PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK DAN KUALITAS PEMBELAJARAN PLENO 1 DAMPAK DAN TANTANGAN DI LESSON STUDY BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI PENGEMBANGAN PROFESI GURU Kanako N. Kusanagi Institute of Education, University of London PhD Student, the Institute of Education, University of London. Contact: [email protected]Saat ini, tuntutan perubahan yang dibebankan kepada para guru menghambat munculnya pendekatan bagi pengembangan profesi yang efektif. Di masa lalu, mungkin, ada satu pendekatan yang dianggap paling baik, namun sebenarnya guru perlu menguasai berbagai pendekatan agar mampu merespon bermacam situasi yang berbeda (Fuller & Clarke, 1994; Darling-Hammond & McLaughlin, 1999). Penelitian menunjukkan bahwa efektifitas pembelajaran individu dapat dipercepat dengan adanya budaya kolaboratif dalam komunitas profesi (Darling-Hammond & McLaughlin, 1999). Perhatian terhadap pengembangan profesi berbasis sekolah yang bersifat kontekstual dan didasarkan pada kebutuhan guru semakin meningkat (McLaughlin, 1993; Ose & Sato, 2003). Salah satu pendekatan, Lesson Study, yang berasal dari Jepang telah menarik perhatian masyarakat internasional sebagai pendekatan yang efektif dalam mengembangkan pembelajaran yang berkesinambungan dan bersifat kolaboratif. Para akademisi dari Amerika tertarik pada Lesson Study karena dianggap dapat mempengaruhi budaya mengajar melalui refleksi secara kolaboratif atas pengajaran yang berlangsung (Stigler & Hiebert, 19990). Meski terdapat beragam bentuk dan motif dalam pelaksanaannya, Lesson Study biasanya melibatkan proses pengembangan profesi secara kolaboratif yaitu para guru mendiskusikan rencana pembelajaran, mengamati pembelajaran, kemudian merevisi serta mengajarkan pelajaran tersebut lagi. (Fernandez & Yoshida, 2004). Di Indonesia, Lesson Study dilaksanakan di tingkat SMP sejak tahun 2002 melalui kerjasama antara pemerintah Jepang dan Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan (Saito et al., 2006). Hal ini merupakan bagian dari program pemerintah untuk mengembangkan profesi guru sebagai prioritas utama dalam meningkatkan mutu pendidikan (MONE, 2007). Pada tahun 2006, lebih dari 300 sekolah melaksanakan Lesson Study dan jumlah ini masih terus meningkat secara pesat sejalan dengan dukungan kuat yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Sebagian besar sekolah terlibat dalam kegiatan Lesson Study dalam bentuk MGMP. Namun, jumlah sekolah yang mengadakan LSBS juga semakin bertambah. Misalnya, di Kabupaten Bantul, hanya terdapat 3 sekolah yang melaksanakan LSBS pada 2007. Pada tahun 2010, jumlah ini meningkat menjadi 15 sekolah. Menurut seorang pejabat di dinas pendidikan Bantul, kegiatan ini merupakan pendekatan yang efektif dalam meningkatkan mutu dan proses pendidikan (berdasarkan pada wawancara di dinas Pendidikan Bantul, 20 Mei 2010). Di bawah kebijakan desentralisasi, sekolah-sekolah diminta untuk menyisipkan pengembangan manajemen dan profesi dalam program sekolah. Oleh karena itu, Lesson Study didukung penuh oleh pemerintah daerah dan juga kepala sekolah. Berdasarkan pada studi wawancara (Nozu, 2008), terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaan pembelajaran yang dirasakan para guru sebagai dampak LSBS: Persiapan guru dalam mengajar menjadi lebih baik Guru melaksanakan pendekatan-pendekatan yang lebih terpusat pada pembelajar dan akhirnya hubungan mereka dengan para siswa menjadi lebih baik Guru menjadi lebih sering saling berbagi permasalahan dengan teman sejawat mereka Siswa berkesempatan untuk bertanya dan berdiskusi dalam kelas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 1
DAMPAK DAN TANTANGAN DI LESSON STUDY BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI PENGEMBANGAN PROFESI GURU
Kanako N. Kusanagi
Institute of Education, University of London PhD Student, the Institute of Education, University of London.
Saat ini, tuntutan perubahan yang dibebankan kepada para guru menghambat munculnya pendekatan bagi pengembangan profesi yang efektif. Di masa lalu, mungkin, ada satu pendekatan yang dianggap paling baik, namun sebenarnya guru perlu menguasai berbagai pendekatan agar mampu merespon bermacam situasi yang berbeda (Fuller & Clarke, 1994; Darling-Hammond & McLaughlin, 1999). Penelitian menunjukkan bahwa efektifitas pembelajaran individu dapat dipercepat dengan adanya budaya kolaboratif dalam komunitas profesi (Darling-Hammond & McLaughlin, 1999). Perhatian terhadap pengembangan profesi berbasis sekolah yang bersifat kontekstual dan didasarkan pada kebutuhan guru semakin meningkat (McLaughlin, 1993; Ose & Sato, 2003). Salah satu pendekatan, Lesson Study, yang berasal dari Jepang telah menarik perhatian masyarakat internasional sebagai pendekatan yang efektif dalam mengembangkan pembelajaran yang berkesinambungan dan bersifat kolaboratif. Para akademisi dari Amerika tertarik pada Lesson Study karena dianggap dapat mempengaruhi budaya mengajar melalui refleksi secara kolaboratif atas pengajaran yang berlangsung (Stigler & Hiebert, 19990). Meski terdapat beragam bentuk dan motif dalam pelaksanaannya, Lesson Study biasanya melibatkan proses pengembangan profesi secara kolaboratif yaitu para guru mendiskusikan rencana pembelajaran, mengamati pembelajaran, kemudian merevisi serta mengajarkan pelajaran tersebut lagi. (Fernandez & Yoshida, 2004).
Di Indonesia, Lesson Study dilaksanakan di tingkat SMP sejak tahun 2002 melalui kerjasama antara
pemerintah Jepang dan Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan (Saito et al., 2006). Hal ini merupakan bagian dari program pemerintah untuk mengembangkan profesi guru sebagai prioritas utama dalam meningkatkan mutu pendidikan (MONE, 2007). Pada tahun 2006, lebih dari 300 sekolah melaksanakan Lesson Study dan jumlah ini masih terus meningkat secara pesat sejalan dengan dukungan kuat yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Sebagian besar sekolah terlibat dalam kegiatan Lesson Study dalam bentuk MGMP. Namun, jumlah sekolah yang mengadakan LSBS juga semakin bertambah. Misalnya, di Kabupaten Bantul, hanya terdapat 3 sekolah yang melaksanakan LSBS pada 2007. Pada tahun 2010, jumlah ini meningkat menjadi 15 sekolah. Menurut seorang pejabat di dinas pendidikan Bantul, kegiatan ini merupakan pendekatan yang efektif dalam meningkatkan mutu dan proses pendidikan (berdasarkan pada wawancara di dinas Pendidikan Bantul, 20 Mei 2010). Di bawah kebijakan desentralisasi, sekolah-sekolah diminta untuk menyisipkan pengembangan manajemen dan profesi dalam program sekolah. Oleh karena itu, Lesson Study didukung penuh oleh pemerintah daerah dan juga kepala sekolah.
Berdasarkan pada studi wawancara (Nozu, 2008), terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaan
pembelajaran yang dirasakan para guru sebagai dampak LSBS: Persiapan guru dalam mengajar menjadi lebih baik Guru melaksanakan pendekatan-pendekatan yang lebih terpusat pada pembelajar dan akhirnya
hubungan mereka dengan para siswa menjadi lebih baik Guru menjadi lebih sering saling berbagi permasalahan dengan teman sejawat mereka Siswa berkesempatan untuk bertanya dan berdiskusi dalam kelas
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 2
Adanya peningkatan dalam tugas harian siswa Siswa dapat lebih lancar berkomunikasi dengan teman Guru juga menyebutkan dampak yang mereka rasakan pada kepercayaan serta tingkah laku mereka. Guru semakin menyadari akan pentingnya persiapan yang baik, kelemahan dan kelebihan masing-
masing guru, serta munculnya kebutuhan akan peningkatan dengan saling berbagi tentang apa yang terjadi dalam kelas masing-masing.
Guru menjadi lebih termotivasi, percaya diri, dan optimis dengan melihat perubahan dalam hasil yang diperoleh siswa.
Guru menjadi sadar akan pentingnya pendekatan yang terpusat pada pembelajar dan menjadi lebih sen-sitif dan peduli pada siswa karena siswa merespon mereka dengan baik. Karena itu, pada umumnya, guru memiliki pandangan yang positif terhadap pelaksanaan Lesson
Study, dan mereka merasa bahwa Lesson Study sangat membantu pengembangan profesi mereka. Namun, meski guru menyadari manfaat Lesson Study, cara mengajar guru pada saat open class sangat berbeda den-gan cara mengajar guru pada kelas sehari-hari mereka. Pada bagian berikut, saya berusaha untuk men-getengahkan sejumlah masalah yang dihadapi guru dari segi sosial budaya dalam konteks Indonesia ber-dasarkan studi etnografi yang diadakan sejak Desember 2009 sampai Juni 2010 di sebuah SMP. Metode studi ini adalah observasi partisipan, angket, dan wawancara. Meski Lesson Study telah diterima dengan baik sebagai pengembangan profesi yang sistematis, sayangnya, tampaknya Lesson Study masih tidak ter-cermin dalam pengajaran sehari-hari. Guru harus memenuhi tanggung jawab mereka yang lain yang dibe-bankan kepadanya dan menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Kondisi ini menyulitkan guru untuk merefleksi dan mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pedagogi mereka. Saya mengetengahkan contoh nyata kesulitan tersebut yang terjadi di sini.
Biasanya, pelatihan yang diselenggarakan bagi guru Indonesia bertempat di lokasi yang besar seperti
pusat pelatihan atau auditorium di hotel dan jumlah peserta-pun dibatasi. Biasanya, pelatihan ini berbentuk ceramah dan bertujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan, metode dan teknik mengajar yang baru (Bjork, 2005). Agar dapat mengikutinya, guru harus meninggalkan siswa mereka. Namun, Lesson Study diadakan di sekolah, dan sekolah dapat mengatur pelaksanaannya sehingga seluruh guru dapat ikut serta. Umumnya, Lesson Study berlangsung di situasi kelas nyata sehingga guru tidak perlu meninggalkan siswa agar dapat turut serta. Dalam Lesson Study, setiap guru didorong agar membuka kelas masing-masing. Memang guru Indonesia masih belum terbiasa untuk membuka kelas dan diamati, dan masih banyak juga yang mereasa enggan untuk melakukannya. Tapi mereka sama sekali tidak bisa menolaknya karena ini menjadi kebijakan sekolah, dan setiap guru wajib membuka kelas. Sebagai hasilnya, untuk pertama kali dalam kariernya, para guru membuka kelas bagi teman sejawat mereka. Sejumlah guru menyebutkan bahwa ada guru yang harus 'didorong' lebih keras, dan Lesson Study menyediakan kesempatan tersebut.
Akan tetapi, ada guru yang merasa bahwa Lesson Study adalah suatu beban dan sebagai bentuk
evaluasi cara mengajar mereka. Meski para guru mengakui pentingnya persiapan yang baik dan merasakan manfaat pendekatan-pendekatan yang inovatif dalam mengajar, banyak guru yang mengakui bahwa mereka tidak merasa bahwa mereka harus mengubah cara mengajar mereka. Seorang guru senior mengemukakan bahwa "Saya sudah mengajar selama lebih dari 20 tahun. Saya sudah hapal materi saya; oleh karena itu, saya tidak perlu mengadakan persiapan.’ Prioritas utama mereka dalam mengajar adalah menyampaikan sebanyak mungkin bahan ajar yang wajib mereka sampaikan. Karena mereka harus menyampaikan semua yang akan muncul dalam Ujian Nasional. Ujian Nasional menentukan masa depan siswa, guru, dan seko-lah. Sebagai akibatnya guru cenderung menggunakan metode ceramah dan hapalan.
Namun dalam Lesson Study, kriteria yang sangat berbeda diguanakan dalam mengevaluasi penga-
jaran. Dengan menggunakan lembar observasi, para teman sejawat dan nara sumber dari luar sekolah mengevaluasi pengajaran berdasarkan pada tingkah laku serta pemahaman siswa. Karena para guru men-ganggap peristiwa ini merupakan peristiwa khusus maka mereka mengikuti protokol kegiatan dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, mereka mengadakan persiapan yang matang, menggunakan pendekatan yang
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 3
inovatif dan terpusat pada siswa dalam Lesson Study. Selain itu, mereka juga memperkenalkan media serta kegiatan kelompok. Akan tetapi, guru mengakui bahwa mereka tidak dapat menggunakan pendekatan yang mereka pakai dalam Lesson Study di dalam pelajaran sehari-hari karena mereka tidak akan dapat mencapai target kurikulum. Ada guru yang menyebutkan bahwa mereka tidak sempat mengadakan persiapan yang matang di tiap pengajaran.
Selain adanya beban ujian nasional, keterbatasan interaksi antara guru dan siswa serta pandangan guru
terhadap siswa juga merupakan tantangan bagi pembelajaran yang terpusat pada siswa. Di Indonesia, ter-dapat kompetisi ketat antar sekolah, dan sekolah berusaha untuk memperoleh siswa yang memiliki nilai tinggi. Guru beranggapan bahwa kemampuan tiap siswa berbeda, dan guru memiliki peran yang kecil dalam pembelajaran. Apalagi adanya keterbatasan dalam hubungan antara guru dan siswa. Banyak guru yang masih belum mengetahui nama tiap siswa karena mereka mengajar di banyak kelas. Misalnya, guru IPS menyatakan 'saya mengajar di 12 kelas.' Ada 36 siswa di tiap kelas. Sehingga hampir tidak mungkin mengingat nama setiap anak. Hanya sedikit guru yang memberi nilai pada PR atau pun tugas harian siswa. Proritas utama guru adalah siswa dapat menjawab pertanyaan sebanyak dan sebenar mungkin. Sekali lagi, Lesson Study menggunakan protokol yang benar-benar berbeda. Siswa didorong untuk mengeksplorasi dan benar-benar memahami pelajaran. Sedang di kelas sehari-hari, guru tidak dapat memberi perhatian penuh terhadap tiap individu siswa.
Salah satu manfaat Lesson Study adalah kolegalitas dan diskusi terbuka antar guru. Namun, di sekolah
Indonesia, khususnya dalam budaya jawa, sistem senioritas dan birokrasi masih mengakar kuat. Para guru sangat bangga bila sudah menjadi pegawai negeri dan biasanya mereka mengkelaskan guru berdasar apakah mereka sudah diangkat menjadi pegawai negeri atau masih menjadi pegawai kontrak. Sebagai bagian dari masyarakat, guru memiliki jaringan sosial yang kuat dan saling membantu berdasarkan kepentingan pribadi dan umum. Mereka juga memiliki tim kerja yang handal dalam urusan administratif seperti penyusunan dokumen dan laporan yang diperlukan oleh pemerintah. Di sisi lain, tanggung jawab mereka dipisahkan oleh hierarki dan senioritas. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam membangun lingkungan yang liberal bagi diskusi bebas mengenai penerapan pedagodis serta hubungan mereka dengan siswa.
Sebagai kesimpulan, Lesson Study menyediakan kesempatan bagi para guru Indonesia untuk
mengeksplorasi metode pengajaran yang baru serta mendorong pelaksanaannya dalam pengajaran. Hal ini dipandang sebagai program pengembangan profesi yang positif. Di sisi lain, masih banyak tedapat tantangan yang harus diatasi guna menyiapkan para guru dalam menciptakan kolegalitas untuk mewujudkan diskusi bebas dan memberi dampak bagi pelaksanaan pedagodis mereka. Seperti yang dikemukakan oleh Bjork (2005), guna mengubah pengajaran, guru perlu memperbaiki peran mereka dengan tingkah laku dan perilaku yang baru dalam hal tanggung jawab, metodologi institusi serta hubungan mereka dengan siswa. Pendekatan yang mungkin disisipkan dalam perubahan pedagogis terletak di luar lingkaran pengembangan profesi. Satu pendekatan mungkin menjadi motivasi untuk memperoleh kemampuan mengajar dan untuk memperbaiki hubungan guru-siswa. Guru harus berusaha untuk mengajak siswa dalam komunitas di luar sekolah sehingga hubungan interpersonal dan kepedulian terhadap siswa menjadi semakin meningkat dalam kelas. Saat sekolah menjadi tempat yang bersifat lebih demokratis, mungkin kita bisa berharap bahwa Lesson Study tidak hanya menjadi sekedar pelatihan tersistem, tetapi menjadi sumber dukungan dan pembelajaran kolaboratif.
REFERENSI
Bjork, C. (2005) Indonesian Education Teachers, Schools, and Central Bureaucracy. London: Routledge. Darling-Hammond & McLaughlin, M. W. (1999) Investing in Teaching as a Learning Profession: Policy Problems and
Prospects. In L. Darling-Hammond & G. Sykes (eds.) Teaching as the Learning Profession: Handbook of Pol-icy and Practice. San Francisco: Jossey-Bass Publishers, pp. 376-411.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 4
Fernandez, C. & Yoshida, M. (2004) Lesson Study: A Japanese Approach to Improving Mathematics Teaching and Learning. London: Lawrence Erlbaum Associates.
Fuller, B. & Clarke, P., (1994) Raising School Effects while Ignoring Culture? Local Conditions and the Influence of Classroom Tools, Rules, and Pedagogy. Review of Educational Research, 64, (1), pp. 119-157.
McLaughlin, M. W. (1993) What matters most in teachers’ workplace contexts? In J. W. Little & M. W. McLaughlin (eds.) Teachers’ work: Individuals, colleagues and contexts. New York: Teachers College Press, pp.79-103.
MONE (Ministry of National Education, Republic of Indonesia). (2007) Reforming Teachers: Towards Educational Equality and Quality. Jakarta: Ministry of National Education, Republic of Indonesia.
Nozu, K. (2008) The Effectiveness of the Japanese ‘Lesson Study’ Approach to the Professional Development of Jun-ior Secondary Teachers in Indonesia, Unpublished dissertation for the degree of M.Sc. in Comparative and In-ternational Education, the University of Oxford.
Ose, T. & Sato, M. (2003) Gakko Wo Kaeru (Changing a School). Tokyo: Shogakkan. Saito, E., Harun, I., Kuboki, I. & Tachibana, H. (2006) Indonesian Lesson Study in practice: case study of Indonesian
mathematics and science teacher education project. Journal of In-service Education, 32, (2), pp. 171-184. Stigler, J. W. & Hiebert, J. (1999) The Teaching Gap: Best Ideas from the World’s Teachers for Improving Education in
the Classroom. New York: The Free Press.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 5
REFLEKSI PERJALANAN DAN CAPAIAN HASIL PENGEMBANGAN LESSON STUDY DALAM UPAYA
MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN MIPA DI INDONESIA
Abstrak: Upaya pengembangan kualitas pembelajaran MIPA telah dilakukan dengan bebagai program, salah satunya melalui kerjasama teknis dengan JICA. Kerjasama dengan JICA dalam bidang pendidikan MIPA telah dimulai sejak 1998 melalui Program IMSTEP (1998-2005), yang fokusnya adalah peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan calon guru (pre-service training) di LPTK. Kerjasama teknis dilanjutkan dengan Program SISTTEMS (2006-2008) dengan fokus penguatan sistem pelatihan guru dalam jabatan (in-service training) melalui penerapan lesson study. Penerapan lesson study saat ini sedang dijalankan melalui PELITA (2009-2012). Sejauh ini sejarah pengembangan dan implementasi lesson study di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga tahap, yakni tahap perintisan (masa follow up IMSTEP), tahap impementasi (masa SISTTEMS), dan tahap diseminasi (masa PELITA). Saat ini, para guru di daerah sasaran telah dapat melaksanakan tahapan lesson study, meskipun dengan dengan kualitas yang bervariasi. Hasil-hasil implementasi lesson study di MGMP dan di sekolah (LSBS) telah mulai dirasakan oleh guru, kepala sekolah, dan juga stake holders yang lain. Namun demikian perlu diwaspadai, jangan sampai diseminasi digalakkan, lesson study dipahamai secara dangkal, tetapi kemudian tidak dijalankan secara berkala dan berkelanjutan. Akibatnya, lesson study belum dapat dirasakan manfaatnya oleh para guru dan siswa. Lesson study yang dijalankan secara sungguh-sungguh dan terus menerus akan menjadi sarana bagi proses continuing professional development (CPD).
Kata kunci: Lesson study, sejarah dan perkembangan lesson study, refleksi perjalanan lesson study
Seperti sama-sama telah disadari, bahwa perjuangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan hasil seperti yang diharapkan. Berbagai upaya telah, sedang, dan akan terus dilakukan. Semua pihak yang terkait dengan pendidikan (stake holders) terus berupaya meningkatkan peran, tugas, dan fungsinya. Unsur-unsur Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementererian Pendidikan Nasional), Dinas Pendidikan di daerah Tingkat I dan II, Perguruan Tinggi, Pusat-Pusat Pelatihan dan Penjaminan Mutu Guru (P4TK dan LPMP), serta masyarakat sekolah lainnya juga tiada henti berupaya meningkatkan mutu layanan pendidikan yang baik dan berkualitas agar diperoleh hasil pendidikan (output dan outcome) yang berkualitas demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Pendidikan adalah suatu upaya yang tiada pernah berakhir seiring dengan perkembangan kemajuan bangsa dan peramasalahnnya.
Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam membangun mutu pendidikan adalah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, seperti salah satunya bekerja sama dengan JICA (Japan Internasional Cooperation Agency). JICA adalah lembaga bantuan luar negeri Pemerintah Jepang. Dalam hal peningkatan mutu pendidikan MIPA melalui peningkatan mutu pre-service training dan in-service
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 6
training telah dimulai sejak Tahun 1998 melalui beberapa Program, seperti IMSTEP (Indonesian Mathematics and Science Teaching Education Project; 1998-2005), REDIP (Regional Education Development and Improvement Program; 1999-2008), SISTTEMS (Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science Education at Junior Secondary Level; 2006 -2008), dan saat ini PELITA (Program for Enhancing Quality of Junior Secondary Enducation; 2009-2012).
Dalam program kerjasama tersebut salah satu kegiatan utama yang dijalankan untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah lesson study, baik yang berbasis MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) maupun berbasis sekolah (LSBS; Lesson study Berbasis Sekolah). Sejak diperkenalkan di Indonesia pertama kali oleh para tenaga ahli Jepang, yakni pada akhir Tahun 2004 di Indonesia, khususnya di kalangan dosen MIPA UPI, UNY, UM, dan kepada para guru-guru Bandung, Yogyakarta, dan Malang, saat ini lesson study telah menyebar ke berbagai daerah dan jenjang pendidikan melalui berbagai program kegiatan. Hasil-hasil secara kuantitatif maupun kualitatif telah dirasakan. Namun demikian perlu direnungkan; apakah capaian hasil-hasil tersebut telah sesuai dengan harapan kita semua? Makalah ini akan menguraikan hasil pemantauan secara umum tentang pelaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai. Uraian ini didasarkan atas hasil pengamatan, monitoring, dan diskusi dengan kalangan menejemen program tingkat pusat daerah, hasil mengikuti rapat koordinasi di tingkat pusat dan daerah, seperti Forum JCC Meeting (Joint Coordination Comminttee Meeting), Regular Management Meeting, dan Rapat Koordinasi di Dinas Pendidikan selama implementasi program.
TIGA LANGKAH LESSON STUDY DI INDONESIA
Lesson study (Jogyokenkyu) adalah suatu kegiatan pengkajian terhadap pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh sekelompok guru. Dalam perkembangannya di Indonesia didefiniskan sebagai beri-kut. Lesson study merupakan model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Hendayana, dkk. 2006). Tentu saja masih banyak definisi lesson study yang dibuat oleh para ahli lainnya, seperti dituliskan oleh Garfield (2006) lesson study adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkat hasil pembelajaran Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Sementara menurut Walker (2005) Lesson study adalah suatu metode pengembangan profesional guru.
Menurut Lewis (2002) ide yang terkandung di dalam lesson study sebenarnya singkat dan sederhana, yakni jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, Fernandez dan Yoshida (2004) menjelaskan lesson study sebagai proses yang terdiri dari tahap-tahap berikut: (1) merencanakan pelajaran secara kolaboratif; (2) mengimplementa-sikan rencana pelajaran; (3) mendiskusi pelajaran; (4) merevisi rencana pelajaran (pilihan); (5) mengajarkan rencana pelajaran yang telah direvisi; (6) melakukan sharing untuk merefleksikan versi pelajaran yang telah direvisi.
Tahapan kegiatan lesson study yang dilaksanakan di Jepang dan di beberapa negara yang lain juga bervariasi. Publikasi internasional tentang tahapan lesson study di Indonesia yang berorientasi praktis dengan tiga tahap (plan, do dan see) telah ditulis oleh Saito, et al, (2006). Luwis (2002) menyebutkan ada 6 langkah tahapan lesson study, 8 langkah (Baba, 2007), dan langkah (Richardson, 2006). Tetapi pada intinya, ada tidak langkah utama, yakni perencanaan, pelakasanaan pembelajaran yang diobseravsi dan refleksi berdasarkan hasil pengamatan.
Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk merancang rencana pembelajaran (lesson plan) yang dapat mendorong siswa belajar dalam suasana menyenangkan sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai secara efektif melalui aktivitas belajar secara aktif dan kreatif. Perencanaan yang baik tidak dilakukan sendirian tetapi dilakukan bersama oleh para guru. Beberapa orang guru dapat berkolaborasi untuk memperkaya ide-ide. Perencanaan diawali dari analisis permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Permasalahan dapat berupa materi bidang studi atau bagaimana menjelaskan suatu konsep. Permasalahan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 7
dapat juga menyangkut aspek pedagogi tentang metoda pembelajaran yang tepat agar pembelajaran lebih efektif dan efisien atau permasalahan fasilitas belajar yakni, bagaimana menyiasati kekurangan fasilitas pembelajaran.
Langkah kedua dalam lesson study adalah pelaksanaan pembelajaran (Do) untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan bersama. Langkah ini bertujuan untuk mengujicoba efektivitas model pembelajaran yang telah dirancang. Para pendidik lain bertindak sebagai pengamat (observer) pembelajaran. Kepala sekolah terlibat dalam pengamatan pembelajaran dan memandu kegiatan ini. Fokus pengamatan ditujukan pada interaksi para peserta didik dengan bahan atau materi pelajaran, dengan guru, dengan peserta didik yang lain, dan juga lingkungannya. Yang pada ini semua aspek yang diamati tersebut diorientasikan untuk melihat apakah semua siswa benar-benar telah belajar dan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara obyektif. Para pengamat dapat melakukan perekaman kegiatan pembelajaran melalui video camera atau foto digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan studi lebih lanjut.
Langkah ketiga dalam kegiatan lesson study adalah refleksi (See). Setelah selesai pembelajaran langsung dilakukan diskusi antara guru dan pengamat yang dipandu oleh kepala sekolah atau personel yang ditunjuk untuk membahas pembelajaran. Dalam diskusi guru model mengawali kegiatan diskusi dengan menyampaikan reviu terhadap pelaksanaan dan capaian/hasil pembelajaran, serta boleh juga menambahkan kesan-kesan dalam melaksanakan pembelajaran tersebut. Selanjutnya pengamat diminta menyampaikan komentar dan lesson learned dari pembelajaran terutama berkenaan dengan aktivitas belajar peserta didik dan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran. Tentunya, kritik dan saran untuk pendidik disampaikan secara bijak demi perbaikan pembelajaran. Sebaliknya, pendidik harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan masukan dari diskusi ini dapat dirancang kembali pembelajaran berikutnya.
Dari kegiatan lesson study ini diharapkan semua peserta, guru model dan pengamat, dapat memperoleh pengalaman berharga yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualiatas pembelajarannya. Jika kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus (kontinu) secara berkala, maka para guru, atau pendidik pada umumnya, akan dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemebelajarannya. Ini artinya layanan pendidikan kepada para siswa akan meningkat, dan ini artinya profesionalisme para pendidik akan meningkat secara bertahap dan terus-menerus. Ini berarti sebuah proses “Continuing Professional Development“ akan terlangsung.
SEJARAH AWAL PERKEMBANGAN LESSON STUDY DI INDONESIA
Lahirnya lesson study di Indonesia bukan merupakan sebuah kebetulan yang tiba-tiba, tetapi melalui suatu perjalanan dan perjuangan dalam sebuah program peningkatan pendidikan MIPA di Indonesia. Se-cara singkat perjalanan itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Pada saat “midterm evaluation” program IMSTEP JICA Tahun 2001 ditemukan bahwa program IM-STEP telah berjalan sesuai dengan rencana, serta mulai menampakkan hasilnya. Namun pada forum JCC dan manajement meeting di Jakarta Tahun 2001, muncul gagasan melalui sebuah pertanyaan dan usulan dari wakil Ditjen Dikdasmen, yakni “apa kontribusi program IMSTEP terhadap peningkatan kualitas pem-belajaran sains di sekolah dasar dan menengah. Hal ini terjadi karena pada paroh pertama program (Okto-ber 2008 - Maret 2001) dari rencana sampai 2003, kegiatan IMSTEP masih terfokus pada perbaikan kualiats penyelenggaraan “pre-service training” di tiga fakultas MIPA, yakni di UPI, UNY dan UM. Akhirnya manajemen program dan JICA memutuskan untuk menambahkan dua aktivitas dalam IMSTEP, yakni diadakannya piloting pembelajaran MIPA dan penyelenggrana Exchange of Experience. Kesepaka-tan untuk menambahkan dua kegiatan tersebut dituangkan dalam Project Design Matrix dan Plan of Opera-tion IMSTEP edisi revisi Tahun 2001 (IMSTEP Report, 2003).
Kegiatan piloting pembelajaran MIPA resmi dimulai. Pihak F(P)MIPA UPI, UNY dan UM mulai menjalani kerjasama dengan MGMP MIPA SMP dan SMA di wilayahnya. Ada tiga kegiatan pokok yang dilakukan dalam kegiatan piloting, yakni workshop penyusunan rencana pembelajaran (RPP) di masing-masing jurusan (Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi), biasanya pada hari Sabtu. Berikut diteruskan dengan pelaksanaan pembelajaran di sekolah masing-masing guru anggota MGMP yang terlibat. Di antara
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 8
pelaksanaan pembelajaran tersebut ada yang didampingi oleh dosen dan direkam (shooting). Rekaman hasil pelakasanaan pembelajaran ditayangkan di masing-masing jurusan dan didiskusikan dengan semua anggota MGMP dan tim dosen pembina/ pendamping. Kegiatan ini disebut dengan “postclass discussion”. Pada saat saat diskusi inilah biasanya guru yang melaksanakan pembelajaran memperoleh banyak masukan berharga sekaligus kritik. Akibat dari banyak mendapatkan kritik, para guru yang merasa takut tampil mengajar karena bayangan akan mendapatkan kritikan pada saat “postclass discussion”. Inilah yang menjadi alasan kenapa kemudian para tenaga ahli (experts) JICA mengusulkan untuk mengadopsi pola lesson study (jugyokenkyu) dari Jepang guna memperbaiki pelaksanaan piloting pembelajaran MIPA dalam program IMSTEP. Perkenalan pertama kali lesson study dilakukan oleh Eisuke Saito (IMSTEP JICA expert) pada Bulan Desember 2004 kepada para dosen MIPA, para kepala sekolah, dan juga guru-guru anggota MGMP. Dari sinilah sejarah perkembangan awal lesson study di Indonesia dimulai.
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI LESSON STUDY
Era Pertama
Pada era pertama, ketika untuk pertama kali lesson study diperkenalkan di Indonesia pada akhir Tahun 2004 dan dicoba disosialisasikan di kalangan guru dan kepala sekolah, khusunya di Malang, pada umumnya mereka menolak. Dalam pengertian, tidak mungkin tahapan lesson study seperti yang dilakukan di Jepang (kasus SMP Gakuyo - Tokyo) dapat dilakukan di sekolah-sekolah di Malang atau Indonesia pada umumnya. Ada tiga alasan yang mereka kemukakan, yakni: 1) guru di Indonesia tidak memiliki waktu untuk saling mengobservasi pembelajaran guru lain secara kolaboratif, karena mereka setiap hari sibuk mengajar dari satu ke kelas yang lain; 2) jika harus melakukan diskusi refleksi bersama setelah pembelajaran maka dibutuhkan waktu khusus, dan ini artinya sekolah harus menyediakan konsumsi dan bila perlu tambahan transpor atau insentif karena mereka harus pulang lebih akhir; dan 3) umumnya guru-guru tidak biasa (enggan dan malu) untuk diamati guru yang lain ketika mengajar. Namun kemudian, karena upaya dari tenaga ahli JICA, dan karena masih ada dosen, kepala sekolah dan beberapa guru MGMP yang memiliki semangat untuk mencoba maka lesson study berhasil dijadikan pilot project di MGMP MIPA dan di beberapa sekolah di Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Ternyata hasilnya pun sangat menggembirakan.
Secara ringkas hasil pengembangan lesson study dalam IMSTEP tersebut berupa perubahan cara mengajar guru dan cara belajar siswa. Sebagaimana temuan Saito, Harun, Ibrohim, dan Kuboki (2005-2006) bahwa ada perubahan dalam praktik pengajaran matematika dan sains di Indonesia setelah dimulainya lesson study di bawah Program IMSTEP. Perubahan tersebut adalah: (1) perubahan dalam pemantapan dasar akademik pembelajaran, akibat dari jalinan antara guru dengan dosen-dosen dari universitas; (2) perubahan dalam struktur pembelajaran, ditunjukan dengan digunakannya eksperimen atau aktivitas fisik/kerja, dan diskusi; (3) perubahan reaksi murid selama dalam proses pembelajaran. Selain hal tersebut, hal yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan paradigma, etos kerja, kekolgiaan antar guru dan semangat untuk meningkatkan kemampuan diri para guru setelah melakukan lesson study dalam beberapa tahun.
Era Kedua
Pada era kedua, yakni ketika lesson study dijadikan kegiatan utama dalam Program SISTTEMS di tiga daerah rintisan, yakni Kabupaten Sumedang Jawa Barat, Kabupaten Bantul Yogyakarta dan Kabupaten Pasuruan Jawa Timur pada Tahun 2006-2008. Pada awal sampai pertengahan implementasi Program SISTTEMS (khususnya di Kabupaten Pasuruan) kegiatan masih terfokus pada peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan guru dalam melaksanakan lesson study. Bagaimana menyusun perencanaan pembelajaran yang baik?; bagaimana melaksanakan pembelajaran yang diobservasi (open class)?; bagaimana melakukan observasi pembelajaran?; bagaiaman melakukan diskusi refleksi?; bagaimana menyampaikan komentar berdasarkan temuan yang mendalam tanpa menyinggung perasaan guru dan mengutamakan kekolegiaan?.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 9
Pada tahap-tahap awal tersebut pihak JICA dan universitas juga berusaha memahamkan para kepala sekolah, pengawas sekolah, termasuk jajaran pimpinan di dinas pendidikan tentang sistem yang harus dijalankan agar lesson study dapat dilaksanakan secara terus-menerus dan konsisten. Hasilnya sebagian besar guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah telah paham, dan diantara mereka juga telah terampil melakukan tahapan lesson study. Hal ini harus lah disikapi sebagai tahap perkembangan awal yang diharapkan, dan bukan sebagai hasil akhir. Karena harapan yang utama sesungguhnya adalah peningkatan kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang berkualitas, efektif dan efesien. Bukan hanya banyaknya guru, sekolah atau MGMP yang melaksanakan lesson study. Lantas bagaimana hasilnya?
Pada pertengahan sampai akhir implementasi Program SISTTEMS di Kabupaten Pasuruan, fokus kegiatan lesson study diarahkan untuk lebih banyak pada peningkatan kualitas rencana pembelajaran dan kemampuan guru merefleksi pembelajaran. Dua hal terakhir ini merupakan hal yang sangat penting, mendasar dan tidak terlalu mudah untuk dicapai. Di lapangan, banyak ditemukan salah persepsi pada berbagai kalangan bahwa seolah yang menjadi tujuan pokok adalah guru bisa melaksanakan lesson study. Apa lagi jika ada kesan bahwa open class dalam kegiatan lesson study adalah sebuah pertunjukan pembelajaran yang terbaik. Padahal, sesungguhnya lesson study hanyalah sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sesorang atau kelompok guru yang telah dapat melaksanakan tahapan lesson study belum tentu secara otomatis akan diikuti dengan peningkatan kualitas pembelajaran di kelasnya. Mengapa demikian?
Lesson study adalah kegiatan mengkaji pembelajaran. Pembelajaran yang rencana pembelajarannya (lesson plan) telah dirancang bersama (kolaboratif) atau pun individual, kemudian dilaksanakan di kelas riil dengan diobservasi guru yang lain, serta direfleksi. Dari kajian tersebut diharapkan akan diperoleh berbagai temuan menarik dan berharga (lesson learned) bagi setiap guru yang mengikutinya, dan kemudian dicoba untuk diterapkan di kelas masing-masing. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus maka setiap guru yang melakukan lesson study, baik di MGMP maupun di LSBS, akan meningkat kemampuannya secara bertahap, berkelanjutan, dan mencapai taraf excellent (profesional) seperti yang kita harapkan. Jadi jangan diartikan lesson study sebagai sebuah metode atau model pembelajaran bagi murid, seperti halnya CTL, Cooperative Learning, Inquiry, Problem Solving, dan sebagianya.
Berdasarkan pemantauan tim ahli JICA dalam Program SISTTEMS dan dosen pendamping dari universitas hal tersebut belum sepenuhnya dapat dicapai. Jumlah guru yang memiliki kemampuan menyusun rencana pembelajaran yang operasional dan menumbuhkan keterampilan berikir kreatif siswa, melaksanakan pembelajaran yang efektif, serta mampu merefleksi dan menganalisis pembelajaran secara mendalam masih terbatas. Di antara mereka yang telah berhasil tersebut sebagian berasal dari kalangan fasilitator MGMP, beberapa guru-guru anggota MGMP, atau beberapa guru dari sekolah LSBS. Bagaimana dengan nasib sebagian besar guru kita yang lain yang belum mencapai taraf tersebut?
Di sisi lain, banyak di antara para guru sudah dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik ketika open class, namun belum secara konsisten melaksanakan pembelajaran yang baik tersebut di kelas sehari-harinya. Ini artinya perjuangan untuk mempertahankan lesson study agar menjadi sarana yang efektif untuk meningkatkan kompetensi (pedagogis dan profesional) masih perlu diteruskan. Jangan sampai tujuan lesson study, yakni meningkatkan kemampuan guru dan kualitas pembelajaran, belum dicapai lesson study di MGMP atau LSBS sudah berakhir. Kepada siapa tanggung jawab melanjutkan pengembangan lesson study ini dibebankan? Pihak JICA, Kementerian Pendidikan Nasional - khususnya PMPTK, perguruan tinggi pendamping, dinas pendidikan di daerah, atau kah pengurus MGMP dan para anggota, yakni para guru itu sendiri?
Era Ketiga
Pada era ketiga, lesson study didiseminasikan ke tiga daerah rintisan baru, yakni Kota Padang (Sumatra Barat), Kabupaten Banjarbaru (Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Minahasa Utara (Sulawesi Utara) melalui Program (PELITA; 2009-2012), dan juga disebar-luaskan melalui pelatihan calon pelatih tingkat nasional (TOT Lesson study). Selain itu beberapa program peningkatan mutu pendidikan yang lainnya juga telah mengitroduksikan atau mengadopsi lesson study. Misalnya program BERMUTU (Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading) kerjasama Kementerian
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 10
Pendidikan Nasional, Bank Dunia, dan Pemerintah Belanda (2007-2012), Program Pengembangan Profesionalitas Pendidik dan Tenaga Kependidikan di tiga Kabupaten/Kota (Kerawang, Pasuruan, dan Surabaya) atau kerjasama UPI, UM, UNESA dengan Sampoerna Foundation – Teacher Institute (SFTI) Tahun 2008-2011, Program TEQIP (Teacher Quality Improvement Program) kerjsama PERTAMINA – UM (2010), Program LEDISTI (Lesson study Dissemination Program for Strengthening Teacher Education in Indonesia) di DIKTI (2008-2014).
Fenomena ini merupakan hal menarik dan tantangan baru bagi dunia pendidikan. Pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan adalah, apakah kita cukup memiliki banyak tenaga dan “energi” untuk membantu menyebarluaskan lesson study secara tepat, dalam arti tidak dangkal dan menyebabkan distorsi? Kita perlu hati-hati dan menyeimbangkan antara menyebarluaskan dan menperdalam implementasi lesson study di daerah rintisan yang terbatas untuk mencapai hasil maksimal. Tentang hal ini, disadari sepenuhnya akan menimbulkan perbedaan pendapat antara pihak universitas (akademisi) dan departemen/kementrerian dan dinas pendidikan (manajemen pendidikan), serta para praktisi pendidikan lainnya. Jangan sampai konsep lesson study secara teoritik disebar-luaskan ke semua daerah di Indonesia dan kepada semua kalangan praktisi dan menejemen pendidikan, namun pada akhirnya tidak dijalankan secara rutin sebagai sebuah budaya kerja baru bagi guru untuk meningktkan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, perlu dicari titik keseimbangan yang memberikan hasil optimal antara penyebarluasan dan implementasinya di sekolah atau MGMP.
Semangat menyebarluaskan lesson study yang menggebu karena kita telah mengetahui sisi positif atau keunggulannya, jangan sampai menyebabkan kita lupa akan hakiki lesson study sebagai sebuah metode atau strategi pengembangan keprofesionalan guru (in-service training) berbasis sekolah atau MGMP. Untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan lesson study harus pahami dengan baik (filosofi, konsep, prinsip, dan rambu-rambu pelaksanaannya) serta diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan.
PASANGAN SURUT DUKUNGAN TERHADAP LESSON STUDY
Ketika lesson study pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan dalam program IMSTEP (2004/2005) pihak universitas pengembang (UPI, UM, UNY) mendapatkan dukungan pendanaan dari Ditjen DIKTI (sebagai induk dari perguruan tinggi) dan juga dari JICA. Semua biaya workshop, pelaksanaan pendampingan lesson study di MGMP dan sekolah dibantu oleh dana pendamping program IMSTEP tersebut, walaupun dalam jumlah yang terbatas.
Pada masa implementasi dalam Program SISTTEMS (2006-2008), kegiatan lesson study mendapatkan dukungan pendanaan dari pihak Ditjen PMPTK (dana pendamping) yang disalurkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten sasaran dan perguruan tinggi pendamping. Di samping itu pihak dinas pendidikan daerah sasaran dan juga perguruan tinggi pendamping menyediakan dukungan dana pendamping seperlunya. Secara umum kegiatan berlangsung lancar berkat dukungan dana dan kebijakan dari masing-masing lembaga tersebut.
Pada masa diseminasi dan tindaklanjut pengembangan lesson study, khususnya masa impelementasi Program PELITA (2009-2012), dukungan pendanaan dari berbagai pihak mengalami permasalahan. Pihak Ditjen PMPTK (khususnya Direktorat Bindiklat) hanya dapat membantu dana pendampingan pada Tahun 2009, yang disalurkan melalui perguruan tinggi pendamping di daerah sasaran lama (Sumedang, Bantul dan Pasuruan). Sementara Direktorat Tenaga Kependidikan (Dittendik) memberikan dana kegiatan lesson study ke daerah sasaran baru (Padang, Banjarbaru, dan Minahasa Utara) mulai Tahun 2009 sampai sekarang, tentu saja dengan jumlah yang terbatas.
Pada sisi lain, ada beberapa daerah tingkat I dan tingkat II yang juga telah mulai mendiseminasikan lesson study dalam skala terbatas dan memberikan bantuan pendanaannya. Seperti Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur telah melaksanakan pelatihan lesson study mulai Tahun 2009 dan 2010, serta akan melakukan pendampingan ke 7 kabupaten sasaran diseminasi pada Tahun 2011, atas kerjasama dengan FMIPA UM. Beberapa kabupaten di Jawa Timur juga telah melakukan pelatihan lesson study secara mandiri, seperti Kota Pasuruan, Nganjuk, Probolinggo, dan lain-lain. Demikian juga di Jawa Barat,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 11
diseminasi lesson study di beberapa kabupaten mendapatkan dukungan dana APBD I Provinsi Jawa Barat atas kerjasama dengan UPI Bandung.
Bagaimana dukungan kebijakan dan pendanaan untuk pengembangan lesson study pada masa yang akan datang? Jika lesson study dilakukan oleh para guru dengan sungguh-sungguh secara bertahap dan menampakkan hasil secara gradual maka diharapkan dukungan dari semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan akan terus meningkat. Sampai pada akhirnya lesson study menjadi budaya kerja para guru di Indonesia.
HASIL YANG TELAH DICAPAI DAN CARA MENGEFEKTIFKANNYA
Implementasi kegiatan lesson study, baik yang berbasis MGMP maupun berasis sekolah, telah dilakukan secara intensif di daerah sasaran program lama maupu baru. Di daerah-daerah diseminasi pelaksanaan lesson study juga sudah mulai digalakkan sesuai dengan kemampuan dan situasi daerah. Tentu saja perkembangan yang terjadi juga bervariasi. Dari implementasi tersebut, kemajuan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pengembangan lesson study di Indonesia yang dipantau melalui berbagi forum (survai, monitoring, seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan) dapat diutarakan antara lain sebagai berikut.
Banyak guru, dosen atau stake holders pendidikan lainnya telah memahami konsep, prinsip, dan tahapan lesson study.
Banyak guru yang sudah terampil melakukan tahapan lesson study, mulai dari tahap merencanakan pembelajaran, meleksanakan pembelajaran dan observasi pembelajaran, serta menyampaikan komentar dalam refleksi.
Bahkan ada beberapa guru yang sudah menuliskan pengalaman berharga (lesson learned) dari kegiatan lesson study dalam bentuk makalah ilmiah.
Namun demikian perlu diingat bahwa pemahaman dan keterampilan tersebut mungkin baru mencapai tahap awal dan perlu terus dipupuk untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Kemahiran itu mungkin akan dicapai manakala sudah melakukannya dalam rentangan ratusan atau bahkan mungkin ribuan kali, sebagaimana dialami dan dilakukan para pendidik di Jepang.
Secara lebih detil, hasil-hasil yang telah dicapai dalam pengembangan lesson study, khususnya melalui Program SISTTEMS, dapat ditemukan dalam Laporan Survei Akhir untuk Program SISTTEMS (2008). Secara garis besar temuan survai tersebut antara lain: 1) meningkatnya keterlibatan kepala sekolah dalam MGMP MIPA; 2) meningkatnya praktik pengembangan guru berbasis sekolah (melalui lesson study); 3) meningkatnya kerja kelompok dan penggunaan alat dalam pembelajaran MIPA; 4) meningkatnya pemahaman dan minat siswa terhadap MIPA; serta meningkatnya peringkat UAN di beberapa daerah sasaran.
Dari uraian di atas, hal penting yang perlu dipikirkan dan direnungkan oleh kita semua adalah; Apa sesungguhnya hakikat dan tujuan lesson study? Sudahkah hal tersebut dimiliki oleh para guru yang terlibat dalam kegiatan lesson study? Dari pantauan di berbagai program diseminasi di berbagai daerah dapat disimpulkan bahwa umumnya banyak kalangan yang tidak menangkap esensi tersebut. Sebagai bukti banyaknya guru yang dapat melaksanakan tahapan lesson study dan melaksanakan pembelajaran secara baik dan efektif ketika open class, namun sebaliknya tetap kurang baik/efektif ketika mengajar di kelas sehari-hari. Ironinya lagi banyak guru yang sudah mulai terampil melakukan lesson study justru kemudian berhenti mengikuti dan melakukannya karena merasa jenus. Mengapa?
Lesson study hanyalah sebuah pendekatan, metode, cara atau teknik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan meningkatkan kompetensi/ keprofesional guru/pendidik secara berkelanjutan melalui kajian pembelajaran secara kolaboratif. Lesson study bukan pendekatan atau metode pembelajaran di dalam kelas. Sebagai sebuah alat, maka saat ini taraf kita adalah sedang belajar untuk memiliki dan mengasah alat tersebut agar dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, jika ada guru/pendidik merasa telah belajar, berlatih dan melakukan lesson study beberapa kali, dan kemudian berhenti, berarti mereka telah mengabaikan alat yang dimilikinya. Tentu saja manfaat yang diharapkan, yakni peningkatan kompetensi guru dan terjadinya pembelajaran yang berkualitas, tidak akan diperolehnya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 12
Berdasarkan paparan di atas, ingin ditegaskan bahwa semua program-program pengembangan dan diseminasi lesson study di Indonesia harus diarahkan untuk pemahaman hakikat dan tujuan lesson study, serta menjadikan lesson study sebagai budaya kerja dalam kerangka continuing professional development (CPD). Artinya semua personal/pihak (guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, pimpinan/staf departemen/dinas pendidikan, kementerian dan kanwil agama, widyaiswara, dan dosen LPTK) harus terlibat secara aktif untuk melaksanakan atau mendampingi pelaksanaan lesson study, dan tentu bukan hanya melatihkan saja. Sementara dari sisi pihak kelembagaan yang terkait dengan dunia pendidikan mengambil inisitaif dan peran yang sesuai, untuk menciptakan sistem kerja kolaboratif yang efektif dalam mengembangkan lesson study. Jika stake holders pendidikan ini terlibat secara langsung dalam kegiatan lesson study, maka akan mengetahui secara riil; bagaimana kualitas pembelajaran di sekolah, bagaimana kompetensi dan profesionalisme guru, dan berikutnya tindakan atau program kebijakan apa yang akan diambilnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tersebut. Dengan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menjaga keberlanjutan implementasi lesson study maka tujuan utama lesson study, yakni peningkatan kualitas pembelajaran akan dapat dicapai secara efektif.
PENUTUP
Tulisan singkat ini bukan dimaksudkan untuk menjastifikasi keberhasilan atau kegagalan dari program-program pengembangan lesson study di Indonesia berserta jajaran lembaga dan personal yang terlibat. Namun melalui refleksi ini diharapkan semua pihak yang terlibat (menejemen dan praktisi pendidikan) dapat mengambil pelajaran untuk memperbaiki upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, yang menjadi tanggungjawab bersama pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat. Semoga mencapai harapan.
DAFTAR RUJUKAN
Anonimous, 2003. IMSTEP JICA Report. Ditjen DIKTI – Depdiknas. Anonimous, 2009. Refleksi Perjalanan dan Capaian Hasil Pengembangan Lesson Study dalam Upaya Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran MIPA di Indonesia. Laporan Sekretariat Koordinator Lokal Kerjsama Teknis JICA FMIPA UM, JCC Meeting PELITA -12 Agustus 2009.
Anonimous, 2010. Laporan FMIPA UM dalam pertemuan reguler (Jakarta Regular Meeting) Program PELITA – JICA, Hotel Pitagiri Jakarta, 24 Mei 2010
Anonimous, 2008. Laporan Survei Akhir Program SISTTEMS. Ditjen PMPTK, JICA dan IDCJ. Baba, Takuya. 2007. Japanese Eductaion and Lesson Study: an Overview, Japanese Lesson Study in Mathematics, Its
Impact, Diversity, and Potential for Educational Improvement. World Scientific Pub., pp. 2-7. Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curriculum, (Online),
(www.stat.auckland.ac.nz/-iase/publications/11/- Garfield.doc, diakses 19 Juni 2006. Hendayana, dkk., 2006. Lesson Study: Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan
Pendidik (Pengalaman INSTEP JICA). Bandung: UPI Press. Ibrohim, 2009. Bagaimana Mengefektifkan Pencapaian Tujuan Impelemntasi Lesson Study di Indonesia; Sebuah
Bahan Refleksi. Joint Coordination Committee Meeting PELITA, 12 Agustus 2010. Lewis, C.C. 2002. Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia: Reseach For better
School .Inc. Richardson, J. 2006. Lesson study: Teacher Learn How to Improve Instruction. Nasional Staff
Development Council. (Online), (www.nsdc.org, diakses 03 Mei 2006). Saito, E., Harun, I.,dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia: Studi Kasus dari IMSTEP. Jurnal
Mimbar Pendidikan, 3 (24):24-32. Saito, E., Sumar, H., Harun, Ibrohim, Kuboki, I., dan Tachibana, H. 2006. Development of school based in-service
teacher training under the Indonesian Mathematics and Science Teacher Education Project. Improving Schools, 9(1): 47-59.
Walker, J.S. 2005. UWEC Math Dept. Journal of Lesson Studies. (Online), www.uwec.edu/walkerjs/Lesson_Study/Statement_of_Purpose.pdf., diakses 26 Oktober 2006.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 13
TANTANGAN DAN PELUANG MELAKSANAKAN LESSON STUDY
Herawati Susilo
Jurusan Biologi FMIPA dan PPS Universitas Negeri Malang and koordinator Lesson Study Dissemination Program for Strengthening Teacher Education in Indonesia – LEDIPSTI Program,
and Penulis Buku Lesson Study Berbasis Sekolah: Guru Konservatif menuju Guru Inovatif. HP: 08123271741 email: [email protected]
Abstrak: Melaksanakan Lesson Study (LS) merupakan salah satu upaya yang dapat dilaksanakan pendidik untuk meningkatkan keprofesionalan diri dan kualitas pembelajarannya. Tantangan terbesar untuk melaksanakannya adalah bagaimana memahami apa, mengapa, dan bagaimana LS yang paling tepat untuk dirinya dan kelompoknya, sampai ke tingkat menjadikan LS sebagai sarana untuk belajar sepanjang hayat dalam rangka meningkatkan pelayanannya terhadap peserta didik yang dipercayakan untuk dibelajarkannya. Makalah ini bermaksud mengupas tantangan dan peluang dalam melaksanakan Lesson Study di LPTK maupun di sekolah. Makalah ditulis berdasarkan penelitian tindakan dan penelitian deskriptif yang dilaksanakan dalam tahun 2006-2010 baik di Universitas Negeri Malang (UM) maupun di LPTK lain yang penulis dampingi setelah mendapat Hibah LS Ditnaga sejak tahun 2009 dan 2010.Tantangan yang dihadapi pendidik adalah bagaimana menyajikan pembelajaran yang menghadirkan SI bu PAIKEM (Sajian Instuksional berupa Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Tantangan terberat pendidik adalah bagaimana berkomitmen melaksanakannya (dapat ketemu bersama melaksanakan setiap tahapan LS) dalam rangka memberikan hak kepada peserta didik untuk belajar sebaik-baiknya mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pelaksanaan LS harus didukung oleh upaya cermat menjadwalkan kegiatan LS pada awal semester agar dapat diatur waktu di mana para anggota kelompok LS dapat ketemu bersama untuk berLS. Peluang melaksanakan LS bergantung kreativitas pendidik dalam berupaya melaksanakannya. Salah satu bentuknya adalah mengLSkan pembelajaran untuk materi yang dianggap sulit dibelajarkan kepada peserta didik. Penulis berupaya mempraktikkan LS saja atau menggabungkan LS dengan PTK dalam melatih mahasiswa melakukan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) ataupun melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah maupun di UM. Peluang yang dapat diraih oleh pendidik yang melaksanakan LS adalah peluang mengembangkan bahan ajar, menemukan strategi pembelajaran baru, melakukan penelitian, dan menulis karya ilmiah berdasarkan hasil LS yang dilaksanakannya.
Kata kunci: Lesson Study, Tantangan, Peluang
Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu upaya yang dianggap penting untuk meningkatkan keprofesionalan pendidik adalah penyebarluasan Lesson Study (LS). LS telah mulai dilaksanakan di tingkat Pendidikan Dasar terutama tingkat SMP mulai
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 14
tahun 2006 di tiga kabupaten yaitu Pasuruan dengan LPTK pendamping Universitas Negeri Malang (UM), Bantul dengan LPTK pendamping Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Sumedang dengan LPTK pendamping Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), melalui program SISSTEMS (Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science Education at Junior Secondary Level; 2006 -2008). Kegiatan penyebarluasannya dilanjutkan dalam bentuk program PELITA (Program for Enhancing Quality of Junior Secondary Education) tahun 2009-2012 yaitu pendiseminasian LS ke daerah rintisan baru (Padang, Banjarbaru, dan Minahasa Utara) sekaligus penguatan kembali LS di Pasuruan, Bantul, dan Sumedang. Penyebarluasan pelaksanaan LS juga telah dilakukan ke berbagai program pengembangan pendidikan dasar lainnya di Indonesia, yaitu dalam bentuk Program BERMUTU (Better Education through Management and Universal Teacher Upgrading), Program TEQIP (Teacher Quality Quality Improvement Program) kerjasama Universitas Negeri Malang dengan PT. PERTAMINA untuk membina kompetensi 1000 guru SD di lima provinsi (Jatim, Kaltim, NTB, Jambi dan Bengkulu), dan program kerjasama UPI dengan Sampoerna Foundation (2008/2009 sampai 2010/2011) untuk mengembangkan LS di kota Surabaya, kabupaten dan kota Pasuruan, dan Sumedang.
Menurut Ibrohim (2010a), dalam waktu dua tahun terakhir ini juga telah dilakukan diseminasi LS dalam bentuk lain, yakni ToT Nasional LS. Pelatihan bagi calon pelatih ini dilakukan oleh pihak PELITA JICA bekerjasama dengan universitas dan PMPTK. Pelatihan ini bertujuan menyiapkan tim pelatih LS tingkat nasional yang akan mengembangkan implementasi LS di daerah masing-masing. Tim ini terdiri dari unsur widyaiswara LPMP, P4TK, dan Balai Diklat Keagaman; dosen LPTK; pimpinan/staf di lingkungan dinas pendidikan, Kanwil Kementrian Agama; bahkan juga beberapa guru senior dan pengawas sekolah. Sebagai tindak lanjut pelatihan diharapkan agar semua alumni ToT LS tidak hanya dapat menyerap materi pelatihan dan kemudian melatihkannya ke para guru.
LS dirasakan perlu juga disebarluaskan ke tingkat perguruan tinggi, yaitu ke LPTK-LPTK yang menyiapkan para calon guru agar calon guru yang dihasilkan juga mengetahui apa itu LS, bagaimana melaksanakannya, dan apa manfaatnya apabila melaksanakannya. LS disebarluaskan ke LPTK karena ditengarai bahwa perkuliahan di LPTK juga menunjukkan masih adanya kekurangan dalam proses pembelajaran, yaitu antara lain seperti yang disebutkan dalam Buku I LEDIPSTI (2009:2) sebagai berikut. Proses perkuliahan yang dilakukan kebanyakan dosen hanya terbatas pada memberikan pengetahuan
hafalan, dan kurang menekankan pada aspek kognitif yang tinggi, seperti ketajaman daya analisis dan evaluasi, berkembangnya kreativitas, kemandirian belajar, dan berkembangnya aspek-aspek afektif. Mahasiswa pasif dan pengetahuan yang diperoleh seringkali tidak berguna dalam hidup dan pekerjaannya.
Materi perkuliahan kurang berorientasi pada bidang ilmunya, hasil penelitian lapangan, dan kebutuhan jangka panjang. Dosen menggunakan pola pembelajaran yang cenderung sama dari tahun ke tahun. Perubahan kurikulum tidak memberikan dampak pada perubahan materi ajar, metode, dan strategi pembelajaran.
Kompetensi/tujuan perkuliahan kebanyakan masih terbatas pada ranah kognitif dan psikomotor tingkat rendah. Lebih lanjut dikemukakan pula dalam buku tersebut bahwa perkuliahan yang tidak inovatif pada
LPTK akan berakibat kurang baik terhadap penyiapan generasi mendatang. Guru yang dihasilkan LPTK tersebut tidak inovatif dan kreatif. Gaya mengajar guru tersebut akan cenderung meniru dosennya, kalau dosennya banyak menerapkan metode ceramah dalam perkuliahan maka guru yang dihasilkan akan menggunakan metode ceramah pula dalam mengajar siswanya. Dengan demikian akan banyak guru yang tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan jaman dan tidak kreatif dalam membelajarkan siswanya. Sementara perkembangan teknologi yang begitu cepat terutama teknologi informasi dan dunia maya yang terdapat di dalamnya dapat menggoda siswa untuk tidak belajar. Apabila guru tersebut tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi maka metode/strategi pembelajaran yang monoton tidak mampu bersaing dengan godaan dunia maya dan tidak mampu menarik perhatian siswa untuk belajar serta tidak menantang siswa untuk berpikir.
Dalam buku I tersebut dituliskan bahwa beberapa penyebab rendahnya mutu perkuliahan di perguruan tinggi, antara lain sebagai berikut.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 15
Pada umumnya para dosen bekerja sendirian dalam mempersiapkan dan melaksanakan perkuliahan. Apabila dosen tersebut inovatif dalam membelajarkan mahasiswa maka kreativitasnya tidak berimbas terhadap dosen lain karena tidak ada sharing di antara dosen tentang proses belajar mengajar. Ketika dosen yang kreatif meninggal maka kreativitasnya hi-lang pula.
Pada umumnya dosen memiliki ego yang tinggi, merasa super, tidak mudah menerima masu-kan untuk perbaikan perkuliahan, padahal tidak ada perkuliahan yang sempurna, selalu ada celah untuk perbaikan.
Mindset dosen tersebut perlu diperbaiki agar dosen dapat berkolaborasi dan mau sharing dengan dosen lain serta terbuka untuk perbaikan perkuliahan. Pendekatan LS merupakan alternatif perbaikan mindset dosen dalam memperbaiki proses perkuliahan. Itulah sebabnya mulai tahun 2008 Direktorat Tenaga Ditjen Dikti membentuk Tim Kerja yang mempersiapkan Program Perluasan Lesson Study untuk Pen-guatan LPTK (Lesson Study Dissemination Program for Strengthening Teacher Education in Indone-sia – LEDIPSTI). Penulis diminta menjadi koordinator program yang direncanakan berlangsung tahun 2008-2014 ini. Melalui program ini ditawarkan Hibah LS kepada LPTK yang berminat mengajukan proposal. LPTK yang terseleksi untuk memperoleh hibah akan menerima hibah selama 3 tahun. Ada 3 batch seleksi proposal yaitu tahun 2008 untuk Hibah mulai 2009-2011, tahun 2009 untuk Hibah mulai 2010-2012, dan 2010 untuk Hibah mulai 2011-2013. Penulis beranggapan bahwa ada tantangan yang berat dalam penyebarluasan LS di LPTK. Secara
ringkas, tantangan yang ada berupa bagaimana menghadirkan SI bu PAIKEM (Sajian Instruksional berupa Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) dalam kelas. Secara lebih lengkap, tan-tangan itu tersaji dalam Buku I, yang dinyatakan dalam bentuk Tujuan Penyebarluasan LS ke LPTK, yaitu sebagai berikut (Buku I, 2009: 9). Tantangan bagi dosen adalah bagaimana menanggapi tawaran mempela-jari LS dan berupaya melaksanakan LS itu sedemikian rupa dengan komitmen yang tinggi sehingga tujuan yang tertulis berikut ini dapat tercapai sesuai yang diharapkan pemerintah (dalam hal ini Direktorat Ke-tenagaan Dirjen Dikti yang memberikan Hibah LS bagi dosen di LPTK). 1. Meningkatkan pemahaman dosen LPTK mengenai konsep, prinsip, dan praktik Lesson Study. 2. Meningkatkan keterampilan dosen dalam melaksanakan Lesson Study agar keprofesionalannya men-
ingkat. 3. Meningkatkan kolegialitas antardosen dalam membelajarkan mahasiswa melalui tukar pengalaman
dalam kegiatan Lesson Study. 4. Meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan tugas perkuliahan oleh dosen (iklim keterbukaan, tanggung-
jawab, kerja terencana dan terevaluasi). 5. Membangun komunitas belajar antardosen, antarmahasiswa, dan antara mahasiswa dengan dosen di
LPTK. 6. Meningkatkan kemampuan belajar mahasiswa di LPTK terutama dalam aspek proses kognitif tingkat
tinggi dan aspek afektif. 7. Meningkatkan upaya pemenuhan hak belajar setiap mahasiswa. 8. Menemukan model pembelajaran inovatif ala Indonesia untuk mahasiswa di LPTK. 9. Meningkatkan kualitas Program Latihan Profesi (PLP) atau Program/Praktik Pengalaman Lapangan
(PPL) mahasiswa melalui penerapan Lesson Study. 10. Mendiseminasikan hasil-hasil kegiatan Lesson Study ke Jurusan/Program Studi Non-MIPA agar da-
pat diimplementasikannya. 11. Mengimplementasikan kegiatan Lesson Study di sekolah.
Istilah “tantangan” menurut KBBI (1989) berarti “hal atau objek yang menggugah tekad untuk
meningkatkan kemampuan mengatasi masalah”, dapat juga berarti “rangsangan (untuk bekerja lebih giat, dsb). Penulis memilih istilah “tantangan” untuk penyebarluasan LS karena LS ini merupakan sesuatu yang relatif “baru” dalam sistem pendidikan di Indonesia, dan bukan berasal dari budaya kita. Penulis menghubungkan kata “tantangan” ini dengan kata “peluang” yang artinya “kesempatan” karena penulis beranggapan tantangan melaksanakan LS itu juga dapat diubah menjadi peluang untuk berkreasi, untuk
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 16
memanfaatkan “sarana” LS ini dalam rangka meningkatkan keprofesionalan pendidik dan kualitas pembelajaran dibinanya.
Tujuan yang dituliskan di atas dapat dibaca sebagai suatu tantangan oleh dosen-dosen di LPTK sasaran, yaitu dalam arti bagaimana dapat mencapai tujuan tersebut. Sekaligus hal ini berarti kesempatan untuk berkreasi mencari cara mencapai tujuan.
PENGALAMAN PRIBADI PENULIS MENGEMBANGKAN KEPROFESIONALAN MELALUI LS DI LPTK
Penulis melaksanakan kegiatan pendampingan ke LPTK yang memperoleh Hibah LS dari DIKTI sejak tahun 2009 maupun sejak tahun 2010. Penulis mengunjungi LPTK yang bersangkutan dan mengambil data selama pendampingan dengan merekam kejadian yang ada di lapangan. Kegiatan pendampingan untuk setiap LPTK yang mendapat hibah LS dilaksanakan selama 4 kali dalam setahun yaitu berupa pendampingan pertama untuk mensosialisasikan apa, mengapa, dan bagaimana LS di LPTK, kedua untuk melaksanakan Do dan See semester genap, ketiga untuk Seminar hasil LS semester genap dan Monev Internal, ke empat untuk melaksanakan Do dan See semester gasal. Penulisan dilengkapi dengan pengalaman dalam Penelitian Tindakan yang penulis laksanakan di kampus UM dalam kapasitas peneliti sebagai dosen yang kebetulan dipercaya sebagai koordinator Program Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan untuk Guru IPA SMP tahun 2008 dan 2009, maupun sebagai Koordinator Program IPA Terpadu S2 RSBI untuk Guru SMP di Jawa Timur tahun 2009/2010.
Pada tahun 2009 ada empat LPTK yang didamping oleh dosen-dosen UM yaitu Universitas Negeri Manado (Unima), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Nusa Cendana (Undana), dan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha). Pendampingan pada tahun 2010 dilaksanakan terhadap 4 LPTK lain yaitu Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Universitas Tadulako (Untad), dan Universitas Negeri Mataram (Unram).
Berdasarkan pengamatan dan diskusi selama pendampingan di LPTK yang telah disebutkan diperoleh data dan dipikirkan pembahasan mengenai bagaimana LPTK menjawab tantangan pelaksanaan LS maupun memanfaatkan peluang melaksanakan LS sebagai berikut. 1. Sosialisasi LS oleh pendamping perlu dilaksanakan sebelum pembuatan jadwal kuliah semester genap.
Hal ini dimaksudkan agar dapat direncanakan Kelompok Bidang Keahlian (KBK) mana yang akan melaksanakan LS, berapa mata kuliah dan mata kuliah apa saja yang akan diLSkan dalam KBK tersebut, siapa saja kelompok dosen yang akan melaksanakan LS untuk mata kuliah tersebut. Sekalian juga dijadwalkan kapan LS akan dilaksanakan, apa materi dalam mata kuliah tersebut yang dikaji melalui LS, siapa dosen model dan siapa observernya untuk setiap LS dan kapan dilaksanakan Plan, Do, dan See untuk 4 kali LS dalam satu semester. Hal ini dimaksudkan untuk mengupayakan agar semua dosen yang terlibat dalam kelompok LS dapat hadir dalam semua kegiatan LS yang dijadwalkan, karena tantangan utama terlaksananya LS di LPTK adalah menghadirkan semua dosen pada waktu yang sama untuk melaksanakan semua tahapan LS.
2. Upaya mendatangkan SI bu PAIKEM (Sajian Instruksional berupa Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) dalam kelas umumnya telah dicobalaksanakan di LPTK yang didampingi. Pembelajaran yang dilakukan umumnya berupa pembelajaran kooperatif dengan tipe kooperatif yang bervariasi. Pembelajaran yang tidak menggunakan strategi kooperatif juga dilaksanakan, misalnya di kelas besar dengan menggunakan pengaturan tempat duduk huruf U, dengan menggunakan kombinasi sajian power point, penjelasan dosen dan penugasan menulis di papan tulis. Perlu dipahami bahwa bagaimanapun kerasnya upaya dosen untuk menghadirkan SI bu PAIKEM ini, tetap tidak mudah menyenangkan semua mahasiswa karena adanya perbedaan sikap, minat, kemampuan, dan karakter mahasiswa, sekaligus karena adanya perbedaan sikap, minat, kemampuan, dan karakter dosen.
3. Dosen yang menjadi dosen model pada pelaksanaan LS bervariasi, ada LPTK yang dosen modelnya adalah dosen senior yang mau memberikan contoh kepada para dosen yang lebih yunior dibandingkan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 17
dirinya, tapi ada juga LPTK yang memberikan kesempatan kepada dosen yunior untuk menjadi dosen model.
4. Untuk setiap mata kuliah yang diLSkan, ada yang dosen modelnya hanya satu orang untuk 4 kali pertemuan, ada juga yang dosen modelnya 2, 3 atau bahkan 4 orang, artinya setiap kali pertemuan ganti dosen model.
5. Mata kuliah yang diLSkan bervariasi, ada yang mata kuliah materi bidang studi, ada yang mata kuliah PBM.
6. Materi kuliah yang diLSkan sedapat mungkin dipilih yang relatif lebih sulit membelajarkannya ke mahasiswa. Dengan mengkaji pembelajaran melalui LS, diharapkan dapat dipikirkan bersama bagaimana cara terbaik membelajarkan materi sulit tersebut.
7. Pada umumnya dosen sudah berupaya membuat RPP sebelum pembelajaran dan membahas RPPnya pada saat Plan dan merevisi RPP tersebut sebelum Do. Dosen Model juga menyiapkan perangkat pembelajaran lainnya berupa media pembelajaran dan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), selain itu kelompok dosen juga menyiapkan lembar pengamatan untuk mengamati kegiatan mahasiswa dalam belajar.
8. Tidak semua kelompok dosen di LPTK dapat melaksanakan kegiatan LS sebanyak 4 kali dalam satu semester untuk setiap mata kuliah yang diLSkan, ada yang melakukannya sebanyak 3 kali saja, terutama pada semester genap yang merupakan semester pertama pengimplementasian LS. Umumnya keadaan ini dapat diperbaiki untuk pelaksanaan pada semester gasal.
9. Tidak semua dosen yang sudah terdaftar sebagai anggota kelompok pelaksana LS dapat hadir pada semua kegiatan LS yaitu Plan, Do, See. Karena berbagai kesibukan, ada dosen yang terpaksa tidak dapat mengikuti salah satu kegiatan. Ada kelompok dosen di LPTK tertentu yang sebagai gantinya, mengajak mahasiswa semester 7 atau 8 untuk ikut berLS di kelas-kelas yang lebih awal agar dapat memperoleh lebih banyak observer, sekaligus membelajarkan mahasiswa berLS.
10. Ada LPTK tertentu yang menggunakan LS sebagai salah satu sarana untuk memperoleh ide dan sumbangan pikiran dosen sekelompok LS mengenai bagaimana mengintegrasikan hal tertentu yang menjadi minat kelompok dosen tersebut ke dalam materi mata kuliah. Contohnya adalah di Undiksha, ada keinginan mengintegrasikan nilai-nilai budaya yang terpelihara dalam bentuk kebijakan lokal ke dalam materi kuliah.
11. Belum semua dosen memahami hakikat LS dalam arti apa filosofi awal yang mendasarinya, mengapa melakukannya, dan bagaimana melaksanakannya kalau didasari dengan filosofi awal tersebut. Pada umumnya LPTK masih banyak risau mengenai bagaimana melaksanakannya sesuai dengan petunjuk dalam Buku I LEDIPSTI. Tantangannya adalah bagaimana menemukan alasan yang dapat disepakati bersama untuk seluruh LPTK di Indonesia sehingga bisa menjadi alasan perlunya melaksanakan LS di LPTK di Indonesia.
12. Sudah ada dosen yang menyadari bahwa LS adalah “tulang punggung” perbaikan pelaksanaan perkuliahan di LPTK, karena itu dosen menggunakan LS untuk mengupayakan perbaikan-perbaikan dalam hal perencanaan perkuliahan, pemilihan media, pengembangan materi perkuliahan, maupun asesmen.
13. Tantangan lainnya adalah bagaimana meyakinkan dosen pelaksana LS bahwa akan banyak manfaat yang mungkin dapat diperoleh apabila mereka melaksanakan LS misalnya menjadikan LS sebagai peluang menulis dan mengembangkan bahan ajar, melakukan penelitian (misalnya dengan menggabungkan PTK dengan LS), menciptakan strategi pembelajaran baru, dan menulis karya ilmiah. Pada tahun 2008 dan 2009 penulis menjadi koordinator Program Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Melalui Jalur Pendidikan. Angkatan 1 program ini (2008) diikuti oleh 26 mahasiswa, angkatan kedua (2009) diikuti oleh 34 orang mahasiswa yang merupakan guru-guru IPA SMP di Indonesia bagian Timur. Pada tahun 2009/2010 penulis menjadi koordinator Program S2 RSBI IPA Terpadu mahasiswanya mendapat beasiswa dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Program ini diikuti oleh 32 orang guru IPA. Selain itu penulis juga menjadi dosen pembimbing PPL Mahasiswa S2 RSBI bagi guru Biologi SMA yang juga mendapat beasiswa dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Program ini diikuti oleh 6 orang guru. Pada tahun 2008/2009 dan 2009/201010 penulis juga menjadi dosen pembina PPL bagi mahasiswa
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 18
S2 Pendidikan Biologi. Jumlah mahasiswa peserta PPL pada tahun 2009/2010 sebanyak 29 orang, sementara pada tahun 2010/2011 sebanyak 24 orang. Pengalaman melaksanakan LS di Universitas Negeri Malang (UM) baik sebagai tantangan maupun dalam menjadikannya peluang membelajarkan diri sendiri dan membelajarkan mahasiswa pada semua program di atas diuraikan sebagai berikut. 1. Melalui Program Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) bagi Mahasiswa peserta Program
Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan penulis melatih guru melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang sekaligus digabungkan dengan Lesson Study sehingga diketemukan cara bagaimana menggabungkan keduanya sedemikian sehingga kekurangan yang ada pada PTK dapat diatasi dengan kelebihan pada LS sementara kekurangan LS dapat diatasi dengan kelebihan pada PTK. Makalah yang menguraikan mengenai kegiatan ini dipresentasikan di Penang, Malaysia (Susilo, 2009a).
2. Melalui Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa S2 RSBI Biologi, penulis melatih guru me-laksanakan PTK yang sekaligus digabung dengan Lesson Study. Keenam mahasiswa peserta PPL di-jadikan 2 kelompok yang terdiri dari 3 mahasiswa per kelompok. Mahasiswa melaksanakan PPL di se-kolahnya masing-masing. Pada saat menjadi guru model, mahasiswa diobservasi oleh kedua orang te-mannya sekelompok. Pada kesempatan ini guru model juga berupaya membelajarkan guru lain yang ada di sekolahnya untuk mengenal LS dan mengalami sendiri kegiatan Do dan See, dengan menjadi observer. Penulis mentargetkan mahasiswa paling sedikit menjadi guru model sebanyak 5 kali. Hal ini berarti bahwa masing-masing mereka paling sedikit melakukan LS sebanyak 15 kali selama PPL karena selain menjadi guru model sebanyak 5 kali, mereka wajib menjadi observer saat teman sekelompoknya menjadi guru model, sehingga ada 10 kali observasi, masing-masing 5 untuk setiap teman sekelompok. PPL ini menjadi PPL yang ”mahal” karena keenam mahasiswa berasal dari enam kota yang berbeda di Jawa Timur.
3. Melalui Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa S2 RSBI IPA Terpadu, penulis melatih guru melaksanakan PTK yang sekaligus digabung dengan Lesson Study. Ketiga puluh dua mahasiswa dibagi menjadi sekian kelompok mahasiswa yang masing-masing kelompoknya terdiri dari 3 atau 4 maha-siswa yang berasal dari kota yang sama atau kota yang berdekatan. Mahasiswa melakukan PPL di se-kolahnya masing-masing, sekaligus melakukan PTK untuk penelitian tesisnya. PTK dilakukan dengan basis LS. PTK dibimbing oleh 2 orang dosen pembimbing. LS dilakukan minimal 5 kali menjadi guru model pada saat melaksanakan PTK, sekaligus minimal 10 kali menjadi observer di kelas teman sekelompoknya. Laporan PTK berupa tesis yang akan diujikan pada akhir semester keempat program, sementara laporan LS berupa portofolio PPL yang dikembangkan pada akhir semester ketiga program. Pengalaman melaksanakan PTK berbasis LS dilaporkan dalam kelas PPL yang berupa pertemua empat jam seminggu di kampus.
4. Melalui Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa S2 penulis melatih mahasiswa melaksanakan LS di sekolah (SMP atau SMA) atau di kampus (Jurusan Biologi UM), bergantung minat dan latar be-lakang pekerjaan mahasiswa. Umumnya mahasiswa yang latar belakang pekerjaannya dosen memilih PPL di kampus, sementara mahasiswa yang latar belakang pekerjaannya guru memilih PPL di sekolah. PPL dilaksanakan secara berkelompok dengan anggota kelompok saling bergantian menjadi guru model dan observer. PPL di kampus dilaksanakan di kelas yang dibina oleh kedua dosen pembina PPL yaitu penulis sendiri dan Bapak Pudyo Susanto. PPL di kelas penulis tahun 2009/2010 dilaksanakan di kelas Biologi Umum (1 orang), Teaching Biology in English (1 orang), dan Metode Penelitian (1 orang). Jadi ketiga orang mahasiswa tsb saling bergantian menjadi dosen model dan observer. Pada ta-hun lalu penulis tidak ikut menjadi observer dalam LS yang mereka lakukan. Penulis juga tidak ikut melaksanakan kegiatan refleksi diri yang mereka lakukan. Pada tahun 2010/2011 ini ada lebih banyak mahasiswa yang melaksanakan PPL di kelas penulis, yaitu 4 orang di kelas Metode Penelitian, 4 orang di kelas Teaching Biology in English, dan 2 orang di kelas Biologi Umum. Ide menarik yang muncul pada tahun ini adalah bahwa ada kelompok yang terdiri dari 4 mahasiswa yang menjadi kelompok LS, namun 2 orang mahasiswa tersebut misalnya melakukan PPL di kelas yang penulis bina, sementara 2 orang lainnya melakukan LS di kelas yang dibina Pak Pudyo, karena mereka sama-sama ingin men-galami bagaimana LS di kelas yang penulis bina, dan di kelas yang dibina Pak Pudyo. Mulai awal PPL semester ini, penulis mengupayakan untuk selalu mengikuti kegiatan refleksi yang dilakukan oleh
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 19
mahasiswa yang berLS di kelas yang penulis bina. Hasil yang penulis dapatkan dari pengalaman ikut berdiskusi dalam kegiatan refleksi tersebut antara lain: bahwa refleksi dapat dilaksanakan dalam waktu 35 menit- satu jam bergantung jumlah observer dan pelaksanaan pembelajarannya, selalu ada hal-hal yang dapat dibicarakan untuk diperbaiki pada pembelajaran berikutnya, dan selalu ada hal menarik yang dapat dipelajari dari guru model, dan selalu ada pengalaman berharga yang dapat dipetik dari suatu proses pembelajaran. Selain itu mahasiswa merasa beruntung boleh mempraktikkan PPL berbasis LS yang diskusinya penulis ikuti. Ada kecenderungan mahasiswa tertentu bahkan mengikuti perkulia-han di kelas lain yang penulis bina di mana mereka tidak berPPL yaitu di kelas Metpen RSBI yang perkuliahannya disajikan dalam bahasa Inggris untuk melatih diri mendengarkan perkuliahan dalam bahasa Inggris maupun untuk mendalami materi yang akan mereka sajikan dalam kelas PPL.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan penulis selama ini dalam mendampingi kegiatan
LS di LPTK, pelaksanaan LS di tingkat LPTK di Indonesia pada umumnya sekarang ini masih pada tahap mencari cara bagaimana menyusun perencanaan pembelajaran yang baik; bagaimana melaksanakan pem-belajaran yang diobservasi (open class); bagaimana melakukan observasi pembelajaran; bagaimana mela-kukan diskusi refleksi; bagaimana menyampaikan komentar berdasarkan temuan yang mendalam tanpa menyinggung perasaan dosen dan mengutamakan kekolegiaan. Hal ini masih seperti yang terjadi di tingkat pendidikan dasar tahap awal pelaksanaan SISTTEMS (Ibrohim, 2009). Pada tahap ini juga dicari cara ba-gaimana sistem yang harus dijalankan agar LS dapat dilaksanakan secara terus-menerus dan konsisten. Harapan utama yang ingin dicapai adalah peningkatan kemampuan dosen dalam merencanakan dan melak-sanakan pembelajaran yang berkualitas, efektif dan efisien. Bukan hanya banyaknya dosen yang melak-sanakan LS.
Tantangan terberat melaksanakan LS adalah bagaimana dapat memahirkan orang yang mau berLS agar dapat memahami apa, mengapa, dan bagaimana melaksanakan LS. Ibrohim (2010a) menegaskan bahwa satu-satunya kemahiran berLS hanya dapat dicapai melalui pelaksanaan LS secara riil di sekolah atau di kampus, bukan dari membaca banyak literatur. Secara jelas, pendidik yang mau melaksanakan LS harus mulai melakukan LS, dalam pengertian sebagai guru/dosen model dalam kelas, sebagai observer atau sebagai pendamping kegiatan secara rutin. Jadi bahasa lain tantangan ini adalah bagaimana mengajak se-mua pendidik pelaksana LS memahami hakikat LS secara benar dan mau melakukannya secara terus menerus sehingga akan menumbuhkan komunitas belajar di sekolah dan di kampus. Perlu ditumbuhkan aanya komunitas belajar yang terjadi antar pendidik, antara pendidik dengan pimpinan sekolah dan dinas pendidikan, maupun dengan peserta didik. Dengan terbentuknya komunitas belajar sebagai bentuk refor-masi sekolah/kampus, pendidik mampu menggunakan LS sebagai sarana yang efektif untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas.
HAMBATAN DAN KESULITAN MELAKSANAKAN LESSON STUDY.
Penulis menyitir kembali hambatan dan kesulitan yang pernah penulis kemukakan pada workshop LS di FMIPA (Susilo, 2009b). Pada saat itu penulis menyebutkan bahwa ada dua hambatan budaya dalam pelaksanaan LS yang berasal dari budaya Jepang tersebut.
Hambatan budaya pertama yang penulis kemukakan adalah kecenderungan pendidik yang kurang memiliki komitmen dan kesungguhan hati untuk melakukan yang terbaik (”do the best”, tetapi lebih cenderung memilih sikap sedang-sedang, cukupan atau mediocre).
Salah satu contoh melakukan yang terbaik dalam perancangan pembelajaran adalah menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Selama ini dosen tidak terbiasa menyusun RPP, dengan LS dosen akan “dipaksa” menyusun RPP. Guru juga tidak terbiasa menyusun RPP yang terbaik, seringkali (dulu sebelum menjadi pelaksana LS) RPP yang ada merupakan RPP hasil “copy-paste” RPP tahun lalu atau RPP buatan banyak orang yang tidak “fungsional” untuk mempersiapkan pembelajaran, namun hanya “fungsional” untuk “bukti administrasi”. Sekarang dengan “dipaksa” melalui LS, diharapkan akan terbentuk “5sa”, yaitu “dipaksa”, “terpaksa”, “bisa”, jadi “biasa” dan akhirnya “luar biasa” dalam mengembangkan RPP yang “fungsional” untuk merancang pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, danmenyenangkan, yang benar-benar berpusat pada peserta didik (student centered). Memang
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 20
hidup adalah pilihan dan masing-masing kita bebas untuk memilih bagaimana kita akan bersikap. Penulis sangat berharap bahwa setelah mengenal dan melaksanakan LS, pendidik mengalami sendiri “nikmatnya” berupaya melakukan yang terbaik, dan kemudian memilih selalu berupaya melakukan yang terbaik dalam melayani peserta didik.
Hambatan budaya kedua adalah pendidik kita kurang memiliki sikap ”mau belajar sepanjang hayat” (dan lebih tertarik melakukan sesuatu bila ”ada biaya”nya). Sepertinya hambatan ini juga dihadapi oleh pendidik di seluruh dunia yang ingin melakukan Lesson Study. Fernandez dan Chokshi (2002) menguraikan bahwa dosen di Amerika Serikat juga memiliki kecenderungan melakukan Lesson Study sebagai sesuatu yang “incidental” dan bukannya “purposeful”. Agar dapat mencapai hasil optimal yaitu meningkatkan kualitas pembelajaran, Lesson Study hendaknya dilakukan dengan tujuan mendasar “mempelajari bagaimana mahasiswa belajar” dan “bagaimana dapat membantu mahasiswa belajar lebih baik”. Para pelaku Lesson Study di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa mereka “belajar banyak” setelah melakukan Lesson Study selama beberapa waktu dianggapnya hanyalah secara kebetulan dan sambil lalu saja memperoleh pengetahuan tersebut. Jadi keinginan untuk sekedar melakukan Lesson Study saja tidak cukup, kalau pendidik tidak mendasarinya dengan keinginan untuk “belajar sepanjang hayat”, berusaha melakukan yang terbaik untuk membelajarkan peserta didik demi kemaslahatan peserta didik, dan hanya mau melakukannya “apabila ada biaya”nya. Keinginan Ditnaga Dikti untuk segera menyebarluaskan Lesson Study ini ke seluruh LPTK di Indonesia tidaklah cukup apabila direspons dengan cara melaksanakan Lesson Study hanya agar sudah ber”Lesson Study” dan hanya sekedar melakukannya agar tidak ketinggalan jaman tanpa membawa “ruh” yang menghidupinya, yaitu “keinginan untuk belajar sepanjang hayat membantu membelajarkan peserta didik”. Ibrohim (2010b) menyebutkan nya sebagai penyebar-luasan secara dangkal “shallow lesson study”, yang membuat banyak orang mengetahui LS namun tidak melakukan dan tidak mendapatkan manfaatnya.
Kesulitan yang mungkin dihadapi pendidik Indonesia adalah “sulit menerima kritikan yang diberikan oleh orang lain”. Penulis berharap bahwa melalui LS pendidik akan terbiasa menerima kritikan yang diberikan tidak secara langsung, dalam arti tidak langsung dikatakan bagaimana tadi pendidik mengajar, tetapi melalui pengamatan oleh observer mengenai bagaimana peserta didik yang dibelajarkannya itu belajar.
Penulis mengemukakan hambatan dan kesulitan ini bukannya untuk menakut-nakuti para dosen yang berkeinginan untuk mencoba melaksanakannya. Dengan mengetahui dan menyadari adanya hambatan-hambatan dan kesulitan dalam melaksanakan Lesson Study ini diharapkan para pendidik dapat mengantisipasinya dan melakukan upaya-upaya nyata untuk mengurangi hambatan dan mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.
PENUTUP: TANTANGAN DAN PELUANG MELAKSANAKAN LESSON STUDY
Menurut Ibrohim (2010a), implementasi kegiatan LS di sekolah, baik yang berbasis MGMP maupun berbasis sekolah, telah dilakukan secara intensif di daerah sasaran program lama maupun baru. Di daerah-daerah diseminasi lainnya, pelaksanaan LS juga sudah mulai digalakkan sesuai dengan kemampuan dan situasi daerah. Tentu saja perkembangan yang terjadi juga bervariasi. Dari implementasi tersebut, kemajuan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pengembangan LS di Indonesia yang dipantau melalui berbagi forum (survai, monitoring, seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan) diuraikannya sebagai berikut. 1. Banyak guru, dosen atau stake holders pendidikan lainnya telah memahami konsep, prinsip,
dan tahapan lesson study. 2. Banyak guru yang sudah terampil melakukan tahapan lesson study, mulai dari tahap
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan observasi pembelajaran, serta menyampaikan komentar dalam refleksi.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 21
3. Bahkan ada beberapa guru yang sudah menuliskan pengalaman berharga (lesson learned) dari kegiatan lesson study dalam bentuk makalah ilmiah. Namun Ibrohim mengingatkan bahwa pemahaman dan keterampilan tersebut mungkin baru mencapai
tahap awal dan perlu terus dipupuk untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Kemahiran itu mungkin akan dicapai manakala sudah melakukannya dalam rentangan ratusan atau bahkan mungkin ribuan kali, sebagaimana dialami dan dilakukan para pendidik di Jepang.
Melalui seminar ini, kembali penulis mengajak para peserta untuk memikirkan dan merenungkan kembali hakikat dan tujuan LS. Apa esensi LS? Apakah kita sebagai pendidik yang terlibat dalam kegiatan LS telah memahaminya? Dari pantauan di berbagai program diseminasi di berbagai daerah Ibrohim (2009) menyimpulkan bahwa umumnya banyak kalangan yang tidak menangkap esensi tersebut. Sebagai bukti, banyak guru yang dapat melaksanakan tahapan lesson study dan melaksanakan pembelajaran secara baik dan efektif ketika open class, namun sebaliknya tetap kurang baik/efektif ketika mengajar di kelas sehari-hari. Ironinya lagi banyak guru yang sudah mulai terampil melakukan lesson study justru kemudian berhenti mengikuti dan melakukannya karena merasa jenuh. Mengapa?
Tantangan yang penulis ajukan di sini adalah: “bagaimana membuat pendidik jatuh cinta pada LS, merasa memerlukan LS untuk mengembangkan karakternya sebagai pendidik yang harus dan selalu siap belajar sepanjang hayat untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya, yang berarti meningkatkan kualitas layanannya terhadap peserta didik sehingga peserta didik dapat mengembangkan potensinya seluas-luasnya”.
Sejalan dengan tantangan yang penulis tuliskan di atas, Ibrohim (2009) mengingatkan bahwa LS hanyalah sebuah pendekatan, metode, cara atau teknik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan meningkatkan kompetensi/keprofesionalan pendidik secara berkelanjutan melalui kajian pembelajaran secara kolaboratif. LS bukan pendekatan atau metode pembelajaran di dalam kelas. Sebagai sebuah alat, maka saat ini taraf kita adalah sedang belajar untuk memiliki dan mengasah alat tersebut agar dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, jika ada pendidik yang merasa telah belajar, dan berlatih setelah melakukan LS beberapa kali tapi kemudian berhenti, berarti mereka telah mengabaikan alat yang dimilikinya. Tentu saja manfaat yang diharapkan, yakni peningkatan kompetensi pendidik dan terjadinya pembelajaran yang berkualitas, tidak akan diperolehnya.
Berdasarkan paparan di atas, Ibrohim (2010a) menegaskan lebih lanjut bahwa semua program pengembangan dan diseminasi LS di Indonesia harus diarahkan untuk pemahaman hakikat dan tujuan lesson study, serta menjadikan LS sebagai budaya kerja dalam kerangka continuing professional development (CPD). Artinya semua personal (guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, pimpinan/staf departemen/dinas pendidikan, kementerian dan kanwil agama, widyaiswara, dan dosen LPTK harus terlibat secara aktif untuk melaksanakan atau mendampingi pelaksanaan LS, … dan bukan hanya melatihkan saja…! Sementara dari sisi pihak kelembagaan yang terkait dengan dunia pendidikan mengambil inisiatif peran yang sesuai, untuk menciptakan sistem kerja kolaboratif yang efektif dalam mengembangkan LS. Jika stake holders pendidikan ini terlibat secara langsung dalam kegiatan LS, maka akan tahu secara riil; bagaimana kualitas pembelajaran di sekolah, bagaimana kompetensi dan profesionalisme guru, dan berikutnya mau memikirkan dan mengambil tindakan atau program kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tersebut. Dengan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menjaga keberlanjutan implementasi LS maka tujuan utama LS, yakni peningkatan keprofesionalan pendidik dan kualitas pembelajaran akan dapat dicapai secara efektif.
Berdasarkan catatan dan hasil pengamatan penulis yang telah dikemukakan di atas, penulis menyitir Lewis (2004) yang dalam membahas mengenai masa depan LS di Amerika Serikat dan membandingkan pelaksanaan LS di AS dengan LS yang asal mulanya dilaksanakan di Jepang, menyatakan bahwa setelah pelaksanaan LS di AS selama empat tahun (2000-2004) masih banyak tantangan yang harus mereka hadapi sebelum kemanfaatan LS dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dapat mereka rasakan. Juga masih perlu dilaksanakan penelitian lanjutan sebelum dapat disimpulkan apa saja keadaan yang mendukung suksesnya pelaksanaan LS di AS.
Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan LS di LPTK di Indonesia juga masih menunggu hasil penelitian-penelitian tindakan berikutnya oleh para pendidik pelaksana LS yang mau mencari sehingga
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 22
dapat menemukan “LS ala Indonesia” karena sadar bahwa LS tidak dapat begitu saja “dipinjam” dari orang Jepang yang memiliki sistem pendidikan yang sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia. LS yang asal usulnya dari Jepang ini perlu diadaptasikan agar sesuai dengan sistem pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Pendidik pelaksana LS perlu memahami secara mendalam mengenai apa itu LS, mengapa LS sangat bermanfaat bagi guru-guru di Jepang, dan bagaimana mengadaptasikan LS yang biasa dilakukan di tingkat sekolah di Jepang untuk dapat juga dilaksanakan di Indonesia pada tingkat sekolah maupun tingkat LPTK.
Peluang untuk melaksanakan LS terbuka luas bagi semua pendidik yang berkehendak baik mau melayani dengan pelayanan terbaik bagi peserta didik yang dipercayakan kepadanya untuk dididik dan dibina.
Ibrohim (2010b) menulis bahwa perjuangan mengembangkan LS yang paling berat adalah menjadikan LS sebagai wahana bagi pendidik meningkatkan kompetensi dan kualitas pembelajaran di kelasnya. Jangan sampai terjadi pendidik sudah puas karena menganggap sudah dapat melaksanakan LS dengan baik tetapi peserta didiknya tidak belajar secara optimum, karena hal ini akan seperti yang dituliskan Lewis (2002) yaitu “The operation was successful but the patient died”.
Akhirnya, penulis mengajak para pendidik untuk mencoba melaksanakan LS ini di lembaganya masing-masing demi kemaslahatan peserta didik yang dipercayakan untuk mereka didik, dengan menghadapi tantangan yang ada dan memanfaatkan peluang untuk menjadi makin profesional karena makin mengenali bagaimana cara terbaik membelajarkan peserta didik, makin berkembang bahan ajarnya, makin banyak penelitian terkait pembelajaran yang dapat ditimbanya, dan makin banyak tulisan mengenai pelaksanaan LS yang dapat disajikannya di forum-forum ilmiah. Semoga.
DAFTAR RUJUKAN
Fernandez, C. dan Chokshi, S. 2002. Reflections on Implementing Lesson Study in the United States: “Incidental” versus “Purposeful” Learning.
Ibrohim. 2010a. Bagaimana Mengefektifkan Pencapaian Tujuan Implementasi Lesson Study di Indonesia, Sebuah Bahan Refleksi. Makalah disajikan dalam Joint Coordination Committee Meeting PELITA, 12 Agustus 2010 – Hotel Pitagiri Jakarta
Ibrohim. 2010b. Laporan FMIPA UM dalam Pertemuan Reguler (Jakarta Regular Meeting) Program PELITA – JICA di Hotel Pitagiri Jakarta, 24 Mei 2010
Ibrohim. 2009. Refleksi Perjalanan dan Capaian Hasil Pengembangan Lesson Study dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran MIPA di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Joint Coordinating Meeting (JCC) – PELTA JICA, Jakarta 12 Agustus 2009
Lewis, C. 2002. Does Lesson Study Have a Future in the United States? Nagoya Journal of Education and Human Develpment, January 2002, No. 1, pp. 1-23
Susilo, H. 2009a. Combining Lesson Study (LS) and Classroom Action Research (CAR) for Teacher Professional Development. Makalah disajikan dalam 3rd International Conference on Science and Mathematics Education di Penang, Malaysia, 10-12 November 2009.
Susilo, H. 2009b. Lesson Study Sebagai Pilihan Sarana Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Penyiapan Calon Guru MIPA di LPTK. Makalah disajikan dalam Workshop Lesson Study bagi Dosen FMIPA UM tanggal 19-20 Februari 2009 di FMIPA UM Malang.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 23
Implementasi Lesson Study di Indonesia Dibawah Prgram Sisttems dan Pelita
Koji Sato
Ketua Tim Ahli Jica
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 24
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 26
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 28
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY 3 PERAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALITAS PENDIDIK
DAN KUALITAS PEMBELAJARAN
PLENO 29
MAKALAH PLENO :
PENGENALAN LESSON STUDY DUNIA PELAJARAN
Prof. Manabu Sato
SEKOLAH PASCA SARJANA PENDIDIKAN UNIVERSITAS TOKYO
“Pengenalan Lesson Study: Dunia Pelajaran” Prof. Manabu Sato, Sekolah Pascasarjana Pendidikan, Universitas Tokyo Makalah ini menjelaskan mengapa anda membutuhkan lesson study. Tulisan ini menjelaskan permasalahan yang terjadi di dalam pembelajaran dan menganalisa mengapa hal ini terjadi. Makalah ini juga menunjukkan poin-poin penting untuk guru selama proses belajar mengajar. Tulisan ini meyakinkan anda untuk memulai lesson study. Makalah ini adalah bagi mereka yang ingin memahami lesson study secara benar.
★ Naskah ini untuk dosen perguruan tinggi, instruktur pendidikan, pegawai dinas pendidikan, kepala sekolah dan guru.
1
Pengenalan Lesson Study: Dunia Pelajaran
1. Pelajaran sebagai suatu penerapan
(1) Tiga aspek pelajaran
Bagaimana kita bisa menjabarkan sebuah kegiatan yang memberi suatu pelajaran? Sejauh ini, hal
tersebut diinterpretasikan, secara umum, sebagai pelaksanakaan sebuah kelas yang serupa dengan
suatu kegiatan yang mengarahkan siswa untuk memperoleh tingkat pengetahuan, ketrampilan dan
kemampuan tertentu dengan dukungan sumber daya yang membentuk sebuah komponen mata
pelajaran tertentu. Namun apa yang dialami oleh anak-anak dan guru dalam suatu kelas, tidak
terbatas pada bidang kognitif semata, meski definisi di atas tentang melaksanakan sebuah kelas
bukanlah suatu pendapat yang tidak tepat. Tentu saja, benar adanya bila para guru berusaha
mengembangkan terutama kegiatan kognitif yang bertujuan membentuk persepsi, penilaian serta
ketrampilan atas sejumlah materi tertentu. Pada saat yang sama, mereka juga berusaha untuk
membangun hubungan antara guru dan anak atau antar anak-anak, agar sebuah sikap pembelajaran
yang swatantra dan kolaboratif tumbuh, serta untuk mempertanyakan ulang pada diri mereka sendiri
mengenai entitas sebagai seorang guru dan jalan hidup. Oleh sebab itu, melaksanakan sebuah
pelajaran adalah suatu kegiatan rumit yang melibatkan tiga aspek kognitif / teknikal, interpersonal /
sosial, dan ontologika / penerapan etis.
Suatu pendapat yang menyatakan bahwa pelajaran terdiri atas ketiga aspek tersebut dapat
diadaptasikan pada situasi pembelajaran siswa. Cazden, yang menganalisa proses komunikasi di
dalam kelas, mengindikasikan bahwa pembicaraan antara guru dan siswa memiliki tiga fungsi, yaitu:
fungsi proposional, sosial dan ekspresi. Ketika siswa mengajukan pernyataan dalam kelas, hal
tersebut tidak hanya mengandung penjelasan atau komunikasi mengenai banyak hal dalam proses
belajar mengajar, tetapi melalui komunikasi semacam itu mereka membangun dan membangun
ulang sebuah hubungan di antara mereka. Dan, arti keberadaan diri mereka terbukti, serta sikap
mereka-pun termanisfetasi melalui apa yang mereka sampaikan (Cazden, 1990). Ketiga aspek kelas
tersebut terkait antara satu sama lain secara kuat dalam proses pelaksanaan. Berikut ini akan saya
ketengahkan sejumlah contoh nyata yang terjadi.
< Sebuah kasus: suatu kelas berhitung>
Di sini kita akan melihat sebuah contoh pelajaran matematika di kelas empat yang termasuk dalam
seri buku yang berjudul “Matematika: rumus untuk pecahan (Iwanami-Shoten, 1992)”. Di dalam
kelas, untuk mengajarkan urutan perhitungan empat fungsi, perkalian harus lebih dahulu dikerjakan
2
daripada pengurangan dan penambahan dalam perhitungan, sebuah tugas ditetapkan: para siswa
yang ditunjuk untuk berperan menjadi kasir harus cukup handal dalam menggunakan kalkulator.
“berapa jumlah palet 400-yen ditambah tiga pensil 180-yen?”
“400+180×3=?”
Mereka menghitung secara salah dengan menggunakan kalkulator seperti “400+180×3=1740”.
Tujuan dari pelajaran ini adalah agar siswa memahami aturan dan prosedur perhitungan perkalian
melalui kesalahan semacam itu, dan mencerminkan cara perhitungan secara otomatis
Melalui praktek yang dirancang dan dilaksanakan oleh Mr. Shibuya, bisa dilihat bahwa banyak
masalah yang rumit dan berlipat muncul dalam proses kognitif, sosial, dan empiris. Anda juga bisa
melihat bahwa sebuah pelajaran dan pembelajaran telah terjadi dengan memecahkan
masalah-masalah ini.
Mari kita mengulas proses kognitif dari pelajaran ini. Dengan memberikan rumus perhitungan
kepada siswa, “400 + 180×3 =?”, hal tersebut dapat diinterpretasikan secara salah oleh siswa bila
siswa tidak mengetahui prosedur perhitungan perkalian, dan mereka memang diharapkan untuk
membuat kesalahan. Bila mereka melakukan kesalahan seperti yang diinginkan, guru bisa memulai
diskusi mengenai mengapa mereka menemukan jawaban yang salah dan membuat siswa menyadari
tentang aturan perhitungan: urutan perhitungan. Dengan begitu, para siswa dapat menjadi kasir
handal yang mengetahui prosedur perhitungan perkalian dengan baik berdasar skenario sang guru.
Namun, dalam proses ini, Mr. Shibuya dihadapkan dengan dua peristiwa yang mengejutkan. Pertama,
siswa yang lemah dalam belajar memberi jawaban yang benar tanpa proses mengkalikan. Karena dia
mengganti perkalian dengan penambahan seperti “400+180+180+180”, dia tidak mengalami
kesalahan yang memang telah direncanakan tersebut. Peristiwa lain adalah sejumlah siswa yang
telah mempelajari aturan tersebut di sekolah bimbingan swasta dapat dengan mudah mengenali
kesalahan perhitungan ketika mereka menggunakan kalkulator dan kemudian berhenti berpikir.
Dengan munculnya dua peristiwa ini secara tidak sengaja, dia mengembangkan pelajaran tersebut
untuk memperluas cara berpikir matematis mereka, mengindikasikan bahwa menghitung bilangan
secara kasar dan membuktikan bahwa bilangan tersebut salah atau tidak dengan menggunakan cara
lain adalah suatu hal yang penting. Akan tetapi, perkembangan seperti itu tidak termasuk dalam apa
yang beliau rencanakan sebelum pelajaran.
Bila anda menganalisa perkembangan ini dari sudut pandang kognisi matematika, anda dapat
menemukan aspek yang menarik dari pelajaran ini; di pelajaran ini, muncul tiga pendapat yang
berbeda tentang bilangan. Pertama, matematika otentik sebagai deduksi dan bukti, bahwa Mr.
Shibuya menginginkan para siswanya untuk belajar. Tugasnya adalah untuk mengintergrasikan arti
permasalahan matematika melalui pengalaman nyata dan untuk berpikir secara konsisten dan logis.
Kedua, matematika jalanan sebagai masalah sehari-hari, yang dilakukan oleh siswa yang lemah
dalam belajar tadi. Matematika ini, seperti yang beliau sampaikan, berdasar apa yang dideduksi
3
dengan indra secara kasar dan bukan memahami arti perhitungan dan kelogisan. Hal tersebut
memakai cara perhitungan yang mudah untuk menghindari terjadinya kesalahan. Ketiga, matematika
untuk ujian ditampilkan oleh sejumlah siswa yang mengetahui aturan perhitungan perkalian.
Matematika ini tidak bertujuan untuk memahami konsistensi matematika atau membangun arti
matematika seperti arti kuantitatif ataupun teknis, namun untuk menghapal dan menerapkan
prosedur perhitungan yang mengarah pada jawaban yang benar. Dalam pelajaran dimana Mr.
Shibuya mengajar urutan empat fungsi perhitungan, terdapat tiga jenis matematika yang berbeda.
Mereka mencoba untuk mengambil inisiatif, jadi, dalam sejumlah kasus, beberapa tumbukan terjadi.
Dapat dikatakan bahwa dilema yang muncul dalam konteks pedagogi ini umum terjadi dalam
seluruh atau pelajaran manapun.
Dari perspektif proses sosial, yaitu, proses untuk membangun hubungan manusia, kita pasti
memperhatikan hubungan antara siswa yang memiliki kekurangan dalam belajar dan Mr. Shibuya.
Biasanya, anak ini terlihat terus berlari mengitari ruang kelas di kala pelajaran sedang berlangsung.
Mr. Shibuya merasa cemas atas bagaimana beliau dapat mengatasi tindakan anak yang lain dari pada
yang lain tersebut sebelum pelajaran berlangsung. Namun, beliau tidak perlu mengkhawatirkan hal
tersebut dalam pelajaran ini. Momentum pertama datang di saat awal pelajaran ketika guru
menerangkan peran seorang kasir toko yang akan mereka mainkan, karena, ketika siswa tersebut
berkata “Saya mengerti” sebelum siswa lain menjawab, sang guru menilai dan menerima pernyataan
anak itu. Pada saat itu, hubungan dan interaksi yang menarik antara mereka mulai tumbuh. Siswa
tidak pernah membuat kesalahan karena setiap kali guru mengajukan pertanyaan, siswa mengganti
seluruh perhitungan perkalian dengan penambahan, meski teman sekelasnya yang lain jatuh ke
dalam perangkap yang disiapkan dengan sengaja oleh sang guru. Hubungan antara siswa ini dengan
teman sekelas lainnya menjadi tidak biasa.
Hubungan antara siswa tersebut dengan Mr. Shibuya menjadi lebih rumit. Mr. Shibuya secara
aktif menilai pernyataan dan perhitungan yang di buat si anak, dan menyampaikan bahwa
menghitung perkiraan kasar yang dibayangkan serta menghitung dengan berbagai cara merupakan
suatu hal yang penting. Sang guru juga mencoba untuk mengajak siswa-siswa lain untuk memikirkan
arti perhitungan yang dilakukan oleh anak itu. Dengan pertimbangan melalui pemikiran yang
beragam dan dengan memahami perbedaan tiap orang, seseorang dapat dengan mendalam meneliti
apa yang dia pikirkan. Hubungan sosial yang terbangun dalam adegan tadi menunjukkan suatu arah
untuk merestrukturisasi sebuah kelas menjadi sebuah discourse community (komunitas wacana).
Apa yang telah kita amati sejauh ini, yaitu, proses kognitif dan sosial dari pembelajaran, adalah,
pada saat bersamaan, proses etis. Di sini, proses etis pembelajaran diartikan sebagai suatu proses
untuk mempertimbangkan identitas seseorang secara berulang-ulang, dan untuk mengajak seseorang
untuk menjadi lebih baik. Dengan kata lain, ini adalah proses untuk memperbaharui diri seseorang.
Alasan mengapa siswa ini dapat turut serta dalam pelajaran dengan antusiasme yang tinggi adalah
4
dia mampu mengenali dirinya sebagai seseorang yang dapat bergabung dalam pelajaran dan dia
mampu mempertahankan identitas diri terhadap bahaya yang ia rasa. Sebagai suatu pengalaman
untuk mempertimbangkan kembali konsep diri, secara khusus hal ini memberi arti yang jauh lebih
besar baginya, yaitu dia merupakan satu-satunya orang yang mampu memecahkan seluruh persoalan
dengan benar, meski dia mengganti setiap perkalian dengan penambahan. Suatu adegan simbolis
yang menampilkan ia terhanyut keluar dari pelajaran menuju dimesi lain segera setelah sang guru
menyebut dan menjelaskan isi abstrak ketika beliau mengakhiri pelajaran dapat diamati dengan jelas.
Adegan ini dengan gamblang mengatakan kepada kita, proses pelajaran manapun adalah sesuatu hal
etis yang mengguncang identitas setiap siswa, mengekspos mereka terhadap resiko pembuktian-diri,
serta memaksa mereka untuk menyesuaikan identitas mereka.
Proses ini juga terjadi pada guru. Dalam kelas ini, Mr. Shibuya menghadapi satu tantangan. Yaitu
tantangan untuk mengatasi halangan sebagai seorang guru veteran yang menjalankan pelajaran,
mengikuti apa yang telah beliau rencanakan sebelumnya dan mengendalikan anak-anak seperti yang
beliau harapkan. Sebenarnya, sebelum tantangan ini, beliau telah mencoba untuk melaksanakan
sebuah pelajaran dengan materi yang sama di kelas di sekolah lain. Saat itu beliau mengacuhkan
beberapa pernyataan siswa yang menghitung dengan menggantikan perhitungan perkalian dengan
penambahan, karena beliau berpendapat bahwa hal itu adalah halangan yang mengganggu tujuannya.
Dengan harapan bahwa dia mampu mengatasi keterbatasan diri semacam itu, beliau berusaha
melaksanakan suatu kelas lagi. Dengan kata lain, beliau ingin mengbah dirinya dari seseorang yang
mengendalikan siswa sesuai keinginannya menjadi seorang guru yang mampu menggema dengan
beragam pembelajaran siswa. Pelajaran ini tidak hanya bertujuan untuk mempertimbangkan kembali
identitasnya sebagai seorang guru, namun juga merupakan sebuah penerapan etis untuk mengubah
jalan hidupnya.
Dengan bercermin pada kelas ini, pertimbangan ulang beliau masih terus berlanjut. Setelah
pelajaran, beliau menonton rekaman video pelajarannya dan hal tersebut membuat beliau merasa
senang karena respon beliau yang berubah terhadap apa yang terjadi dalam kelas. Di sisi lain, beliau
mengamati bahwa dirinya bersikap formal ketika beliau berhubungan dengan anak-anak selama
pelajaran. Pertama, beliau menunjuk gerakan tangannya. Ketika berbicara atau menyimak pendapat
para siswa, tangan beliau terlipat di depan atau belakang tubuh. Beliau merasa bahwa hal itu terlihat
monoton dan beliau menyampaikan bahwa beliau berkeinginan untuk berkomunikasi dengan para
siswanya secara lembut. Beliau juga menyatakan bahwa senyum beliau terlihat hanya di bibir saja.
Beliau berkeinginan untuk menjadi seorang guru yang mampu, dengan seluruh tubuh, merasakan
kesenangan dalam pelajaran bersama dengan para siswa. Di sini, anda mungkin menemukan aspek
lain dari kelas; beliau bertanya pada dirinya sendiri bagaimana seharusnya dia menjadi seorang guru.
Kasus ini menunjukkan bahwa sebuah pelajaran dan proses pembelajaran memiliki berbagai
aspek: proses kognitif dimana siswa membentuk arti dunia yang ditargetkan, serta membentuk
5
hubungan antara ide-ide tertentu dengan indra: praktek sosial yang melalui praktek kognitif
dilaksanakan oleh seorang siswa dalam interaksi dengan guru dan teman sekelas lain: dengan
merefleksi cara pikir dan sikap seseorang, praktek etis-pun terwujud. Praktek pedagogi membentuk
dunia (dialog dengan obyek), berteman (dialog dengan yang lain) serta menemukan diri sendiri
(dialog dengan diri sendiri). Pedagogi merupakan suatu hal yang rumit.
(2) Mempertimbangkan kembali hubungan
antara guru dan anak
Yang membentuk dunia belajar adalah hubungan pedagogi antara guru dan anak. Sejauh ini, hal
tersebut dipandang sebagai hubungan guru yang mengajar dan siswa yang diajar. Di dalam pelajaran
tradisional saat ini, guru merupakan sumber ilmu, sedang anak-anak adalah penerimanya. Namun,
dalam pelajaran yang bertujuan mendorong siswa untuk belajar secara kolaboratif berdasar inisiatif
masing-masing, hubungan binominal ini, yaitu, “mengajar – diajar”, dianggap sebagai hubungan dari
bawah ke atas. Maka dari itu, mereka mencoba mencari cara untuk mewujudkan dan membina
hubungan yang lebih baik dimana siswa belajar dan tumbuh melalui kolaborasi dalam kelas. Namun,
bagaimana hal tersebut bisa terwujud? Mari kita ulas hubungan pedagogi yang baru ini, dengan
memisahnya menjadi dua fase: hubungan satu-dengan-satu dan hubungan satu-dengan-mayoritas.
Menuju Hubungan Kolaboratif
Dalam sebuah Simposium Masyarakat Jepang untuk Studi Pendidikan yang diadakan di
Universitas Tokyo pada tahun 1991, Mr. Tsumori, seorang psikolog, menyampaikan laporan yang
sangat menarik mengenai hubungan kolaboratif kasus satu-dengan-satu.
Cerita ini terjadi ketika seorang guru yang bekerja di sekolah luar biasa (SLB) merawat seorang
anak laki-laki yang terbelakang yang tidak mampu berbicara sepatah kata-pun. Setiap hari, anak
tersebut mengajak gurunya ke kolam pasir dan memberi beliau sebuah cangkir. Kemudian dia
memasukkan pasir ke dalam cangkir sampai penuh dan mengulanginya sampai berulang kali. Dia
memiliki kemampuan fisik yang luar biasa. Yang bisa dilakukan guru tersebut hanyalah menyangga
lengannya di depan anak itu. Ketika dia terus mengulangi perbuatannya setiap hari, guru perempuan
tersebut mulai merasa marah dan berpikir mengapa dia harus mengalami hal yang mengganggu
tersebut. Namun, sejalan dengan waktu, anak itu tetap saja mengulangi perbuatannya dan bahkan
dengan kekuatan yang lebih besar. Karena itu, secara bertahap guru tersebut merasa menyesal dan
putus asa karena satu-satunya cara untuk membina hubungan dengan anak tersebut adalah dengan
memegang cangkir tersebut tanpa mengeluh. Namun perasaan guru tersebut tidak pernah diketahui si
anak, dan hari-hari yang sama terus berjalan. Suatu hari, ketika guru tersebut mengikuti perayaan
6
agamis, beliau membulatkan tekadnya untuk menjadi kapal yang bisa membimbing anak didiknya
tersebut. Setelah hari itu, segera setelah dia mengulurkan tangannya, anak itu menyambut tangannya
dan segera melakukan kegiatan lain.
Episode ini menunjukkan sebuah proses membangun ulang hubungan pedagogi antara sang guru
dan si anak. Sehubungan dengan runtutan proses tersebut, anda mungkin menganggap bahwa guru
itu menemukan apa yang diinginkan si anak. Atau, sudut pandang berikut merupakan kemungkinan
yang lebih masuk akal. Ketika si anak menyuruh gurunya memegang cangkir dan memasukkan pasir
ke dalamnya, dia tidak memahami dorongan apa yang membuatnya melakukan hal itu. Mungkin
suatu energi yang tidak dapat dijelaskan membujuknya untuk melakukan hal itu, dan di titik ini,
dorongan obsesinya berbeda dengan keinginannya. Bila begitu, rasa menderita dan menyesal yang
dialami guru itu tidak berhubungan dengan energi si anak yang tak berbentuk dan bersifat impulsif.
Sebaliknya, keputusan akhir guru tersebut yang ingin menjadi sebuah kapal bagi si anak
menunjukkan kesiapannya untuk membina hubungan dengan si anak. Melalui keterlibatan ini, si
anak mendapat sebuah arti dan menciptakan energi tak dikenal yang memaksa dia, yang pada
akhirnya dapat mengubah energi impulsifnya menjadi keingingan akan penerimaan.
Yang lebih penting dalam proses ini adalah sebelum siswa tersebut belajar dan tumbuh, sang guru
mengalaminya lebih dulu. Dengan langkah terakhir dimana sang guru memutuskan untuk menerima
si anak sepenuhnya, tidak terjadi suatu perubahan yang luar biasa bagi si anak. Di sisi lain,
pertumbuhan sang guru menjadi terpicu dengan menyaksikan agresi si anak, dan berhasil melalui
derita rasa putus asa yang dia alami, dan akhirnya beliau tiba pada titik dimana beliau mampu
membayangkan hubungan menerima dan diterima dengan si anak. Ketika harapan sang guru untuk
dapat menerima si anak sepenuhnya menjadi bulat dan menjadi suatu niatan yang jelas, dorongan tak
dikenal si anak juga berubah menjadi suatu keinginan untuk dapat diterima oleh gurunya.
Proses-proses ini, yaitu, refleksi, menjadi tema yang umum dan membentuk suatu kegiatan yang
baru.
Kasus ini dapat mengubah kesan perkembangan filosofi baku yaitu anak-anak memiliki masalah
untuk tumbuh, dan mereka tumbuh serta belajar dari berbagai tantangan yang mereka hadapi. Secara
bersamaan, hal tersebut juga dapat mengubah filosofi pendidikan yang telah lama dianut yaitu bukan
siswa, namun guru-lah yang mendorong dan membimbing untuk tumbuh. Dalam kasus ini, sejak
awal, tindakan agresif siswa tadi dianggap sebagai dinding penghalang baginya untuk
mengembangkan dirinya. Sejalan dengan waktu, hal tersebut dikenali sebagai sebuah dinding yang
sebenarnya menghambat perkembangan sang guru. Dan akhirnya, dinding ini menjadi suatu hal yang
tidak asing bagi mereka, yang menghalangi keinginan mereka untuk menerima dan diterima. Proses
refleksi ini mewujudkan perkembangan mereka berdua. Tidak ada perkembangan sepihak yang bisa
berlanjut maupun pendidikan yang bisa terjadi secara otomatis. Pendapat mengenai pendidikan dan
perkembangan yang telah disampaikan di sini bersifat relatif.
7
Seperti yang diimplikasikan oleh kasus “kapal” ini, hubungan antara seorang guru dan anak, orang
tua dan anak, serta orang dewasa dan anak; anak tidak mungkin dapat berkembang dan tumbuh
secara sepihak. Bukan dinding kapasitas anak yang menghalangi perkembangan dan pertumbuhan
anak. Yang lebih menghambat pertumbuhan anak adalah dinding yang berdiri di antara orang
dewasa, orang tua, guru dan anak. Mereka semua termasuk anak dan orang dewasa harus mampu
mengatasinya secara bersama-sama. Sekali lagi, guru, orang tua, dan orang dewasa harus mampu
untuk merefleksi dan menganalisa dinding yang berdiri di antara mereka, untuk menyiapkan
hubungan lain, dan untuk bertanggung jawab atas pendidikan yang dilakukan oleh sang guru. Anda
mungkin akan menemukan jiwa kepemimpinan di sini. Dalam hal ini, hanya mereka yang terus
belajar dan tumbuh dapat menjadi seseorang yang handal dalam mengajar, dan di atas segalanya,
seorang pendidik harus-lah seorang pembelajar yang baik.
Pelajaran sebagai suatu gubahan
Ketika hubungan satu-dengan-satu antara seorang guru dan siswa berubah menjadi hubungan
satu-dengan-banyak, hubungan pedagogi menjadi jauh lebih rumit. Sebelum menyampaikan
pendapat, ijinkan saya untuk menjelaskan tiga sudut pandang dari hubungan satu-dengan-satu.
Pertama, bahkan dalam kelas normal di mana anda menemukan hubungan satu-dengan-banyak,
belajar tetap merupakan suatu pengalaman pribadi, sehingga harus dilaksanakan dengan berfokus
pada pengalaman satu-dengan-satu. Kedua, pelajaran satu-dengan-banyak tidak boleh berbentuk
hubungan satu-dengan-keseluruhan seperti tentara, namun dikelola dalam bentuk hubungan
satu-dengan-banyak yang mewujudkan penggubahan antara individu yang berbeda. Ketiga, di kelas
yang dikerangkai oleh hubungan satu-dengan-banyak, harus dipandang melalui segi yang
memungkinkan kita untuk mencapai pembelajaran mutual yang dinamis; kita tidak akan berhasil
mencapainya melalui hubungan satu-dengan-satu dan satu-dengan-keseluruhan. Berikut ini, kita
akan melihat ketiga poin tersebut lebi jauh.
Mengelola pelajaran dengan hubungan satu-dengan-satu bahkan dalam pelajaran
satu-dengan-banyak berarti bahwa komunikasi dalam kelas berdasar hubungan Anda-dan-Saya.
Karena di sekolah-sekolah di Jepang pelajaran sebagai satu kesatuan bersifat dominan, komunikasi
dalam kelas terbatas pada hubungan satu-dengan-banyak. Tendensi ini mengakar kuat pada sekolah
dasar dibanding taman kanak-kanak, sekolah menengah pertama dibanding sekolah dasar, sekolah
menengah atas dibanding sekolah menengah pertama, meski anda mungkin mengamati hubungan
satu-dengan-banyak bahkan dalam permainan yang dilakukan di taman kanak-kanak. Mari kita
membayangkan suatu adegan seorang guru TK dan sekolah dasar mengatakan “semuanya” kepada
para siswa. Situasi seperti ini terjadi di manapun di sekolah-sekolah Jepang. “Semuanya” ini tidak
berarti semua yang meliputi tiap individu yang ada, namun semua di sini disebut sebagai suatu
8
massa. Meski masing-masing anak mempunyai nama, pasti tidak seorangpun yang bisa menemukan
seseorang yang bernama “semuanya”.
Namun, guru jarang terlihat berbicara dengan tiap individu, dan dia lebih sering berbicara dengan
setiap orang sebagai satu kesatuan. Sebenarnya, dia tidak berbicara pada siapapun karena
“semuanya” sebetulnya tidak ada. Semakin kurang seorang guru menyadari hal ini, maka semakin
besar kemungkinan bagi hubungan satu-dengan-banyak menjadi suatu budaya bagi guru tersebut.
Misalnya, sejumlah guru di sekolah menengah pertama atau atau menengah atas terus berbicara
tanpa memandang wajah para siswa. Sedang yang lain mengajar dengan memandang didnding,
melihat keluar dan menatap buku teks atau buku catatan di mejanya. Dalam kelas semacam ini,
bahkan siswa-pun akan menolak untuk terlibat dengan guru yang menghindari kontak mata tersebut.
Karena itu, mereka tidak pernah bertukar kata. Parahnya, mereka hampir tidak mampu saling
menatap. Guru yang hanya mampu membangun hubungan satu-dengan-keseluruhan tidak akan bisa
mencapai komunikasi nyata dengan para siswa.
Hubungan satu-dengan-keseluruhan juga membentuk budaya kelas para siswa. Misalnya, dalam
pelajaran menyanyi paduan suara, meski guru meminta siswa untuk berdiri secara tidak teratur untuk
menjaga jarak tiap individu, tanpa sadar mereka akan berdiri menyanyi secara berjajar. Hal ini
dikarenakan oleh, selama mereka berada dalam bentuk masssa, rasa stabilitas diri mereka tidak akan
terganggu oleh apapun. Tentu saja, untuk turut menyanyi bersama dimana tiap individu terkubur
dalam bentuk massa, tidak akan memiliki inti sari pengungkapan.
Tendensi bahwa anak-anak bersembunyi di balik massa dapat teramati di tiap pelajaran. Mereka
terlihat berbicara secara bersama-sama di hampir setiap pelajaran bahasa nasional – Jepang – di
tingkat SD dan suatu keheningan yang dapat diamati di berbagai pelajaran di tingkat SMP dan SMA
mewakili budaya kelas, yaitu para siswa berusaha agar bisa terintegrasi dengan teman lain untuk
melindungi diri mereka masing-masing.
Mengapa hubungan satu-dengan-keseluruhan mendominasi kelas? Jawaban yang mungkin adalah
karena mereka megutamakan efisiensi dalam menyelesaikan materi pendidikan secara bersamaan
dan karena adanya perintah untuk mengendalikan kelas bukan pembelajaran tiap individu. Salah satu
perbedaan terbesar antara pelajaran satu-pihak tradisional dengan gaya pelajaran baru berdasar pada
penemuan siswa adalah suatu karakter aturan hidup. Pengendalian dalam pelajaran satu-pihak
tradisional menyeragamkan hubungan antar-manusia, ruang dan masa, dan mengatur mereka demi
fungsionalitas dan efisiensi. Di sisi lain, kontrol dalam suatu pelajaran yang berpusat pada anak yang
bertujuan memperoleh penemuan memungkinkan terjadinya diversifikasi karakterisitik tiap individu.
Di sejumlah negara yang memakai Bahasa Inggris, mereka membagi pengajaran menjadi dua, yaitu:
penyesuaian bimbingan bagi tiap individu, dan penggubahan interaksi antar individu. Sebetulnya,
mereka yang berusaha menjalankan pelajaran yang berpusat pada anak lebih memilih untuk
melaksanakan penyesuaian dan penggubahan ini daripada praktek berdasar hubungan
9
satu-dengan-banyak.
Akan saya perkenalkan sebuah contoh dari praktek ini: saya mengamati sebuah pelajaran
“mochi-mochi no ki” di kelas dua. Setelah anak-anak melihat adegan Mameta melompat ke dalam
kegelapan untuk membantu Jisama yang menderita sakit perut, mereka menyatakan bahwa terjadi
suatu pergulatan antara rasa takut akan kegelapan dan keinginan untuk membantu Jisama dalam diri
Mameta. Tiba-tiba, seorang anak berkata, “Saya mengerti” dan menyatakan, “Dia berlari menuju
pintu.” Pertama, tidak ada seorangpun yang mengerti pendapatnya itu. Jadi seorang guru
menanyakan dengan baik, dan dia menjelaskan. Dia menginterpretasikan figur Mameta yang
tergambar dalam buku ilustrasi sebagai representasi keberanian, sementara yang lain berpikir bahwa
Mameta adalah seorang anak yang sedang berlari menuruni bukit. Kelas tersebut meledak karena
pendapatnya yang menarik. Sang guru bertanya sekali lagi, dan dia menjawab. Dia berkata, “Pintu
rumah jaman dulu terbuat dari kayu bukan? Jadi bila mendorong pintu, dia terkena serpihan kayu di
jarinya. Untuk menghindari hal itu, dia mendorong pintu dengan menggunakan kepalanya dan lari
keluar dari rumah.” Pernyataan ini membuat para siswa yang berada di kelas menjadi tenang. Sang
guru mengamati bahwa siswa tersebut memeiliki penilaian seperti tidak hanya berdasarkan ilustrasi
dalam buku namun juga kata-kata dalam buku. Jadi guru bertanya kepada dia, “Mengapa kamu
berpikiran demikain?” “Buku itu mengatakan bahwa Mameta menyelinap dan lari keluar bukan?”
jawabnya. Berdasar pernyataan ini, diskusi mengenai adegan ini semakin memanas. Dalam kasus ini,
anda dapat menemukan contoh nyata penerapan dari penyesuaian menjadi suatu gubahan.
Pelajaran yang menghasilkan interaksi antar individu menciptakan suatu kelas yang berperan
sebagai discourse community yang mana terjadi pertukaran berbagai pendapat yang berbeda. Saya
akan melaporkan satu kasus pelajaran mengenai pegas dan gaya. Dalam kelas ini, mereka
berargumentasi mengenai prediksi dan dasar untuk satu persoalan.
<Pertanyaan>
Salah satu sisi pegas dipasang pada dinding, sisi lainnya ditarik oleh gaya sebesar 50 g. Kemudian
pegas memanjang sebesar 2 cm.Ketika pegas itu dilepas dari dinding dan kemudian kedua sisinya
ditarik dengan gaya sebesar 50 g, berapa panjang pegas tersebut sekarang? Beri alasan.
Para siswa menjawab, “4cm”, “2cm”, dan “1 cm.” Jawabannya tentu saja 2 cm. Yang lebih
penting daripada memberi jawaban yang benar adalah alasan yang mereka pikirkan. Meski jumlah
siswa yang menjawab “1 cm” tidak banyak, pemikiran mereka berdasar pada pandangan
anthropormophis tenatang dinamika bahwa pegas tersebut memiliki gaya sendiri. Mereka berkeras
bahwa karena separuh pegas memiliki gaya yang dapat menarik 50g, pegas akan hanya memanjang
sebesar 1 cm bila kedua sisinya ditarik. Bagi para siswa ini, pegas bukan merupakan suatu obyek
10
yang ditarik, namun sebagai suatu pelaku yang menarik benda-benda.
Mayoritas siswa menjawab 4 cm. Mereka memperhatikan gaya pada kedua sisi. Mereka
menyatakan bahwa ketika gaya menarik digandakan, pegas pasti akan memanjang dua kali lipat.
Di sisi lain, para siswa yang menjawab “2 cm”, pertamanya, tidak mampu memberi alasan atau
berkata “Saya tidak tahu.” Setelah mendengar presentasi kedua kubu lain, mereka mulai menjelaskan.
“Satu sisi juga ditarik oleh dinding. Dengan kata lain, gaya tindakan dan tindakan yang berlawanan
saling membatalkan satu sama lain. Alasan mengapa pegas dipasang di dinding adalah dinding
tersebut juga menarik pegas dengan gaya yang memiliki besar yang sama. Kesimpulannya, bahkan
bila pegas ditarik dari kedua sisi, maka keadaannya sama sekali tidak akan berbeda dengan kasus
pertama” jelas mereka.
“Saya punya ide bagus”, kata seorang siswa. Dia menggambar sebuah gelendong 50 gram yang
tergantung pada tali di dinding, dan sebuah tali yang terikat pada dua buah gelendong seberat 50
gram di atas balok penarik. Dia berkata bahwa bila tali tersebut diganti dengan pegas, kedua gambar
yang dia jelaskan itu akan sama persis dengan pertanyaan yang sedang mereka bahas dalam kelas.
Penjelasannya memiliki daya bujuk yang begitu kuat sehingga para siswa yang menjawab “1 cm”
mengubah pendapat mereka dan jumlah siswa yang menjawab “4 cm” menjadi sepertiga dari jumlah
awal. Akhirnya, jumlah siswa yang meyakini jawaban “2 cm” meningkat menjadi dua pertiga dari
seluruh siswa. Dan jawaban yang disepakati adalah “2 cm”.
Para siswa yang meyakini “4 cm” terus berusaha untuk mengkonfirmasikan kesalahan deduksi
mereka. Mereka merasa tidak bisa mempercayai bahwa perbedaan gaya tersebut berlaku dan
memahami hal itu sebagai perasaan nyata, meski mereka semua memahami bahwa hal tersebut
benar.
Akhirnya, mereka menyampaikan argumen mengenai perasaan sebenarnya ini. Perasaan
sebenarnya yang dirasakan oleh mereka yang berkeras tentang “4 cm” memiliki alasan yang sama
dengan mereka yang menjawab “1 cm” di awal pelajaran. Kedua kubu ini memegang pandangan
yang sama: mereka menganggap pegas sebagai manusia yang memiliki gaya untuk menarik. Tentu
saja, pegas tersebut tidak memiliki gaya untuk menarik namun pegas tersebut memiliki sifat yang
elastis. Sebelum megetahui hal ini, hampir seluruh siswa termasuk mereka yang memberi jawaban
benar meyakini bahwa pegas tersebut memiliki kekuatan magis dan mereka tidak bisa
menyingkirkan imej abad pertengahan mengenai dinamika. Akhirnya, para siswa dapat memahami
sifat elastis pegas dan wacana deduksi.
Seperti yang ditunjukkan oleh kasus tersebut, di sebuah kelas dimana berbagai pendapat dan kesan
terungkap,dan interaksi dengan bahasa pemikiran dan penemuan serta retorika terwujud melalui
interaksi keragaman. Melalui komunikasi dengan sesuatu yang berbeda, pendapat seseorang bila
perlu dihancurkan dan dibangun kembali. Di saat yang sama, melalui penggubahan berbagai
pendapat dan kesan, secara kolaboratif kita bisa mendekati kebenaran yang dapat kita yakini
11
bersama. Dengan ini, jalan bagi kita untuk membangun discourse community dapat terbuka.
Pilih seorang anak sebagai titik awal
Hubungan yang terbentuk dalam kelas sehari-hari ternyata lebih rumit dan bertingkat, seperti
pelajaran fisika yang telah kita amati tadi. Setiap siswa mengembangkan pemahaman yang mereka
peroleh masing-masing. Apalagi, mereka ikut serta dalam pelajaran dengan membawa sejarah, rasa
takut, dan harapan masing-masing.
Mr. Ito, seorang guru yang mengajar kelas 6, mengajar sebuah kelas, mempertanyakan dirinya
sendiri, apakah dia mampu menulis kisah pertumbuhan tiga puluh enam orang siswa. Dia telah
menjadi guru kelas selama lebih dari sepuluh tahun. Beliau masih teringat dengan pasti akan
keterlibatannya dengan anak-anak yang beliau kenal aktif dan asuh selama sepuluh tahun masa kerja
beliau. Beliau merasa bahwa beliau tidak begitu berkomunikasi dengan anak-anak yang biasa dan
penurut yang tidak memerlukan perhatian khusus. Beliau menyampaikan bahwa sejumlah siswa
tidak lagi memperhatikan beliau dan ada sejumlah lain yang tetap berhubungan baik dengan beliau.
Untuk meningkatkan keterlibatannya dengan anak-anak biasa, beliau berpikir bahwa beliau harus
mencari gambaran mengajar yang mendukung para siswa untuk belajar sesuai dengan jalan mereka
masing-masing. Dengan ini, suatu pertanyaan muncul dalam benak beliau muncul.
Karena beliau tahu dengan baik bahwa sama sekali tidak ada jawaban bagi pertanyaan beliau, saya
berani menyatakan bahwa pertanyaan itu sangat hebat. Beliau menyatakan bahwa bila hanya dengan
mengajukan pertanyaan yang tidak ada jawabannya ini, beliau tidak akan mampu mewujudkan
hubungan kamu-dan-aku. Dengan melihat cara mengajar beliau di kelas, saya teringat pada buku
“Thirty-Six Children (1970)” yang ditulis oleh Herbert Cole, seorang guru sekolah terbuka. Buku ini
masih terus dibaca oleh banyak guru di Amerika Serikat sebagai kitab suci untuk menciptakan
inovasi dalam pelajaran. Tentu saja, meski dia tidak pernah mengetahui buku yang pernah ditulis dua
puluh lima tahun yang sebelumnya, beliau menghadapi tantangan yang sama. Dan kisah unik
mengenai tiga puluh enam anak memberi pengaruh dalam satu tahun di kelasnya. Mari kita cermati
sebuah cerita berikut.
Ketika Mr. Ito mengadakan kunjungan rumah, Satomi menyambut beliau, dengan menggendong
adik laki-lakinya di punggungnya serta memegang sebotol susu di tangannya. Dia berkata bahwa dia
selalu menjaga adiknya setelah pulang sekolah. Dia menyukai pekerjaan ini, meski hanya ada
sejumlah kecil anak yang bersedia untuk melakukan hal yang sama. Satomi termasuk anak yang
cukup tertinggal dalam pelajaran bila dibanding dengan teman sekelasnya; khususnya dalam
pelajaran matematika. Mr. Ito memberi pelajaran tambahan kepada beberapa siswa termasuk
Satomi. Satomi berkata pada beliau, “Saya menyukai anda.” Dan kemudian dia berusaha untuk
12
belajar dengan keras, lalu secara bertahap dia bisa memainkan seruling yang belum pernah dia
mainkan dengan baik.
Namun, pada saat penentuan kelompok untuk kemah musim panas, tanpa sengaja Satomi dan
Mami tertinggal. Karena peristiwa ini, dia memutuskan untuk tidak mau berteman dengan
teman-teman lainnya lagi kecuali dengan Mami. Setelah semester kedua, sang guru disibukkan oleh
berbagai hal lain sehingga Satomi semakin menjauh. Beliau merasa bahwa Satomi mulai berubah,
Satomi mengubah cara hidupnya seperti tidak pernah di rumah lagi dan berangkat sekolah dengan
rambut berwarna coklat dan telinga yang ditindik. Beberapa teman melaporkan bahwa Satomi sering
menghabiskan waktu di toko 24 jam sampai tengah malam. Mr. Ito dihantui oleh kecemasan akan
penolakan dan hilangnya hubungan dengan Satomi, makin hari wajah Satomi menjadi makin terlihat
tanpa emosi dan membatu. Tidak hanya Mr. Ito, tapi juga Kaori, satu-satunya teman masa kecilnya,
kehilangan kontak dengan dia pada saat itu.
Baru setelah berbagai peristiwa muncul Mr. ito mendapat suatu ide baru. Beliau berhenti sejenak
untuk memikirkan mengenai aturan menghentikan – stopping rule – yang memberi petunjuk
jawaban baginya. Beliau berniat untuk meminta Satomi agar memelihara sepasang burung parkit
yang hidup di sangkar dekat ruang kepala sekolah. Setelah melihat Satomi mengasuh adik
laki-lakinya di rumah pada saat beliau mengadakan kunjungan rumah pada Bulan April, beliau
merasa sangat yakin bahwa hal tersebut akan mampu mengubahnya. Senyum Satomi yang
ditunjukkan ketika beliau mengucapkan, “Kamu adalah anak yang baik”, terpatri dalam pikiran
beliau. Satomi menerima sarannya tanpa merasa keberatan. Sejak saat itu, dia terus membersihkan
sangkar dan memberi makan burung-burung tersebut sebelum siapapun tiba di sekolah, meski
sebelumnya dia selalu datang terlambat. Selain itu, Mami, yang juga menyemir coklat rambutnya
dan menindik telinganya bersama Satomi, juga ikut memelihara burung tersebut. Beberapa saat
kemudian, dia mulai meminta Mr. Ito saat di kelas dan juga istirahat makan siang untuk memberi
pelajaran tambahan lagi kepada mereka.
Setelah melihat bahwa Satomi mulai bersedia belajar kembali, apa yang mereka perbuat membuat
Mr. Ito bercermin kembali. Mr. Ito merasa cemas ketika kehilangan kontak dengan dia. Namun,
ketika direfleksi, ternyata Mr. Ito-lah yang kehilangan kontak dengan Satomi, dengan dalih bahwa
dia disibukkan oleh berbagai tugas yang membanjiri. Dia teringat bahwa secara tiba-tiba, Satomi
pernah menangis di kelas pelajaran tambahan untuk satu anak. Meski berkali-kali beliau
menanyakan sebabnya, Satomi hanya terus menangis. Setelah mengulasnya, peristiwa itu mungkin
adalah suatu tanda bahwa Satomi menunjukkan sebuah pesan kepada dirinya akan rasa kecemasan
dan kesepian. Ikatan ini masih tipis dan rentan jadi beliau memprioritaskan hal itu. Sebab beliau
menganggap ikatan yang tipis dan rentan ini dapat menjadi jembatan untuk menuliskan kisah antara
Satomi dan dirinya.
Seperti kisah ini, beliau melaksanakan pelajarannya dan menuliskan perjalanan tiga puluh enam
13
anak dalam buku catatan. Ketika kita mengadakan Lesson study, penelusuran yang kita laksanakan
hanya berjangka waktu satu jam. Sebenarnya, seperti yang dilakukan oleh Mr. Ito, kita perlu
mengulas pelajaran harian kita dan berfokus pada pembelajaran dan pertumbuhan tiap individu
dalam jangka waktu yang panjang.
Anda dapat mengulas dan menangkap gambaran dan proses penggubahan dalam video yang
dilampirkan pada buku “Sebuah seri: pelajaran” (1991-1993, Iwanami-Shoten). Salah satu penerapan
penggubahan yang paling mengesankan adalah pelajaran Mr. Minami yang berjudul “Perkembangan
kotaku”. Dengan mengamati pelajaran beliau, mari kita analisa sebuah pelajaran sebagai suatu
penerapan penggubahan yang mewujudkan interaksi dengan tiap individu.
Penjelasan beliau mengenai“Perkembangan kotaku” dimulai dengan bidang kerja lokal dan
membuat siswa menyadari bahwa Yokohama berkembang dengan memperoleh daratan dari laut.
Melalui penelususran sejarah mengenai perkembangan daerah baru di Edo dan MM21, yaitu
singkatan dari Minato Mirai 21 dan yang juga merupakan sebuah tempat pembuangan akhir, guru
menaikkan tingkat pelajaran agar para siswa, secara mandiri, mampu membangun pemandangan
daerah itu. Proses peningkatan pelajaran ini berjalan secara cukup alami. Karena pembelajaran
mereka terbentuk oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka sendiri, peran guru hanya
terbatas pada penyediaan dokumen-dokumen penunjang, perancangan proses pembelajaran dan
berfokus pada penggubahan berbagai penemuan serta pendapat tiap individu.
Berdasar tabel kronologis perkembangan, yang telah dibuat sebelumnya, mereka beradu
argumentasi tentang siapa yang mengembangkan, apa yang mereka kembangkan dan permasalahan
apa yang mereka hadapi. Mereka juga mendaftar perbedaan perkembangan di berbagai masa yang
berbeda. Dengan basis bahwa di jaman Edo perkembangan yang terjadi diberi nama sesuai dengan
nama orang seperti tanah baru Yoshida, para siswa menyimpulkan bahwa pada jaman itu
perorangan-lah yang mengambil inisiatif. Setelah jaman Meiji, pemerintah mengambil alih
pengendalian perkembangan dan penebusan dengan tujuan untuk memperluas tanah milik
Perusahaan Rel Kereta Api dan berbagai perusahaan. Pada saat ini, pemerintah dan perusahaan
bekerja sama untuk mengembangkan galeri seni, pusat perbelanjaan, hotel dan taman ria di MM21.
Dengan dasar tersebut, mereka berdiskusi mengenai siapa saja yang mengajukan keberatan tentang
perkembangan itu. Akhirnya, beliau mengakhiri kelas dengan memberi pertanyaan utama, mengapa
mereka terus mengembangkan daerah itu meski banyak pihak yang menentang.
Intinya adalah mereka mewujudkan sejumlah interaksi atas beragam gambaran dan pendapat yang
dibidikkan pada fakta dengan berlandaskan pada partisipasi dalam pelajaran dengan kata-kata serta
tubuh tiap individual. Mereka juga merekonstruksi sejarah kota mereka sendiri, menghubungkan
masa lalu dan masa kini yang sedang mereka jalani. Tujuan dari pelajaran ini adalah tidak untuk
memperoleh pengetahuan atau ketrampilan khusus, namun untuk membangun makna dan gambaran
perkembangan Yokohama di mana mereka tinggal.
14
Setelah menyimak penuturan para siswa, ternyata mereka melampaui kerangka wacana di kelas;
mereka tidak hanya menyampaikan pendapat dan penemuan masing-masing, namun juga
menyatakan sejumlah pendapat orang tua dan saudara masing-masing, serta juga memberi
pernyataan berlandaskan apa yang sudah mereka baca di koran, dokumen dan buku. Hal tersebut
terjadi dalam berbagai lapisan. Pendapat-pendapat ini juga muncul dari penuturan para siswa yang
merupakan pelaku utama dalam diskusi. Misalnya, ketika menyentuh subyek mengenai pencemaran
air laut oleh pabrik pengecoran besi, seorang siswa yang ayahnya bekerja di pabrik tersebut
menyatakan bahwa air pendingin dalam proses operasi digunakan secara tidak langsung. Dia
berusaha untuk mendukung ayahnya dengan mengacu pada kapal yang dibuat oleh perusahaan
tempat ayahnya bekerja untuk iklan. Dia juga berkeras menyatakan bahwa perluasan pabrik malah
akan menurunkan tingkat pencemaran. Anda dapat melihat bahwa pemikiran yang berlapis-lapis
terbentuk dalam kelas ini.
Dengan mengamati wajah para siswa, kami menyadari bahwa mereka dengan mudah terhanyut
dalam pelajaran. Alasan terbesar adalah karena mereka menyimak dengan cermat. Saya tahu ada
beribu kelas yang para siswanya mengangkat tangan dengan aktif, namun hanya ada beberapa yang
para siswanya dengan cermat menyimak apa yang disampaikan oleh teman sekelas lain. Setiap kali
seseorang mengutarakan sesuatu, senyum mereka semakin lebar. Dan anda dapat melihat para siswa
sangat menikmati pendapat serta gambaran orang lain. Ketika mereka berbicara mengenai karakter
perkembangan modern, seorang siswi yang duduk di baris depan berucap, “Terdapat banyak hal.”
Lalu teman sekelasnya bertanya, “Apa saja?” “Ada sejumlah hotel” dia menjawab. Dengan begini,
siswa saling mendorong satu sama lain dan spontanitas ini mendukung pembelajaran kooperatif.
Mengingat bagaimana sang guru terlibat dengan mereka, kita perlu memperhatikan peran yang
beliau mainkan dalam pelajaran. Peranannya bukan-lah untuk meningkatkan diskusi atau pemikiran,
namun untuk menahan dan memundurkan diskusi. Gaya ini sangat bertolak belakang dengan gaya
guru-guru lain. Misalnya, ketika seorang siswa berpendapat bahwa tujuan perkembangan adalah agar
dapat sejajar dengan Negara-negara lain, dengan segera beliau meminta pada si anak untuk memberi
komentar dengan berkata, “Mmm, sepertinya hal tersebut sedikit sulit. Apa maksudmu? Dapatkah
kamu memberi penjelasan yang mendetil dan jelas?” Dan ketika para siswa menyadari perubahan
nama yang ditunjuk untuk perkembangan, sampai seluruh siswa mengerti, beliau mencoba untuk
menghentikan dan menahan diskusi. Bukanlah sesuatu yang dibesar-besarkan untuk menyatakan
bahwa peran utama dari ucapan dan saran beliau ditujukan untuk menahan dan memundurkan
diskusi. Keterlibatan ini menandakan bahwa pandangan beliau bukan tertuju pada interaksi antar
pemikiran dan penuturan, namun pada lapisan mereka yang lebih dalam.
Gaya penggubahan beliau dibangun dengan melihat pelajaran beliau sendiri yang direkam dalam
video serta merefleksi proses pengambilan putusan dalam kelas sebagai suatu improvisasi, ketika
beliau adalah seorang mahasiswa peneliti di Universitas Tokyo beberapa tahun silam. Pengambilan
15
keputusan yang beliau hitung ternyata sebanyak lebih dari ratusan kali, termasuk pemilihan dan
modifikasi minor dari perkembangan kelas selama empat puluh lima menit. Hasil ini mengejutkan
beliau. Melalui penelusuran ini, bercermin pada pengambilan keputusan beliau yang membentuk
sebuah komitmen untuk pemenuhan tujuan instruksional serta penyelesaian materi, beliau
memutuskan untuk mengubah jalan pelajarannya dimana pengambilan keputusan beliau tergantung
pada pemikiran para siswa. Pemikiran beliau yang praktis, berlimpah dan konkrit tanpa henti
merancang dan memodifikasi pelajaran melalui perjuangan batin, menjadi basis diskusi yang dapat
memacu pemikiran dan penuturan para siswa.
Sebagai tambahan, penggubahan dalam pembelajaran dalam kelas telah beliau persiapkan ketika
beliau mempelajari materi. Yang terpenting adalah beliau merasa senang menelusuri dan menyelami
permasalahan serta fenomena sosial saat beliau berusaha memahami karakter pembelajaran
anak-anak tadi. Pernyataan bahwa beliau menikmati kegiatan menelusuri dan mempelajari bidang,
bahkan tanpa melihat pelajaran tadi, mengimplikasikan bahwa beliau telah mempelajari sesuatu yang
fundamental untuk mewujudkan pelajaran berdasar pengalamannya. Seperti seorang dirijen orkestra
musik yang mengetahui nada yang paling menarik, seorang guru yang mengelola pembelajaran di
kelas harus mampu menjadi seorang pembelajar yang baik yang mampu menikmati daya tarik isi
pelajaran. Akan lebih baik lagi bila guru yang melaksanakan pelajaran menjadi seorang pembelajar
yang baik yang kebih mengetahui pesona isi pendidikan dengan baik daripada hanya menguasai
ketrampilan atau teori tertentu semata. Menurut Bertolt Brecht, seorang pengarang drama, hanya
mereka yang belajar dengan baik berhak untuk tampil di atas panggung.
(3) Terbuka untuk suatu peristiwa
“Peristiwa” dan guru
Demi pemahaman yang konkrit mengenai dunia pelajaran, mari kita melihat gambaran berbagai
pelajaran yang terbuka untuk peristiwa.
Apakah pelajaran dianggap sebagai praktek teknis untuk mengimplementasikan program yang
dirancang atau sebagai praktek reflektif untuk mempertimbangkan makna dan keterlibatan yang
muncul di kelas tergantung pada bagaimana guru menghadapi peristiwa yang dapat terjadi setiap
saat. Sesuatu yang terjadi sesuai harapan dan rencana tidak dapat disebut sebagai peristiwa.
Peristiwa muncul di luar harapan dan rencana guru. Langkah yang diambil guru dalam menghadapi
peristiwa ini sering terkadang membatasi proses pelajaran dan pembelajaran sehingga hal tersebut
menjadi sistem yang bersifat otomatis dan konvensional, atau membuat kerangka sistem tersebut
hancur dan yang kemudian dibangun ulang untuk mencapai suatu proses yang kreatif dan dinamis.
Melalui sejumlah contoh, kita akan melihat bagaimana cara guru menghadapi suatu peristiwa yang
16
muncul di kelas, serta makna mereka.
Setiap peristiwa kecil yang muncul di kelas dapat diamati kapan dan dimana saja. Saya akan
mengetengahkan sebuah kasus pelajaran Bahasa Inggris di SMA tertentu yang para siswanya
dianggap memiliki kemampuan akademis yang rendah. Tujuan kelas ini tidak untuk mempelajari
ilmu Bahasa Inggris, namun mengajarkan Bahasa Inggris sebagai sarana untuk mengekspresikan diri
dan berkomunikasi dengan orang lain. Guru memutuskan tema tahunan seperti kesunyian masa
muda dan harapan akan kedamaian, jadi sang guru selalu memulai pelajaran dengan mengutip dan
menyanyikan lagu penyanyi rock yang berbahasa Inggris. Tidak peduli betapa lemahnya siswa
dalam Bahasa Inggris, seusai satu tahun berlalu, siswa akhirnya bisa menyanyi, dalam Bahasa
Inggris, sejumlah lagu yang cocok dengan pandangan mereka mengenai kesunyian dan harapan akan
kedamaian.
Tujuan kelas ini adalah untuk memahami kalimat interogatif. Khususnya, mereka diharapkan
untuk mampu mengajukan pertanyaan seperti “Di manakah stasiun terdekat?” dan untuk memberi
jawaban seperti “Stasiun ********.” Setelah menyelesaikan tugas, guru bermaksud untuk memberi
latihan-latihan pertanyaan interogatif semacam “Bagaimana saya bisa menemukan stasiun *****?”
dan “Dari sini lurus, sebelah kanan.” Suatu peristiwa muncul di awal kelas. Ketika guru sedang
memberi penjelasan tentang pelafalan dan arti kalimat-kalimat yang diberikan, bisikan-bisikan siswa
menjadi semakin keras dan mereka akhirnya berbicara dengan keras.
“Di mana stasiun Moyorino?”
“Bodoh! Itu bukan nama tempat, tapi memiliki arti lain.”
‘Jadi, apa artinya?
“Aku tidak tahu.”
“Ada yang tahu?”
“Hei, ada yang tahu? Katakan padaku!”
Guru mendengar perkataan mereka dan menulis kata “moyori” di papan tulis. Sekali lagi dia
bertanya pada mereka, arti kata “moyori”, namun tidak ada satu-pun yang tahu. Ketika peristiwa ini
terjadi, pelajaran Bahasa Nasional-pun termulai. Meski menyimpang dari Bahasa Inggris, saat itu
adalah kesempatan yang sangat tepat bagi guru untuk mengajar bahasa karena dia berpikir bahwa
pendidikan Bahasa Inggris adalah pendidikan bahasa yang tujuannya adalah untuk berkomunikasi
dan berekspresi. Segera setelah penjelasan selesai, para siswa mengerti bahwa “moyori” dalam
Bahasa Jepang berarti “terdekat”, dan mulai berbicara mengenai apa yang telah mereka temukan dari
kata itu. Mereka menemukan bahwa kata “moyori” dan “terdekat” memiliki imbuhan yang mewakili
sesuatu yang paling. Untuk memanfaatkan penemuan mereka, guru mengembangkan pelajaran
dengan menyebut seluruh kata Bahasa Jepang yang teringat di benaknya yang memiliki imbuhan
superelatif dan kemudian mengulasnya dalam Bahasa Inggris.
Lalu dia kembali pada pengutipan dan latihan dialog dalam Bahasa Inggris. Suara mereka menjadi
17
semakin keras dan jelas bila dibanding dengan beberapa menit sebelumnya, dan saya merasa terkejut
karena ritme komunikasi dan intonasi menjadi lebih baik dengan sendirinya. Dua pertiga dari materi
yang harus dituntaskan oleh guru telah tercapai. Tapi, saya mendengar para siswa mengucapkan
komentar yang mengesankan mengenai pelajaran ini ketika mereka keluar dari kelas.
“Hei, pelajaran hari ini mengesankan bukan?”
“Yeah.”
“Karena kita mempelajari arti kata moyori.”
Saya memiliki lebih banyak contoh penyimpangan aktif atas peristiwa kecil. Saya akan
mengetengahkan sebuah pelajaran kimia di SMA yang para siswanya dianggap memiliki tingkat
akademis yang rendah. Meski guru berusaha keras menjelaskan arti bilangan Avogadro dan rumus
“6.02×1023”, dengan metode penjelasan apapun para siswa tetap tidak dapat memahaminya dan
kelas tersebut terdengar sangat hening. Beliau bertanya mengapa mereka tidak dapat memahaminya.
Berlawanan dengan apa yang ia perkirakan, ternyata bukan arti bilangan Avogadro yang tidak
mereka mengerti, namun metode perhitungan bilangan berpangkat, yang di sini ditunjukkan dengan
“1023“, -lah yang tidak dapat mereka mengerti sama sekali. Karena itu, beliau mengubah kelas kimia
tersebut menjadi kelas matematika. Dengan menggunakan kotak-kotak bir dan botol-botol obat,
beliau mengelola pelajarannya untuk mempelajari gambaran konkrit dan arti bilangan berpangkat.
Penyimpangan ini sangat bermakna karena mereka mempelajari dan memahami bilangan Avogadro
dan mereka dapat belajar serta berpartisipasi dalam kelas.
Peristiwa yang muncul tidak berada di pusat kelas melainkan disekitar kelas, dan di sana anda bisa
menemukan pemicu untuk pembelajaran antara satu sama lain. Sayangnya, bagian yang lebih besar
dari peristiwa ini belum terasakan oleh guru serta siswa, dan lenyap di sekeliling. Hal ini terjadi
karena seluruh perhatian baik guru maupun siswa hanya tertuju pada pusat, dan mereka tidak
mempersiapkan perspektif terhadap peristiwa yang timbul di sekitarnya dan juga kata-kata untuk
menemukan arti mereka. Di manapun perspektif dan kata-kata tidak tersedia, peristiwa dalam kelas
akan berlalu begitu saja. Satu-satunya yang dapat kita amati adalah sepenggalnya saja.
Pengalaman anak-anak dan para guru
Penemuan suatu peristiwa terkadang memberi kesempatan bagi guru untuk merefleksi keberadaan
mereka sebagai seorang guru dan juga untuk mengubah pengertian atas suatu kelas. Sekarang, saya
akan memperkenalkan suatu studi kasus Mr. Ishii, seorang guru Bahasa Jepang. Tema kelas beliau
adalah tentang sebuah cerita pendek berjudul “Koma” yang karakter utamanya adalah Mr. dan Mrs.
Ono, yang kehilangan anak mereka yang bernama Shita, yang sangat senang bermain koma (yaitu
gangsing dalam Bahasa Jepang). Mereka melihat gangsing Shota yang sangat berharga bagi mereka
dan tersimpan di atas lemari pakaian ternyata dikerat oleh tikus. Kemudian mereka melihat seekor
18
tikus yang hidup di atas almari. Setelah itu, mereka memberikan gangsing itu ke adik Shota dan
memintanya untuk memutarnya. Setelah kelas, M. seorang murid pindahan yang hidup sendirian di
asrama bagi anak cacat, menulis sebuah karangan. Karangan tersebut sangat mengejutkan sang guru.
Berikut ini kutipan dari karangan tersebut.
“Gangsing itu baik, begitu juga pasangan suami istri dan tikus itu. Mr. dan Mrs. Ono baik, namun
sepetinya mereka menangis ketika anak mereka meninggal. Kemarin, saya merobek foto S yang saya
ambil ketika saya bersekolah di sekolah saya yang lama. Mengapa? Saya belajar bahwa, si tikus
mengerat gangsing. Saya menyobek gambar itu sendiri dan saya menganggap bahwa arwah S
merasuki saya.”
Dalam kelas ini, dia tidak pernah mengutarakan sepatah kata-pun. Siswa lain berdiskusi dengan
hangat mengenai mengapa Mr. dan Mrs. Ono menyuruh adik Shota memutar gangsing tersebut.
Beberapa anak berpendapat bahwa karena gangsing tersebut dikerat oleh tikus, pasangan tersebut
tidak lagi merasakan arwah Shota dalam gangsing itu. Sedang yang lain berkeras bahwa arwahnya
berpindah ke tikus. Dan ada juga pendapat yang menarik bahwa arwah Shota berpindah dari
gangsing ke hati Mr. dan Mrs. Ono. Sementara itu, M hanya mendengarkan mereka. Keesokan
harinya, dia menulis karangan yang tersebut di atas.
Yang mengesankan bagi Mr. Ishii adalah kelanjutan dari karangan itu karena dia menulis
karangan berikut.
“Di atas meja saya, terpajang foto teman saya dari SD K. Saya sangat menyukai S. Kapanpun saya
pergi sekolah, saya akan memandang awan. S mungkin melihat awan yang sama. Ketika saya duduk
di kelas lima saya pindah, saya sangat ingin menangis. Foto itu mengingatkan saya akan sekolah
saya yang dulu. Saya ingin kembali.”
Setelah merobek foto S, M menulis “arwah S hadir di sisiku” Ketika beliau membaca karangan ini,
beliau begitu tersentuh sehingga meneteskan air mata dan pandangan M sangat mengesankan Mr.
Ishii. Dia membayangkan bahwa pasangan tersebut akhirnya menyadari kekonyolan mereka untuk
terus mempertahankan gangsing tersebut ketika mereka melihat gangsing tersebut dikerat tikus.
Dengan kata lain, dia menebak bahwa arwah Shota telah mengakar dengan kuat dalam hati orang
tuanya dan mereka terpisah darinya. Maka dari itu, M lebih memilih untuk merobek foto tersebut
daripada menganggapnya sebagai harta karun yang sangat berharga, and ia menulis “Arwah S hadir
di sisiku.”
Karangan akhirnya membuka kesempatan bagi sang guru untuk mengubah cara pandangan beliau
secara total atas anak-anak dan pelajaran. Hal tersebut mengakibatkan beliau berpikir bahwa beliau
sama sekali tidak memahami sastra dan pendidikan, serta akhirnya beliau merasa sangat terhempas.
Karangan M dapat dikatakan menimbulkan retakan dalam pelajaran itu. Yang pertama adalah
retakan dalam hubungan mengajar dan diajar antara guru dan anak tersebut. Dalam hal ini, guru
tidak lagi berperan sebagai seorang pengajar, dan si anak juga tidak lagi menjadi seorang siswa yang
19
selalu harus diajar. Sebetulnya, melalui peristiwa ini, Mr. Ishii merasa sangat yakin bahwa guru
dapat belajar dari anak-anak.
Retakan kedua dapat dilihat dalam perubahan pandangan terhadap anak-anak yang tersisihkan dari
kehidupan dan sejarah sekolah. Meski para siswa masih berusia sepuluh atau sebelas tahun, mereka
memiliki berbagai pengalaman yang lebih beragam dan mendalam dari pada diri beliau dan mereka
hidup dengan memegang cara berpikir serta sensitifitas masing-masing. Banyak guru yang dewasa
ini sering membicarakan mengenai “Pembelajaran dari anak”. Sedang bagi beliau, melalui peristiwa
ini beliau memahami untuk pertama kalinya apa arti kata tersebut. Melalui peristiwa ini, beliau mulai
memperkenalkan pembelajaran individu di kelasnya, karena beliau menemukan dunia yang unik dan
tak dapat diubah dalam kenyataan tiap siswa. Beliau meninggalkan pelajaran yang ditujukan bagi
massa, dan beralih pada pelajaran berbasis dialog.
Retakan ketiga menghancurkan sistem pandangan baku dalam budaya sekolah. Dalam pendidikan
sastra yang biasa terjadi, cerita yang disampaikan tidak memiliki konteks yang berhubungan dengan
kenyataan para siswa. Artinya, cerita dipandang sebagai cerita temporari yang tidak memerlukan
kenyataan. Jadi, banyak orang menganggap bahwa sastra tidak sama sekali tidak berkaitan dengan
kenyataan para pembaca. Akan tetapi, wawasan M menghancurkan budaya sekolah yang tertutup.
Dia menginterpretasikan kenyataannya melalui teks “Koma” dan dengan menyadari kenyataanya,
dia memahami cerita tersebut. Wawasan seperti itulah yang menyentuh Mr. Ishii.
Dengan membaca karangan M, ide tentang “membaca’ berubah secara dramatis. Tidaklah benar
bila hanya terdapat satu teks dalam kelas. Terdapat banyak teks untuk tiap wawasan dan juga
terdapat teks yang terbentuk atas realita yang timbul melalui pencarian wawasan. Wawasan yang
ditemukan dalam kelas merupakan alat untuk membuka kesempatan bagi kita untuk menemukan dan
menghadapi beragam teks, serta memberi kesempatan untuk saling bertukar wawasan dengan orang
lain.
Retakan ke-empat menghancurkan identitas Mr. Ishii sebagai seorang pengajar. Dan, ketika beliau
memberi pelajaran tentang “Koma”, persimpangan kehidupan terbentang di hadapan beliau, dan
beliau dihadang oleh permasalahan yang sangat besar terkait dengan sejarah hidupnya. Karena itu,
karangan M menyentuh dirinya. Dan karena M merasakan suatu kesamaan dengan Mr. Ishii, dia
menunjukkan suatu wawasan yang drastis. Dalam rangkaian proses ini, Mr. Ishii menemukan
retakan yang besar antara tubuh yang tersistem dengan tubuhnya sendiri. Beliau juga menyadari
bahwa menjadi seorang guru mengharuskan dirinya untuk hidup antara dua tubuh. Para guru tidak
akan dapat menghindari hidup dalam sistem bila mereka ingin berkomunikasi dengan anak-anak.
Seperti yang ditunjukkan kasus di atas, kita tidak bisa dengan sengaja menciptakan suatu peristiwa.
Hal itu akan dengan begitu saja terjadi tanpa memandang tujuan kita. Hal tersebut juga membuka
kesempatan bagi guru dan anak-anak untuk belajar dan tumbuh. Dengan bertujuan untuk
mewujudkan pembelajaran guru dan siswa, guru harus membuka diri mereka terhadap peristiwa
20
sekecil apapun. Titik mula dan kesempatan untuk menuju perubahan secara total dapat ditemukan di
sana.
2. Menyusun ulang masa dan ruang dari suatu
kelas
(1) Masa dari suatu kelas
Masa dari Jalur Perakitan
Pendidikan sekolah adalah suatu sistem yang menyusun materi dan pembelajaran dalam perspektif
masa yang bersifat linear: Suatu sistem tingkatan yang mengelola kurikulum untuk setiap tahun dan
menyalurkan siswa ke tingkat selanjutnya secara otomatis; sistem tiga semester yang membagi satu
tahun dengan tiga bulan; sebuah jadwal jam yang memutuskan unit-satu-minggu dari berbagai kelas;
dan kelas harian yang selesai dalam jangka waktu empat puluh lima menit. Setiap elemen yang
mengelola pendidikan sekolah dibentuk dengan membagi dan menggabungkan masa. Pendidikan
sekolah modern adalah sistem yang mengelola segala kegiatan belajar mengajar dalam unit masa.
Melalui pandangan ini, pendidikan sekolah sering diumpamakan sebagai jalur perakitan dalam
sistem produksi massal. Hal ini serupa dengan jalur perakitan mengubah tugas para tenaga ahli yang
beragam dalam bidang tertentu menjadi suatu pekerjaan yang bersifat homogen, serta menciptakan
sebuah alur pengoperasian dengan menggunakan ban berjalan pembawa barang. Selain itu,
pendidikan sekolah juga tersusun atas kurikulum yang membagi kegiatan guru dan anak yang
bersifat heterogen menjadi suatu kerja masa yang bersifat homogen, dan menciptakan unit masa
kerja yang merupakan proses satu pihak dan tidak dapat dibalik. Pandangan ini sesuai dengan fakta
sejarah. Adalah Bobit, seorang pendidik yang memulai studi ilmiah terhadap kurikulum, yang
memutuskan tujuan-tujuan khusus pendidikan, dan mengelola proses untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut serta mengevaluasi hasil-hasil melalui pengujian. Pada tahun 1912, Bobit mengungkapkan
sebuah teori kurikulum model produksi-pabrik, dengan mengacu pada makalah Tailor yang berjudul
“Prinsip menejemen ilmiah” yang diterbitkan setahun sebelumnya. Sejak saat itu, gaya pendidikan
sekolah bermodel produksi-pabrik menyebar secara cepat ke seluruh dunia. Gaya dasar pendidikan
sekolah seperti pengelolaan kurikulum dan pelajaran yang berprinsip efisiensi dan produktivitas
sistem tingkat, dan sistem mata pelajaran yang terbagi-bagi untuk para guru ditetapkan dan terus
dilestarikan hingga detik ini.
Karakter masa kelas
Karakter pertama masa kelas yang dikelola sebagai jalur perakitan adalah satu-pihak dan linear.
21
Pembelajaran dalam kelas tersistem diumpamakan seperti menapaki tangga setapak demi setapak,
dan tidak dapat dibalik. Proses pendidikan linear dan satu pihak ini tidak hanya mendorong suatu
pemilihan dan permintaan siswa berdasarkan jumlah daftar permintaan dan kecepatan, namun juga
dapat membatasi pengalaman pembelajaran untuk menjadi sesuatu yang tidak dapat dibalik serta
tidak dapat diulang. Sebut saja, pembelajaran, dalam kasus ini, hanya terbatas pada suatu kerangka
pengertian tentang penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tertentu. Seperti yang dinyatakan oleh
Philip Jackson dalam tesisnya yang berjudul “Kehidupan dalam Kelas”, guru sering kali
menjalankan tugas mereka dalam kelas dengan memperhatikan jadwal jam yang secara artifisal
dibagi dengan jalur masa linear dan satu pihak. Di sisi lain, para siswa belajar untuk menunggu
giliran mereka.
Masa: di masa kini dan di tempat ini
Akan tetapi, garis masa pada pendidikan sekolah tidak selalu terbatas pada kerangka jalur
perakitan. Misalnya, terdapat sekolah terbuka yang merumuskan tujuan-tujuan mereka atas
pembaharuan kelas sebagai suatu masa yang fleksibel. Mereka tidak hanya melaksanakan
pembelajaran sintetis seperti pembelajaran tema dan pembelajaran topik yang bertujuan untuk
menciptakan sebuah tema dan pengungkapan diri, namun juga memperkenalkan sistem kelas
pencangkokan-tingkat-dua. Yaitu, dengan mengulang pembelajaran yang memiliki tema yang sama
sebanyak dua kali dalam dua tahun, para siswa berkesempatan untuk menempatkan diri mereka
dalam dua kedudukan: sebagai siswa yunior dan sebagai siswa senior. Gaya sistem kelas ganda
memiliki lebih banyak kelebihan dibanding pembelajaran jalur perakitan, meski hal tersebut juga
memiliki kelemahan yaitu tidak se-efektif sistem tingkat yang kaku. Dengan mengembangkan
pendalaman pembelajaran secara berulang-ulang dan melalui pengalaman dua posisi yang berbeda
sebagai yunior dan senior, para siswa memiliki kesempatan untuk memperkaya pengalaman sosial
mereka dan membuat sejarah atas pembelajaran mereka sendiri. Kita semua perlu mengetahui bahwa
sistem kelas ganda ini telah diperkenalkan di banyak Negara seperti AS, Inggris, Kanada, dan
Prancis, sebagai salah satu indikator reformasi kelas.
Karakter kedua dari masa kelas yang dikelola sebagai jalur perakitan adalah homogenitas. Masa
dalam kelas dibatasi pada masa yang seragam dan berlanjut sehingga tidak memiliki riak dan
elastisitas seperti sebuah tongkat yang diperpanjang secara homogen.
Dengan melihat bagaimana guru veteran berbicara dan bersikap dalam kelas, kita menemui bahwa
kata-kata yang mereka ucapkan serta tubuh mereka tampak sebagai suatu homogenitas seperti air
yang mengalir melalui saluran irigasi yang lurus. Apa yang hilang dalam masa yang teratur dan
homogen adalah masa untuk hidup di masa kini dan di tempat ini. Masa untuk hidup di masa kini
dan di tempat ini selalu tertunda agar dapat mencapai tujuan serta memenuhi tugas yang telah
22
ditetapkan. Begitu juga masa yang dialami para siswa dalam kelas. Kita sering melihat mereka
melompat keluar dari kelas ketika pelajaran berakhir seperti burung-burung yang lepas dari sangkar.
Hal ini mengisyaratkan bahwa tubuh mereka yang terkungkung dalam jalur perakitan menjadi bebas
untuk hidup di masa di masa kini dan di tempat ini.
Meski masa kelas yang melembaga tercirikan dengan homogenitas, tidak semua masa kelas
bersifat homogen. Serupa dengan bahwa tidak semua masa untuk hidup di masa kini dan di tempat
ini direnggut dari para siswa dan guru. Beberapa orang guru menciptakan alur masa yang cukup
alami untuk melupakan waktu seperti aliran air yang bebas di sungai yang lebar; yang terasa padat
dan tanpa sadar waktu-pun berlalu seketika. Dalam kelas ini, bukanlah masa kuantitatif yang
homogen yang berlalu, namun masa kualitatif.
Misalnya, salah satu hal yang sangat mengesankan dari kelas inovatif di sekolah terbuka Amerika
yang tradisional adalah masa di sana terasa padat dan masa kualitatif berlalu tanpa disadari. Di sisi
lain, masa kualitatif untuk hidup di masa kini dan di tempat ini yang timbul, menghancurkan
kerangka masa kuantitatif yang melembaga secara homogen, meski di kelas-kelas Jepang dimana
para siswa dan guru dapat berpartisipasi dan yang seharusnya juga menjalani masa mereka sendiri.
Karakter ketiga adalah bersifat terpisah. Masa kerja yang ditempatkan pada ban berjalan dibagi
menjadi mulai dari empat hingga enam bagian terpisah yang tersusun atas pelajaran berdurasi empat
puluh lima menit. Dengan mengakumulasikan fragmen-fragmen, kurikulum tertentu-pun terpenuhi.
Pengaturan masa kerja ini memiliki kontinuitas dan konsistensi dalam memenuhi kurikulum tertentu,
namun diragukan bila, berdasar pengalaman pembelajaran anak-anak, bahwa hal tersebut memiliki
kontinuitas dan konsistensi.
Waktu pelajaran yang secara tegas dibuat menjadi empat puluh lima menit membawa kepalsuan
yang dangkal ke dalam pelajaran. Misalnya, terdapat sejumlah mata pelajaran yang sengaja diberi
alokasi waktu selama empat puluh lima menit, meski para siswa dari tingkat bawah pun sudah cukup
mempelajarinya dalam waktu dua puluh empat menit. Di sisi lain, tidak mengejutkan jika sejumlah
mata pelajaran yang seharusnya diberi waktu selama enam puluh lima menit untuk memperkaya
kualitas kerja dan penelitian yang berhubungan dengan sifat mereka secara paksa di potong menjadi
empat puluh lima menit. Kita perlu memperhatikan masalah-masalah pengaturan pelajaran bersifat
terpisah yang akan menghilangkan kontinuitas pembelajaran siswa. Suatu pelajaran seni yang lebih
baik dilaksanakan dalam waktu empat jam daripada empat puluh lima menit akan menghilangkan
kesan yang mendalam pada anak-anak bila pelajaran tersebut dibagi menjadi dua periode.
Sehubungan dengan keterpisahan masa dalam kelas, sebuah resolusi yang memberi fleksibilitas
pada masa bisa dijalankan. Resolusi tersebut adalah pengaturan masa kelas secara fleksibel, yaitu
dibagi secara otomatis dan formal sesuai dengan tema atau situasi anak-anak. Untuk hal ini,
beberapa kasus seperti pendidikan terbuka di AS, Pendidikan Frenee di Prancis, dan beberapa kelas
inovatif yang mengikuti model pendidikan asing, membawa pengarh yang cukup besar. Meski
23
jadwal jam untuk model pendidikan juga dibagi dan diatur berdasar sejumlah kecil mata pelajaran,
tidak ada masa istirahat yang disisipkan secara terpisah di antara jam pelajaran. Dan mereka tidak
membunyikan genta atau bel ketika pelajaran berawal dan berakhir. Dalam alur waktu yang
berkelanjutan, sejumlah jenis pembelajaran dijalankan secara bergantian. Jadi, mereka menggunakan
jadwal jam secara fleksibel. Entah jam pelajaran diperpanjang atau tidak ditentukan oleh isi dan
situasi pembelajaran anak-anak.
Mungkin jenis jadwal jam yang fleksibel ini akan sangat sulit dilaksanakan di sekolah menengah
pertama yang tiap gurunya bertanggung jawab mengajar satu mata pelajaran tertentu. Namun,
baru-baru ini di AS, mereka mencoba untuk mengatur jadwal jam pelajaran yang mengelola jadwal
di pagi hari dalam tim pengajaran. Beberapa sekolah-sekolah menengah Jepang mencoba untuk
memperoleh kembali kebebasan dan fleksibilitas dengan meningkatkan jumlah pelajaran yang
dilaksanakan selama dua jam.
Yang telah kita amati sejauh ini, kelas adalah sebuah tempat dimana terjadi konflik antara masa
baku yang dibagi dan disamakan secara sepihak, dengan masa guru dan anak-anak yang mereka
jalani sendiri di masa kini dan di tempat ini. Sebagai tambahan, apakah waktu baku ini dapat
dihancurkan atau tidak tergantung pada para guru. Untuk melakukan hal itu, para guru itu sendiri,
yang mengatur kedua jenis waktu ini, harus menjalani masa mereka sendiri, yaitu waktu yang
dijalani di masa kini dan di tempat ini, serta harus membagi waktu seperti itu dengan anak-anak.
(2) Ruang dalam Kelas
Kelas sebagai ruang kekuasaan
Ruang dalam kelas menentukan pelajaran dan pembelajaran secara kualitatif. Dalam kelas,
terdapat banyak benda yang ditempatkan: papan tulis, panggung, serta lebih dari empat puluh meja
dan kursi. Lokasi benda-benda ini mengisyaratkan hubungan komunikasi dan kekuasaan antara guru
dan anak-anak. Lokasi benda-benda ini dapat membangun hubungan kekuasaan secara sadar atau
tidak karena mereka mengatur serta menyusun berbagai pengetahuan dan para individu yang akan
dengan mudah tercerai berai tanpa kehadiran peralatan ini. Mereka adalah daya yang menyusun dan
membentuk individu-individu yang terpisah.
Apa yang paling merepresentasikan kekuasaan dalam kelas, misalnya, adalah panggung dan meja.
Namun, kedua benda ini tidak selalu diperlukan dalam kelas. Sebenarnya, sejumlah sekolah telah
memutuskan untuk tidak menggunakan kedua benda ini. Bila mereka memiliki fungsi tertentu, maka
fungsi tersebut adalah untuk mengawasi anak-anak. Karena itu mereka ditempatkan di pusat ruang
kelas untuk mengawasi anak-anak dan menyampaikan kata-kata guru.
Ukuran untuk mengubah struktur kekuasaan saat ini telah diambil oleh banyak guru. Ketika guru
memindahkan panggung dan meja atau berbicara di samping peralatan ini, kata-kata guru berubah
dari pesan dan penjelasan menjadi narasi dan dialog. Sehubungan dengan meja guru, meja tersebut
24
menyediakan tempat bagi guru untuk meletakkan catatan dan buku mereka, serta untuk
menyeimbangkan tubuh mereka. Namun, ketika mereka mencoba berkomunikasi dengan anak-anak,
meja ini akan menjadi halangan yang membagi ruang kelas menjadi dua: ruang dimana guru berdiri
dan ruang dimana anak-anak duduk. Hanya dengan berdiri di sebelah meja, tubuh guru dapat
memperoleh kembali hubungan langsung dengan tubuh anak-anak, dan guru kembali dapat
menangkap pesan dari anak-anak.
Untuk menghadap anak-anak dari sudut pandang yang sama tinggi, ada sejumlah kecil guru yang
memakai meja tulis dan kursi. Hal tersebut dibutuhkan untuk menciptakan ruang dimana guru dan
anak-anak saling berdiskusi dengan menggunakan meja yang sama seperti sebuah seminar yang
diadakan di universitas.
Lokasi kursi dan meja tulis anak-anak juga merepresentasikan hubungan kekuasaan di antara
mereka. Ruang dalam kelas yang cocok untuk pelajaran pesan dan penjelasan satu-pihak bermodel
satu-ke-banyak secara kuat didukung oleh meja tulis dan kursi yang ditempatkan dalam bentuk
barisan dan menghadap papan tulis. Sekali lagi, mereka menyimbolkan sistem pengawasan.
Berkebalikan dengan sifat satu-pihak, sejumlah guru mencoba untuk merancang ruang dalam kelas
demi komunikasi yang positif antar anak dengan menempatkan meja tulis dan kursi seperti gaya
kelompok kerja. Ada juga sejumlah guru yang melaksanakan pembelajaran kolaboratif dengan
mengumpulkan meja tulis dan merancang sebuah bentuk kelas tertentu. Meja-meja diposisikan
semacam ini agar memberi kesempatan bagi para siswa dan guru untuk menciptakan mono-sistem
yang mengumpulkan bagian-bagian pengetahuan dan pendapat dalam suatu pusat perbedaan, dan
memberi kesempatan kepada mereka untuk berdiskusi dan bekerja secara swantatra dan kolaboratif.
Pengaturan ruang
Pengaturan ruang yang tersebut di atas telah dijalankan secara luas di tiap sekolah di Jepang.
Baru-baru ini, inovasi yang radikal telah dilaksanakan dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong
yang tidak terpakai. Misalnya, seorang guru melaksanakan praktek pendidikan gaya Jepang kuno
yang bernama “Terakoya” dengan menggelar tatami (tikar Jepang) seluas kamar tersebut dan
menempatkan sejumlah meja di sana. Basis praktek pendidikan ini adalah untuk mewujudkan
pembelajaran individu seperti yang dilaksankan di jaman Edo dan sebagai praktek lanjutan, beliau
mengaplikasikan kerja kelompok dan menerapkan pelajaran yang komunikatif dengan saling berbagi
informasi dengan seluruh anggota kelas. Gaya pelajaran “Terakoya” ini memungkinkan siswa
berkonsentrasi pada tugas mereka msaing-masing dan saling mengajar dalam hubungan yang alami.
Saya akan menunjukkan praktek lain. Dengan adanya kerjasama masyarakat lokal dan dukungan
bahan oleh mereka, sebuah sekolah dasar membangun ruang kelas yang sama dengan ruang tamu
rumah kuno Jepang yang bertikar di sekolah. Ruang ini digunakan ketika mereka mempelajari
dongeng rakyat dan cara hidup kuno orang-orang daerah yang sudah berusia lanjut, dengan begitu
25
mereka merasakan kehidupan Jaman Meiji, merasakan ruang rumah kuno serta bertemu secara rutin
dengan para orang lanjut usia yang ada di daerah itu. Ruang tersebut juga menyediakan pilihan bagi
mereka atas pembelajaran. Para siswa juga berkesempatan untuk memainkan drama mengenai apa
saja yang telah mereka pelajari di sana.
Dengan mempertimbangkan tren atas inovasi pelajaran sekolah, kita dapat mengatakan bahwa
semakin banyak inovasi yang tidak mengenal rasa takut yang berpusat pada pembelajaran anak-anak
semakin dibutuhkan. Karena terpengaruh oleh tren penurunan jumlah anak dalam keluarga dewasa
ini, jumlah anak dalam tiap kelas hanya sebaesar tiga puluh dua orang. Kecuali di daerah perkotaan,
jumlah siswa per kelas sebanyak dua puluh enam orang. Sedang bagi guru, jumlah siswa per guru
berubah menjadi sebesar dua puluh anak di sekolah dasar, delapan belas anak di sekolah menengah
pertama, dan tujuh belas anak di sekolah menengah atas. Kondisi pengaturan lingkungan ruang kelas
untuk meningkatkan pedagodi yang terpusat pada anak saat ini sedang diatur.
Ruang dengan kehangatan dan warna
Salah satu model lingkungan kelas untuk pembelajaran yang terpusat pada siswa adalah suatu
kelas pendidikan terbuka Amerika. Secara umum, ruang untuk pendidikan terbuka dipisah menjadi
tiga bagian: ruang berkarpet untuk diskusi, ruang dengan meja tulis dan meja bagi tiap individu
untuk tugas kolaboratif, dan ruang multi guna untuk membaca, bermain dan sebagainya. Dan di
setiap pojok ruangan, terdapat tempat untuk buku-buku dan media untuk mendengarkan pelajaran
matematika, sains, seni, yang bertujuan untuk menarik siswa dan mendukung pembelajaran mereka.
Berbagai gambar serta beragam materi ditempelkan di dinding dan bermacam-macam cat warna,
pensil warna, kertas, dan alat-alat tulis di sediakan di rak buku. Hal yang sangat mengejutkan bagi
saya adalah mayoritas benda tersebut merupakan benda daur ulang seperti kancing, kaleng, wadah
film, dan kertas berpola. Materi dan ruang yang fleksibel ini mewujudkan pembelajaran yang aktif
dan bersifat kolaboratif dalam kelas. Pengalihan fungsi kelas dari mengajar menjadi pembelajaran
kolaboratif di Jepang, dibanding dengan Negara-negara di Amerika dan Eropa, memang baru saja
dimulai. Akan tetapi, benar adanya bahwa sejumlah sekolah di Jepang mencoba untuk merancang
lingkungan seperti ruang untuk pendidikan terbuka. Mr. Tanaka, yang menerapkan pendidikan
Frenee, menjalankan lingkungan pembelajaran semacam itu.
Dalam kelas beliau, meja guru dikeluarkan. Sistem pengawasan hanya akan terjadi bila terdapat
meja guru dalam ruangan. Kelas ini terdiri atas dua ruangan: setiap individu belajar di meja tulis
masing-masing; juga terdapat ruangan untuk pembelajaran kolaboratif. Ada berbagai peralatan dan
materi seperti karangan siswa yang dipasang di dinding, komputer, surat dari sekolah-sekolah lain,
lembaran rencana pembelajaran, dokumen, dan lain-lain. Di rak buku, Mr. Tanaka menyimpan
ratusan lembar penelitian. Jadi, ruang kelas beliau berfungsi sebagai alat untuk mengakumulasi dan
26
menyampaikan hasil pembelajaran anak-anak. Di sebelah kelas, sebuah terdapat ruang tambahan
bagi seluruh siswa yang dilengkapi dengan karpet, alat-alat lukis, alat-alat kayu untuk berkarya, dan
lain sebagainya.
Cukup jelas bahwa ruang kelas beliau serupa dengan pendidikan terbuka di Negara-negara Eropa.
Akan tetapi, kesamaannya tidak hanya dapat ditemukan dalam komposisi peralatan dan materi saja.
Bila kelas konvensional dirancang sesuai fungsi dan dibangun secara tidak alami seolah kelas
tersebut adalah rumah sakit atau penjara, ruang dalam kelas yang dirancang sesuai dengan
pendidikan terbuka memiliki struktur yang memiliki kehangatan dan warna untuk menenangkan
anak-anak. Ruangan mereka didesain sebagai tempat yang nyaman bagi para siswa dan memberi
kesempatan bagi mereka untuk belajar secara kolaboratif.
(3) Pertimbangan ulang atas kata-kata dan
tubuh dalam kelas
Pelajaran dilaksanakan dengan tubuh dan bertukar kata-kata secara langsung pula. Dalam hal ini,
kita bisa mengatakan bahwa pelajaran itu hidup. Namun kehidupan ini dicabut dari pelajaran dan
dibatasi pada sistem dan program yang bersifat formal, mekanis, dan artifisial. Di sini kita akan
mencari jalan untuk memecahkan masalah ini, dengan berfokuskan pada kata-kata dan tubuh
anak-anak serta guru dalam kelas.
Karakter bahasa kelas
Dengan menganggap kelas sebagai ruang bahasa, kita menemui bahwa bahasa kelas dapat diamati
hanya ketika kelas diadakan. Contoh dari bahasa ini adalah seorang guru berbicara dengan intonasi
yang naik ketika sedang memakai bahasa Inggris. Di Jepang, sejumlah intonasi yang unik
dipergunakan di kelas yang para gurunya yang berbicara dalam bahasa Inggris. Di kelas Jepang, kita
bisa menunjukkan beberapa karakter bahasa kelas, seperti perangkat frasa dan jargon yang tidak
dapat diamati di negara lain. Banyak kata gabungan yang berkali kali mengejutkan saya.
Beberapa karakter bahasa kelas dapat diamati dalam struktur pembicaraan dari suatu komunikasi.
Mehan (1979), yang menganalisa bahasa kelas melalui etno-metodologi yang disebut discourse
analysis, mengindikasikan karakter struktur yang lebih konvensional bila dibanding dengan
pembicaraan sehari-hari.
<PEMBICARAAN SEHARI-HARI> <PEMBIACARAAN DALAM KELAS>
Jam berapa sekarang? Jam berapa sekarang? (I)
Jam dua. Jam dua. (R)
27
Terimakasih. Tepat sekali. (E)
Perbedaan antara kedua pembicaraan ini terlihta sangat jelas. Dalam pembicaraan sehari-hari,
orang yang tidak memiliki informasi bertanya kepada orang yang memiliki informasi, dalam
pembicaraan di kelas, orang yang memiliki informasi-lah yang bertanya kepada orang yang tidak
memiliki informasi. Pembicaraan normal terdiri atas tiga unit: pertanyaan, respon, dan ucapan
terimakasih; sementara, pembicaraan dalam kelas terbentuk atas tiga unit: pertanyaan, respon, dan
evaluasi. Dengan mengevaluasi apa yang dikatakan anak-anak, unit minimal sebuah pembicaraan
terpenuhi. Mehan (1979) menyatakan bahwa struktur pembicaraan kelas dicirikan sebagai struktur
I-R-E yang kepanjangannya adalah inisiatif guru, respon siswa, dan evaluasi guru. Sedang
pembicaraan sehari-hari bersifat binominal: salam terhadap salam, respon terhadap pertanyaan, serta
salam tanggapan terhadap ucapan terimakasih. Di sisi lain, pembicaraan kelas berdasar pada
hubungan trinominal, dan diakhiri dengan evaluasi.
Hal yang paling penting sehubungan dengan struktur I-R-E adalah evaluasi yang mendukung
hubungan kekuasaan dalam kelas, dan penentuan hubungan kekuasaan serta otoritas tersebut dalam
kelas, tergantung pada siapa yang mengevaluasi apa, dan siapa yang mengambil inisiatif. Struktur
I-R-E, sebenarnya, berfungsi sebagai struktur yang dominan dalam komunikasi di kelas. Jenis-jenis
pembicaraan diulang tiga kali per menit dalam sejumlah pelajaran; artinya, anda dapat
mengamatinya lebih dari ratusan kali dalam tiap pelajaran. Hal tersebut sama seperti senapan mesin
yang mengeluarkan jutaan tembakan pertanyaan. Anda mungkin berpikir bahwa apa yang saya
katakan terdengar mengada-ada, akan tetapi, sebetulnya sejumlah guru akan terus mengajukan
berbagai pertanyaan kepada anak-anak sampai mereka memberi jawaban yang benar.
Struktur dominan dari bahasa kelas dapat diubah secara drastis dimulai dengan mengubah
pertanyaan yang diajukan kepada anak-anak. Hal ini juga dapat dilakukan dengan mendiversifikasi
respon dan mengelola berbagai pendapat anak-anak. Terdapat ruang bahasa yang jauh lebih rumit
dan berlapis daripada struktur yang di analisa Mehan di kelas yang tidak hanya guru namun yang
para siswanya juga dapat mengajukan pertanyaan sederhana dan pertanyaan tersebut dihargai oleh
semua anggota kelas, atau dalam suasana yang beragam pendapat dapat dengan mudah saling
berinteraksi. Selain itu, di ruang bahasa yang rumit dan berlapis inilah pengalaman siswa dalam
pembelajaran dapat berkembang. Karena ruang bahasa yang berlapis membentuk suatu kelas, maka
pelajaran dan pembelajaran yang diperkaya dapat dikembangkan dalam kelas dimana pertanyaan
yang sederhana dan unik dihargai, dan penuh dengan canda dan tawa.
Karakter lain bahasa kelas diungkapkan dalam kata-kata guru. Yang paling nyata adalah cara guru
membahasakan diri mereka sendiri; dalam Bahasa Jepang mereka menyebut diri sendiri sebagai
“guru”. Mereka tidak menyebut diri mereka dengan kata “Saya”, misalnya, mereka mengatakan
“Hari ini, guru akan menyampaikan sesuatu kepada kalian.” Dalam Bahasa Jepang, banyak
28
pekerjaan yang dibahasakan sebagai “guru” seperti dokter, pengacara, dan lain-lain; namun hanya
guru yang membahasakan diri mereka sebagai “guru”. Sepertinya, cara membahasakan diri mereka
sendiri sangat mirip dengan penggunaan kata ganti orang dalam hubungan orang tua dan anak; orang
tua membahasakan diri mereka dengan kata “ibu” atau “ayah” dalam Bahasa Jepang. Namun,
penggunaan kata ganti orang pada guru berfungsi membangun hubungan kekuasaan yang unik dalam
sistem sekolah.
Pertama, guru yang memanfaatkan penggunaan ini mengungkapkan pendapat mereka seolah
mereka sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hal itu dan mencoba untuk menyembunyikan
serta mengasimilasikan hubungan diri mereka dengan orang lain. Bila seluruh kekuasaan diciptakan
sebagai sebuah fungsi asimilasi dalam hubungan interpersonal dan kekuasaan tersebut
diaktualisasikan dalam individu melalui asimilasi terhadap orang lain, membahasakan diri mereka
sendiri sebagai “guru’ bukan “saya” mewakili hubungan kekuasaan yang sudah mendarah daging
pada guru.
Dengan menyembunyikan serta menyatukan diri mereka dengan makhluk yang tak berwajah dan
tak berbentuk seperti “guru”, mereka yang menyalahgunakan “guru’ dihadapkan pada resiko
kehilangan identas diri mereka sebagai seorang guru. Guru tanpa menjadi orang pertama yang
sungguh-sungguh hidup di dunia dapat berperan sebagai guru; namun mereka tidak akan pernah
dapat hidup di dunia sebagai orang pihak pertama. Karena tidak ada hubungan pribadi dan dialog
“Kamu-dan-saya” dalam kelas semacam itu, para siswa-pun memainkan peran sebagai “siswa” dan
sebenarnya mereka tidak menjadi siapapun. Dengan kata lain, guru yang menguasai kelas dan
memainkan peran sebagai “guru” mewujudkan otoritas institusi sebagai keinginan individu. Karena
otoritas serta keinginan mereka, mereka kehilangan dunia mereka sendiri untuk hidup, dan
kehilangan hubungan dialog “Kamu-dan-saya” dengan siswa.
Sifat paradoks kekuasaan yang dimiliki guru-pun timbul. Guru yang hidup dengan mengenakan
topeng guru memang memperoleh kekuasaan; namun, di saat yang sama dia kehilangan otonomi dan
kekuasaan sebagai seorang guru karena hukuman fisik yang dia jalankan menjadi simbol
ketidak-berdayaan sebagai seorang guru. Kasus struktur pembicaraan I-R-E serupa dengan situasi
paradoks ini karena pelajaran yang pembicaraannya tersusun dalam struktur I-R-E bukan disebabkan
oleh penyalah-gunaan, akan tetapi oleh ketidak-berdayaan guru. Ketika guru menjalankan kekuasaan
mereka sebagai suatu kewenangan, mereka mengalami ketidak-berdayaan dan kekosongan sebagai
aktor ilmu didik; sebaliknya, bila mereka menghilangkan kekuasaan serta membuat diri mereka tidak
berdaya, guru akan dapat merasakan rasa pemenuhan untuk memperoleh kembali daya pedagogi
sebagai seorang pelaksana.
Tubuh yang terprogram
29
Fenomena unik yang terungkap dalam bahasa kelas dapat diamati pada tubuh anak-anak dan guru.
Seperti yang kita perhatikan dalam bagian “Masa di Kelas”, hal tersebut sangat bermanfaat bagi kita
untuk mepertimbangkan kembali kelas sebagai suatu tempat dimana tubuh yang terlembaga dengan
tubuh yang hidup sebagai diri sendiri saling berlawanan. Dewasa ini, ketika mengamati suatu
pelajaran, saya sering dikejutkan dengan keadaan tubuh dan perkataan guru yang berfungsi
seolah-olah telah diinstal sebagai suatu program dalam komputer. Atau, lebih tepatnya tubuh mereka
telah terprogram.
Terdapat jutaan contoh untuk mengindikasikan tendensi ini: sebuah tubuh yang acuh terhadap
anak yang tidak menerima perkataan guru, meski guru tersebut tidak berhenti memberi penjelasan;
sebuah tubuh tertutup yang, meski terputus hubungan dengan anak-anak, tidak dapat menyadarinya;
sebuah tubuh yang hanya mengirim pesan, namun tidak pernah menerima reaksi serta pesan dari
anak-anak; sebuah tubuh yang tidak memiliki emosi dan mati rasa. Tubuh anak-anak-pun menjadi
kaku dan kehilangan daya energi dalam kelas ketika guru yang memiliki tubuh semacam itu
mengajar mereka.
Tubuh guru yang terprogram selalu memaksa dia untuk mengamati apa yang telah dia rencanakan
serta langkah apa untuk melanjutkan pelajaran; hanya memikirkan pertanyaan dan langkah
selanjutnya. Tubuh ini diprogram untuk melaksanakan pelajaran, hanya memperhatikan mengenai
bagaimana menghubungkan pernyataan siswa dengan langkah selanjutnya serta bagaimana
menginkorporasikan mereka dengan rencana, tanpa mempedulikan makna dan kesan pernyataan
tersebut ataupun menerima anak-anak secara seutuhnya bahkan ketika mereka sedang berbicara.
Tubuh ini dapat dianggap sebagai mesin yang menjalankan sebuah program. Budaya guru yang
terorientasi kepada panduan sering mendapat kritik dan mungkin hal tersebut disebabkan oleh tubuh
mereka yang telah terprogram dan tersistem. Akar dari permasalahan ini sangat mendalam.
Membuka tubuh terhadap peristiwa
Saya ingin merekomendasikan kepada guru agar membuka tubuh terhadap peristiwa sehingga
mereka dapat meninggalkan program.
Kelas adalah sebuah tempat untuk menemui berbagai peristiwa. Artinya, para guru dan anak-anak
tidak dapat secara sengaja menciptakan suatu peristiwa. Hal-hal yang terjadi secara disengaja atau
dijadwalkan tidak bisa disebut sebagai peristiwa tapi hasil. Sebuah peristiwa adalah suatu insiden
yang membentuk situasi dan hubungan baru yang berlawanan dengan harapan serta hanya terjadi
pada saat ini dan di tempat ini.
Pernyataan umum mengenai pelajaran adalah untuk memenuhi tujuan dan mengembangkan
teknologi dan program pendidikan dengan menganalisa proses serta kondisi mereka. Dalam
generalisasi dan konseptualisasi proses serta kondisi, peristiwa tunggal dan konkrit bisa menghilang.
30
Bila guru dapat membebaskan diri dari sistem dan membuka tubuh mereka terhadap peristiwa,
pelajaran akan berkembang menjadi suatu jalan untuk mencium berbagai kemungkinan untuk
mempelajari kesenjangan antara rencana dengan kenyataan, serta untuk menyusun kembali
pembelajaran yang terwujud dalam kesenjangan tadi.
Peristiwa ini, seperti yang kita lihat dalam bagian pertama, muncul dalam lingkaran pelajaran. Di
pelajaran manapun, terjadi ribuan peristiwa yang mengganggu kelangsungan program dan memaksa
guru untuk merefleksi intensi dan rencana, serta memodifikasi mereka. Masalahnya adalah apakah
tubuh guru dapat terbuka terhadap peristiwa atau tidak.
Meski banyak peristiwa muncul, mereka dapat lenyap begitu saja tanpa seorangpun yang
memperhatikan. Peristiwa ini juga sangat jarang muncul di atas panggung. Salah satu sebabnya
adalah mereka bersikap acuh terhadap peristiwa yang terjadi dalam lingkaran, dan jauh lebih
mempedulikan intensi, rencana, dan ekspektasi. Peristiwa selalu terjadi hanya dalam lingkaran. Apa
yang diperlukan untuk memperbaikinya adalah dengan membuka tubuh terhadap peristiwa serta
perkataan dan pertanyaan retoris guru.
3. Refleksi dalam kelas---Seorang guru sebagai
aktor reflektif
Suatu titik balik yang sangat besar telah menghampiri pelajaran di Jepang. Hal tersebut adalah
perubahan dari pembelajaran pasif dan pelajaran yang sistemnya didesain hanya untuk infusi dan
akuisisi ketrampilan serta pengetahuan, menjadi penerapan yang berlipat ganda dan berlapis yang
membuka peluang bagi anak-anak dan guru untuk mempertimbangkan makna obyek pendidikan.
Perubahan paradigma ini tidak hanya timbul di Jepang namun juga Negara-negara Eropa, yang
dinyatakan sebagai perubahan ide dari praktek yang berifat teknis menjadi praktek yang bersifat
reflektif. Dalam bab ini, sejalan dengan perubahan paradigma ini, kita akan mempertimbangkan
prospek inovasi terhadap pelajaran baru.
(1) Pelajaran reflektif
Pendapat atas praktek yang bersifat reflektif dicetuskan oleh Donal Schon, seorang professor di
jurusan filosofi di MIT, dalam makalahnya “Praktisioner yang Reflektif: Bagaimana Pemikiran para
Profesional dalam Tindakan” (1983). Dia menegaskan bahwa, melalui beberapa kasus penelitian
tentang para professional dalam bidang arsitektur, perencanaan kota, psikologi klinis dan konsultan
menejemen, para professional modern bekerja dengan memanfaatkan kelebihan dalam praktek
reflektif yang berbasis refleksi dalam proses tindakan mereka, dan bukan praktek teknis yang bebasis
pada rasionalitas teknis. Bila praktek teknis berdasar pada teknik dan asas ilmiah yang bisa
31
diaplikasikan setiap saat, praktek reflektif lebih condong untuk merefleksi sebuah masalah dengan
memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan secara penuh serta untuk bekerja sama dengan klien
sehingga mereka dapat memecahkan masalah rumit yang timbul dalam situasi yang sulit, dengan
mengembangkan pemikiran reflektif.
Pengajaran Reflektif adalah sebuah penerapan gaya praktek yang bersifat reflektif dalam
pendidikan. Hal ini merupakan suatu ide yang berlawanan dengan pendapat bahwa pelajaran adalah
praktek teknis yang menerapkan asas-asas serta program-program umum dan ilmiah, dan arti
pelajaran berbasis refleksi pada peristiwa dalam kelas adalah pengenalan terhadap praktek. Schon
mendefinisikan pengajaran reflektif sebagai sebuah pelajaran yang guru beserta muridnya saling
memperdalam pemikiran reflektif antara satu sama lain, dan sebagai salah satu metode untuk
melaksanakannya, dia menyatakan agar kita memberi alasan kepada anak.
Saya akan menunjukkan suatu contoh konkrit dari praktek pengajaran reflektif yang saya amati di
kelas 5 di Negara Bagian Michigan. Pelajaran tersebut dilaksanakan oleh Susan Wilson, seorang
professor yang mengambil spesialisasi dalam bidang ilmu sosial di Universitas Negeri Michigan.
Dia melaksanakan penelitian dengan menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar di pagi hari, dan
menjadi professor di universitas di siang hari.
Topik pelajaran ketika saya berkunjung adalah “Di mana ibu kota Negara Bagian Michigan?” dan
anak-anak diminta untuk mengisi peta buta Negara bagian Michigan. Anak-anak memberi dua
jawaban, yaitu: sejumlah anak menganggap bahwa ibu kota tersebut terletak di pusat Negara bagian;
sedang yang lain menganggap bahwa ibu kota tersebut terletak di bagian tenggara Negara bagian di
dekat Danau Ellie. Mereka mencoba membahas pandapat pertama, dengan mengajukan alasan
bahwa bila ibu kota berlokasi di pusat Negara bagian, maka akan menguntungkan dalam bidang
transportasi dan geografi. Setelah itu, mereka berdiskusi mengenai pendapat kedua dan beberapa
anak berkeras bahwa ibu kota tersebut pasti berlokasi di bagian tenggara Negara bagian yang
memiliki banyak kota industri seperti Detroit di bagian tenggara. Sepertinya ibu kota tersebut
memang berlokasi di bagian tenggara Negara bagian; namun, ketika mereka melihat peta Negara
bagian, mereka terkejut. Ibu kota Negara bagian yang sebenarnya terletak di bagian selatan Negara
bagian, meski hanya terdapat sejumlah industri dan jumlah populasi yang rendah. Ketika diskusi ini
terus berkembang, keadaan historis menunjukkan bahwa ibu kota tersebut harus dilokasikan di
bagian selatan Negara bagian agar proses administrasi para penduduk yang berdatangan jauh lebih
mudah.
Wilson menyebut kelas ini sebagai pengajaran reflektif yang didukung oleh pemikiran reflektif.
Apa yang dicari bukanlah hasil jawaban yang tepat. Apa yang ingin dia capai adalah kesimpulan
yang bisa menjadi basis pengetahuan, serta rekognisi yang hanya dapat terwujud melalui interaksi
siswa dalam mencapai kesimpulan. Dia menghabiskan satu jam untuk berlatih melaksanakan kelas
ini; atau, dia memiliki pilihan lain seperti hanya dengan mengajukan pertanyaan kepada anak-anak
32
“Di mana letak ibu kota kita?” Namun, dia menginginkan anak-anak agar bisa mengalami pencarian
basis rasional, dengan memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan basis pendapat
mereka meskipun tidak tepat.
Dalam rangkaian proses tersebut, strategi memberi alasan kepada anak-anak, seperti yang
disampaikan oleh Schon, telah terbangun. Meski jawaban yang diberikan salah, tetap terdapat suatu
dunia pertimbangan. Apa yang harus kita lakukan adalah untuk tidak memutuskan apakah jawaban
yang disampaikan benar atau salah, namun untuk memandang melalui dunia pertimbangan yang
tersembunyi dibalik tiap jawaban dan membangun sebuah jalan menuju kebenaran secara kolaboratif
dengan berbagi dan mengiteraksikan refleksi. Melalui pertukaran pemikiran reflektif antara guru dan
anak-anak, mereka berhasil membentuk sebuah discourse community dimana wacana mengenai
rekognisi sosial dapat mereka alami bersama.
(2) Praktek kasat mata dan tak kasat mata
Dua pelajaran
Paham pengajaran reflektif menyediakan sebuah sudut pandang alternatif yang mengubah
rekognisi awal, yang artinya, penerapan pelajaran adalah suatu penerapan asas-asas serta
teknik-teknik umum. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan perubahan menuju pelajaran dimana
guru merespon setiap peristiwa dengan melakukan improvisasi atas apa yang sedang berubah dengan
wawasan makna dan relasi yang tercipta dalam kelas. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam atas refleksi dalam proses kegiatan yang dikembangkan guru, kita akan melihat sebuah
perbandingan dari dua pelajaran yang menggunakan materi serta tema yang sama. Pelajaran ini
merupakan salah satu studi kasus; di sebuah SD, seorang guru mengajar dengan menerapkan sebuah
pendapat referensi yang dikemukakan oleh Dr. Inagaki. Ada dua pengajar, yaitu: Mr. Uehara, yang
mengajar di sekolah selama dua belas tahun dan menjadi wali kelas di kelas enam; sedang guru
satunya adalah Mrs. Fukuda, yang merupakan guru baru. Materi yang dibahas adalah sebuah puisi
dari Niimi Nankichi yang berjudul “Seekor Beruang”.
“Seekor Beruang” dikarang oleh Niimi Nankichi
Seekor Beruang mendengar sebuah suara pada suatu malam di saat bulan bersinar
Suara itu memanggilnya dari kejauhan
Ia menegakkan tubuhnya dengan cepat
Jeruji besi kandangnya terasa dingin.
Ia menyimak dengan cermat.
Suara tersebut terdengar seperti suara Ainus*.
33
Melamunkan tanah kelahiran,
Mengingatkannya kepada hutan pinus.
Ia mengaum sedih.
Di kejauhan,
Tangisannya menggema.
Sebelum pelajaran, Mr. Uehara dan Mrs. Fukuda berdiskusi sehingga keduanya mencapai
kesepahaman atas materi ini dan pada tahap penyusunan rancangan instruksional, mereka saling
berdiskusi agar mereka dapat menyusun rencana pengajaran yang sama. Kemudian, dengan mengacu
pada rencana instruksional yang mereka susun bersama, mereka-pun mengajar dan mereka
pengajaran tersebut.
Program tersebut, adalah, isi dan urutan pertanyaan yang sama persis, seolah orang yang sama
akan melaksanakan kedua pelajaran tersebut. Hal ini terjadi karena mengacu pada hasil diskusi yang
mereka capai. Apalagi, karena Mr. Uehara mengajar sebelum Mrs.Fukuda dan ia meniru apa yang
dilakukan Mr. Uehara setelah mengamati kelasnya, kedua pelajaran tersebut secara mengejutkan
memiliki kesamaan termasuk apa yang mereka tulis di papan rulis. Apa yang mereka jalankan dalam
kelas adalah sebagai berikut:
(1) Masing-masing membaca puisi tersebut
(2) Anak-anak diminta untuk menanyakan kosa kata yang tidak mereka mengerti
(3) Masing-masing membaca ulang
(4) Guru meminta dua anak untuk membaca teks
(5) Penjelasan mengenai plot cerita
(6) Guru meminta dua anak untuk membaca teks sekali lagi
(7) Bertanya kepada anak, “Di mana sang Beruang?”
(8) Bertanya kepada anak, “Bagaimana sang Beruang menegakkan tubuhnya?”
(9) Mengira-ngira bagaimana perasaan sang Beruang ketika ia melamunkan tanah kelahirannya
(10) Mengira-ngira bagaimana perasaan beruang ketika ia mengaum
(11) Mengakhiri dengan meminta sejumlah anak untuk membaca teks.
Akan tetapi, apa yang terjadi di kelas benar-benar saling berkebalikan. Kita bisa menganggap
bahwa perbedaan yang terjadi mungkin disebabkan oleh anak-anak yang berbeda. Namun, bisa juga
dikatakan bahwa kedua kelas tersebut memiliki kesamaan yaitu anak-anak bersikap aktif dan ceria.
Tidak ada hal yang membedakan kedua kelas tersebut. Jadi, perbedaan tidak terletak pada anak
namun pada cara mengajar. Sebagai tambahan, perbedaan yang ada bukan juga terletak pada cara
mereka mengindikasikan, menanyakan, atau hal yang tertulis pada papan tulis, jadi apa yang
34
membuat kedua kelas tersebut berbeda? Sekarang, kita akan membandingkan kedua pelajaran dan,
setelah itu, mari kita menganalisa sebab-sebab yang membuat mereka berbeda.
<Pelajaran Mrs. Fukuda>
Anak-anak di kelas Mrs. Fukuda menjadi diam dalam waktu sepuluh menit. Semuanya menunduk
agar mereka tidak ditunjuk oleh guru, dan siswa yang ditunjuk berbicara dengan pelan. Karena para
siswa dipaksa untuk berbicara, suara mereka menjadi semakin pelan. Wajah mereka pun menjadi
semakin tanpa ekspresi, suara mereka pun menghilang, dan tubuh mereka terlihat makin kaku.
Pendapat siswa mengenai isi cerita merupakan interpretasi umum dan tidak dikembangkan dengan
baik sampai kelas berakhir.
<Pelajaran Mr. Uehara>
Pada saat penjelasan plot, anak-anak mengungkapkan berbagai komentar untuk menikmati pusi.
Setelah itu, mereka mengembangkan pendapat masing-masing, dengan membayangkan berbagai
adegan yang mengacu pada frase-frase dalam teks. Setiap anak mengungkapan apa yang mereka rasa
secara ceria dan setiap pendapat saling dikaitkan. Kemungkinan-kemungkinan interpretasi
dikembangkan tanpa batas.
Mereka yang menyaksikan video kedua kelas tersebut merasa sangat terkejut atas perbedaan yang
sangat besar itu. Di saat yang sama, perbedaan antara pelajaran tersebut secara jelas
mengindikasikan keterbatasan cara lesson study konvensional yang berdasar pada interpretasi atas
materi dan teknik pengajuan pertanyaan. Hal itu merupakan keterbatasan sebuah pelajaran sebagai
suatu penerapan yang berifat teknis. Meski mereka memiliki kesamaan dalam rencana instruksional
dan pengajuan pertanyaan, pelajaran tersebut sangat jauh berbeda. Maka dari itu, kita perlu
menganalisa apa yang terjadi dalam kedua kelas tersebut dari sudut pandang yang lain.
Apa yang membuat pelajaran berbeda
Setelah mengamati tayangan video kedua kelas, tampak banyak sekali perbedaan dalam interaksi
antara anak-anak dan guru yang timbul di luar program yang dia rencanakan, dan dalam bagaimana
cara menerima pendapat anak-anak yang tercetus dalam kata-kata serta tubuh mereka. Sekarang mari
kita amati beberapa hal yang diperoleh para guru ketika menyaksikan tayangan video.
Poin pertama yang mereka ungkapkan adalah Mr. Uehara merespon suasana kelas dan tubuh
anak-anak secara sensitif. Di awal pelajaran, misalnya, belau menyadari bahwa anak-anak tidak
berkonsentrasi pada pelajaran. Kemudian, beliau berusaha untuk mengajak anak berkonsentrasi pada
pelajaran dan memperbaiki ikatan antara guru dan anak-anak dengan berkata, “OK? Apa kalian
mendengarkan saya? Baik?” Sedang Mrs. Fukuda tidak memberi respon pada apapun, meski di awal
35
pelajaran anak-anak berpartisipasi secara aktif, namun secara bertahap mereka kehilangan hubungan
dengan dirinya. Misalnya, setelah dia bertanya apakah ada kata-kata yang tidak diketahui anak-anak
dan tidak seorangpun yang meresponnya, dia langsung beralih pada pertanyaan selanjutnya. Sedang
Mr. Uehara merasa bahwa anak-anak tidak begitu paham dengan mengamati wajah mereka, dan
beliau menunggu sampai mereka bertanya kepada beliau. Setelah itu, beliau menjelaskan beberapa
kata-kata sulit dan kemudian baru beralih ke pertanyaan selanjutnya. Beliau melaksanakan pelajaran
dengan wawasan yang konstan untuk mengubah situasi.
Kedua, perbedaan mereka terletak pada cara merespon jawaban anak-anak. Meski Mrs. Fukuda
mengajukan pertanyaan secara berurutan dan secara cermat menyimak jawaban setiap anak, saya
kira tidak seluruh jawaban dia terima, karena tujuannya dalam bertanya adalah hanya untuk mencari
jawaban yang benar. Jadi, ketika seseorang memberi jawaban yang benar, dia berhenti bertanya.
Misalnya, ketika dia bertanya mengenai arti salah satu kata dalam Bahasa Jepang, dia terus bertanya
karena para siswa memberi jawaban yang tidak tepat. Karena itu, anak-anak menjadi semakin diam.
Sedang Mr. Uehara selalu mencoba untuk mencari interpretasi yang berbeda-beda dari jawaban
tiap anak, dengan merespon secara sensitif pada apa yang mereka bisikkan. Apa yang beliau lakukan
adalah membantu para siswa untuk menyusun pendapat mereka. Respon beliau mewakili sikap
beliau untuk mewujudkan interpretasi berlapis atas teks. Karena itu, anak-anak mampu memproses
dan mengungkapkan berbagai pendapat. Sementara penerapan pelajaran Mrs. Fukuda bersifat teknis,
Mr. Uehara menjalankan pelajaran sebagai penerapan yang bersifat reflektif berdasar pada apa yang
terjadi dalam kelas.
Ketiga, perbedaan mereka terletak pada bagaimana cara mengajukan pertanyaan kepada
anak-anak. Bila Mrs. Fukuda mengajukan pertanyaan tanpa terkoordinasi dan jawaban anak-anak
diterima dari balik meja guru, cara Mr.Uehara dalam bertanya mewujudkan hubungan yang jauh
lebih rumit di antara mereka, dan kemudian merefleksi mereka. Beliau menyimak setiap jawaban,
dan menghubungkannya dengan frase mana dalam teks serta apa hubungannya dengan jawaban anak
tersebut dan apa hubungannya dengan jawaban anak-anak lain. Dengan begitu, satu jawaban dikenali
melalui tiga dimensi: interpretasi teks, interpretasi siswa yang memberi jawaban, dan interpretasi
teman sekelasnya.
Refleksi beliau memberi pengaruh yang hebat pada cara saling bertanya antar anak dan
mengembangkan lingkungan yang dinamis bagi interpretasi. Ada dua siswa putra dalam kelas, yang
cenderung lemah dalam pembelajaran yang bernama Kazuto dan Shin-ichi. Bisikan mereka memicu
interpretasi anak-anak secara dinamis. Misalnya, terjadi suatu kasus yang menarik: ketika Kazuto
menjelaskan plot cerita seperti yang tertulis dalam teks yang berkaitan dengan pertanyaan, Hitomi
berpendapat bahwa meski Ainus mengesankan sang beruang seperti seorang dewa, namun
pemelihara yang ada saat ini tidak menganggap seperti itu, karena terinspirasi oleh pendapat Kazuto
yang sederhana. Sementara banyak anak yang menganggap bahwa sang beruang berada jauh dari
36
tanah kelahirannya, Shin-ichi menyimpulkan bahwa sang beruang terpisahkan oleh ruang dan waktu,
dengan mengatakan, “masa yang lampau”. Jawabannya ini membawa pandangan yang berbeda
terhadap para siswa lain. Pendapatnya ini juga memberi interpretasi lain atas teks. Pembelajaran
yang luar biasa dapat ditemukan di sini.
Refleksi atas pelatihan pelajaran
Refleksi atas kedua kelas ini juga mempengaruhi metode refleksi atas pelatihan pelajaran di
sekolah ini. Yang dinyatakan mengenai kelas Mrs. Fukuda adalah dia tidak tidak mampu
menampilkan daya tarik serta jiwa mudanya sama sekali. Bagaimana kita bisa menganalisa hal ini?
Tampak jelas bahwa hubungan antara dia dan anak-anak sebenarnya jauh lebih baik dari pada
yang terlihat dalam tayangan video. Segera setelah dia mengakhiri kelas, misalnya, para siswa
berlari kepadanya. Hubungan ini tidak terjadi dalam pelajaran yang diamati tadi. Bagaimana bisa?
Dia merespon pertanyaan ini dengan berkata bahwa dia selalu merasa kasihan kepada anak-anak.
Sehingga dia berusaha untuk meniru gaya pelajaran Mr. Uehara agar dia bisa mencapai tingkatan
yang sama dengan beliau. Rasa tanggung jawab serta rendah diri yang rumit memaksanya untuk
meniru beliau. Sehingga rasa tersebut membuatnya kaku serta mengalahkan daya tarik dan jiwa
mudanya.
Jawabannya membuka kesempatan bagi sekolah untuk memperbaiki cara pelatihan dalam sekolah.
Pelatihan sebelumnya ditujukan untuk menyamakan interpretasi atas materi dan menyusun rencana
instruksional yang sama melalui diskusi seperti yang kita lihat dalam kasus ini. Kepribadian guru
terabaikan di sini. Semakin muda usia guru, makin jauh kepribadian mereka menghilang. Di
sekolah-sekolah yang menggunakan jenis pelatihan yang serupa, beberapa guru yang berpengalaman
secara tidak langsung akan menekan kepribadian guru lain. Maka dari itu, model penerapan yang
bersifat teknis pun terjadi dan mereka menganggap bahwa hanya terdapat satu program efektif yang
ilimiah.
Setelah itu, mereka mengubah metode pelatihan dalam sekolah, dan memperkenalkan metode
baru yang memungkinkan guru untuk menganalisa pelajaran, membuat rencana instruksional serta
menginterpretasi materi mereka sendiri. Mereka juga mengubah cara untuk menyusun rencana
instruksional; guru mengisi kolom interpretasi atas materi berdasar interpretasi masing-masing,
serta menulis tugas mereka sendiri dalam kolom pelajaran hari ini. Dan mereka juga memperbarui
pertemuan reflektif untuk mendiskusikan pelajaran masing-masing guru. Pelajaran yang diinginkan
oleh Mrs. Fukuda adalah pelajaran yang dapat menampilkan daya tarik serta jiwa mudanya. Tidak
seorang pun yang mampu melaksanakan pelajaran dengan meminjam pelajaran orang lain. Lalu, dua
tahun kemudian, Mr. Uehara dan Mrs. Fukuda, lagi.
37
(3) Cara berpikir praktis guru dan karakternya
Cara berpikir --- guru veteran
Para guru cenderung mewujudkan penerapan yang bersifat teknis sebagai penerapan kasat mata
seperti mengajukan pertanyaan dan perintah. Namun penerapan yang bersifat reflektif, sebagai
penerapan tak kasat mata, adalah merancang bagaimana cara mengkaitkan makna materi pendidikan
dengan anak-anak melalui refleksi atas apa yang terjadi dalam kelas, memilih dan menentukan
strategi. Sebagai tambahan, penerapan bersifat teknis didasarkan pada asas-asas teknis seperti
program dan teknik untuk pelajaran, sementara basis penerapan bersifat reflektif adalah pengalaman
serta wawasan para guru.
Perbedaan antara penerapan kasat mata dan tak kasat mata dapat diamati dalam pembandingan
dua pelajaran yang salah satunya dilaksanakan oleh seorang mahasiswa yang sedang melakukan
praktek mengajar sedang yang lain dilaksanakan oleh seorang guru veteran. Dengan mengamati
pelajaran mahasiswa itu, kita bisa menemukan bahwa pelajaran tersebut cukup sederhana dalam hal
penerapan tak kasat mata, yaitu, kegiatan internal guru seperti penemuan, pemilihan, dan penilaian
dalam kelas meski kegiatan kasat mata terus berganti. Sebaliknya, kegiatan tak kasat mata
dikembangkan secara rumit selama kelas satunya berlangsung meski terlihat sederhana pada
pandangan pertama. Hal ini mengimplikasikan bahwa kita perlu menelusuri metode konvensional
dari lesson study, yang hanya bergantung pada data yang berbasis kegiatan yang tampak semata.
Jadi, bagaimana guru veteran mengembangkan penerapan tak kasat mata-nya? Untuk menjawab
pertanyaan ini, saya akan mengetengahkan sebuah ulasan penelitian kami mengenai gaya berpikir
guru akan penerapan.
Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa
karakterisitik cara berpikir yang disebut gaya pemikiran praktek dibentuk oleh guru veteran yang
kreatif dan fungsinya, serta untuk mengkarakterkannya. Garis besar penelitian ini adalah sebagai
berikut: kami memilih lima guru veteran yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi serta telah
bekerja sebagai guru selama lebih dari dua puluh tahun; di saat yang sama, kami memilih lima guru
lagi yang baru mulai bekerja sebagai guru baru pada tahun itu. Mereka diminta untuk menyaksikan
sebuah tayangan video pelajaran mengenai puisi yang belum pernah diketahui oleh para guru
tersebut. Mereka diperbolehkan untuk menyaksikan video ini sekali saja dan kami meminta mereka
untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikiran mereka serta apa yang mereka rasa tanpa
menghentikan pemutaran video dan kami merekam pernyataan tersebut dengan tape recorder.
Setelah menonton, mereka menuliskan komentar mereka. Alasan mengapa kami merekam apa yang
disampaikan guru tanpa menghentikan pemutaran video adalah kami menganggap bahwa hal
tersebut mencerminkan apa yang dipikirkan para guru selama pelajaran tersebut berlangsung.
38
Kemudian kami memperoleh dua data: data lisan tentang apa yang mereka sampaikan selama
menyaksikan tayangan video dan data tertulis atas komentar mereka setelah menyaksikannya.
Setelah itu, kami menulis data lisan dan membaginya menjadi unit ide. Misalnya, sebuah frase
“karena hujan turun, saya tidak ingin keluar” dapat dibagi menjadi dua unit. Dengan
mengkategorikan kedua unit ini dan membandingkan guru veteran dengan guru baru, kami mencoba
untuk menemukan karakter pemikiran praktek para guru veteran. Melalui penelitian ini, kelima poin
berikut dikarakterkan sebagai pola pikir praktek para guru veteran.
Lima Karakter
Karakter pertama guru kreatif adalah pola pikir improvisasi. Perbedaan nyata dalam penelitian
antara guru veteran dan guru baru ini dapat dilihat bukan pada data tertulis mengenai komentar
mereka setelah menyaksikan tayangan itu, namun tampak pada data lisan mengenai perasaan dan
komentar mereka selama menyaksikan video tersebut. Pertama, guru veteran memberi jauh lebih
banyak pertimbangan daripada para guru baru selama menyaksikan video pelajaran.
!
"!
#!
$!
%!
&!!
'()*)+), +)-./*0(1*.(*2,34
Figur.6 Perbandingan rata-rata saran Kolom kiri (warna biru) adalah jumlah rata-rata para guru veteran sedang kolom kanan (warna hijau) adalah milik para guru baru.
39
!
"!!
#!!
$!!
%!!
&!!!
&"!!
'()*)+), +)-./*0(1*.(*2,34
Figur.7 Perbandingan rata-rata paragraf Kolom kiri (warna biru) adalah jumlah rata-rata para guru veteran sedang kolom kanan (warna hijau) adalah milik para guru baru.
Figur 6 menampilkan perbedaan antara jumlah saran (unit ide) antara para guru veteran dan guru
baru. Sedang figur 7 menampilkan perbedaan jumlah paragraf. Seperti yang anda lihat dalam figur,
perbedaan terbesar antara para guru veteran dengan guru baru ditemukan dalam pemikiran
improvisasi. Para veteran mengungkapkan saran sebanyak 2.3 kali dan paragraf sebanyak 8.8 kali
para pendatang baru. Para guru veteran mengembangkan pemikiran improvisasi secara lebih aktif
dibanding para guru baru dan berbicara berdasar pada perubahan situasi.
Hasil ini secara empiris meyakinkan. Dalam jumlah pernyataan kedua pihak seperti pernyataan
dalam pertemuan refleksi setelah pelajaran, terdapat beberapa perbedaan antara mereka. Atau,
terkadang pernyataan para guru baru yang bersifat teoritis mengalahkan para veteran. Akan tetapi,
pelajaran yang diterapkan oleh para guru baru yang cerdas tersebut sering berakhir mengecewakan.
Mereka masih belum mampu menampilkan apa yang mereka sampaikan dalam pertemuan refleksi
sebagai pendapat serta ide mereka, dengan menggunakan pemikiran improvisasi yang hanya
berfungsi dalam penerapan nyata.
Karakter kedua para guru veteran adalah pola pikir yang bersifat situasional. Dengan
membandingkan isi pernyataan para veteran dengan para pendatang baru, kita dapat mengamati
bahwa para veteran lebih cenderung turut serta dalam situasi kelas dan bereaksi pada perubahannya
daripada para guru baru. Sementara guru baru menyaksikan video tanpa bergairah hanya seperti
menatap layar belaka, para veteran memberi pertimbangan dan pernyataan seolah mereka adalah
audiens yang perhatiannya terserap pada suatu pertandingan sepak bola atau gulat dan akan
mengambil andil dalam kelas yang ditayangkan. Salah satu karakter para veteran adalah pola pikir
situasional dengan mengabdikan diri mereka terhadap situasi.
Karakter ini juga dapat dilihat ketika para veteran lebih mengacu pada situasi kelas, suasana, ritme,
dan tempo tubuh anak-anak, sedang para guru baru tidak menyebut hal-hal itu sama sekali. Guru
40
yang kreatif menghabiskan waktu mereka dalam kelas secara sensitif.
Karakter ketiga para guru kreatif adalah pola pikir yang bersifat pluralistik. Tabel 1 menunjukkan
distribusi pada setiap guru, setelah unit ide dibagi menjadi saran mengenai instruksi dan