis, secara otomatis tanaman akan melepaskan unsur

karbon ke lingkungan risosfer melalui eksudat akar (Manske, 2001; Kuzyakov, 2002; Mousel et al., 2003). Eksudat akar mengadung glukosa dan asam amino

yang optimal, akan menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan bakteri (Kuzyakov, 2002).

Pada umumnya rerumputan pakan tropis selalu menghasilkan biomassa

hijauan berlimpah. Namun tanpa manajemen penggembalaan yang benar akan terjadi akumulasi material mati yang dapat menghambat ternak untuk merumput

(Sollenberger dan Burns, 2001). Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput, dan sebagai contoh untuk jenis limpograss (Hemarthria altissima) dapat memenuhi kebutuhan ternak dan

memberi keragaan ternak terbaik pada struktur pastura dengan tinggi conopy 40 cm, sebagai ukuran tinggi tanaman yang terjangkau oleh ternak untuk

direnggut dengan ditandai suplai hijauan tertinggi (Newman et al., 2002). Tinggi tunggul yang tersisa 30 cm setelah digembalakan menghasilkan komponen daun lebih banyak dan memberikan efisiensi penggembalaan 80%, lebih tinggi

dibandingkan 68% pada tinggi tunggul 50 cm pada rumput P. Maximum (Carnevalli et al., 2006), demikian juga dilaporkan pada jenis rumput

Brachiaria yang lebih sering digembalakan, efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurang digembalakan (CIAT, 2006).

Pengaruh sistem penggembalaan terhadap produksi ternak tidak sebesar

pengaruh stocking rate (SR). Sistem penggembalaan rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan

bergizi, serta lebih disukai dan dipilih ternak (Mayne et al., 2000). Pada sistem penggembalaan rotasi dengan SR tinggi, memberikan kenaikkan hasil susu sapi per induk sebesar 16%, dibandingkan dengan hanya 4% pada SR

rendah,demikian juga pertambahan berat badan harian ternak sapi lebih tinggi pada rumput B.humidicola dengan naiknya SR (Pereira et al., 2009).

Penentu utama jumlah hijauan yang terenggut per hari oleh ternak sapi adalah bobot hijauan per renggutan.Volume tersebut ditentukan oleh tinggi rendahnya kanopi pastura, sebagai akibat dari perbedaan SR (Newman et al.,

2002; Carnevalli et al., 2006) dimana tinggi kanopi pastura antara 8-10 cm memberikan hasil pertambahan berat badan lebih tinggi (Mayne et al, 2000).

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilaksanakan di lapang pada kebun percobaan Balai

Page 44: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 227

Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Desa Paniki Bawah,

Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Secara geografis terletak pada 01o 30‟ LU, dan pada 124o 54‟ BT, dengan tinggi tempat 67 meter dpl.

Penelitian ini dimulai Juli 2009 sampai Juni 2010. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalahbibit tanaman B.humidicola, lahan pertanaman kelapa berumur 50 tahun, jarak tanam 9 × 9 m sesuai lahan yang

tersedia, luas lahan keseluruhan termasuk lahan cattle yard tempat diletakan timbangan ternak seluas 6 Ha, tetapi untuk penggembalaan seluas 5,76 Ha. Ternak

sapi sebanyak 36 ekor dengan berat badan awal 260-280 kg, yang deberikan suntikan subcutan dengan Ivomec (kontrol Endo dan Ecto parasit ternak sapi).

Alat yang digunakan adalah : traktor dan garuk, cangkul dan parang, timbangan ternak digital kapasitas 1000 kg, termometer suhu udara maksimum minimum Model Weatherguide TM System, Taylor Precision Products, Oak Brook, IL

60523.

Metode

Dalam percobaan ini perlakuan yang akan diuji adalah dua sistem penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP1) dan

penggembalaan rotasi pada tahap perkembangan tanaman rumput mencapai 3,5 daun dewasa yang dihitung berdasarkan akumulasi unit panas sebesar 456 DD

(SP2), dan stocking rate (SR) terdiri atas 0,77 UT/pedok (SR1), 1,54 UT /pedok (SR2), dan 2,31 UT/pedok (SR3). Percobaan ini menggunakan pola petak terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK).

Variabel yang diukur

Keragaan pastura yang diukur meliputi produksi biomassa (bobot kering), jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground dan aerial tiller) dengan mengikuti prosudur pengambilan sampel menurut petunjuk Busque dan Herero

(2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan percobaan ini untuk mempelajari bagaimana mekanisme

persistensi rumput B. humidicola setelah digembalai. Untuk itu beberapa variabel keragaan pastura telah diukur yang dapat menjadi indikator persistensi setelah

penggembalaan yaitu jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground tiller dan aerial tiller), bobot akar dan crown.

Tanaman Induk

Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata SP dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP2 SR3

(12,22 tanaman), lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan interaksi lainnya. Sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah diperoleh pada

interaksi SP2 SR1 sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih rendah dari interaksi lainnya.

Page 45: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 228

Tabel 1. Pengaruh interaksi perlakuan system penggembalaan dan stocking rate

terhadap keragaan pasture B.humidicola.

Interaksi Tanaman Induk

Parameter Aerial Tiller

Ground Tiller

Bobot Akar

Crown

SP1-SR1

SP1-SR2

SP1-SR3

SP2-SR1

SP2-SR2

SP2-SR3

6,22b

6,44b

9,22b

2,66c

7,00b

12,22a

13,22b 18,78b 26,55a 3,67c 14,00b 27,89a

16,55a 9,78b 7,33b

12,77a 4,55b 1,11c

4,35c

5,48b

6,06b

4,07c

5,80b

11,09a

5,11c

6,99b

9,78b

3,48c

9,01b

14,34a Ket : angka yang diikuti huruf tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata P<0,05

Anakan/Ground Tiller. Jumlah anakan (ground tiller) tertinggi pada interaksi SP2 SR3 (27, 89) dan SP1 SR3 (26, 55) dimana keduanya berbeda nyata

lebih tinggi dari interaksi lainya, tetapi keduanya tidak berbeda nyata. Sedangkan jumlah anakan yang paling rendah diperoleh pada interaksi SP2 SR1 (3,67) dan nyata lebih rendah dari interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan pada interaksi

perlakuan SP2 SR3 tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar biomassa hijauan terenggut oleh ternak, sehingga terjadi pengurangan phytomas berupa

mulsa dan material mati (Schuman et al., 1999). Kondisi ini memungkinkan penetrasi cahaya yang cukup dan meningkat kankecepatan pertukaran CO2melalui proses fotosintesis (Lecain et al., 2000; Bremer et al., 1998), dan

terjadi peningkatan suhu udara mikroklimat dekat permukaa ntanah yang merangsang pertumbuhan pucuk baru dari crown (McMaster et al., 2003).

Selanjutnya aktivitas fotosintesis meningkat pada bagian tanaman yang tidak terdefoliasi karena naiknya rasio akar tajuk yang bersinergi dengan naiknya intesitas penyinaran akibat lingkungan pastura semakin terbuka (Schnyder dan

de Visser, 1999; Thornton et al., 2000). Hasil penelitian Zhang et al. (2011) menunujukkan bahwa penggembalaan

berdampak positif terhadap perkecambahan, dimana pada pedok yang digembalai kumulatif perkecambahan meningkat 77% , sedangkan yang didefoliasi secara mekanik (mowing) peningkatan tersebut hanya 59%. Peningkatan jumlah

kecambah yang tumbuh tersebut berkorelasi positif dengan temperatur tanah lapisan atas (Wang et al., 2003). Pada pastura yang tidak digembalakan vegetasi rumput akan menutupi permukaan tanah sehingga membatasi masuknya cahaya

matahari yang akan menentukan tinggi rendahnya suhu tanah lapisan atas (Huang dan Gutterman, 2004; Romo, 2004).

Anakan/Aeriel tiller. Jumlah anakan (aerial tiller) tertinggi pada interaksi

SP1 SR1 (16,55) dan SP2 SR1 (12,77). Keduanya tidak berbeda nyata, tetapi nyata

dibandingkan dengan interaksi lainnya. Selanjutnya jumlah aerial tiller terendah dihasilkan oleh interaksi SP2 SR3 sebanyak 1,11 anakan. Hal ini disebabkan

sebagian besar pucuk tanaman terenggut oleh ternak sehingga kurang kemungkinan menghasilkan aerial tiller (Busque dan Herrero, 2001).

Bobot Akar dan Crown. Akar sebagai representasi sumber cadangan energy pada bagian tanaman di bawah tanah, dan dengan biomassa yang besar

Page 46: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 229

dapat memberikan kontribusi lebih banya unsur C dan N ke dalam tanah

(Mouselet al, 2003). Bobot akar seberat 11,09 g dan bobot crown sebanyak 14,34 g dihasilkan pada perlakuan SP2 SR3(Gambar), dan nyata lebih tinggi

dibandingkan dengan interaksi lainnya.

Pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar bila

frekuensi defoliasi meningkat (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot

akar dan crown yang kami peroleh pada penelitian ini merupakan respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya

restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003). Hal ini penting mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padangrumput. Gao et al. (2007) melaporkan bahwap enggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio

akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium 2,0 yaks/ha. Hasil bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP2SR3

sebanyak 11,09 g. Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa pada sistem penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan pada sistemp

enggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada system penggembalaan rotasi tanman diberi kesempatan untuk bertumbuh kembali optimal. Dalam

perkembangan tanaman, naiknya proporsi pucuk selalu diimbangi dengan perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh Gittins et al. (2010) yang menunjukkan bahwa defoliasi yang berat tidak

berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown, kecepatan rekrutmen akar dan tingkat hidup akar rumput Poa ligularis. Penulis

tersebut mengatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis rerumputan yang tergolong persisten sebagai padang penggembalaan. Kemungkinan lain dari hasil penelitian kami adalah bahwa rumput B.humidicola

semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horinsontal ke stolon.

Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman rumput tidak tergantung sepenuhnya cadangan energi yang berasal dari akar dan crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007).

KESIMPULAN

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

Semua keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem

penggembalaan rotasi (SP2) dan stocking rate tiga (SR3).

Page 47: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 230

DAFTAR PUSTAKA

Baruch, Z., O. Guenni. 2007. Irradiance and defoliation effects in three species of the forage grass Brachiaria. Tropical Grassland 41: 269-276

Busque.J., M. Herrero. 2001. Sward structure and patterns of defoliation of signal

gass (Brachiariadecumbens) pastures under different cattle gazing intensities. Tropical Gassland 35: 193-204.

Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006. Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176

Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006. Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca

under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176 Centro InternationaleAgicultureTropicale (CIAT). 2009. Exploiting biological

nitrification inhibition in agiculture. http://www.ciat.cgiar.org.

Dawson, L.A., S.J. Gayston., E. Paterson. 2000. Effects of gazing on the roots and rhizosphere of gasses. GasslandEcaophysisolgy and GazingEcoalogy. (Ed)

G. Lemaire et al. CAB International. Flemer, A.C., C.A. Busso., O.A. Fernandez., T. Montani. 2002. Root gowth,

appearance and disappearance in perennial gasses: Effects of the timming of

water stress with or without defoliation. Canadian Journal of Plant Science. 82: 539-547.

Gao, Y.H., P. Luo., N. Wu., W. Chen., G.X. Wang. 2007. Gazing intensity impacts on carbon sequestration in an Alpine Meadow on the Eastern Plateau. Research J. Agi and Biology Sci. 3 (6): 642-647.

Gittings,C., C.A. Busso., G, Becker., L. Ghermandi., G. Siffredi. 2010. Defoliation frequency affects morphophysiological traits in the

bunchgassPoaligularis. Int. J. Exptl Botany 79: 55-68. Gomez, A.A and A.A. Gomez. 1995. ProsedurStatistikuntukPenelitianPertanian.

(Edisi II). PenerbitUniversitas Indonesia.

Huang, Z., Y. Guttreman. 2004. Seedling desiccation tolerance of Leymusracemous(Poaceae) (wild rye) a perennial sand-dune grass

inhabiting the Junggar Basin of Xinjiang, China. Seed Sci. Res. 2(14): 233-241

Kuzyakov,Y.2002. Factor affecting rhizosphere priming effects.J.PlantNut.

SoilSci 165: 382-396 Lecain, D.R., Morgan, J.A., Schuman, J.D and H. Hart. 2000. Carbon exchange

rates gazed and ungazed pastures of Wyoming. J. Range Management. 53: 199-206.

Manske,L.L. 2001. Well-Timed gazing can stimulate gassgowth and tiller

development.North Dakota State University-NDSU Agiculture Communication. hhtp://www.ag.ndsu.nodak.edu

Mayne, C.S,.Wright, I.A and G.E.J. Fisher. 2000. Gassland management under gazing and animal respons. In: Gass Its Production and Utilization. Third Edition.Edited by Alan Hopkins. Institute of Gassland and Environment

Research, North Wyke, Okehampton, Devon, UK. Blackwell Science Ltd. McMaster, G.S., W.W.Wilhelm., D.B.Palic., J.R. Porter., P.D. Jamieson. 2003.

Page 48: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 231

Spring wheat leaf appearance and temperature: Extending the Paradigm?

Annals of Botany 91: 697-705. Mousel, E.M., W.H. Schacht., C.W. Zanner., L.E. Moser. 2005. Effects of

Summer gazing strategies on organic reserves and root characteristics of Big Bluestem. Crop Sci. 45: 2008-2014.

Newman,Y.C., Sollenberger.L.E., Kunkle.W.E and C.G. Chambliss. 2002.

Canopy height and nitrogen supplementation effects on performance of Heifersgazinglimpogass. Agon.J.94:1375-1380

Pereira, J.M., Tarre, R.M., Macedo, R and R.M. Boddey. 2009. Productivity of B.humidicola pastures in Atlantic forest region of Brazil as affected by stocking rate and the presence of a forage legume. Nutr. Cycl. Agoecosyst

83 : 179-196. Romo, J.T. 2001.Establishing winterfat in praire restorations in Saskatchewan.

Can. J. Plant Sci. 84: 173-179. Schnyder.H and R.de Visser. 1999. Fluxes of reserve-derived and currently

assimilated C and N in perennial Ryegrass recovering from defoliation.

Plant Physiol.199: 1423-1436. Sollenberger, L.E dan J.C. Burns. 2001.Canopy characteristics,

ingestivebehaviour and herbage intake in cultivated tropical grasslands. In: Proc. Int Cong., 19th. Sao Pedro, Brazil.

Thornton,B., Miilard,P., and U. Bausewein. 2000. Reserve formation and

recycling of carbon and nitrogen during regowth of defoliated plants. P. 85-99. In: G. Lamaire et al. (ed). Gassland ecophysiology and gazing

ecology. CAB Internatonal, New York. Wang, R.Z., Gao,Q and Q.S. Chen. 2003. Effects of climate change on biomass

and biomass and biomass allocation in Leymuschinensis (Poaceae) along

the Notrh-East China Transect (NECT). J. Arid.Environ. 54: 653-665. Zhang R.,D.Huang., K. Wang., Y.T. Zhang., C.W. Wang. 2011. Effect of mowing

and grazing on ramet emergence of Leymus racemosus inthe inner Mongolia Steppe during the spring regreening period. African J. Biotech. 10(12): 2216-2222.

Page 49: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 232

PERILAKU MAKAN RUMINANSIA SEBAGAI BIOINDIKATOR

FENOLOGI DAN DINAMIKA PADANG PENGGEMBALAAN

Suhubdy Yasin

Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan Padang Penggembalaan Kawasan Tropis,

Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram-NTB

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Grazingland or Rangeland is an “eating table” of ruminants and/or other

herbivores for supporting their life. The adequacy and uptake of essential nutrients such as dry matter, protein and energy are very much determined by quality and phenology of pasture vegetation. The phenology of grass influences directly to

ingestive behaviour of the herbivores. During grazing time, ruminant animals/herbivores tend to select the pastures that are easy to be prehended for

fulfilling their dry matter requirement. Therefore, monitoring and recording the diurnal ingestive or grazing behaviour of ruminant animals or other herbivores would be as useful bioindicator for understanding the change of growth and

availability of grass on pasture and/or rangeland. This behavioral aspect of ruminants is also useful clue and effective information to be considered for

managing the grassland developments. This paper reviews and discusses the ingestive behaviour of ruminants as one of bioindicators determining the phenology of grass and dynamics of grasslands or rangelands.

Keywords: bioindicator, grasslands, ingestive behaviour, plants phenology, pastures, rangelands, ruminants

ABSTRAK

Padang rumput (penggembalaan) merupakan “meja makan” bagi ternak ruminansia dan/atau herbivora lainnya untuk menopang hidupnya. Ketercukupan kebutuhan dan asupan zat gizi utama seperti bahan kering, protein dan energi

sangat ditentukan oleh mutu dan fenologi tumbuhan pakan tersebut. Fenologi tumbuhan pakan secara langsung mempengaruhi cara dan pola konsumsi

(ingestive behaviour) dari ternak herbivora. Pada saat merumput, ruminansia memiliki kecenderungan memilih dan menyenggut hijauan pakan yang gampang disenggut untuk memenuhi kebutuhan bahan kering pakannya. Oleh sebab itu,

memonitor dan merekam karakteristik aktivitas merumput (grazing) dan pola makan harian ruminansia dan/atau herbivora lainnya menjadi salah satu petunjuk

biologis (bioindikator) yang mungkin sangat berguna untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi terhadap padang penggembalaan dan aspek ini pula pada gilirannya menjadi salah satu faktor manajemen strategis pengelolaan padang

penggembalaan. Makalah ini mereview dan mendiskusikan tentang perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia sebagai salah satu bioindikator

fenologi dan dinamika padang penggembalaan alam dan/atau pastura. Kata kunci: bioindikator, fenologi tumbuhan, padang penggembalaan, padang

rumput, perilaku makan, ruminansia

Page 50: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 233

PENDAHULUAN

Secara alamiah, ternak ruminansia atau herbivora lainnya mengandalkan

hijauan pakan dan/atau padang penggembalaan sebagai sumber zat gizi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ternak ini memenuhi kebutuhan bahan kering, protein, dan energi dengan cara merumput secara bebas di atas padang

penggembalaan. Pemeliharaan ruminansia berbasis padang pengembalaan sangat intensif dilakukan di negara-negara yang sistem peternakannya sudah maju,

seperti misalnya di Australia, Amerika, dan New Zealand. Sedangkan di Indonesia, pemanfaatan padang rumput secara maksimal untuk produksi ternak ruminansia masih relatif terbatas, kecuali di beberapa wilayah seperti Nusa

Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Selatan (Sulsel).

Secara tradisional (sistem pemeliharaan ternak berbasis cut-and-cary), sumber hijauan pakan untuk ternak ruminansia cenderung diperoleh dari lahan-lahan marginal seperti pinggir jalan raya, tepi sungai, areal persawahan, dan tanah

lapang yang berdekatan dengan tempat pemeliharaannya. Peternak mengarit hijauan pakan dan diberikan secara langsung kepada ternaknya di kandang dan

pada kondisi seperti ini ternak piaraannya tak ada kesempatan untuk menyeleksi atau memilih bahan pakan yang akan dikonsumsinya. Hal ini dimungkinkan karena ternak tersebut tidak ada kebebasan untuk memilih atau karena

keterbatasan jumlah dan/atau tempat pemeliharaannya. Sedangkan pada padang penggembalaan, ternak herbivora mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk

memilih hijauan pakan seluas-luasnya karena disamping ragam dan jenisnya yang banyak juga tempatnya yang luas. Pada kondisi seperti ini, jumlah dan jenisnya pakan yang disenggut (dikonsumsi) sangat dipengaruhi oleh karaketristik

morfologi (fisik), bologi, kimia, dan fenologi (fase pertumbuhan - vegetatif dan generatif) tumbuhan pakan yang tersedia di atas padang penggembalaan.

Ruminansia atau herbivora mempunyai kecenderungan memilih dan menyenggut hijauan (rerumputan, semak, dan/atau belukar) yang mudah disenggut untuk memenuhi kebutuhan bahan keringnya (Forbes, 1995; Gregorini, dkk., 2008;

Prache, dkk., 1998; Yasin, 2012). Pola makan ruminansia dan/atau herbivore non-ruminansia pada padang

penggembalaan dipengaruhi disamping oleh karakteristiknya, juga oleh fenologi dan karakteristik tumbuhan pakan itu sendiri. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi pada tumbuhan pakan baik karena faktor iklim maupun intervensi manusia

akan tercermin secara cepat pada pola merumput ternak herbivora. Di Indonesia, interaksi antara tumbuhan pakan dengan herbivora pada

padang penggembalaan masih relatif belum banyak diperhatikan atau diungkapkan baik secara praktis maupun ilmiah (Yasin, 2012 dan 2013). Makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendiskusikan pola makan ruminansia

(ingestive behaviour) sebagai salah satu bioindikator fenologi dan dinamika padang penggembalaan. Dan selanjutnya, informasi ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengelola dan mengembangkan padang penggembalaan sebagai basis pengembangan dan peningkatan produksi ternak ruminansia.

Page 51: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 234

NOLOGI DAN KARAKTERISTIK NUTRISI TUMBUHAN PAKAN

Fenologi tumbuhan didefinisikan sebagai siklus perubahan biologi

tumbuhan yang erat kaitannya dengan faktor iklim (MacAdam, 2009 dan Gibson, 2009). Pada saat musim penghujan, rerumputan yang potensial sebagai hijauan pakan tumbuh dengan baik dan produksi biomassanya relatif berlimpah. Akan

tetapi pada musim kemarau, produktivitasnya relatif sedikit. Artinya, faktor pembatasnya adalah ketersediaan air bukan hujan. Jika air dapat disediakan secara

memadai sepanjang tahun maka produksi dan ketersediaan hijuan pakan tak akan menjadi kendala.

Fenologi tumbuhan pakan sangat mempengaruhi nilai gizi dan tabiat

makan dan/atau ruminasia (Flores, dkk., 1993; Minson, 1990; Prache, 1997; Prache, dkk., 1998;). Pada fase vegetatif kandungan protein kasar cenderung

tinggi dan kadar seratnya relatif rendah. Demikian sebaliknya, kadar serat cenderung semakin meningkat pada saat mencapai fase generatif (Brazle., dkk., 2000). Tingginya kadar serat berkaitan erat dengan tingkat lignifikasinya. Hijauan

pakan biasanya disukai oleh ternak jika diberikan biomassa pada saat fase vegetatif dan kurang diminati jika diberikan pada saat sudah menua. Pada kondisi

padang penggembalan, hijauan pakan yang sudah menua akan menyulitkan ternak mengkonsumsinya hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam hal menyenggut dan mengunyahnya (Yasin, 2012). Di samping itu, nilai nutrisinya

(daya cerna) pun cenderung menurun (Tabel 1, Minson, 1990).

Tabel 1. Daya cerna (in vitro) lima species rumput tropis (Minson, 1990).

Daya cerna bahan kering

Tumbuhan Pakan Monthly regrowths

Mature regrowths

Rata-rata

Setaria sphacelata var. splendida 0,65 0,58 0,62

Digitaria decumbens 0,63 0,57 0,60 Chloris gayana 0,61 0,54 0,58 Panicum maximum 0,61 0,52 0,57

Pennisetum clandestinum 0,60 0,52 0,56 Rata-rata 0,62 0,55 0,59

Page 52: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 235

Gambar 1. Hasil pantauan perubahan biomassa (□) dan standing CP (■) dan

kandungan CP (○) dari tiga tingkat penggembalaan (a) NG: non-

grazed grassland, (b)LG: lightly grazed grassland, (c)MG: intermediately grazed grassland, dan (d)HG: heavily grazed grassland) pada stepa Xilingol, Mongolia (Kawamura dan Akiyama,

2010).

Perubahan kualitas hijauan pakan dapat dimonitor secara langsung dan tidak langsung. Cara jitu dan sahih untuk menilai qualitas hijauan pakan adalah dengan menyajikannya kepada ternak. Respons ternak ruminansia terhadap

hijauan yang dikonsumsinya dapat dimonitor dari pertambahan bobot badan dan produksi air susunya. Namun, melakukan percobaan pemberian pakan biasanya

relatif membutuhkan waktu, biaya, dan fasilitas yang mahal (NRC, 1962; „t Mannetje and Jones, 2000). Pada kondisi padang penggembalaan, kualitas dan kuantitas hijauan pakan sesungguhnya dapat diamati setiap saat dengan

memperhatikan tabiat atau pola makan ternak herbivore (Forbes, 1995). Gambar 1 mengilustrasikan perubahan kandungan nutrient (CP) dan biomassa hijauan pada

padang penggembalaan di Xilingol stepa di Mongolia (Kawamura dan Akiyama, 2010). Dari ilustrasi (Tabel 1 dan Gambar 1) menunjukkan bahwa fenologi nampak mempengaruhi kandungan protein, jumlah biomassa hijauan, dan daya

cerna tumbuhan pakan.

FENOLOGI, PERILAKU MAKAN RUMINANSIA, DAN DINAMIKA

PADANG PENGGEMBALAAN

Berbagai ahli nutrisi ternak ruminansia telah melaporkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara fenologi tumbuhan pakan, pola makan, dan dinamika padang penggembalaan (Bailey, dkk., 1996; Baumont, dkk., 2000;

Boland dan Scaglia, 2011). Selanjutnya Baumont dkk., (2000) menyimpulkan bahwa pada pastura, konsumsi, komposisi pakan, dan dampak merumput terhadap

Page 53: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 236

berkembangan vegetasi merupakan interaksi yang kompleks antara ternak dan

vegetasi. Dinamika padang penggembalaan sesungguhnya sangat komplek melibatkan komponen utama yaitu peternak, ternak, dan vegetasi. Ternak dan

tumbuhan pakan sangat rentan perubahan akibat perubahan pengaruh iklim. Oleh sebab itu, untuk kontinyuitas hubungan ini, peternak harus mampu mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi terutama dalam beradapatsi pada kondisi lokal-

setempat. Kepekaan peternak untuk memantau dan merekam setiap perubahan yang terjadi akan mendapatkan informasi yang akurat dalam mengelola padang

rumput alami maupun pastura. Ternak herbivora mengekploitasi vegetasi padang penggembalaan untuk

memenuhi kebutuhan bahan kering dan zat makanan esensial lainnya. Konsumsi

pakan merupakan penentu utama keberlangsungan hidup dan berproduksi. Pada kondisi padang penggembalaan yang kompleks, fenologi tanaman pakan secara

langsung mempengaruhi pola makan. Sebagai contoh, jika hijauan pakan yang tersedia relatif sedikit dan tinggi tanaman relatif rendah untuk disenggut secara maksimal, maka herbivora akan memperpanjang waktu merumput agar

mendapatkan total jumlah senggutan yang diharapkan (Baumont, dkk, 2000; Brazle, dkk., 2000; Kirch, dkk, 2007; Gregorini, dkk, 2006; 2008; 2009; Boland

dan Scaglia, 2011; Yasin, 2012). Jika hijauan yang tersedia sangat padat dan komposisi botaninya relatif seragam maka herbivora akan mempersingkat waktu merumput akan tetapi memperpanjang waktu ruminasi (Bailey, dkk., 1996;

Gregorini, dkk., 2008; Yasin, 2012). Ingestive behaviour dari ternak ruminansia ditentukan oleh karakeristik

vegetasi, kondisi fisiologi, dan aktivitas rongga mulut (buccal cavity) (Coleman, dkk., 1989; Yasin, 2012). Komponen pola makan dapat dijadikan parameter untuk menentukan konsumsi pakan harian dan secara keseluruhan hubungan

anatar komponen ingestive behaviour seperti diilustrasikan pada Gambar 2 (Gordon dan Lascano, 1993).

Gambar 2. Skema hubungan ingestive behaviour dengan konsumsi pakan harian

ruminansia (Gordon dan Lascano, 1993).

Page 54: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 237

Dalam waktu yang relatif lama (pada padang penggembalaan), konsumsi

harian dapat diestimasikan sebagai hasil kali antara massa senggutan (bite weight), laju senggutan (bite rate), dan wakru merumput (grazing time).

Sedangkan pada tingkatan individual rumpun (patch) dan dalam waktu yang relatif singkat/terbatas maka konsumsi pakan ditentukan oleh bite weight dan bite rate. Jadi pada kondisi padang penggembalaan, pola makan menjadi sangat

komplek akibat interaksi antara fenologi tumbuhan pakan, jenis ternak, fase fisiologi, serta faktor biotik dan abiotik lainnya (Coleman, dkk., 1989).

Pola makan ruminansia dan/atau herbivora lainnya sangat bervariasi mulai dari tingkatan individu tumbuhan pakan hingga pada skala lanskap (Coleman, dkk., 1989). Minson (1990) mengutip hasil penelitian Kibon dan Holmes (1987)

mengilustrasikan bahwa tinggi tanaman rumput berpengaruh terhadap pola makan, konsumsi, dan produktivitas sapi laktasi (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh tinggi tumbuhan pakan terhadap pola makan, konsumsi, dan

produksi ternak sapi laktasi (Minson, 1990).

Komponen Tinggi hijauan pakan (cm)*

4,8 6,4

Produksi hijauan (kg OM/ha) 1810 2734 Kepadatan anakan (1000/m2) 17 16 Proporsi dedaunan 0,51 0,55

Kebutuhan hijuan (kg OM/sapi/hari) 17 21 Daya cerna hijauan yang disenggut (OM) 0,76 0,77

Waktu merumput (menit/hari) 575 565 Total senggutan (000/hari) 44,7 43,3 Ukuran senggutan (mg OM/senggutan) 282 345

Konsumsi hijauan (kg OM/sapi/hari) 12,7 15,1 Produksi susu (kg FCM/hari) 26,3 28,1

Perubahan bobot badan (kg/hari) -067 +0,15 Keterangan: * diukur dengan menggunakan plate meter dengan tekanan sebesar 4,8kg/m

2; OM:

organic matter; FCM: fat corrected milk.

Dari informasi pada Tabel 2 terindikasi bahwa fenologi tumbuhan pakan (misalnya tinggi tumbuhan pakan) dapat mempengaruhi pola makan dan produksi ternak ruminansia. Semakin tinggi rumput akan mempermudah ternak ruminansia

mengkonsumsinya dan pada gilirannya total konsumsi akan cepat terpenuhi. Seperti diketahui bahwa ternak ruminansia besar (kerbau dan sapi) menggunakan

lidah dan bibir untuk ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) dan kuda sebagai eating apparatus-nya, maka ternak ruminansia besar mempunyai tinggi minimum rerumputan agar dapat disenggutnya dengan optimal. Allden dan

Whittaker (1970) melaporkan bahwa ternak domba akan semakin meningkatkan jumlah senggutan per menit (biting rate) jika tinggi anakan rerumputan berkurang

dari 35 cm ke 5 cm dan semakin lebih ditingkatkan jumlah senggutannya jika tingginya semakin lebih rendah dari 5 cm. Untaian diskusi singkat dalam makalah ini menyajikan cukup informasi untuk menjelaskan bahwa tingkah laku makan

(ingestive behaviour) herbivora erat hubungannya dengan fenologi tumbuhan pakan dan dinamika padang rumput.

Page 55: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 238

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia dan/atau herbivora non-ruminansia merupakan salah satu bioindikator yang praktis, sakil dan mangkus untuk mengetahui perubahan fenologi, karakteristik tumbuhan

pakan, dan dinamika padang penggembalaan.

Saran

Bioindikator ini dapat juga dijadikan petunjuk agronomis dalam memaksimalkan komposisi botani padang penggembalaan, dan pada gilirannya

dapat pula dijadikan acuan ilmiah yang jitu untuk mengetahui perubahan kapasitas produksi, nilai gizi, dan strategi untuk mengembangkan ternak ruminansia

berbasis padang penggembalaan.

DAFTAR PUSTAKA

Allden, WG. Dan Whittaker, IA.McD. 1970. The determinants of herbage intake

by grazing sheep: The interrelationship of factors influencing herbage intake and availability. Aust. J. Agric. Res., 21:755-766.

Bailey, DW., Gross, JE., Laca, EA., Rittenhouse, R., Coughenour, MB., Swift,

DM. dan Sims, PL. 1996. Invited Synthesis Paper: Mechanism that results in large herbivores grazing distribution patterns. J. Range Manage. 49:386-

400. Boland, HT. dan Scaglia, G. 2011. Case Study: Giving beef calves a choice of

pasture type influences behaviour and performance. The Professional

Animal Scientist, 27:160-166. Boumant, R., Ptache, S., Meuret, M. dan Morand-Fehn, P. 2000. How forage

characteristic influence behaviour and intake in small ruminants: a review. Ivestock Production Science, 64:15-28.

Brazle, FK., Kilgore, GL., dan Fausett, MR. 2000. Effect of season on grazing

native-grass pastures. The Professional Animal Scientist, 16:30-32. Coleman, SW., Forbes, TDA. Dan Stuth, JW. 1989. Measurements of the plant-

animal interface in grazing research. Dalam: Grazing Research: Design, Methodology, and Analysis. CSSA Special Publication No. 16.

Flores, ER., Laca, EA., Griggs, TC. Dan Demment, MW. 1993. Sward height and

vertical morphologyal differentiation determine cattle bite dimensions. Agron. J., 85:527-532.

Forbes, JM. 1995. Voluntary food Intake and Diet Selection in Farm Animals. CAB International, UK.

Gordon, IG. Dan Lascano, C. 1993. Foraging strategies of ruminant livestock on

intensively manged grasslands: potential and constrains. Proceedings of the XVII International Grassland Congress New Zealand, p.681-690.

Gibson, DJ. 2009. Grasses and Grassland Ecology. Oxford University Press, UK. Gregorini, P., Gunter, SA. dan Beck, PA. 2008. Matching plant and animal

processes to alter nutrient supply in strip-grazed cattle: timing of herbage

and fasting allocation. J. Anim. Sci., 86:1006-1020. Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Calwell, J., Bowman, MT., dan Coblentz,

Page 56: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 239

WK. 2009. Short-term foraging dynamics of cattle grazing swards with

different canopy structures. J.Anim. Sci. 87:3817-3824. Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Soder, KJ. dan Tamminga, S. 2008.

Review: The interaction of diurnal grazing pattern, ruminal metabolism, nutrient supply, and management in cattle. The Professional Animal Scientist, 24:308-318.

Gregorini, P., Tamminga, S. dan Gunter, SA. 2006. Review: Behaviour and daily grazing patters of cattle. The Professional Animal Scientist, 16:30-32.

Hodgson, J. 1982. Influence of sward characteristics on diet selection and herbage intake by grazing animal. Dalam: J.B. hacker (Ed): Nutritional Limit to Animal Production from Pastures. Commonwealth Agricultural Bureaux,

UK. Kawamura, K. dan Akiyama, T. 2010. Simultaneous monitoring of livestock

distribution and desertification. Global Environment Research, 14:29-36. Kirch, BH., Moser, LE., Waller, SS., Klopfenstein, TJ., Aiken, GE. dan

Strickland, JR. 2007. Selection and dietary quality of beef cattle grazing

smooth Bromegrass, Switchgrass, and Big Bluestem. The Professional Animal Scientist, 23:672-680.

MacAdam, JW. 2009. Structure and Function of Plants. Wiley Blackwell, USA. Minson, DJ. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press, Inc. San

Diego, USA.

National Research Council (NRC), 1962. Range Research. National Academy of Science-National Research Council, Washington DC, USA.

Prache, S. 1997. Intake rate, intake per bite and time per bite of lactating ewes on vegetative and reproductive swards. Appl. Anim. Behav., 52:53-64.

Prache, S., Gordon, IJ. Dan Rook, AJ. 1998. Foraging behaviour and diet

selection in domestic herbivores. Ann. Zootech., 47:335-345. Prache, S., Roguet, C., dan Petit, M. 1998. How degree of selectivity modifies

foraging behaviour of dry ewes on reproductive compared to vegetative swards structure. Appl. Anim. Behav., 57:91-108.

„t Mannetje, L. dan Jones, RM. 2000. Filed and Laboratory Methods for

Grassland and Animal Production Research. CABI Publishing, Wallingford, UK.

Yasin, S. 2012. Ingestive behaviour in ruminants: a methodological approach and implication to feeding management strategies. LAP Lambert Academic Publishing, Germany.

Yasin, S. 2013. Produksi Ternak Ruminansia (Kerbau dan Sapi). Pustaka Reka Cipta, Bandung.

Page 57: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 240

POTENSI HIJAUAN DI PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI

KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

Taufan P. Daru, Arliana Yulianti, dan Eko Widodo

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman

Alamat: Kampus Gunung Kelua, Jl. Pasir Balengkong Samarinda

Telp./HP: 0541-250394 / 08158100662

Email: [email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to provide an overview of the potential forage crop in oil palm plantations in terms of botanical composition, production, and

chemical composition to estimate the carrying capacity of oil palm plantations at the age of 3 years and 6 years for beef cattle. Data collection was conducted in Samboja district, Kutai regency, East Kalimantan province, from January to

March 2013. Plant samples were taken under oil palm plantations age 3 years and 6 years. Each age of plantation were taken 5 hectares, and every hectare were

picked 10 points by using the quadrant size of 1 m × 1 m at random. The result showed that plants growing on palm oil plantations 3 years dominated by

Paspalum conjugatum (45.54%), followed by Mikania micrantha (9.93%), and Ottochloa nodosa (7.89%). While the age of 6 years dominated by Ottochloa

nodosa (33.89%), Melastoma malabatrichum (28.23%), and Paspalum urvillei (8.37%). Dry weight production of plantation age 3 years was 3,205.1 kg per ha decreased to 1,165.4 kg per ha in plantation age 6 years. Chemical composition,

especially CP increased from 8.25% at the age 3 years to 10.5% at the age 6 years, while CF decreased from 23.20% at the age 3 years to 22.43% at the age 6 years.

Carrying capacity of oil palm plantations age 3 years was 1.44 AU ha-1 yr-1 and age 6 years was 0.71 AU ha-1 yr-1. Naturally, oil palm plantation in Kutai regency, East Kalimantan has good potential as a source of beef cattle forage.

Key words: Oil palm, botanical composition, forage production, chemical composition, carrying capacity

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai potensi hijauan antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari komposisi

botani, produksinya dan kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan kapasitas tampung dari kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun untuk sapi potong. Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten

Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2013. Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa

sawit yang telah berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di ambil seluas 5 hektar, dan setiap hektar di ambil sebanyak 10 titik dengan menggunakan kuadran ukuran 1 m × 1 m secara acak. Hasil pengamatan

menunjukan bahwa tanaman yang tumbuh pada perkebunan kelapa sawit umur 3

tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan Ottochloa nodosa (7,89%). Sedangkan pada perkubunan

Page 58: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 241

umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), Melastoma

malabatrichum (28,23%), dan Paspalum urvillei (8,37%). Produksi berat kering tanaman pada perkebunan umur 3 tahun adalah 3.205,1 kg per ha menurun

menjadi 1.165,4 kg per ha pada perkebunan umur 6 tahun. Kandungan zat-zat makanannya, terutama PK meningkat dari 8,25% pada umur tanaman 3 tahun menjadi 10,5% pada umur 6 tahun, sedangkan SK menurun dari 23,20% pada

umur 3 tahun menjadi 22,43% pada umur 6 tahun. Kapasitas tampung perkebunan kelapa sawit umur 3 tahun adalah 1,44 ST ha-1 th-1 dan umur 6 tahun adalah 0,71

ST ha-1 th-1. Secara alami, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur memiliki potensi yang baik sebagai sumber hijauan pakan sapi potong.

Kata kunci: Kelapa sawit, komposisi botanis, produksi hijauan, zat-zat makanan, kapasitas tampung

PENDAHULUAN

Populasi sapi potong di Provinsi Kalimantan Timur dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 tercatat 81.746 ekor (Dinas

Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2012) dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 104.017 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2013). Di Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri peningkatannya cukup besar dari 12.470

ekor pada tahun 2007 menjadi 21.900 ekor pada tahun 2011 (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Meningkatnya populasi ini memberikan

konsekuensi terhadap penyediaan lahan bagi sapi potong. Lahan tersebut tidak hanya berperan sebagai sumber hijauan pakan, namun juga sebagai ruang jelajah. Hingga saat ini, di Provinsi Kalimantan Timur belum ada alokasi lahan yang

diperuntukan khusus sebagai kawasan peternakan, sehingga integrasi dengan berbagai subsektor pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman pangan, dan

hortikultura, serta kehutanan, maupun pertambangan merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan pakannya.

Pada tahun 2011, luas areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan

Timur sudah mencapai 827.347 ha dari 339.292,50 ha pada tahun 2007 (Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Seiring dengan meningkatnya

areal perkebunan kelapa sawit, maka potensi untuk mengembangkan ternak sapi potong secara terintegrasi di kawasan ini cukup besar. Menurut Direktorat Pakan Ternak (2011) Konsep integrasi ternak dalam usahatani tanaman baik itu tanaman

perkebunan, pangan, atau hortikultura adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktifitas dan produktifitas tanaman. Dengan

adanya ternak ini dapat meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus produksi ternaknya. Dengan demikian, dalam sistem integrasi ternak dan tanaman akan terjadi suatu hubungan yang saling menguntungkan (mutualism sinergicity).

Keberadaan ternak di perkebunan kelapa sawit memberikan beberapa keuntungan, diantaranya adalah mengurangi biaya untuk mengendalikan gulma

dan menyumbangkan kotoran ternak sebagai sumber hara bagi tanaman. Chung (1994) menyatakan bahwa kerbau yang dipelihara di kebun kelapa sawit dapat mengurangi biaya pengendalian gulma, selain itu juga akan diperoleh keuntungan

berupa daging dan ternak sebagai nilai tambah dalam proses produksi hilir. Diketahui, penggunaan herbisida sebagai pengendalian gulma dilakukan pada

Page 59: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 242

kisaran 13-18 kali pada saat tanaman muda.

Di Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya di Kecamatan Samboja, saat ini telah berkembang sistem pemeliharaan ternak sapi bali di bawah areal

perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan hijauan antar tanaman. Sistem integrasi sapi-sawit dengan memanfaatkan hijauan tersebut cukup prospektif untuk meningkatkan produksi ternak dan tanaman kelapa sawit yang baik. Tujuan

penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai potensi hijauan antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari produksinya dan

kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan kapasitas tampung dari kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun di perkebunan rakyat, Kabupaten Kutai Kartanegara.

MATERI DAN METODE

Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai

Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai dengan

bulan Maret 2013. Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa sawit yang telah

berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di ambil seluas 5 hektar, dan setiap hektar di cuplik sebanyak 5 cuplikan dengan menggunakan kuadran ukuran 1 m × 1 m secara acak.

Untuk memperkirakan produksi hijauan per hektar digunakan rumus sebagai

berikut: P = C x 10.000 – (LP × JS), dimana P adalah produksi hijauan per hektar (kg), C adalah rata-rata berat hijauan per m2, LP adalah luas piringan pada pohon

kelapa sawit, dan JS adalah jumlah tanaman kelapa sawit dalam 1 hektar. Jumlah tanaman kelapa sawit rakyat yang ditanama di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai kartanegara rata-rata 136 pohon per hektar. Jari-jari piringan pada pohon

kelapa sawit umur 3 tahun adalah 2 m dan pada umur 6 tahun adalah 3 m. Dengan demikian luas piringan pohon kelapa sawit umur 3 tahun adalah 12,56 m2 per

pohon, dan umur 6 tahun adalah 28,26 m2 per pohon. Produksi hijauan antar tanaman yang dimaksud adalah produksi berat kering, yaitu hijauan segar yang telah di lakukan pengeringan dengan oven pada suhu 65oC selama 48 Jam atau

beratnya stabil. Komposisi botanis tanaman dihitung berdasarkan perbandingan berat kering

antara suatu spesies tanaman terhadap total berat kering seluruh tanaman dalam setiap cuplikan, kemudian dibandingkan terhadap seluruh cuplikan. Pengambilan sampel ini dilakukan sebelum dilakukan perhitungan produksi berat kering.

Komposisi kimia zat-zat makanan, dianalisis secara proksimat untuk memperoleh kandungan protein kasar, serat kasar, lemak kasar, dan abu. Analisis

proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman.

Untuk memperoleh perkiraan kapasitas tampung kebun kelapa sawit bagi

sapi potong, digunakan persamaan Voisin (Reksohadiprodjo, 1994). Persamaan tersebut, yaitu (Y – 1) s = r, dimana Y adalah jumlah luas lahan yang diperlukan

oleh seekor sapi, s adalah periode merumput pada setiap luas lahan, dan r adalah periode istirahat agar tanaman melakukan pertumbuhan kembali. Dalam penelitian ini s adalah 30 hari dalam satu bulan dan r adalah 60 hari. Sedangkan PUF

(proper use factor) yang diperhitungkan adalah 40%, dengan asumsi bahwa

Page 60: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 243

penggembalaan yang dilakukan adalah sedang. Setiap satu satuan ternak (ST)

dihitung setara dengan sapi jantan seberat 400 kg. Konsumsi hijauan segar diasumsikan 10% dari setiap satuan ternak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi botanis

Komposisi botanis adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap seluruh

tanaman yang tumbuh bersamanya. Hijauan yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit rakyat, Kecamatan Samboja merupakan hijauan alam, sehinga perubahan komposisi botanis hijauan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti

kesuburan tanah, ketersediaan air, dan naungan dari tajuk sawit (cahaya). Hasil penelitian ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa jenis tanaman yang tumbuh di bawah

kelapa sawit dengan umur yang berbeda proporsinya juga berbeda. Pada kebun kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), yang diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan

Ottochloa nodosa (7,89%), sedangkan di kebun kelapa sawit umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), yang diikuti oleh Melastoma

malabatrichum (28,23%) dan Paspalum urvillei (8,37%). Tabel 1. Komposisi botanis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit

umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara

No. Jenis tanaman

Komposisi botanis (%) pada

kelapa sawit umur

3 tahun 6 tahun

1 Ageratum conyzoides 0 1,06

2 Asystasia intrusa 5,49 1,17

3 Borreria latifolia 6,73 5,47

4 Chromolaena odorata 1.96 0

5 Clidemia hirata 0 1,14

6 Cyperus brevifolius 0 0,48

7 Cyperus rotundus 0 1,15

8 Imperata cylindrica 2,05 0

9 Leptochloa chinensis 0,57 7,95

10 Melastoma malabatrichum 3,89 28,23

11 Mikania micrantha 9,93 3,9

12 Nephrolepsis bisserata 1,45 0

13 Ottochloa nodosa 7,89 33,89

14 Panicum sarmentosum 5,73 0

15 Paspalum conjugatum 45,54 1,49

16 Paspalum urvillei 3,07 8,37

17 Solanum violaceum 5,7 5,4

Berdasarkan hal tersebut nampak bahwa O. nodosa memiliki proporsi yang

semakin tinggi dengan meningkatnya umur pohon kelapa sawit. Hal ini

Page 61: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 244

menunjukkan bahwa O. nodosa lebih tahan terhadap naungan dibandingkan P.

conjugatum, dimana proporsinya menjadi sangat kecil, dari 45,54% (3 tahun) menjadi 1,49% (6 tahun). Menurut Crowder & Chheda (1982) O. nodosa

merupakan rumput alam yang disukai oleh ternak dan sangat tahan terhadap naungan, sehingga memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan di bawah naungan. Suboh (1997) menjelaskan bahwa jenis tanaman yang biasa tumbuh di

bawah pohon kelapa sawit umumnya didominasi oleh O. nodosa, Axonopus compressus, Mikania scandens, dan A. intrusa. Jenis-jenis tanaman ini biasanya

tumbuh baik pada intensitas penyinaran sebesar 40-60%. Sapi pada umumnya merenggut tanaman ini, bahkan beberapa diantaranya memiliki kandungan zat makanan yang kualitasnya bersaing dengan tanaman pakan budidaya.

Produksi hijauan antar tanaman

Hasil pengukuran produksi hijauan segar per m2 untuk vegetasi yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun adalah 386,54 g m-2 dan pada umur 6 tahun adalah 189,29 g m-2. Setelah dilakukan konversi ke dalam 1

hektar yang selanjutnya dikurangi dengan luas piringan dalam 1 hektar untuk masing-masing umur tanaman, maka rata-rata produksi hijauan antar tanaman di

bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi hijauan antar tanaman di bawah pohon kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai

Kartanegara

Umur tanaman kelapa sawit Produksi hijauan

Berat segar (kg ha-1) Berat kering (kg ha-1)

3 tahun 13.168 3.205,1 6 tahun 6.380 1.165,4

Berdasarkan hasil pengukuran tersebut nampak bahwa dengan semakin meningkatnya umur tanaman kelapa sawit produksi hijauan yang tumbuh di bawahnya juga menurun. Semakin tingginya umur tanaman kelapa sawit penetrasi

cahaya yang menerobos daun kelapa sawit semakin rendah sehinnga berpengaruh terhadap produksi bahan kering tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa

sawit (Wong & Chin, 1998). Menurut Chin (1998) produksi bahan kering hijauan pakan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit muda dapat mencapai 1.600 sampai 2.600 kg per hektar dan menurun hingga mencapai 600 kg per hektar

dengan semakin dewasanya umur tanaman kelapa sawit. Dalam kasus lainnya, produksi bahan kering hijauan di bawah tanaman kelapa sawit umur 3-4 tahun

bisa lebih tinggi lagi dan dapat mencapai 13.280 kg per hektar per tahun (Abdullah, 2006). Produksi hijauan antar tanaman kelapa sawit memiliki variasi yang cukup tinggi berdasarkan derajat naungannya. Derajat naungan sangat

tergantung pada umur tanaman, tinggi tanaman, jarak tanam, kesuburan tanah, dan karakteristik kanopi. Biasanya, jumlah cahaya semakin menurun dengan

bertumbuhnya tanaman muda. Pada kasus tanaman karet dan kelapa sawit umur 6-7 tahun cahaya yang menerobos kanopi pada siang hari dengan penyinaran penuh hanya 10% dan penetrasi cahaya tersebut tidak berubah hingga tanaman

berumur 15-20 tahun (Chen, 1990). Pada transmisi yang rendah akan

Page 62: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 245

memberikan pengaruh terhadap mikroklimat yang ada di bawah kanopi, yang

kemudian menyebabkan suhu tanah menjadi lebih rendah. Kondisi yang demikian berpeluang menghambat pertumbuhan dan akumulasi bahan kering pada tanaman

yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit (Abdullah, 2011). Produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit

dapat diperbaiki melalui penanaman tanaman pakan unggul yang tahan terhadap

naungan. Hasil penelitian Hanafi (2007) mengemukakan terdapat beberapa tanaman pakan unggul yang tahan terhadap naungan, diantaranya adalah Digitaria

milanjiana, Stylosanthes guianensis, Paspalum notatum, dan Calopogonium caeruleum.

Komposisi Kimia Zat-zat Makanan

Komposisi kimia zat-zat makanan yang terkandung dalam hijauan yang

tumbuh di bawah pohon kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia zat-zat makanan hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun

Zat-zat makanan Umur Tanaman Kelapa Sawit

3 tahun 6 tahun

Protein kasar (%) 8,25 10,5

Serat kasar (%) 23,2 22,43

Lemak kasar (%) 4,2 2,4

Abu (%) 2,48 3,98

BETN (%) 61,87 60,69

Berdasarkan Tabel 3 tersebut nampak bahwa kandungan protein kasar dan abu pada hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 6 tahun

cenderung meningkat, sedangkan kandungan serat kasar, lemak kasar, dan BETN cenderung menurun. Meningkatnya kandungan protein kasar pada tanaman yang ternaungi oleh

kelapa sawit umur 3 tahun ke 6 tahun, dapat disebabkan oleh 2 hal. Pertama, akibat berubahnya komposisi botanis. Pada tanaman yang tumbuh di bawah

tanaman kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), sedangkan tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%). Diketahui kandungan

protein kasar P. conjugatum adalah 11,0 % dan O. nodosa 13,5% (Chen et al., 1991). Dengan demikian, kandungan protein kasar pada tanaman yang tumbuh di

bawah kelapa sawit umur 6 tahun lebih tinggi. Kedua, akibat berubahnya komposisi kimia yang disebabkan oleh naungan. Naungan memilki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas

hijauan, sehingga dapat merubah komposisi kimia. Kandungan protein kasar biasanya lebih tinggi pada bagian tanaman yang berada di atas daripada yang

berada di bawah (Buxton & Fales, 1994). Menurut Kephart & Buxton (1993) konsentrasi protein kasar jauh lebih responsif terhadap naungan dibandingkan

Page 63: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 246

komponen kualitas lainnya. Disebutkan pula bahwa naungan sebesar 63% dapat

meningkatkan konsentrasi protein kasar sebesar 26% pada rumput. Meningkatnya konsentrasi senyawa nitrogen akibat naungan biasanya dengan mengorbankan

karbohidrat terlarut. Kapasitas Tampung

Berdasarkan hasil perhitungan untuk mendapatkan kapasitas tampung per hektar tanaman kelapa sawit pada umur 3 tahun diperoleh hasil sebesar 1,44 ST

ha-1 dan untuk tanaman kelapa sawit umur 6 tahun sebesar 0,71 ST ha-1. Menurunnya kapasitas tampung ini berkaitan dengan menurunnya produksi hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit akibat semakin tuanya umur

tanaman kelapa sawit. Pada tanaman kelapa sawit umur muda menghasilkan hijauan yang tinggi sehingga dapat mendukung jumlah ternak yang optimum.

Menurunnya kapasitas tampung akibat semakin tuanya tanaman kelapa sawit juga ditunjukkan oleh Wan Mohammad et al. (1997). Ketika tanaman kelapa sawit berumur 1-2 tahun dapat menampung 3 ekor sapi per hektar, kemudian menurun

menjadi 2 ekor per hektar ketika tanaman telah berumur 2-3 tahun, selanjutnya menurun lagi menjadi 1 ekor per hektar pada tanaman umur 5 tahun.

Untuk mempertahankan kapasitas tampung sebaiknya dilakukan penggembalaan dengan sistem rotasi pada interval sekitar 60 hari. Chen & Dahlan (1995) menyarankan agar system rotasi dilakukan pada interval 6-8 minggu agar

diperoleh kapasitas tampung yang berkelanjutan. Hal itu juga perlu memperhatikan ketersediaan hijauan.

Dalam hal meningkatkan kapasitas tampung, selain memperbaiki jenis hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit, bisa juga melalui pemupukan. Hanafi (2007) melaporkan bahwa pemupukan dengan 100 kg urea +

50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk rumput, serta 50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk legume ha-1 tahun-1 dapat meningkatkan kapasitas tampung dari 2,78 ST ha-1

menjadi 5,12 ST ha-1 pada tanaman kelapa sawit umur 4 tahun.

KESIMPULAN

Dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa hijauan antar tanaman di

perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan bagi sapi potong. Jenis-jenis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umumnya sebagai gulma, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan

pakan bagi sapi potong. Hal ini digambarkan oleh produksi hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit maupun komposisi kimia zat-zat makanan yang

dikandungnya. Berdasarkan produksi hijauan tersebut, perkebunan kelapa sawit rakyat yang berada di Kecamatan Sembija, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat menampung 1,44 ST ha-1 pada tanaman umur 3 tahun, dan menurun menjadi 0,71

ST ha-1 pada tanaman umur 6 tahun. Untuk mempertahankan kapasitas tampung tersebut diperlukan pengelolaan hijauan pakan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 2006. The development of integrated forage production system for ruminants in rainy tropical region. Bull. Facul. Agric. Niigata Univ. 58 (2):

Page 64: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 247

125-128.

Abdullah, L. 2011. Prospek Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit-Sapi Potong dalam Upaya Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Nasional 2014 :

Sebuah Tinjauan Perspektif Penyediaan Pakan. Orasi Ilmiah, disampaikan pada Sidang Senat Terbuka (Wisuda) V Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur. Sangatta.

Buxton, D.R., Fales, S.L. 1994. Plant Environment and Quality. Dalam: Fahey, G.C (Ed). Forage Quality, Evaluation, and Utilization. American Society

of Agronomy, Madison, WI, USA. Chen, C.P. 1990. Problem and Prospects of Integration of Forage Into Permanent

Crops. www.fao.org/ag/Agp/AGPC/doc/publicat/GRASSLAN/128.pdf

Chen, C.P., Wong, H.K., Dahlan, I. 1991. Herbivores and the plantations. Proceedings of 3rd. International Symposium on Nutrition of Herbivores.

MSAP. Chen, C. P., Dahlan, I. 1995. Tree spacing and livestock production. Paper

presented at the FAO First International Symposium on the integration of

livestock to oil palm production. 25-27 May 1995, Kuala Lumpur, Malaysia.

Chin, F.Y. 1998. Sustainable use of ground vegetation under mature oil palm and rubber trees fo commercial beef production. Dalam: de la Vina, A.C., Moog, F.A., (eds). Proceedings of 6th. Meeting of the Regional Working

Group on Grazing and Feed Resources for Shoutheast Asia. Legaspi City, Philippines.

Chung, G.F. 1993. Herbicide evaluation for general weed control in immature oil palm with and without EFN mulching. Dalam: Jalami Sukaimi et.al., (eds). PORIM International Palm Oil Congress: Update are vision. Ministry of

Primary Industries Malaysia. Crowder, L. V., Chheda, H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman

group. New York Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Buku Statistik Perkebunan

Tahun 2007-2011. Perkebunan Kalimantan Timur, Samarinda.

Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Statistik Peternakan Kalimantan Timur Tahun 2007 – 2011. Dinas Peternakan Provinsi

Kalimantan Timur. Samarinda. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. 2013. Laporan Penyelenggara

Rapat Konsultasi dan Koordinasi Teknis Daerah (Rakontekda)

Pembangungan Peternakan dan Pertemuan Kelompok Tani Ternak Se Kaltim, Samarinda 25-26 Februari 2013. Dinas Peternakan Provinsi

Kalimantan Timur. Samarinda. Direktorat Tanaman Pakan. 2011. Pedoman Umum Pengembangan Integrasi

Tanaman – Ruminansia Tahun 2012. Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Jakarta. Hanafi, D.N. 2007. Keragaan Pastura Campuran pada Berbagai Tingkat Naungan

dan Aplikasinya pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kephart, K.D., Buxton, D.R. 1993. Forage quality responses of C3 and C4

perennial grasses to shade. Crop. Sci. 33: 831-837

Page 65: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 248

Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Hijauan Makanan Ternak, edisi ke-3. BPFE.

Yogayakarta. Suboh, I. 1997. Memaksimumkan pendapatan penanam kelapa sawit integerasi

tanaman/ternakan di ladang sawit. Seminar Pekebun Kecil Sawit/ Eksekutif Estet Pamol, Sabah. PORIM, 27-29 April 1997.

Wan Mohammad, Hutagalung, W.E., Chen, C.P. 1987. Feed availability,

utilization and constraints in plantation of Asia and the Pacific performance and prospect. Trop. Grassl. 21 : 159-168.

Wong, C.C., Chin, F.Y. 1998. Meeting Nutritional Requirement of Cattle from Natural Forages in oil plantation. National Seminar Livestock and Crop Integration in Oil Palm Towards Sustainability, PORIM, 12-14 May 1998.

Keluang, Malaysia.

Page 66: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 249

PROSPEKTIF AGRONOMI DAN EKOFISIOLOGI Indigofera zollingeriana

SEBAGAI TANAMAN PENGHASIL HIJAUAN PAKAN

BERKUALITAS TINGGI

L. Abdullah

Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Indigofera sp. are very diverse legume species. The plant has been utilized as a natural dye for generations. One such species namely Indigofera zollingeriana has been widely used as forage because of its advantages in the

agronomic and nutritional aspect. However, agronomic knowledge about Indigofera is still limited. It is therefore, some results relating to agronomic and

nutritional aspect of I. zollingeriana are elucidated in this paper. Some of the information obtained during this study showed that from agronomic view point I. zollingeriana is a prospective plant, ease to be developed generatively and has a

high forage production capability and rapid regrowing. In addition it has the ability to adapt to drought condition.

Keyword: Indigofera zollingeriana, agronomic view, and regrowing.

ABSTRAK

Indigofera merupakan leguminosa yang sangat beragam spesiesnya dan kegunaannya. Masyarakat industri pakaian mengenal Indigofera sebagai tanaman

sumber pewarna alami yang sudah digunakan secara turun temurun. Salah satu spesies Indigofera seperti Indigofera zollingeriana telah banyak digunakan karena

kelebihannya secara agronomis maupun nutrisi menjadikannya salah satu pilihan sumber pakan berkualitas. Pengetahuan agronomi tanaman Indigofera masih perlu disosialisaikan kepada masyarakat agar penggunaan hijauannya lebih luas.

Beberapa informasi yang berhasil diperoleh dari penelitian selama ini menunjukan bahwa Indigofera secara agronomis mudah untuk dikembangkan secara

generative dan memiliki kemampuan produksi hijauan yang tinggi serta regrowing yang cepat. Selain itu memiliki kemampuan adaptasi kekeringan. Kata kunci: Indigofera zollingeriana, secara gronomi, dan regrowing

PENDAHULUAN

Indigofera zollingeriana termasuk salah satu genus tanaman yang memiliki kegunaan untuk industri baik industri pewarna secara alami maupun

industri peternakan. Keberadaan Indigofera di Indonesia telah dikenal sejak lama untuk industri pewarna alami. Namun dilaporkan oleh banyak peneliti bahwa

Indigofera selain sebagai sumber pewarna alami terdapat beberpa spesies Indigofera memiliki potensi sebagai hijauan pakan sumber protein. Setidaknya terdapat 700 spesies Indigofera yang telah teridentifikasi. Sebanyak 64 spesies

ditemukan mengandung senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2 sampai 12 mg NO2/g tanaman. Empat spesies yang diuji 4 sampai 12 mg NO2/g yang cukup

Page 67: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 250

beracun untuk umur anak ayam 1 minggu. Sekitar 20 spesies yang telah dipelajari

untuk tanaman pakan. Beberapa spesies Indigofera yang diketahui memiliki peranan penting sebagai bahan pakan antara lain, Indigofera zollingeriana,

Indigofera arrecta, Indigofera tinctoria, dan spesies lain seperti I. spicata and I. nigritana yang diujikan pada ternak tikus tidak menunjukan gejala abnormalitas secara histologi.

Secara nutritif telah dilaporkan bahwa I. zollingeriana tergolong sebagai tanaman legume semak yang mampu menghasilkan hijauan pakan dengan kualitas

tinggi (Abdullah et al., 2010) seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian cabang edible) Indigofera

zollingeriana

Sumber : (Abdullah et al., 2010)

Pengujian secara in vivo terhadap kambing perah PE dan Saanen dengan

pemberian hijauan I. zollingeriana dalam bentuk sampai taraf 100% menunjukan peningkatan produksi susu 14-28% dan persistensi produksi menjelang masa kering (Apdini, 2012). Produksi susu kambing menjelang masa kering dari ternak

kambing Saanen dan peranakan etawah (PE) yang diberi pellet daun I. zollingeriana sebanyak berturut-turut 761 ml dan 675 ml dibandingkan produksi

susu kambing pada waktu yang sama dari kambing Saanen dan PE berturut-turut yang hanya 379 ml dan 390 ml.

Banyak pertanyaan di lapangan tentang prospek Indigofera sebagai

tanaman pakan yang baru-baru ini mulai banyak dibicarakan dalam forum ilmiah. Secara ekofisiologis, I. zollingeriana termasuk tanaman yang sangat adaptif

terhadap kondisi lingkungan yang relatif kering, karena mekanisme fisiologi yang dibangun dalam sistem tubuh tanaman tersebut melalui ekskresi prolin menjadi salah satu cirinya, disamping terdapat mekanisme interaksi dengan hifa mikoriza

Page 68: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 251

yang sangat membantu I. zollingeriana untuk mempertahankan produksi daun

(Dianita, 2012). Indigofera dapat mempertahankan potensial airnya sangat rendah dibandingkan legum lainnya pada keadaan kekeringan selama ada mikoriza yang

berinteraksi dengannya. Secara agronomis Indigofera merupakan tanaman yang sangat mudah dikembangkan, karena potensi reproduksinya yang tinggi untuk menghasilkan polong dengan biji bernas, sifat tumbuh kembali (regrowing) yang

baik memungkinkan perkembangan cabang secara progresif, sehingga produksi daun yang tinggi, responsif terhadap pemupukan baik melalui media (tanah)

maupun langsung pada permukaan daun, dapat diperlakukan dengan menyisakan batang pada ketinggian 75-150 meter.

Produksi Hijauan dan Pembentukan Cabang/Ranting

Indikator produktivitas yang mudah diukur pada tanaman pakan adalah

produksi hijauan pakan (BK) selama setahun atau beberapa kali pemanenan. Hijauan yang dimaksud meliputi daun, tangkai daun dan ranting yang dapat dimakan (edible). Indigofera termasuk kedalam salah satu jenis tanaman herba

yang mampu menghasilkan hijauan pakan cukup tinggi (Gambar 1.) Kisaran produksi hijauan Indigofera yang dapat dicatat di kebun percobaan di Darmaga

dan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan IPB Jonggol antara 7-10 ton BK/ha/panen (catatan: bahwa produksi hijauan ini diperoleh dari tanaman yang diberi pupuk daun). Hasil pengamatan selama ini Indigofera memiliki prospek

yang cukup baik untuk dikembangkan karena alasan karakteristik agronomi dan nilai nutrisinya (Abdullah et al., 2012). Secara agronomis produksi hijauan pakan

mengalami peningkatan dari pemangkasan pertama hingga pemangakan ke empat (saat puncak musim hujan) secara eksponensial, namun mengalami pengurangan biomasa setelah pemanenan ke enam. Tingginya pemangkasan (intensitas

defoliasi) dapat berpengaruh terhadap produksi hijauan, meskipun faktor ini tidak nampak pengaruhnya terhadap produksi hijauan hingga pemanenan ke enam,

namun setelah pemangkasan ke enam pemangkasan dengan tinggi 1.00 meter menghasilkan hijauan pakan lebih tinggi dibandingkan dengan pemangkasan lebih pendek (0,75 m). Pemangkasan yang lebih tinggi hingga 1.5 m dilaporkan oleh

Andi Tarigan et al., (2010) menunjukan produksi hijauan lebih banyak dibandingkan pemangkasan yang lebih pendek, namun tidak mengubah jumlah

cabang yaitu sekitar 15-24 buah cabang.

Gambar 1. Dinamika produksi hijauan dan percabangan tanaman

Indigofera zollingeriana. Sumber : Abdullah et al (2010)

Page 69: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 252

Pertumbuhan dan produksi hijauan tanaman pakan dipengaruhi oleh

intensitas pembentukan percabangan/ranting. Jumlah cabang tanaman Indigofera pada umumnya berkisar antara 8-30 cabang sejak mengalami pemangkasan

pertama hingga pemangkasan ke-10. Setiap cabang memiliki sekitar 2-6 ranting yang pada umumnya masih dapat dikonsumsi ternak terutama dalam keadaan segar. Jumlah ranting dan cabang meningkat secara eksponensial sampai

pemangkasan ke-6 dan cenderung melambat diatas pemangkasan ke-8. Produksi hijauan pada sampai pada pemangkasan ke-6 masih mengikuti pola pembentukan

cabang dan ranting, sehingga korelasi keduanya positif (r=0.894). Peningkatan jumlah percabangan setelah pemangkasan ke-6 menyebabkan pertumbuhan daun (kanopi) saling menutupi dan banyak daun tidak efektif dalam melakukan proses

fotosintesis akibat ternaungi oleh daun diatasnya. Perbanyakan cabang ini menyebabkan penurunan produksi sehingga korelasi keduanya negatif (r=-0.979).

Berdasarkan pengalaman ini maka perlu dilakukan manajemen percabangan jika sistem pemangkasan dilakukan hingga ketinggian tanaman 0.75-1.00 m.

Ketahanan terhadap Cekaman Kekeringan

Sebuah kajian ekofisiologi yang mempelajari ketahanan Indigofera

zollingeriana terhadap cekaman kekeringan telah dilakukan oleh Herdiawan et al., 2012 dan Sowmen 2012. Kedua studi menemukan hasil bahwa Indigofera termasuk kedalam jenis tanam pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Kemampuan I. zollingeriana terhadap cekaman kekeringan ditunjukan dengan nilai potensial air daun yang berkisar antara -1,8 mPa sampai -7,9 mPa. Selang

nilai potensial air daun ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi kekeringan yang ekstrim. Herdiawan et al., (2012) mengungkapkan bahwa meskipun terjadi penurunan produksi tajuk hingga

33,96% akibat pengurangan air hingga 25% kapasitas lapang, namun tanaman ini tetap menghasilkan tajuk, dan mengalami pemulihan ketika tanaman mendapatkan

air kembali. Tanaman I. zollingeriana mengalami titik layu permanen hingga umur 20

minggu untuk tanaman I. zollingeriana berumur sekitar 2 bulan, dimana kadar air

tanah tinggal 23%. Pada saat kondisi seperti ini tanaman ini menunjukan nilai potensi air daunnya terrendah yaitu -7.9 (Sowmen, 2012). Temuan ini telah

mengungkap bahwa I. zollingeriana merupakan tanaman pakan yang dapat bertahan pada kondisi kering.

Budidaya Tanaman Indigofera

Produksi Benih

I. zollingeriana merupakan salah satu jenis leguminosa semak yang sangat mudah menghasilkan benih. Jumlah polong dalam setiap tangkai bervariasi antara 7-17 buah dengan panjang polong antara 2.5-3.4 cm, jumlah benih per polong

antara 5-7 butir dengan didominasi benih bernas 64-82% (Gambar 2. Indigofera mulai berbunga sejak umur 2 bulan setelah transplantasi, dan bunga berkembang

menjadi polong memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Pematangan fisiologis benih terjadi hingga minggu ke-6 tergantung curah hujan. Warna polong yang sudah mengalami masak fisiologis adalah hitam kecoklatan dan terdapat relief

pada setiap segmen benih yang menunjukan benih bernas. Polong merupakan salah satu bagian tanaman yang paling mudah diserang hama. Frekuensi investasi

Page 70: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 253

hama dan penyakit seperti jamur pada polong dapat mencapai 36% pada musim

hujan.

Gambar 2. Bentuk tanaman dan polong Indigofera zollingeriana

Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa mencapai 8-9%. Benih

normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan persentase perkecambahan (daya kecambah) 28-35% jika benih pernah mengalami

penyimpanan selama 2 bulan. Pada umumnya daya kecambah yang rendah disebabkan oleh kulit benih yang tebal dan invasi jamur pada saat perkecambahan. Pengalaman di laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB menunjukan

pemberian bahan organik (pupuk organik) pada media penyemaian dapat meningkatkan daya kecambah menjadi 67%-74%. Perlakuan benih dengan

skarifikasi pemanasan kering dari 30oC menjadi 45oC menurunkan daya kecambah dari 58% menjadi 29% pada pengamatan umur perkecambahan 7 hari. Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat fotoblastik negatif, karena

benih yang berkecambah pada germinator gelap lebih banyak dibandingkan germinator terang (44% - 57% vs 24% - 29%; P<0.05). Karakteristik fisiologi

lainnya dari benih I. zollingeriana adalah menurunnya daya kecambah benih jika telah mengalami penyimpanan dan penundaan waktu berkecambah. Penyimpanan lebih dari 4 minggu dapat menurunkan daya kecambah benih

hingga 24%. Secara fisik benih berwarna coklat (b) dan coklat kehitaman (c) bulat

berisi lebih baik dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau kecoklatan (Gambar 3). Penambahan panjang hipokotil dari umur kecambah 4 hari ke umur 7 hari mencapai 177%, namun mengalami penurunan penambahan

tinggi hipokotil sebanyak 26.26% dengan bertambahnya umur kecambah menjadi 14 hari. Pengeringan benih hingga 45oC dapat menurunkan daya kecambah benih

hingga 29.85% dan 41.53% berturut-turut pada umur kecambah 4 hari dan 14 hari.

Gambar 3. Bentuk dan warna benih Indigofera pada kondisi masak fisiologis

berbeda. Benih berwarna coklat kehitaman lebih bernas dibanding

yang masih muda (Sumber Foto : Nanda dan Rhoma, 2011)

Page 71: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 254

Persemaian

Benih Indigofera sangat mudah dihasilkan Persemaian benih pada baki yang berisi media tumbuh pasir, tanah dan pupuk kandang (1:1:1). Setelah

pengujian benih, benih langsung ditabur secara merata ke permukaan media tanam pada baki Penyiraman dilakukan secara hati-hati agar kecambah tidak rusak, tidak tergenang (Gambar 4). Hari ke 7-10 dipindahkan ke polibag ukuran 0.5 kg.

Bibit muda dipelihara di bawah naungan dengan menggunakan paranet naungan 65%. Pembersihan lahan, pembajakan, penggaruan, penggemburan, pengguludan

dan dibuat jarak tanam 1.5 × 1 m. Jarak individu tanaman antar guludan 1.5 m dan jarak invidu tanaman dalam guludan 1m. Populasi tanaman 6600 individu

tanaman/ha. Tanaman berumur 1 bulan dapat dipindahkan secara hati-hati ke lobang tanaman dengan jarak tanam yang sudah ditentukan.

Gambar 4. Proses penyemaian dan pembibitan tanaman Indigofera

Untuk hasil yang baik, pemberian pupuk kandang dalam lobang tanam

sebanyak 250-300g/lobang. Untuk menghasilkan bentuk tajuk yang baik dan pertumbuhan cabang yang baik, potong tanaman dengan ketinggian 75-100cm.

Pemotongan pertama sebaiknya dilakukan setelah tanaman mencapai target ketinggian yang diharapkan. Pemberian pupuk cair anorganik maupun organik seperti urin sapi dapat memacu pertumbuhan dan pembentukan tajuk lebih cepat

dibandingkan dengan kontrol (tanpa pupuk). Salah satu pupuk buatan yang dikembangkan di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB yang

dirancang khusus untuk pertumbuhan tajuk Indigofera adalah INDIGO-FERTILIZER dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk ini untuk setiap satu liter diencerkan dalam 100-150 liter, tergantung hasil yang diharapkan.

Kebutuhan pupuk cair untuk satu hektar adalah 10 botol untuk sekali penyemprotan. Pupuk daun diberikan 4 kali selama periode penanaman, yaitu

pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan 42 hari setelah pemangkasan atau panen sebelumnya (Gambar 5).

Pemanenan dilakukan dengan interval 60 hari, menyisakan tegakan

tanaman 75-100 cm. bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible). Batang yang tidak terpakai hasil pemangkasan yang dianggap tidak dapat dimakan

dapat digunakan sebagai kayu bakar ringan atau digunakan untuk mulsa. Pertumbuhan kembali (regrowth) tajuk Indigofera akan terlihat setelah satu minggu jika cukup curah hujan (Gambar 6). Daun dan batang dikeringkan,

Page 72: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 255

kemudian dirontokan dengan mesin perontok (daun kering dengan sendirinya

terlepas dari batang edible). Pengeringan dengan sinar matahari 4 jam sudah menyisakan kadar air sekitar 28%, dan pada 2 jam pertama kadar air sudah

mencapai 30%, atau pengeringan dengan oven 70oC selama 2 jam. Kadar air ini sangat sesuai untuk pembuatan tepung (agar tidak terlalu berdebu) dan mudah dibentuk pelet.

Gambar 5. Pertumbuhan, pembentukan tajuk dan penyemprotan pupuk cair pada

daun Indigofera

Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2010), mengungkapkan

bahwa aplikasi pupuk daun dapat memperbaiki produksi hijauan tanaman Indigofera, total produksi daun, rataan tinggi tanaman, rataan jumlah cabang, rataan persentase pucuk terhadap total daun dan rasio daun-batang. Seperti terlihat

pada Tabel 1. Respons tanaman I. zollingeriana terhadap perlakuan pemupukan daun menunjukan bahwa terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan

produktivitasnya. Pemupukan daun dengan menggunakan pupuk cair INDIGO-FERTILIZER juga dapat memperbaiki komposisi dan konsentrasi asam amino pada daun (Abdullah dan Kumalasari 2012). Pemupukan tidak hanya melalui

daun tetapi praktek pemupukan dengan pupuk organik pada tanah sangat dianjurkan, karena dapat meningkatkan produksi hijauan pakan secara signifikan

(18%).

Tabel 2. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan dan

pertumbuhan tanaman Indigofera

Sumber : Abdullah dan Kumalasari (2010)

Page 73: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 256

Produksi dan kualitas hijauan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi

daun muda dan daun tua tanaman Indigofera. Dinamika komposisi antara daun muda dan daun tuda terjadi sesuai waktu pemangkasan. Hasil studi menunjukan

bahwa semakin tua umur pemangkasan dari 38 hari menjadi 88 hari semakin meningkat proporsi daun tua dari 58.4% menjadi 75.3% dan semakin menurun proporsi daun muda dari 41.6% menjadi 24.7% (Abdullah dan Suharlina, 2010),

meskipun produksi total hijauan meningkat dari 2673 kg BK/ha/panen menjadi 5410 kg BK/ha/panen. Konsekuensi perubahan komposisi ini adalah penurunan

kualitas yang ditunjukan oleh penurunan kandungan protein dari 22% menjadi 20%, dan penurunan kecernaan bahan kering dari 74.52% menjadi 67.39% serta penurunan kecernaan 73.79% menjadi 69.63%.

Gambar 6. Pemanenan menghasilkan hijauan pakan dan batang untuk kayu bakar.

Pertumbuhan kembali setelah pemanenan pada musim hujan bisa terlihat setelah satu minggu

Peran Tanaman Indigofera terhadap Kesuburan Tanah

Sebagai tanaman leguminosa yang akan dikembangkan untuk sumber

hijauan pakan, Indigofera juga diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap kestabilan kesuburan tanah. Mekanisme simbiosis untuk fiksasi nitrogen udara dengan bakteri rhizobium dan transfer unsur hara dan air melalui simbiosis

dengan mikoriza diharapkan dapat meningkatkan peran Indigofera dalam menjaga ekologi tanah. Hasil pengamatan pada pot terkontrol di rumah kaca menunjukan

bahwa keberadaan Indigofera dipandang mampu mempertahankan kandungan C, N dan P. Indigofera mampu meningkatkan residu akar dan asam organik pada tanah sehingga dapat meningkatkan taraf kandungan karbon organik tanah sebesar

16.8%, yang berarti dapat memberikan peluang untuk berkembangnya mikroorganisme tanah (Suharlina dan Abdullah, 2012). Demikian halnya dengan

kandungan N dan P tanah yang relatif masih stabil setelah penanaman Indigofera, meskipun sebagian telah dimanfaatkan (uptake) oleh tanaman untuk kebutuhan pertumbuhan dan pembentukan tajuk. Hal penting lainnya secara mikrobiologis,

keberadaan perakaran Indigofera pada tanah dapat meningkatkan populasi bakteri pelarut fosfat, yang diduga menjadi salah satu factor stabilnya kandungan fosfat

tersedia pada tanah setelah penanaman Indigofera.

KESIMPULAN

Indigofera zollingeriana sebagai tanaman leguminosa sangat potensial

sebagai sumber hijauan pakan, yang secara agronomis mudah dikembangkan melalui benih. Reproduktivitas yang tinggi memungkinkan pengembangan secara

Page 74: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 257

nasional untuk suplementasi protein dan perbaikan asupan nutrisi lainnya untuk

ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by

different concentration of foliar fertilizer. Med Pet., 33(3): 169-175 Abdullah, L and Suharlina, 2010. Herbage yield and quality of two vegetative

parts of Indigofera at different time of first regrowth defoliation. Med. Pet., 1(33): 44-49.

Abdullah, L. N.R. Kumalasari, Nahrowi dan Suharlina. 2010. Pengembangan

Produk Hay, Tepung dan Pelet Daun Indigofera sp. sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah. Laporan Penelitian.

Fakultas Peternakan IPB. Abdullah, L. and N.R.Kumalasari. 2012 Amino Acid Contents of Indigofera

arrecta Leaves After Application of Foliar Fertilizer. Journal of

Agricultural Science and Technology Vol. 1 No.8, hal 1224-1227, Des 2011, ISSN 2161-6256, David Publishing Co. Illinois, Amerika Serikat.

Abdullah, L., A. Tarigan, Suharlina, D. Budhi, I. Jovintry dan T.A. Apdini. 2012. Indigofera zollingeriana : A promising forage and shrubby legume crop for Indonesia. Proceeding the 2nd International Seminar on Animal

Industry. JCC, Jakarta p.149-153 Andi Tarigan, L. Abdulla, S.P. Ginting dan I.G. Permana. 2010 Produksi dan

komposisi serta nutrisi In vitro Indigofera sp. Pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 15(3): 188-195.

Apdini, T.A.P. 2011. Pemanfaatan Pellet Indigofera sp. pada Kambing Perah

Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm , Skripsi, IPB.

Aylward, J.H.; Court, R.D.; Strickland, R.W.; Hegarty, M.P. 1987. Indigofera species with agronomic potential in the tropics. Rat toxicity studies. Australian Journal of Agricultural Research. v. 38(1) p. 177-186.

Dianita, R. 2012. Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and non Legume Plants in Integrated System. Disertasi. Institut Pertanian

Bogor. Iwan Hrdiawan,L. Abdullah, D. Sopandi, P.D.M.H. Karti and N. Hidayati. 2012.

Productivity of Indigofera sp. At different drought stress level and

defoliation interval. J. Animaland Veterinary Sci. 17(2):276-283 Suharlina dan L. Abdullah., 2012. Peningkatan produktivitas Indigofera sp.

Sebagai pakan hijauan berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organic cair : 1. Produksi hijauan dan dampaknya terhadap kondisi tanah. Pastura, Journal Tumbuhan Pakan Tropika, 1(2): 39-43

Williams., M. C 1981. Nitro Compounds in Indigofera Species.Agronomy Journal, Vol. 73 No. 3, :434-436

Page 75: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 258

MASALAH PENGEMBANGAN HIJAUAN MAKANAN TERNAK

DI ACEH

M. Nur Husin dan Didy Rachmadi

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

ABSTRACT

Forage development in Aceh is slow if it is compared to other Agriculture

sectors. Program of population growth of animal ruminant and its genetic quality depend on the quality and production of forage since forage is the basis of animal

feed of ruminant. The problems found were: forage planting was vegetative and the raising system of ruminant was permanent grazing (traditional system). There is no standard regulation about the land used in raising animal in agriculture area,

and no investor to develop Animal Husbandry sector as well. The result of the research on the plant of grass and legume in Experimental Farm, University of

Syiah Kuala shows that it can improve carrying capacity from 6 Animal Unit (AU) to 12 AU. There is a valuable potential land in Aceh to develop animal ruminant in West Indonesia in order to achieve self supporting of meat in

Indonesia. Without sufficient fund this program is impossible to be implemented in the future.

Key words: Forage, problems, and development.

PENDAHULUAN

Pembangunan peternakan di Aceh mempunyai peranan penting dalam pembangunan pertanian secara keseluruhan, namun kemajuannya dirasakan lamban bila dibandingkan dengan kemajuan di sektor pertanian lainnya. Berbagai

faktor yang menyebabkan lambatnya kemajuan ini dapat diidentifikasi antara lain: Adanya penyakit parasiter, keguguran, mutu genetik ternak yang rendah,

kurangnya pemanfaatan bibit hijauan unggul dan cara beternak yang masih tradisional. Program peningkatan populasi dan mutu genetik ternak ruminansia selalu di

dasarkan kepada peningkatan mutu dan produksi hijauan, karena hijauan merupakan basis utama makanan ternak ruminansia. Tanpa perbaikan mutu dan

produksi hijauan adalah sulit untuk memajukan usaha pengembangan ternak ruminansia. Usaha apapun (pengobatan, bibit unggul) tidak akan nampak hasilnya apabila masalah hijauan makanan ternak tidak ditanggulangi terlebih dahulu.

Hijauan yang mempunyai produksi tinggi membutuhkan tempat tumbuh (tanah) dengan tingkat kesuburan tinggi. Kenyataan menunjukan bahwa lahan

yang tersedia untuk pengembangan perternakan adalah lahan klass IV sampai kritis. Lahan ini harus dikelola dengan hati-hati disertai pemupukan berat. Penanaman hijauan unggul (rumput, dan leruminosa) memungkinkan daya

tampung ternak dapat di pertinggi 5-20 kali (Mc Ilroy, 1976) di samping dapat meningkatkan kesuburan tanah akibat fiksasi nitrogen oleh leguminosa. Tanaman

leguminosa selain mempunyai protein tinggi juga dapat berfungsi ganda dalam penghematan penggunaan pupuk dan sintetik. Setiap kg N yang difiksasi setara dengan 2,22 kg pupuk urea (N urea 46%)

Program budidaya hijauan unggul telah lama dilakukan di Aceh. Namun

Page 76: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 259

hasilnya masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain:

1. Keinginan masyarakat untuk menanam rumput unggul masih rendah, karena tersedia rumput alam

2. Nilai ekonomis hijauan sangat rendah di bandingkan dengan tanaman lain. 3. Tidak mempunyai kebun bibit hijauan disetiap Kabupaten/Kota yang mudah

diperoleh peternak kecuali kabupaten Aceh Besar

4. Sistem pemeliharaan ternak dipedesaan pada umumnya masih tradisional Merubah sistem usaha ternak dari sistem tradisional ke intensif bukanlah

pekerjaan yang mudah karena memerlukan perubahan bentuk usaha tani ternak, disamping memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberanian, kepercayaan dan modal usaha yang memadai. Untuk ini diperlukan pemikiran

para cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu dan investor untuk mengolah sumber daya alam yang tersedia secara optimal.

PEMBAHASAN

Potensi Ternak Ruminansia

Potensi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba lokal)

sampai saat sekarang masih menjadi primadona dalam penyediaan daging di Aceh. Jumlahnya semakin berkurang akibat adanya konflik bersenjata yang dimulai tahun 1976 antara GAM dan pemerinta RI yang berkepanjangan dan

ditambah Tsunami 2004. Potensi genetik sapi aceh tidak terlalu rendah dibandingkan sapi bali.

Pertambahan berat badan sapi jantan aceh yang dipelihara secara tradisional pada umur 2-3 tahun antara 252-354 g/hari per ekor dan yang intensif 400-500 g/hari/ekor (Basri, 2003) sedangkan sapi bali mempunyai tambahan berat badan

jantan 600- 700 g/hari/ekor (Sitepu, 2009) dan Brahman Cross 1200 g/hari/ekor (Rahmadi, 2012).

Menurut BPS (2012) di Aceh terdapat 701.284 ekor sapi (19.743 di antaranya adalah sapi bali), kerbau 303.156 ekor, kambing 768.869 ekor, dan domba 168.994 ekor. Populasi sapi, kambing dan domba terbesar di temukan di

pantai utara Aceh (Banda Aceh Sampai Aceh Tamiang), sedangkan populasi kerbau banyak di temukan di Pantai Barat Selatan (Banda Aceh sampai Aceh

Singkil, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Pulau Simeulu). Pemotongan ternak sapi 75.097/ekor/tahun, kerbau 25.513/ekor/tahun, kambing 169.764 /ekor/tahun, dan domba 43.780/ekor/tahun. Harga daging di Banda Aceh termasuk harga tertinggi

di Dunia. Secara konkrit harga daging sapi, kerbau dan domba berkisar antara Rp 110.000-Rp. 120.000 /kg dan harga daging kambing berkisar antara Rp 140.000-

Rp 150.000 /kg. (Mai 2013) dan pada hari Megang (2 hari sebelum bulan puasa/idul Fitri dan Idul Adha) harga daging naik 20-30%. Sistem pemeliharaan ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba pada

umumnya secara tradisional. Dimana ternak dilepas bebas mencari makan sendiri di permukiman penduduk atau di jalan raya. Hal ini merugikan banyak pihak

karena menjadi hama bagi tanaman pertanian dan mengakibatkan sering terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Pemeliharaan secara intensif dengan pemberian hijauan unggul banyak di temukan di bantaran Krueng Aceh

dan Kabupaten Aceh Besar.

Page 77: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 260

Potensi Lahan

Aceh mempunyai lahan padang penggembalaan seluas 500.000/ha pada tahun 1973. Akibat infasi tanaman industri, perkebunan dan permukiman penduduk,

sekarang luasnya 232.023 ha, persawahan 314.991 ha, lahan kering 139.049 ha, kebun rakyat 800.401 ha, perkebunan besar (sawit dan karet) 200.680 ha, lahan pemukiman 305.624 ha, merupakan sumber lahan yang dapat digunakan untuk

pengembangan hijauan dan ternak (BPS, 2012). Merubah sistem usaha ternak tradisional ke intensif akan memberikan

keuntungan antara lain; 1. Mempertinggi daya guna tanah dan daya tamping ternak 2. Memperluas lapangan kerja bagi pengangguran dan masyarakat pedesaan

3. Dapat menambah pendapatan dan mengurangi kemiskinan 4. Dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pengangguran dan Kemiskinan

Komplek bersenjata antara GAM dan Pemerintah RI yang berkepanjangan

ditambah gempa dan Tsunami 26 Desember 2004, yang melanda Aceh telah menimbulkan banyak korban jiwa manusia, ternak, tananam, harta benda, mata

pencaharian yang tidak terkira nilainya. Namun disisi lain, terdapat hikmah besar yang timbul secara spontan dan sangat luar biasa dari masyarakat Indonesia dan Internasional yang membantu perjuangan hidup mati rakyat Aceh. Perdamaian

antara GAM dan Pemerintah RI 15 agustus 2005 di Helsinki telah membawa angin sejuk bagi rakyat miskin untuk bangkit kembali menyongsong hari depan

yang lebih cerah. Daerah Aceh sejak kemerdekaan merupakan salah satu daerah kaya di Indonesia dan dijuluki sebagai daerah modal (Soekarno, Presiden RI) namun

kenyataannya sampai saat ini merupakan salah satu daerah miskin di Indonesia dengan jumlah penduduk 5,1 juta jiwa, penduduk miskin 19,46% dan

pengangguran 7,43% (di atas rata-rata nasional). Tidak diketahui secara pasti kapan kemiskinan dan penganguran dapat ditanggulangi di Aceh. Masalah kemiskinan dan kesempatan kerja merupakan masalah nasional yang belum dapat

ditanggulangi sampai saat sekarang. Jangankan masyarakat miskin dan pemuda putus sekolah, ―Lulusan Sarjana‖ saja banyak yang menganggur belum

mendapat pekerjaan yang layak. Menciptakan lapangan kerja pada saat sekarang bukanlah pekerjaan mudah, karena memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberaniaan dan modal usaha yang

memadai. Membuka usaha peternakan adalah salah satu alternatif untuk menggurangi

pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan strategi dan terobosan Gubernur Aceh (Zaini Abdullah, 2013) memilih bidang usaha peternakan menjadi salah satu usaha andalan untuk memerangi kemiskinan

dan pengangguran “Pekerjaan ini tidak semudah membalik telapak tangan”

Budidaya Hijauan

Budidaya hijauan unggul daerah Aceh di temukan berkembang pesat dipinggiran Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Daerah ini dikenal sebagai

kantong tempat penggemukan ternak dikandang (zero grazing). Diprediksi jumlah

rumput unggul yang telah dibudidaya mencapai 2.465 ha, dimana 70% berada di

Page 78: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 261

kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar dan 30% di wilayah Aceh lainnya.

Keadaan ini disebabkan karena sumber bibit hijauan unggul yang tersedia hanya adalah di Unit Pelaksana Teknis Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan

Makanan Ternak (BPTU-HMT) Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Jarak (BPTU-

HMT) Indrapuri dengan ibu kota Banda Aceh 30 km.

Hasil penelitian hijauan unggul yang dikumpulkan dari kebun percobaan HMT Unsyiah (Husin dkk., 2012) tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi Segar Hijauan Unggul Di Aceh

No. Nama Hijauan Produksi Ton /Ha

1. King grass (rumput raja) 220 - 230 2. Elephant grass (rumput gajah) 180 - 200

3. Guenia grass (rumput benggala) 150 - 170 4. Setaria (rumput lampung) 140 - 150

5. Star grass (rumput bintang) 60 - 70 6. Signal grass (rumput bede) 120 - 130 7. Paca grass (rumput kolonjono) 130 - 145

8. Coronivia grass (rumput beha) 28 - 32 9. Centro (kacang kupu) 28 - 31

10. Calopo (kacang asu) 36 - 38 11. Siratro (kacang kara) 40 - 44 12. Peuro (kacang ruji) 33 - 39

13. Leucaena (lamtoro) 55 - 60

Proyeksi hasil penelitian pada kebun kelapa rakyat yang ditumbuhi rumput

alam dengan penggantian spesies hijauan unggul daya tampung ternak dapat ditingkatkan 8-12 Unit Ternak (UT/ha).

Kendala Pengembangan Hijauan Makanan Ternak Unggul

1. Sukar mendapat bibit dalam bentuk biji, reproduksi hijauan dilakukan dengan

cara vegetative (stek, stolon, dan anakan). 2. Pengembangan hijauan di daerah permukiman penduduk memerlukan biaya

tambahan untuk pemagaran, agar ternak tidak masuk ke kebun hijauan.

3. Sebagian tanah peternakan telah mendapat HGU diterlantarkan oleh pemilik modal berdasi.

4. Tidak ada aturan yang jelas dari pemerintah tentang tata laksana penggunaan tanah.

5. Program pengembangan bibit hijauan dari dinas terkait sangat sedikit.

Saran

1. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus membuat peraturan yang jelas tentang Tata Laksana Penggunaan Tanah Peternakan, Tanaman Pangan, Perkebunan, Budi daya Perikanan, dan Kehutanan.

2. Pemerintah membatalkan HGU dari pengusaha berdasi apabila dalam 1 (satu) tahun HGU tersebut tidak diusahakan.

3. Membuat kebun bibit hijauan makanan Ternak (HMT) di setiap Kecamatan minimal 10 ha.

Page 79: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 262

4. Memberi pelatihan budidaya hijauan ternak kepada petani ternak yang

melibatkan tenaga ahli hijauan. 5. Pemerintah perlu menyediakan dana khusus untuk pengembangan HMT

dan ternak melalui dana APBN, APBA, dan APBD. 6. Pemerintah mencari Investor untuk menanam modal pada usaha

peternakan di Aceh agar realisasi swasembada daging di Indonesia

terpenuhi.

DAFAR PUSTAKA

BPS., 2012. Aceh dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh.

Rachmadi, D. 2012. Penggunaan Bungkil Inti Sawit dalam Ransum terhadap Pertambahan Sapi Brachman Cross. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala. Basri, H. 2003. Penggunaan Molases dalam Ransum terhadap Pertambahan Berat

Badan Sapi Aceh. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian Universitas Syiah

Kuala. Husin, MN, M.J. Helmy., A.G. Fadli. 2010. Pedoman Memelihara Sapi di

Pedesaan. Badan Pembinaan Pendidikan Dayah. Pemerintah Aceh, Banda Aceh.

Husin, M.N., Asril., M. Delima, D. Rachmadi. 2012. Kumpulan Hasil Penelitian

Hijauan. Laboratorium Hijauan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Unsyiah, Banda Aceh.

McIlroy, R.J., 1976. Pengantar Budidaya Rumput Tropika. Terjemahan. Pradnya Paramita. Jakarta

Sitepu, M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik. PT. Indek. Jakarta.

Zaini, A. 2013. Memperkuat Perekonomian yang Inklusif Melalui Penanggulangan Kemiskinan dan Penurunan Pengangguran Menuju Aceh

Sejahtera. Tabloid Tabangun Aceh. Edisi 31, April 2013, Banda Aceh.

Page 80: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 263

PRODUKSI PADANG PENGGEMBALAAN ALAM DAN POTENSI

PENGEMBANGAN SAPI BALI DALAM MENDUKUNG PROGRAM

KECUKUPAN DAGING DI PAPUA BARAT

Onesimus Yoku, Andoyo Supriyantono, Trisiwi Widayati dan Iriani Sumpe

Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Papua Jl. Gunung Salju Amban Manokwari

ABSTRACT

West Papua is an area with high potential for the development of beef

cattle because the capacity of the area is quite extensive. Availability of the natural resources provides great opportunities to develop of Bali cattle business. This study aims to analyze the botanical composition, carrying capacities, and

forage production potential in Kebar, West Papua. Botanical composition was analyzed by the ranking method (dry weight rank) which observing only three

types of forage that has a big contribution, and set them as 1, 2, and 3 ranking based on dry matter, while forage production was estimated by sample method using 1 m2 quadrants. The results showed that almost 100% forage on pasture

were dominated by grass; very low carrying capacity of natural pastures, it was about 0.48 to 1.70 UT / ha / year; forage production on natural pastures have not

any potential for planing of Bali cattle/beef cattle development to support beef sufficiency program in West Papua. Keywords: grassland natural, botanical composition, carrying capacities

ABSTRAK

Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan

ternak sapi potong karena daya dukung wilayah cukup luas. Ketersediaan sumberdaya alam tesebut memberikan peluang besar bagi pengembangan usaha

peternakan sapi bali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi botanis, kapasitas tampung, dan potensi produksi hijauan pakan di dataran Kebar kabupaten Tambraw provinsi Papua Barat. Komposisi botanis dianalisis dengan

metode ranking (dry weight rank) yaitu dengan mengobservasi hanya tiga jenis hijauan yang mempunyai kontribusi besar, dan menetapkannya sebagai ranking 1,

2, dan ranking 3 berdasarkan bahan kering, sedangkan produksi hijauan pakan diestimasi dengan metode cuplikan menggunakan kuadran berukuran 1 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 100% hijauan pada padang

penggembalaan di dominasi jenis rumput; kapasitas padang penggembalaan alam sangat rendah yaitu 0,48-1,70 UT/ha/tahun; dan produksi hijauan pada padang

penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk rencana pengembangan ternak sapi bali dan/atau sapi potong untuk mendukung program kecukupan daging sapi di provinsi Papua Barat.

Kata Kunci: Padang penggembalaan alam, komposisi botanis, kapasitas tampung

PENDAHULUAN

Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan

ternak sapi potong karena daya dukung wilayah berupa padang penggembalaan

Page 81: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 264

alami cukup luas. Ketersediaan sumberdaya alam tesebut memberikan peluang

besar bagi pengembangan usaha peternakan sapi bali. Namun demikian sapi bali saat ini cenderung mengalami penurunan kualitas karena adanya seleksi negatif

ditingkat peternak (Djagra et al., 2002; Jan, 2000; Talib et al., 2002; Supriyantono et al., 2011).

Pembangunan peternakan secara nasional secara mutlak memerlukan

peran serta peternakan rakyat, mengingat produksi ternak di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional (99,70%) dan sisanya

sebesar 0,30% diusahakan oleh perusahaan berskala besar (Soedjana, 2005). Sehingga sangat perlu untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam mengembangkan peternakan rakyat, melalui dukungan baik dari permodalan,

teknologi, bibit, manajemen pengembangan melalui standardisasi usaha peternakan.

Peningkatan kualitas bibit sapi bali dapat dilakukan dengan mengembangkan village breeding center (VBC) dengan melibatkan masyarakat. Salah satu daerah pengembangan VBC di Papua Barat adalah Kabupaten Kebar

yang memiliki hamparan padang penggembalaan seluas ±1.500 ha. Daerah ini diharapkan mampu menjadi salah satu lumbung daging sapi di Papua Barat guna

mendukung Program Swasembada Daging Sapi 2014. Pengembangan padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat

dilakukan hanya jika diketahui susunan/komposisi vegetasi dan kapasitas tampung

padang penggembalaan dimaksud.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi yaitu padang penggembalaan alam

kampung Inam dan kampung Jandurau. Kampung Inam dan Kampung Jandurau merupakan bagian dari wilayah distrik Kebar, kabupaten Tambrauw, provinsi

Papua Barat. Lokasi pengambilan sampel (cuplikan) ditetapkan secara purposif

berdasarkan jenis vegetasi (hijauan pakan ternak) dan luas padang penggembalaan

alam. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal. Menurut petunjuk Susetyo (1980) yaitu untuk padangan dengan luas 65 ha, ditetapkan sebanyak 100

cuplikan. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal. Metode dry weight rank (DWR) digunakan untuk mengestimasi komposisi

jenis-jenis hijauan pakan (komposisi botani) atas dasar bahan kering. Metode DWR digunakan dengan mengobservasi hanya tiga jenis hijauan yang mempunyai kontribusi besar yang ditemukan dalam kuadran (ranking 1, 2, dan 3) tanpa melakukan pemotongan

dan pemisahan spesies hijauan. Selanjutnya untuk mengetahui produksi hijauan dan

sampel untuk analisis laboratorium, hijauan yang terdapat dalam areal kuadran dipotong sekitar 5-10 cm di atas permukaan tanah dan ditimbang beratnya

menggunakan timbangan digital kapasitas 5 kg dengan ketelitian 10 g. Variabel penelitian meliputi komposisi botani dan kapasitas tampung.

Komposisi botani dihitung untuk mengetahui komposisi atau susunan spesies

hijauan pada suatu padang penggembalaan. Jenis hijauan yang termasuk dalam ranking 1, 2, dan 3, tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan.

Selanjutnya dikalikan dengan angka konstanta berturut-turut 8,02; 2,41; dan 1 (jika total tidak sama) atau 70,2; 21,1; dan 8,7 (jika total sama) ,

Page 82: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 265

Kapasitas tampung dihitung berdasarkan petunjuk Subagio dan

Kusmartono (1988). Menentukan kuantitas produksi hijauan dalam kuadran 1 m2. Menetapkan Proper use factor (PUF) tergantung pada jenis ternak yang

digembalakan, spesies hijauan, dan kondisi tanah padang penggembalaan. Penggunaan padang penggembalaan ringan, sedang, dan berat nilai PUFnya masing-masing 25-30%, 40-45%, dan 60-70%. Menaksir kebutuhan luas tanah

per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan dan pada penelitian ini diperhitungkan sebesar 10% dari berat badan ternak. Menaksir

kebutuhan luas tanah per tahun didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu padang penggembalaan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali (periode istirahat) dan siap untuk digembalakan lagi.

Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari.

Taksiran kebutuhan kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin, yaitu : (Y-1) s = r, dimana : Y = angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per tahun terhadap kebutuhan per bulan, s = periode merumput, dan r

= periode istirahat. Angka konversi luas tanah yang dibutuhkan dari per bulan menjadi per tahun sebesar 3,3 ((Y-1) s = r ; r = 70 hari, dan s = 30 hari).

Pengukuran kapasitas tampung sapi dengan dasar kebutuhan pakan untuk ternak sapi dewasa per hari adalah 3,1 kg bahan kering atau 10% dari berat badannya (Reksohadiprodjo, 1985).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Botani

Hasil penelitian menunjukkan bahwa padang penggembalaan alam

memiliki variasi jenis hijauan (vegetasi) sangat tinggi. Jenis-jenis hijauan yang tercatat pada tiga ranking terbanyak untuk dua lokasi penelitian disajikan pada

Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada dua lokasi kampung Inam

NO Nama hijauan/Spesies Kel. Wanimeri

(%)

Kel.

Bitawi

(%)

Keterangan

1 Bothriochloa ischaemum 14,29 R

2 Kyllinga brevifolia (teki) 38,93 R

3 Ischaemum indicum 24,64 R

4 Cyperus rotundus (teki) 4,28 R

5 Hyparrhenia hirta 14,29 R

6 Scirpus grossuss (teki) 3,56 R

7 Imperata cylindrica 73,42 R

8 Osmunda regalis (paku) 22,01 BP

9 Mikania cordata 2,28 BP

10 Lycopodium cernuum (paku) 2,28 BP

TOTAL 100,00 100,00

Rumput 100,00 73,42

Hijauan lain - 26,58

Keterangan : Kel. = kelompok; Ket. = keterangan, R = rumput, BP = bukan pakan ternak

Pada lokasi kampung Inam jenis hijauan yang dominan sangat berbeda pada dua lokasi, masing-masing lokasi kelompok Wanimeri adalah tumbuhan teki

Page 83: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 266

(Kyllinga brevifolia) sebesar 38,93% dan 100% termasuk kategori rumput,

sedangkan pada kelompok Bitawi didominasi oleh Imperata cylindrica sebesar 73,42% dengan sebaran 73,42% rumput dan 26,58 bukan pakan ternak.

Tabel 2. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada lokasi kampung Jandurau

No. Nama hijauan/Spesies Persen Ket.

1. Paspalum conjugatum 18,28 R

2. Ischaemum indicum 12,87 R

3. Ipomea batas 0,73 BP

4. Phragmites karka 1,75 R

5. Mikania cordata (bkn pakan) 0,73 BP

6. Cyperus rotundus (teki) 9,36 R

7. Sida rhumbefolia 2,48 BP

8. Imperata cylindrica 20,76 R

9. Osmuda regalis (paku tauge) 11,70 BP

10. Rumput kelinci btg merah 0,73 R

11. Hyparrhenia hirta 9,79 R

12. Amaranthus sp (bayaman-bkn hmt) 1,75 BP

13. Panicum bunga coklat 6,58 R

14. Kyllinga brevifolia (teki) 1,75 R

15. Lycopodium cernuum (paku jari) 0,73 BP

TOTAL 100,00

Rumput 73,42

Hijauan lain 26,58

Keterangan : Ket. = Keterangan, R = Rumput, BP = Bukan pakan ternak Pada lokasi kampung Jandurau tiga jenis hijauan yang dominan, masing-

masing 20,76% Imperata cylindrica, 18,28% Paspalum conjugatum, 12,87%

Ischaemum indicum dan tidak ditemukan jenis hijauan legum, tetapi hanya jenis rumput dan jenis hijauan lainnya yang tidak termasuk jenis hijauan pakan (tidak

dapat dikonsumsi ternak). Kondisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Setiana (2010) bahwa ternak ruminansia secara alami memanfaatkan tumbuhan untuk kebutuhan hidupnya, terutama jenis tumbuhan berasal dari famili Gramineae atau

Poacea atau rumputan. Menurut Kristianto dan Nappu (2004), sistem pemeliharaan sapi potong di tingkat petani juga masih kurang optimal, oleh

karena ternak sapi pada siang hari diikat di padang penggembalaan alam dengan kualitas hijauan yang masih rendah, karena komposisi hijauan pakan ternak didominasi oleh alang-alang dan semak belukar. Selanjutnya dikemukakan

bahwa hijauan pakan ternak lokal yang tidak bernilai gizi tinggi merupakan penyebab utama rendahnya produks i sapi.

Potensi Produksi Hijauan dan Kapasitas Tampung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas tampung padang

penggembalaan alam di dataran Kebar cukup rendah yaitu berkisar antara 0,48-1,70 UT/ha/thn. Potensi produksi hijauan dan kapasitas tampung padang

penggembalaan menurut lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.

Page 84: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 267

Tabel 3. Potensi produksi hijauan dan estimasi kapasitas tampung

a. Padang Penggembalaan Alam

Variabel Pengamatan/Uraian

KAMPUNG INAM KAMPUNG JANDURAU

Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam

Produksi hijauan , kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478

Produksi hijauan , kg/ha, *10.000 9550 17510 10540 4780

Produksi hijauan tersedia, kg/ha,

*25% (rendah) 2387,5 4377,5 2635 1195

KT (carrying capacity), UT/ha/thn 0,9646 1,7687 1,0646 0,4828

b. Kebun Rumput Raja

Variabel Pengamatan/Uraian HASIL

Produksi hijauan, kg/rumpun 4,2

Produksi hijauan (PH), kg/ha 67.200,00

Produksi hijauan tersedia, kg/ha

Musim hujan, 100%, (5/2)(1*PH) 168.000,00

Musim kemarau, 60%, (7/3)(0,6*PH) 94.080,00

Jumlah (kg/ha/thn) 262.080,00

Berat 1 unit ternak (UT) sapi , kg 250

Kebutuhan pakan (10% BB), kg/hari 25

Kebutuhan pakan per tahun (365

hari), 25 kg*365 9.125

Kapasitas tampung, UT/ha/thn 28,72

c. Total kapasitas tampung

(UT/ha/thn) 29,68 30,49 29,78 29,20

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa produktivitas padang penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk mendukung rencana

pengembangan ternak sapi potong (sapi bali). Kapasitas tampung padang penggembalaan alam sangat rendah yaitu berkisar antara 0,48-1,70 UT/ha/thn atau setinggi-tingginya dapat menampung 2 unit ternak (2 ekor sapi betina dewasa atau

1 UT setara satu ekor sapi betina dewasa dengan berat badan 250 kg). Diperlukan upaya-upaya perbaikan padang penggembalaan alam dan

peningkatan kapasitas tampung. Salah satu upaya alternatif yaitu membangun kebun hijauan pakan ternak. Jika dalam luasan 1 ha ditanami rumput raja dengan jarak tanam 100 cm × 60 cm, untuk jangka waktu satu tahun dapat mencapai

kapasitas tampung sekitar 28,72 UT/ha/thn atau setara 28,72 atau 29 ekor sapi

dewasa (lihat Tabel 3). Untuk mendukung peningkatan produksi sapi potong dan usaha untuk mencapai program swasembada daging sapi, maka diperlukan perbaikan tatalaksana pemeliharaan sapi di tingkat petani secara tepat (Kristianto

dan Nappu, 2004)

Komposisi Kimia Padang Penggembalaan Alam

Hasil analisis komposisi kimia nutrien hijauan pakan di lokasi penelitian, masing-masing bahan kering (BK), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat

kasar (SK), dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) disajikan pada Tabel 4.

Page 85: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 268

Tabel 4. Komposisi kimia hijauan pakan di padang penggembalaan alam Kebar

No Komponen Komposisi Kisaran

1. Air (%) 9,74 8,25 – 10,75 2. BK (%) 90,26 89,26 – 91,75

3. PK (%) 3,99 3,54 – 4,42 4. LK (%) 2,37 1,98 – 2,81

5. SK (%) 40,87 37,37 – 46,63 6. BETN (%) 44,75 42,20 – 49,21 7. Abu (%) 8,02 5,27 – 10,57

Ca (%) 0,0874 0,0357 – 0,1162 P (%) 0,0809 0,0651 – 0,0993

8. GE (Kal/g) 4391,63 4092,55 – 4747,86 Keterangan :

BK =bahan kering, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK = serat kasar,

BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, Ca = kalsium, P = fosfor, Kalori = gross energy (GE) Rata-rata kandungan PK hijauan pakan pada padang penggembalaan alam

sebesar 3,99% termasuk dalam kategori sangat rendah. Hal ini sesuai yang

dikemukakan oleh Siregar (1994) bahwa hijauan dikategorikan pada kualitas rendah bila kandungan protein kasarnya kurang dari 5%, sedang bila kandungan

PK adalah 5-10%, dan tinggi bila PK hijauan adalah lebih besar dari 10%. Rata-rata kandungan PK padang penggembalaan sebesar 3,99% (Tabel 1)

disebabkan karena komposisi botani hijauan sebagian besar adalah jenis rumput,

sebagian kecil hijauan bukan pakan, dan tanpa leguminosa. Kondisi padang penggembalaan ini akan berdampak pada rendahnya produktivitas ternak karena

kebutuhan minimal PK bagi ternak ruminansia sebesar 8% tidak terpenuhi. Produktivitas dan kualitas padang penggembalaan di kampung Inam dan

Jandurau perlu ditingkatkan dengan introduksi hijauan pakan jenis rumput dan

leguminosa yang sesuai kondisi setempat atau sesuai dengan jenis tanah dan kondisi iklim.

KESIMPULAN

Hijauan pakan yang mendominasi padang penggembalaan alam Kebar adalah jenis rumput dengan kapasitas tampung sangat rendah yaitu 2 UT/ha/tahun.

Produktivitas padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat ditingkatkan dengan introduksi spesies yang cocok dan potensi produksi tinggi dan/atau perlu dilakukan program pemberian pakan tambahan (dasar hijauan pakan).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Proyek: DP2M

Ditjen Dikti, Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Nomor Kontrak:

244/SP2H/PL/Dit.Litabmas/ III/2012.

Page 86: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 269

DAFTAR PUSTAKA

Djagra, I.B., I.G.N.R. Haryana, I.G.M. Putra, I.B. Mantra, A.A. Oka., 2002. Ukuran Standar Tubuh Sapi Bali Bibit. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan Fakultas Peternakan Universitas

Udayana, Denpasar. Jan, R., 2000. Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan

Pengembangan Sapi Bali di Daerah Tingkat I Bali. Tesis PPS-UGM, Yogyakarta.

Kristanto, L.K dan M. B. Nappu. 2004. Prospek Pengembangan Sapi Potong

Melalui Pola Pengembangan Kolektif Dalam Upaya Swasembada Daging Sapi di Kalimantan Timur. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Samarinda

Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak. BPFE. Yogyakarta.

Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Cetakan Pertama. Swadaya,

Jakarta. Subagio, I dan Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan, NUFIC. Universitas

Brawijaya Malang. Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono, 2011. Breeding Programme

Development of Bali Cattle at Bali Breeding Centre. Journal of Animal

Production. 13, 1: 45-51. Susetyo, S, 1980. Pengelolaan dan Potensi Hijauan Makanan Terak untuk

Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner and D. Lindsay, 2002.

Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing

Breeding Programs in Indonesia. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.

Lampiran 1. Estimasi produksi hijauan rumput raja tahunan

Penanaman rumput Raja : 100 cm x 60 cm

Populasi 1 ha = (10.000 m2)/ (1 m x 0,6 m) = 16.666 rumpun; dalam hitungan dibulatkan 16.000 rumpun

Untuk kondisi umum, 1 rumpun menghasilkan 7 (tujuh) kg hijauan segar Khusus Kebar, diperhitungkan hanya 60% sehingga produksi hijauan segar

yang dihasilkan sebanyak 4,2 kg Jadi produksi per ha = 4,2 kg * 16.000 rumpun = 67.200 kg/ha

Estimasi Produksi Hijauan setahun Masa pertumbuhan dan produksi hijauan

Kemarau = 3 bulan Hujan = 2 bulan

Jika data Klimatologi tahun 2010 : di Manokwari Bulan Hujan = Nov, Des, Jan, Feb, dan Mart (5 bulan)

Page 87: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 270

Bulan Panas = April, Mei, Jun, Jul, Agust, Sep dan Okto (7 bulan)

Hitungan : Hujan = (5 bulan / 2 bulan) x produksi hijauan

Kemarau = (7 bulan / 3 bulan) x produksi hijauan Estimasi produksi rumput raja =

Lampiran 2. Estimasi kapasitas tampung padangan di kampung Inam dan

Jandurau, Kebar, Manokwari

a. Padang Penggembalaan

Alam

Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan KAMPUNG INAM KAMPUNG JANDURAU

Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam

Produksi hijauan kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478

Produksi hijauan kg/ha * 10.000 9550 17510 10540 4780

Produksi hijauan tersedia

(PHT) kg/ha

* 25%

(rendah) 2387,5 4377,5 2635 1195

Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) 250 250 250 250

Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg 25 25 25 25

Kebutuhan pakan (30 hari) kg/bulan 25 kg * 30

hari 750 750 750 750

Kebutuhan luas lahan per bulan (LLB)

Ha/bulan

750/PHT * 1 ha

0,3141 0,1713 0,2846 0,6276

Kebutuhan luas lahan per tahun

(LLT)

Ha/UT/t

h 3,3 * LLB 1,0366 0,5654 0,9393 2,0711

KT (carrying capacity) UT/ha/t

h 1/LLT 0,9646 1,7687 1,0646 0,4828

b. Kebun Rumput Raja

Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan HASIL

Produksi hijauan

kg/rump

un 4,2

Produksi hijauan kg/ha * 16.000 67200,00

Produksi hijauan tersedia kg/ha

Musim hujan 100%

(5/2)(1*Prod

Hij) 168000,00

Musim kemarau 60%

(7/3)(Prod Hij*0,6)

94080,00

Jumlah

(kg/ha/thn) 262080,00

Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) 250

Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg 25

Kebutuhan pakan per tahun

(365 hari)

kg/ha/U

T

25 kg * 365

hari 9125

Kebutuhan luas lahan per bulan UT/ha/ta 262080/9125 28,72

Estimasi Produksi Hijauan Produksi Hijauan TOTAL

Rata-Rata (kg/ha) Rata-Rata (kg/ha) PRODUKSI

HUJAN

(100%)

PANAS

(60%) HUJAN KEMARAU (kg/ha/thn)

67.200,00

40.320,00

168.000,00

94.080,00 262.080,00

Page 88: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 271

hun

c. Total kapasitas tampung

29,68 30,49 29,78 29,20

PERTUMBUHAN GENERATIF ALFALFA (Medicago sativa L)

MUTAN TROPIS, RESPON TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT

(HASIL MUTASI INDUKSI EMS)

Widyati-Slamet. Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan manajemen pemupukan fosfat untuk pertumbuhan generatif alfalfa yang ditanam pada ketinggian tempat

tertentu. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), terdiri dari 5 perlakuan (0, 50, 100, 150, 200 kg P2O5/ha) dan 4 kelompok ulangan. Variabel

yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemupukan fosfat tidak berpengaruh terhadap

jumlah tanaman yang berbunga dan berpolong pada umur 14 minggu. Pemupukan fosfat tidak nyata meningkatkan persen tanaman alfalfa yang berbunga dan

berpolong, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Alfalfa mutan membutuhkan pemupukan fosfat 122,50 kg P2O5/ha untuk mendapatkan berat per 100 biji yang maksimum.

Kata kunci: alfalfa, pemupukan P, pertumbuhan generatif

ABSTRACT

The research was aimed to obtain management of Phosphat fertilization

for the growth generative of alfalfa at a certain altitude. The research Completely Randomized Block Design with 5 treatments (0, 50, 100, 150, 200kg P2O5 /ha)

and 4 replicated. The variable observed growth generative of alfalfa (number of flowering plants, the number of pods plants and weight per 100 seeds). The result of research showed P fertilization had no effect on the number of flowering plants

and pod plants at the age of 14 weeks. P fertilization did not increase the percent of alfalfa plants were flowering and pods. Fertilizing of mutan alfalfa with 122.50

kg P2O5/ha of P-fertilizer provided the maksimum weight of 100 seeds. Keywords: alfalfa, P fertilization, generative growth

PENDAHULUAN

Alfalfa (Medicago sativa L. ) dikenal sebagai “Queen of Forages", palatabel dan bergizi, kaya protein, vitamin dan mineral (Orloff, 1997), dapat dipakai sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak karena

mempunyai serat kasar dan protein kasar yang tinggi. Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate (Hoy et al., 2002) dan

merupakan tanaman hari panjang. Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan

kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative

Page 89: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 272

Extension Service, 1998).

Kelebihan tanaman alfalfa dapat hidup 3 hingga 12 tahun, tergantung varietas dan iklim di mana tanaman itu hidup. Tingginya dapat mencapai satu

meter, memiliki akar yang sangat panjang hingga mencapai 4,5 meter. Keunggulan itulah yang menyebabkan alfalfa mampu bertahan hidup, sekalipun saat terjadi kekeringan.

Alfalfa adalah tanaman tahunan berupa herba berakar dalam, bercabang dan membentuk rhizom, mempunyai batang mendatar, menanjak sampai tegak,

berkayu di bagian dasar, cabang-cabang di bagian dasar dan menanjak setinggi 30-120cm, satu tangkai berdaun tiga (trifoliat), panjang daun 5-15mm, berbulu pada permukaan bawah, tangkai daun berbulu, bunga berbentuk tandan yang rapat

berisi 10-35 bunga, mahkota berwarna ungu atau biru jarang yang berwarna putih (Mannetje dan Jones, 2000). Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa tersaji

pada Ilustrasi 1. Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah

temperate (Hoy et al., 2002). Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari

dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan

kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Karakteristik Alfalfa di daerah temperate antara lain: kapasitas produksi tinggi (40-150 ton bahan segar/ha/th), kualitas hijauan tinggi

(PK 18-24%), nilai kemampuan tumbuh tinggi yang dipengaruhi tekanan musim dan resistensi terhadap penyakit daun dan tunas serta penyakit akar, kecepatan

tumbuh setelah pemotongan, penghasil biji yang baik (Smith et al., 1986). Alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan merupakan hasil perbaikan dari alfalfa subtropis yang dilakukan para ahli pertanian di Taiwan, dapat beradaptasi dan tumbuh baik

di daerah tropis di Propinsi Taiwan sebagai penghasil hijauan. Perbaikan alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan telah dilakukan agar dapat beradaptasi secara

alami sebagai penghasil biji. Alfalfa di Indonesia belum menghasilkan biji. Akibatnya tanaman alfalfa tidak berkembang karena keterbatasan bibit (Sajimin, 2011).

Tanaman Alfalfa

Daun Alfalfa

Bunga Alfalfa

Polong alfalfa

Ilustrasi 1. Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa

Page 90: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 273

Perbaikan tanaman dapat dilakukan antara lain dengan melakukan mutasi

induksi yang dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga benih yang dihasilkan dapat dipakai sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan tanaman yang

dikehendaki. Keragaman yang tinggi merupakan salah satu faktor untuk merakit varietas unggul baru (Hutami et al., 2006).

Unsur fosfat (P) pada dosis tinggi lebih diinginkan legume untuk memacu

pertumbuhan (Mikkelsen, 2004; Liani et al., 2011). Penelitian Yu et al. (2007) menunjukkan bahwa alfalfa sangat sensitif terhadap P tersedia dan terdapat

korelasi positif antara penurunan P tanah tersedia dengan hasil hijauan alfalfa setelah berumur 3 tahun. Pemupukan P sampai 100kg P2O5 /ha dan Interval defoliasi yang berbeda tidak mempengaruhi produksi bahan kering (BK), protein

kasar (PK) maupun serat kasar (SK) hijauan alfalfa (Widyati-Slamet et al., 2008). Liani et al. (2011), mendapatkan produksi bahan kering tertinggi dengan

pemupukan TSP dengan dosis 125 mg P2O5/kg tanah.

MATERI DAN METODE

Materi Penelitian yang digunakan biji hasil alfalfa mutan, hasil mutasi

induksi dengan EMS (Ethyl Methyl Sulfanate), kebun percobaan, kompos, pupuk Urea (45%N), SP-36 (36% P2O5 ), KCl (52%K2O), dan insektisida. Penelitian dilaksanakan di kebun di desa Sidomulyo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten

Semarang yang terletak pada ketinggian + 400 m dpl. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) terdiri dari 5

perlakuan dosis fosfat (0, 50, 100, 150 dan 200kg P2O5/ha) dengan 4 kelompok ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100

biji. Data yang diperoleh diolah secara statistik menurut prosedur analisis

ragam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati, apabila terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980) dan Uji Polinomial. Apabila diperoleh pengaruh kuadratik,

dirumuskan dalam persamaan Polinomial Kuadratik y = a + bx + cx2, selanjutnya untuk mendapatkan Titik Puncak (TP) perlakuan pemupukan P optimum

diperoleh dengan rumus; TP = - b , di mana a = intersep, b, c = koefisien regresi linier dan kuadratik.

2 c

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tempat Penelitian

Penelitian untuk produksi biji dilakukan pada lahan di desa Sidomulyo kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang terletak pada ketinggian +

400 m diatas permukaan laut. Hasil analisis tanah lahan penelitian mengandung P potensial 499,39 ppm dengan pH 6,57 Temperatur selama penelitian berkisar

antara 23-35oC dengan kelembaban berkisar antara 31-80%. Masa adaptasi tanaman alfalfa dari persemaian ke lahan + 2 minggu. Hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang menyebabkan curah

hujan tidak terukur. Data yang didapat dari Balai Meteorologi dan Geofisika didapatkan bahwa curah hujan selama bulan September 133 mm (4 hari hujan)

Page 91: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 274

lainnya tidak terukur. Curah hujan bulan Oktober 137 mm (10 hari hujan) lainnya

tidak terukur. Curah hujan bulan Nopember 217 mm (19 hari hujan) lainnya tidak terukur. Pengamatan pada tanaman alfalfa dilakukan selama 16 minggu (Agustus-

Nopember 2011) setelah benih ditanam ke lahan, karena pengaruh cuaca, beberapa tanaman belum berbiji, hal tersebut disebabkan karena Alfalfa tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat.

Pertumbuhan generatif alfalfa

Jumlah Tanaman Berbunga Jumlah tanaman yang berbunga diamati pada umur tanaman 14 minggu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak

berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berbunga. Persen jumlah tanaman yang berbunga pada pemupukan P yang beda tersaji pada

Tabel 1. Tabel 1. Jumlah tanaman yang berbunga (14 mg) pada Pemupukan P yang

Berbeda

========================================================== Perlakuan

Pemupukan P

Jumlah tanaman yang berbunga

Ulangan Rerata

1 2 3 4

--------------------------- %/petak ------------------------------ P1 (0kg P2O5/ha) 31,25 56,25 37,5 93,75 54,69 P2 (50kg P2O5/ha) 43,75 31,25 68,75 18,75 40,63

P3 (100kg P2O5/ha) 43,75 81,25 37,50 87,50 62,50 P4 (150kg P2O5/ha) 81,25 81,25 56,25 43,75 65,63

P5 (200kg P2O5/ha) 81,25 81,25 87,25 62,5 78,06 Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Pemupukan P tidak mempengaruhi jumlah tanaman yang berbunga. Hasil

analisis tanah menunjukkan bahwa P2O5 total 323,43 ppm melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm) (Hardjowigeno, 1987), tetapi P yang ada pada

tanah bukan P tersedia, sehingga pemupukan P dengan berbagai level belum mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa. Alfalfa sangat sensitif dengan P tersedia (Yu et al., 2007), sehingga jika kandungan P pada media tanam cukup

tinggi, pemberian P tidak efektif. Kemungkinan P yang ada pada media tanam dalam bentuk mineral yang kompleks, biasanya sangat lambat tersedia dan sulit

diserap oleh tanaman (Agustina, 2004). Unsur P pada dosis tinggi lebih diinginkan legume untuk memacu pertumbuhan (Mikkelsen, 2004). Alfalfa pada umur 10 minggu setelah tanam sudah memasuki akhir fase vegetatif, karena

beberapa tanaman dalam petak sudah mulai berkuncup dan tinggi tanaman lebih dari 30 cm. Fase reproduktif alfalfa dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap

terakhir vegetatif dengan ditandai belum terdapat kuncup bunga dengan tinggi tanaman lebih dari 30 cm, tahap kuncup bunga, tahap berbunga pertama, berbunga semuanya dan pembungaan terakhir (Bagg, 2003).

Tanah lokasi penelitian pada waktu hujan tergenang air tetapi pada waktu kering tanahnya padat sehingga aerasi kurang baik. Aerasi yang kurang baik

penyerapan P dan unsur-unsur lain nya akan terganggu. Selama penelitian hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang

Page 92: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 275

menyebabkan curah hujan tidak terukur. Hujan yang turun hampir sepanjang

penelitian menyebabkan tanaman bagian bawah busuk karena tergenang air. Kisaran ph 4-9 secara normal. Kelarutan P paling tinggi pada pH yang rendah,

tetapi pada kenyataannya seringkali ion ini tidak banyak tersedia dalam larutan tanah, karena adanya ion Fe, Al atau Ca yang bereaksi dengan ion orthofosfat menjadi bentuk tambahan yang tidak tersedia dan sebagian besar fosfor yang

mudah larut diambil mikroorganisme tanah untuk pertumbuhannya yang diubah menjadi humus (Agustina, 2004). Fungsi P dalam tanaman antara lain adalah

mempercepat pembungaan. Jumlah Tanaman yang berpolong

Jumlah tanaman yang berpolong diamati pada umur tanaman 14 minggu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak

berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berpolong. Persen jumlah tanaman yang berpolong tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah tanaman yang berpolong (14 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda

========================================================== Perlakuan Pemupukan

Fosfat

Jumlah tanaman yang berpolong

Ulangan Rerata

1 2 3 4

--------------------------- %/petak ----------------------------

P1 (0kg P2O5/ha) 12.50 31,25 12,50 37,50 23,44 P2 (50kg P2O5/ha) 25,50 18,75 37,50 6,25 21,88 P3 (100kg P2O5/ha) 37,50 68,70 25,00 62,25 48,36

P4 (150kg P2O5/ha) 56,25 68,75 6,25 6,25 34,38 P5 (200kg P2O5/ha) 37,5 37,5 12,50 50.00 34,38

Fosfat (P) cukup penting untuk produksi biji yang memuaskan. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan puncak yg cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan

meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan memperpanjang periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan

pertumbuhan vegetatif dan hasil biji lebih rendah. Saat bunga sudah mulai mekar hujan turun sepanjang hari sehingga banyak bunga yang rontok dan daun alfalfa membusuk karena kelembaban cukup tinggi 75-85. Pertumbuhan alfalfa

membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5

atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998).

Waktu yang ideal alfalfa berbunga untuk produksi biji yang tinggi adalah

pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, yang terus sampai biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station

and Cooperative Extension Service, 1998). Kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi menyebabkan pada saat berbunga musim kemarau sudah berakhir dan hujan pada akhir bulan Nopember turun sepanjang hari walaupun curah hujan

masih rendah.

Page 93: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 276

Alfalfa berbunga kira-kira 7 minggu tiap periode, jika terjadi penyerbukan,

menghasilkan polong biji dan masak 3 sampai 5 minggu. Pada kondisi yang bagus tiap polong mengandung 3 sampai 5 biji. Dibawah kondisi tekanan

serangga yang tinggi, beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009).

Berat per 100 biji Bulan Nopember curah hujan merata sepanjang hari sehingga polong yang

telah terbentuk tidak mengandung biji. Beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup, hal tersebut disebabkan tanaman di bawah kondisi tekanan serangga yang tinggi (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009). Alfalfa

tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan

puncak yang cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan menunda periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif

dan hasil biji lebih rendah. Waktu alfalfa berbunga yang ideal untuk produksi biji yang tinggi adalah pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira

3 minggu, dan biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda

berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap berat per 100 biji alfalfa. Berat per 100 biji alfalfa pada pemupukan P yang berbeda tersaji pada Tabel 3.

Hasil uji Duncan menunjukkan berat per 100 biji pada pemupukan P dosis 50 kg P2O5/Ha lebih tinggi dari semua perlakuan pemupukan. Pemupukan sampai 50 kg P2O5/Ha meningkatkan berat per 100 biji pada alfalfa mutan kemudian

menurun pada perlakuan 100, 150, dan 200 kg P2O5/Ha.

Tabel 3. Berat per 100 biji (16 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda ========================================================== Perlakuan

Pemupukan Fosfat

Berat per 100 biji

Ulangan Rerata

1 2 3 4

-------------------------------- g --------------------------------- P1 (0kg P2O5/ha) 0,5580 0,5520 0,6920 0,9460 O,6945b P2 (50kg P2O5/ha) 1,3520 1,4100 1,3120 1,3100 1,3460a

P3 (100kg P2O5/ha) 0,8940 0,8460 0,7640 1,3720 0,9690b P4 (150kg P2O5/ha) 0,7920 0,9860 1,1060 0,7520 0,9090b

P5 (200kg P2O5/ha) 1,3900 0,9240 0,8500 0,8700 1,0085b *Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Hasil uji lanjut menunjukkan besarnya nilai koefisien regresi pada

persamaan alfalfa mutan Y = 0,8348 + 0,0049 X - 0,00002 X2 (R2 = 0,13) yang mempunyai titik puncak 122,50 kg P2O5/Ha. Pemupukan alfalfa mutan 122,50 kg

P2O5/Ha memberikan berat per 100 biji yang optimum walaupun hanya dipengaruhi 13% oleh pemupukan P, Hal tersebut disebabkan kandungan P pada media tanam (499,39 ppm) melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm)

(Hardjowigeno, 1987), sehingga pemupukan P dengan berbagai level tidak akan

Page 94: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 277

mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa secara nyata.

Perubahan asam amino pada rantai DNA akan mempengaruhi metabolisme tanaman. disebabkan alfalfa mutan mengandung asam amino yang

kaya AT dan GC, sehingga beberapa asam amino berubah karena komposisi nya berubah (Yuwono, 2006). Perubahan asam amino akan mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Proses metabolisme tanaman akan mempengaruhi produksi

tanaman (biji). Pemakaian mutagen EMS dengan konsentrasi yang tepat menunjukkan mutasi yang positif (Chopde, 2006). Mutasi dengan EMS akan

menunjukkan peningkatan perubahan genetik (Jabeen dan Mirza, 2002). Perubahan genetik pada organisme yang tercermin dari perubahan ekspresinya mungkin dapat mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu.

Berdasarkan variabel genetik, alfalfa memiliki kemampuan beradaptasi yang baik untuk kondisi lingkungan yang berbeda (Radovic et al., 2009).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan yang dapat diambil adalah, bahwa pada kondisi tempat penelitian, tanaman alfalfa mutan kurang responsif terhadap pemupukan P.

Pemupukan P tidak meningkatkan persen tanaman berbunga dan berpolong alfalfa mutan, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Pemupukan 122,50 kg P2O5/ha cukup memberikan berat per 100 biji yang maksimum.

Dapat disarankan bahwa, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa mutan ini untuk produksi biji pada

kondisi yang lebih mendukung.

DAFTAR PUSTAKA

Agriculture Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998. Alfalfa

Production Handbook. Kansas State University, Manhattan, Kansas. Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta,

Jakarta.

Bagg, J. 2003. Cutting Management of Alfalfa. Government of Ontario. Ontaria Hoy. D. M,., K. J. Mooere, J. R. George and E. C. Brummer. 2002. Alfalfa Yield

and Quality as Influenced by Establishment Method. Agron J. 94: 65-71. Hutami, S., I. Mariska dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan Keragaman Genetik

Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. J. AgroBiogen 2(2):81-88.

Liani, Y., H. H. Qing, Sumarsono, D.W. Widjajanto and J. Guanjie. 2011. Phosphate rock application on alfalfa (Medicago sativa L) production and

macronutrient in latosol soil. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 36 (4) : 290-296.

Mannetje, L dan R.M. Jones. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. PT.

Balai Pustaka, Bogor. Mikkelsen, R. 2004. Managing phosphorus for maximum alfalfa yield and quality.

Dalam: Proccedings National Alfalfa Symposium, San Diego 13-15 December 2004. CA, CU Cooperative Extension, University of California, Davis. Pp 617-622.

Oklahoma Cooperative Extension Service. 2009. Alfalfa Production Guide for the Southern Great Plains. Division of Agricultural Sciences and Natural

Page 95: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 278

Resources. Oklahoma State University, Stillwater, Oklahoma.

Sajimin. 2011. Medicago sativa L (alfalfa) sebagai tanaman pakan ternak harapan di Indonesia. Wartazoa vol 21(2):91-98.

Smith D, Raymond J.B and Richard P W. 1986. Forage Management. 5th Edition. Kendall/Hunt. Publishing Company. Dubuque. Iowa.

Steel, R.G.D and J.H Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistics. Mc.

GrawHill Book Company, Inc. New York. Widyati-Slamet, F. Kusmiyati dan E.D. Purbayanti. 2008. Produksi Alfalfa

(Medicago sativa). dengan Pemupukan Fosfat dan Interval Defoliasi yang Berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 33 (2 ): 158-163.

Yuwono, T.W. 2008. Bioteknologi Pertanian. Cetakan kedua. Gadjah Mada

University Press. Yogjakarta Yu Jia, Xu Bingcheng, Li Fengmin and Wang Xiaoling. 2007. Availability and

Contributions of soil phosphorus to forage production of seeded alfalfa in semiarid Loess Plateau. Acta Ecologica Sinica. 2007, 27(1): 42-47.

Page 96: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 279

UJI PENGAWETAN TERHADAP DAYA SIMPAN BAHAN TANAM

STEK RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Schummach)

M. Agus Setiana

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor

Hp. 0811111835

email: [email protected]

ABSTRAK

Pendistribusian bahan tanam stek masih menjadi kendala karena sifatnya

yang mudah rusak akibat faktor luar seperti mikroba dan fungi. Metode penyimpanan stek yang baik diperlukan agar stek memiliki daya simpan yang

lebih lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahan dan alat yang dapat memperpanjang umur stek dan menentukan lama masa simpan yang terbaik untuk bahan tanam stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach).

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan ulangan 5 kali. Faktor A adalah perlakuan

pengawetan berupa 4 jenis bahan atau alat pengawet yaitu cairan gula 2%, cairan lilin, silica gel dan refrigerator (4°C) dan faktor B adalah 5 tingkat lama penyimpanan 3, 6, 9, 12 dan 15 hari. Bahan yang digunakan adalah stek rumput

gajah (Pennisetum purpureum Schummach) sebanyak 625 batang. Peubah yang diukur adalah keadaan umum stek, penyusutan bobot, awal pertumbuhan setelah

tanam, daya tumbuh, dan tinggi vertikal. Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi nyata (P<0,05) terhadap

penyusutan bobot stek yang berpengaruh nyata antara penggunaan bahan

pengawet dengan lama penyimpanan, interaksi terjadi pada bahan pengawet gula, silica gel, dan kontrol. Interaksi menunjukkan bahwa optimal lama penyimpanan

kurang lebih 13 hari. Lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh, dimana lama penyimpanan 15 hari menunjukkan penurunan daya tumbuh yang signifikan. Lama penyimpanan dan bahan pengawet berpengaruh

nyata (P<0,05) terhadap tinggi vertikal, dimana penyimpanan 15 hari secara signifikan berpengaruh pada tinggi vertikal dan rataan tinggi vertikal tertinggi

pada penggunaan lilin dan gula. Daya simpan stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach) dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahan pengawet gula, silica gel, lilin, dan refrigerator pada suhu 4° C selama 15 hari.

Kata kunci: Pennisetum purpureum Schummach, stek, bahan pengawet, penyimpanan.

ABSTRACT

Elephant grass‟s producers still can not distribute more than a week, because of the damaged of the cutting by external factors such as microbes and

fungi. Therefor it is necessary that both storages methods cuttings that have a longer shelf life. The aim of this study was to determine the materials and tools that can extend the life of old cuttings and det ermine the shelf life is best for

planting material cuttings of elephant grass. Experimental design used was completely randomized design (CRD)

Page 97: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 280

factorial with repeated 5 times. A factor is a preservation treatment is 4 types of

materials or equipment that is preservative 2% liquid sugar, liquid wax, silica gel, an refrigerator (4°C) and factor B are 5 levels of storage time of 3, 6, 9, 12, and 15

days. The materials used are cutting grass counted 625 pieces. The variables measured were the general state of cuttings, weight decrease, and early growth after planting, growing power, and vertical height.

Results showed that the real interaction (P<0.05) the weight decrease significant cuttings between the used of preservatives with storage time, the

interaction occurs in sugar preservatives, silica gel and control. The teraction showed a point of intersection between the sugar, silica gel and control over storage time chart at approximately 13 days. Intersection indicates that the

maximum points of planting cuttings storage materials are given preservative sugar, silica gel, and control is about 13 days. Storage time significantly (P<0,05)

the ability of grow, where teh storage time of 15 day showed a significant reduction in the growth of storage longer than others. Preservative retention and significantly (P<0.05) to the vertical height, where the storage time of 15 day

showed higher average vertical drop significantly and the average height of the highest vertical is when using wax and sugar preservatives. The shelf life cuttings

of elephant grass (Pennisetum purpureum Schummach) can be improved by using sugar preservatives, silica gel, wax, and refrigerator at 4°C for 15 days storage time and quality is good for 15 days of shelf life that is using a refrigerator at 4°C.

Keyword: Pennisetum purpureum Schummach, cuttings, preservatives, storage

PENDAHULUAN

Kendala yang dihadapi pada saat penyediaan dan penyebaran bahan tanam

stek (vegetatif) adalah sifatnya yang mudah rusak akibat proses fisiologis dan invasi mikroorganisme yang dapat menurunkan kandungan bahan organik. Dalam

distribusi stek yang relatif jauh memerlukan upaya penanganan stek yang tepat untuk mempertahankan kualitas bibit dan mempertahankan daya tumbuh selama penyimpanan. Bahan-bahan dan alat seperti lilin, gula, silica gel dan refrigerator

dapat digunakan sebagai sarana pengawetan. Penggunaan sarana pengawetan tersebut diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan dapat membantu

penyebaran hijauan yang berkualitas tinggi ke daerah yang membutuhkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa teknik

pengawetan untuk dapat mempertahankan umur bahan tanam stek rumput gajah

(Pennisetum purpureum Shummach) selama penyimpanan

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April-Mei 2012, di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor.

Materi

Bahan yang digunakan adalah stek Pennisetum purpureum Schummach

umur 4 bulan, panjang 20-25 cm, sebanyak 625 stek. Stek diambil dari tanaman induk yang seragam dari Laboratorium Lapang Agrostologi. Bahan pengawet

Page 98: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 281

yang digunakan adalah larutan gula 2%, lilin, silica gel, dan pupuk. Alat yang

digunakan yaitu: refrigerator, karung, tali, polybag, dan cangkul.

Metode

Persiapan Stek dan Bahan Penyimpanan Stek 1. Pencelupan lilin

Kedua ujung stek dicelupkan ke dalam lilin yang telah. Setelah itu stek didiamkan hingga lilin memadat, lalu dimasukkan ke dalam karung dan diikat.

2. Pencelupan cairan gula Pencelupan stek pada cairan gula menggunakan konsentrasi 2%. Kedua ujung stek direndam di dalam cairan gula selama 30 menit. Stek ditiriskan lalu

dimasukkan ke dalam karung dan diikat dengan rapat. 3. Penambahan silica gel

Stek ditimbang satu persatu, lalu dimasukkan dalam karung bersama silica gel 30 g dalam kemasan berpori. Kemudian karung tersebut diikat dengan rapat.

4. Penggunaan refrigerator (suhu 4°C)

Refrigerator diatur suhunya menjadi 4ºC. Stek ditimbang dan dimasukkan ke dalam karung lalu diikat dan dimasukkan ke dalam refrigerator.

Penyimpanan

Penyimpanan stek dilakukan pada setiap perlakuan pengawetan dibagi

menjadi 5 yaitu lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari.

Penanaman

Setelah disimpan, stek ditimbang, dan ditanam di polybag yang berisi tanah dan pupuk kandang (10 g/polybag), KCl (2 g/polybag), dan SP36 (2 g/polybag.

Peubah yang diamati

a. Keadaan umum stek Keadaan umum yang diamati adalah perubahan warna, bau, fisik (tumbuhnya cendawan) dan tekstur, pada setiap lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari.

b. Penyusutan bobot stek Stek ditimbang sebelum dan sesudah penyimpanan, dan dihitung selisihnya.

Rumus : selisih bobot stek (g) = bobot stek awal (g) – bobot stek akhir (g). c. Awal pertumbuhan setelah tanam

Diamati dan dicatat munculnya tunas dan daun awal setelah penanaman stek

(setiap 2 hari hingga hari ke-14). d. Daya tumbuh

Pertumbuhan dilihat setelah muncul dua daun pada stek setiap perlakuan. e. Tinggi vertikal

Tinggi vertikal stek diukur 15 Hari setelah Tanam (HST).

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan pengulangan 5 kali, dan setiap ulangan terdiri dari 5 stek. Faktor A adalah perlakuan bahan/alat pengawet dan faktor B adalah lama

penyimpanan.

Page 99: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 282

Faktor A = Perlakuan bahan pengawet

A0 = Penyimpanan tanpa bahan pengawet (kontrol) A1 = Penyimpanan dengan cairan gula

A2 = Penyimpanan dengan cairan lilin A3 = Penyimpanan dengan silika gel A4 = Penyimpanan dengan mesin pendingin (refrigerator)

Faktor B = Lama penyimpanan stek B1 = Stek disimpan selama 3 hari

B2 = Stek disimpan selama 6 hari B3 = Stek disimpan selama 9 hari B4 = Stek disimpan selama 12 hari

B5 = Stek disimpan selama 15 hari

Model matematis yang digunakan pada penelitian ini yaitu: Yijk = µ + ai + bj + (ab)ij + eijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan untuk perlakuan bahan pengawet (A0,…,A5) ke-i perlakuan lama penyimpanan (B1,…,B5) ke-j dan ulangan k

µ = rataan umum ai = pengaruh perlakuan A ke-i bj = pengaruh perlakuan B ke-j

(ab)ij = pengaruh interaksi bahan pengawet ke-i dan lama penyimpanan ke-j eijk = galat faktor A ke-i, faktor B ke-j dan ulangan ke-k

Analisa data :

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik

ragam (ANOVA) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan yang dilakukan terhadap bahan tanam stek meliputi keadaan

fisiologis, kualitas, dan daya tumbuh yang disajikan pada Tabel 1. Stek dengan perlakuan menggunakan pengawet lilin sudah mulai mengalami perubahan warna,

bau, dan tekstur pada saat penyimpanan, karena lapisan lilin yang menutupi pori-pori pada stek tersebut rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Pengamatan bagian tekstur tidak terlihat adanya penyusutan meskipun bobotnya turun, hal ini

disebabkan karena penurunan bobot stek tidak terlalu banyak. Pelapisan lilin biasa digunakan pada buah-buahan. Permukaan buah yang dilapisi oleh lilin dapat

mencegah terjadinya penguapan air sehingga dapat memperlambat kelayuan dan menghambat laju respirasi (Suhaidi, 2008).

Pada perlakuan penanmabahan silica gel, terjadi perubahan warna stek

menjadi kuning kecoklatan, tumbuh cendawan dan terjadi penyusutan (keriput). Hal ini diduga karena kurang banyaknya jumlah silica gel yang digunakan

sehingga kurang dapat menyerap air yang dapat menyebabkan kebusukan dan kelembaban sehingga mempermudah tumbuhnya cendawan.

Stek yang disimpan dalam refrigerator dengan suhu 4°C warna, bau dan

tekstur stek masih tetap terjaga sama sebelum stek mendapatkan perlakuan. Pada penyimpanan dalam refrigerator aktivitas mikroba terhambat, sehingga tidak

Page 100: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 283

merusak stek. Menurut Thalib dan Widiawati (2010), penyimpanan pada suhu

dingin menyebabkan aktivitas mikroba akan semakin melemah.

Tabel 1. Perubahan Warna, Bau, Fisik (Cendawan), dan Tekstur Stek Selama Penyimpanan

Perlakuan Lama penyimpanan (hari)

3 6 9 12 15

Kontrol

Warna - + + + + + + + + + +

Bau - + + + + + + + + + +

Fisik (cendawan) + + + + + + + + + + +

Tekstur (keriput) - + + + + + + + + + +

Lilin

Warna - + + + + + + + +

Bau - - + + + + + +

Fisik (cendawan) + + + + + + + + +

Tekstur (keriput) - - - - -

Silica gel

Warna - + + + + + + + +

Bau - + + + + + + + + + +

Fisik (cendawan) + + + + + + + + + + + + +

Tekstur (keriput) - - + + + + + + + +

Refrigerator

Warna - - - - -

Bau - - - - -

Fisik (cendawan) - - - - -

Tekstur (keriput) - - - - -

Gula

Warna - + + + + + + + + + +

Bau - - + + + + + +

Fisik (cendawan) + + + + + + + + + + +

Tekstur (keriput) - - + + + + + + + +

Keterangan : Tanda (-) : belum ada perubahan, (+) : sudah terjadi perubahan dan semakin banyak

tanda (+) maka perubahan yang terjadi semakin meningkat.

Pada perlakukan dengan bahan pengawet gula, stek mengalami perubahan warna, bau, fisik (tumbuh cendawan), dan tekstur (keriput), yang disebabkan oleh

mikroorganisme yang menjadikan gula sebagai sumber nutrisinya. Menurut Suwijah (2011), pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan karbon dan

nitrogen, dimana kebutuhan akan karbon dapat diperoleh dalam bentuk karbohidrat sederhana, misalnya adalah sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lain.

Penyusutan Bobot Stek

Data pada Tabel 2 menunjukkan adanya interaksi yang nyata (P<0,05)

terhadap perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan pengawet. Interaksi terjadi antara kontrol, gula dan silica gel, (Gambar 1), yang

Page 101: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 284

menunjukkan adanya titik perpotongan antara kontrol, gula dan silica gel pada

lama hari penyimpanan optimum (kurang lebih 13 hari).

Tabel 2. Rataan Penyusutan Bobot Stek (g) Selama Penyimpanan

Bahan Pengawet

Lama penyimpanan (hari)

3 6 9 12 15

Kontrol 2,76±2,18c 4,24±0,99c 6,04±1,34b 6,36±0,95b 8,68±1,91a

Lilin 1,32±0,27d 3,56±0,50c 4,84±1,35c 4,32±0,46c 6,16±1,19b

Silica gel 2,28±0,52c 4,40±0,58c 6,72±1,91b 5,48±0,94c 9,56±2,58a

Refrigerat 0,84±0,55d 1,48±0,44d 2,80±0,98c 2,20±0,62d 2,76±1,32c

Gula 2,12±0,81c 5,48±1,97c 7,24±2,70b 6,24±1,51b 7,76±1,77a Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris menunjukkan interaksi yang berpengaruh nyata

pada (P<0,05) antara perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan

pengawet terhadap penyusutan bobot stek

Gambar 1. Grafik Interaksi Penyusutan Bobot Stek

Rataan penyusutan bobot stek pada setiap perlakuan yang disimpan di dalam refrigerator lebih rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lain. Hal ini disebabkan karena aktivitas hormon terhambat selama penyimpanan

dengan suhu dingin (4°C), sehingga laju respirasi menurun. Menurut Yunarti (2008), aktivitas tumbuh hormon semakin menurun sehingga bobot pada saat

sebelum dan sesudah penyimpanan tidak berbeda jauh. Stek yang paling banyak mengalami penyusutan bobot adalah peyimpanan

dengan menggunakan pengawet gula dan silica gel. Beberapa stek ditumbuhi

cendawan sehingga cadangan makanan dalam stek berkurang dan bobot stek menurun. Penyusutan bobot stek perlakuan gula dan silica gel masih lebih baik

dibandingkan dengan kontrol. Awal Pertumbuhan Setelah Tanam

Stek dengan perlakuan menggunakan bahan pengawet gula, silica gel, lilin sudah mulai tumbuh tunas 2 hari setelah penanaman. Perlakuan dengan

menggunakan bahan pengawet lilin yang disimpan selama 12 dan 15 hari, sebagian sudah mulai tumbuh tunas sebelum ditanam (Tabel 3).

Penyimpanan stek di dalam refrigerator memiliki pertumbuhan awal yang

relatif lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan yang lain, karena aktivitas hormon pertumbuhan dalam stek terhambat pada suhu dingin, maka

membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan suhu normal, Menurut Salisbury dan Ross (1992b), umumnya pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5

Kontrol

Lilin

Silica Gel

Refrigerator

Gula

Page 102: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 285

suhu, saat tanaman berada pada suhu optimum maka tanaman tersebut dapat

tumbuh dengan baik, tetapi pada saat tanaman berada pada suhu di bawah suhu minimun maka laju pertumbuhannya tidak baik.

Tabel 3. Awal Pertumbuhan Bahan Tanam Stek Setelah Tanam

Bahan

Pengawet

Awal pertumbuhan setelah tanam (hari)

2 4 6 8 10 12 14

Kontrol + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Lilin + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Silica gel + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Refrigerat - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Gula + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Keterangan : (-):belum ada pertubuhan, (+) : sudah terjadi pertumbuhan tunas dan semakin banyak

tanda (+) maka pertumbuhan yang terjadi semakin meningkat.

Pada perlakuan silica gel, pertumbuhan paling lambat terjadi pada

penyimpanan 12 dan 15 hari akibat kontaminasi mikroorganisme yang mengambil cadangan makanan dalam stek. Hartman et al. (1997), menyatakan bahwa serangan cendawan pada stek dapat langsung menurunkan daya tumbuh dan

kemampuan stek untuk bertahan hidup sehingga stek mengalami kematian. Menurut Edi (2001), kecepatan tumbuh stek yang semakin menurun dikarenakan

cadangan karbohidrat yang diperlukan untuk energi oleh stek saat pertumbuhan tunas semakin berkurang, baik akibat respirasi ataupun fermentasi yang dilakukan oleh stek untuk mempertahankan jaringan maupun fermentasi yang dilakukan

oleh bakteri atau cendawan yang terdapat pada stek. Stek dengan pengawet gula sudah terlihat pertumbuhan tunas 2 hari setelah

tanam dan tumbuh dua daun sempurna pada hari ke 6. Cadangan makanan yang dibutuhkan selama penyimpanan masih tersedia, sehingga stek lebih cepat tumbuh. Napitupulu (2006) menyatakan bahwa cadangan makanan yang cukup

mampu memenuhi nutrisi bahan stek agar tetap bertahan hidup dimana bahan stek masih terlihat segar dan tahan terhadap penyakit.

Daya Tumbuh Stek

Stek yang diawetkan dengan lilin mulai tumbuh kuncup daun 2 hari setelah

penanaman, karena lapisan lilin menghambat kontaminasi mikroorganisme. Stek yang tidak tumbuh, lebih sedikit pada penggunaan pengawet gula dibandingkan dengan menggunakan lilin, silica gel, dan refrigerator. Cadangan makanan stek

masih tersedia sehingga daya tumbuhnya cepat. Penyimpanan dalam refrigerator, tunas tumbuh setelah 4 hari penanaman dan daya tumbuhnya lebih lambat

dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Stek membutuhkan waktu sesuai suhu optimal untuk pertumbuhannya. Pengamatan pada keseluruhan perlakuan pada 2 minggu setelah penanaman, semua stek sudah tumbuh dengan sempurna,

Pada Tabel 4, pengawetan dan lama penyimpanan tidak memiliki interaksi yang nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh stek. Lama simpan berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap daya tumbuh stek (3, 6, 9, 12 dan 15 hari). Penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari menghasilkan daya tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan 15 hari, karena terjadinya penurunan cadangan makanan dalam stek

yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Saputri (2012), menyatakan

Page 103: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 286

bahwa penyimpanan selama 3 hari tidak menimbulkan kerusakan yang berarti

sehingga daya tumbuh masih tinggi. Penyimpanan pada suhu 4°C, daya tumbuh stek setelah 15 hari adalah

paling baik dibanding pengawetan lainnya. Pertumbuhan tunas yang cepat pada 4 hari setelah tanam dan hari ke 15 sudah tumbuh dua daun sempurna. Kemampuan tumbuh yang baik setelah disimpan pada suhu 4°C juga disebabkan penyusutan

bobot yang terkecil dibanding perlakuan lainnya. Pada perlakuan silica gel, daya tumbuh relatif lebih kecil akibat banyak ditumbuhi cendawan sehingga cadangan

makanan dalam stek berkurang. Stek dengan perlakuan lilin menunjukkan daya tumbuh yang baik karena rata-rata daya tumbuhnya tidak jauh berbeda dengan perlakuan penyimpanan menggunakan refrigerator, sehingga penggunaan lilin

dapat menjadi alternatif selain penggunaan refrigerator.

Tabel 4. Rataan Daya Tumbuh (%) Stek Berdasarkan Pengawetan dan Lama Bahan

Pengawet

Lama penyimpanan (hari)

3 6 9 12 15 Rata-rata

Kontrol 76± 0,26 100±0,00 96± 0,09 92±0,11 76±0,26 88±0,11

Lilin 100±0,00 96±0,09 92± 0,18 96±0,09 84±0,17 94±0,06

Silica gel 92±0,11 100±0,00 88± 0,11 96±0,09 60±0,32 87±0,16

Refrigerat 100±0,00 96±0,09 84± 0,17 92±0,11 88±0,11 92±0,06

Gula 100±0,00 100±0,00 100±0,00 96±0,09 84±0,09 96±0,07

Rataan 94±0,16A 98±0,07A 92±0,11A 94±0,06A 78±0,04B

Keterangan : superskrip pada baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05)

Tinggi Vertikal

Pengukuran tinggi vertikal dilakukan 15 Hari Setelah Tanam (HST).

Kemudian dihitung rata-rata tinggi vertikal tanaman untuk mengetahui bahan pengawet mana yang memiliki kecepatan tumbuh yang lebih baik.

Tabel 5. Rataan Tinggi Vertikal (cm) pada Stek selama Penyimpanan

Bahan

Pengawet

Lama Pengawetan (hari) Rataan

3 6 9 12 15

Kontrol 43,66±11,09 59,62±9,39 54,96±8,04 53,38±14,61 38,8 ±17,43 50,09±8,56b

Lilin 70,16±9,61 61,66±7,12 62,94±19,34 70,60±7,86 52,52±13,43 63,58±7,40a

Silica gel 53,16±4,14 64,06±1,48 56,92±9,55 60,80±6,00 28,76±24,07 54,74±9,83b

Refrigerat 59,58±4,94 58,92±4,76 55,12±15,68 52,82±5,49 45,20±10,88 54,33±5,81b Gula 64,36 ±10,36 66,90±2,12 63,60±9,47 57,74±8,23 50,14±7,41 60,55±6,72a

Rataan 58,18±13,22A 62,23±7,33A 58,71±3,12A 59,07±6,45A 45,09±6,52B

Keterangan : superskrip pada kolom dan baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05)

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan pengawetan dan lama penyimpanan

tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Namun lama penyimpanan dan penggunaan bahan pengawet berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan tinggi vertikal.

Rataan tinggi vertikal pada lama penyimpanan 15 hari lebih rendah dibandingkan dengan lama penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari. Maka semakin lama penyimpanan, tinggi vertikal akan mengalami penurunan. Pengawetan dengan menggunakan

refrigerator suhu 4°C memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi vertikal yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lainnya, hal ini disebabkan

karena pada saat pengambilan data tinggi vertikal stek masih dalam tahap adaptasi terhadap lingkungan tempat penanaman stek setelah mengalami dormansi

Page 104: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 287

KESIMPULAN

Perlakuan pengawetan dengan menggunakan gula, silica gel, lilin dan

refrigerator dapat meningkatkan daya simpan dan pertumbuhan bahan tanam stek rumput gajah selama penyimpanan hingga 15 hari. Pengawetan yang paling baik adalah penyimpanan di dalam refrigerator dengan suhu 4°C.

DAFTAR PUSTAKA

Agribisnis Deptan. 2008. Pengawetan Bunga Potong.

http://www.agribisnis.deptan.go.id. [9 Maret 2011].

Edi, A. 2001. Perbandingan Daya Tumbuh dan Kesempurnaan Tumbuh Stek Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schummach) yang Disimpan

Dengan Metode Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartman, H. T & D. E. Kester. 1997. Plant Propagation Principles and Practices.

5rd. Prentice Hill.New York. Meilawati, N. L. M. 2008. Pengaruh bahan stek dan konsentrasi zat pengatur

tumbuh hormonik terhadap keberhasilan stek Sansevieria trifasciata „Tiger Stripe‟. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Napitupulu, R. M. 2006. Pengaruh bahan stek dan dosis zat pengatur tumbuh

rootone-F terhadap keberhasilan stek Euphorbia milii. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rochman, K. dan S.S. Haryadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Diktat. Departemen Agronomi IPB, Bogor.

Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992a. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Terjemahan D.

R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Institut Teknologi Bandung (ITB)-Perss, Bandung.

Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992b. Fisiologi Tumbuhan jilid 3. Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Institut Teknologi Bandung (ITB) -Press, Bandung.

Saputri, E. L. 2012. Uji pengawetan terhadap daya simpan bahan tanam stek rumput meksiko (Euchlaena mexicana Schrad). Skripsi. Fakultas

Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhaidi, I. 2008. Pelapisan Lilin Lebah untuk Mempertahankan Mutu Buah

Selama Penyimpanan. Jurnal Penelitian Rekayasa. 1 (1): 47-50.

Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Raja Garfindo. Jakarta. Suwijah. 2011. Pengaruh kadar gula, vitamin C dan kadar serat dari sari buah

markisa ungu (Passiflora edulis var eduls) pada pembuatan nata de coco dengan menggunakan Acetobacter xylinum. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Thalib, A & Y. Widiawati. 2010. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Daya Inhibitor Metanogenesis Sediaan Cair Kultur Bakteri Acetoanaerobium

noterae dan Acetobacterium woodii. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku I: 880-886.

Yunarti, R. A. 2008. Pengaruh suhu pemeraman dan konsentrasi etilen terhadap

mutu buah sawo (Achras Zapota L.) varietas sukatali ST 1. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 105: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 288

ANALYSIS AND EXPRESSION OF AL-TOLERANT GENES

FROM SOYBEAN [Glycine max (L.) Merryl] ON FORAGE CROPS AND

Escherichia coli

S. Anwar, Sumarsono, Karno and F. Kusmiyati

Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University

Email: [email protected], [email protected]

ABSTRACT

In order to analyze and to study expressions of the Al-tolerant genes, we

have examined five clone genes that were isolated from soybean cv. Lumut. Soybean cv. Lumut and Slamet, Centrocema pubescens, Pennisetum purpureum and Escherichia coli were selected for futher analysis. Based on the DNA

sequencing, searching enzyme restriction sites and searching DNA homology with the genebank database; the clones encoding: (1) Catalase (gmali12, that function

as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein/PCNALP (gmali15, that involved as one of transcriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22, this gene may play a role on stimulation of

cell growth/development), (4) Amine oxidase (gmAO, genebank accession number AF313622, a gene that function as amine oxidation and/or antioxidant),

and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP, genebank accession number AF091304, a serine protease gene). Expressions of the clone genes either on forage crops or Escherichia coli indicated that all of the clones are basic genes, but its expression

increased with aluminium induction (Al-induced genes) and involved in detoxification to Al stress. From this research, we also found similar responses between oxidative stress and Al stress to gene responses.

Keywords: Analysis, Expression, Al-Tolerant Genes, Soybean, Forage, E. coli

INTRODUCTION

Aluminum (Al) is regarded as one of the main toxic factors which exist in

most acidic soil in Indonesia (Notohadiprawiro, 1983), even of the world, comprising 1x109 hectares in the tropical and cool temperature regions (Van

Wambeke, 1976) or approximately 8% by Weight (Moller et al., 1984). Most Al in soil is insoluble, associated with complex aluminosilicates and oxides. However, under acidic soil condition (pH < 5) Al is converted from insoluble

forms into soluble Al +3 (Marschner, 1991; Driscoll and Schecher, 1990; and Kinraide, 1991), which block growth of plant roots (Rajaram and Villegus, 1990;

Kinraide and Ryan, 1991; Foy et al., 1978; Wagatsuma et al., 1987; and Taylor, 1991). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits plant growth, particularly in the tropical regions.

Approximately 40% of the world‟s arable soils are too acid, and Indonesia has over 47,6 millions hectares. A problem that is becoming increasingly severe,

because of the use of nitrogenous fertilizer, industrial pollution and acid rain (Van breeman, 1985). Eventhough, normal rainfall can also cause acidification of soils by promoting the leaching of basic cations such as Ca+2, Mg+2, K+ and Na+ (Foy,

1984). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits plant growth, particularly in the tropical regions (Kochian, 1995; Taylor, 1995;

Page 106: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 289

Matsumoto, 2000).

Identifying genetic resistance to aluminium toxicity would be a valuable contribution toward the development of tolerant crops in the tropical areas,

especially in Indonesia. In these low pH aluminosilicate soils, the susceptibility of field crops to aluminium toxicity leads to the inhibition of root growth into the lower soil horison. Aluminium saturates the charged sites of the soil particle and,

along with the restriction of root growth, acts to impede cation exchange with subsoil elements (Ca+2, K+, and Mg+2), which are critical for normal plant

development. Determining the molecular basis of tolerance to increase levels of aluminium in certain crops (such as soybean) poses a significant challenge.

Soybean is one of important crops in Indonesia. Its specific material for

Indonesian tradisional food such as tempe, tofu, sauce and soybean milk have brought the soybean to an important position in Indonesian nutrition. Demand for

soybean is increasing with the increase on protein need due to improvement program on Indonesian nutrition. The development of animal husbandry in Indonesia have also increased the demand of this crop. Unfortunately, the

increase in demand for soybean can not be responded by the sufficient increase in production of this crop. This research was conducted to support soybean breeding

programs by molecular approach. Considering the importance of molecular information on soybean tolerance to Al, we proposed the research on molecular biology of soybean tolerance to al stress as follow-through from previous

research, by two approach: (1) Analysis of the Al-tolerant and (2) Study of expression of the cloned genes. The genes also have been evaluated to forage

crop by northern/slot blot hybridization (heterologous approach) and E. coli.

RESEARCH METHOD

The research consist of two programs: Research I (Analysis of Al-tolerant

genes) and Research II (Study expression of Al-tolerant genes). Research 1. There are 3 steps in this program: (a) Analysis of clone genes

by nucleotide sequencing, (b) Analysis of clone genes by searching restriction

enzyme sites and (c) Analysis of clone genes by searching homology with GeneBank database.

DNA synthesis for chain-termination sequencing is carried out two steps. In the first, the primed strand of DNA is extended and at the same time labelled by the incorporation of dye-nucleotide. . In the second step, dideoxynucleotides

are added to the population of labelled DNA molecules (ranging in length from a few to many hundreds of nucleotides) and synthesis continues until a ddNTP is

incorporated, thus terminating the chains. Analysis of clone genes by nucleotide sequencing was started with

cDNAs cloned from our previous study that is not analyzed yet (Anwar, 1999).

Plasmid cDNAs cloned are prepared using the alkaline lysis method (Sambrook et al., 1989). The selected cDNA clones was sequenced by dideoxynucleotide

chain-termination method (Sanger et al., 1977). Analysis of clone genes by searching restriction enzyme sites using the amino acid and restriction enzyme sites software that have been developed by

DCRG-team database, which provided information about analysis of DNA

Page 107: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 290

especially for searching of restriction enzyme sites, start and stop codon, amino

acid sequence, including number of ATGC and amino acid. Analysis of clone genes by searching homology with GeneBank database.

The resulted cDNA sequences are then compared to the existing genes sequences in Genebank. First, we access to the NCBI (National Center for Biotechnology Information) website (http://www.ncbi.nlm.nih.gov), and then select GeneBank

database for searching similarity/homology sites for nucleotide sequence (BLAST program/BLAST web). Finally, follow instruction provided in the web electronic

guide till resulted kinds of the genes. In Research II, expression of the cloned genes have been studied by (a)

using mRNA analysis by northern/slot blot hybridization method both on soybean

and forage crop and (b) Escherichia coli’s exposed to Al toxic level. There are 4 steps for analysis of transcript level/mRNA analysis i.e: (a) Planting material, (b)

total RNA Isolation, (c) probe preparation and (d) northern/slot blot hybridization. Planting material was planted described by Anwar (1999). Total RNA was

isolated from the root tips (± 5 mm) and/or leaf of soybean and forage crop

treated and untreated with Al+3, using phenol/SDS method (Ausabel et al., 1987).

Northern/Slot Blot Hybridization. Total RNA (10-15 g) samples was denatured with glyoxal and DMSO, and followed incubation in 65oC for 15

minutes. Then, the RNA was transferred to Hybond-N+ membranes (Amersham) by Slot-Hybridization (prior to use, the slot must be cleaned with 0.1 N NaOH and washed by steril water- DEPC treated). Probes was prepared from cDNA inserts

isolated from agarose gels and labelled by non radioactive system (ECL-system). Hybridization was performed as described in Virca et al. (1990). The filter was

washed twice with 2xSSC+0.4%SDS for 10 min at 42oC, and twice with 2xSSC for 5 min at room temperature. Filter was stripped by immersion in warm (60oC) 0.1% SDS and reprobed up to three times as described by Sambrook et al. (1989).

For Expression of clone genes by identifying tolerant-genes with its expression on Escherichia coli to Al toxic level was implemented by addition of

Al toxic level on LB (Luria Bertani) culture (2% bactotryptone, 0.5% yeast extract, 10 mM NaCl and 1% bactoagar. First of all, to set up assay for Al stress, E. coli and E. coli containing vector was cultured in LB with various Al treatment

(0-500 ppm). Assay for Al-toxic level based on the reduction of E. coli’s growth on media at least 75% from control (without Al). Secondly, all of the clones was cultured at LB plate with addition of Al-toxic level based on previous study for 2

days. The clones that involved to Al tolerance was indicated by E. coli (contained the clones) growing well in the selected media.

RESULTS AND DISCUSSIONS

Analysis of Al-tolerant Genes

There are five clones that are already analyzed (cDNA isolation and

sequencing, searching enzyme restriction sites and searching homology with GeneBank database) as shown on Table 1 and Figure 1-5. Based on the searching homology with the genebank database, the clones encode: (1) Catalase (gmali12,

that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein/PCNALP (gmali15, that involves as one of transcriptional regulator in the

eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22), (4) Amine oxidase (gmAO,

Page 108: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 291

genebank accession number AF313622), and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP,

genebank accession number AF091304).

Table 1. Characteristics of clones No. Clones Characteristics

1. gmali12 Nucleotide length=252 bp; Amino acid=84 aa; Encode=Catalase (CAT)

2. gmali15 Nucleotide length=254 bp; Amino acid=84 aa; Encode=PCNALP

3. gmali22 Nucleotide length=247 bp; Amino acid=65 aa; Encode= Growth Hormon (GH)

4. gmAO Nucleotide length=830 bp; Amino acid=250 aa; Encode= Amine Oxidase (AO)

5. gmAP Nucleotide length=657 bp; Amino acid=202 aa; Encode=Aminoacyl Peptidase (AP) Notes : gmali12 = Glycine max aluminium induced number 12; gmali15 = Glycine max aluminium induced number 15 gmali22 = Glycine max aluminium induced number 22; gmAO = Glycine max Amine Oxidase

gmAP = Glycine max Aminoacyl Peptidase

1 tggataatgaatttccacatactgacactgagtattagggttaatatgtggaaattcatt 60 61 atccaaaaacaactcaaacttgattcccatgcaagttatatgtctttgtttgatagtttt 120

121 cttttttcttattttttttatgtgttatatttacagatgggtatatgttctttgtttcat 160 161 tttttaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaagggcggccgctcgcgat 240

241 ctaaaactagtc 252

Figure 1. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of The gmali12 Clone. Amino acid residues are shown in the single- letter codes

(coding : Catalase)

1 tgattatccattgtgttgatgttcacatagtctcatacaagcataacagtttaatatggg 60 61 tgatcagttgttcccatagtctcatacaagcatatcagtttaatatgggtgatcactgtt 120

121 acgaacacaaagcaaacaatcctagatgtggacagatacacacaactgattatccattgt 180 181 gttgttgttccaacatatatttttatgacaaaaaaaaaaaaaaaagggcggccgctcgcg 240

241 atctagaactagtc 254

Figure 2. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of

The gmali15 Clone. Amino acid residues are shown

in the single- letter codes (coding : PCNALP)

1 tgagcagaaaaggcatttatatatattacataacttatataagtgatttctatgtcttga 60

61 ttatttggtaccttacatcatccccaaatgcaggcaaaattttgaatagcctaaaaaagc 120 121 gtgatgcctatgtatgtcttaatcacatgaataatcatcatcccaaaaatgagaatcaaa 180 181 agaaggaaattagatgaaaagaaaacatgtaatgctacaaaatgaagttgttttacttta 240

241 CTGCTTC 247

Figure 3. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of

The gmali22 Clone. Amino acid residues are shown in the single- letter codes (coding : Growth Hormone)

1 gcaagaatggcacttcgttgaatggcagaagtggaattttcgtattggattcactcctag 60

61 ggagggtttggtaattcattcagtagcctatattgatggaagtcggggacgaagacctgt 120 121 ggcccatagattgagctttgttgagatggtagtcccgtatggagatcctaatgatcctca 180 181 ctataggaaaaatgcttttgacgctggggaagatggcctgggtaaaaatgctcattctct 240 241 caagaagggctgcgattgtttaggctatatcaaatactttgatgcgcacttcacaaactt 300 301 ctatggaggtgttgaaacaattgagaactgtgtttgtttgcatggagaagatcatggtat 360

361 tttatggaagcatcaagattggagaacaggattggctgaagttcgaaggtctagaaggct 420

Page 109: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 292

421 gacagtgtctttatatgcactgtggctaactatgagtatggatttttctggcacttttat 480 481 caggatggaaaaatagaagcagagatcaagctcacaggaattctcagcttaggatcactt 540 541 caaccaggtgaactcgaaaatatggcacaaccattgcacctggactatatgcgcctgtcc 600

601 accaacattttttgttgctcgtatggacatggcagtaaattgcaagcctggtgaaacatt 660 661 taatcaggttgttgaaggtgaatgtcaaaattgaaaaaccagaaacaataatgttcctaa 720 721 caatgcattttatgctgaaaaaaaaactgcttaaatcaaaaatggaagcaatgccttgat 780

781 tgtgacctttatctgcccctccctgggattgtttggaaccctaggacttt 830

Figure 4. Nucleotide sequence of the gmAO (Glycine max Amine Oxidase)

Clone.

1 atggcagctactcaggaagatgtgtactctgatcccggttctcctatgatgcggagaact 60

61 caagctgggacatacattattgccaggataaagaaggaaagtgatgaaggaagatatatt 120

121 tatactgaatggaaatggtgctacaccagaaggaaacattccattccttgatctgtttga 180 181 cataaatacaggtaaaaaaatggaacgaatctgggagagcgataaggagaagtattatga 240

241 gactgttgttgctctaatgtctgatcaagaagaaggggatttgtatttagataaactgaa 300 301 gaagatactgacttctaaagagtcaaaaactgaaaacacccaatactactttgttagctg 360 361 ggccagataaaaacatagttcaggttacaaatttccctcatccataccctcagcttgcat 420

421 ccattgcagaaagagatgatcagatatgaaagaaaagacggggttcaacttactgctaca 480 481 ttatacctaccaccaggttacaatccatcaacagatggccctttgccatgcctggtttgg 540 541 tcttacccaggagaatttaagaacaaagatgctgctggacaagttcgtggtctccaaatg 600

601 aatttgtaggctccacatcttcctgagtagctgccatcgcccgaaacttcattcgtt 657

Figure 5. Nucleotide sequence of the gmAP (Glycine max Aminoacyl

Peptidase) Clone.

Expression of Al-tolerant Genes

Plants show spesific responses to many kinds of stress (biotic and abiotic) including aluminium stress. Genes response to Al stress will be reflected by increasing transcription (production mRNA) level of one or more genes. The

molecular basis of these responses has not been completely worked out but there are clear examples of the expressions of many induced genes by aluminium stress.

Based on slot blot analysis (Figure 6), all of the genes are basic genes (appear at all of control media/media pH 6.0 without Al) , but its expression increased with Al stress (media pH 4.0 with Al stress). Clone gmali12 is coding

catalase which involved as antioxidant. This result indicated that genes response to Al stress is similar with oxidation stress responses. This novel information is

useful for genetic engineering. Similar result from the genes are expressed on Escherichia coli.

Page 110: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 293

Glycine max cv. Lumut a b c d

Glycine max cv. S lamet

a b c d Centrosema pubescens

a b c d Pennisetum purpureum

a b c d

gmali12

(% )

25 30 34 35

25 29 30 33

25 27 31 26

25 28 30 26

gmali15

(% )

22 23 26 30

25 25 31 35

20 28 30 34

25 30 32 33

gmali22

(% )

30 36 50 34

32 30 35 48

18 20 22 25

30 30 35 35

GmAO

(% )

25 30 35 40

20 20 22 35

0 0 0 0

20 20 24 25

GmAP

(% )

20 22 24 27

22 20 25 27

42 42 47 48

15 15 15 20

Notes : a = media pH 6.00 without Al; b = media pH 4.0 without Al

c = media pH 4.0 with 0.8 mM Al d = media pH 4.0 with 1.6 mM Al

Figure 6. Slot blot hybridization of clone genes on Glycine max,

Centrocema pubescens and Pennisetum purpureum

Assay for Al-toxic level on Escherichia coli, based on the reduction of E.

coli’s growth on media at least 75% from control (without Al). We found that 300 ppm Al is a critical assay for E. coli, and used it for study of expression of Al-

tolerant genes on Escherichia coli. The result of research is listed on Table 2-3 and Figure 7.

Table 2. Optical density value (OD550) of growth of E. coli in Luria Clone

T ime of Stress (h) 0 2 8 24 48

gmali12: B+none

B+VnR

B+VR

0 0

0

0 0

0.157

0 0.115

0.388

0 0.247

0.748

0 0.225

1.166

gmali15: B+none

B+VnR B+VR

0 0 0

0 0

0.125

0 0.115 0.315

0 0.247 0.685

0 0.225 1.225

gmali22: B+none

B+VnR

B+VR

0 0

0

0 0

0.095

0 0.115

0.250

0 0.247

0.595

0 0.225

1.247 gmAO : B+none

B+VnR B+VR

0

0 0

0

0 0.210

0

0.088 0.517

0

0.282 1.025

0

0.200 1.825

gmAP B+none

B+VnR B+VR

0 0 0

0 0

0.144

0 0.088 0.414

0 0.282 0.661

0 0.200 0.934

Notes : B+none = DH10B E.coli; B+VnR = DH10B E.coli withVector/plasmid insite;

B+VR = DH10B E.coli with Vector Recombiant

Page 111: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 294

Table 3. Growth of E. coli in Luria Bertani agar media with 300 ppm Al for 24 h

Stress

Clones

gmali12 gmali15 gmali22 gmAO gmAP

a b c a b c a b c a b c a b c

-Al:

125

130

120

125

130

135

125

130

120

87

110

126

87

110

106

% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

+Al:

0

20

91

0

20

110

0

20

104

0

21

110

0

21

83

% 0 15 76 0 15 80 0 15 87 0 19 87 0 19 78 Notes : a = B+none = DH10B E.coli; b = B+VnR = DH10B E.coli withVector/plasmid insite;

c = B+VR = DH10B E.coli with Vector Recombiant

CONCLUSIONS

From this research, we concluded that nucleotide and sequencing of Al-

tolerant genes are coding: (1) Catalase (gmali12, that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein (gmali15, that involved as one of

tanscriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22), (4) Amine oxidase (gmAO, genebank accession number AF313622), and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP, genebank accession number AF091304)

Expression of Al-tolerant genes (gmali12, gmali15, gmali22, gmAO, and gmAP) either on plant or Escherichia coli, indicated that all of the clones are

genes response to Al-induction and involved in detoxification to Al-stress.

ACKNOWLEDMENT

We appreciated and thank‟s to DGHE for sponsorship and for all of member‟s of Forage Science Laboratory Faculty of Animal Agriculture

Diponegoro University and PAU Bioteknologi IPB Bogor.

REFERENCES

Anwar, S. 1999. Cloning of Aluminium Induced Genes in Soybean [Glycine

max(L.) Merryl]. Dissertation PhD Program, IPB Bogor. Anwar, S., Karno, F. Kusmiyati, M. Jusuf and Suharsono. 2000. Glycine max

Amine Oxidase (gmAO), mRNA sequence. GeneBank database, NCBI, Access No.AF313622.

Ausubel, F.M., R. Brent, R.E. Kingston, D.D. Moore, T.G. Seidman, J.A. Smith

and K. Struhl. 1987. Current Protocols In Molecular Biology. John Wiley and Sons, New York.

Delhaize, E., P.R. Ryan and P.J. Randall. 1993. Aluminum tolerance in wheat (Triticum aestivum L.). II. Aluminum stimulated excretion of maliec acid from root apies. Plant Physiol. 103:695-702.

Driscoll, C.T. and W.D. Schecher. 1990. The chemistry of aluminum in the environment. Environ. Geochem. Health 12:28-49.

Foy, C.D., R.L. Chaney and Mc. White. 1978. The physiology of metal toxicity in plant. Annu. Rev. Plant Physiol. 29:511-566.

Foy, C.D. 1984. Physiological effects of hydrogen, aluminum, and manganese

Page 112: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 295

toxicity in acid soil. Agronomy Monograph 12:57-97.

Grierson, D. and S. Covey. 1985. Plant Molecular Biology. Blackie Publ., USA New York.176p.

Jusuf, M., Suharsono, and D. Sopandie. 1998. Molecular biology of soybean tolerance to aluminium stress. HTTP report Batch II. Jakarta.

Kinraide, T.B. 1991. Identity of the rhizotoxic aluminum species. Plant soil.

134:167-178. Kinraide, T.B and P.R. Ryan. 1991. Cell surface change may observe the

identity of the rhizotoxic aluminum species. In D.D. Randall, D.G. Blevins and C.D. Lies, ed., Current Topics in Plant Biochemistry and Physiology. Univ. of Missouri, Columbia, pp. 94-106.

Kochian, L.V. 1995. Cellular mechanisms of aluminium toxicity and resistant in plants. Ann.Rev.Plant.Physiol.Plnat Mol.Biol.46:237-260.

Marshner. 1991. Mechanism of adaptation of plants to acid soils. Plant Soil 134:1-20.

Matsumoto, H. 2000. Cell biology of aluminium tolerance and toxicity in higher

plants. Int.Rev.Cytol. (in press). Moller T., J.C. Bailar, J. Kleinberg, C.O. Guss, M.E. Castellion, and C. Motz.

1984. Chemistry with Inorganic Qualitative Analysis. Acad Press, Inc. Orlando.

Notohadiprawiro, T. 1983. Persoalan Tanah Masam Dalam Pembangunan

Pertanian Indoonesia. Bull Faperta UGM. 18:44-47. Rajaram, S. and E. Villegas. 1990. Breeding wheat (Triticum aestivum) for

aluminum toxicity tolerance at CIMMYT. P. 489-495. In N.E. Bassam et al (eds). Genetic aspexcts of plant mineral nutrition. Kluwer Acad. Publ., Dordrecht, the Netherlands.

Rhue, R.D., G.O. Grugan, E.W. Stockmeyer, and H.L. Everett. 1978. Genetic control of aluminum tolerance in corn. Crop Sci. 18:1063-1067.

Sambrook J, E.F. Fritsch and T. Mamatis 1989. Molecular Cloning : A laboratory Manual. Cold Spring Harbor laboratory Press, New York.

Sanger, F., S.Nicklen and A.R. Coulson. 1977. DNA sequencing with chain-

termination inhibitors. Proc.Natl.Acad. USA 74:5463-5467. Taylor G.J. 1991. Current views of the aluminum stress respons : the

physiological bases of tolerance. In D.D. Randall, D.G. Blevins and C.D. Miles, eds., Current Topics in Plant Biochemistry and Physiology. University of Missouri, Columbia, pp. 57-93.

Van Breemen N. 1985. Acidification and decline of Central European Forest. Nature : 316 : 16.

Van Wambeke A. 1976. Formation, distribution and consequence of acid soils in agriculture development. In M.J. wright and S.A. Ferrari, eds. Plant adaptation to mineral stress in problem soils. Spec. Publ. Cornell Univ.

Agric. Exp. Stn. Ithaca, New York. Pp. 15-24. Wagatsuma T., M. Kaneko and Y. Hayasaka. 1987. Destruction process of plant

root cells by aluminum. Soil Sci. Plant Nutr. 33 : 161-175.

Page 113: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 296

EVALUASI PRODUKTIVITAS TANAMAN KERANDANG (Canavalia

virosa) SEBAGAI SUMBER HIJAUAN PAKAN TERNAK PADA LAHAN

PANTAI

Sajimin dan B.R. Prawiradiputra

Balai Penelitian Ternak P.O.Box 221 Bogor 16002

ABSTRAK

Tanaman kerandang (Canavalia virosa) adalah jenis leguminosa yang banyak tumbuh dilahan salin (pantai). Indonesia merupakan negara kepulauan

yang memiliki garis pantai yang panjang dan berpotensi apabila dikelola dengan baik seperti untuk penyediaan pakan ternak. Memelihara ternak merupakan alternatif diversifikasi usaha untuk meningkatkan taraf hidup nelayan pada saat

tidak melaut. Tujuan penelitian untuk mengetahui produktivitas hijauan tanaman kerandang pada berbagai media tanah. Rancangan percobaan adalah split plot

pola faktorial dengan faktor utama media tanam dan dosis pupuk limbah kopi. Perlakuan yang diuji adalah tanah, pasir kali dan pasir pantai, media tersebut diberi pupuk dengan dosis 0%, 5%, 10%, dan 15% yang diulang tiga kali.

Parameter yang diamati produktivitas hijauan setiap 60 hari, pertumbuhan tanaman setiap minggu setelah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

produktivitas hijauan berat kering tertinggi pada media pasir kali 25,9 gram per panen pada dosis pemupukan 15%, kemudian diikuti pada media tanah 18,8 gram/tanaman/panen pada dosis 10%. Produksi terendah pada media pasir pantai

16,6 gram/tanaman/panen pada dosis 5%. Rataan produksi hijauan yang diberikan pupuk dibandingkan dengan perlakuan kontrol (0%) meningkatkan produksi

92,99%. Produksi hijauan tiap panen terjadi penurunan setelah pemotongan ke empat, sedangkan pada media pasir pantai pada awal produksi hijauan tertinggi kemudian panen berikutnya menunurun sampai panen ke lima. Hasil penelitian

ini disimpulkan bahwa tanaman kerandang dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan pemberian pupuk organik dan setelah empat kali pemanenan perlu

pemberian pupuk untuk mendapatkan hasil stabil. Kata kunci : canavalia virosa, produksi hijauan, pupuk limbah kopi.

PENDAHULUAN

Porsi utama pakan ternak ruminansia adalah dari hijauan pakan yang mencapai 80% dari pakan yang dikonsusmsi sebagai sumber serat. Namun pakan utama tersebut pada musim kemarau selalu terjadi masalah kekurangan. Hal ini ini

disebabkan pengembangan tanaman pakan pada umumnya dilahan-lahan marginal (kurang subur) atau sub-optimal.

Pemanfaatan lahan yang kurang subur untuk tanaman pakan menjadi sangat penting seperti tanah salin (pesisir). Ekstensifikasi tanah salin mempunyai potensi yang besar karena Indonesia merupakan negara pulau yang mempunyai

garis pantai yang panjang dengan didominasi lahan salin. Menurut Suhardi (2008) lahan pasir di Indonesia 181000 km yang berada disepanjang pantai dan belum

dimanfaatkan. Pengembangan tanaman pakan ternak pada lahan marginal di pesisir yang

mengandung kadar garam (salinitas) tinggi diperlukan upaya perbaikan lahan

Page 114: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 297

terlebih dulu agar tanaman mampu tumbuh dan berproduksi. Salinitas

mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui keracunan akibat penyerapan unsur garam berlebihan seperti natrium yang mengakibatkan

penurunan penyerapan unsur penting bagi tanaman (Purbayanti et al., 2010). Tanaman kerandang (Canavalia virosa Roxb) adalah termasuk keluarga

Leguminosa dan merupakan tanaman perenial yang tumbuh baik di daerah pantai

dengan perbanyakan taanaman dengan biji atau stek. Pemanfaatan biji kerandang dilakukan sebagai bahan pakan untuk menggantikan kedelai. Menurut Djaafar et

al. (2011) biji kerandang mengandung protein 31,3%, lemak 4,8%, abu 3,8% dan asam amino seperti isoleusine, histidine, cystine, methionin, dan threonine. Biji kerandang telah diolah menjadi tempe, tahu dan minuman fermentasi. Namun

mengandung HCN tinggi sehingga apabila digunakan sebagai bahan pangan perlu proses pengolahan yang benar untuk menurunkan kandungan HCN. Menurut

Winarti et al. (2009) produktivitas kerandang biji 909,07 kg/ha, kulit biji 290,99 kg/ha, kulit polong 809,94 kg/ha dan daun serta batang 3100 kg/ha/panen

Kerandang termasuk tanaman kacang-kacangan tropis tahunan yang

merambat, berdaun tiga dengan bunga warna pink. Panjang bunga kerandang 3 cm, ukuran polong 17 cm × 3 cm, warna biji coklat atau coklat kemerahan dengan

marble warna hitam (PROSEA, 1992). Tanaman tersebut mampu tumbuh cepat di lahan pasir dan merupakan tanaman penutup lahan yang bagus untuk lahan

pasir yang kering. Saat ini tanaman kerandang tumbuh sebagai tanaman liar, yang mampu hidup dan berproduksi tanpa adanya campur tangan manusia. Disamping

itu, kerandang juga mampu mengikat nitrogen dari udara sehingga berpotensi untuk memperbaiki kesuburan lahan.

Pengembangan tanaman kerandang sebagai pakan ternak didaerah pantai

merupakan sumber hijauan yang dapat digunakan oleh nelayan terutama pada saat tidak melaut. Penelitian ini bertujuan mempelajari produktivitas hiajauan dengan

pemotongan teratur dan pertumbuhan tanaman dengan penambahan pupuk organik serta kualitas hijauan.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balitnak Bogor pada tahun 2011 - 2012. Penelitian merupakan percobaan pot menggunakan media tanah, pasir kali, dan pasir pantai. Tanaman pakan yang digunakan kerandang (Canavalia virosa

Roxb (W&A). Percobaan disusun dengan rancangan split plot dengan dua faktorial yaitu media tanam dan dosis pupuk dengan 3 kali ulangan. Faktor

pertama media tanam tanaman dan faktor kedua dosis pupuk organik 0%, 5%, 10% dan 15% dari berat tanah.

Tahap persiapan dilakukan penyiapan media yang diisikan dalam pot

berisi tanah kering 7 kg. Kompos limbah kopi yang digunakan mengandung bahan organik C/N rasio 2,77%, P2O5 4,25%, N 4,90%. Sedangkan media tanam masing-masing tanah kandungan P 7,34%, K 8,32%, Mo 3,34% dan C/N rasio 7.

Media pasir kali kandungan P 8,69%, K 9,20%, Mo 2,53% dan C/N 8. Media pasir pantai kandungan P 6,41%, K 7,12%, Mo 4,21% dan C/N 7.

Pemberian pupuk dilakukan saat pengisian pot dicampur merata sesuai dengan perlakuan dan diinkubasikan selama satu bulan dan tiap tanaman menerima N 17,15 g (dosis 5%), 34,3 g (dosis 10%), dan 51,45 g (dosis 15%).

Page 115: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 298

Tanaman setelah tumbuh merata umur 3 bulan dilakukan penyeragaman

(dipangkas) kemudian dipotong setiap 60 hari. Peubah yang diamati meliputi laju pertumbuhan setiap 1 minggu (jumlah

tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Produksi hijauan segar dan kering setiap 2 bulan dan pada panen ke 4 (akhir) kegiatan diambil contoh hijauan komposit untuk analisa protein kasar, serat kasar, Calsium dan Fosphor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju pertumbuhan tanaman

Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman kerandang pada media yang

berbeda memberikan respon pertumbuhan yang berbeda. Secara umum pada media pasir kali rata-rata pertumbuhannya tertinggi dengan pemberian pupuk

limbah kopi, kemudian diikuti pada media pasir pantai dan terendah pada media tanah (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang

Media percobaan

Dosis pupuk (%)

Panjang tunas (cm)

Jumlah daun (helai)

Jumlah cabang (buah)

Tanah 0 351,7 b 154,7 b 19,0 a

5 346,0 b 196,1 b 28,3 a 10 509,0 a 237,7 b 30,3 a 15 357,3 b 214,3 b 27,3 a

Pasir kali 0 257,7 b 144,0 b 29,3 a 5 604,7 a 293,3 b 37,0 a

10 640 a 327,3 a 37,7 a 15 544,7 a 305,7 a 36,3 a Pasir pantai 0 194,7 b 181,7 b 31,0 a

5 326,7 a 226,3 a 30,3 a 10 502,3 262,3 a 37,0 a

15 435,3 315,3 a 44,3 a Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata (P<0,05).

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa jika dibandingkan perlakuan dosis

pupuk yang diberikan 5%, 10% dan 15% tinggi tanaman tidak beda nyata (P<0,05) pada media tanah baik pada jumlah daun maupun cabang. Sedangkan

pada media pasir kali dan pasir pantai pemberian pupuk organik menunjukkan lebih tinggi. Namun jika dibandingkan dengan kontrol ada penbedaannya nyata lebih tinggi dan. Jumlah daun lebih banyak. Hal ini nampaknya pupuk yang

diberikan memberikan pengaruh pada pertumbuhan yang lebih cepat dengan jumlah cabang dan daun lebih banyak dari perlakuan kontrol. Keadaan ini

mengindikasikan tanaman yang meiliki daun lebih banyak merupakan sumber hijauan pakan yang baik. Keadaan ini juga terlihat pada hasil pengamatan pertumbuhan setiap minggu (Gambar 1).

Page 116: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 299

A. Gambar pertumbuhan tanaman pada media tanah

B. Gambar pertumbuhan tanaman pada lahan pasir kali

C. Gambar pertumbuhan pada media pasir pantai

Gambar 1. Pertumbuhan tanaman pada berbagai media tumbuh

Pada Gambar 1 terlihat bahwa dari pengukuran tinggi tanaman dari

Page 117: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 300

minggu pertama sampai minggu ke 7 (sebelum panen) menunjukkan kenaikan

yang cukup signifikan kecuali yang kontrol pertumbuhannya tetap bertambah walaupun tidak setinggi yang dengan perlakuan pupuk.

Sedangkan pada media tanah nampaknya perlakuan kontrol pertumbuhannya tidak banyak berbeda banyak dengan perlakuan pemberian pupuk. Hal ini diduga tanaman kerandang yang termasuk jenis legum mampu

mengikat nitrogen dari udara yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya sehingga dapat tumbuh baik pada media tanah dari pada media lainnya. Peran

pupuk kandang sebagai sumber organik tanah dan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman terlihat nyata meningkatkan laju pertumbuhan. Penggunaan pupuk organik menurut Purbayanti (2011) untuk tanah salin memberikan perbaikan sifat

kimia tanah yaitu penurunan salinitas dan perbaikan ketersediaan unsur hara. Bertambahnya unsur hara dari pupuk yang diberikan pada media menunjukkan

peningkatan pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan. Kemudian Burhanudin dan Nurmansyah (2010) juga melaporkan pupuk organik berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dalam menunjang pertumbuhan

tanaman. Karena dalam pemberian pupuk organik terjadi proses dekomposisi seperti yang dikemukakan Barber (1984) bahwa adanya proses dekomposisi dan

mineralisasi pupuk organik menghasilkan sejumlah hara dengan bantuan peran mikro organisme tanah. Unsur-unsur hara seperti Ca, Mg, dan K menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman untuk mendukung pertumbuhannya

seperti menambah tinggi, pertambahan cabang, dan tajuk tanaman. Selain itu pupuk organik juga berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dan pertumbuhan

tanaman karena hara tetap tersedia. Hal senada juga dikemukakan oleh Baver (1975) bahwa pupuk organik berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dalam menunjang pertumbuhan tanaman.

Pemberian pupuk organik pada penelitian ini dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman kerandang, sehingga dapat

memacu pertumbuhan tanaman. Sanchez (1976) melaporkan bahwa pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dapat meningkatkan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman.

Produksi hijauan

Produksi hijauan meningkat akibat pemupukan limbah kopi pada ketiga media yang diaplikasikan seperti yang tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata produksi hijauan berat segar dan berat kering Media tanam Dosis pupuk (%) Berat segar (g/tanaman) Berat kering (g/tanaman)

Tanah 0 176,26 b 37,16 b

5 302,83 a 60,69 a

10 437,55 a 87,09 a

15 263,39 a 48.35 a Pasir kali 0 157,19 b 38,09 b

5 572,57 a 123,38 a

10 665,54 a 107,26 a

15 633,56 a 129,71 a

Pasir pantai 0 193,81 b 43,24 b 5 304,74 a 68,56 a

10 342,74 a 74,8 a

15 370,56 a 77,86 a

Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata (P<0,05)

Page 118: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 301

Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa peningkatan produksi hijauan rata-

rata 160,08% dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada semua media. Jika dibandingkan antara media tanah maka pada pasir kali produksi hijauannya

tertinggi kemudian diikuti pada media tanah dan terendah pada media pasir. Lebih tingginya pada media pasir kali disebabkan kandungan hara yang lebih tinggi C/N rasio (8) kandungan P (8,69%) dan K (9,20%). Sedangkan C/N rasio pada tanah

dan pasir kali 7. Hasil penelitian ini nampaknya kandungan hara media yang lebih tinggi dan adanya penambahan jumlah pupuk organik yang lebih banyak.

Sehingga ketersediaan unsur hara mencukupi untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Peningkatan hasil ini juga terlihat dari hasil hijauan yang dipanen tiap 2 bulan selama panen ke 1 - ke 4 produksinya masih tinggi kemudian panen ke 5

terjadi penurunan (Gambar 2).

A. Gambar produktivitas pada media tanah

B. Gambar produktivitas pada media pasir kali

C. Gambar produktivitas pada media pasir pantai

Gambar 2. Produktivitas hijauan tanaman kerandang pada panen 1 - panen 5

pada tiga media tanam.

Page 119: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 302

Pada Gambar 2 terlihat bahwa produksi hijauan rata-rata tiap panen

produksi hijauan tertinggi pada pemberian dosis 10% dari pada pemberian pupuk organik dinaikan 15% di tiga media tanam. Hal demikian nampaknya dalam

penyerapan hara tanaman ada batas optimum sehinggadengan peningkatan pemberian pupuk tidak meningkatkan produksi tanaman. Hasil serupa juga dilaporkan Dahono (2011) pada tanaman pegagan dengan pemberian pupuk

kandang yang lebih tinggi tidak menaikkan produktivitas, bahkan cenderung mengakibatkan penurunan kandungan asiatik oksida. Nampaknya hasil ini juga

terjadi demikian, sehingga yang efektif pemberian pupuk pada dosis 10%, sedangkan dengan dinaikan dosis pemberian tidak meningkatkan produksi hijauan maupun nutrisi.

Nilai nutrisi hijauan

Hasil analisa kandungan protein kasar tanaman kerandang mempunyai nilai tertinggi 27,25% pada aplikasi pemberian pupuk organik limbah kopi 5% pada media pasir kali. Hasil ini rata-rata dengan pemberian pupuk organik

maupun pada perlakuan kontrol tidak banyak perbedaan kandungan protein kasar, serat kasar, Ca dan P (Tabel 3).

Tabel 3. Kandungan protein kasar, serat kasar, Ca dan P pada tanaman kerandang

yang ditanam di tiga media

Media

tanam

Dosis

pupuk (%)

Protein

kasar (g/100 g)

Serat kasar

(g/100 g)

Calsium

(g/100 g)

Fosphor

(g/100 g)

Tanah 5 25,25 17,18 1,85 0,18

10 23,38 16,75 1,63 0,18 15 20,37 19,55 1,54 0,17 0 19,66 17,71 1,42 0,21

Pasir kali 5 27,25 15,87 2,00 0,23 10 27,02 16,51 1,83 0,29

15 22,51 20,51 1,83 0,29 0 18,53 22,08 1,45 0,18 Pasir pantai 5 23,82 18,92 2,20 0,20

10 23,98 17,40 1,46 0,18 15 27,12 12,68 1,62 0,14

0 24,80 17,22 1,82 0,21

Pada Tabel 3 terlihat kandungan nutrisi hijauan protein kasarnya rata-rata

tinggi yaitu mencapai 18,53-27,25%. Hasil analisa tersebut menunjukkan tidak dipengaruhi oleh dosis pupuk yang digunakan karena pada perlakuan kontrol ada yang lebih tinggi dari perlakuan pemberian pupuk organik. Hal ini disebabkan

Kerandang termasuk tanaman leguminosa yang mampu mengikat nitrogen dari udara dan dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman sendiri.

Hasil penelitian ini rata-rata protein kasar daun 18,51-27,25% lebih tinggi dari yang dilaporkan Winarti et al (2009) tanaman kerandang dari lapang daunnya kandungan protein kasar 18,66%. Lebih tingginya kandungan protein kasar

disebabkan adanya pemberian pupuk sehingga ketersediaan hara yang dapat diserap oleh tanaman. Seperti yang dilaporkan Dahono et al. (2011) bahwa

Page 120: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 303

tanaman pegagan yang diberikan pupuk organik lebih tinggi juga meningkatkan

kandungan asiatik oksida.

KESIMPULAN

1. Pertumbuhan tanaman kerandang pada media tanah pasir kali tertinggi

sedangkan produksi hijauan tidak banyak berbeda. 2. Penggunaan pupuk organik dari limbah kopi dapat meningkatkan produksi

pada ketiga media rata-rata mencapai 160, 2 % dari perlakuan kontrol. 3. Kandungan nutrisi hijauan dari masing perlakuan maupun media tanam yang

berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Barber, S. A. 1984. Soil Nutrient Bioavailability : A Mechanistic Approach. John Willey & Sons. pp. 20-21.

Baver, L. D. 1975. Soil Physics. Third edition, John Willey and Sons, Inc. New York. 552 p.

Burhanudin dan Nurmansyah. 2010. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan kapur terhadap pertumbuhan dan produksi nilam pada tanah podsolik merah kuning. Bul.Littro. Vol 21(2). P138-144.

Djaafar, T.F., Y.P. Wanita dan E.S. Rahayu. 2011. Novel product, fermented drink from kerandang (C.virosa). The 12th Asean food Conference. 16 -

18 June 2011. Bangkok .Thailand. 704 -708. Dahono, M.Ghulamahdi, S.A. Azis dan Adiwirman. 2011. Kombinasi pupuk NPK

dan pupuk kandang dalam peningkatan pertumbuhan dan produksi

asiatik oksida tanaman Pegagan. Jurnal Littri. 17(2) : 51 - 59. PROSEA. 1992. Plant Resources of South-East Asia 4. Forages. Prosea, Bogor.

Purbayanti, E.D., D. Sutrisno, E. Hanudin dan S.P.S. Budi. 2010. Respon rumput benggala terhadap gypsum dan pakan di tanah salin. J. Agron. Indonesia. 381 : 75 - 80.

Suhardi. 2008. Pengembangan Agro industri berbasis pangan lokal untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Pros. Semnas Pengembangan produk

berbasis pangan lokal. Universitas Mercu Buana, Yogyakarta Sanchez, P. A. 1976. Properties and Management of Soils in The Tropics. John

Willey and Sons, Inc. New York. 618 p.

Winarti, E., Sarjiman, Supriyadi dan N. Cahyaningrum. 2009. Potensi kerandang (Canavalia virosa) sebagai sumber pangan dan pakan ternak alternatif. Pros.

Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. 765 - 769.

Page 121: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 304

INVENTARISASI HIJAUAN PAKAN KUDA PACUAN

DI NUSA TENGGARA BARAT*)

Sudirman

1), Gde Mertha

2) dan Suhubdy

1)

1)Dosen Fakultas Peternakan,

2)Dosen Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan - Universitas Mataram - Mataram,

Email: [email protected]

ABSTRAK

Pacuan kuda dilaksanakan setiap tahun di provinsi Nusa Tenggara Barat yang

diikuti oleh tidak kurang dari 700 ekor kuda pacuan dalam lima kelas lomba. Kegiatan ini umumnya berlangsung selama 1-2 minggu di pulau Sumbawa dan senantiasa menjadi agenda hiburan rakyat serangkaian dengan acara perayaan

hari-hari besar nasional maupun regional dan/atau lokal. Selama kurun waktu tersebut, semua kuda yang akan dilombakan diberikan pakan berupa hijauan dari

jenis tumbuhan tertentu dan/atau spesifik. Tujuan penelitian ini adalah (1) menginventarisisr jenis-jenis tumbuhan yang dijadikan hijauan pakan kuda pacuan selama lomba berlangsung, dan (2) mengkaji komposisi nutrisi jenis

hijauan pakan dimaksud. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara. Semua kuda pacuan yang

berasal dari beberapa kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat yang mengikuti lomba pacuan kuda di kabupaten Sumbawa tahun 2012 diamati pemberian pakannya, kemudian dilakukan identifikasi dan analisis komposisi nutrisi jenis

hijauan yang diberikan. Untuk mengetahui jenis pakan yang diberikan, dilakukan pengamatan langsung dan wawancara dengan peternak kuda pacuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tercatat 9 jenis tumbuhan (2 famili, 8 marga) yang

diberikan pada kuda pacuan selama lomba berlangsung, yaitu Alysicarpus vaginalis (Fabaceae), Desmodium dichotomum (Fabaceae), Cynodon dactylon

(Poaceae), Cynodon sp. (Poaceae), Dactyloctenium aegyptium (Poaceae), Brachiaria sp. (Poaceae), Eleusine indica (Poaceae), Eulalia fimbriata (Poaceae) dan Leersia hexandra (Poaceae). Hijauan pakan diberikan pada kuda pacuan

dalam bentuk pakan tunggal maupun kombinasi diantara jenis-jenis tumbuhan tersebut dengan komposisi nutrisi yang berbeda.

Kata kunci: jenis hijauan pakan, kuda pacuan, poaceae, fabaceae

IDENTIFYING AND RECORDING OF FORAGES OFFERED TO

RICING HORCE IN WEST TENGGARA BARAT

Sudirman

1), Gde Mertha

2) dan Suhubdy

1)

1) Faculty of Animal Science ,

2)Faculty of Teacher Training and Education

Mataram University - Mataram

Email: [email protected]

ABSTRACT

A research had been done aimed at (1) identifying and recording the kind of

forages offered to ricing horses during the ricing competition, and (2) Analyzing the chemical composition of that forages offered. Data had been collected by doing an direct observation to forages and interview to the owners of the ricing

Page 122: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 305

horses who came to follow the competition at horse ricing arena at Sumbawa

Regency in 2012. All forages offered to each horse had been identified and sampled for analyzing the chemical composition. The results of this research is

that there were eight types of forages given to ricing horseS. Those are Alysicarpus vaginalis (Fabaceae), Desmodium dichotomum (Fabaceae), Cynodon dactylon (Poaceae), Cynodon sp. (Poaceae), Dactyloctenium aegyptium (Poaceae),

Eleusine indica (Poaceae), Eulalia fimbriata (Poaceae) dan Leersia hexandra (Poaceae). The forage offered to the horse was either as sole or combined diet

with different nutritional contents. Keywords: forages, fabaceae, poaceae, ricing horse, sumbawa

PENDAHULUAN

Pacuan Kuda pada awalnya merupakan sebuah tradisi pesta rakyat Nusa Tenggara Barat secara turun-menurun, khususnya di wilayah kabupaten se Pulau Sumbawa, sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

limpahan rezeqi hasil panen padi. Mengingat masa panen tanaman padi waktu itu sekitar enam bulan yang ditanam di sawah tadah hujan, maka tradisi rakyat

dimaksud hanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Dengan semakin pendeknya umur tanaman padi dan/atau masa panen berubah menjadi dua kali setahun, maka acara Lomba Pacuan Kuda seringkali berlangsung lebih dari sekali setahun,

bahkan telah menjadi agenda rutin pengurus PORDASI (Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia) bekerjasama dengan pemerintah daerah dirangkaikan

dengan perayaan hari besar nasional maupun regional. Tidak kurang kurang dari 700 ekor kuda pacu terbagi dalam lima kelas terdaftar sebagai peserta pada setiap acara lomba yang memiliki bermacam-macam ciri yang bersifat karakteristik

morfologis (Sudirman, 2011). Hal inilah yang mendongkrak peluang peternak untuk memelihara ternak kuda jantan pilihan, terutama dari keturunan kuda yang

memiliki silsilah jawara. Apabila kuda pacu dimaksud telah menurun kecepatan atau tidak lagi menjuarai turnamen, masih memiliki nilai jual yang relatif tinggi karena dapat digunakan sebagai kuda penarik Cidomo (Sudirman, dkk., 2012).

Memelihara Kuda Pacu ternyata memerlukan perhatian khusus, terutama jenis hijauan pakan yang disajikan menjelang dan/atau pada saat dilombakan.

Hijauan pakan yang diberikan biasanya berupa campuran lebih dari lima jenis dengan harapan saling menutupi kekurangan nutrisi masing-masing. Pemberian hijauan pakan dimaksud hanya berpatokan pada tradisi yang turun-temurun atau

yang dilakuksn oleh pemilik kuda pacu yang seringkali menjadi juara pada beberapa even sebelumnya.Dengan kata lain, para pemilik kuda pacu tidak

mengerti nama dan nutrisi apa serta berapa nilai yang terkandung di dalamnya sehingga disenangi oleh kuda. Makalah ini menginformasikan beberapa jenis hijauan pakan pavorit Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat serta komposisi

kandungan makro-nutrisinya.

MATERI DAN METODE

Penelitian yang telah dilaksanakan bulan Januari 2012 bertepatan dengan pencanangan Revitalisasi Lomba Pacuan Kuda Tradisional Sumbawa oleh

Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat di Arena Pacuan Kuda Orong Gilae

Page 123: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 306

Sumbawa Besar. 179 orang resonden/pemilik kuda pacu yang telah berhasil

masuk babak semifinal (± 25 persen dari jumlah peserta) yang terbagi dalam lima kategori kelas lomba (TK = 40 orang, O = 57 orang, TH = 35 orang, T = 30 orang,

dan D = 35 orang). Wawancara dan inventarisasi langsung jenis hijauan pakan dilakukan pada

sore dan malam hari di lokasi kandang sementara yang didirikan di luar/tidak jauh

dari arena pacu. Sekitar 500 g sampel segar dari semua jenis hijuan pakan yang tersedia di dalam kandang diambil secara acak kemudian dibawa ke laboratorium

Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan dan Laboratorium Analitik Universitas Mataram untuk dianalisis secara mikroskopis dan makroskopis (Mertha, 2012) dan analisa proksimat bahan kering, protein kasar, lemak kasar,

serat kasar, energi kasar, kalsium dan fosfor (Harris, 1970 ; Sudirman, dkk., 1993 ; Sudirman, 2013). Hasil penelitian berupa data kualitatif dibahas secara

diskriptif, dan data kuantitatif (nilai rata-rata) dianalisis statistik menggunakan program Microsoft Excel (Santosa dan Ashari, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wawancara yang dilakukan pada sore dan/atau malam hari, nampaknya lebih banyak diperoleh informasi terutama yang terkait dengan jenis hijauan pakan kuda pacu karena para responden cenderung berkumpul di kandang kuda

yang akan dilombakan keesokan harinya. Koleksi sampel semua jenis pakan tidak mengalami kesulitan karena pada umumnya telah tersedia sehari sebelumnya serta

dibersihkan dan dipilah-pilah berdasarkan jenisnya. Penelitian menemukan

tidak kurang 25 jenis hijauan pakan yang diberikan kepada kuda pacu

merupakan penyusun utama komposisi botani dan merupakan famili

Poaceae, Cyperaceae, Commelinaceae, Euphorbiaceae, Amaranthaceae, Fabaceae, Convolvuceae, dan lain-lain yang belum teridentifikasi. Tetapi hanya

delapan jenis hijuan pakan berikut ini (Tabel 1) yang dikoleksi dari responden termasuk dalam famili Poaceae dan Fabaceae.

Tabel 1. Jenis Hijauan Pakan Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat

No. urut Nama ilmiah Family

1. Desmodium dichotomum Fabaceae

2. Alysicarpus vaginalis Fabaceae 3. Cynodon sp Poaceae 4. Eulalia amora Poaceae

5. Cynodon dactylon Poaceae 6. Leersia hexandra Poaceae

7. Dactyloctenium aegyptium Poaceae 8. Eleusine indica Poaceae

Hasil pengamatan menunjukkan, Cynodon dactylon merupakan jenis

hijaun pakan yang dominan proporsinya dalam campuran pakan kuda pacu, relatif sama dengan komposisi botani hijauan pakan kuda penarik cidomo di Kota Mataram provinsi Nusa Tenggara Barat (Sudirman, dkk., 2012).

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan makro-nutrisi (bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kalsium dan fosfor) kelima jenis

Page 124: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 307

hijauan pakan kuda pacu di Nusa Tenggara Barat tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kadar Nutrisi Hijauan Pakan Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat

Jenis Hijauan Pakan BK (%)

PK (%)

LK (%)

SK (%)

GE Kkal/k

g

Ca (%)

P (%)

Desmodium dichotomum 88,72 10,99 1,78 21,21 5.132 0.18 0.16

Alysicarpus vaginalis 89,88 14,43 2,84 18,84 4.291 0.30 0.33

Cynodon sp 90,35 6,99 2,09 35,95 5.248 0.15 0.26

Eulalia fimbriata 92,34 14,25 2,65 23,11 4.857 0.19 0.45

Cynodon dactylon 81,30 16,28 1,96 30,65 5.767 0.25 0.26

Leersia hexandra 89,33 14,64 1,91 24,58 3.579 0.16 0.16

Dactyloctenium

aegyptium 92,71

7,50 2,36 27,47 3.720 0.17 0.54

Eleusine indica 90,01 12,19 2,66 28,00 3.981 0.29 0.28

Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, LK = Lemak Kasar, SK = Serat Kasar,

GE = Gross Energy, Ca = Kalsium, P = Fosfor.

Data kadar bahan kering pada Tabel 2 merupakan porsi di dalam hijauan

pakan kering udara (air dry basis), tetapi setelah dikonversikan ke dalam hijauan segar ternyata kadar bahan keringnya (as fed basis) berturut-turut (dari atas ke bawah): 25,30%, 22,55%, 32,08%, 43,19%, 30,35%, 25,13%, 30,32%, dan

32,50%. Hasil analisis laboratorium terhadap bahan kering (as fed basis) tersebut memberikan informasi bahwa hijauan pakan yang diberikan telah dilayukan atau

mengandung kadar air sekitar 56, 81-77,45 persen. Secara umum dapat diartikan bahwa pemilik kuda pacu yang menjadi responden didalam penelitian ini telah memahami manajemen pemberian hijauan pakan atau efek negatif apabila ternak

mengkonsumsi hijauan pakan yang terlalu tinggi kadar air. Kadar protein kasar Cynodon dactylon yang direkam dalam penelitian ini

hampir dua kali lipat dibanding laporan yang lain yaitu sebesar 9,70%, sedangkan Dactyloctenium aegyptiu, Eleusine indica, dan Leersia hexandra relatif sama kandungan proteinnya dibanding pernyataan Anonimus (cit. Adawiyah, 2012)

yaitu masing-masing 7,4-8,6%, 9,6-10,1%, dan 13,98%. Tingginya kadar protein kasar Cynodon dactylon yang diberikan kepada kuda pacu di kabupaten pulau

Sumbawa diduga karena rumput dimaksud banyak tumbuh di areal persawahan atau sengaja dipelihara sebagai pakan kuda pacu. Selain kadar protein kasar yang relatif tinggi, informasi lain yang menarik terhadap Cynodon dactylon adalah

rendahnya kadar lemak kasar, tingginya energi, dan seimbangnya kandungan kalsium dan fosfor.

KESIMPULAN

Terinventarisir delapan jenis hijauan pakan kuda pacu di provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, relatif spesifik dan

telah menjadi pakan tradisional kuda pacu. Cynodon dactylon merupakan jenis hijauan pakan pavorit kuda pacu dengan proporsi komposisi botani di dalam campuran pakan sangat dominan dan diberikan minimal sebulan sebelum lomba.

Page 125: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 308

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Riza Fakhlevi, Lismadia Utami, Saudatul Adawiyah,

Yuni Sulastiani, Marninayanti, dan seluruh panitia Revitalisasi Lomba Pacuan Kuda Tradisional Sumbawa, yang telah membantu selama penelitian berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, Saudatul, 2012. Inventarisai Jeni Pakan dan Energi Pakan dan Kecepatan Lari Kuda Sumbawa. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Mataram.

Harris, Lorin E., 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild Animals. Volume 1. An International Research System and Procedures for

Analyzing Samples. Printed in the United States of America. Mertha, I Gde, 2012. Visualization of Forest Trees of Lombok. Biology

Departement Mataram University. Pendanaan dan Penerbitan: JIFPR dan

Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Santosa, P.B. dan Ashari, 2006. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan

SPSS. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Sudirman, Muhammad Warman, I Nyoman Budiardja, Sofyan D. Hasan, dan

Suhubdy, 1993. Aspek Pakan Kuda Pacuan di Nusa Tenggara Barat

Kaitannya dengan Kecepatan Lari. Laporan Penelitian. DP3M Dirjen Dikti. Fakultas Peternakan Universitas Mataram.

Sudirman, 2011. Penetapan Rumpun Kuda Sumbawa. Makalah disampaikan dan Dipertahankan di Depan Dewan Komisi Penilaian, Penetapan, dan Pelepasan Rumpun atau Galur Ternak. Bogor.

Sudirman, Suhubdy, Sofyan D. Hasan, Mohammad Iqbal, dan Oscar Yanuarianto, 2012. Profil Pakan Kuda Penarik Cidomo: Skrening Bahan Pakan Lokal

Berdasarkan Indeks Kecernaan. Laporan Penelitian. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Universitas Mataram.

Sudirman, 2013. Evaluasi Pakan Tropis, Dari Konsep ke Aplikasi (Metode in-

Vitro Feses). Pustaka Reka Cipta, Bandung.

Page 126: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 309

PRODUKTIVITAS TENAGA PENGARIT BERDASARKAN MODA

PENGANGKUT DI PETERNAKAN SAPI PERAH PONDOK RANGGON,

JAKARTA TIMUR

Iwan Prihantoro

1), M. A Setiana, Annisa Bahar

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas tenaga pengarit dan efektivitasnya berdasarkan moda pengangkut yang dipergunakan di peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Peternakan sapi perah

Pondok Rangon merupakan salah satu peternakan yang masih bertahan di DKI Jakarta yang ketersediaan hijauan pakannya berasal pada padang rumput alam.

Penelitian didasarkan pada sumber data primer dan sekunder dengan cara sensus dari total 22 peternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak di Pondok Rangon 40,91% telah berumur > 55 tahun dan 45,46% telah memiliki

pengalaman >20 tahun. Kapasitas mengarit tertinggi pada umur 38 tahun (395 kg/hari) dan moda truck lebih efisien dalam penyediaan hijauan dibanding pick up

dan becak motor.

PRODUCTIVITY OF GRASS SEEKERS BASE ON THE TRANSPORT

VEHICLE USED IN PONDOK RANGGON DAIRY CATTLE FARM,

EAST JAKARTA

ABSTRACT

The aim of this study were analyze productivity of grass seekers base on the transport vehicle used in pondok ranggon dairy cattle farm, east jakarta. Pondok Ranggon farm is one of the dairy cattle farms in Jakarta where the supply of

forage depend on natural pastures. Research based on primary and secondary data from the farmers and grass seekers using census techniques of 22 farmers. The

result showed, that 40.91% farmers were > 55 years old and 45.46% had >20 years of experience. The highest capacity of grass seeker were 38 years old (395 kg/d). Truck more efficient in supplying forages (p<0.05) than pick up and motor

tricycles. Keywords: grass seeker productivity, forage, dairy cattle

PENDAHULUAN

Usaha peternakan sapi perah sangat bergantung pada ketersediaan pakan terutama hijauan yang nilainya mencapai 60-70% dari biaya produksi. Mengingat

tingginya biaya tersebut, perlu adanya perhatian tentang penyediaan pakan yang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. DKI Jakarta merupakan kota metropolitan dengan pembangunan yang bertambah pesat setiap tahunnya yang

berdampak langsung terhadap berkurangnya lahan terbuka yang beralih fungsi menjadi berbagai macam jenis bangunan. Dibalik pesatnya pembangunan Ibukota,

masih terdapat kawasan peternakan yang berbasis sapi perah. Peternakan sapi perah Pondok Ranggon terletak pada koordinat 06o21.435‟ lintang selatan dan

Page 127: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 310

106o54. 391‟ bujur timur. Kawasan peternakan Pondok Ranggon berbatasan

langsung dengan jalan Munjul Raya Kecamatan Cipayung (sebelah utara), perikanan ikan arwana dan perkemahan pramuka Cibubur (sebelah barat),

Kabupaten Bekasi (sebelah selatan), dan Tempat Pemakaman Umum (sebelah timur).

Penyediaan hijauan makanan ternak di Jakarta cukup sulit didapat karena

ketersediaan lahan yang sedikit dan produktivitas hijauan sangat tergantung pada musim. Ketersediaan lahan hijau di Jakarta tiap tahun semakin berkurang seiring

bertambahnya penduduk, sehingga lahan hijau beralih fungsi menjadi pemukiman. Hal ini menyebabkan ketersediaan hijauan pakan ternak berkurang, sehingga peternak akan mencari hijauan ke daerah lain hingga ke luar daerah Jakarta. Pola

mengarit ke luar daerah ini mengakibatkan waktu peternak akan banyak terbuang untuk mencari hijauan daripada mengurus ternaknya.

Tingginya minat beternak sapi perah di Pondok Ranggon semakin menuntut pakan asal hijauan yang semakin tinggi. Permasalahan lain yang dihadapi yaitu umumnya peternak tidak memiliki lahan khusus penyedia hijauan seperti kebun

rumput potong. Hingga saat ini penyediaan hijauan sangat bergantung pada padang rumput alam yang ketersediaanya semakin menurun. Saat ini kajian

tentang produktivitas tenaga pengarit dan komposisi hijauan pakan domestik di daerah penyedia hijauan belum dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas tenaga pengarit

dan efektivitasnya berdasarkan moda pengangkut yang dipergunakan di peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan usaha ternak sapi perah Pondok

Ranggon Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Waktu penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Februari-April 2013.

Materi

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, GPS

device, kamera, dan kuisioner.

Prosedur

Pelaksanaan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang

menggambarkan situasi atau keadaan berdasarkan data-data faktual dengan teknik survei dan observasi langsung di kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Responden dari

penelitian ini adalah peternak sapi perah di Pondok Ranggon, dimana pemilihan responden ini menggunakan teknik sensus terhadap 22 peternak sapi perah yang

berada di kawasan tersebut. Pengamatan dan pengukuran terhadap 19 peternak dari total 22 peternak yang berada dikawasan ini hanya dilakukan terhadap peternak atau buruh yang mengarit di area terbuka dalam penyediaan hijauan

pakan.

Page 128: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 311

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Observasi

di lapangan meliputi pengamatan aktivitas pengarit dengan mengikuti peternak selama mengarit dan dilakukan pencatatan serta dokumentasi. Observasi juga

dilakukan terhadap jarak dan waktu tempuh peternak ke tempat mengarit menggunakan GPS untuk mengetahui jelajah pengarit dalam mencari hijauan, dan jenis moda yang dipakai peternak untuk mengangkut dari hasil mengarit. Waktu

efektif dan areal jelajah peternak dalam mengarit dihitung, serta dilakukan penimbangan terhadap hasil mengarit tiap peternak.

Analisis Deskriptif

Data survei dan observasi yang diperoleh terhadap responden masing-masing dari peternak dan buruh pengarit di daerah Pondok Ranggon, kemudian

diolah secara deskriptif. Analisis deskriptif ini meliputi gambaran keadaan umum di daerah penelitian, serta menggambarkan karakteristik peternak dan tenaga pengarit yang meliputi, umur, pengalaman (beternak atau mengarit), pekerjaan,

dan pendidikan. Selain itu, analisis deskriptif dalam penelitian ini untuk menggambarkan komposisi hijauan yang dikonsumsi ternak, waktu dan jarak

tempuh ke tempat mengarit, moda transportasi yang digunakan dalam mengarit, serta kapasitas mengarit per satuan waktu dan areal jelajah dalam mengarit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Peternakan Pondok Ranggon

Kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggon terletak di Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Keadaan permukaan

tanah di Pondok Ranggon bergelombang dengan dengan ketinggian 36 mdpl dengan curah hujan 1000-2000 mm/tahun (Anggraeni, 2010). Temperatur dan

kelembaban udara harian berkisar antara 24-35oC dan 65-91% (Dewayani, 2012). Pondok Ranggon mempunyai luas wilayah 366.015 ha dengan jumlah penduduk 24.962 jiwa (Profil Kelurahan Pondok Ranggon, 2012).

Peternak di Pondok Ranggon secara turun-temurun telah melakukan kegiatan berternak secara tradisional sejak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.

Peternak di daerah ini telah memiliki struktur organisasi yang bernama Kelompok Tani Ternak Swadaya Pondok Ranggon yang berdiri sejak tahun 1993. Kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggon mempunyai luas sebesar 11 ha dari 30 ha

yang telah disediakan oleh pemerintah sesuai dengan SK Gubernur No. 300 tahun 1986. Ternak yang dipelihara meliputi ternak ruminansia, yaitu: sapi perah, sapi

potong, kerbau, domba, dan kambing perah. Sapi perah merupakan ternak dominan yang dipelihara dengan populasi 1.100 ekor atau setara dengan 941.5 satuan ternak.

Penggunaan Lahan Kelurahan Pondok Ranggon

Berdasarkan data penggunaan lahan, penggunaan lahan di Kelurahan

Pondok Ranggon terdiri dari perumahan, perkantoran, rekreasi, sekolah, sarana ibadah, pemakaman, jalur hijau dan lain-lain. Lahan yang dapat digunakan

sebagai sumber hijauan pakan di Kelurahan Pondok Ranggon meliputi jalur hijau sebesar 0.54% dan pemakaman sebesar 18.56%. Kondisi ini menggambarkan luas lahan hijau yang sangat terbatas. Hal ini dikarenakan maraknya pembangunan

pemukiman dan bangunan lainnya sehingga lahan untuk sumber hijauan pakan berkurang.

Page 129: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 312

Tabel 1 Luas Penggunaan Lahan di Kelurahan Pondok Ranggon Jenis Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Perumahan 210.015 56.47 Perkantoran 4.6 1.24

Rekreasi/ OR 26 6.99

Fasum/Sekolah 20.5 5.51

Sarana Ibadah 22 5.92

Pemakaman 69 18.56 Jalur Hijau 2 0.54

Lain-lain 17.8 4.79

Sumber : Profil Kelurahan Pondok Ranggon, 2012

Karakteristik Peternak

Karakteristik peternak di Pondok Ranggon dibedakan berdasarkan umur

peternak, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pengalaman beternak. Berdasarkan Tabel 2, sebagian besar peternak di Pondok Ranggon berumur antara 25-70 tahun. Peternak berumur >55 tahun memiliki persentase paling besar yaitu

sebesar 40.91%. Umur tersebut merupakan umur yang cukup sulit untuk mendapat pengarahan dalam mengembangkan usaha ternaknya. Hal tersebut

dikarenakan peternak beranggapan bahwa pengalaman adalah sumber utama pengetahuan mereka dalam beternak.

Tingkat pendidikan peternak di Pondok Ranggon sebagian besar adalah

lulusan SMA (54.54%), sedangkan lulusan SD, D2, dan S1 masing-masing sebanyak 27.27%, 4.55%, dan 13.64%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum

peternak memiliki pendidikan yang relatif cukup tinggi. Meskipun tingkat pendidikan tergolong cukup tinggi, peternak di Pondok Ranggon belum menerapkan teknologi/mekanisasi dan masih bersifat tradisional.

Pekerjaan utama masyarakat di Pondok Ranggon adalah peternak dengan persentase sebesar 90.9%. Secara umum peternak sapi perah di Pondok Ranggon

menjadikan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi perah memberikan jaminan pendapatan yang berkesinambungan jika dikelola dengan baik. Tingkat pengalaman beternak di Pondok Ranggon relatif

lama yaitu lebih dari 20 tahun yang merupakan warisan keluarga secara turun menurun.

Tabel 2 Karakteristik Peternak Karakteristik Individu Jumlah Responden Peternak Persentase (%)

Umur (Tahun)

a. 25 - 35 tahun 6 27.27% b. 36 - 45 tahun 2 9.09%

c. 46 - 55 tahun 5 22.73%

d. > 55 tahun 9 40.91%

Pendidikan

a. SD 6 27.27% b. SMA 12 54.54%

c. D2 1 4.55%

d. S1 3 13.64%

Pekerjaan

a. Peternak 20 90.9% b. Petani 1 4.55%

c. Lainnya 1 4.55%

Lama beternak

a. 1 – 10 tahun 8 36.36%

b. 11– 20 tahun 4 18.18% c. > 20 tahun 10 45.46%

Sumber : Data primer 2013

Page 130: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 313

Produktivitas Tenaga Pengarit dan Manajemen Pakan Hijauan

Penyediaan hijauan pakan tidak terlepas dari ketersediaan alam dan produktivitas tenaga pengarit. Berdasarkan status tenaga pengarit, hanya terdapat

5.26% pengarit yang berstatus sebagai pemilik ternak. Tenaga pengarit didominasi oleh tenaga lepas/buruh sebanyak 94.74%. Karakteristik tenaga pengarit di kawasan Pondok Ranggon disajikan pada Gambar 1.

Banyaknya tenaga pengarit meningkat seiring banyaknya jumlah ternak. Pengaruh ini dimodelkan dalam bentuk persamaan linear. Berdasarkan model

tersebut dapat diambil kesimpulan berupa satu tenaga pengarit bertanggung jawab terhadap 7.02 ST dengan Y = 32,23x - 25,21; R² = 0,552. Banyaknya kapasitas mengarit meningkat seiring besar berat badan pengarit dengan setiap kenaikan

bobot badan tenaga pengarit sebesar 1 kg meningkatkan menaikkan kapasitas mengarit sebesar 19.663 kg. Berdasarkan umur tenaga pengarit, kapasitas

mengarit tertinggi berada pada umur 38 tahun dengan kapasitas mengarit sebesar 395 kg/hari dan pengalaman mengarit cenderung meningkatkan banyak kapasitas mengarit.

Pemberian hijauan cenderung menurun seiring dengan banyaknya jumlah kepemilikan satuan ternak (Gambar 2). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan

peternak dalam mengarit. Peternak cenderung mengkonpensasi kekurangan hijauan dengan konsentrat dan ampas tahu. Konsentrat memiliki zat makanan utama (protein, lemak, karbohidrat) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

ternak. penambahan konsentrat terhadap sapi perah dara pada usaha peternakan rakyat secara efektif meningkatkan pertambahan berat badan dan mempercepat

umur pubertas ternak (Mariyono et al., 1995)

(a) (b)

(c)

(d) Gambar 1

Keterangan : (a) adalah hubungan banyak pengarit terhadap jumlah ternak, (b) adalah hubungan kapasitas mengarit

terhadap bobot badan, (c) adalah grafik hubungan antara kapasitas mengarit terhadap umur, dan (d) adalah hubungan antara kapasitas mengarit terhadap pengalaman.

y = 32,234x - 25,214 R² = 0,5528

0

50

100

150

200

0 2 4 6Jum

lah

Te

rnak

(ST

)

Jumlah Pengarit (orang)

y = 19,663x - 761,01 R² = 0,6383

0

200

400

600

800

40 50 60 70kap

asit

as m

en

gari

t (k

g)

bobot badan tenaga pengarit (kg)

y = -0,4561x2 + 35,268x - 286,17

R² = 0,3439

0

200

400

600

800

0 20 40 60 80

Kap

asit

as m

en

gari

t (k

g)

Umur Tenaga Pengarit (tahun)

y = 26,451x + 221,18 R² = 0,2935

0

500

1000

1500

2000

0 10 20 30

Kap

asit

as m

en

gari

t (k

g)

Pengalaman Mengarit (tahun)

Page 131: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 314

Gambar 2 Manajemen pemberian hijauan pakan

Moda Penyediaan Hijauan di Pondok Ranggon

Moda penyediaan hijauan di Pondok Ranggon terbagi atas 3 jenis alat angkut yaitu gerobak (29%), pick-up (53%), truk (12%) dan becak motor (6%).

Berdasarkan hasil uji sidik ragam, moda truk berbeda nyata lebih efisien (p<0,05)

dibanding pick-up dan gerobak dalam perolehan hijauan. Hal ini disebabkan jarak tempuh yang lebih jauh dan areal jelajah yang lebih luas. Berdasarkan jumlah

ternak, moda truk nyata lebih banyak dari gerobak dan pick up. Meskipun demikian jumlah ternak/tenaga pengarit tidak menunjukkan perbedaan.

Tabel 3. Moda Penyediaan Hijauan Pakan

Parameter Jenis alat angkut

Gerobak Pick-up Truk

Jumlah Tenaga Pengarit (orang) 1.25±0.50c 2.33±0.71

b 4±0

a

Waktu tempuh (menit) 22.75±22.65 15.22±6.98 32±1.41

Jarak (mil) 1.20±1.22b 2.81±2.29

b 10.6±1.84

a

Jelajah mengarit (m2) 189.41±161.08

b 155.84±52.49

b 243.31±116.5

a

Kapasitas hijauan (kg) 310.25±231.42b 859.00±377.17

b 2382±195.16

a

jumlah Ternak (ekor) 28.75±17.59b 43.88±12.27

b 151±41.01

a

Jumlah Ternak/ Tenaga

Pengarit

22.38±9.69 21.87±13.64 37.75±10.25

Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama meunjukkan berbeda nyata pada

taraf p< 0.05

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak di Pondok Rangon 40,91% telah berumur > 55 tahun dan 45,46% telah memiliki pengalaman

>20 tahun. Kapasitas mengarit tertinggi pada umur 38 tahun (395 kg/hari) dan moda truck lebih efisien dalam penyediaan hijauan dibanding pick up dan becak motor.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, L. 2010. Evaluasi usaha sapi perah dalam aspek financial berdasarkan skala usaha yang berbeda (studi kasus pada kelompok tani ternak sapi perah

y = -0,2967x + 20,524 R² = 0,1272

y = 0,0572x + 8,4675 R² = 0,0623

y = 0,0803x + 4,3728 R² = 0,1657

0

5

10

15

20

25

30

8

12

18

29

30

37

40

46

42

48

10

8

Pe

mb

eri

an (

kg/S

T/h

ari)

Jumlah Ternak (ST)

Hijauan

Konsentrat

Ampas Tahu (BK)

Page 132: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 315

swadaya Pondok Ranggon di Jakarta Timur). Skripsi. Fakultas Peternakan.

Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Dewiyani, N. 2012. Hubungan antara produksi dan kualitas susu sapi perah

dengan faktor yang mempengaruhi (studi kasus di Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kantor Kelurahan Pondok Ranggon. 2011. Profil Kelurahan Pondok Ranggon

Tahun 2012. Kecamatan Cipayung. Kota administrasi Jakarta Timur. Mariyono, A. Musofie, D. Pamungkas dan D. E. Wahyono. 1995. Pengaruh

pemberian pakan konsentrat pada sapi perah dara dalam usaha peternakan rakyat terhadap tampilan produktivitas dan efisiensi ekonomis. J. Ilmu Penelitian Ternak Grati. Vol 4 (1) : 1-5

Page 133: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 316

PRODUKTIVITAS DAN EMISI POLUTAN KAMBING PERANAKAN

ETAWAH YANG DIBERI WAFER RANSUM BERBASIS LIMBAH

TERFERMENTASI INOKULAN KONSORSIUM MIKROBA

Mudita, I M., A. A. P. P. Wibawa, I W. Wirawan, I G. L. O. Cakra dan I B. G. Partama

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERS ITAS UDAYANA

HP. 081338791005, email : [email protected]

ABSTRACT

A Research had been carried out to optimise quality of ration wafer based

on nonconventional waste through biofermentation of consortium microbe inocullant to support development sustainable goat livestock on Research Stasiun Faculty of Animal Husbandry Udayana University, Bukit Jimbaran, Badung

Regency. Five consortium microbe inocullants used as fermentor for production ration wafer based on nonconventional waste (WFc, WF1, WF2, WF3, and WF4)

were inocullant of 1,5% rumen liquor and 0,05% optyzime enzyme, and 4 bioinocullant produced by combination of 2 levels bali cattle rumen liquor (10% and 20%) and 2 levels termites (0,1% and 0,2%) cultivation on natural inocullant

medium (BR1T1, BR2T1, BR1T2 and BR2T2). Fifteen Goat of Etawah Crossbreed were used in this research which designed of Randomized Block Designed with

five treatments and three blocks. The treatments were WFC are wafer silage ration nonconventional waste fermented by 1.5% rumen liquor and 0.05% optizyme enzyme, WF1 are wafer silage ration fermented BR1T1, WF2 are wafer silage ration

fermented BR2T1, WF3 are wafer silage ration fermented BR1T2, and WF4 are wafer silage ration fermented BR2T2. The result showed there not significant

different (P>0,05) of animals productivities, production of N-NH3, Propionic, Butiric, pH, organic matter degradation on rumen, loss energy for VFA production, loss energy as methane, loss energy as heat, rumen protein microbes synthesis,

efficiency of protein microbes synthesis, dry matter and nutriens digestibility, and pollutant emisions of etawah crossbreed goat. Even though on total VFA, Acetic,

ATP production on rumen and synthesis of dry matter biomass microbes, given WF3 (ration wafer fermented by BR1T2) has higest value and significant different (P<0,05) with WFc (ration wafer fermented by 1,5% rumen liquor and 0,05%

optyzime enzyme), and lowest (P<0,05) of population of rumen protozoa. It was concluded that all ration wafer fermented consortium microbes inocullat has

similar productivities with lower pollutan emmisions of goat livestock. Key word: Biofermentation, Consortium Microbes Inocullant, Nonnconventional

Waste, Ration Wafer

PENDAHULUAN

Pemanfaatan sumber daya lokal asal limbah sebagai wafer ransum kambing akan mengoptimalkan pemanfaatan limbah, mengurangi sifat selektivitas

ternak dan pencemaran lingkungan (Hegarty, 2001; Bratasida, 2002). Disamping secara alami, kambing mampu mengkonversi pakan berserat menjadi sumber

energi utama (Wanapat, 2000). Namun hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan limbah sebagai pakan tanpa aplikasi teknologi menurunkan produktivitas serta meningkatkan emisi polutan (Wibawa et al., 2009-2011; Mudita et al., 2009-

Page 134: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 317

2012). Hal ini menunjukkan konversi pakan berserat menjadi produk bermanfaat

(daging maupun susu) oleh kambing belum optimal, hanya 42% serat kasar pakan limbah dapat dicerna (Mudita et al., 2010). Hal ini disinyalir akibat tingginya

kandungan lignoselulosa pakan limbah yang membatasi pemanfaatannya oleh ternak (Perez et al., 2002).

Lignoselulosa merupakan komponen utama biomassa tanaman pembangun

dinding sel yang terdiri dari tiga polimer yaitu lignin (25-30%), selulosa (35-50%) dan hemiselulosa (25-30%) yang berikatan kuat melalui ikatan non-kovalen dan

kovalen silang (Howard et al., 2003). Lignoselulosa hanya bisa didegradasi secara sempurna oleh aktivitas kompleks enzim lignoselulase yang dihasilkan oleh kerjasama berbagai mikroba (Sarkar et al., 2011; Wongwilaiwalin et al., 2010).

Sehingga pemanfaatan isolat tunggal tidak mampu mendegradasi ketiga polimer tersebut secara sempurna.

Konsorsium mikroba merupakan sekelompok mikroba dengan aktivitas sinergis mendegradasi senyawa/substrat secara berkesinambungan menghasilkan produk akhir berupa monomer siap pakai (Pathma dan Sakthivel, 2012). Sarkar et

al. (2011) mengungkapkan pemanfaatan konsorsium mikroba mengoptimalkan biodegradasi senyawa lignoselulosa melalui efisiensi waktu dan meniadakan bau

busuk dekomposting limbah organik dapur. Wongwilaiwalin et al., (2010) mengungkapkan formulasi konsorsium mikroba dari 3 sumber serat yaitu baggas tebu, jerami padi dan tongkol jagung “MC3F” mampu mengefisienkan

dekomposisi biomassa menjadi produk bernilai tinggi dengan aktivitas enzim endoglukanase, xylanase dan β-glukanase tinggi. Di alam, berbagai konsorsium

mikroba dapat diperoleh seperti isi rumen, rayap, cacing tanah, lahan pertanian, lahan gambut dan sumber lainnya.

Hasil penelitian Hibah Bersaing I dan II (Wibawa et al., 2009-2010)

menunjukkan pemanfaatan 1,5% konsorsium mikroba cairan rumen sapi bali dan 0,05% enzim optizime menghasilkan wafer ransum limbah nonkonvensional

berkualitas dan produktivitas kambing PE yang tinggi. Sedangkan penelitian Mudita et al. (2009-2012) menunjukkan pemanfaatan konsorsium mikroba asal limbah rumen sapi bali dan rayap sebagai produk bioinokulan mampu

menghasilkan silase ransum berkualitas dengan tingkat kecernaan in-vitro yang tinggi. Hasil-hasil penelitian tersebut dievaluasi lebih lanjut dalam optimalisasi

pemanfaatan limbah dalam penegmbangan peternakan kambing kompetitif dan sustainable.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian Fapet UNUD Bukit Jimbaran dengan waktu pengamatan dan pengambilan data lapangan selama 2 bulan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 5 perlakuan dan 3 kelompok.

Tiap unit perlakuan menggunakan 1 ekor kambing PE betina muda dengan bobot badan awal 15,86 ± 2,57 kg/ekor. Lima inokulan konsorsium mikroba asal limbah

isi rumen sapi bali, rayap dan/atau enzim optyzime dimanfaatkan dalam penelitian ini. Satu inokulan terdiri dari 1,5% cairan rumen dan 0,05% enzim optizyme “R15E5” yang merupakan inokulan terbaik hasil penelitian Hibah Bersaing I dan

II, dan 4 bioinokulan yang diproduksi dari kombinasi 2 level cairan rumen {10% (R1) dan 20% (R2)} serta 2 level rayap {0,1% (T1) dan 0,2% (T2)} yang

Page 135: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 318

dibiakkan dalam medium inokulan alami secara anaerob T 39oC selama 1 minggu

(BR1T1, BR2T1, BR1T2 dan BR2T2) (Tabel 1). Inokulan tersebut dimanfaatkan dalam produksi wafer ransum perlakuan yaitu WFc = Wafer ransum terfermentasi

1,5% cairan rumen dan 0,05% enzim optizyme, WF1 = Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 = Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T1, WF3 = Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2 dan WF4 = Wafer

ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2.

Tabel 1. Komposisi Bioinokulan Limbah Rumen dan Rayap yang diproduksi Bahan Bioinokulan

Alternatif

Komposisi Bioinokulan

BR1T1 BR2T1 BR1T2 BR2T2

Cairan Rumen sapi bali 10,00 20,00 10,00 20,00

Rayap 0,10 0,10 0,20 0,20

Molases 8,99 7,99 8,98 7,98

Urea 0,90 0,80 0,90 0,80

Tepung Tapioka 0,90 0,80 0,90 0,80

Dedak Padi 0,45 0,40 0,45 0,40

Kapur 0,22 0,20 0,22 0,20

Garam Dapur 0,22 0,20 0,22 0,20

Pignox 0,18 0,16 0,18 0,16

Dedak padi 0,02 0,02 0,02 0,02

Air Sumur 78,02 69,34 77,93 69,25

Total 100 100 100 100

Kandungan Nutrien dan Mikroba Bioinokulan1

Protein Terlarut (%) 4,03 4,49 4,39 4,37

Fosfor/P (mg/l) 156,54 160,95 160,96 159,14

Kalsium/Ca (mg/l) 975,00 981,25 975,83 969,17

Belerang/Sulfur/S (mg/l) 244,00 244,33 241,33 246,00

Seng/Zinkum/Zn (mg/l) 7,96 8,00 7,92 8,07

Total Bakteri (x109

koloni/ml)

11,96

13,27 12,94 14,01

Bakteri Selulolitik (x109

koloni/ml)

6,33

6,65 6,43 7,00

Bakteri Silanolitik (x109

koloni/ml)

4,87

6,01 5,56 6,39

Keterangan: 1)

Hasil analisis Lab. Analitik UNUD, 2)

Hasil Analisis Lab. Biofarmaka, Fakultas

Farmasi Univerrsitas Hasanuddin, Makassar

Peubah yang diamati adalah: 1) Variabel Produktivitas Ternak meliputi pertambahan bobot badan harian, konsumsi bahan kering dan nutrien ransum

(Bahan Organik/BO, Protein Kasar/PK, Serat Kasar/SK dan Gross Energy/GE), serta FCR, 2) Variabel Fermentasi Rumen, terdiri terdiri dari pH cairan rumen,

konsentrasi VFA Total dan Parsial (Asetat, Propionat, Butirat dan asam lain), dan konsentrasi NNH3 cairan rumen, bahan organik terdegradasi (BOTr) dalam rumen, produksi ATP dalam rumen, jumlah energi untuk produksi VFA, jumlah

energi hilang sebagai metan, jumlah energi hilang sebagai panas, sintesis biomassa mikroba, sintesis protein mikroba dan efisiensi sintesis protein mikroba,

3) Variabel Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Wafer Ransum, meliputi KcBK, KcBO, KcSK, KCPK, Kc.energi, serta 4) Variabel Emisi Polutan, meliputi kadar CH4 dan CO2 cairan rumen serta konsentrasinya tiap unit VFA total, serta

konsentrasi dan produksi NH3 feses dan urine harian.

Page 136: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 319

Tabel 2. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal

Bahan Penyusun Komposisi (%)

Jerami Padi 15,00

Serbuk Gergaji kayu 4,00

Umbi ketela pohon 10,00

Dedak Padi 25,00

Bungkil Kelapa 30,00

Molases 5,00

Urea 3,00

Garam dapur 1,50

Kapur/CaCO3 1,35

Lemak Tello 5,00

Pignox 0,15

TOTAL 100,00

Kandungan Nutrien *

Bahan Kering (% Asfed) 91,07

Bahan Organik (% BK) 85,46

Serat Kasar (% BK) 21,79

Protein Kasar (% BK) 14,71

Energi Bruto/GE (kkal/kg) 3222,55

Keterangan: * Hasil analisis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud

Tabel 3. Teknik Fermentasi Ransum Penelitian Wafer

Ransum

Jumlah

ransum

basal (kg

Asfed)

Komposisi Larutan Inokulan

Cairan

Rumen

(liter)

Enzim

Optizyme

(kg)

Bioinokulan

aktif (liter)

Air

(liter)

Molases

(liter)

WFc 100 1,5 0,05 - 77 1,5

WF1 100 - - 2,5 lt BR1T1 76 1,5

WF2 100 - - 2,5 lt BR2T1 76 1,5

WF3 100 - - 2,5 lt BR1T2 76 1,5

WF4 100 - - 2,5 lt BR2T2 76 1,5

Tabel 4. Kandungan Nutrien Wafer Ransum Penelitian

Nutrien Kandungan Nutrien Wafer Ransum

WFc WF1 WF2 WF3 WF4

Bahan Kering (%

segar basis)

84,1102

84,1449

84,3375

83,8565

83,0318

Bahan Organik (%

BK)

85,8946 86,5790 86,3961 86,0740 86,6677

Serat Kasar (% BK) 13,3163 12,5741 12,6264 12,4943 12,4596

Protein Kasar (% BK) 16,0837 16,1644 16,9250 17,1836 17,1393

Energi Bruto/GE

(kkal/kg) 3504,07 3521,65 3687,35

3743,68

3734,04

Keterangan: Hasil analisis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud

Pertambahan bobot badan ternak ditentukan melalui penimbangan bobot

badan ternak setiap dua minggu sekali selama penelitian, Konsumsi bahan kering dan nutrien ransum didasarkan pada jumlah konsumsi ransum (Asfed) dikalikan

kandungan bahan kering atau nutrien ransum, kecernaan bahan kering dan nutrien ransum dihitung berdasarkan persentase selisih jumlah konsumsi nutrien ransum dengan jumlah nutrien yang keluar melalui feses dibagi dengan jumlah konsumsi

Page 137: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 320

nutrien ransum. Populasi protozoa dihitung menggunakan haemocytometer

dengan pewarna larutan Methylgreen Formalin Saline/MFS (Ogimoto dan Imai, 1981), pH cairan rumen diukur dengan pH meter Hanna Tife HI 9025, Kadar

VFA total dihitung menggunakan metode General Laboratory Procedure (1966), VFA parsial (Asetat, Propionat dan Butirat) dianalisis menggunakan Standard Addition Technique dengan HPLC (ICI Organic Acids Column), sedangkan Asam

lemak lain dihitung dari selisih VFA total dengan jumlah konsentrasi asetat, propionat dan butirat. Konsentrasi N-NH3 atau NH3 cairan rumen, feses dan urine

ditentukan dengan metode Phenolhypochlorite (American Society of Limnology, 1969), Bahan Organik terdegradasi dalam rumen (BOTr) ditentukan dengan menghitung jumlah bahan organik tercerna dikalikan 0,65 (ARC, 1990).

Sedangkan efisiensi sintesis protein mikroba dihitung berdasarkan produksi mikrobial protein tiap 100 g unit bahan organik terdegradasi.

Produksi methan dan Carbondioksida diestimasi berdasarkan produksi VFA parsial (Owen and Goetsch, 1988), yaitu CH4 (mmol) = 0,5 Asetat – 0,25 Propianat + 0,5 Butirat. Sedangkan CO2 = 0,5 Asetat + 0,25 Propionat + 1,5

Butirat. Produksi ATP dalam rumen, jumlah energi untuk produksi VFA, jumlah energi hilang sebagai metan, jumlah energi hilang sebagai panas, sintesis

biomassa (BK) mikroba dan sintesis protein mikroba dihitung berdasarkan kesetimbangan fermentasi dalam rumen (Owens dan Goetsch, 1988), yaitu :

Produksi ATP dalam Rumen (mol) = 2,5Asetat + 2,75Propionat + 3,5Butirat

Energi VFA (Mkal) = 0,2094Asetat + 0,3672Propionat + 0,5243Butirat

Energi hilang sbg methan (Mkal) = 0,2108 × (0,5Asetat+0,5Butirat–

0,25Propionat)

Energi hilang sbg panas (Mkal) = 0,0042Asetat + 0,0028Propionat + 0,0188Butirat

Sintesis Biomassa Mikroba (g/h) = 25Asetat + 27,5Propionat + 35Butirat 6000 × Prod ATP dalam Rumen

Sintesis Protein Mikroba (g/h) =

162 × (0,5Asetat + 0,5Propionat + Butirat)

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P≤0,05), analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)/Honestly Significant Difference/HSD (Sastrosupadi, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produktivitas ternak

Hasil penelitian menunjukkan, pemberian kelima wafer ransum berbasis

limbah nonkonvensional terfermentasi inokulan konsorsium mikroba menghasilkan produktivitas ternak sama (P>0,05) (Tabel 5), walaupun secara

kuantitatif pemberian WF3 menghasilkan pertambahan bobot badan harian, konsumsi serat kasar, konsumsi protein kasar dan konsumsi energi yang lebih tinggi masing-masing sebesar 0,54-10,62%, 1,27-9,44%, 1,25-24,62%, dan 1,25-

24,61%. Terhadap konsumsi bahan kering dan bahan organik, pemberian WFc menghasilkasn tingkat konsumsi secara kuantitatif tertinggi (510,88 g/e/h dan

441,90 g/e/h) yang lebih besar 0,04-1,15% dan 0,53-4,54% dibandingkan dengan pemberian wafer ransum lainnya.

Page 138: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 321

Tabel 5. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap

Produktivitas Kambing PE

Peubah Perlakuan1

SEM 3 WFc WF1 WF2 WF3 WF4

BB Awal (kg/ekor) 15,67a 15,72a 15,90a 15,93a 16,07a 1,26

BB Akhir (kg/ekor) 18,69a 19,04a 19,03a 19,27a 19,25a 1,29 PBBH (gram/hari) 60,37a2 66,42a 62,68a 66,78a 63,64a 5,63

Konsumsi BK (g/h) 510,88a 505,80a 507,96a 510,67a 505,07a 49,52

Konsumsi BO (g/h) 441,90a 437,91a 438,86a 439,56a 422,72a 53,45

Konsumsi SK (g/h) 61,74a 61,86a 62,07a 67,57a 66,72a 6,45

Konsumsi PK (g/h) 74,57a 79,53a 83,21a 92,93a 91,78a 8,08 Konsumsi GE

(kkal/h) 1624,67a 1732,58a 1812,75a 2024,64a 1999,57a 175,99

FCR 8,36a 7,67a 8,20a 7,68a 8,10a 0,63

Keterangan: 1) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu

Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum

terfermentasi bioinokulan BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi

bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2; 2)

Hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

(P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the Treatment Means

Dihasilkannya produktivitas yang sama menunjukkan semua inokulan konsorsium mikroba mempunyai kualitas baik yang ditunjukkan terjadinya

peningkatan kandungan protein dan energi serta penurunan kadar serat kasar wafer ransum terfermentasi yang dihasilkan dibandingkan dengan kualitas ransum basal (Tabel 2 dan 4). Hal ini cukup logis mengingat bioinokulan konsorsium

mikroba yang diproduksi dari limbah rumen sapi bali dan rayap mempunyai kandungan nutrien dan mikroba yang cukup tinggi (Tabel 1), sedangkan inokulan

R15E5 merupakan inokulan terbaik hasil penelitian hibah bersaing I dan II (2009-2010). Sehingga semua inokulan tersebut mampu menjadi fermentor yang baik untuk ransum berbasis limbah nonkonvensional. Disamping itu pada dasarnya

semua inokulan mengandung konsorsium mikroba dengan berbagai enzim pendegradasi serat, dimana limbah isi rumen sapi bali maupun rayap merupakan

sumber konsorsium mikroba dengan populasi bakteri, fungi, maupun protozoa yang tinggi serta kaya berbagai enzim pendegradasi serat, sedangkan enzim optyzime merupakan enzim kompleks yang mengandung selulase, hemiselulase,

amylase, protease, dan pektinase (Guntoro, Pers.Comm), sehingga inokulan yang dihasilkan kaya nutrien available, mikroba serta enzim pendegradasi serat pakan.

Secara kuantitatif, pemanfaatan bioinokulan konsorsium mikroba yang diproduksi dari limbah rumen sapi bali dan rayap (BR1T1, BR2T1, BR1T2 dan BR2T2) menghasilkan pertambahan bobot badan harian lebih tinggi 3,82-10,61%

dan dengan FCR lebih rendah 2,00-8,35% dibandingkan dengan pemanfaatan “R15E5” inokulan limbah cairan rumen dan enzim optizime pada saat konsumsi

bahan kering dan bahan organik secara kuantitatif lebih rendah 0,04-1,14% dan 0,69-4,34% (Tabel 5). Hal ini kemungkinan disebabkan adanya kandungan rayap pada bioinokulan alternatif yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas

enzim khususnya CMCase (endo β-D-1.4-glukanase), dimana diketahui rayap mempunyai aktivitas CMCase yang tinggi yaitu 0,6961-0,7638 U/mg atau 7,11-

33,95 kali lebih besar dibandingkan dengan aktivitas CMCase cairan rumen kerbau, bahkan 19,39-35,69 kali lebih besar daripada aktivitas enzim cairan rumen sapi (Prabowo et al., 2007). Disamping itu kombinasi rayap dan cairan

rumen disinyalir meningkatkan kemampuan bioinokulan dalam mendegradasi

Page 139: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 322

serat pakan, karena produk hasil degradasi CMC-ase (sebagian besar dihasilkan

mikroba rayap) dapat dilanjutkan untuk didegradasi oleh enzim eksoglukanase maupun β-glukosidase (banyak dihasilkan mikroba cairan rumen) (Prabowo, et

al., 2007; Tresnawati Purwadaria et al., 2003;2004), sehingga meningkatkan keseimbangan aktivitas kompleks enzim selulase (Beauchemin et al., 2003 dalam Prabowo et al., 2007).

Fermentasi Rumen

Terhadap proses fermentasi rumen, penggunaan bioinokulan yang diproduksi dari kombinasi 10% cairan rumen dan 0,2% rayap (BR1T2) sebagai fermentor dalam produksi wafer silase ransum berbasis limbah nonkonvensional

mengakibatkan penurunan (P<0,05) populasi protozoa sebesar 38,37%, meningkatkan (P<0,05) produksi VFA total (78,67%), asam asetat (88,69%)

produksi ATP dalam rumen (83,67%) dan sintesis bahan kering mikroba rumen sebesar 83,59%, sedangkan terhadap derajat keasaman rumen (pH), produksi N-NH3, asam propionat, asam butirat, jumlah bahan organik terdegradasi dalam

rumen, energi untuk produksi VFA, enegi yang hilang untuk produksi methan, enegi panas, sintesis protein mikroba maupun efisiensinya belum secara nyata

(P>0,05) menghasilkan nilai yang berbeda dibandingkan inokulan kombinasi cairan rumen dan enzim optizime (R15E5) (Tabel 6). Hasil penelitian juga menunjukkan penggunaan bioinokulan lain (BR1T1, BR2T1 dan BR2T2) secara

kuantitatif juga menurunkan populasi protozoa, meningkatkan VFA total, asam asetat, produksi ATP dalam rumen dan sintesis biomassa mikroba, walaupun

belum menunjukkan nilai berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan penggunaan inokulan R15E5 (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap Fermentasi Rumen Kambing PE

Peubah Perlakuan1

SEM3 WFc WF1 WF2 WF3 WF4

Protozoa (x104) 6,62b 5,00ab 5,00ab 4,08a 4,31a 0,44

Ph 6,74a 6,84a 6,81a 7,00a 6,68a 0,17

N-NH3 (m.Mol) 20,03a 19,22a 18,50a 19,51a 20,41a 2,18

VFA Total (m.Mol) 81,50a 122,91ab 128,26ab 145,62b 134,94ab 12,33 VFA Parsial

- Asetat (mM) 42,36a 67,75ab 68,58a 79,93b 71,03ab 6,47

- Propionat (mM) 22,89a 34,42a 36,81a 42,26a 38,07a 5,48

- Butirat (mM) 9,65a 14,42a 16,28a 15,97a 13,94a 2,41

- As. Lemak lain (mM) 6,60a 6,33a 6,58a 7,46a 11,89a 1,70 BO Terdegradasi (g) 187,78a 201,93a 201,03a 225,00a 218,61a 34,94

Prod. ATP di Rumen

(mM)

202,61a 314,48ab 329,68ab

371,96b 331,07ab 30,57

Energi u. Prod. VFA

(Mkal)

22,33a 34,38a 36,42a

40,63a 36,16a 3,56

Energi Methan (Mkal) 4,50a 6,85a 7,00a 7,88a 6,95a 0,85

Energi Panas (Mkal) 0,42a 0,65a 0,70a 0,75a 0,67 0,07

Sintesis BK Mikroba (g) 2026,07a 3144,81ab 3296,83ab 3719,57b 3310,66ab 305,71

SPM (g) 177,56a 177,80a 177,19a 178,94a 179,09a 1,64

eSPM (g/100 g BOTr.) 108,27a 88,75a 89,07a 80,29a 94,01aa 20,02

Keterangan: 1) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu Wafer

ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan

BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2;

2) Hurup yang sama pada baris yang sama

menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the

Treatment Means

Page 140: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 323

Peningkatan sintesis bahan kering mikroba rumen (Microbial Biomass Synthesis), produksi Adenosin Tri Phosphat/ATP dan produksi VFA total dan produksi Asam Asetat pada kambing PE yang diberi wafer silase ransum terfermentasi

bioinokulan BR1T2 (bioinokulan yang diproduksi menggunakan kombinasi 10% limbah cairan rumen dan 0,2% rayap) menunjukkan pada kombinasi level cairan rumen dan ekstrak rayap tersebut kondisi optimal rumen untuk pertumbuhan dan

aktivitas mikroba rumen khususnya bakteri pendegradasi serat pakan tercapai. Hal ini tampak secara nyata dari pH cairan rumen yang berada dalam kisaran normal

yaitu pH 7 (kisaran pH normal adalah 6-7, Theodorou dan France, 1993) serta didukung populasi protozoa terendah (4,08 x 104 sel/ml) (Tabel 6) sehingga pertumbuhan dan aktivitas bakteri rumen menjadi lebih baik. Hal ini sejalan

dengan pendapat Van Glyswyk (1995) yang menyebutkan populasi protozoa yang tinggi merupakan salah satu faktor pembatas aktivitas bakteri rumen khususnya

pada saat pasokan nutrien pakan rendah. Kamra (2005) juga menyatakan peningkatan populasi protozoa akan menurunkan populasi bakteri khususnya selulolitik bakteri akibat dimangsa protozoa. Sehingga penurunan populasi

protozoa dan kondisi pH rumen yang optimal serta didukung pasokan nutrien ready fermentable yang tinggi (produksi ATP, VFA, N-NH3) akan mendukung

pertumbuhan dan aktivitas bakteri sehingga sintesis biomassa mikroba akan meningkat. Optimalisasi bioproses dalam rumen yang ditunjukkan dengan adanya

sintesis biomassa mikroba, produksi ATP dan produksi VFA yang tinggi, disinyalir sebagai respon suplementasi 0,2% rayap pada bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen, dimana rayap telah diketahui mempunyai

berbagai mikroba (bakteri, fungi dan protozoa) serta menghasilkan kompleks enzim selulase dan dengan aktivitas enzim CMC-ase yang tinggi (Prabowo et al.,

2006; Tresnawati Purwadaria, 2003;2004). Tingginya kandungan dan aktivitas CMC-ase akan meningkatkan efektivitas degradasi serat ransum, dimana enzim CMC-ase merupakan enzim yang paling awal/pertama mendegradasi serat pakan

khususnya dalam memecah ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin selulosa dari serat ransum berbasis limbah inkonvensional sehingga terbentuk

rantai-rantai individu selulosa. Disamping itu adanya limbah cairan rumen yang juga diketahui mempunyai kandungan mikrobia dan enzim pendegradasi serat pakan yang tinggi pula khususnya enzim eksoglukanase dan β-glukosidase

(Prabowo et al., 2007; Mudita et al, 2008-2010) telah mampu secara baik memanfaatkan atau memproses lebih lanjut produk yang dihasilkan oleh aktivitas

enzim CMC-ase. Enzim eksoglukanase dan β-glukosidase (dari cairan rumen) akan bekerja melanjutnya proses degradasi serat pakan dengan cara memotong ujung-ujung rantai individu selulosa sehingga menghasilkan selobiosa, dan

selanjutnya enzim β-glukosidase akan menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Berlanjutnya secara baik degradasi serat ransum akan mengoptimalkan produksi

dan pemanfaatan nutrien available baik bagi mikroba rumen sendiri maupun induk semang yang ditunjukkan dengan dihasilkannya ATP, VFA maupun sintesis biomassa mikroba yang tinggi sehingga produktivitas dan efesiensi pemanfaatan

ransun oleh ternak akan meningkat (Tabel 5).

Kecernaan Nutrien Wafer Ransum

Terhadap kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum, pemanfaatan

Page 141: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 324

semua inokulan konsorsium mikroba sebagai fermentor wafer ransum limbah

nonkonvensional menghasilkan kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum yang sama (P>0,05) (Tabel 7), walaupun secara kuantitatif penggunaan

bioinokulan konsorsium mikroba limbah isi rumen sapi bali dan rayap (BR1T1, BR2T1, BR1T2 dan BR2T2) menghasilkan nilai yang lebih tinggi masing-masing sebesar 3,41-8,18%, 3,16-5,49%, 6,00-7,77%, 2,21-15,31% dan 6,97-9,05% untuk

kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar dan kecernaan energi dibandingkan dengan pemanfaatan

R15E5.

Tabel 7. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap

Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Wafer Ransum

Peubah Perlakuan

1

SEM3

WFc WF1 WF2 WF3 WF4

Kecernaan BK (%) 67,14a2 70,08a 69,43a 71,94a 72,63a 4,11

Kecernaan BO (%) 70,55a 73,27a 72,78a 74,42a 73,21a 4,81

Kecernaan PK (%) 74,81a 79,49a 79,52a 80,62a 79,30a 3,73

Kecernaan SK (%) 46,64a 47,67a 48,91a 53,78a 51,97a 6,91

Kecernaan Energi (%) 71,83a 77,05a 77,09a 78,33a 76,84a 4,17

Keterangan: 1)WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu Wafer

ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan

BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer

ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2; 2) Hurup yang sama pada baris yang sama

menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the

Treatment Means

Dihasilkannya kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum yang sama (P>0,05) menunjukkan semua inokulan konsorsium mikroba mempunyai

kualitas baik dan mampu menjadi fermentor yang baik sehingga mampu menghasilkan wafer ransum berkualitas berbasis limbah nonkonvensional (Tabel 4). Pemberian wafer ransum berkualitas baik yang ditunjukkan dengan adanya

palatabilitas yang tinggi (Tabel 5) serta ditunjang proses fermentasi rumen yang baik (Tabel 6) sehingga akan menghasilkan kecernaan nutrien wafer ransum yang

tinggi dan pada akhirnya menghasilkan produktivitas ternak yang baik pula. Emisi Polutan Usaha Peternakan Kambing PE

Emisi polutan usaha peternakan kambing PE yang diberi wafer silase ransum terfermentasi bioinokulan yang diproduksi dari cairan rumen dan rayap

(WF1, WF2, WF3, WF4) maupun terfermentasi inokulan cairan rumen dan enzim optizime (WFc) menghasilkan nilai yang berbeda tidak nyata (P>0,05) hampir pada semua peubah pengamatan kecuali kadar amoniak/NH3 urine (Tabel 8).

Peningkatan kadar NH3 urine terjadi pada ternak yang diberi perlakuan WF2 (wafer silase ransum terfermentasi BR2E1) yaitu 33,79 m.Mol atau meningkat

(P<0,05) sebesar 150,56% dibandingkan dengan perlakuan WFc (12,97 mg/h), namun berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan lainnya. Namun peningkatan kadar NH3 urine ini tidak sampai meningkatkan emisi NH3 urine

harian yang merupakan indikator secara langsung jumlah emisi yang dikeluarkan ke lingkungan, sehingga tidak membawa pengaruh negatif bagi lingkungan.

Page 142: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 325

Tabel 8. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap Emisi

Polutan Kambing PE

Peubah Perlakuan

1

SEM3

WFc WF1 WF2 WF3 WF4

Metan Cairan Rumen

(m.Mol)

20,28a 32,48a 33,23a 37,39a 32,97a 4,04

Emisi Metan Cairan

Rumen (% bdsr.

Prod.VFA Total)

24,73a 26,28a 25,83a 25,83a 24,70a 2,15

CO2 Cairan Rumen

(m.Mol)

42,37a 64,11a 67,92a 74,49a 65,94a 6,85

Emisi CO2 Cairan

Rumen

(% bdsr. Prod.VFA

Total)

50,74a 52,19a 52,78a 51,05a 49,00a 1,52

NH3 Feses (m.Mol) 21,85a 16,29a 17,08a 14,31a 20,79a 2,03

Prod. NH3 Feses (mg/h) 86,58a 67,15a 66,21a 62,88a 90,46a 11,87

NH3 Urine (m.Mol) 12,97a 19,83ab 33,79b 28,39b 21,75ab 2,92

Prod. NH3 Urine (ml/h) 105,20a 201,81a 244,75a 199,42a 161,13a 54,70

Keterangan: 1) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime,

WF1 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2;

2) Hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the Treatment Means

Tidak terjadinya peningkatan emisi polutan usaha peternakan kambing

yang diberi wafer silase ransum berbasis limbah terfermentasi produk/inokulan berbasis cairan rumen dan enzim optizime/rayap disebabkan berlangsungnya proses metabolisme yang cukup baik yang ditunjukkan adanya nilai FCR yang

cukup rendah, tingkat kecernaan bahan kering maupun nutrien yang cukup tinggi, dan bioproses dalam rumen yang baik (Tabel 5-7) sehingga emisi polutan yang

dihasilkan baik melalui fermentasi rumen (eruktasi gas methan), limbah feses maupun urin ternak penelitian cukup rendah. Disamping itu hal ini juga sebagai respon yang positif dari pemakaian kombinasi sumber inokulan baik kombinasi

limbah cairan rumen dengan enzim optizim maupun kombinasi limbah cairan rumen dengan rayap. Dimana kedua kombinasi sumber inokulan ini telah mampu

menghasilkan keseimbangan enzim yang baik dalam proses degradasi wafer ransum khususnya degradasi komponen serat pakan menjadi senyawa yang dapat dimanfaatkan/diserap tubuh ternak untuk menunjang produktivitasnya.

Disamping itu, bila dibandingkan dengan emisi polutan khususnya emisi CH4 dan CO2 per unit VFA total yang dihasilkan dari kambing PE yang diberi

wafer ransum tanpa aplikasi biofermentasi (Hasil penelitian Hibah Bersaing I Tahun 2009) yaitu masing-masing 33,15% dan 55,66% tiap unit VFA total (Wibawa et al., 2009; Mudita et al., 2010), menunjukkan pemanfaatan inokulan

konsorsium mikroba menghasilkan emisi CH4 dan CO2 lebih rendah masing-masing 20,72-25,49% dan 5,17-11,96%. Hal ini menunjukkan aplikasi teknologi

biofermentasi inokulan konsorsium mikroba sebagai fermentor dalam produksi wafer ransum berbasis limbah nonkonvensional mampu menurunkan emisi polutan usaha peternakan kambing PE.

Page 143: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 326

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian wafer

ransum terfermentasi kelima inokulan konsorsium mikroba menghasilkan produktivitas, kecernaan bahan kering dan nutrien ransum dan emisi polutan yang sama, sedangkan pemanfaatan bioinokulan BR1T2 menghasilkan VFA total, Asam

Asetat, produksi ATP di rumen dan sintesis biomassa mikroba tertinggi dibandingkan dengan bioinokulan lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dibiayai DP2M Dikti melalui Program Hibah Bersaing III (2011). Ucapan terima kasih kami

sampaikan kepada DP2M Dikti, Rektor Universitas Udayana, LPPM Unud, Dekan Fakultas Peternakan Unud, Dekan Fakultas Peternakan Unhas, Kepala Lab. serta staf analis laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Biofarmaka Fakultas

Farmasi Unhas, Kepala Lab dan analis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud atas segala bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. ICI Organic Acids Column. Instruction Manual. ICI Australia Operations Pty Ltd. Scientific Instruments Division

Anonymous. Pedoman Kerja (Edisi Indonesia). Biocon Diagnostik. Quality Diagnostics Manufactured in Germany. PT. Biocon Indonesia, Jakarta Selatan

Association of Official Analytical Chemist (A.O.A.C.). 1980. Official Method of

Analysis. 13th Ed., Washington, DC. Bratasida. 2002. Sustainable human settlements CSD12, Navy, New York

Hegarty, R. 2001. Green House Gas Emission From The Australian Livestock Sector. What Do We Know, What Can We Do. Australian Green House Office, Canberra ACT. ISBN: 1 876536 69 1. [cited 2007 Decembre 24].

Available from: URL: http://www.greenhouse.gov.au/agriculture /publications/pubs/ methane_emissions.pdf

Howard R. L., Abotsi E., J. V. Rensburg E. L., and Howard S. 2003. Lignocellulose Biotechnology; Issues of Bioconversion and Enzyme Production. Review. African Journal of Biotechnology Vol. 2 (12); 602-619

International Atomic Energy Agency/IAEA. 1997. Estimation of Rumen Microbial Protein Production From Purine Derivatives in Urine. A laboratory

Manual for The FAO/IAEA Co-ordinated Research Programme on Development, Standardization and Validation of Nuclear Based Technologies for Measuring Microbial Protein Supply in Ruminant Livestock for

Improving Productivity. IAEA-TECDOC-945.Vienna, Austria Kamra, D. N. .2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special Section: Microbial

Diversity. Current Science. Vol. 89. No. 1. hal 124-135. [cited 2007 Decembre 20]. Available from: URL: http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf

Mudita, I M.. 2008. Suplementasi Multi Vitamin-Mineral dalam Ransum Komplit Berbasis Jerami Padi Amoniasi Urea untuk Meningkatkan Efisiensi Sintesis

Page 144: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 327

Protein Mikroba Rumen Sapi Bali Penggemukan. Tesis Program Studi Ilmu

Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Mudita, I M., I G. L.O. Cakra, A.A.P.P.Wibawa, N.W.Siti. 2009. Penggunaan

Cairan Rumen sebagai Bahan Bioinokulan Plus Alternatif serta Pemanfaatannya dalam Optimalisasi Pengembangan Peternakan Berbasis Limbah yang Berwawasan Lingkungan. Laporan Penelitian Hibah Unggulan

Udayana. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar Mudita, I M., T.I. Putri, T.G.B. Yadnya, dan B. R. T. Putri. 2010a. Penurunan

Emisi Polutan Sapi Bali Penggemukan Melalui Pemberian Ransum Berbasis Limbah Inkonvensional Terfermentasi Cairan Rumen. Prosiding Seminar Nasional, Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.

ISBN: 978-979-25-9571-0 Mudita, I M., A.A.P.P.Wibawa, I W.Wirawan, N.W.Siti, and I G.L.O.

Cakra.2011. Improving the Nutritive Value of Total Mixed Ration Based on By-Products Fermented by Rumen Liquor and Enzyme. Indonesian Journal of Nutrition & Feed Science Vol. 2 (1); 20-25.

Mudita, I M., I W. Wirawan, A.A.P.P. Wibawa, I G.L. O. Cakra and N. W. Siti. 2011. Optimising Rumen Function of Bali Cattle Fed Ration Based on

Agriculture By-Products with Supplementation of Multivitamin-Minerals. Proceedings 3nd International Conference on Biosciences and Biotechnology. 278-286

Mudita, I M., I W. Wirawan, A.A.P.P.Wibawa, dan I G. N. Kayana 2012. Penggunaan cairan Rumen dan Rayap dalam Produksi Bioinokulan Alternatif

serta Pemanfaatannya dalam Pengembangan Peternakan Sapi Bali Kompetitif dan Sustainable. Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Universitas Udayana, Denpasar.

Owens, F.N. dan A.L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed. The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A. Reston Book.

Prentice Hall, Eglewood Cliffs, New Jersey. Pathma, J. and N. Sakthivel. 2012. Microbial Diversity of Vermicompost bacteria

that Exhibit Useful Agricultural Traits and Waste Management

Potential.SpringerPlus.Vol.1(26);1-19 Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. De la Rubia, and J. Martinez. 2002.

Biodegradation and Biological Treatment of Cellulose, Hemicellulose and Lignin; an overview. Int. Microbial, 5: 53-56

Prabowo, A., S. Padmowijoto, Z. Bachrudin, dan A. Syukur. 2007. Potensi

Mikrobia Seluloltik Campuran dari Ekstrak Rayap, Larutan Feses Gajah dan Cairan Rumen Kerbau. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32[3] Sept. 2007

Putri, T.I., T.G.B.Yadnya, I M. Mudita, B.R. T. Putri., 2009. Biofermentasi ransum berbasis bahan lokal asal limbah inkonvensional dalam pengembangan usaha peternakan sapi Bali kompetitif dan sustainable.

Laporan Penelitian Tahun Pertama Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch IV. Fakultas Peternakan Universitas Udayana

Sarkar, P., M. Meghvanshi and rajni Singh. 2011. Microbial Consortium; A New Approach in Effective Degradation of Organic Kitchen Waste. International Journal of Environmenmtal Science and development. Vol. 2 No. 3; 170-174

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang pertanian. Edisi Revisi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Page 145: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 328

Theodorou, M.K., and J. France. 1993. Rumen Microorganisms and Their

Interaction. In;Quantitative Aspests of Ruminant Digestion and Metabolism.Edited by; J.M. Forbes and J. France. Pages; 145-163. C-A-B

International. United Kingdom at The University Press, Cambridge. Tresnawati Purwadaria, Pesta A. Marbun, Arnold P. Sinurat Dan P. Ketaren.

2003a. Perbandingan Aktivitas Enzim Selulase Dari Bakteri Dan Kapang

Hasil Isolasi Dari Rayap. JITV Vol. 8 No. 4 Th 2003:213-219 Tresnawati Purwadaria, T., Pius P. Ketaren, Arnold P. Sinurat, and Irawan

Sutikno. 2003b. Identification and Evaluation of Fiber Hydrolytic Enzymes in The Extract of Termites (Glyptotermes montanus) for Poultry Feed Application. Indonesian Journal of Agricultural Sciences 4(2) 2003; 40-47

Tresnawati Purwadaria, T., Puji Ardiningsip, Pius P. Ketaren dan Arnold P. Sinurat. 2004. Isolasi dan Penapisan Bakteri Xilanolitik Mesofil dari Rayap.

Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Vol. 9, No. 2.September 2004, hlm. 59-62 Van Glyswyk, N.O. 1995. Factors Limiting Proliferation of Desirable Groups of

bacteria in The Rumen of Animals Fed Poor Quality Feeds of High Fibre

Content. In; Rumen Ecology Research Plannig. Proceeding of Workshop held at ILRI. Addis Ababa, Ethiopia 13 – 18 March 1995. Edited by;,R. J. Wallace

and A. L. Kassi. The International Livestock Research Institute, Nairobi, Kenya., Addis Ababa, Ethiopia.

Wanapat, M. 2000. Rumen Manipulation to Increase the Efficient Use of Local

Feed Resources and Productivity of Ruminants in the Tropics. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 Supplement July B: 59-67

Wibawa, A.A. A. P. P., I M. Mudita, I W. Wirawan. I G. L. O. Cakra. 2009-2010. Aplikasi Teknologi Suplementasi dan Biofermentasi dalam Wafer Ransum Komplit Berbasis Limbah Inkonvensional dalam Pengembangan Peternakan

Kambing Sustainable dengan Emisi Polutan Rendah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing I dan II Universitas Udayana, Denpasar

Wongwilaiwalin, S., U. Rattanachomsri, T. Laothanachareon, L. Eurwilaichirt, Y. Igarashi, V. Champreda. 2010. Analysis of a thermophilic lignocellulose degrading microbial consortium and multi-species lignocellulolytic enzyme

system. Enzyme and Microbial Technology Journal 47; 283-290.

Page 146: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 329

PENGARUH PEMBERIAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT

MENGANDUNG UREA-KAPUR DAN UBI KAYU TERHADAP

PENAMPILAN KAMBING PE

I G. Mahardika*; N.S. Dharmawan**; K. Budaarsa*

I G.L.O. Cakra* , I P. Ariastawa* dan Indra Arimahayana*

*Fakultas Peternakan Universitas Udayana

**Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana

ABSTRAK

Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian hijauan dan konsentrat yang mengandung urea-kapur dan ubi kayu terhadap produktivitas kambing. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan

dan 4 ulangan. Ke empat perlakuan yang dicobakan adalah Perlakuan A: ransum dengan 75% konsentrat (mengandung 4% urea, 2% kapur dan 50% ubikayu) dan

25% hijauan (40% gamal dan 60% rumput raja), perlakuan B: rasnsum yang terdiri 60% konsentrat 40% hijauan, perlakuan C: ransum dengan 45% konsentrat dan 55% hijauan dan perlakuan D: ransum dengan 30% konsentrat dan 70%

hijauan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa produktivitas kambing yang mendapat ransum dengan level konsentrat 45% sampai 75% tidak berbeda

sedangkan yang mendapat ransum dengan level konsentrat 30% lebih rendah. Ransum yang memebrikan nilai ekonomi tertinggi adalah ransum yang mengandung konsentrat antara 45% sampai 60%.

Kata kunci:Produktivitas, kambing, urea, kapur, ubi kayu.

EFFECT OF FORAGE AND CONCENTRATE FEED CONTAINING

UREA-LIME AND CASSAVA MEAL ON PRODUCTIVITY OF GOATS

I G. Mahardika*; N.S. Dharmawan**, K. Budaarsa*

I G.L.O. Cakra*, I P. Ariastawa* and Indra Arimahayana

*Faculty of Animal Husbandry, Udayana University

** Faculty of Veterinary Science, Udayana University

ABSTARCT

The experiment was conducted to study the effect of forage and

concentrate feed containing urea-lime and cassava meal on productivity of goat. Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and 4 replicates were used in this experiment. Treatment A: ration with 75% concentrate (4% urea 2%

lime and 50% cassava meal) and 25% forage (40% gliricidia leaf and 60% king grass), treatment B: ration with 60% concentrate and 40% forage, treatment C:

ration with 45% concentrate and 55% forage and treatment D: ration with 30% concentrate and 70% forage. Results of this experiment showed productivity of goat feed 45% to 75% higher than feed 30% concentrate. Ration with 45-60%

concentrate gives higher economic value. Key words: Productivity, goats, urea, lime, cassava meal

Page 147: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 330

PENDAHULUAN

Suplementasi urea dapat digunakan sebagai sumber amonia (nitrogen),

tetapi urea sangat cepat melepas nitrogen (N) dalam rumen, dan dapat memproduksi amonia dengan cepat sehingga bila dosisnya berlebihan akan menyebabkan keracunan bahkan dapat menyebabkan kematian ternak (Stanton

dan Whittier, 2006). Huntington et al. (2006) melaporkan bahwa urea dihidrolisis dengan cepat dalam rumen dan puncak produksi amonianya dicapai pada 1 jam

setelah pemberian urea. Taknik untuk memperlambat pelepasan amonia dari hidrolisis urea di rumen dipandang lebih efisien, dan aman karena dapat mencegah keracunan amonia (Galo et al., 2003).

Penggunakan urea dalam ransum perlu disertai dengan penggunaan sumber energi (sumber karbohidrat) yang mudah larut/tersedia di dalam rumen,

karena untuk mensintesa protein mikroba yang optimal diperlukan keseimbangan antara energi (VFA) dan nitrogen dalam bentuk N-NH3. Bahan makanan sebagai sumber karbohidrat yang sudah umum digunakan adalah molasis, namun bahan

ini harganya tinggi dan keberadaannya tidak tersebar diseluruh Indonesia, oleh karena itu perlu dicarikan sumber karbohidrat alternatif lainnya seperti ubi kayu.

Ubi kayu mengandung energi yang tinggi (85% BK) tetapi rendah kandungan proteinnya (Kyotong dan Wanafat, 2004; Wanafat dan Khampa, 2007). Disamping itu ubi kayu mengandung karbohidrat lebih tinggi dibandingkan

dengan jagung (Somart et al., 2000; Chanjula et al., 2003). Hasil penelitian Chanjula et al., (2004) menunjukkan bahwa sinkronisasi penggunaan urea dengan

pati yang berasal dari ubi kayu atau jagung dalam ransum sapi perah memberikan respon yang tidak berbeda terhadap penampilan produksi sapi perah. Sebelumnya Gerparcio et al., (1979) mendapatkan kandungan pati ubi kayu (48,49%) lebih

tinggi dari kandungan pati jagung (45,35%). Disisi lain harga ubi kayu lebih murah dibandingkan dengan jagung. Dari fenomena ini dapat menunjukkan

bahwa ubi kayu dapat dijadikan sumber energi yang potensial sebagai pakan kambing. Namun imbangan yang optimal antara urea-kapur sebagai slow release urea (SRU) dan ubi kayu dalam ransum kambing Peranakan Etawah (PE) belum

ada informasinya. Penelitian pendahuluan kami mendapatkan bahwa penggunaan urea 5% dan 2% kapur dalam konsentrat yang disertai dengan penggunaan 50%

ubi kayu memberikan kinerja rumen yang terbaik. Berdasarkan atas hasil tersebut perlu dicoba berapa imbangan hijauan dan konsentrat tersebut di dalam ransum agar memberikan penampilan ternak yang terbaik dan efisiensi penggunaan pakan

yang tertinggi. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas kambing yang diberikan pakan konsentrat mengandung

urea-kapur dan ubi kayu. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain: 1) sebagai dasar penyusunan ransum ternak kambing dengan menggunakan limbah

pertanian yang disuplementasi dengan urea-kapur dan ubi kayu. 2) Penerapan hasil penelitian ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan

meningkatkan produktivitas ternak, 3) meningkatkan pendapatan peternak kambing karena menggunakan pakan yang efisien serta menghasilkan ternak dengan produksi yang baik.

Page 148: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 331

MATERI DAN METODE

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 ekor kambing

Peranakan Etawa (PE) jantan, dengan kisaran berat badan awal 25 kg. Kambing tersebut ditempatkan sacara acak dalam kandang individu dengan kapasitas satu ekor per kandang dan diberikan pakan sesuai dengan rancangan percobaan yang

digunakan. Ransum yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari imbangan antara

hijauan (40% gamal dan 60% rumput raja) dengan konsentrat yang mengandung urea-kapur dan ubikayu. Ransum disusun disesuaikan dengan standar kebutuhan kambing berat 25 Kg. dengan pertambahan berat badan 75g per hari (Kearl 1982)

dengan protein kasar 11% dan total digestible nutrien 72%. Penelitian menggunakan rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4

ulangan dan 4 Perlakuan. Adapuan keempat perlakuan yang dicobakan adalah: Perlakuan A: Ransum yang terdiri dari 25% hijauan dan 75% konsentrat. Perlakuan B: Ransum yang terdiri dari 40% hijauan dan 60% konsentrat.

Perlakuan C: Ransum yang terdiri dari 55% hijauan dan 45% konsentrat. Perlakuan D: Ransum yang terdiri dari 70% hijauan dan 30% konsentrat.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan ternak, konsumsi pakan dan

konsumsi nutrien, pH rumen, NH3, VFA total, asam asetat, asam propionat, asam

butirat, gas methan, efisiensi dan sintesis protein mikroba, populasi protozoa. Di samping itu dihitung juga kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, kadar

urea darah, Sintesis Protein Mikroba (SPM), serta Neraca protein dan energi. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P< 0,05), analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari

Duncan (Steel dan Torrie, 1986).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penampilan ternak

Berat badan akhir kambing yang mendapat ransum yang terdiri dari 75% konsentrat dan 25% hijauan (perlakuan A) adalah: 36,65 kg, sedangkan berat

badan kambing yang mendapat perlakuan B, C dan D berturut-turut adalah: 36,20 kg; 35,15 kg dan 32, 75 kg. Berat badan akhir kambing pada perlakuan D nyata lebih rendah dari perlakuan A, B dan C (P<0,05). Lebih rendahnya berat badan

kambing pada perlakuan D tersebut disebabkan karena kambing pada perlakuan D mengkonsumsi nutrien (energi, protein) yang lebih rendah dari peerlakuan

lainnya. Bila dihitung kenaikan berat badan selama 16 minggu maka diperoleh kenaikan berat badan (PBB) kambing pada perlakuan A adalah: 112,50 g/h, sedangkan pada perlakuan B. 0,79% lebih tinggi dan pada perlakuan C 6,75%

lebih rendah dari perlakuan A, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Kanaikan berat badan kambing pada perlakuan D nyata 31,74% lebih rendah dari

perlakuan A (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan yang mengandung 45-75% konsentrat yang dikombinasikan dengan hijauan yang terdiri dari 40% gamal dan 60% rumput raja memberikan pertumbuhan yang tidak

berbeda, sedangkan bila konsentratnya dibawah 45%, maka pertumbuhan kambing menjadi nyata lebih rendah.

Page 149: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 332

Konsumsi ransum kambing yang mendapat perlakuan A adalah: 980,94

g/h, sedangkan konsumsi ransum pada perlakuan B, C dan D tidak berbeda dengan perlakuan A (P>0,05). Dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda

tersebut akan menyebabkan kambing mendapatkan nutrien dengan jumlah berbeda karena ransum pada perlakuan A mengandung konsentrat yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan kenaikan berat badan kambing yang mendapat

konsentrat yang lebih banyak adalah lebih tinggi. Akibatnya adalah FCR kambing pada perlakuan D paling tinggi.

Tabel 1. Penampilan Kambing yang mendapat pakan yang mengandung urea-

kapur dan ubi kayu Variabel Perlakuan

1)

A B C D

Berat badan awal (kg) 24.05a 23.50a 23.40a 24.16a2)

Berat badan akhir (kg) 36.1a 36.19a 35.15a 32.76b

Kenaikan berat badan (g/h) 112,5a 113,39a 104.91a 76,79b

Konsumsi BK (g/h) 980.94a 984,41a 970,82a 960,32a

FCR 8,72a 8,68a 9,25a 12,51b Keterangan: 1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan

B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan

2). Nilai yang diikuti oleh superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)

Rendahnya pertumbuhan kambing pada perlakuan D disebabkan karena penggunaan konsentrat yang terlalu rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan

akan nutrien untuk pertumbuhan. Di samping itu rendahnya pasokan nutrien juga akan berpengaruh terhadap proses pencernaan di dalam rumen. Hal ini terlihat dari sintesis protein mikroba (SPM) pada perlakuan D paling rendah yaitu 65,42

g/h, sedangkan pada perlakuan A, B, dan C adalah: 76,85; 72,72 dan 67,62 g/h.

Kecernaan Pakan

Pengukuran secara in-vivo terhadap kecernaan bahan kering ransum dan kecernaan protein pakan mendapatkan bahwa kecernaan bahan kering ransum

pada perlakuan A adalah: 71,76% (Tabel 2), sedangkan kecernaan bahan kering pada perlakuan B dan C tidak berbeda dengan perlakuan A (P>0,05), tetapi

kecernaan bahan kering ransum perlakuan D nyata lebih rendah dari perlakuan A (P<0,05). Kecernaan protein semua ransum percobaan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 2. Kecernaan ransum yang mengandung urea-kapur dan ubi kayu pada

kambing Variabel Perlakuan

1)

A B C D

Kecernaan Bahan Kering (%) 71,76a 73,05a 70,16a 68,06a2)

Kecernaan Protein (%) 78,62a 78,80a 76,72a 75,00a

Sintesis Protein Mikroba (g/h) 76,85a 72,72a 67,62b 65,42b Keterangan: 1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan

B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan

C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan

2). Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)

Page 150: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 333

Hasil pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) mendapatkan

bahwa KCBK ransum perlakuan A dan B tidak berbeda nyata (P<0,05) sedangkan pada perlakuan C dan D nyata lebih rendah dari perlakuan A. Menurunnya KCBK

pada perlakuan C dan D ini disebabkan karena menurunnya porsi konsentrat yang akan menyebabkan menurunnya jumlah jumlah nitrogen dan ubi kayu. Menurunnya jumlah nitrogen dan ubi kayu ini menyebabkan aktivitas mikroba

rumen akan menurun. Demikian pula dengan degradasi bahan organik yang juga menurun.

Kecernaan protein pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), walaupun ada kecenderungan meningkatknya porsi konsentrat menyebabkan kecernaan protein juga meningkat. Menurut Bach et al.

(2005) kecernaan protein ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tipe protein dan interaksinya dengan nutrien lain khususnya karbohidrat serta populasi

mikroba yang dominan. Hasil penelitian Suryani (2012) mendapatkan bahwa sapi bali yang diberikan ransum dengan kandungan gamal yang lebih tinggi kecernaan proteinnya meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena meningkatknya

populasi bakteri proteolitik yang mengakibatkan aktivitas proteolitik meningkat. Degradasi bahan kering dan bahan organik ini mempunyai hubungan

dengan sintesis protein mikroba yaitu semakin tinggi degradasinya dalam rumen, maka pembentukan protein mikroba juga meningkat. Hasil ini didukung dengan meningkatnya sintesis protein mikroba (SPM) pada ransum perlakuan A. Hasil

penelitian Erwanto (1995) mendapatkan bahwa pertumbuhan mikroba rumen tergantung kepada tersedianya sumber nitrogen, karbohidrat yang mudah larut.

Laju kelarutan karbohidrat merupakan faktor penentu produksi protein mikroba rumen. Karbohidrat berperan sebagai sumber energi dan sumber kerangka karbon bagi mikroba .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan jumlah konsentrat menjadi 45% dalam ransum menyebabkan menurunnya sintesis protein mikroba.

Penurunan ini erat kaitannya dengan menurunnya jumlah urea dan ubukayu yang didapatkan oleh kambing pada perlakuan C dan D. Stern et al. (2006), mendapatkan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan mikroba yang optimum

diperlukan pasokan nitrogen dan energi yang seimbang. Kelebihan nitrogen akan menyebabkan konsentrasi NH3 dalam rumen akan meningkat yang dapat

menyebabkan keracunan, sedangkan kelebihan energi akan menyebabkan penggunaan energi menjadi tidak efisien.

Keseimbangan Energi dan Protein

Pemberian ransum yang dengan komposisi hijauan dan konsentrat yang

mengandung urea-kapur dan ubikayu dalam jumlah berbeda menghasilkan energi tercerna yang tidak berbeda (Tabel 3). Namun penurunan jumlah konsentrat di dalam ransum akan menyebabkan menurunnya jumlah energi yang diretensi

secara signifikan (P<0,05). Penurunan energi yang diretensi ini disebabkan karena ransum dengan jumlah konsentrat yang lebih tinggi mempunyai keseimbangan

nutrien yang lebih baik sehingga efisiensi penggunaan energinya juga lebih baik. Hasil penelitian Partama et al. (2010) mendapatkan bahwa sapi bali yang diberikan pakan jerami padi amoniasi yang disuplementasi dengan konsentrat

menghasilkan retensi energi yang lebih tinggi. Meningkatnya retensi energi ini akan berdampak kepada pertumbuhan ternak yaitu semakin tinggi energi yang

Page 151: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 334

diretensi, maka pertumbuhan ternak lebih baik.

Tabel 3. Keseimbangan Energi dan Protein pada kambing yang mendapatkan

ransum mengandung urea-kapur dan ubi kayu. Variabel Perlakuan

1) A B C D

Energi tercerna/DE (k.kal/h) 2876a 2823a 2816a 2726a2)

Retensi Energi (k.kal/h) 326,1a 328,2a 304,8a 224,2b Konsumsi protein (g/h) 203,80a 194,551a 181,95ab 170,22b Protein tercerna (g/h) 160,20a 153,30a 139,60ab 127,70b Retensi protein (g/h) 21,72a 21,91a 20,24a 14,77b Keterangan: 1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan

B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan

C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan

D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan

2). Nilai yang diikuti oleh superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)

Aspek Ekonomi

Harga ransum yang terdiri dari 75% konsentrat dan 25% hijauan

(perlakuan A) adalah Rp. 3.078, sedangkan harga ransum pada perlakuan B; C dan D berturut-turut adalah: Rp. 2.742; Rp. 2.407 dan Rp. 2.071. Kaikan berat

badan kambing yang mendapat perlakuan A, B, C dan D berturut-turut: 112,50 g/h, 113,39g/h, 104,91 g/h dan 76,79 g/h. Bila dihitung biaya pakan untuk kenaikan 1 kg berat badan (PBB), maka pada perlakuan A adalah Rp. 26.842/kg

PBB, sedngakan ransum pada perlakuan B, C dan D berturut-turut Rp. 23.811/kg PBB, Rp. 22.274/kg PBB dan Rp. 25.905/kg PBB. Dilihat dari aspek ini maka

ransum pada perlakuan B (60% konsentrat dan 40% hijauan) serta ransum pada perlakuan C (45% konsentrat dan 55% hijauan) memberikan nilai ekonomi tertinggi karena memerlukan biaya pakan paling murah untuk mendapatkan

kenaikan berat badan. Hubungan antara level konsentrat dengan biaya yang dibutuhkan untuk menaikan 1 kg kenaikan berat badan mengikuti persamaan Y =

41506 – 748,25 X + 7,40 X2 (R2 = 0,95) (Gambar 1).

Gambar 1. Hubungan antara level konsentrat dengan biaya pakan untuk

menaikan 1 kg berat badan

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Bia

ya p

akan

/PB

BB

(R

p/1

kg

PB

B)

Level konsentrat (%)

Page 152: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 335

Kurva Gambar 1. mengindikasikan bahwa pada level konsentrat yang

terlalu rendah meskipun biaya pakannya rendah akan menyebabkan kenaikan berat badan yang rendah sehingga tidaf efisien. Demikian juga dengan

penggunaan konsentrat yang terlalu tinggi menyebabkan biaya pakan yang tinggi, walaupun pertumbuhannya terbaik. Bila dilihat dari kurva tersebut, level konsentrat yang paling efisien antara 45% sampai dengan 60% atau pada rata-rata

penggunaan konsentrat 50%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Produktivitas kambing yang mendapat pakan yang mengandung konsentrat yang mengandung ure-kapur dan ubi kayu di atas 45% lebih

baik dibandingkan dengan kambing yang mendapat pakan dengan konsentrat kurang dari 45%, sedangkan produktivitas kambing yang mendapat pakan yang mengandung konsentrat antara 45% sampai 70%

tidak ada perbedaan. 2. Level konsentrat (mengandung urea-kapur dan ubi kayu) 45% sampai 60%

dan hijauan 40% sampai 55% memberikan nilai ekonomi yang terbaik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Direktur Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat, Dikti atas pendanaan yang diberikan. Terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telah memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini.

Kepada Andi Udin Saransi (analisis) di Laboratorium Nutrisi Ternak Fakultas serta Yogi dan Putri (mahasiswa S2 Program Pascasarjana Unud) terimakasih atas

segala bantuannya selama penelitian lapangan dan di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Bach, A., S. Calsamiglia, dan M.D. Stern. 2005. Nitrogen Metabolism in The Rumen. J. Dairy Sci. 88(E.Suppl.): E9-E21. American Dairy Science

Association. Cherdthong, A., M. Wanapat and C. Wachirapakorn 2011. Influence of urea

calcium mixture supplementation on ruminal fermentation characteristics of beef cattle fed on concentrates containing high levels of cassava chips and rice straw.

Chiba, L.I. 2009. Animal Nutrition Handbook. Second Revision. URL: http://www.ag.auburn.edu/-chibale/animalnutrition.html diunduh 5Januari

2011. Currier, T.A., D.W. Bohnert, S.J. FALCK, C.S. Schauer and S.J. Bartle. 2004.

Daily and alternate-day supplementation of urea or biuret to ruminants

Consuming low-quality forage: III. Effects on ruminal fermentation characteristics in steers. J. Anim. Sci. 82: 1528–1535.

Erwanto, 1995. “Optimalisasi system fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia” Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian

Page 153: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 336

Bogor.

Galo, E., S.M. Emanuele, C.J. Sniffen, J.H. White and JR. Knapp. 2003. Effects of a polymer-coated urea product on nitrogen metabolism in lactating

Holstein dairy cattle. J. Dairy Sci. 86: 2154-2162. Huntington, G.B., D.L. Harmon, N.B. Kristensen, K.C. Hanson and J.W. Spears.

2006. Effects of a slowrelease urea source on absorption of ammonia and

endogenous production of urea by cattle. Anim. Feed Sci. Technol. 130: 225-241.

Kamra, D. N. .2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special Section: Microbial Diversity. Current Science. Vol. 89. No. 1. hal 124-135. [cited 2010 Decembre 20]. Available from:

URL:http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf. Khampa, S., M. Wanapat, C. Wachorapakorn, N. Nontaso and M. Watiaux ,2005.

Effect of urea level and sodium DL-malte in concentrate containing high cassava chip on ruminal fermentation effeciensy, microbial protein synthesis in lactating dairy cows raised under tropical condition. Asian-

Aust J. anim. Sci., 5: 837-844. Kiyothong, K. & M. Wanapat. 2004. Growth, hay yield and chemical composition

of cassava and Stylo 184 grown under intercropping. Asian-Aust.J.Anim.Sci.17:799-807.

McDonald, P., R. A. Edwards, dan J. F. D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition.

4th Edition. New York : Longman Scientific & Technical. Partama, I.B.G., I G.L.O. Cakra, I W. Matheus, I K. Sutama dan N.G.K. Roni.

2010. Increasing productivity of bali steer through supplementation of multi vitamins and minerals in ration based on ammoniation rice straw and agroindustrial by products. Proceeding Conservation and Improvement of

World Indigenous Cattle. Held by Study Centre for Bali cattle Udayana University.

Somart, K., Buttery, D.S., Rowlinson, P., and Wannapat, M. (2000). Fermentation characteristics and microbial protein

Stanton, T.L. & J. Whittier. 2006. urea and NPN for cattle and sheep.

http://www.ext.colostate.edu/Pubs/Livestk/01608.html. [25-01-2011] Stern, M.D., A. Bach and S. Calsamiglia. 2006. New Consepts in protein

Nutrition of Ruminants. 21st Annual Southwest Nutrition & Management Conference. February 23 – 24. Pp: 45 – 46.

Suryani. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali yang

Diberikan Pakan Hijauan dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Sutardi, T, D. Sastradipradja, E. B. Laconi, Wardana, I G. Permana. 1995. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan serat Bermutu rendah , Defaunasi

Wanapat, M. and O. Pimpa. 1999. Effect of ruminal NH3N levels on ruminant fermentation, purine derivatives, digestibility and rice straw intake in

swamp buffaloes. Asian Aust. J. Anim. Sci. 12: 904-907. Wanapat, M. & S. Khampa. 2007. Effect of levels of supplementation of

concentrate containing high levels of cassava chip on rumen ecology,

microbial N supply and digestibility of nutrients in beef cattle. Asian- Aust.J.Anim.Sci. 20:75-81.

Page 154: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 337

EKSPLORASI HIJUAN PAKAN BABI DAN CARA PENGGUNAANNYA

PADA PETERNAKAN BABI TRADISONAL DI PROVINSI BALI

K. Budaarsa, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa

Email: [email protected] HP. 08123629838 Fakultas Peternakan Universitas Udayana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hijauan yang

diberikan sebagai pakan ternak babi dan cara penggunaannya di propinsi Bali. Penelitian dilakukan dengan metode survei di seluruh kabupaten dan kota di Bali.

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling, dengan pengelompokan atas dataran rendah dan dataran tinggi di masing-masing kabupaten dan kota. Pada masing-masing kelompok di ambil 2 orang peternak

babi tradisional, sehingga ada 4 peternak yang diwawancarai di masing-masing kabupaten dan kota atau 32 peternak di seluruh Bali. Hasil survei menunjukkan

bahwa ada perbedaan hijauan yang diberikan oleh peternak di dataran rendah dan dataran tinggi. Jenis hijauan yang diberikan di dataran rendah antara lain: batang pisang (Musa paradisiaceae), kangkung (Ipomaea aquatica), biah-biah

(Limnocharis flava), dan eceng gondok (Eichornia crassipes). Sedamgkan di dataran tinggi antara lain: batang pisang (Musa paradisiaceae), ketela rambat

(Ipomaea batatas), daunt alas (Colocasia esculenta) daun lamtoro (Leucaena leucocephala) dan dag-dagse (Pisonia alba). Batang pisang dominan (95 %) diberikan di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pemberian hijauan ada

dengan cara direbus ada yang diberikan dalam bentuk segar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat keragaman jenis hijauan pakan babi dan cara

pemberiannya antara di dataran rendah dengan dataran tinggi di Bali. Batang pisang merupakan hijauan yang paling banyak digunakan untuk pakan babi pada peternakan babi tradisional, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi.

Kata kunci: eksplorasi, hijauan dan peternakan babi tradisional

FORAGES EXPLORATION AND HOW TO USE ON TRADITIONAL

PIG FARM IN BALI PROVINCE

K. Budaarsa, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa

Email: [email protected] HP. 08123629838 Faculty of Animal Husbandry Udayana University

ABSTRACT

This study aims to determine the types of forages fed to pigs and how to use them on traditional pig farm in the province of Bali. The research was conducted using a survey in all districts and cities in Bali. Sampling was done by

stratified random sampling technique, by grouping the lowlands and highlands. In each of the 2 groups in the capture of traditional pig farmers, so there are four

farmers interviewed in each city or district and 32 farmers across Bali. The survey results indicate that there are differences in forage given by farmers in highlands and lowlands. Given type of forage in the lowlands include: banana stem (Musa

Page 155: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 338

paradisiaceae), kale (Ipomaea aquatica), “biah-biah” (Limnocharis flava), and

water hyacinth (Eichornia crassipes). In the highlands include: banana stem (Musa paradisiaceae), sweet potatoes (Ipomaea batatas), taro leaf (Colocasia

esculenta) lamtoro leaf (Leucaena leucocephala) and “dag-dagse” (Pisonia alba). Banana stem dominant (95%) given in the lowlands and in the highlands. Giving forage there by boiling was provided in the form of fresh. The conclusion from

this study is that there is diversity of forage species and ways of administration among pigs in lowland plateau in Bali. Banana stem is the most widely used

forage to feed pigs on traditional pig farms, both lowland and highland. Keywords: exploration, forage and traditional pig farm

PENDAHULUAN

Peternakan babi di Bali masih menempati posisi penting bagi masyarakat pedesaan. Babi adalah salah satu komoditas ternak yang telah dipelihara sejak lama oleh masyarakat. Usaha peternakan babi di Bali sebagian besar merupakan

peternakan tradisional yang memelihara babi dua atau tuga ekor di masing-masing rumah tangga. Namun demikian, sudah banyak juga terdapat usaha peternakan

yang semi intensif dan bahkan modern dengan jumlah ternak piaraan lebih dari 100 ekor.

Peternak tradisional di pedesaan masih banyak yang memilih babi bali

untuk dipelihara, namun sudah banyak juga yang memelihara babi ras, diantaranya babi landrace, duroc, large wight, dan yang lainnya. Babi bali di Bali

memiliki status sosial-budaya yang sangat penting sekali. Untuk kegiatan upacara dan bahan upakara banyak mempergunakan daging babi. Selain untuk memenuhi kebutuhan untuk upacara agama, daging babi juga digunakan dalam berbagai

aktivitas sosial. Babi Bali sangat cocok dipelihara oleh para ibu rumah tangga di Bali sebagai celengan atau ”tatakan banyu”, karena dengan pemberian pakan

seadanya dan pemanfaatan limbah dapur (banyu dan sebagainya) babi bali telah mampu memberikan pertambahan berat badan yang baik.

Kalau dilihat sasaran yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan, populasi babi tahun 2013 adalah 7.113.310 ekor dan tahun 2014 adalah 7.204.768 ekor. Sementara target produksi daging

babi tahun 2013 adalah 143.992 ton dan tahun 2014 sebanyak 247.420 ton. Oleh karena itu peningkatan produktivitas ternak babi menjadi suatu hal yang sangat penting, selain untuk meningkatkan komoditas ekspor, juga untuk memenuhi

permintaan dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat, contohnya untuk kebutuhan babi guling di Bali (Budaarsa, 2002 dan Budaarsa, 2006).

Meningkatnya permintaan daging babi dalam negeri sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk non muslim dan kunjungan wisatawan mancanegara yang terus meningkat (Budaarsa, 2012).

Peternakan babi tradisional di Bali masih menghandalkan limbah pertanian lokal dan hijauan yang ada di sekitar mereka sebagai pakan utama. Mereka tidak

mampu membeli pakan komersial, karena harganya sangat mahal. Limbah pertanian yang paling utama diberikan adalah dedak padi. Selain itu bungkil kelapa yang diperoleh dari proses pembuatan minyak secara tradisional, juga

biasa diberikan pada ternak babi. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur dengan hijauan.

Page 156: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 339

Hijauan yang diberikan jenisnya sangat beragam, tergantung lokasi daerah

dan musim saat itu. Di daerah dataran rendah, yang umumnya merupakan daerah persawahan, peternak lebih banyak memberikan kangkung sebagai hijauan pakan.

Sedangkan di daerah dataran tinggi atau pegunungan lebih banyak pohon ketela rambat yang diberikan. Pemberian hijauan ada yang diberikan dalam bentuk segar, ada juga diberikan dengan merebus terlebih dulu. Batang pisang ternyata

merupakan bahan pakan yang dominan digunakan oleh peternak babi di seluruh plosok daerah Bali.

Sampai saat ini belum ada informasi ilmiah mengenai jenis-jenis hijauan lokal dapat diberikan pada babi, termasuk cara pemberiannya. Padahal kenyataannya di lapangan peternak babi sebagaian besar memberikan hijauan

untuk ternak babinya. Hal ini dilakukan mengingat harga pakan komersial sangat mahal, tidak terjangkau oleh peternak, karena umumnya mereka beternak secara

tradisional dengan jumlah satu-tiga ekor. Informasi mengenai hijauan lokal dan kandungan nutrisinya untuk pakan babi hampir belum ada. Padahal peternak babi khususnya di pedesaan di Bali,

sangat menghandalkan hijauan sebagai makanan tambahan. Hal ini mendorong untuk dilakukannya penelitian ini, untuk memperkaya kasanah ilmu pengetahuan,

khususnya dalam pengembanan peternakan babi dengan berbasis sumber daya hijauan lokal yang melimpah.

MATERI DAN METODE

Materi dalam penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan oleh peternak babi tradisional di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling, dengan pengelompokan daerah atas dataran

rendah dan dataran tinggi di masing-masing kabupaten dan kota. Kesembilan kabupaten dan kota tersebut adalah : Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem,

Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung dan Kota Denpasar. Pada masing-masing kelompok di ambil 2 orang peternak babi tradisional, sehingga ada 4 peternak yang diwawancarai di masing-masing kabupaten dan kota atau 32 peternak di

seluruh Bali. Pengelompokan tersebut didasarkan atas adanya perbedaan jenis flora yang tumbuh di kedua dataran tersebut, walau perbedaannya tidak

signifikan. Di daerah dataran rendah secara umum adalah daerah persawahan, maka hijauan yang tumbuh adalah tanaman yang tahan air. Demikian sebaliknya, di daerah dataran tinggi umumnya daerah perkebunan, maka yang tumbuh adalah

tanaman yang kurang tahan air. Penelitian dilakukan selama 7 minggu. Saat melakukan wawancara dengan

peternak, sekaligus dilakukan pengamatan langsung terhadap pakan babi yang diberikan oleh peternak untuk diidentifikasi. Selain identifikasi jenis hijauan, juga di catat cara pemberiannya. Peternak yang dipilih adalah peternak babi

tradisonal yang dengan ciri-ciri antara lain : memelihara 1-4 ekor babi, babi diikat atau dikandangkan pada kandang sederhana, tidak memberikan konsentrat buatan

pabrik, dan tidak melakukan vaksinasi secara berkala. Data yang peroleh dianalisa secara sederhana menggunakan analisa kuantitatip dan deskriptif.

Page 157: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 340

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Hijauan

Kalau dilihat sebaran jenis hijauan yang diberikan oleh peternak babi di masing-masing kabupaten/kota di Bali, tampaknya tidak banyak perbedaan antara kabupaten satu dengan kabupaten lain. Jenis hijauan yang diberikan yaitu: batang

pisang, kangkung, ketela rambat, ketela pohon, daun papaya, daun pisang, bayam, eceng gondok, daun lamtoro, daun talas, suweg, ules-ules, kerokot, genjer, daun

candung, daun dag-dag, padang cekuh dan daun labu. Jenis hijauan yang diberikan dan nama lokalnya disajikan pada Tabel 1. Dari 32 orang peternak tradisional yang diwawancarai, sebanyak 30 orang

atau 95% yang memberikan batang pisang. Batang pisang sangat dominan digunakan baik di dataran rendah, maupun di dataran tinggi karena tanaman

pisang banyak tumbuh di kedua daerah tersebut. Batang pisang yang digunakan adalah batang pisang yang sudah dipanen. Peternak tidak memilih jenis pisang tertentu, yang penting pohon pisang tersebut sudah dipanen buahnya. Pohon

pisang ada di mana mana, dan panennya tidak mengenal musim. Oleh karena itu sangat mudah didapat tanpa harus membeli.

Hijauan ketela rambat dan kangkung, hampir ada di semua kabupaten dan kota di Bali. Kedua jenis tanaman ini juga banyak ditanam baik di dataran rendah, maupun di dataran tinggi. Di daerah persawahan biasanya petani menanam ketela

rambat sehabis panen padi, ketika musim kemarau, sebagai tanaman sela, menunggu musim tanam berikutnya. Pohon ketela rambat saat ini sudah

merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di pedesaan, sudah banyak peternak yang membeli pohon ketela rambat untuk babi piaraannya. Harganya relatif murah, satu ikat dengan berat kurang lebih 10 kg hanya Rp

10.000. Hijauan ketela rambat biasanya dipanen beberapa kali. Bisa dipotong secara selektif beberapa kali sebelum umbinya di panen. Kemudian terakhir

dicabut saat umbinya dipanen. Tanaman kangkung, selain ditanam secara khusus, juga banyak tumbuh secara liar di parit-parit, di pinggir sungai atau tanah-tanah kosong yang tergenang

air. Tanaman kangkung sebenarnya ditanam sebagai bahan sayur, tetapi juga diberikan untuk ternak babi. Oleh karena itu kangkung merupakan tanaman yang

mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bahkan banyak sawah-sawah diperkotaan secara khusus ditanami kangkung dan dipanen setiap hari. Kangkung yang kualitas bagus dijual untuk sayur, yang kualitas kurang bagus dijual untuk pakan

babi. Tanaman kangkung sebenarnya secara umum ada dua jenis, yaitu kangkung darat dan kangkung air. Kangkung darat hidupnya memang di darat, kangkung

air hidup subur di daerah berair atau tergenang air. Kangkung yang banyak digunakan untuk pakan babi di Bali adalah kangkung air. Kalau dilihat dari ragam jenis hijauan yang diberikan pada ternak babi, di

daerah pegunungan jenis hijauannya lebih beragam dibandingkan dengan di daerah dataran rendah. Hal tersebut karena memang di daerah pegunungan

persedian hijauan lebih beragam. Sebagai contoh tanaman suweg (Amorphophallus campanullatus) dan ules-ules (Amorphophallus muelleri), hanya ditemukan di dataran tinggi atau di pegunungan dan sangat jarang terdapat di

dataran rendah apalagi di persawahan. Tanaman suweg dan ules-ules ini adalah tanaman semusim. Pohon dan daunnya muncul ke permukaan tanah hanya pada

Page 158: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 341

musim penghujan saja. Pada musim kemarau, pohonnya rontok, tetapi umbinya

tetap utuh di bawah tanah. Umbinya inilah di panen, bisa diolah untuk aneka jenis panganan.

Tabel 1. Beberapa jenis hiajauan untuk pakan babi di Bali

No Nama tanaman Nama latin Nama lokal (Bali)

1. Batang pisang Musa paradisiaceae Gedebong

2. Ketela Rambat Ipomaea batatas Sela bun

3. Kangkung Ipomaea aquatic Kangkung

4. Daun talas Colocasia esculenta Don tales

5. Ketela pohon Manihot utilissima Sela sawi/kesawi/sela prahu

6. Daun papaya Carica papaya Don gedang

7. Daun lamtoro Leucaena leucocephala Don lamtoro

8. Daun pisang Musa paradisiaceae Don biyu

9. Bayam Amaranthus caudatus Bayem

10. Eceng gondok Eichornia crassipes Eceng gondok

11. Daun dag-dag Pisonia alba Dag-dagse

12. Suweg Amorphophallus campanullatus Suweg

13. Ules-ules Amorphophallus muelleri Tiyih

14. Kerokot Portulaca oleracea Kesegseg

15. Genjer Limnocharis flava Biah-biah

16. Daun candung Don candung

17. Padang cekuh Padang cekuh

18. Daun labu Cucumbita maxima Don labu/waluh

Cara Pemberian

Pemberian hijauan pada peternakan babi tradisional dapat dikatagorikan

menjadi dua, yaitu pemberian dalam bentuk segar dan direbus. Pemberiann dalam bentuk segar ini dilakukan dengan cara memberikan langsung hijauan tersebut setelah diambil dari sumbernya. Sebagai contoh, tanaman kangkung diambil dari

kebun dalam jumlah tertentu langsung diberikan dengan menaruh di samping babi. Namun ada sebanyak 2% yang mencuci terlebih dahulu sebelum diberikan

kepada babi. Alasannya supaya bersih, sehingga babinya tidak sakit. Pemberian dalam bentuk segar mempunyai kelebihan antara lain: lebih praktis, kandungan nutrisinya utuh, dan tidak perlu waktu dan biaya untuk merebus. Kekurangannya:

sangat rentan terhadap penularan telur cacing, jika berlebihan ternak bisa keracunan akibat toksin yang dikandungnya, dan kecernaannya lebih rendah

dibandingkan yang direbus. Pemberian dengan cara merebus dilakukan terhadap hijauan yang menurut peternak dianggap membahayakan kalau diberikan dalam bentuk segar.

Pengetahuan tersebut mereka terima secara turun temurun, sehingga apa yang diwarisi itu akan diteruskan kembali kepada anak-anak mereka. Beberapa hijauan

yang harus direbus diantaranya: daun talas, genjer, suweg, ules-ules, candung, dan daun papaya. Alasan utama mereka merebus hijauan adalah supaya babi tidak keracunan. Alasan tersebut sangat masuk akal karena banyak diantara tanaman

tersebut yang mengandung toksin. Jika direbus maka kadar toksinnya akan berkurang, bahkan hilang.

Merebus hijauan sebelum diberikan kepada ternak babi ternyata memang ada manfaatnya. Pertama, toksin yang dikandungnya menjadi tidak aktif bahkan hilang, sehingga babi aman mengkonsumsinya. Kedua, meningkatkan

valatabelitas, lebih lahap dimakan oleh babi karena baunya lebih enak dan

Page 159: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 342

merangsang. Ketiga, kecernaannya meningkat. Hanya saja dengan merebus akan

membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak. Kalau diperhitungkan secara ekonomi, hal ini akan menambah biaya produksi. Hanya saja peternak tradisional

tidak memperhitungkan hal tersebut. Biasanya mereka merebus di atas tungku menggunakan kayu bakar. Hijaun yang direbus sebagian besar peternak (60%) mencampur dengan batang pisang, dedak padi atau polar.

Batang pisang sebelum diberikan terlebih dahalu dikupas lapisan luar yang agak tua, kemudian di iris-iris dengan ketebalan kurang lebih 0,5 cm. Irisan

batang pisang tersebut kemudian ditumbuk sampai agak halus, di campur dengan dedak padi atau polar, atau konsentrat lain yang dimilikinya. Semua peternak (100%) menambahkan garam dapur secukupnya pada campuran pakan yang

direbus, sebelum diberikan kepada babi. Pemberian garam dimaksudkan untuk menambah nafsu makan, disamping sebagai sumber mineral Na dan Cl. Peternak

tidak membeda-bedakan jenis batang pisang yang diberikan. Sangat tergantung dari jenis pisang apa yang kebetulan panen saat itu. Batang pisang kandungan utamanya adalah air, serat kasar dan mineral Zn (Hartadi, dkk. 1990). Jenis

tanaman di masing-masing daerah dan cara pemberiannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis hijauan yang diberikan berdasarkan letak geografis/lokasi daerah dan cara pemberiannya

No Lokasi

daerah

Nama Tanaman Bahan Pencampur Cara Pemberian

1

Dataran

rendah

Ketela rambat - Diberikan utuh dalam bentuk segar

Kangkung - Diberikan dalam bentuk segar

Daun pisang - Diberikan dalam bentuk segar

Ketela pohon Daun talas, dedak Direbus dan ditambah garam secukupnya

Daun papaya Dedak, polar, bungkil kelapa Direbus

Bayam Diberikan dalam bentuk segar

Batang pisang Dedak padi, polar Diris-iris tipis, kemudian ditumbuk,

bisa segar basa direbus Daun talas Dedak padi, polar, batang

pisang

Pelepah dan daunnya dicincang,

kemudian direbus dengan bahan lain

Daun lamtoro - Diberikan dalam benuk segar

Eceng gondok Dedak padi, polar, batang pisang

Dalam bentuk segar atau direbus

Genjer Dedak padi, polar, batang

pisang

Direbus

Candung Dedak padi, polar, batang

pisang

Direbus

2

Dataran

tinggi

Ketela rambat - Diberikan dalam bentuk segar

Batang pisang

Dedak padi, polar, batang

pisang

Dalam bentuk segar atau direbus

Daun talas Direbus

Daun pisang - Diberikan dalam bentuk segar

Daun lamtoro - Dalam bentuk segar Bayam - Dalam bentuk segar

Daun papaya

Dedak padi, polar dan batang

pisang

Direbus

Daun dag-dag

Dedak padi, polar dan batang

pisang

dalam bentuk segar atau direbus

Suweg Dedak padi, polar dan batang

pisang

Direbus

Ules-ules Dedak padi, polar dan batang

pisang

Direbus

Kerokot Dedak padi, polar dan batang pisang

direbus

Page 160: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 343

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan sebagai pakan babi di Bali cukup banyak. Terdapat keragaman jenis hijauan pakan babi dan cara pemberiannya antara di dataran rendah dengan dataran tinggi di Bali.

Batang pisang merupakan hijauan yang paling banyak digunakan untuk pakan babi pada peternakan babi tradisional, baik pada dataran rendah maupun dataran

tinggi. Hijauan tersebut dapat diberikan dalam bentuk segar maupun direbus. Letak geografis (ketinggian tempat) mempengaruhi jenis hjauan yang tumbuh, sehingga menyebabkan ada perbedaan jenis hijauan yang diberikan untuk babi

antara dataran rendah dan dataran tinggi.

Saran

Perlu diupayakan pelestarian dan pengembangan hijauan lokal yang menjadi pakan ternak babi, sehingga bisa menunjang peningkatan produktivitas

usaha ternak babi di Bali yang berbasis bahan pakan lokal. Penelitian ilmiah perlu dilakukan untuk menggali potensi hijauan lokal untuk pakan babi, terutama dari

kandungan nutrisinya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih di sampaikan kepada Wayan Budiarta dan Gede Mahendra,

dan semua mahasiswa KKN Unud yang telah membantu mengumpulkan data lapangan. Demikian juga kepada anggota grup riset “Kajian Nutrisi Ternak Nonruminansia” yang telah memberikan dukungan semangat selama penelitian

ini, kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia 2011. Populasi Ternak 2010.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2011. Bali Dalam Angka 2011. Budaarsa, K. 2002. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan

Penelitian. DIK. Universitas Udayana. Budaarsa, K. 2006. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kabupaten Badung.

Laporan Penelitian. DIK. Universitas Udayana.

Budaarsa, K. 1997. Kajian Penggunaan Rumput Laut dan Sekam Padi sebagai Sumber Serat dalam Ransum untuk Menurunkan Kadar Lemak Karkas

dan Kolesterol Daging Babi. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Budaarsa, K. 2011. Nama Nama Latin Hewan. Denpasar. Udayana University

Press. Cahyanti, I.D., E. Anggarwulan dan W. Mudyantini. Pertumbuhan, Kadar

Klorofil dan Nitrogen Total Gulma Krokot (Portulaca oleracea Linn.) pada Pemberian Ekstrak Anting-anting (Acalypha indica.Linn.). BioSMART Vol. 7.1. 27-31.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKEDAS Indosesia Tahun 2007, DepKes, Jakarta.

Page 161: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 344

Hartadi,H., S Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan

untuk Indonesia. Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Mansyur, U. Hidayat Tanuwiria dan Deny Rusmana. 2006. Eksplorasi Hijauan

Pakan Kuda dan Kandungan Nutrisinya. Universitas Padjadjaran Bandung.

Page 162: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 345

POTENSI PENGEMBANGAN HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI

DI BAWAH POHON KELAPA

KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

1Artise H.S. Salendu dan

2Femi H. Elly

Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi,

Jl. Kampus Bahu Kleak Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia

e-mail: [email protected]/08124426056

[email protected]/081310980175

ABSTRAK

Kecamatan Lolayan memiliki potensi untk pengembangan ternak sapi dilihat dari populasi ternaknya dan sumberdaya lahan. Permasalahannya lahan

yang ada belum dioptimalkan. Lahan di bawah kelapa dibiarkan ditumbuhi rumput liar yang dikonsumsi oleh ternak. Berdasarkan pemikiran tersebut, telah dilakukan penelitian tentang potensi pengembangan hijauan makanan ternak sapi.

Tujuan penelitian adalah menganalisis kapasitas tampung lahan di bawah pohon kelapa untuk hijauan makanan ternak. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode suvey. Penetuan lokasi secara purposive yaitu desa Tonayan dan Bakan yang memiliki populasi ternak sapi terbanyak. Penentuan responden secara simple random sampling terhadap populasi petani di desa terpilih. Jumlah responden

sebanyak 52 orang. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif dengan menggunakan formulasi kapasitas tampung (carring capacity). Nilai kapasitas

tampung (carring capacity) untuk kecamatan Lolayan sebesar 9,68, artinya berdasarkan luas lahan yang tersedia maka populasi riil masih dapat ditingkatkan 9,68 kali. Nilai kapasitas tampung desa Bakan masih lebih tinggi dibanding

dengan desa Tonayan. Kesimpulan, kecamatan Lolayan memiliki potensi untuk pengembangan hijauan di bawah pohon kelapa dilihat dari nilai kapasitas

tampung. Pengembangan hijauan ini dapat memberikan manfaat baik bagi ternak sapi maupun bagi kelestarian lingkungan. Saran yang dapat disampaikan adalah pengembangan hijauan di bawah pohon dilakukan bersama-sama dengan

pemerintah dan perguruan tinggi. Kata kunci: ternak sapi, hijauan, kapasitas tampung, kelapa

POTENCY OF DEVELOPMENT FORAGE FOR CATTLE UNDER

COCONUT IN LOLAYAN DISTRICT

BOLAANG MONGONDOW REGENCY

1Artise H.S. Salendu dan

2Femi H. Elly

Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi,

Jl. Kampus Bahu Kleak Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia

e-mail: [email protected]/08124426056

[email protected]/081310980175

ABSTRACT

Lolayan districts have the potential remedy cattle development seen from the livestock population and land resources. The problem is that there has not

Page 163: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 346

been optimized land. Land under coconut are left overgrown with weeds that are

consumed by livestock. Based on these ideas, research has been conducted on the potential development of cattle forage food. The purpose of research is to analyze

the capacities of land under coconut trees to forage fodder. The method used was a survey. Determination of the location has been done by purposive sampling, the village Tonayan and Bakan which has the largest cattle population. Determination

of the respondents by simple random sampling of the population of farmers in the selected villages. The number of respondents as many as 52 people. Data was

analyzed using descriptive analysis with a capacity formulation (carring capacity). Value capacities for Lolayan Distrct of 9.68, meaning that the area of land available then the real population could be enhanced 9.68 times. Bakan village

capacities value is still higher than the village Tonayan. Conclusion, Lolayan district has the potential for development of forage under coconut seen from a

capacity value. Forage development can provide benefits both for cattle and for environmental sustainability. Suggestions that can be delivered is the development of forage under the trees together with the government and universities.

Keywords: cattle, forage, carring capacity, coconut

PENDAHULUAN

Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang diandalkan oleh masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow. Ternak sapi di daerah ini sebagai sumber

pendapatan bagi masyarakat petani. Ternak sapi juga dimanfaatkan sebagai tenaga kerja untuk pengangkutan dan pengolahan lahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa ternak sapi sebagai sumber pendapatan alternatif bagi petani. Menurut

Elly, (2008) dan Elly et al. (2008), ternak sapi memiliki peran terhadap sumber pangan (daging), sebagai tabungan, sumber pendapatan dan devisa, sumber tenaga

kerja, sumber pupuk organik serta sumber energi alternatif. Kecamatan Lolayan sebagai salah satu kecamatan yang memiliki ternak

sapi terbanyak yaitu sebesar 3210 ekor atau sekitar 14,16 persen dari total

populasi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasarkan sumberdaya ternak yang ada maka populasi ternak sapi di Kecamatan Lolayan mempunyai potensi

untuk dikembangkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan pemeliharaan ternak sapi merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha peternakan di daerah tersebut. Hal ini seperti yang terjadi di NTT (Ratnawaty et

al., 2004). Permasalahannya ternak sapi masih dipelihara secara tradisional dan merupakan usaha sambilan. Ternak digembalakan di lahan lahan kering seperti di

lahan perkebunan kelapa. Ternak di daerah ini mengkonsumsi limbah pertanian dan rumput yang tumbuh liar di lahan bawah pohon kelapa tersebut. Hal ini yang menyebabkan produktivitas ternak sapi lebih rendah dibanding di daerah lain

seperti di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Lahan di bawah pohon kelapa di Kecamatan Lolayan dimanfaatkan petani

sebagai lahan tanaman pangan. Tetapi, hasil prasurvey menunjukkan bahwa lahan

di bawah pohon kelapa belum dimanfaatkan secara optimal. Artinya, lahan di bawah kelapa tersebut masih banyak yang hanya dibiarkan ditumbuhi rumput liar.

Disis lain, ternak sapi membutuhkan pakan untuk peningkatan bobot badan yang ideal sesuai dengan umur dan jenis ternaknya. Kondisi ini sama dengan di daerah lain di Sulawesi Utara, seperti hasil penelitian Salendu (2012) di Kabupaten

Page 164: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 347

Minahasa Selatan. Lahan di bawah pohon kelapa yang belum dimanfaatkan dapat

ditanami hijauan makanan ternak. Berdasarkan pemikiran tersebut maka telah dilakukan penelitian tentang potensi pengembangan hijauan pakan ternak sapi di

perkebunan kelapa di Kecamatan Lolayan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kapasitas tampung lahan di bawah pohon kelapa di Kecamatan Lolayan.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini telah dilakukan di Kecamatan Lolayan dengan menggunakan

metode survey. Jenis data yang digunakan adalah data cross section, dari sumber

data primer dan data sekunder. Data primer (cross section setahun) diperoleh dari wawancara langsung dengan responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari

instansi yang terkait dengan penelitian ini serta data hasil penelitian yang dipublikasi. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dengan petani peternak serta pengamatan langsung di lapangan.

Desa sampel ditentukan secara purposive yaitu Desa Tonayan dan Desa Bakan yang memiliki populasi ternak sapi terbanyak (BPS Kecamatan Lolayan,

2012). Responden ditentukan secara simple random sampling dari populasi petani peternak sapi di desa terpilih. Jumlah responden sebanyak 52 sampel terdiri dari 32 petani peternak sapi untuk desa Tonayan dan 20 petani peternak sapi untuk

desa Bakan. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif dengan rumus kapasitas tampung (Kementerian Pertanian, 2010) sebagai berikut :

Kapasitas Tampung = K

P

Keterangan :

P : Produksi Hijauan (ton/ha/tahun) K: Konsumsi Ternak (ST/tahun) yaitu 35 kg/ST/hari

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecamatan Lolayan adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow yang memiliki luas wilayah 297 km dengan batas-batas : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kotamobagu dan Kecamatan Passi; Sebelah

Selatan dengan Kecamatan Pinolosian; Sebelah Barat dengan Kecamatan dumoga dan Sebelah Timur dengan Kecamatan Modayag.

Keberhasilan petani dalam berusaha ternak sapi ditentukan oleh tiga unsur yang saling terkait yaitu penggunaan bibit, pakan dan manajemen usaha tersebut. Selain itu, karakteristik petani peternak juga sangat menentukan keberhasilan

usaha ternak sapi. Karakteristik petani peternak dimaksud diantaranya umur, pendidikan dan jumlah anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

umur responden berkisar antara 26-79 tahun atau rata-rata 45,35 tahun. Umur responden sebagian besar (98,08 persen) dikategorikan sebagai umur produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar responden lebih mudah dalam

menerapkan iptek berkaitan dengan usahanya. Kiswanto et al. (2004) mengemukakan bahwa makin tinggi umur petani, sampai batas tertentu, maka

kemampuan untuk bekerja akan meningkat sehingga produktivitasnya meningkat. Tingkat pendidikan responden sesuai hasil penelitian berkisar antara

Page 165: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 348

tingkat pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi. Distribusi tingkat pendidikan SD

dan SMP masing-masing sebanyak 40,38 persen, SMA sebanyak 17,32 persen dan PT 1,29 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani

peternak di lokasi penelitian dikategorikan rendah. Padahal, tingkat pendidikan formal yang semakin tinggi dapat menyebabkan seseorang makin berpikir rasional (Kiswanto et al, 2004).

Pakan merupakan salah satu unsur keberhasilan usaha ternak sapi. Hasil penelitian menunjukkan ternak sapi mengkonsumsi limbah pertanian dan rumput

yang tumbuh liar di lahan-lahan pertanian. Fenomena ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Hasil penelitian Ratnawaty et al. (2004) menunjukkan hijauan yang biasa digunakan untuk konsumsi ternak sapi berasal dari rumput

alam dan limbah tanaman jagung, kacang tanah yang baru dipanen. Djajanegara dan Ismail (2004) mengemukakan sebagian besar (95-100 persen) petani di

Wonogiri, Brobogan dan Blora memanfaatkan limbah tanaman sebagai pakan sapi. Tetapi menurut Rohani et al. (2013), jerami tergolong pakan yang berkualitas rendah.

Ternak sapi di Kecamatan Lolayan sesuai hasil penelitian digembalakan di bawah pohon kelapa. Status lahan kelapa yang digunakan untuk menggembalakan

ternak sapi baik lahan sendiri maupun lahan yang dipinjam. Responden yang memiliki lahan kelapa berjumlah 34 orang petani (65,38 persen) sedangkan 18 orang petani (34,72 persen) memanfaatkan lahan kelapa dengan status pinjam.

Rata-rata luas lahan kelapa yang dimiliki dan dipinjam sebesar 1,47 Ha. Pemilikan ternak sapi di wilayah penelitian berkisar 2-6 ekor dengan

jumlah keseluruhan untuk 52 responden sebanyak 152 ekor yang terdiri dari 40 ekor jantan dan 112 ekor betina. Rumput yang dikonsumsi sesuai hasil penelitian berupa jerami jagung, jerami padi, rumput gajah dan rumput lapang (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Limbah/Rumput oleh Ternak Sapi di Wilayah

Penelitian No. Jenis Limbah/Rumput Konsumsi Rata-rata

(Kg/Hari/Ekor) Persentase (%)

1. Jerami Jagung 12,83 20,19

2. Jerami Padi 24,28 38,21 3. Rumput Gajah 11,25 17,70

4. Rumput Lapang 15,19 23,90

Total 63,55 100.00

Rata-rata 15,89

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi jerami padi adalah yang terbanyak (38,21 persen). Hal ini ditunjang oleh keadaan wilayah penelitian yang

merupakan daerah produksi tanaman pangan (padi). Petani peternak dalam hal ini telah memanfaatkan limbah padi yang selama ini hanya dibakar, walaupun kualitas pakan tersebut masih sangat rendah.

Konsumsi rumput gajah adalah yang paling rendah yaitu sebanyak 17,70 persen. Rumput gajah di lokasi penelitian mudah diperoleh tetapi bukan ditanam

di lahan milik petani, sehingga untuk mendapatkannya membutuhkan waktu. Di daerah penelitian pernah diintroduksi rumput gajah tetapi hanya petani tertentu yang menanamnya. Pengetahuan petani tentang manajemen penanaman rumput

gajah sangat rendah. Rata-rata konsumsi ternak sapi per ekor untuk hijauan sesuai Tabel 1

Page 166: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 349

sebanyak 15,89 kg per hari per ekor. Konsumsi pakan ini belum sesuai dengan

yang dianjurkan yaitu sekitar 10 persen dari berat badan ternak sapi. Hal ini seperti yang dikemukakan Santoso (1989) bahwa ternak besar akan

mengkonsumsi hijauan sebesar 10 persen dari berat badannya atau sekitar 20-25 kg/ekor/hari.

Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan ternak sapi

(Salendu, 2012). Menurut Menegristek (2000), pakan yang makin baik kualitas dan kuantitasnya menyebabkan makin besar tenaga yang ditimbulkan dan makin

besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging. Ternak sapi dalam masa pertumbuhan dan sedang menyusui memerlukan pakan yang memadai dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kemampuan produksi ternak yang relatif rendah

tergantung kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia (Haryanto, 2009). Berdasarkan kebutuhan ternak sapi tersebut maka sangat diperlukan penyediaan

pakan yang cukup dan berkesinambungan. Sebagian besar lahan di bawah pohon kelapa di lokasi penelitian tidak

dioptimalkan. Ternak sapi yang digembalakan di bawah pohon kelapa hanya

mengkonsumsi rumput liar yang tumbuh di lahan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas pakan di lokasi penelitian

adalah lahan di bawah pohon kelapa ditanami hijauan makanan ternak. Penanaman hijauan makanan ternak juga dapat bermanfaat dalam mengurangi emisi CO2 (Salendu, 2012). Penanaman hijauan ini dianggap seperti program

mempertahankan kelestarian hutan yang sering dianjurkan. Emisi CO2 dari perubahan penggunaan lahan menurut Herman et al. (2006) dapat dikurangi

dengan cara konversi hutan. Menurut Hurteau and North (2009) hutan dipandang sebagai penyerap potensi karbon yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kecamatan Lolayan

memiliki potensi untuk pengembangan hijauan makanan ternak dilihat dari kapasitas tampung lahan yang tersedia. Menurut Kementerian Pertanian (2010)

kapasitas tampung adalah kemampuan lahan untuk menampung ternak per satuan ternak per satuan luas sehingga memberikan hasil yang optimal. Hasil analisis kapasitas tampung di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kapasitas tampung (carring capacity) untuk kecamatan Lolayan sebesar 9,68, artinya berdasarkan luas lahan

yang tersedia maka populasi riil masih dapat ditingkatkan 9,68 kali. Nilai kapasitas tampung desa Bakan masih lebih tinggi dibanding dengan desa Tonayan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengembangan hijauan di bawah

pohon kelapa dapat dilakukan di lokasi penelitian, malahan populasi ternak masih dapat ditingkatkan.

Tabel 2. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Kecamatan Lolayan, Desa Tanoyan

dan Desa Bakan Koefisien/Variabel Kecamatan Lolayan Desa Tanoyan Desa Bakan

Luas Lahan Kelapa 3308,14 40,00 45,00

Produksi Rumput

(Ton/Ha/Tahun) 120,00 120,00 120,00

POPRIL 3210,00 101,00 51,00

Konsumsi

Ternak(Kg/ST/Hari) 35,00 35,00 35,00

Kapasitas Tampung 9,68 3,72 8,29

Page 167: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 350

Hijauan yang dapat ditanam di bawah pohon kelapa berupa rumput dan

leguminosa. Leguminosa dapat berfungsi sebagai tanaman penutup di bawah pepohonan. Tanaman ini kebanyakan digunakan untuk lahan yang ditanami

tanaman keras seperti karet, kelapa sawit dan kelapa (Salendu, 2012). Keberadaan tanaman penutup tanah di bawah pohon kelapa berguna untuk melindungi tanah dari jatuhnya butir-butir hujan. Selain itu, adanya tanaman penutup tanah

menyediakan suatu perlindungan terhadap tanah sehingga dapat menjaga kesuburan tanah.

Jenis rumput yang dapat diintroduksi di lahan di bawah kelapa misalnya rumput Brachiaria mutica. Introduksi dapat dilakukan dengan memperhatikan manajemen penanaman rumput di bawah pohon kelapa harus sesuai dengan yang

dianjurkan. Menurut Rahim (2006), apabila rumput penutup (cover grass) digembalai secara berlebihan (over grazing) dapat menimbulkan erosi.

Pengendalian erosi sangat ditentukan oleh jumlah ternak yang digembalakan pada suatu areal padang rumput (stocking rate). Penggembalaan harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi over grazing, jumlah ternak sebaiknya

tergantung pada kapasitas tampung (carring capacity) lahan di bawah pohon kelapa tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecamatan Lolayan memiliki potensi untuk pengembangan hijauan di bawah pohon kelapa dilihat dari

nilai kapasitas tampung. Pengembangan hijauan ini dapat memberikan manfaat baik bagi ternak sapi maupun bagi kelestarian lingkungan.

Saran yang dapat disampaikan adalah pengembangan hijauan di bawah

pohon dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan perguruan tinggi sebagai pendamping.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Sam Ratulangi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh dana penelitian

melalui Hibah Unggulan UNSRAT Tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Djajanegera, A dan I.G. Ismail. 2004. Manajemen Sarana Usahatani dan Pakan

dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar, Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara.

Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Elly, F.H., B.M. Sinaga., S.U. Kuntjoro and N. Kusnadi. 2008. Pengembangan

Usaha Ternak Sapi Melalui Integrasi Ternak Sapi Tanaman di Sulawesi

Utara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Page 168: Prosiding Semnas II HITPI Page 184 PRODUKTIVITAS PADANG ...

Prosiding Semnas II HITPI Page 351

Haryanto, B. 2009. Inovasi Tehnologi Pakan Ternak Dalam Sistem integrasi

Tanaman-Ternak Berbasis Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Pengembangan Innovasi Pertanian 2 (3). 2009: 163-176. Herman, F. Agus, and I. Las. 2006. Analisis Finansial dan Keuntungan yang

Hilang dari Pengurangan Emisi Karbon Dioksida pada Perkebunan Kelapa

Sawit. Jurnal Litbang Pertanian. Volume 28 (4), 2006. p: 127-133. Hurteau. M, and M. North. 2009. Fuel Treatment Effects On Tree-Based Forest

Carbon Storage And Emissions Under Modeled Wildfire Scenarios. J. Frontiers in Ecology and the Environment. Volume 7, Issue 8 (October 2009). p : 409-414.

Kementerian Pertanian. 2010. Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan.

Blue Print. Kementerian Pertanian, Jakarta. Kiswanto., A. Probowo dan Widyantoro. 2004. Transformasi Struktur Usaha

Penggemukan Sapi Potong di Jawa Tengah. Prosiding Seminar, Sistem dan

Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Menegristek. 2000. Budidaya Ternak Sapi Potong (Bos sp.). Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta.

Ratnawaty, S., M. Ratnada., Yusuf dan J. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar, Sistem dan

Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Rohani, St., I.M. Saleh dan M.Z. Mide. 2013. Pengaruh Pakan Komplit Berbahan

Jerami Padi Terhadap Peningkatan Berat Badan Sapi Yang Mempengaruhi Harga Jual Sapi di Kabupaten Sinjai. Prosiding. Seminar Nasional

Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:118-120.

Salendu, A.H.S. 2012. Perspektif Pengelolaan Agroekosistem Kelapa-Ternak Sapi

di Minahasa Selatan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Santoso. B. T. 1989. Farm Forestri Penyediaan Hijauan Makanan Ternak. Poultry Indonesia. No 118 Th ke-X. Hal : 47 - 50.