Top Banner
SEMNAS MIPA 2010 MAT - 1 Model Rantai Markov Waktu Kontinu untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna I Made Suarsana Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha Jalan Udayana Singaraja Kode Pos : 81116 Telepon : (0362)25072 Fax.(0362)25335 Abstrak: Pemodelan matematika dalam epidemiologi berkembang pesat semenjak model SIR diperkenalkan oleh W.O. Kermack dan A.G. McKendrick pada tahun 1927 (Brauer, 2001). Model matematika yang ada lebih banyak berupa model deterministik. Padahal segala sesuatu yang terjadi di alam mengandung ketidakpastian. Oleh karenanya dalam tulisan ini akan dikonstruksi model stokastik untuk epidemi pertussis dengan vaksin tak sempurna berupa model rantai markov waktu kontinu. Model dikonstruksi dengan menggunakan asumsi yang sama dengan model deterministik yang telah disusun sebelumnya (Suarsana, 2009). Kemudian perilaku kedua model dibandingkan dengan melakukan simulasi numerik untuk kondisi awal yang sama. Kata Kunci : epidemi pertussis, rantai markov waktu kontinu, bifurkasi backward, bistabiliti 1. PENDAHULUAN Model dasar epidemiologi pertama kali diperkenalkan oleh W.O. Kermack dan A.G. McKendrick pada tahun 1927 yang dikenal dengan model SIR yang merupakan model deterministik dengan metode kompartemen (Brauer at al, 2001). Segera setelah itu, pemodelan matematika dalam epidemiologi berkembang pesat, namun model yang dikonstruksi lebih banyak merupakan model deterministik. Pada model deterministik, output bersifat unik untuk input yang sama, artinya tidak ada unsur ketakpastian, semuanya tertentu. Padahal segala sesuatu yang terjadi di alam mengandung unsur ketidakpastian. Oleh karenanya, pemodelan dalam epidemiologi perlu mempertimbangkan unsur ketidakpastian dengan mengkontruksinya dalam model stokastik. Salah satu model stokastik yang sering digunakan adalah model rantai markov waktu kontinu. Dalam tulisan ini dikonstruksi model rantai markov waktu kontinu untuk epidemi pertussis. Pertussis atau yang lebih dikenal dengan nama batuk rejan (whooping cough) pertama kali teridentifikasi pada abad ke-16. Pada tahun 1906, Bordet berhasil mengisolasi bakteri penyebabnya yang diberi nama Bordetella pertussis (Wikipedia, 2009). Laporan kasus pertussis turun lebih dari 99% sejak vaksin ditemukan pada tahun 1940-an yang dalam pemberiannya dikombinasikan dengan difteri dan tetanus (Chin, 2000). Perkembangan kasus pertussis beberapa tahun terakhir yang dikutip dari catatan WHO dapat dilihat pada grafik di bawah ini (WHO, 2008). Gambar 1. Banyak Kasus dan Persentase Pemenuhan Imunisasi Pertussis Secara Global antara Tahun 1980 s/d 2007 Kondisi di atas menunjukkan bahwa walaupun pemenuhan imunisasi dari tahun ke tahun terus meningkat, namun pertussis masih menjadi endemik dan sewaktu-waktu dapat memicu munculnya epidemi pada suatu wilayah. Belum punahnya pertussis sampai saat ini, di antaranya disebabkan karena belum ditemukannya vaksin
95

semnas mipa Matematika

Jun 30, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 1

Model Rantai Markov Waktu Kontinu untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna

I Made Suarsana

Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha Jalan Udayana Singaraja Kode Pos : 81116 Telepon : (0362)25072 Fax.(0362)25335

Abstrak: Pemodelan matematika dalam epidemiologi berkembang pesat semenjak model SIR diperkenalkan oleh W.O. Kermack dan A.G. McKendrick pada tahun 1927 (Brauer, 2001). Model matematika yang ada lebih banyak berupa model deterministik. Padahal segala sesuatu yang terjadi di alam mengandung ketidakpastian. Oleh karenanya dalam tulisan ini akan dikonstruksi model stokastik untuk epidemi pertussis dengan vaksin tak sempurna berupa model rantai markov waktu kontinu. Model dikonstruksi dengan menggunakan asumsi yang sama dengan model deterministik yang telah disusun sebelumnya (Suarsana, 2009). Kemudian perilaku kedua model dibandingkan dengan melakukan simulasi numerik untuk kondisi awal yang sama.

Kata Kunci : epidemi pertussis, rantai markov waktu kontinu, bifurkasi backward, bistabiliti

1. PENDAHULUAN Model dasar epidemiologi pertama kali diperkenalkan oleh W.O. Kermack dan A.G. McKendrick pada tahun 1927 yang dikenal dengan model SIR yang merupakan model deterministik dengan metode kompartemen (Brauer at al, 2001). Segera setelah itu, pemodelan matematika dalam epidemiologi berkembang pesat, namun model yang dikonstruksi lebih banyak merupakan model deterministik. Pada model deterministik, output bersifat unik untuk input yang sama, artinya tidak ada unsur ketakpastian, semuanya tertentu. Padahal segala sesuatu yang terjadi di alam mengandung unsur ketidakpastian. Oleh karenanya, pemodelan dalam epidemiologi perlu mempertimbangkan unsur ketidakpastian dengan mengkontruksinya dalam model stokastik. Salah satu model stokastik yang sering digunakan adalah model rantai markov waktu kontinu. Dalam tulisan ini dikonstruksi model rantai markov waktu kontinu untuk epidemi pertussis. Pertussis atau yang lebih dikenal dengan nama batuk rejan (whooping cough) pertama kali teridentifikasi pada abad ke-16. Pada tahun 1906, Bordet berhasil mengisolasi bakteri penyebabnya yang diberi nama Bordetella pertussis (Wikipedia, 2009). Laporan kasus pertussis turun lebih

dari 99% sejak vaksin ditemukan pada tahun 1940-an yang dalam pemberiannya dikombinasikan dengan difteri dan tetanus (Chin, 2000). Perkembangan kasus pertussis beberapa tahun terakhir yang dikutip dari catatan WHO dapat dilihat pada grafik di bawah ini (WHO, 2008).

Gambar 1. Banyak Kasus dan

Persentase Pemenuhan Imunisasi Pertussis Secara Global antara Tahun 1980 s/d 2007

Kondisi di atas menunjukkan bahwa walaupun pemenuhan imunisasi dari tahun ke tahun terus meningkat, namun pertussis masih menjadi endemik dan sewaktu-waktu dapat memicu munculnya epidemi pada suatu wilayah. Belum punahnya pertussis sampai saat ini, di antaranya disebabkan karena belum ditemukannya vaksin

Page 2: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 2

sempurna yaitu vaksin yang dapat memberi kekebalan dengan tingkat kemanjuran 100%. Konstruksi model rantai markov waktu kontinu dalam tulisan ini menggunakan asumsi yang sama dengan model determistik untuk epidemi pertussis yang telah disusun oleh sebelumnya (Suarsana, 2009). Selanjutnya, perilaku kedua model dibandingkan melalui simulasi numerik untuk kondisi awal yang sama. 2. KAJIAN PUSTAKA Model Deterministik untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna Model deterministik pertussis dengan vaksin tak sempurna telah dikonstruksi sebelumnya. Model yang dikonstruksi mengadopsi model SIR W.O. Kermack dan A.G. McKendrick yaitu berupa model deterministik dengan metode kompartemen. Model disusun dengan 5 kompartemen dan diperoleh diagram skematik sebagai berikut.

Gambar 2. Diagram Skematik

Model Deterministik untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna

Berdasarkan diagram di atas, model deterministiknya dapat dirumuskan sebagai berikut.

VdNIVS

dtdV

RdIdtdR

IdEdtdI

EdNIV

NIS

dtdE

VRSNISSNd

dtdS

)(

)(

)(

)(

)(

(1) dimana )(),(),(),( tRtItEtS , dan )(tV menyatakan banyaknya individu pada kelas rentan, kelas laten, kelas infektiv, kelas sembuh dan kelas tervaksin, yang merupakan fungsi terhadap waktu. Parameter-parameter yang digunakan diantaranya sebagai berikut. Tabel 1. Parameter Model Lambang Parameter Satuan

d Angka kematian

Persatuan waktu

Tingkat penularan pertussis

Tingkat perkembangan gejala klinis pertussis

Angka vaksinasi Tingkat penurunan

fungsi vaksin Tingkat kehilangan

kekebalan Tingat

penyembuhan pertussis

dengan 0,,,,,, d . Parameter menyatakan tingkat ketidaksempurnaan vaksin. Parameter ini tak bersatuan dengan nilai )1,0( . Apabila nilai 0 berarti bahwa vaksin sangat manjur sehingga individu tervaksin tidak dapat terinfeksi. Banyaknya individu dalam populasi adalah konstan terhadap waktu,

)()()()()()( tVtRtItEtStN , adalah konstan sehingga )(tS dapat dituliskan sebagai

)()()()()( tVtRtItENtS dengan )(tNN dan sistem (1) dapat direduksi

menjadi sistem dengan empat persamaan. Untuk memudahkan dalam analisis dilakukan penormalan sistem. Misalkan

Page 3: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 3

NtVtv

NtRtr

NtIti

NtEte

NtSts )()(,)()(,)()(,)()(,)()(

dan

dddddd ,,,,,

serta td , maka didapatkan sistem yang tidak bergantung pada dimensi sebagai berikut.

vvisddv

riddr

ieddi

evisidde

)1(

)1(

)1(

)1(

(2)

Berdasarkan analisis solusi kesetimbangannya diperoleh titik tetap bebas penyakitnya

1,0,0,0,,, **** vrie dengan nilai

ambang parameternya yang selanjutnya disebut sebagai vaccinated reproduction

number adalah

11

11vacR

(Wiggin, 1990). Titik tetap bebas penyakitnya akan stabil asimtotik jika

1vacR . Sebaliknya jika 1vacR solusi sistem menuju titik tetap endemiknya. Hal menarik pada model SEIRV ini adalah munculnya bifurkasi backward yaitu suatu kondisi dimana titik tetap bebas penyakit yang stabil berkoeksistensi dengan titik tetap endemiknya yang juga stabil (Garba at al, 2008). Daerah koeksistensinya dinamakan daerah bistabiliti yaitu pada interval 1 vacRR dengan R adalah titik kritis dari 0d terhadap vacR dengan

acbd 42 , )1)(1(

22a

111

11)1(1b

vacRc 111

11

.

3. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan metode kajian pustaka dan penarikan simpulan dilakukan dengan analisis matematika baik secara analitik (solusi kesetimbangan) dan secara numerik (simulasi berbantuan komputer). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Model Rantai Markov Waktu Kontinu Misalkan )(),(),(),( tRtItEtS dan )(tV adalah variable random diskrit yang masing-masing menyatakan banyak individu rentan, laten, infektif, sembuh dan individu tervaksin, masing-masing terhadap waktu t . Misalkan t menyatakan selang waktu yang sangat kecil sedemikian sehingga pada interval ttt , paling banyak muncul satu kejadian saja. Misalkan pula perubahan pada variabel random

VRIES ,,,, pada interval ttt , dinyatakan dengan

VRIES ,,,, . Oleh karena )(tN konstan terhadap waktu maka peluang transisi infinitesimalnya dapat dinyatakan sebagai berikut (Allen, 2003).

1,0,0,0,1,,,,,1,0,0,0,1,,,,,1,0,0,0,1,,,,,

1,0,0,1,0,,,,,

0,1,0,0,1,,,,,0,1,0,0,1,,,,,0,1,1,0,0,,,,,0,0,1,0,1,,,,,0,0,1,1,0,,,,,0,0,0,1,1,,,,,

0,0,0,1,1,,,,,

),,,,(|,,,,,,,,

mlkjitotSmlkjitotVmlkjitotdV

mlkjitotNIV

mlkjitotRmlkjitotdRmlkjitotImlkjitotdImlkjitotEmlkjitotdE

mlkjitotNIS

VRIESmlkjiVRIESPeluang

(3)

Peluang tidak ada perubahan dalam populasi adalah

),,,,(|0,0,0,0,0,,,, VRIESVRIESPeluang adalah sama dengan

totSVRIEVRIEdIVSN

1

. Peluang kejadian lainnya sama dengan to .

Page 4: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 4

Oleh karena )(tN konstan terhadap waktu maka )(tS dapat dinyatakan dalam kondisi variabel random lainnya sehingga peluang transisi infinitesimalnya dapat disederhanakan menjadi :

1,0,0,0,,,,1,0,0,0,,,,

1,0,0,1,,,,

0,1,0,0,,,,0,1,1,0,,,,0,0,1,0,,,,0,0,1,1,,,,0,0,0,1,,,,

0,0,0,1,,,,

),,,(|,,,,,,

lkjitotSlkjitotVd

lkjitotNIV

lkjitotRdlkjitotIlkjitotdIlkjitotElkjitotdE

lkjitotNIS

VRIElkjiVRIEPeluang

(4) Misalkan vries ,,,, menyatakan nilai dari

VRIES ,,,, dan tPeirv adalah fungsi peluang bersama, yaitu

vtVrtRitIetEPeluangtPeirv )(,)(,)(,)(

maka ttPeirv adalah sama dengan:

totP

tsvrie

vried

ivsN

tP

tstPtvdtP

tNivtP

trdtPtitP

tidtPtetP

tedtP

tNistPttP

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrievrie

,,,

,,,

1,,,

1,,,

1,,,1

,1,,

,1,1,

,,1,

,,1,1

,,,1

,,,1,,,

11

1

1)(1

11

1

1

(5)

Untuk 0t , bentuk di atas dapat ditransformasi ke persamaan diferensial kolmogorov maju sebagai berikut.

tPsvrie

vried

ivsN

tPs

tPvdtPNiv

tPrdtPitPidtPe

tPedtPNis

dttdP

vrievrie

vrievrie

vrievrie

vrievrie

vrievrievrie

,,,1,,,

1,,,1,,,1

,1,,,1,1,

,,1,,,1,1

,,,1,,,1,,,

1

11

1)(111

11

(6)

Persamaan diferensial kolmogorov maju (6) dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial matriks,

tQpdt

tdp )( (7)

Dimana )(tptp i adalah matriks dari peluang state dan jiqQ adalah matriks generator. Penentuan matriks generator pada rantai markov multivariat tergantung pada bagaimana kita mengurutkan statenya. Untuk model epidemi SEIRV dengan ukuran populasi N ada sebanyak

)4)(3)(2)(1(!4

1 NNNN pasangan state.

Untuk menentukan solusi dari persamaan (6) dilakukan langkah-langkah berikut.

1. Mendaftar dan mengurutkan semua pasangan state yang mungkin, kemudian diberi indeks

)4)(3)(2)(1(!4

1,,3,2,1 NNNN

. 2. Menentukan matriks generator

Q berdasarkan peluang transisi infinitesimal yang diberikan.

3. Menentukan solusi persamaan (4.5) yaitu )0()( petp Qt .

Apabila solusi )(tp dapat ditentukan maka peluang masing-masing pasangan state terhadap waktu juga dapat ditentukan, termasuk peluang kepunahan penyakit. Untuk menentukan lintasan sampel dari rantai markov waktu kontinu kita gunakan sifat dari distribusi waktu antarkejadian dan hubungannya dengan distribusi uniform. Misalkan T adalah variabel random waktu antarkejadian dan U adalah variabel random uniform pada interval 1,0 maka

SVRIEVRIEdIVS

N

UTi

)ln( (8

)

Page 5: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 5

Komparasi Simulasi Numerik Model Deterministik dan Model Rantai Markov Waktu Kontinu Pada bagian ini akan dilakukan simulasi numerik dengan tujuan untuk membandingkan perilaku solusi dari model deterministik dengan model rantai markov. Oleh karena itu simulasi dilakukan untuk beberapa nilai parameter dan ukuran populasi N yang berbeda sedangkan parameter lainnya seperti yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai Parameter d

thn751

hari5.21

hari71

hari201

thn51

hari311

hari211

Gambar 3. Grafik Solusi Model

Deterministik dan Stokastik

Bila dibandingkan kedua grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk ukuran populasi besar yaitu N = 1000 dan kondisi awal S(0) = 995, I(0) = 5,R(0) = 0, V (0) = 0, solusi kedua model memperlihatkan perilaku yang sama yaitu untuk nilai

08.0 kedua model mencapai kesetimbangan bebas penyakit serta untuk nilai 12,0 kedua model mencapai kesetimbangan endemik. Perhatikan bahwa

08.0 dan 12.0 keduanya berada di luar wilayah bistabiliti. Perilaku yang berbeda muncul ketika berada pada wilayah bistabiliti. Untuk ilustrasinya perhatikan gambar berikut.

Gambar 4. Grafik Solusi Model

deterministik dan Stokastik untuk nilai 1.0 ,N = 1000, dan kondisi awal

600)0(,0)0(,7)0(,0)0(,393)0(

VRIES

Perbedaan perilaku solusi model deterministik dengan rantai markov pada kondisi ini disebabkan transisi pada rantai markov dari satu state ke state lainnya bersifat acak, sehingga walaupun kondisi awal basin atraksi titik tetap bebas penyakit namun transisi acak memungkinkan state berpindah ke basin atraksi titik endemik. 5. SIMPULAN & SARAN Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Model rantai markov waktu kontinu

untuk epidemi pertussis dengan vaksin tak sempurna adalah

totP

tsvrie

vried

ivsN

tP

tstPtvdtP

tNivtP

trdtPtitP

tidtPtetP

tedtP

tNistPttP

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrie

vrievrie

,,,

,,,

1,,,

1,,,

1,,,1

,1,,

,1,1,

,,1,

,,1,1

,,,1

,,,1,,,

11

1

1)(1

11

1

1

Page 6: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 6

2. Pada kondisi yang sama, perilaku solusi kedua model dapat berbeda karena adanya bifurkasi backward.

Tentunya masih banyak hal menarik yang dapat dikaji lebih lanjut terkait epidemi pertussis. Pengembangan model dengan memperhatikan struktur usia akan menarik mengingat karakteristik pertussis yang lebih banyak teridentifikasi pada anak-anak dan balita. Selain itu, faktor kematian pada individu terinfeksi perlu juga diperhatikan mengingat penyakit ini dapat berakibat fatal terutama bila menyerang bayi. DAFTAR PUSTAKA Allen, Linda J.S. 2003. An Introduction to

Stochastic Process with Aplications to Biology. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Brauer, Fred and Castillo, Carlos-Chavez. 2001. Mathematical Models in Population Biology and Epidemologi. New York: Springer-Verlag, Inc.

Chin, J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta: Indonesia Sehat 2010.

Garba, S.M., dan Abu Bakar, R.M., 2008. Backward Bifurcation in Dengue Transmission Dybanics. Mathematics Bioscience.

Suarsana, I Made. 2009. Model Dinamik

untuk Epidemi Pertussis dengan Vaksin Tak Sempurna. Wahana Vol 6 No 12 Hal (97-112)

Wiggins, S. 1990. An Introduction to Applied Nonlinier Dynamical System and Chaos. Spinger-Verlag, New York http://en.wikipedia.org/wiki/Pertussis

Wikipedia. 2009. Pertussis. [Online]. Updated : 27 Maret 2009. http://en.wikipedia.org/wiki/Pertussis. Accessed : 30 Maret 2009 WHO. 2008. Indonesia Reported Case. Updated :

16 Desember 2008. http://www.who.int/vaccines/globalsummary/immunization/countryprofile. Accessed : 31 Maret 2009

Page 7: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 7

EKSTENSI HARNACK DAN EKSTENSI CAUCHY INTERGRAL HENSTOCK-PETTIS PADA RUANG

EUCLIDE R"

Extension Harnack and Extension Cauchy Henstock-Pettis Integral on The Eucliden R"

Hairur Rahman

Page 8: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 8

Page 9: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 9

Page 10: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 10

Page 11: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 11

Page 12: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 12

Page 13: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 13

Page 14: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 14

Page 15: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 15

PEMODELAN VARIAN VEHICLE ROUTING PROBLEM

(VRP) PADA OPTIMALISASI DISTRIBUSI DAN ANALISA ALGORITMANYA

Sapti Wahyuningsih

Jurusan Matematika FMIPA UM

Abstrak Masalah distribusi adalah bagian dari permasalahan penyediaan barang atau jasa dari produsen (depot) ke konsumen (customer). Masalah pengangkutan dan pengiriman barang merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi. Vehicle Routing Problem (VRP) merupakan salah satu konsep pada teori graph yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan optimalisasi untuk mencari sejumlah rute minimum yang berawal dan berakhir di depot.

Permasalahan VRP memiliki banyak varian yang lebih menspesifikasikan permasalahan secara lebih nyata dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Varian-varian VRP antara lain Vehicle Routing Problem with Time Window (VRPTW), Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and Pickups (VRPSDP), dan Multiple Trip Vehicle Routing Problem (MTVRP). Permasalahan VRPTW merupakan kasus khusus VRP dengan penambahan kendala kapasitas dan waktu (time window). Vehicle Routing Problem with Pick-Ups and Deliveries (VRPPD) yang merupakan permasalahan VRP dengan penambahan kendala, dimana pada saat pengiriman barang disertai pula oleh pengambilan kemasan isi ulang/produk cacat oleh kendaraan pengangkut yang nantinya akan dikembalikan lagi ke depot. Permasalahan MTVRP adalah varian VRP dengan penambahan kendala kapasitas dan waktu dimana kendaraan dapat melayani satu rute atau lebih.

Algoritma Insertion Heuristic dapat digunakan untuk menyelesaiakan VRP dan varian-variannya. Diberikan analisa algoritma untuk permasalahan tersebut.

Kata Kunci: varian VRP, distribusi, algoritma.

Masalah pengangkutan dan

pengiriman barang dari produsen ke konsumen merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi. Dalam proses produksi, masalah efektifitas dan efisiensi perlu diperhatikan karena hal ini bersangkutan dengan biaya produksi. Beberapa contoh nyata permasalahan pengangkutan dan pengiriman barang dalam kehidupan sehari-hari antara lain pengangkutan sampah, pengantaran bis sekolah, pengiriman barang pada perusahaan air minum, dan pengiriman barang agen-agen elpiji.

Permasalahan pengangkutan dan pengiriman barang dapat dimodelkan dalam suatu graph. Sisi pada graph merepresentasikan jalur antar konsumen dan titik-titik dalam graph sebagai produsen dan konsumen (Johnsonbaugh, 2001). Istilah produsen dalam graph dikenal dengan depot. Sedangkan istilah konsumen dalam graph dikenal dengan customer. Pada suatu kasus, depot harus dapat melayani customer yang tersebar di berbagai lokasi. Kondisi lokasi

customer yang tersebar di seluruh wilayah, seringkali menyebabkan kendaraan harus menempuh perjalanan yang jauh dan tidak efisien.Secara lebih khusus permasalahan pengangkutan dan pengiriman barang dapat dikelompokkan sebagai permasalahan Vehicle Routing Problem (VRP) (Prana, 2008). Masalah VRP merupakan permasalahan untuk mencari sejumlah rute minimum dimana setiap customer dilayani tepat satu kali yang berawal dan berakhir di depot. Jumlah kendaraan dalam permasalahan ini diasumsikan selalu tersedia sejumlah rute yang terbentuk (Joubert J. W,. 2007).

Terdapat beberapa macam pengembangan dari VRP dasar yang ada, yang merupakan varian-varian baru dari VRP. Varian-varian ini dikembangkan antara lain bertujuan untuk memodelkan aplikasi VRP dalam dunia nyata dengan lebih baik lagi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Varian-varian dari VRP ini diperoleh dengan menerapkan batasan-batasan tambahan dari VRP dasar yang ada.

Page 16: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 16

Vehicle Routing Problem with Time Window (VRPTW) merupakan varian dari VRP dengan memenuhi kendala jumlah permintaan tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan dan total waktu, baik waktu tempuh maupun waktu pelayanan. Selain VRPTW, terdapat varian lain dari permasalahan VRP yaitu VRPPD (Vehicle Routing Problem with Pick-Ups and Deliveries) yang merupakan permasalahan VRP dengan penambahan kendala, dimana pada saat pengiriman barang disertai pula oleh pengambilan kemasan isi ulang/produk cacat oleh kendaraan pengangkut yang nantinya akan dikembalikan lagi ke depot (Cao, Erbao dan Lai, Chun-Mei).

Pada VRPTW dan VRPSDP, kendaraan melayani tepat satu kali untuk satu rute yang terbentuk. Padahal pada kenyataannya, terdapat beberapa kasus yang menyebabkan kendaraan dalam suatu instansi atau perusahaan dapat beroperasi atau melayani lebih dari satu rute. Keadaan yang seperti ini dapat dirumuskan sebagai salah satu varian VRP yaitu MTVRP. Permasalahan MTVRP adalah varian VRP dengan penambahan kendala kapasitas dan waktu dimana kendaraan dapat melayani satu rute atau lebih (Olivera, 2004).

1. PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK VRP DAN VARIANNYA

Pemodelan matematika untuk VRP yang bertujuan untuk meminimumkan total jarak tempuh secara matematis sebagai berikut:

Min Vj

kijij

ViKkxc

1, jika kendaraan k dijalankan dari titik i ke j, ji

0, untuk yang lain

Adapun batasan-batasan yang digunakan adalah : 1. Setiap customer hanya dikunjungi tepat

satu kali dan hanya oleh satu kendaraan 0/,1 Vjx

Vi

kij

Kk

2. Total permintaan dari setiap customer dalam satu rute tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan

KkQxq

Vj

kij

Vii

,0/

3. Setiap kendaraan harus meninggalkan customer yang telah dikunjungi

KkVhxxVj

khj

Vi

kih

,0/,0

4. Setiap kendaraan yang meninggalkan depot harus kembali ke depot

Kkx

Vj

kj

,10/

0

Kkx

Vj

kj

,10/

0

5. Nilai KkVjVix kij ,,,1,0

Permasalahan VRP bertujuan untuk

menentukan suatu himpunan rute kendaraan dengan jarak minimum. Rute kendaraan pada VRP berawal dan berakhir pada satu depot dan setiap costumer tepat dikunjungi satu kali.

Pemodelan VRPTW menyerupai dengan pemodelan VRP dengan penambahan bobot service time (st) dari permintaan pada titik dan bobot travel time (tij) pada sisi. Desain rute juga mempertimbangkan service time (sti) yaitu waktu pelayanan pada customer i dan travel time (tij) yaitu waktu yang harus ditempuh dari customer i ke j. Pada setiap rute akan didapat Ttotal yang merupakan total durasi waktu yang dibutuhkan (travel dan service time), dimana Ttotal tidak boleh melebihi Tlayanan (Time Window) yang ditetapkan.

Pemodelan VRPSDP sebagai varian dari VRP dapat dimodelkan menyerupai VRP dengan n customer dilayani oleh kendaraan k, yang masing-masing mempunyai kapasitas Q. Setiap customer mempunyai permintaan pengiriman barang sejumlah id dan jumlah pengembalian

barang sejumlah ip dengan ni ....,,2,1 . Setiap kendaraan berangkat dari depot dan kembali lagi ke depot. Sehingga solusi yang dihasilkan dari permasalahan VRPSDP adalah himpunan rute dimana tiap customer hanya dikunjungi satu kali dan total permintaan maupun pengembalian barang untuk setiap kendaraan tidak melebihi Q dengan total jarak tempuh yang minimum.

Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and Pick-ups (VRPSDP) didasarkan pada himpunan yang bersisi dari suatu graph ANG , dengan himpunan sisi A dan himpunan titik N, dimana satu titik mewakili sebuah depot dan

kijx

Page 17: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 17

titik-titik yang lain mewakili beberapa customer. Pada teori graph, Wilson, Robin J. &Watkins, John J. 1990

Pada permasalahan VRP dan variannya, graph G dianggap sebagai peta yang menjelaskan kemungkinan jalur yang dapat dilewati dengan setiap titik mewakili depot dan customer. Setiap sisi pada graph menunjukkan jalan yang menghubungkan antar titik dan setiap bobot pada sisi mewakili jarak.

Contoh pemodelan dengan graph untuk menemukan rute minimum untuk melayani 6 customer. Setiap pelayanan yang dilakukan tidak boleh melanggar kendala kapasitas serta setiap rute berawal dan berakhir di depot. Bobot sisi pada graph menunjukkan jarak antara depot ke customer, sehingga dapat digambarkan dalam bentuk graph seperti pada gambar berikut :

2. ALGORITMA DAN ANALISANYA

Metode insertion heuristic untuk VRP berawal dari membentuk suatu rute dengan nilai saving yang paling besar. Kemudian customer lain dipilih untuk disisipkan dengan syarat memenuhi kendala kapasitas, dengan memindahkan satu sisi dari rute yang telah ada dan terhubung dengan customer yang baru. Jika terdapat sisa customer yang belum masuk rute, prosedur awal dan penyisipan diulangi hingga seluruh customer dapat dilayani. Saat tidak ada customer dengan penyisipan yang feasible dapat ditemukan, metode tersebut memulai rute baru, sampai semua customer telah masuk rute. Metode Insertion Heuristic dikembangkan menjadi metode Nearest Insertion Heuristic yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan VRP dengan penambahan kendala waktu. Solusi yang dihasilkan dalam menyelesaikan

pemasalahan VRPTW dengan menggunakan metode Nearest Insertion Heuristic tersebut berupa beberapa cycle yang memuat semua titik pada graph.

Metode Insertion Heuristic diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan VRPSDP, yaitu suatu permasalahan untuk menentukan rute dengan jarak tempuh yang minimum dengan penambahan kendala pada kapasitas kendaraan, yaitu dalam satu rute, total permintaan maupun pengembalian barang oleh customer tidak melebihi kapasitas kendaraan (Tanjung, dan Rusdiansyah, 2008). Metode Insertion Heurstic untuk VRPSDP merupakan kombinasi dari metode saving dan penyisipan yang didasarkan pada kapasitas residual (residual capacity) dengan modifikasi untuk mendapatan rute kendaraan dengan penggunaan kapasitas kendaraan secara efektif. Metode Insertion Heuristic terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama

167

124

138

115 165

170

112

155

68

80

110

145

78

65

124

55

76

53

32

60

0

1 2

3

4

5 6

Page 18: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 18

yaitu membentuk suatu rute kendaraan secara simultan dengan menemukan customer yang feasible dengan tahap penyisipan terkecil untuk menambahkannya pada rute kPR . Customer h yang terpilih

dengan syarat memenuhi ii pd dan penggunaan kapasitas secara efektif. Suatu customer feasible dapat ditambahkan ke dalam rute kendaraan hanya jika kendala kapasitas tidak dilanggar.

Pada Tahap II, hitung nilai penyisipan dari setiap customer h dengan ii pd . Pada setiap posisi yang mungkin dari tiap-tiap rute parsial kPR , sisipkan customer yang terpilih pada posisi penyisipan terkecil. Suatu customer disisipkan ke dalam rute kendaraan hanya jika customer tersebut tidak melanggar kendala kapasitas.

Metode insertion heuristic pada MTVRP memiliki dua tahapan penyelesaian, yaitu tahap inisialisasi dan tahap iterasi. Pada tahap inisialisasi dibentuk rute awal yang berawal dan berakhir di satu titik yang sama yaitu depot pada setiap kendaraan yang tersedia. Sedangkan tahap iterasi merupakan suatu tahap untuk melakukan penghitungan profitability, pengecekan feasibility, dan melakukan proses penyisipan customer yang tidak pada rute. Profitability adalah negative ekstra travel time yang diperlukan customer h untuk disisipkan diantara

Metode Nearest Insertion Heuristic juga diterapkan pada permasalahan VRPTW. Permasalahan VRPTW adalah permasalahan untuk menentukan sejumlah rute minimum yang berawal dan berakhir di depot untuk sekumpulan kendaraan agar tiap customer dapat dilayani dengan memenuhi kendala yang ada seperti pada permasalahan VRP namun dengan penambahan kendala waktu. Sehingga langkah algoritma yang digunakan pun pada dasarnya sama, hanya pada saat pembentukan dan penyisipan rute, juga ditambahkan syarat yaitu selain harus memenuhi kendala kapasitas juga harus memenuhi kendala waktu.

Pada MTVRP, metode insertion heuristic dimulai dengan pembentukan rute awal yang dipasangkan pada kendaraan yang tersedia. Kemudian dilanjutkan perluasan rute dengan pemilihan dan penyisipan titik sampai semua titik telah terpilih dan

terbentuk sekumpulan rute yang terpasangkan dengan kendaraan. Pada langkah inilah setiap kendaraan dapat melewati satu rute atau lebih.

Berdasarkan langkah metode nearest insertion heuristic pada VRP dan VRPTW serta langkah metode insertion heuristic pada MTVRP, terlihat bahwa permasalahan VRP dan VRPTW dapat ditelaah dengan menggunakan permasalahan MTVRP. Ini dikarenakan pada dasarnya ketiga permasalahan tersebut memiliki kesamaan yaitu adanya pemilihan sejumlah rute minimum dengan memperhatikan kendala kapasitas dan waktu. Pada VRPTW jumlah kendaraan tidak diketahui. Sedangkan pada MTVRP jumlah kendaraan yang tersedia harus diketahui. Sehingga sebelum menyelesaian VRPTW menjadi MTVRP dengan menggunakan metode insertion heuristic, dilakukan pengasumsian banyaknya kendaraan.

Berdasarkan rangkaian analisa dapat disimpulkan bahwa metode insertion heuristic pada permasalahan MTVRP dengan metode nearest insertion heuristic pada VRP dan VRPTW memiliki kesamaan yaitu menyisipkan titik ke dalam rute yang telah terbentuk. Pemilihan dan penyisipan titik pada VRP dan VRPTW didasarkan pada jarak tempuh, sedangkan pada MTVRP didasarkan pada waktu tempuh kendaraan. Tetapi VRPTW dan MTVRP memiliki perbedaan dalam pengasumsian kendaraan. Pada VRPTW diasumsikan banyaknya kendaraan sama dengan banyaknya rute yang terbentuk. Sedangkan MTVRP jumlah kendaraan yang tersedia harus diketahui terlebih dahulu agar dapat dipasangkan dengan rute-rute yang terbentuk. Jadi permasalahan VRP dan VRPTW masih dapat diselesaikan dengan metode insertion heuristic pada MTVRP dengan pengasumsian jumlah kendaraan diawal penyelesaian.

Berdasarkan langkah metode insertion heuristic pada VRPSDP dan MTVRP, terlihat bahwa metode yang digunakan pada penyelesaian permasalahan VRPSDP tidak sesuai dengan penyelesaian permasalahan MTVRP. Ini dikarenakan pada VRPSDP terdapat suatu penambahan permasalahan yang berpengaruh terhadap batasan kapasitas kendaraannya, yaitu adanya suatu keadaan dimana pada saat

Page 19: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 19

pengiriman barang, dilakukan pula pengambilan kemasan isi ulang/produk cacat secara simultan pada setiap titik pada lintasan. Metode insertion heuristic pada VRPSDP diselesaikan dengan langkah awal menghitung selisih dari jumlah permintaan ( id ) dan pengembalian barang ( ip ) tiap customer untuk dijadikan patokan dalam pemilihan dan penyisipan titik customer saat perluasan rute dengan memenuhi kendala kapasitas. Dalam permasalahan MTVRP, batasan kapasitas hanya digunakan untuk sejumlah barang yang dikirim oleh kendaraan pada rute yang dilalui, sehingga harus memenuhi batasan:

VkQxq

Nj

kij

Nii

,0/

yang artinya total permintaan dari setiap customer dalam satu rute tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan. Sedangkan dalam permasalahan VRPSDP, batasan kapasitas harus memenuhi sejumlah barang yang dikirim maupun yang akan diangkut nantinya oleh kendaraan pengantar pada rute tersebut, sehingga harus memenuhi batasan:

VkQxq

Ni Nj

kiji

,0/

VkQxp

Ni Nj

kiji

,0/

yang artinya total pengiriman dan pengambilan barang pada tiap customer dalam satu rute tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan.

Berdasarkan uraian analisa metode insertion heuristic yang digunakan dalam penyelesaian permasalahan MTVRP dengan permasalahan VRPSDP mempunyai persamaan dalam hal penyisipannya, yaitu sama-sama melakukan proses perluasan rute dengan penyisipan titik customer. Namun proses penyisipan yang dilakukan berbeda. Perbedaannya yaitu, pada permasalahan MTVRP, penyisipan titik customer didasarkan pada waktu tempuh. Sedangkan pada permasalahan VRPSDP, penyisipan titik customer didasarkan pada jumlah permintaan maupun pengembalian barang tiap customernya. 3. PENUTUP Telah dibahas VRP dan variannya yaitu Vehicle Routing Problem with Time Window (VRPTW), Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and Pickups

(VRPSDP), dan Multiple Trip Vehicle Routing Problem (MTVRP). Pada pemodelan VRP dan variannya tersebut memperhatikan penembahan kendalanya. Dapat dikembangkan pemodelan dan analisa algoritma jenis VRP yang lain misalnya 1. Capacitated Vehicle Routing Problem (CVRP) setiap kendaraan memiliki kapasitas yang sama dengan satu komoditas 2. Multi Depot Vehicle Routing Problem (MDVRP) banyaknya depot yang melayani customer lebih dari satu, 3. Site-Dependent Vehicle Routing Problem (SDVRP), 4. Vehicle Routing Problem Backhlaus (VRPB) dan 5. Vehicle Routing Problem Pickup and Delivery (VRPPD) customer dapat menerima dan mengirim barang secara bersamaan. DAFTAR RUJUKAN Cao, Erbao and Lai, Mingyong. Tanpa Tahun. An Improved Genetic Algorithm for the Vehicle Routing Problem with Simultaneous Delivery and Pick-up Service, (Online), (http://it.swufe.edu.cn/UploadFile/other/xsjl/sixwuhan/ Paper/ IM135.pdf, diakses 24 Januari 2009).

Johnsonbaugh, Richard. 2001. Discrete Mathemathics. Fifth Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Joubert J. W,. 2007. The Vehicle Routing Problem : Origins and Varians, (online), (http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-07202007-175138/.../02 chapter2.pdf, diakses 5 Februari 2010).

Lai, Chun-Mei, Chen, Cheng-Che and Ma, You-Nan. Tanpa Tahun. Vehicle Routing Problem with Simultaneously Deliveries and Pickups, (Online), (www.feu.edu.tw/2503/250306.pdf, diakses 24 Januari 2009).

Olivera, Alvredo. 2004. Adaptive Memory Programming for The Vehicle Routing Problem with Multiple Trip, (online), (http://www.fing.edu.uy/inco/pedeciba/bibliote/ reptec/TR0411.pdf, diakses 11 Januari 2010).

Prana, Raden. 2008. Aplikasi Kombinatorial pada Vehicle Routing Problem, (Online), (http://www.informatika.org/~rinaldi/Matdis/2007-2008/Makalah/MakalahIF2153-0708-027.pdf, diakses 09 Januari 2009).

Rosen, K. H. 1995. Discrete Mathematics and its Application. Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Page 20: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 20

Singer, Bilal. 2008. The Multiple Trip Vehicle Routing Problem, (online), (http://www.few.vu.nl/en/Images/werkstuk-singer_tcm39-91434.doc, diakses 4 November 2009).

Tanjung, Kristina N. E. dan Rusdiansyah, Ahmad. 2008. Algoritma Heuristik untuk Penyelesaian Asymmetrics Vehicle Routing Problem with Simultaneous Deliveries and Pick-Ups (AVRPSDP), (Online), (http://mmt.its.ac.id /library/wp-content/uploads/2008/12/30-prosiding-kristina-ok-print.pdf, diakses 09 Januari 2009).

Page 21: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 21

PEMODELAN RADIASI GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK PONSEL TERHADAP TUBUH

MANUSIA

Binti Isroul Fauziah1), Toto Nusantara2) 1)Alumni 2010 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang,

2) Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang

Abstrak

Radiasi pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungan tanpa membutuhkan perantara. Ponsel merupakan salah satu sumber radiasi karena ponsel dapat merambatkan gelombang elektromagnetik ke dalam tubuh manusia. Artikel ini mendeskripsikan radiasi gelombang elektromagnetik pada tubuh manusia dengan model matematika. Untuk mendeskripsikan model matematika yang diperoleh, digunakan metode numerik dengan metode elemen hingga dengan memanfaatkan software FlexPDE untuk analisis hasil proses radiasi. Kenaikan temperature dalam tubuh dipengaruhi oleh intensitas gelombang elektromagetik sebagai sumber radiasi dan sifat autocatalytic tubuh yang meningkatkan temperature akibat aktivitas kimiawi tubuh. Kata kunci: radiasi, elektromagnetik, ponsel, autocatalytic 1. PENDAHULUAN

Makalah ini memaparkan hasil kajian tentang masalah radiasi gelombang elektromagnetik ponsel terhadap tubuh manusia khususnya pada otak sebagai materi yang terkena radiasi. Ada beberapa bagian otak yang dimodelkan memiliki sifat penyerapan panas yang berbeda, tergantung pada fungsi dari materi tersebut. Dahulu masyarakat mengenal dan memanfaatkan alat komunikasi tradisional seperti surat yang dikirimkan oleh burung merpati putih, kemudian berkembang dengan adanya jasa pos, dilanjutkan lagi dengan diciptakannya alat-alat canggih seperti telegram, faksimil, handy talkie, telepon, internet, dan lain sebagainya. Semua hal itu semata-mata dilakukan hanya untuk mempermudah fasilitas hidup. Oleh karena itu, penulis memfokuskan pembahasan pada telepon seluler atau biasa disebut ponsel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia telepon adalah pesawat dengan listrik dan kawat, untuk bercakap-cakap antara dua orang yang berjauhan tempatnya. Sedangkan seluler berarti berbentuk sel atau dibagi dalam sel-sel atau bilik-bilik. Dari pengertian tersebut dapat digambarkan bentuk telepon itu yang berukuran kecil diibaratkan seperti sel sehingga praktis dan mudah dibawa kemana-mana. Tidak jarang pula karena kepraktisannya banyak orang menyebutnya

dengan telepon genggam karena memang penggunaannya dengan digenggam.

Perkembangan kecanggihan ponsel saat ini menggelitik para ahli untuk melihat seberapa jauh kemungkinan pengaruh adanya radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh emiter ponsel terhadap tubuh manusia, khususnya bagian otak. Radiasi pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan perantara. Beberapa proses radiasi misalnya perambatan panas, cahaya, dan gelombang radio. Ponsel merupakan salah satu sumber radiasi karena ponsel dapat merambatkan gelombang elektromagnetik ke dalam tubuh manusia.

Page 22: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 22

Gambar 1 Gambar Kepala dan Otak yang Terkena Radiasi Gelombang Elektromagnetik (http://www.docstoc.com)

Radiasi gelombang elektromagnetik

pada tubuh manusia tersebut dapat dipresentasikan ke dalam model matematika. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis numerik dengan metode elemen hingga. Dalam kajian ini digunakan medan listrik yang berbentuk fungsi Gauss yaitu 22

02

0 /exp, yyxxyxE

(Toto Nusantara), dimana (x0,y0) merupakan pusat radiasi gelombang elektromagnetik yaitu daerah sekitar telinga dengan pusat radiasi (x0,y0 ) = (0.375, 0.45) dan σ = 0.1. Walaupun permasalahan tentang pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap tubuh manusia masih menjadi perdebatan para ahli radiasi, tetapi makalah ini hanya menunjukkan bagaimana efek radiasi gelombang elektromagnetik pada tubuh melalui simulasi numerik.

Organisasi makalah ini adalah sebagai berikut. Bagian kedua makalah akan mendeskripsikan materi sekitar kepala yang menjadi obyek kajian. Pada bagian ketiga diuraikan persamaan dasar untuk masalah radiasi gelombang elektromagnetik ponsel, bagian keempat akan diuraikan model matematika tentang radiasi gelombang elektromagnetik ponsel terhadap tubuh manusia. Selanjutnya pada bagian kelima akan diuraikan hasil-hasil numerik yang diperoleh. Kesimpulan disajikan pada bagian terakhir dari makalah ini.

2. DESKRIPSI MATERI

Geometri domain yang digunakan dalam penelitian ini merujuk dari makalah Toto Nusantara yaitu berupa materi 2D berbentuk kepala manusia yang digambarkan pada daerah satuan D yang dikonstruksi oleh 63 titik dengan beberapa bagian pada otak memiliki sifat difusivitas berbeda. Hal ini dikarenakan daya serap panas dari setiap materi berbeda, tergantung pada fungsi dari materi tersebut.

Gambar 2 Geometri Domain dengan Beberapa Bagian Memiliki Sifat Penyerapan Panas

Berbeda

Bagian terbesar dari domain yaitu bagian kepala memiliki parameter difusivitas 0 , sedangkan bagian-bagian lain yang lebih kecil, yaitu serebelum, lobus oksipitalis, lobus temporalis, lobus frontalis dan lobus parietalis memiliki nilai parameter difusivitas berturut-turut 1 , 2 , 3 , 4 ,

dan 5 . Dalam penelitian ini nilai-nilai parameter tersebut memenuhi hubungan

543210 . Radiasi gelombang mikro pada daerah yang

memiliki sifat difusivitas terkecil, akan memiliki efek pembentukan hospot yang cukup besar (Nusantara, 1996). Dengan kata lain radiasi gelombang mikro akan lebih mempengaruhi daerah yang sifat difusivitasnya paling kecil.

3. PERSAMAAN DASAR

Menurut Toto Nusantara dkk, model pemanasan dengan microwave dijelaskan oleh persamaan berikut

Lobus Temporalis Serebelum

Lobus Oksipitalis

Lobus Parietalis Lobus Frontalis

Page 23: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 23

. (1) Karena gelombang elektromagnetik pada ponsel dan gelombang pada microwave sejenis yaitu gelombang mikro, maka persamaan dasar dari model tentang radiasi gelombang elektromagnetik sama dengan model pemanasan dengan microwave. Pada persamaan tersebut menyatakan temperatur; menyatakan fungsi difusivitas dengan sifat > 0, > 0 dan dalam penelitian ini menggunakan bentuk fungsi difusivitas , untuk suatu parameter positif dan ; adalah parameter positif yang terkait dengan intensitas medan listrik; adalah sumber pemanasan yang disebabkan oleh medan listrik; dan adalah ekspresi sumber pemanasan akibat reaksi kimia auto katalis dengan sifat > 0, > 0. Seperti yang diamati Smith (dalam makalah Chandra, dkk, 1996) sangat realistik untuk mengambil bentuk sebagai fungsi

bertipe Arrhenius, yaitu untuk suatu > 0.

4. MODEL MATEMATIKA

Persamaan dasar dari model radiasi gelombang elektromagnetik adalah persamaan (1). Karena dalam pembahasan ini melibatkan energi listrik 2D, yaitu

maka persamaan (1) ditulis kembali menjadi

. (2) Dengan:

, dengan > 0, > 0

untuk suatu > 0, dengan > 0, > 0.

Selanjutnya domain seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya, yaitu D dengan syarat awal dan syarat batas sebagai berikut

pada , dimana domain D adalah materi 2D yang berbentuk kepala manusia yang dikonstruksi oleh 117 titik terhubung dengan

beberapa bagian pada otak memiliki sifat difusivitas berbeda.

Dari Gambar 2 pada bagian 3 terdapat 5 materi yang terdapat dalam domain D yaitu serebelum dikonstruksi oleh 20 titik yang terhubung, lobus oksipitalis dikonstruksi 26 titik yang terhubung, lobus temporalis dikonstruksi 35 titik yang terhubung, lobus frontalis dikonstruksi 51 titik yang terhubung dan lobus parietalis dikonstruksi 30 titik yang terhubung.

5. HASIL-HASIL NUMERIK

Pembahasan ini adalah hasil simulasi yang tidak berkaitan dengan pengukuran fisis sesungguhnya, akan tetapi hanya menunjukkan analogi terhadap proses yang terjadi. Dimana pengambilan nilai setiap parameter khususnya berdasarkan pada fungsi dari masing-masing materi yang telah ditentukan. Dalam pembahasan ini juga akan dikaji beberapa kasus dengan nilai faktor amplitudo sifat difusivitas pada masing-masing daerah kepala, serebelum, lobus oksipitalis, lobus temporalis, lobus frontalis, dan lobus parietalis berturut-turut

= 3, 0.6, 0.3, 0.1, 0.05, dan 0.025. Sedangkan = 0.005 untuk faktor eksponensial dalam sifat difusivitas material. Untuk besarnya intensitas medan listrik yaitu dan sifat auto catalytic pada material yaitu akan diberikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Besar Nilai dari Faktor Luar dan

Dalam yang Mempengaruhi Radiasi serta Fungsi Difusivitas yang akan Dikaji

Faktor Luar (

Faktor Dalam (

Fungsi Difusivitas

Kasus I Kasus II

1 5 5 1

Pada Tabel 1 ada 2 faktor yang

mempengaruhi radiasi gelombang elektromagnetik terhadap tubuh manusia khususnya otak yaitu faktor luar dan dalam. Dimana intensitas medan listrik dari gelombang elektromagnetik sebagai faktor luar dan sifat auto catalytic pada materi sebagai faktor dalam. Dari tabel tersebut nilai 1,2 dan 1,2 akan dikombinasikan

Page 24: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 24

menjadi beberapa kasus dibawah ini dengan fungsi difusivitas yang berbeda yaitu dan . Adapun kasus-kasus yang akan dikaji antara lain: a. Kasus I, jika

1) = 1, = 5 2) = 5, = 1

b. Kasus II, jika 1) = 1, = 5 2) = 5, = 1

Dari kasus-kasus di atas akan dilihat

bagaimana perbedaan dari kasus I dan II dimana masing-masing kasus terdapat kasus khusus sehingga dapat dilihat perubahan temperatur dari masing-masing materi jika beberapa faktor yang mempengaruhi memiliki nilai yang berbeda. Untuk keperluan sajian dalam pembahasan ini, dilakukan pengukuran dinamika pemanasan yang dilakukan pada titik-titik tertentu. Titik-titik pengukuran dipilih dalam masing-masing materi dengan sifat difusivitas yang berbeda.

Gambar 3 Posisi Pengukuran Temperatur pada Masing-masing Materi

Selanjutnya pada masing-masing posisi tersebut akan dilacak perubahan temperatur setiap waktu pengukuran.

Berikut adalah hasil dan analisis hasil numerik dari kasus-kasus yang dikaji: a. Kasus I, jika (konstan)

Pada kasus ini, besar intensitas medan listrik dan sifat autocatalytic pada materi diberikan berturut-turut = 1,

= 5 dan = 5, = 1 dengan fungsi difusivitas . Berikut ini adalah gambar-gambar hasil perhitungan numerik yang dipotret untuk beberapa waktu tertentu ketika proses pemanasan terjadi. Gambar 4 hasil pengukuran pada awal pemanasan memperlihatkan, ketika gelombang elektromagnetik mengenai materi terjadi proses pemanasan dari materi, temperatur pada masing-masing materi meningkat, dan khususnya untuk daerah yang terkena langsung gelombang elektromagnetik terjadi perubahan temperatur yang drastis.

a b

Page 25: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 25

c d Gambar 4. a. Kurva ketinggian pada awal pemanasan kasus 1 b. History pada titik-titik pengukuran kasus 1

c. Kurva ketinggian pada awal pemanasan kasus 2 d. History pada titik-titik pengukuran kasus 2

Sumber radiasi gelombang

elektromagnetik terletak didekat daerah serebelum karena daerah tersebut paling dekat dengan telinga, sehingga perubahan temperatur yang drastis terjadi pada daerah serebelum. Yang membedakan antara kasus 1 dan kasus 2 adalah besarnya perubahan suhu pada setiap materi dan pada kasus 1 perubahan suhunya lebih tinggi dibangding kasus 2.

Memperhatikan proses pemanasan pada materi yang terjadi pada Gambar 4, pada daerah lobus parietalis mengalami pemanasan internal yang sangat dinamis karena daerah tersebut memiliki sifat difusivitas materi yang sangat rendah dari materi yang lain. Gambar berikut ini merupakan hasil perhitungan berikutnya pada saat t = 0.5.

a b

c d Gambar 5. a. Kurva ketinggian pada saat t = 0.5 untuk kasus 1

b. History pada titik-titik pengukuran saat t = 0.5 untuk kasus 1 c. Kurva ketinggian pada saat t = 0.5 untuk kasus 2 d. History pada titik-titik pengukuran saat t = 0.5 untuk kasus 2

Dari Gambar 5 terlihat bahwa terjadi perubahan kenaikan suhu dari setiap materi baik untuk kasus 1 maupun kasus 2. Hasil akhir perhitungan dari proses radiasi gelombang

elektromagnetik disajikan pada Gambar 6.

Pada hasil akhir perhitungan menunjukkan bahwa perubahan suhu pada kasus 1 lebih besar dibanding kasus 2. Berarti dapat disimpulkan

Page 26: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 26

bahwa untuk sifat auto catalytic pada materi lebih

mempengaruhi perubahan temperatur dari pada intensitas energi listrik.

a

b

Gambar 6 a. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 1 b. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 2

b. Kasus II, jika

Pada kasus ini, besar intensitas medan listrik dan sifat auto catalytic pada materi sama dengan kasus sebelumnya yaitu berturut-turut = 1,

= 5 dan = 5, = 1 tetapi fungsi difusivitas yang digunakan adalah

. Berikut ini adalah gambar-gambar hasil perhitungan numerik yang dipotret untuk beberapa waktu tertentu ketika proses pemanasan terjadi.

Gambar 7 hasil pengukuran pada awal pemanasan memperlihatkan, ketika gelombang elektromagnetik mengenai materi terjadi proses pemanasan dari materi, temperatur pada masing-masing materi juga meningkat, dan khususnya untuk daerah yang terkena langsung gelombang

elektromagnetik terjadi perubahan temperatur yang drastis karena sumber radiasi gelombang elektromagnetik terletak didekat daerah serebelum dan daerah tersebut paling dekat dengan telinga, sehingga perubahan temperatur yang drastis terjadi pada daerah serebelum. Yang membedakan antara kasus 1 dan kasus 2 adalah besarnya perubahan suhu pada setiap materi dan pada kasus 1 perubahan suhunya lebih tinggi dibanding kasus 2. Memperhatikan proses pemanasan pada materi yang terjadi pada Gambar 7, pada daerah lobus parietalis mengalami pemanasan internal yang sangat dinamis karena daerah tersebut memiliki sifat difusivitas materi yang sangat rendah dari materi yang lain.

Page 27: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 27

a

b

Gambar 7 a. Hasil perhitungan pada awal pemanasan untuk kasus 1 b. Hasil perhitungan pada awal pemanasan untuk kasus 2

Gambar berikut ini merupakan hasil perhitungan berikutnya pada saat t = 0.5.

a

b

Gambar 8 a. Hasil perhitungan saat t = 0.5 untuk kasus 1

Page 28: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 28

b. Hasil perhitungan saat t = 0.5 untuk kasus 2

Dari Gambar 8 juga terlihat bahwa terjadi perubahan kenaikan suhu dari setiap materi baik untuk kasus 1 maupun kasus 2. Hasil akhir

perhitungan dari proses radiasi gelombang elektromagnetik disajikan pada Gambar 9 berikut

a

b

Gambar 9 a. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 1 b. Hasil Akhir Perhitungan Numerik pada Saat t = 5 untuk kasus 2

Pada hasil akhir perhitungan menunjukkan bahwa perubahan suhu pada kasus 1 lebih besar dibanding kasus 2. Pada kasus ini sifat auto catalytic pada materi juga lebih mempengaruhi perubahan temperatur dari pada intensitas energi listrik. Tetapi jika perubahan suhu pada kasus dibandingkan dengan kasus maka perubahan suhu pada kasus

lebih besar.

6. KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat

diambil dari masalah pemodelan matematika tentang radiasi gelombang elektromagnetik ponsel pada tubuh manusia adalah 1. Model matematika tentang radiasi

gelombang elektromagnetik ponsel terhadap tubuh manusia adalah

. Dengan:

, dengan > 0, > 0

untuk suatu > 0, dengan > 0, > 0.

Dan domain D dengan syarat awal dan syarat batas

pada , dimana domain D adalah materi

2D yang berbentuk kepala manusia yang dikonstruksi oleh 63 titik terhubung dengan beberapa bagian pada otak memiliki sifat difusivitas berbeda.

2. Dari beberapa kasus yang dikaji pada bagian kelima dapat disimpulkan bahwa

Page 29: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 29

temperatur setiap materi akan semakin naik dari waktu ke waktu jika intensitas energi listrik dan nilai sifat auto catalytic pada materi semakin besar. Dari kedua faktor (intensitas energi listrik dan nilai sifat auto catalytic pada materi) yang mempengaruhi temperatur pada proses radiasi gelombang elektromagnetik ponsel yang lebih berpengaruh adalah sifat auto catalytic pada materi. Tetapi jika dilihat dari fungsi difusivitasnya, fungsi difusivitas yang tak konstan yaitu

yang lebih mempengaruhi besar perubahan temperatur pada setiap materi khususnya materi yang dekat dengan sumber radiasi dan materi yang memiliki sifat difusivitas paling kecil.

7. REFERENSI

Chandra, D,dkk. 1996. On The Formation of Hotspot in Microwave Heating. Proc. Of ICDE’96, 245 – 255.

Mahardika, I Putu, dkk. 2009. Efek Radiasi Gelombang Elektromagnetik Ponsel terhadap Kesehatan Manusia. (http://www.docstoc.com) diakses pada tanggal 2 Januari 2010.

Nusantara, Toto. Tanpa Tahun. On The Moving Electric Field Dynamic in Microwave Heating. Makalah tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Swamardika, I.B. Alit. 2009. Pengaruh Radiasi Gelombang Elektromagnetik terhadap Kesehatan Manusia. Bali: Fakultas Teknik Universitas Udayana.

Page 30: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 30

PERAMALAN DATA INDEKS HARGA SAHAM KOMPAS100 MENGGUNAKAN METODE ARFIMA

(AUTOREGRESSIVE FRACTIONALLY INTEGRATED MOVING AVERAGE).

Andini Eka Irlianti, Hendro Permadi

Jurusan Matematika FMIPA UM

Abstrak

Indeks harga saham adalah suatu indikator yang menunjukkan pergerakan harga saham. Pergerakan indeks menjadi indikator penting bagi para investor untuk menentukan apakah mereka akan menjual, atau membeli suatu atau beberapa saham. Dalam perdagangan saham sehari-hari, harga saham tidak dapat dipastikan karena selalu mengalami perubahan. Diperlukan metode peramalan untuk memprediksi harga saham pada masa yang akan datang untuk menghindari kerugian. Metode yang paling umum digunakan untuk memodelkan deret waktu (time series) adalah Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Metode ini mempunyai keterbatasan hanya dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek (short memory), dan pemodelan dengan metode ARIMA hanya dapat menjamin kestasioneran data dengan nilai differencing (d) bernilai bilangan bulat. Untuk mengatasi kelemahan metode ARIMA tersebut, diperkenalkanlah metode Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA) yang merupakan pengembangan dari metode ARIMA. Metode ini dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Pada metode ini nilai differencing (d) tidak dibatasi pada nilai integer saja, akan tetapi juga riil. Pendugaan nilai d dilakukan dengan menggunakan Hurst Eksponen. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah Data indeks Harga Saham Kompas100. Data Kompas100 terindikasi memiliki ketergantungan jangka panjang yaitu data yang pengamatan yang jauh terpisah masing saling mempengaruhi. Indikasi tersebut diperoleh berdasarkan plot ACF dan plot periodogram data. Dari hasil penelitian diperoleh model yang sesuai untuk data indeks harga saham Kompas100 adalah ARFIMA (3,d,5) memiliki persamaan sebagai berikut:

dimana dengan nilai AIC = 8.79941409 Kata kunci: ARFIMA, periodogram, Hurst Eksponen, saham Kompas100

Abstract

Stock price index is an indicator that shows the movement of stock price. The Index movement is important for investor to make a decision whether they have to sell or buy some stock. In daily stock trading, stock price always change. The investor need forecasting methods to predict the stock price for the next period, so they will not suffer any loss. The most ordinary methods for time series is Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). This method has limitation that it is only explain the short memory of time series, and can guarantee the stationarity by integer differencing only. Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA) is introduced to overcome that limitation. ARFIMA methods can explain both short memory and long memory time series. The value of differencing (d) not only restrict by integer, but also real number. Estimation of d use the Hurst Exponent. This research use the stock price indeks of Kompas100. It was indicated to have the long memory properties, it means that the far separated data still have influence each other. It based on ACF and periodogram data plot. And this research result show that the suitable ARFIMA model for Kompas100 stock price index data is ARFIMA (3,d,5) by the equation:

Where with the value of AIC = 8.79941409 Keywords: ARFIMA, periodogram, Hurst Exponent, Kompas100 Stock

Page 31: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 31

1. PENDAHULUAN Metode peramalan adalah suatu teknik

untuk memperkirakan keadaan atau situasi di masa yang akan datang. Metode peramalan merupakan perangkat penting dalam manajerial, karena akan membantu dalam mengadakan pendekatan analisa terhadap tingkah laku data masa lalu, sehingga dapat memberikan cara pemikiran, pengerjaan dan pemecahan yang sistematis dan akan memberikan tingkat keyakinan yang lebih besar terhadap keputusan yang diambil.

Indeks Kompas100 adalah merupakan suatu indeks saham dari 100 saham perusahaan publik yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta. Saham-saham yang termasuk dalam Kompas100 diperkirakan mewakili sekitar 70-80% dari total Rp 1.582 triliun nilai kapitalisasi pasar seluruh saham yang tercatat di BEJ, maka dengan demikian investor bisa melihat kecenderungan arah pergerakan indeks dengan mengamati pergerakan indeks Kompas100. Dalam perdagangan saham sehari-hari, harga saham tidak dapat dipastikan karena selalu mengalami perubahan baik berupa kenaikan maupun penurunan. Diperlukan metode peramalan untuk memprediksi harga saham pada masa yang akan datang untuk menghindari kerugian. Oleh karena itu, para pemain saham berlomba mencari metode-metode peramalan yang dapat memodelkan data sehingga dapat dijadikan acuan dalam pembelian saham.

Metode yang paling umum digunakan untuk memodelkan deret waktu (time series) adalah Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Metode ini mempunyai keterbatasan hanya dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek (short memory), dan pemodelan dengan metode ARIMA hanya dapat menjamin kestasioneran data dengan nilai differencing (d) bernilai bilangan bulat. Untuk mengatasi kelemahan metode ARIMA tersebut, pada tahun 1981, Hosking memperkenalkan metode Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA) yang merupakan pengembangan dari metode ARIMA. Metode ini dapat menjelaskan deret waktu jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Pada metode ini nilai differencing (d) tidak dibatasi pada nilai integer saja, akan tetapi juga riil.

II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA)

Model ARFIMA merupakan pengembangan dari model ARIMA yang mempunyai parameter d bernilai bilangan bulat. Pada data time series yang tidak stasioner dapat dimodelkan dengan ARIMA yang mempunyai nilai d bernilai bilangan bulat, yakni dilakukan differencing d untuk menjamin stasioneritas. Untuk menentukan nilai d pada model ARIMA dapat dilakukan dengan cara melakukan differencing atau pembedaan yang dapat menghilangkan ketidakstasioneran dan dapat menghilangkan trend linear pada data. Pemodelan ARFIMA dilakukan pada data nonstasioner dimana autokorelasi turun lambat yang mendekati linear atau turun secara hiperbolik. Penanganan data non stasioner ini dengan menggunakan model ARFIMA tidak dilakukan tahap differencing atau pembedaan dengan nilai d integer. Karena dengan transformasi (1 – B)d pada model ARFIMA dengan nilai d bernilai riil dapat menangani data non stasioner. Dengan transformasi tersebut dapat menangkap memori jangka panjang atau ketergantungan jangka panjang sehingga dapat menghilangkan ketidakstasioneran dan trend data.

Misalkan Zt terdapat memori jangka panjang maka pemodelan yang terbaik adalah proses Fractional Integrated ARMA atau proses ARFIMA. Model ARFIMA (p, d, q) adalah

ttd eBZBB )()1)((

dimana: )(B : Operator proses AR yang stasioner )(B : Operator proses MA yang stasioner

Zt : data pengamatan ke-t et : galat acak (white noise) (1-B)d : Operator pembeda d : Tingkat pembeda agar proses menjadi stasioner 2

1,21d

(1-B)d adalah operator pembedaan fraksional yang didefinisikan sebagai

2)1(2111 BdddBB d

...)2)(1(

61 3 Bddd

Page 32: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 32

Asumsi-asumsi yang diberlakukan pada ARFIMA adalah: 1. )(B mempunyai orde kurang dari atau

sama dengan p. )(B mempunyai orde kurang dari atau sama dengan q, akar-akar )(B dan )(B diluar unit circle dan et~IIDN(0, 2

) atau E(et)=0 dan

E( )= 2

2. 3. Akar-akar dari )(B sederhana (Sowell,

1992a)

Sifat - sifat dari model ARFIMA yaitu: Model umum dari proses ARFIMA (p,d,q) bentuknya sama dengan model umum pada proses ARIMA (p,d,q). Perbedaan di antara keduanya yaitu terletak pada nilai pembedanya, d. Proses ARIMA (p, d, q) nilai pembedanya selalu bilangan bulat (integer) sedangkan untuk proses ARFIMA (p, d, q) nilai pembedanya dapat berupa bilangan pecahan (non integer). (Sowell, 1992a) 2.2 Indeks Kompas 100

Indeks Kompas100 adalah merupakan suatu indeks saham dari 100 saham perusahaan publik yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta. Indeks Kompas100 secara resmi mulai diterbitkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ) bekerjasama dengan koran Kompas pada hari Jumat tanggal 10 Agustus 2007. Saham-saham yang terpilih untuk dimasukkan dalam indeks Kompas100 ini selain memiliki likuiditas yang tinggi, serta nilai kapitalisasi pasar yang besar, juga merupakan saham-saham yang memiliki fundamental dan kinerja yang baik.

Saham-saham yang termasuk dalam Kompas100 diperkirakan mewakili sekitar 70-80% dari total Rp 1.582 triliun nilai kapitalisasi pasar seluruh saham yang tercatat di BEJ, maka dengan demikian investor bisa melihat kecenderungan arah pergerakan indeks dengan mengamati pergerakan indeks Kompas100. Tujuan utama BEJ dalam penerbitan indeks Kompas100 ini antara lain guna penyebar luasan informasi pasar modal serta menggairahkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari keberadaan BEJ,

baik untuk investasi maupun mencari pendanaan bagi perusahaan dalam mengembangkan perekonomian nasional. Manfaat dari keberadaan indeks ini yakni membuat suatu acuan (benchmark) baru bagi investor untuk melihat ke arah mana pasar bergerak dan kinerja investasinya. (Wikipedia, 2007)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data mingguan Indeks harga saham Kompas 100 periode 2008 hingga 2010 dan sampel yang digunakan adalah Indeks harga saham kompas 100 periode 20 oktober 2008 hingga 12 Februari 2010 3.2. Metode Analisis Data 1. Identifikasi Model 2. Tahap pendugaan Parameter 3. Tahap Uji Diagnostik Parameter (Uji

Normal Residual dan White Noise) 4. Tahap Pemilihan model terbaik 5. Peramalan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Model

Langkah awal yang dilakukan untuk mengidentifikasi data deret waktu adalah membuat plot data berdasarkan waktu (plot time series). Kemudian membuat plot ACF dan periodogram untuk mengetahui long memory atau ketergantungan jangka panjang pada data. Pola Data Plot Data Saham Kompas100 dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Plot Data Deret waktu Indeks

Harga Saham Kompas100

Page 33: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 33

Berdasarkan Gambar 1, data mingguan indeks harga saham Kompas100 periode 20 oktober 2008 hingga 12 februari 2010 cenderung mengalami peningkatan. 4.2. Identifikasi Ketergantungan Jangka Panjang

Dalam pemodelan ARFIMA, indikasi adanya ketergantungan jangka panjang pada data dapat dilihat dari plot ACF dan periodogram dari data. Gambar 2 berikut merupakan plot ACF dan periodogram dari data indeks harga saham Kompas100.

Gambar 2. Plot ACF Data Indeks Harga

Saham Kompas100

Gambar 3. Plot Periodogram

Data Indeks Harga Saham Kompas100

Bentuk plot ACF data indeks harga saham yang turun secara hiperbolik atau turun lambat, menunjukkan indikasi adanya ketergantungan jangka panjang dalam data. Selain dari plot ACF, ketergantungan jangka panjang juga dapat dilihat dari plot periodogram, bila bentuk periodogram meningkat menuju nilai yang sangat besar tetapi berhingga untuk frekuensi yang mendekati nol, menunjukkan adanya ketergantungan jangka panjang dalam data. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, maka data indeks harga saham Kompas100 mempunyai ketergantungan jangka panjang. Informasi ini memberikan indikasi bahwa

data tersebut dapat dimodelkan dengan metode ARFIMA. Tidak seperti pada pemodelan dengan metode ARIMA yang mengatasi ketidakstasioneran terhadap rata-rata dengan melakukan pembedaan (differencing) yang nilai d-nya berupa bilangan bulat, pada metode ARFIMA tahap differencing tidak dilakukan, ketidakstasioneran akan diatasi oleh nilai d yang berupa bilangan real antara -0.5 hingga 0.5. Penggunaan software OX akan sangat membantu dalam penetapan nilai d, software akan memilih nilai-nilai parameter yang membuat data stasioner terhadap rata-rata.

4.3. Pendugaan parameter

Selanjutnya, akan dilakukan pendugaan model sementara. Perkiraan nilai parameter p dan q diperoleh berdasarkan plot ACF dan PACF data. Nilai parameter p dan q ditentukan berdasarkan lag yang

keluar batas (signifikan).

Gambar 4. Plot PACF Data Indeks Harga

Saham Kompas100

Pada plot ACF data indeks harga saham Kompas100, lag yang keluar batas (signifikan) adalah pada lag 1, 2, 3, 4, 5, 6. Sedangkan pada plot PACF, lag yang keluar batas adalah lag 1. Dari lag – lag yang keluar tersebut, nilai dan

dikombinasikan sehingga membentuk model-model sementara yang mungkin, yaitu

ARFIMA (p,q)

0 1 2 3 4 5 6

0 - (0,1) (0,2) (0,3) (0,4) (0,5) (0,6) 1 (1,0) (1,1) (1,2) (1,3) (1,4) (1,5) (1,6) 2 (2,0) (2,1) (2,2) (2,3) (2,4) (2,5) (2,6) 3 (3,0) (3,1) (3,2) (3,3) (3,4) (3,5) (3,6) 4 (4,0) (4,1) (4,2) (4,3) (4,4) (4,5) (4,6) 5 (5,0) (5,1) (5,2) (5,3) (5,4) (5,5) (5,6) 6 (6,0) (6,1) (6,2) (6,3) (6,4) (6,5) (6,6)

Page 34: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 34

4.4. Pengujian Parameter

Langkah selanjutnya adalah menguji parameter dari model-model yang sudah diperoleh. Uji Signifikansi parameter model dilakukan untuk membuktikan bahwa model tersebut cukup memadai. Dari 48 model ARFIMA yang dicobakan dengan software OX, diperoleh 25 model yang layak dengan parameter-parameter yang nyata. Parameter model dikatakan nyata (signifikan) apabila nilai untuk masing-masing dugaan parameter model lebih kecil dari tingkat kesalahan

4.5. Pemeriksaan Diagnostik

Analisis dilanjutkan dengan uji asumsi residual white noise dan uji kenormalan residual. Untuk uji kenormalan residual dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, sedangkan Uji residual white noise dilakukan dengan menggunakan uji Portmanteau. Residual model dikatakan white noise dan berdistribusi normal jika nilai lebih besar dari tingkat kesalahan 4.6. Pemilihan Model Terbaik

Langkah berikutnya adalah memilih model ARFIMA terbaik yang digunakan untuk data saham Kompas100 dengan cara membandingkan AIC. Model dengan AIC terkecil adalah model yang akan digunakan pada data. Tabel 1. AIC Model-model ARFIMA

yang memenuhi asumsi residual

Model ARFIMA AIC (2,d,2) 8.99355139 (2,d,3) 8.92925886 (3,d,0) 9.14290553 (3,d,1) 9.09181705 (3,d,3) 9.08185752 (3,d,5) 8.79941409 (4,d,2) 9.09360795 (4,d,4) 8.99735961 (5,d,1) 9.02064366 (5,d,5) 9.01086299

Dari model-model di atas, model yang

memiliki AIC terkecil adalah model ARFIMA (3, d, 5) yang bernilai 8.79941409. Jadi, model yang memadai digunakan untuk data indeks harga saham

Kompas100 adalah ARFIMA (3, d, 5). Model ARFIMA (3, d, 5) memiliki persamaan sebagai berikut: (1 - Φ3B3)(1 - B)dZt = (1 - Θ1B - Θ2B 2-

Θ3B3)et

dengan 2)1(2111 BdddBB d

...)2)(1(61 3 Bddd

dimana d=0.373583, Φ3 = 0.903795, Φ1= 0.469986, Φ 2 = 0.518533, Φ 3 = -0.497597,

Indikasi model ARFIMA(3,d,5) adalah Autoregressive orde 3 menyatakan adanya ketergantungan pengamatan ke-t dengan 3 pengamatan sebelumnya sedangkan Moving Average orde 5 menyatakan adanya ketergantungan antara kesalahan acak pada indeks waktu t dengan 5 kesalahan acak sebelumnya. Pada model ARFIMA, orde dinyatakan secara kumulatif sesuai orde yang dianalisis.

4.7. Peramalan data

Setelah ditemukan model yang sesuai dengan data, langkah terakhir adalah meramalkan data untuk beberapa periode ke depan. Untuk data indeks harga Saham Kompas100, akan diramalkan 5 periode mendatang. Tabel 2. Hasil Peramalan

Periode Zt Data Terbaru 70 610.16 612.594 71 609.86 610.831 72 606.41 612.606 73 605.64 607.272 74 605.21 602.621

Dari tabel 2 di atas, dapat dilihat

perbandingan data peramalan model ARFIMA (3,d,5) dengan data terbaru indeks harga Saham Kompas100. Dapat disimpulkan bahwa hasil peramalan relatif cukup baik.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumya diperoleh kesimpulan bahwa Data Indeks Harga Saham Kompas100 periode 20 Oktober 2008 hingga 12 Februari 2010 memiliki indikasi ketergantungan jangka panjang yaitu data pengamatan yang jauh terpisah masih saling berhubungan. Model terbaik untuk indeks

Page 35: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 35

harga saham Kompas100 adalah ARFIMA (3,d,5) dan memiliki persamaan: (1 - Φ3B3)(1 - B)dZt = (1 - Θ1B - Θ2B 2-

Θ3B3)et dimana d=0.373583, Φ3 = 0.903795, Φ1= 0.469986, Φ 2 = 0.518533, Φ 3 = -0.497597,

Indikasi model ARFIMA(3,d,5) adalah Autoregressive orde 3 menyatakan adanya ketergantungan pengamatan ke-t dengan 3 pengamatan sebelumnya sedangkan Moving Average orde 5 menyatakan adanya ketergantungan antara kesalahan acak pada indeks waktu t dengan 5 kesalahan acak sebelumnya. Pada model ARFIMA, orde dinyatakan secara kumulatif sesuai orde yang dianalisis. 6. DAFTAR RUJUKAN Conover, W.J. 1980.Practical Nonparametric Statistic 2nd edition. New York: John Wiley and sons,

Cryer, J.D. 1986. Time Series Analysis. Boston: PWS-KENT Publishing Company.

Darmawan, Gugum. 2005. Perbandingan Akurasi Penaksiran Parameter Pembeda pada Model ARFIMA. (Online). (http://pustaka.unpad.ac.id/archives/35641, diakses 17 Maret 2009)

Doornik J.a. dan Ooms, M. 2006. A Package for Estimating and Simulating Arfima Models. (Online). (http://nuff.ox.ac.uk/economics/users/Doornik, diakses tanggal 17 Maret 2009)

Faturrahmi, Emi. 2009. Perbandingan Metode Exact Maximum Likelihood dan Modified Profile Likelihood pada Pendugaan Parameter Model Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA).Skripsi tidak diterbitkan. Malang:Universitas Brawijaya

Hanke, J.E., A.g. Reitsch, dan D.W. Wichern. 2003. Peramalan Bisnis. Edisi Ketujuh. Terjemahan Devy Anantanur. Jakarta: P.T.Prenhallindo.

Indeks Harga Saham dan Obligasi. 2007. (Online). (http://www.idx.co.id/MainMenu/Education/IndeksHargaSahamObligasi/tabid/195/lang/id-ID/Default.asp, diakses 17 Maret 2010)

Indeks Kompas100. 2007. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/indeksKompas100, diakses 17 Maret 2010)

Irhamah. 2005. Perbandingan Metode-metode Pendugaan Parameter Model ARFIMA. Tesis

tidak tidak diterbitkan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November

Makridakis,Spyros.,Steven C. Wheelwright., Victor,E.McGee.1999. Metode dan Aplikasi Peramalan oleh Untung Sus Andriyanto & Abdul Basith. Jakarta: Erlangga.

Prafitia, Harnum Nisa. 2010. Long Memory pada Data Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.

Sowell, F., 1992. Maximum Likelihood Estimation of stationary Univariate Fractionally Integrated Time Series Model. Journal of econometrics. (online). (http://research.carniegiemellonuniversity.org/wp/1992/94-027.pdf, diakses tanggal 17 Maret 2009)

Wei, William W.S. 1990. Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods. Addison-Wesley publishing Company inc.

Zickus, M., Leipus, R., and Kuietkus, K. (1999). Estimation of Long Range Dependence in windspeed time series data. Lithuania: Vilnius Universit

Page 36: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 36

PENGEMBANGAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING BERBASIS TIK

DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI STATISTIKA TERAPAN

Hendro Permadi

Jurusan Matematika FMIPA UM Email : [email protected]

Abstrak

Mata kuliah Statistika Terapan merupakan mata kuliah wajib dengan bobot tiga SKS, dimana dalam kurikulum 2007 terjadi penggabungan mata kuliah Statistika Dasar dan Analisis Data. Dampak penggabungan dua mata kuliah ini beban mahasiswa tambah berat, sehingga dapat diprediksi bahwa mahasiswa akan kesulitan untuk memahami materi pada mata kuliah tersebut. Penelitian ini menitik beratkan pada bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK dalam upaya peningkatan pemahaman konsep pada materi Statistika Terapan

Dari hasil analisis, nilai rata-rata tidak ada perbedaan yang signifikan antara metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK (offering A) dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (offering B), namun demikian variasi atau sebaran nilai pada kemampuan awal (pretes) nampak offering A lebih bervariasi dibanding dengan offering B. Dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK cenderung menurunkan variasi nilai pada offering A terutama pada materi peluang dan uji hipotesis, dengan nilai selang kepecayaan 95 % berada diantara (3,57 – 6,21) sedangkan offering B (9,26 – 16,49). Sedangkan pada materi uji hipotesis offering A (1,64 – 2,84) dan offering B (4,44 – 7,91). Hal ini menunjukkan tambahan bantuan TIK dapat memudahkan mahasiswa untuk lebih memahami materi yang lebih aplikatif. Kata kunci : Inkuiri Terbimbing Berbantuan TIK, Statistika Terapan.

Abstract

Applied Statistics has been compulsory subject with credits 3 as the 2007’s curriculum merged Basic Statistics and Data Analysis to Applied Statistics. This merging will be implied the students’ difficulty to understand the lesson considerably. This study focuses on the development of learning instruments using computer-assisted guided inquiry learning in order to improve the understanding the concepts of Applied Statistics material.

The result of analyses starting from pretest up to the third meeting, the average score suggests no significant difference between computer-assisted guided inquiry learning (Offering A) with the guided inquiry learning (Offering B), however, offering A score variety or dispersion on the initial test (pretest) showed more variety than those from B. Computer-assisted guided inquiry learning method has tended to decrease score variety in offering A, especially on the probability and hypothesis test material. Within the value of confidence interval 95%, the standard deviation for probability material is between 3.57 – 6.21 and 9.26 – 16.49 for offering A and B consecutively, while the value of confidence interval 95%, the standard deviation in hypothesis test material are (1.64 – 2.84) and (4.44 – 7.91) for offering A and B consecutively. There facts show that the computer-assisted method facilitate the students in understanding more applicative material. Kata kunci : computer-assisted guided inquiry learning, Applied Statistics. 1. PENDAHULUAN

Mata kuliah Statistika Terapan merupakan mata kuliah wajib dengan bobot tiga SKS, dimana dalam kurikulum 2007 terjadi penggabungan mata kuliah Statistika Dasar dan Analisis Data menjadi Statistika

Terapan. Dampak penggabungan dua mata kuliah ini beban mahasiswa tambah berat, sehingga dapat diprediksi dengan mudah bahwa mahasiswa akan kesulitan untuk memahami mata kuliah tersebut. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran Statistika

Page 37: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 37

Terapan, diperlukan upaya untuk mempermudah pemahaman konsep terhadap materi yang diajarkan disesuaikan dengan tingkat perkembangan mahasiswa.

Untuk mencapai kondisi di atas, Bruner (1960; 1966) menyarankan dalam Statistika Terapan harus terjadi transfer konsep ilmiah dan sikap ilmiah melalui empat tahap proses berpikir, yaitu: (1) dihadapkan pada suatu problem yang menantang, (2) memunculkan hasrat ingin tahu, (3) mengecek ide-idenya terhadap fakta-fakta, dan (4) menarik kesimpulan yang didukung proses penemuan. Statistika Terapan harus diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan yang disertai dengan sikap ilmiah. Kemampuan berpikir mahasiswa dapat membantu mahasiswa memperoleh pengetahuan yang dikonstruksi sendiri (Bybee, 2002). Arends (2004) menyebutkan pemerolehan pengetahuan dengan cara dibentuk dan dikonstruksi sendiri oleh mahasiswa adalah dilandasi filsafat konstruktivisme.

Penelitian ini menitik beratkan pada bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK dalam upaya peningkatan pemahaman konsep pada materi Statistika Terapan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel mahasiswa angkatan 2007 Tahun Akademik 2008/2009. Program Studi Pendidikan Matematika 2 kelas/ offering (dimana offering A dengan metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK dan offering B dengan metode inkuiri terbimbing). Dimana masing-masing kelas diambil seluruh mahasiswaVariabel yang digunakan berupa, pemahaman konsep (nilai hasil evaluasi ujian I, ujian II (UTS) dan Ujian III (UAS). 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pembelajaran Statistika Terapan Dengan Strategi Inkuiri Terbimbing

Pembelajaran inkuiri dimulai ketika pembelajar dihadapkan pada pertanyaan untuk dijawab, kasus untuk dipecahkan atau diselesaikan atau pengamatan untuk dijelaskan (Hinman, R, 1998.). Jika metode ini diterapkan secara efektif, maka mahasiswa harus belajar untuk merumuskan

pertanyaan atau permasalahan dengan baik, mengidentifikasi dan mengumpulkan bukti, menyajikan hasil secara sistematik, menganalisis dan menginterpretasikan hasil, menyimpulkan, serta mengevaluasi hasil kesimpulan. Carin dan Sund. (1985) menyatakan pembelajaran inkuiri meliputi metode pembelajaran seperti problem based learning, discovery learning, casebased instrucsion dan student research.

Dalam pembelajaran inkuiri terdapat beberapa teknik yang digunakan, Slavin, R.E. (1994) membagi teknik inkuiri menjadi tiga, yaitu : 1) Structured inquiry yaitu teknik inkuiri dimana mahasiswa diberi permasalahan dan diberi petunjuk bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut; 2) Guided inquiry yaitu teknik inkuiri dimana mahasiswa harus menggunakan metode tertentu dalam penyelesaian masalah dan 3) Open inquiry, teknik inkuiri dimana mahasiswa harus merumuskan masalah serta penyelesaiannya secara mandiri. Berbeda dengan Oliver, Allen, dan Anderson, (2004) membagi teknik inkuiri kedalam dua kategori yaitu teacher inquiry dan learner inquiry, yakni pembelajaran dimana dosen/guru yang mengajukan pertanyaan, sedangkan learner inquiry mahasiswa yang mengajukan pertanyaan.

Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri dipandang lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional. Calburn dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri lebih efektif dibandingkan dengan metode pembelajaran deduktif yang membantu mahasiswa memahami bagaimana seorang ilmuwan menjelaskan sebuah fenomena (Tuckman, Bruce, W. 1999). Calburn merekomendasikan dalam pembelajaran inkuiri, mahasiswa diberikan pertanyaan, yang mana mahasiswa dapat langsung menjawab melalui investigasi, yang membantu memastikan bahwa aktivitasnya mengarah pada penemuan sebuah konsep.

Pembelajaran inkuiri dapat mengubah sebuah informasi menjadi pengetahuan yang lebih bermanfaat. Pembelajaran ini menekankan pada pengembangan keahlian serta kebiasaan berfikir atau habits of mind (Phillips dan Germann, 2002). Informasi yang didapatkan mahasiswa kadang kurang berguna secara kontekstual. Perencanaan

Page 38: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 38

pembelajaran dan materi pengajaran memerlukan konteks yang relevan untuk pengetahuan baru bagi mahasiswa yang menuju pada sebuah pemahaman. Mahasiswa sering kesulitan untuk memahami hubungan antara aktivitas dalam suatu matakuliah tertentu, hal ini sering ditemukan pada metode pembelajaran yang tidak didasarkan pada kontekstual.

2.2. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)

Keberhasilan dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran ditentukan oleh banyak aspek, seperti pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan juga sikap. Artinya, kompeten dalam satu bidang saja tidaklah cukup sebagai garansi berhasilnya proses belajar mengajar. Keterampilan dan sikap juga memiliki peran penting dalam mengantarkan keberhasilan lulusan melalui proses belajar yang dilakukan. Sehubungan dengan itu totalitas kompetensi dosen menjadi prasyarat keberhasiln proses pembelajaran. Secara umum kompetensi dalam ranah kognitif memang tidak diragukan lagi, tetapi bagaimana pengetahuan itu disajikan dan disampaikan kepada peserta didik adalah persoalan lain. Penyajian dan penyampaian materi belajar memerlukan suatu keterampilan tertentu, yang dapat dicapai melalui proses yang panjang.

Pembelajaran interaktif adalah pembelajaran yang melibatkan interaksi antara mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan lingkungan atau mahasiswa dengan bahan pembelajaran lainnya. Interaksi adalah elemen subtansial dari suatu aktifitas pembelajaran. Interaksi, khususnya bagi mahasiswa, harus diciptakan dan diberi peluang peluang seluas-luasnya sehingga tujuan pembelajaran yang dikehendaki (khususnya oleh mahasiswa) dapat tercapai melalui suatu proses interaksi tertentu.

Teknologi informasi telah menjadi kebutuhan masyarakat luas, tidak terkecuali dalam proses pembelajaran. Teknologi informasi telah mengubah laju percepatan akses informasi dan lebih dari itu secara paradigmatik telah mengubah praktik dunia pendidikan menuju ke interaksi yang lebih intensif dengan tidak terkendala oleh ruang

dan waktu. Komputer telah menjadi cara atau media utama dalam pembelajaran dan hampir semua materi pelajaran yang disampaikan secara interaktif melalui alat ini di hampir sluruh level pendidikan. Dalam sistem pembelajaran ini interaksi pembelajaran dilangsungkan dalam suatu “magic box” dengan sistem dan prosedur yang memudahkan seseorang untuk mengakses informasi. Hal ini tidak mengherankan karena secara umum, teknologi ini memiliki karakteristik yang : bebas waktu, cukup diri, bercitra visual, selektif dan adaptif.

Secara sederhana pembelajaran berbasis TIK dapat difahami sebagai suatu proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer yang dilengkapi dengan sarana telekomunikasi (internet, intranet, ekstranet) dan multimedia (grafis, audio, video) sebagai media utama dalam penyampaian materi dan interaksi antara pengajar (guru/dosen) dan pembelajar (siswa/mahasiswa).

Model pembelajaran berbasis TIK dengan menggunakan e-learning berakibat pada perubahan budaya belajar dalam kontek pembelajarannya. Setidaknya ada empat komponen penting dalam membangun budaya belajar dengan menggunakan model e-learning di kampus. Pertama, mahasiswa dituntut secara mandiri dalam belajar dengan berbagai pendekatan yang sesuai agar mahasiswa mampu mengarahkan, memotivasi, mengatur dirinya sendiri dalam pembelajaran. Kedua, dosen mampu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan, memfasilitasi dalam pembelajaran, memahami belajar dan hal-hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Ketiga, tersedianya infrastruktur yang memadai dan yang keempat, administrator yang kreatif serta penyiapan infrastruktur dalam memfasilitasi pembelajaran. 2.3. Pemahaman Konsep Dalam Pembelajaran Statistika Terapan

Abad 21 disebut juga abad pengetahuan, maka pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu modal dasar bagi setiap manusia agar menjadi sumber daya yang berkualitas dan mampu bersaing pada persaingan bebas. Dalam pembelajaran, pemahaman terhadap

Page 39: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 39

suatu konsep atau prinsip merupakan modal dasar untuk penguasaan konsep atau prinsip selanjutnya. Maka dari itu pembelajaran sains yang baik adalah yang tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau prinsip-prinsip tetapi yang berusaha memahami. Seseorang dikatakan memahami apabila dia dapat menunjukkan unjuk kerja pemahaman tersebut pada level kemampuan yang lebih tinggi baik pada konteks yang sama maupun pada konteks yang berbeda.

Blancard, A. (2001) menyatakan setiap mahasiswa memiliki perkembangan intelektual yang berbeda, maka setiap mahasiswa akan belajar menurut caranya sendiri. Belajar bukan hanya tahu jawaban pertanyaan/permasalahan tetapi perlu merefleksi tentang hal yang telah dipelajari. Refleksi dilakukan dengan cara mengkaji dan menilai tentang apa yang telah dipelajari dan bagaimana belajar tersebut telah terjadi.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Dalam penelitian ini akan dibuat lembar kegiatan mahasiswa (LKM), Lembar diskusi Mahasiswa (LDM), Rencana Pembelajaran (RP), dan Lembar Observasi Keterlaksanaan Rencana Pembelajaran STATISTIKA, dengan divalidasi kepada tim ahli sebelumnya. Adapun contoh LKM, LDM, RP dan lembar observasi diberikan dalam lampiran. 3.2 Rancangan dan Metode Pengajaran

Rancangan pengajaran dan metode pengajaran yang akan dilaksanakan meliputi beberapa tahap. Tahap pertama, peneliti harus menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Rencana tindakan ini disusun atas dasar suatu landasan teori atau kerangka berpikir yang matang sehingga kelayakan pelaksanaannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kedua, peneliti melaksanakan rencana tindakan yang telah disusun itu dalam kegiatan pembelajaran. Ketiga, bersama dengan pelaksanaan tindakan itu dilakukanlah pemantauan dan evaluasi. Keempat, atas dasar hasil pemantauan dan evaluasi, kemudian peneliti melakukan refleksi untuk menetapkan

apakah tindakan itu bisa diteruskan atau perlu dimodifikasi sebelum dilanjutkan. 3.3 Rancangan Pembuatan Software STATISTIKA TERAPAN

Dalam penelitian ini akan dibuat software berupa sebagai media pembelajaran materi perkuliahan Statistika Terapan dan buku ajar Statistika Terapan. Sehingga hasil penelitian ini berupa :

a. Bahan Ajar Statistika Terapan dapat diakses di internet

b. Sofware berisi program visualisasi empriris materi Statistika Terapan.

Tabel 1. Materi Praktikum Dalam

Penelitian No Pokok

Bahasan Materi Praktikum Sumber

1 Distribusi Peluang

1. Distribusi peluang Diskrit

2. Distribusi peluang kontinu

[Minitab Ronald walpolle]

2 Selang keperca-yaan

1. Selang kepercayaan 1 sampel untuk mean.

2. Selang kepercayaan 2 sampel untuk mean.

3. Selang kepercayaan 1 sampel untuk proporsi.

4. Selang kepercayaan 2 sampel untuk proporsi.

[Minitab Ronald

walpolle]

3 Uji Hipotesis

1. Uji Hipotesis 1 sampel untuk mean.

2. Uji Hipotesis 2 sampel untuk mean.

3. Uji Hipotesis 1 sampel untuk proporsi.

4. Uji Hiptesis 2 sampel untuk proporsi.

[Minitab, Ronald walpolle]

3.4 Implementasi pada Perkuliahan

Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk perkuliahan pada kelas A dengan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK. Sedang pada perkuliahan offering B dilakukan dengan strategi pembelajaran inkuiri terbimbing. Pada strategi pembelajaran inkuiri terbimbing setiap selesai satu pokok bahasan dilaksanakan praktikum untuk visualisasi dari sebagian materi yang telah diberikan. Mahasiswa diminta untuk mengubah-ubah program

Page 40: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 40

untuk simulasi contoh-contoh yang serupa. Sedang strategi pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis TIK setiap selesai satu pokok bahasan dilaksanakan praktikum untuk visualisasi dari sebagian materi yang telah diberikan. Adapun perintah atau petunjuk dilakukan dengan cara mengakses internet pada blog hendropermadi_GoBlog ( www.Hendropermadi.wordpress.com ). Mahasiswa diminta untuk mengubah program untuk simulasi contoh-contoh yang serupa, hasil keluaran perubahan program tersebut di kaji atau didiskusikan dan ada tugas-tugas untuk mengakses internet yang berkaitan dengan materi tersebut. 3.5 Evaluasi Proses Pembelajaran

Evaluasi proses pembelajaran pemahaman konsep, diperoleh dari hasil ujian, tugas-tugas, pembuatan makalah dengan materi yang diakses dari Internet pada www.Hendropermadi.wordpress.com komputer tentang penerapan statistika yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Proses evaluasi hasil pembelajaran untuk pemahaman konsep dilakukan dengan menggunakan data primer hasil proses pengamatan dari lembar kerja mahasiswa dan lembar diskusi mahasiswa demikian pula hasil nilai mata kuliah Statistika Terapan yang diperoleh dari hasil evaluasi nilai pretes, nilai Ujian I, ujian II ( UTS) dan Ujian III (UAS).

3.6 Analisis Data

Data hasil proses pengamatan dari lembar kerja mahasiswa dan lembar diskusi mahasiswa dianalisis dengan menggunakan statistic deskriptif sedang untuk hasil nilai mata kuliah Statistika Terapan yang diperoleh dari hasil evaluasi nilai pretes, nilai Ujian I, ujian II ( UTS) dan Ujian III (UAS) dianalisis dengan uji t-student jika nilai pretes kedua offering tersebut sama, sedang jika nilai pretes kedua offering tidak sama maka dilakukan dengan Ancova (Montgomery D.C. 1991). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Nilai Pretes

Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil pretes terlihat bahwa data mengikuti distribusi normal dengan nilai

rata-rata 58,52 dan standart deviasi sebesar 8,00 pada offering A (metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK) seperti pada Gambar 1, sedangkan offering B (metode inkuiri terbimbing) data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 58.44 dan standart deviasi sebesar 2,47 (Gambar 2). Perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut tampaknya tidak ada perbedaan, akan tetapi nilai standart deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan.

Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,000 lebih kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A (metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK) dengan varian offering B (metode inkuiri terbimbing) seperti pada Gambar 3.

45 49 53 57 61 65 69

95% Confidence Interval for Mu

55 60 65

95% Confidence Interval for Median

Variable: pretes

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

55.3512

6.3053

53.0000

0.5500.142

58.5185 8.006664.1054-1.7E-01-1.31220

27

45.000050.000058.000066.000070.0000

61.6858

10.9725

64.0297

kelas: 1

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar 1. Deskripsi dan Hasil uji

Normalitas Nilai Pretes OFF A

45 49 53 57 61 65 69

95% Confidence Interval for Mu

57 58 59 60

95% Confidence Interval for Median

Variable: pretes

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

57.4213

1.9269

57.0000

0.6470.081

58.4400 2.4678

6.095.84E-03-1.24901

25

55.000056.500058.000060.500062.0000

59.4587

3.4331

60.0000

kelas: 2

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar 2. Deskripsi dan Hasil uji

Normalitas Nilai Pretes OFF B

2 7 12

95% Confidence Intervals for Sigmas

2

1

50 60 70

Boxplots of Raw Data

pretes

F-Test

Test Statistic: 10.526

P-Value : 0.000

Levene's Test

Test Statistic: 34.711

P-Value : 0.000

Factor Levels

1

2

uji homogenitas varian pretes

Gambar 3. Uji homogenitas varian Nilai

Pretes dua offering

Page 41: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 41

Tabel 2. Hasil uji t-student materi peluang

Off n Rata-rata

St dev

SE Mean

T hitung

p-value

A 27 58,52 8,01 1.5 0,05 0,962 B 25 58,44 2,47 0,49

Berdasarkan Tabel 2 hasil Uji t

student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata pretes antara offering A (58,52) dengan offering B (58,44) dengan nilai p-value (0,962 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pretes antara offering A dengan offering B tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana nilai varian offering A lebih besar dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (6,31 – 10,97) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (1,93 – 3,43). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa offering B (kode 2) memiliki kemampuan hampir sama (merata) terhadap nilai pretes dibanding dengan offering A (kode 1) seperti terlihat pada Gambar 4.

1 2

50

60

70

kelas

pret

es

Boxplots of pretes by kelas(means are indicated by solid circles)

Gambar 4. Sebaran Nilai Pretes Dua

Offering 4.2 Hasil Pengujian Nilai Materi Peluang

Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil tugas-tugas dan ujian nilai materi peluang terlihat bahwa data tidak mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 82,77 dan standart deviasi sebesar 4,53 pada offering A (Gambar 5) sedangkan offering B data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 81.22 dan standart deviasi sebesar 11,85 (Gambar 6). Perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut tampaknya tidak begitu besar, akan tetapi nilai standart

deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan.

Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,000 lebih kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A dengan varian offering B (Gambar 7). \

55 65 75 85 95

95% Confidence Interval for Mu

81 83 85

95% Confidence Interval for Median

Variable: NILAI PELUAN

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

80.9733

3.5702

82.6525

1.4730.001

82.7667 4.533520.5523-1.386471.37359

27

71.000080.000084.000085.600088.2000

84.5600

6.2128

85.4059

KELAS: 1

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar.5. Deskripsi dan Hasil uji

Normalitas Materi Peluang OFF A

55 65 75 85 95

95% Confidence Interval for Mu

78 83 88

95% Confidence Interval for Median

Variable: NILAI PELUAN

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

76.3345

9.2567

77.6972

0.4500.254

81.228011.8550140.541-5.6E-01-4.7E-01

25

56.900072.950083.200091.300097.7000

86.1215

16.4921

87.7849

KELAS: 2

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar.6. Deskipsi dan Hasil uji

Normalitas Materi Peluang OFF B

5 10 15

95% Confidence Intervals for Sigmas

2

1

60 70 80 90 100

Boxplots of Raw Data

NILAI PELUAN

F-Test

Test Statistic: 0.146

P-Value : 0.000

Levene's Test

Test Statistic: 14.016

P-Value : 0.000

Factor Levels

1

2

UJI HOMOGENITAS VARIAN (NILAI PELUANG)

Gambar 7. Uji homogenitas Varian Dua

Offering Tabel 3. Hasil uji t-student materi

peluang Off n Rata-

rata St

dev SE

Mean T

hitung p-

value A 27 82,77 4,53 0.87 0,61 0,547 B 25 81,2 11,9 2,4

Berdasarkan Tabel 3 hasil Uji t

student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata materi peluang antara offering

Page 42: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 42

A (82,77) dengan offering B (81,2) dengan nilai p-value (0,547 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pemahaman materi peluang antara offering A dengan offering B tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana nilai varian offering A lebih kecil dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (3,57 – 6,21) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (9,26 – 16,49). Padahal hasil pretes offering A lebih bervariasi, dengan metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK mahasiswa memiliki pemahaman terhadap materi peluang lebih merata dibanding dengan mahasiswa yang diajar dengan inkuiri terbimbing, dimana nilainya lebih bervariasi walaupun memiliki nilai rata-rata yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa offering A (kode 1) memiliki kemampuan hampir sama (merata) terhadap pemahaman materi peluang dibanding dengan offering B (kode 2) seperti terlihat pada Gambar 8

1 2

60

70

80

90

100

KELAS

NIL

AI P

ELU

ANG

Boxplots of NILAI PE by KELAS(means are indicated by solid circles)

Gambar 8. Sebaran Nilai Materi Peluang

Dua Offering 4.3 Hasil Pengujian Nilai Materi Distribusi Normal

Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil tugas-tugas dan ujian nilai materi distribusi normal terlihat bahwa data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 62,48 dan standart deviasi sebesar 8,68 pada offering A (Gambar 9) sedangkan offering B data tidak mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 62.26 dan standart deviasi sebesar 5,28 (Gambar 10). Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut, akan tetapi nilai standart deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan.

Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,003 lebih

kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A dengan varian offering B (Gambar 11).

42.5 47.5 52.5 57.5 62.5 67.5 72.5

95% Confidence Interval for Mu

60.0 62.5 65.0 67.5

95% Confidence Interval for Median

Variable: D_NORMAL

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

59.0444

6.8423

58.9703

0.5480.143

62.4815 8.688575.4900-6.2E-01-3.3E-01

27

42.000058.000062.000070.000073.0000

65.9185

11.9070

67.0890

KELAS: 1

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar 9. Deskripsi dan hasil uji

normalitas materi dist. normal off A

42.5 47.5 52.5 57.5 62.5 67.5 72.5

95% Confidence Interval for Mu

60 61 62 63 64 65

95% Confidence Interval for Median

Variable: D_NORMAL

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

60.0781

4.1273

62.0000

2.4320.000

62.2600 5.2858

27.94-1.835334.58009

25

47.000062.000062.000065.000070.0000

64.4419

7.3534

65.0000

KELAS: 2

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar 10. Deskripsi dan hasil uji

normalitas materi dist. normal off B

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

95% Confidence Intervals for Sigmas

2

1

40 50 60 70

Boxplots of Raw Data

D_NORMAL

F-Test

Test Statistic: 2.702

P-Value : 0.017

Levene's Test

Test Statistic: 10.044

P-Value : 0.003

Factor Levels

1

2

UJI HOMOGENITAS VARIAN (NILAI DIST NORMAL)

Gambar 11. Uji homogenitas Varian Dua

Offering Tabel 4. Hasil uji t-student materi

distribusi normal Off N Rata-

rata St

dev SE

Mean T

hitung p-

value A 27 62,48 8,68 1.7 0,11 0,911 B 25 62,26 5,28 1,1

Berdasarkan Tabel 4 hasil Uji t

student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata materi distribusi normal antara offering A (62,48) dengan offering B (62,26) dengan nilai p-value (0,911 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pemahaman materi distribusi normal antara offering A dengan offering B

Page 43: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 43

tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana nilai varian offering A lebih besar dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (6,94 – 11,90) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,13 – 7,35). Padahal hasil uji materi sebelumnya yaitu materi peluang offering B lebih bervariasi, dengan metode inkuiri terbimbing mahasiswa memiliki pemahaman terhadap materi distribusi normal lebih merata dibanding dengan mahasiswa yang diajar dengan inkuiri terbimbing berbantuan TIK, dimana nilainya lebih bervariasi walaupun memiliki nilai rata-rata yang sama, hal ini menunjukkan materi distribusi normal perlu bimbingan yang lebih mendalam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa offering B (kode 2) memiliki kemampuan hampir sama (merata) terhadap pemahaman materi distribusi normal dibanding dengan offering A (kode 1)

1 2

40

50

60

70

KELAS

D_N

OR

MAL

Boxplots of D_NORMAL by KELAS(means are indicated by solid circles)

Gambar 12. Sebaran Nilai Materi

distribusi normal Dua Offering 4.4 Hasil Pengujian Nilai Materi Uji Hipotesis

Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data hasil tugas-tugas dan ujian nilai materi uji hipotesis terlihat bahwa data mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 81,64 dan standart deviasi sebesar 2,07 pada offering A (Gambar 13) sedangkan offering B data tidak mengikuti distribusi normal dengan nilai rata-rata 80.93 dan standart deviasi sebesar 5,68 (Gambar 14). Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata dari kedua offering tersebut, akan tetapi nilai standart deviasi dari kedua offering nampak ada perbedaan.

Hasil uji homogenitas varian menunjukkan nilai p-value = 0,026 lebih kecil dari nilai α (0,05) dari levene’s test

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan varian dari offering A dengan varian offering B (Gambar 15).

60 65 70 75 80 85 90

95% Confidence Interval for Mu

80 81 82 83

95% Confidence Interval for Median

Variable: HIPOTESIS

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

80.8219

1.6375

80.0000

1.0620.007

81.6444 2.07934.32333

0.822457-1.5E-01

27

78.700080.000081.500083.000086.5000

82.4670

2.8495

83.0000

KELAS: 1

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar 13. Deskripsi dan uji normalitas materi uji hipotesis off A

60 65 70 75 80 85 90

95% Confidence Interval for Mu

79 80 81 82 83 84

95% Confidence Interval for Median

Variable: HIPOTESIS

A-Squared:P-Value:

MeanStDevVarianceSkewnessKurtosisN

Minimum1st QuartileMedian3rd QuartileMaximum

78.6317

4.4422

80.2000

1.0480.008

80.9800 5.689032.365

-1.868275.92821

25

60.700077.750082.000084.000089.2000

83.3283

7.9143

83.6000

KELAS: 2

Anderson-Darling Normality Test

95% Confidence Interval for Mu

95% Confidence Interval for Sigma

95% Confidence Interval for Median

Descriptive Statistics

Gambar 14. Deskripsi dan uji normalitas materi uji hipotesis off B

8.57.56.55.54.53.52.51.5

95% Confidence Intervals for Sigmas

1

2

90807060

Boxplots of Raw Data

HIPOTESIS

P-Value : 0.026

Test Statistic: 5.258

Levene's Test

P-Value : 0.000

Test Statistic: 0.134

F-Test

Factor Levels

2

1

UJI HOMOGENITAS VARIAN (NILAI UJI HIPOTESIS)

Gambar 15. Hasil uji homogenitas varian dua offering Tabel 5. Hasil uji t-student materi uji

hipotesis Off N Rata-

rata St

dev SE

Mean T

hitung p-

value A 27 81,64 2,07 0.4 0,55 0,586 B 25 80,93 5,68 1,1

Berdasarkan Tabel 5 hasil Uji t

student menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata materi uji hipotesis antara offering A (81,64) dengan offering B (80,93) dengan nilai p-value (0,586 > α (0,05)). Dengan demikian meskipun nilai rata-rata hasil pemahaman materi uji hipotesis antara offering A dengan offering B tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat perbedaan nilai varian keduanya, dimana

Page 44: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 44

nilai varian offering A lebih kecil dibanding dengan varian offering B, dimana dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (1,64 – 2,84) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,44 – 7,91). Padahal hasil uji sebelumnya pada materi distribusi normal offering A lebih bervariasi, dengan metode inkuiri terbimbing berbantuan TIK mahasiswa memiliki pemahaman terhadap materi peluang lebih merata dibanding dengan mahasiswa yang diajar dengan inkuiri terbimbing, dimana nilainya lebih bervariasi walaupun memiliki nilai rata-rata yang sama. 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mulai dari

pretes sampai ketiga materi, dari nilai rata-rata tidak ada perbadaan yang signifikan antara metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK (offering A) dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (offering B), namun demikian variasi atau sebaran nilai pada kampuan awal (pretes) nampak offering A lebih bervariasi dibanding dengan offering B. Dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan TIK cenderung menurunkan variasi nilai pada offering A terutama pada materi peluang dan uji hipotesis, dengan nilai selang kepecayaan 95 % untuk standart deviasi materi peluang berada diantara (3,57 – 6,21) sedangkan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (9,26 – 16,49). Sedangkan untuk materi uji hipotesis dengan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (1,64 – 2,84), dan selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,44 – 7,91). Hal ini menunjukkan tambahan bantuan TIK dapat memudahkan mahasiswa untuk lebih memahami materi yang lebih aplikatif. Pada Materi yang memerlukan penurunan rumus yang detill atau teoritis pembelajaran dengan inkuiri terbimbing (offering B) memiliki sebaran nilai yang relatif lebih kecil dibanding dengan pembelajaran dengan inkuiri terbimbing berbantuan TIK (offering A) dan ditunjukkan dengan nilai selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering A (6,94 – 11,90) sedangkan

selang kepercayaan 95% untuk standart deviasi offering B (4,13 – 7,35).

5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya perlu dikaji metode pembelajaran inkuri terbimbing berbantuan TIK dibandingkan dengan metode pembelajaran lainnya. 6. DAFTAR PUSTAKA

Arends, R.I. 2004. Learning to Teach. Sixth Edition. New York: Published by Mc Graw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue.

Blanchard, A. 2001. Contextual Teaching and Learning. Copiright B.E.S.T. (http://www.horizonshelpr.org/contextual/ contextual.htm).

Bruner, J.S. 1960. The Process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Bybee, R.W. 2002. Learning Science and the Science of Learning. Science Educators’

Essay Collection. Arlington, Virginia: NSTA Press.

Carin, A.A., dan R.B. Sund. 1985. Teaching Science Through Discovery. Fifth Edition,

Colombus: Charles E. Merrill Publishing Company. A. Bell & Howell Company.

Hinman, Richard, R. 1998. Content Science Inquiry. The Science Teacher 65 (7): 25-27.

Montgomery D.C. 1991. Design and analysis of experiments. Third Edition. John Wiley & Sons. Canada.

Oliver, M.H., Allen, D.D.’ dan Anderson, M. 2004. Inquiry-Guided Instruction. Journal of College Science Teaching (JCST). Vol. XXXIII (6): 20-24.

Phillips, K.A. dan Germann, P.J. 2002. The Inquiry “I”: A too; for Learning Scientific Inquiry. The American Biology Teacher, Vol. 64 (7): 512-520.

Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: Theory into Practice. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Tuckman, Bruce, W. 1999. Conducting Educational Research. Fifth Edition. New York: Harcourt Brace Jovanowich, Inc.

Page 45: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 45

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK PADA MATAKULIAH

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBANTUAN KOMPUTER

Mahmuddin Yunus

Jurusan Matematika FMIPA

Universitas Negeri Malang

Jl. Semarang 5 Malang

Abstrak

Untuk mewujudkan proses pembelajaran matematika yang lebih bermakna dengan hasil prestasi

mahasiswa yang tinggi, dosen harus kreatif dan inovatif dalam mengembangkan strategi pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada mahasiswa. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas proses belajar mahasiswa melalui model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning), serta membantu mahasiswa dalam mempelajari matakuliah Pembelajaran Matematika Berbantuan Komputer (PMBK)

Metode penelitian ini dilakukan melalui dua siklus. Secara operasional prosedur penelitian yang diterapkan dalam dalam penelitian ini antara lain : (1) Merumuskan masalah, (2) Merancang kegiatan, (3) Mengkalkulasi, (4) Melaksanakan pekerjaan, (5) Mengevaluasi hasil.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa nilai rata-rata matakuliah PMBK adalah B+ (skala 3.25). Sedangkan dari produk yang dihasilkan oleh Mahasiswa setelah mengikuti matakuliah PMBK 80% mahasiswa dapat menyelesaikan tugas membuat media pembelajaran tepat waktu. Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) dapat meningkatkan kualitas proses belajar mahasiswa serta dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari materi PMBK

Kata Kunci: Project Based Learning, PMBK

A. Pendahuluan Untuk mewujudkan proses pembela-

jaran matematika yang lebih bermakna dengan hasil prestasi mahasiswa yang tinggi, dosen harus kreatif dan inovatif dalam me-ngembangkan strategi pembelajaran. Kegiat-an pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, lingkungan dan sumber bela-jar lainnya dalam rangka pencapaian kompe-tensi dasar. Pengalaman belajar yang di-maksud dapat terwujud melalui penggunaan

strategi pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada mahasiswa.

Model pembelajaran konstruktivis memberikan wacana tentang lingkungan belajar dalam konteks yang kaya (rich environment). Pengetahuan dan keterampil-an yang kokoh dan bermakna guna (meaningful-use) dapat dikonstruk melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (CORD, 2001, Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000; Marzano, 1992; Waras Kamdi, 2001). Keotentikan kegiatan kuriku-ler terdukung oleh proses kegiatan perenca-naan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil atau jawaban yang tidak

Page 46: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 46

ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu. Pembelajar dapat didorong dalam proses membangun pe-ngetahuan melalui pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antar personal yang berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.

Disinilah, kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual activity-based learning dan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang mem-berikan penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu usaha kolaboratif (Richmond & Striley, 1996), yang dilakukan dalam proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong, 2000). Blumenfeld et.al. (1991) mendiskripsikan model belajar berbasis proyek (project-based learning) berpusat pada proses relative berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit pembe-lajaran bermakna dengan mengintegrasikan konsep-konsep dari sejumlah komponen pengetahuan atau disiplin atau lapangan studi.

Pendidikan berorientasi keca-kapan hidup, pembelajaran berbasis kompetensi dan proses pembelajaran yang diharapkan menghasilkan produk yang bernilai, menun-tut lingkungan belajar yang kaya dan nyata (rich and natural environment), yang dapat memberikan pengalaman belajar dimensi-dimensi kompetensi secara integrative. Lingkungan belajar yang dimaksud ditandai oleh : 1. Situasi belajar, lingkungan, isi dan

tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik dan menyajikan kompleksitas alami “dunia nyata”;

2. Sumber-sumber data primer digunakan agar menjamin keotentikan dan kom-pleksitas dunia nyata;

3. Mengembangkan kecakapan hidup dan bukan reproduksi pengetahuan;

4. Pengembangan kecakapan ini berada di dalam konteks individual dan melalui negosiasi social, kolaborasi dan penga-laman;

5. Kompetensi sebelumnya, keyakinan dan sikap dipertimbangkan sebagai pra-syarat;

6. Keterampilan pemecahan masalah, ber-pikir tingkat tinggi dan pemahaman mendalam ditekankan;

7. Mahasiswa diberi peluang untuk belajar secara apprenticeship dimana terdapat

penambahan kompleksitas tugas, pemer-olehan pengetahuan dan keterampilan;

8. Kompleksitas pengetahuan dicerminkan oleh penekanan belajar pada keterhu-bungan konseptual dan belajar interdi-sipliner;

9. Belajar kooperatif dan kolaboratif di-utamakan agar dapat mengekspos maha-siswa ke dalam pandangan-pandangan alternatif; dan

10. Pengukuran adalah otentik dan mennjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.

B. Kajian Pustaka

Pembelajaran Berbasis Proyek atau Belajar Berbasis Proyek adalah pendekatan pembelajaran yang merangkum sejumlah ide-ide pembelajaran, yang didukung oleh teori-teori dan penelitian substansial. Bagian ini mencoba mengetengahkan bahasan teori-tik yang mendasari Pembelajaran Berbasis Proyek. Menurut Mayer (1992) dalam praktik pendidikan terutama setengah abad terakhir, telah terjadi pergeseran teori-teori belajar dari aliran teori belajar behavioris-tikke kognitif, dari kognitif ke konstruktif.

Implikasi pergeseran pandangan ter-hadap belajar dan pembelajaran tersebut adalah munculnya pandangan bahwa kuriku-lum sebagai body of knowledge atau keterampilan-keterampilan yang ditransfer adalah naïf. Jika pandangan konstruktivis mengenai individu sebagai pengkonstruk pengetahuan mereka sendiri dapat diterima, maka mungkin lebih tepat memandang kurikulum sebagai serangkaian tugas dan strategi belajar. Oleh karena itu, perspektif kehidupan kelaspun menjadi berubah. Hakekat hubungan guru-siswa tidak lagi guru sebagai penjaja informasi dan siswa sebagai penerima informasi semata, tetapi guru lebih sebagai pembimbing dan pendamping berpikir kritis yang konstruktif. Lingkungan kelas dirancang untuk memberi-kan setting social yang mendukung konstruksi pengetahuan dan keterampilan (Driver & Leach, 1993).

Pembelajaran Berbasis Proyek meru-pakan model pembelajaran yang didukung oleh atau berpijak pada teori belajar konstruktivistik. Strategi pembelajaran yang menonjol dalam pembelajaran konstruktivis-tik antara lain adalah strategi belajar kola-boratif, mengutamakan aktivitas siswa dari-

Page 47: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 47

pada aktivitas guru, mengenai kegiatan labo-ratorium, pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstrorming dan simulasi (Ajeyalemi, 1993). Beberapa dari strategi tersebut juga terdapat dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, yaitu (a) strategi belajar kolaboratif, (b) mengutamakan aktivitas siswa daripada aktivitas guru, (c) mengenai kegiatan labora-torium, (d) pengalaman lapangan, (e) peme-cahan masalah. Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide dan interpre-tasi siswa dalam belajar dan memberikan alternative-alternatif melalui aplikasi, bukti-bukti dan argument-argumen.

Dari berbagai karakteristiknya, Pem-belajaran Berbasis Proyek didukung teori-teori belajar konstruktivistik. Dalam konteks pembaharuan di bidang teknologi pembela-jaran, Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dipandang sebagai pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong pebelajar mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman langsung. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan ide-ide pebelajar se-bagai bentuk alternatif pemecahan masalah riil tertentu dan pebelajar mengalami proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung.

Menurut banyak literatur, konstrukti-visme adalah teori belajar yang bersandar pada ide bahwa pebelajar mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri di dalam konteks pengalaman mereka sendiri (Brook & Brook, 1993,1999; Driver & Leach, 1993). Pembelajaran konstruktivistik berfo-kus pada kegiatan aktif pebelajar dalam memperoleh pengalaman langsung (“doing”), ketimbang pasif “menerima” pe-ngetahuan. Dari perspektif konstruktivis, belajar bukanlah murni fenomena stimulus-respon sebagaimana dikonsepsikan para behavioris, akan tetapi belajar adalah proses yang memerlukan pengaturan diri sendiri (self-regulation) dan pembangunan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi (von Glaserfeld, dalam Murphy, 1997). Kegiatan nyata yang dilakukan dalam proyek memberikan pengalaman belajar yang dapat membantu refleksi dan mende-katkan hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang mela-tarinya yang diharapkan akan dapat ber-kembang lebih luas dan lebih mendalam

(Barron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek yang mendasarkan pada aktivitas dunia nyata, berpotensi memper-luas dan memperdalam pengetahuan konsep-tual dan procedural (Gagne, 1985), yang pada khasanah lain disebut juga knowing that dan knowing how (Wilson, 1995). Knowing ‘that’ and ‘how’ is not sufficient without the disposition to ‘do’ (Kerka, 1997). Perluasan dan pendalaman pemaham-an pengetahuan tersebut dapat diamati dengan mengukur peningkatan kecakapan akademiknya.

Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek juga dilandasi oleh teori belajar konstruktif. Menurut Simons (1996) belajar konstruktif harus dilakukan dengan menum-buhkan upaya siswa membangun represen-tasi memori yang kompleks dan kaya, yang menunjukkan tingkat terhubungan yang kuat antara pengetahuan semantic, episodic, dan tindakan. Sebagaimana dinyatakan Simons (1996), representasi memori terbagi menjadi tiga jenis: representasi semantic, episodic dan tindakan. Representasi semantic meng-acu pada konsep dan prinsip dengan karakteristik yang menyertainya, represen-tasi episodic didasarkan pada pengalaman personal dan afektif dan representasi tindakan mengacu pada hal-hal yang dapat dilakukan dengan menggunakan informasi semantic dan episodic, misalnya penyelesai-an jenis masalah tertentu dengan mengguna-kan pengetahuan tertentu. Idealnya, hubung-an antar tiga jenis representasi pengetahuan tersebut kuat. Oleh karena itu, prinsip be-lajar konstruktif adalah menekankan usaha keras untuk menghasilkan keter-hubungan tiga jenis representasi pengetahuan tersebut. Prinsip belajar konstruktif tersebut juga mendasari Pembelajaran Berbasis Proyek. Bagian-bagian dari prinsip belajar konstruk-tif seperti belajar yang berorientasi pada diskoveri, kontekstual, berorientasi masalah dan motivasi social juga menjadi bagian-bagian prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek. Strategi belajar kolaboratif yang diposisikan amat penting dalam Pembelajar-an Berbasis Proyek juga menjadi tekanan teoritik belajar konstruktif. Learning together with other learners can be a very powerful form of learning, in which learners

Page 48: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 48

help each other’s construction processes (Simons, 1996:294).

Strategi belajar kolaboratif tersebut juga dilandasi oleh teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD). Vygotsky merekomendasikan adanya level atau zona, dimana siswa dapat lebih berhasil tetapi dengan bantuan partner yang lebih bisa atau berpengalaman. Vygotsky men-definisikan ZPD sebagai “jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti ditun-jukkan oleh kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dengan tingkat perkembangan potensial seperti ditunjukkan oleh kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu (the distance between the actual development level as determined by independent problem-solving and the level of potential development as determined through problem-solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers) (Gipps, 1994:24-25). Partner ini tidak mendekte apa yang harus dilakukan sejawat yang belajar padanya, akan tetapi mereka terlibat di dalam tindakan kolabora-tif, demonstratif, modeling dan sejenisnya.

Prinsip kontekstualisasi yang menjadi karakteristik penting dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, diturunkan dari ide dasar teori belajar konstruktivistik. Para konstruk-tivis mengatakan bahwa belajar adalah proses aktif membangun realitas dari pe-ngalaman belajar. Bagaimana pun, belajar tidak dapat terlepas dari apa yang sudah diketahui pebelajar dan konteks dimana hal itu dipelajari. Pada konstruktivis itu tidak menyangkal eksistensi (objektivitas) dunia nyata, akan tetapi dikatakannya bahwa makna apa yang kita bangun dari dunia nyata adalah indiosyncratic. Tidak ada dua orang yang membangun makna yang sama, karena kombinasi pengalaman dan pengeta-huan sebelumnya akan menghasilkan inter-pretasi yang berbeda. Atas dasar keyakinan tersebut direkomendasikan bahwa pembela-jaran perlu diletakkan dalam konteks yang kaya yang merefleksikan dunia nyata dan berhubungan erat dengan konteks dimana pengetahuan akan digunakan. Singkatnya, pembelajaran perlu otentik. Seperti telah diuraikan di bagian depan, Pembelajaran Berbasis Proyek adalah salah satu model pembelajaran tang berlatar dunia otentik.

Jonassen (1991) dan Brown, Collins dan Duguid (1998) juga berpendapat bahwa belajar terjadi secara lebih efektif di dalam konteks dan bahwa konteks menjadi bagian penting dari basis pengetahuan yang berhu-bungan dengan proses belajar tersebut. Implikasinya di dalam pembelajaran adalah penciptaan lingkungan belajar riil, otentik dan relevan sebagai konteks belajar tertentu. Guru dan model pembelajaran yang dicip-takannya berfokus pada pendekatan realistic yang memudahkan siswa belajar memecah-kan masalah dunia nyata (Jonassen, 1991). Lingkungan belajar konstruktivistik yang dimaksud adalah: “a place where learners may work together and support each other as they use a variety of tools and informa-tion recources in their pursuit of learning goals and problem-solving activities (Wilson, 1995:27). Pembelajaran Berbasis Proyek juga merupakan pendekatan men-ciptakan lingkungan belajar yang realistic dan berfokus pada belajar memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia nyata.

Pembelajaran Berbasis Proyek juga didukung oleh teori belajar eksperiensial. Seperti dikatakan William James bahwa belajar yang paling baik adalah melalui aktivitas diri sendiri, pengalaman sensoris adalah dasar untuk belajar dan belajar yang efektif adalah holistic dan interdisipliner (dalam Moore, 1999). Prinsip-prinsip ini juga diterapkan dalam Pembelajaran Berbasis Proyek. Pebelajar mengendalikan belajarnya sendiri, mulai dari pengidenti-fikasian masalah yang akan dijadikan proyek sampai dengan mengevaluasi hasil proyek. Guru/dosen berperan sebagai pembimbing, fasilitator dan partner belajar. Tema proyek yang dipilih juga bersifat interdisipliner, karena mengandung unsur berbagai disiplin yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dalam proyek yang dikerjakan itu. Apa yang dilakukan pebelajar dalam proses pembelajaran adalah pengalaman-pengalam-an sensoris sebagai basis belajar. Ditegaskan oleh John Dewey bahwa pengalaman adalah elemen kunci dalam proses pembelajaran (Moore, 1999; Knoll, 2002). Dewey meman-dang belajar sebagai “process of making determinate the indeterminate experience”. Makna dari berbagai pengalaman adalah sebuah hubungan yang saling tergantung antara apa yang dibawa oleh pebelajar dalam

Page 49: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 49

situasi belajar dan apa yang terjadi di dalam situasi itu. Berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari pengalaman sebelumnya, pada pengalaman baru orang membangun pengetahuan baru (Billet, 1996). Kerja proyek dapat dipandang sebagai proses be-lajar memantapkan pengalaman yang belum mantap, memperluas pengetahuan yang belum luas dan memperhalus pengetahuan yang belum halus sebagaimana juga dikata-kan oleh Marzano (1992) bahwa belajar me-lalui pengalaman nyata (misalnya, inves-tigasi dan pemecahan masalah-masalah nyata) dapat memperluas dan memperhalus pengetahuan.

Berdasarkan teori-teori belajar kons-truktivistik yang dirujuk diatas maka Pembelajaran Berbasis Proyek dapat disim-pulkan memiliki kelebihan-kelebihan seba-gai lingkungan belajar: (1) otentik-konteks-tual (goal-directed activities) yang akan memperkuat hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya; (2) mengedepankan otonomi pebelajar (self-regulation) dan guru/dosen sebagai pembim-bing dan partner belajar yang akan mengem-bangkan kemampuan berpikir produktif; (3) belajar kolaboratif yang memberi peluang pebelajar saling membelajarkan yang akan meningkatkan pemahaman konseptual mau-pun kecakapan teknikal; (4) holistik dan interdisipliner; (5) realistik berorientasi pada belajar aktif memecahkan masalah riil yang memberi kontribusi pada pengembangan kecakapan peme-cahan masalah; dan (6) memberikan reinforcement intrinsic (umpan balik internal) yang dapat menajamkan kecakapan berpikir produktif. C. Rancangan Penelitian

Dalam project based learning pebe-lajar lebih didorong pada kegiatan desain: merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil. Seperti didefinisi-kan oleh Buck Institute fo Education (1999), bahwa belajar berbasis proyek memiliki karakteristik: (a) pelajar membuat keputus-an, dan membuat kerangka kerja, (b) ter-dapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) pebelajar meran-cang proses untuk mencapai hasil, (d) pebelajar bertanggungjawab untuk menda-patkan dan mengelola informasi yang di-kumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara

kontinu, (f) pebelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosferyang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.

Secara operasional prosedur penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: Siklus pertama

Kegiatan yang dilakukan pada siklus pertama meliputi: a) Merumuskan masalah

Pada tahap ini peneliti merumuskan tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan materi PMBK hasil akhir kegiatan berupa produk dan dievaluasi kualitasnya b) Merancang kegiatan (designing)

Beberapa perangkat yang disiapkan dalam tahap ini adalah: bahan ajar, satuan acara pembelajaran (SAP), rencana pembe-lajaran (RP), skenario pembelajaran, tugas-tugas kelom-pok, kuis dan lembar observasi. c) Mengkalkulasi

Peneliti membimbing mahasiswa untuk membuat kerangka kerja dalam me-nyelesaikan kegiatan yang akan dilakukan. d) Melaksanakan pekerjaan 1. Mahasiswa diberi penjelasan tentang

pembelajaran berbasis proyek dan komponen-komponennya

2. Mahasiswa dibagi kedalam kelompok-kelompok berdasarkan pertimbangan kemam-puan akademik dan jenis kelamin

3. Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan garis besar materi yang akan dipelajari

4. Mahasiswa ditugaskan untuk bergabung ke dalam kelompoknya masing-masing.

5. Peneliti memulai dengan memberikan masalah yang berhubungan dengan konsep yang telah dimiliki dan sebagai pengantar masuk pada konsep yang akan dipelajari

6. Menugaskan siswa melakukan kegiatan eksplorasi

7. Peneliti melakukan observasi dan mem-bimbing kegiatan kelompok

Page 50: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 50

8. Setelah kegiatan kelompok selesai, di-lanjutkan dengan diskusi kelas yang dipandu oleh peneliti untuk membahas hal-hal yang tidak/belum terselesaikan dalam kegiatan kelompok

9. Menugaskan mahasiswa untuk mengkaji masalah yang berhubungan dengan terapan yang dipelajari..

10. Melakukan evaluasi dan memberikan yang dibuat mahasiswa

e) Mengevaluasi hasil 1. Analisis hasil observasi mengenai: keaktifan siswa melakukan eksplorasi,

partisipasi dalam kelompok, dan mene-rapkan konsep

hasil kegiatan kelompok hasil kuis dan kaitannya dengan hasil

kegiatan kelompok kualitas produk yang dibuat mahasiswa hasil-hasil yang diperoleh dan

permasalahan yang muncul pada pelaksanaan tindakan dipakai sebagai dasar untuk melakukan perencanaan ulang pada siklus berikutnya

2. Analisis beberapa kekurangan/ kelemahan a-d.

D. Pelaksanaan Tindakan

Kegiatan penelitian ini dapat dijelas-kan langkah-langkahnya sebagai berikut: 2. Dilakukan pre test untuk mengetahui

tingkat kemampuan mahasiswa terhadap penguasaan software komputer umum-nya dan software pembelajaran matema-tika berbantuan kompute khususnya

3. Berdasarkan hasil pre test dilakukan pembagian kelompok

4. Dosen memberikan penjelasan tentang materi pembelajaran matematika ber-bantuan komputer

5. Mahasiswa survey ke sekolah, untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi khususnya dalam mempelajari matema-tika, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam penyusunan proposal

6. Mahasiswa mengajukan proposal ke masing-masing sekolah berdasarkan survey yang sudah dilaksanakan tentang masalah yang dapat diatasi dengan pem-belajaran matematika berbantuan kom-puter

7. Mahasiswa menyusun media pembela-jaran atau modul praktikum berdasarkan proposal yang diajukan

8. Validasi media pembelajaran atau modul praktikum oleh pakar matematika (pen-didikan matematika) dan pakar media. Berdasarkan hasil validasi dilakukan revisi media pembelajaran atau modul praktikum.

9. Uji coba media pembelajaran atau modul praktikum oleh guru. Berdasarkan hasil validasi dilakukan revisi media pembela-jaran atau modul praktikum.

E. Hasil Pengamatan

Kegiatan pembelajaran yang dilaksa-nakan dengan model pembelajaran berbasis proyek membuat kelas menjadi aktif. Peneliti mengamati bahwa bila mahasiswa dicoba menulis perintah instruksi komputer tertentu yang belum diketahui, maka mereka akan mencoba secara aktif dengan men-diskusikan dalam kelompoknya.

Keaktifan mahasiswa dalam diskusi pada awalnya memang sedikit tetapi ber-tambah setelah pertemuan kedua dan ketiga. Dalam kelompok yang terdiri dari 4 orang mahasiswa, minimal 2 orang telah aktif dan paling banyak 2 orang yang belum aktif. Belum aktif yang dimaksud adalah ketika diskusi kelompok siswa tersebut hanya mencatat hasil diskusi tetapi belum me-nyampaikan pertanyaan, idea atau pen-dapatnya kepada kelompok berkenaan dengan materi yang dibahas.

Pada saat proses kegiatan belajar me-ngajar sedang berlangsung peneliti melaku-kan pengamatan sebagai berikut: a) Mengamati jumlah mahasiswa yang

bertanya b) Mengamati jumlah kelompok yang dapat

menyelesaikan tugas tepat waktu c) Mengamati mahasiswa ketika

melakukan diskusi, serta mencatat keterlibatan masing-masing mahasiswa dalam kelompok

d) Mengamati hasil kerja mahasiswa dalam membuat produk dengan benar

e) Menghitung rata-rata nilai mahasiswa

F. Refleksi Kegiatan pembelajaran pada siklus I,

pada pertemuan pertama, tampak rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disiapkan sebagian besar terlaksana tetapi mengalami hambatan pada bagaimana mengaktifkan mahasiswa. Tetapi pada per-temuan berikutnya, kegiatan pembelajaran

Page 51: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 51

telah sesuai dengan RPP. Hanya saja pengelolaan waktu masih molor dari yang direncanakan karena mahasiswa belum dapat menyelesaikan kegiatan presentasi tepat waktu.

Dalam kegiatan diskusi dan presenta-si, belum semua anggota kelompok terlibat. Hal ini terjadi karena sebagian mahasiswa masih belum terbiasa mengeluarkan pen-dapat ketika diskusi dimana mereka malu bertanya, dan sebab lain adalah adanya dominasi anggota kelompok yang pintar. Keadaan ini telah diatasi oleh peneliti ketika mengunjungi kelompok lain sehingga tidak terjadi dominasi. G. Pembahasan

Proses pembelajaran pada siklus I berjalan dengan sangat baik walau pada tahap awal mahasiswa masih belum terbiasa menggunakan model pembelajaran berbasis proyek. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mahasiswa tidak hanya menerima tetapi telah mengajukan secara kritis. Keadaan ini sangat berbeda dengan penga-jaran materi yang sama melalui ceramah dan diskusi, dimana mahasiswa hanya mencoba praktikum berdasarkan materi yang disam-paikan oleh Dosen saja. Fase evaluasi pada siklus belajar selama siklus I belum dapat berjalan dengan baik karena pengajar masih terjebak oleh berlarut-larutnya diskusi dan presentasi yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok.

Menurut pendapat mahasiswa, peng-gunaan metode pembelajaran ini ditanggapi sangat baik dimana mahasiswa yang menu-liskan kesankesan mereka tentang pem-belajaran yang dilakukan menyatakan bahwa mereka menyenangi metode ini karena dapat menerapkan materi yang diperoleh di sekolah-sekolah. Hambatan yang mereka rasakan adalah terbatasnya waktu sehingga tidak ada kesempatan untuk melakukan uji coba media atau modul produk mereka ke beberapa sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi perilaku positif pada mahasiswa terhadap pembelajaran dengan metode ini.

Dari segi tim peneliti, hambatan-hambatan yang dialami adalah sulitnya mengatur waktu sesuai dengan RPP. Penggunaan diskusi dan presentasi kelompok menyebabkan waktu belajar menjadi molor karena pertanyaan-

pertanyaan dan jawaban mahasiswa yang seringkali meluas walau masih pada kerangka materi tersebut. Peneliti kesulitan menghentikan pertanyaan mahasiswa karena menganggap bahwa pertanyaan tersebut penting dan berhubungan dengan materi.

I. Daftar Rujukan

DEPDIKNAS, 2003, Kompetensi Dasar Bidang Studi Sains Untuk SLTP/MTS: Kurikulum 2004. Jakarta.

DEPDIKNAS, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Ketentuan Umum, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran. Jakarta: Depdiknas.

Helgeson S. L., 1998, Microcomputer in Science Classroom, ERIC Digest, ED309050.

Morse R. H., 1991, Computer Uses in Secondary Science Educations, ERIC Digest, ED331489.

Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary STS Teachers. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.: National Science Teachers Association.

Barron, B.J., Schwartz, D.L., Vey, N.J., Moore, A., Petrosino, A., Zech, L., Bransford, J.D., & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt. 1998. Doing with Understanding: Lessons form Research on Problem- and Project- Based Learning. The Journal of the Learning Science, 7, 271-311.

Billet, S. 1996. Towards a Model of WorkPlace Learning: The Learning Curriculum. Studies in Continuing Education, 18(1), 43-58.

Blumenfeld, P.C., E. Soloway, R.W. Marx, J.S. Krajcik, M. Guzdial, and A. Palincsar. 1991. Motivating Project-Based Learning: Sustaining the Doing. Supporting the Learning. Educational Psychologist, 26(3&4), 369-398.

Page 52: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 52

Brook, J.G., & Brook, M.G. 1993. The Case for Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD.

Brook, J.G., & Brook, M.G. 1999. The Constructivist Classrooms. The Courage to Be Constructivist. Readyroom, 57(3) November 1999. http://www.ascd.org/readyroom/edlead/9911/brooks.html

Brown, J.S., Collin, A., & Duguid, P. 1998. Situated Cognition and the Culture of Learning. Educational Reseacher, 18(1), 32-42.

CORD, 2001. Contextual Learning Resource. http://www.cord.org/lev2.cfm/65.

Driver, R., & Leach, J. 1993. A Constructivist View of Learning: Children’s Conceptions and the Nature of Science. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington, D.C..: National Science Teachers Association, 103-112.

Gipps, C. 1994. What We Know about Effective Primary Teaching. Dalam Jill Bourne (Ed.), Thinking Through Primary Practice. London: The Open University.

Hung, D.W., & Chen, D.T. 2000. Appropriating and Negotiating Knowledge. Educational Technology, 40(3), 29-32.

Hung, D.W., & Wong, A.F.L. 2000. Activity Theory as a Framework fo Project Work in Learning Environments. Educational Technology, 40(2), 33-37.

Jonassen, D.H. 1991. Objectivism versus Constructivist: Do We Need a New Philosophical Paradigm? Educational Technology Research and Development, 39(3), 5-14.

Knoll, M. 2002. The Project Method: Its Vocational Education Origin and International Development. Journal of Industrial Teacher Education, 34(3). Available on: http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JITE/v34n3/Knoll.html.

Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of Learning. Verginia: ASCD.

Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic Meeting Within Educational Psychology. Journal of Educational Psychology, 84(4), 405-412.

Moore, D. 1999. Toward a Theory of Work-Based Learning. IEE Brief, 23 (January) [Online].

Myers, R.J., & Botti, J.A. 2000. Exploring the Environment: Problem-Based Learning in Action. http://www.cet.edu/research/conference.html.

Richmond, G., & Striley, J. 1996. Making Meaning in Classrooms: Social Processes in Small-Group Discourse and Scientific Knowledge Building. Journal of Research in Science Teaching, 33(8), 839-858.

Waras Kamdi, 2001. Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan Mutu Pembelajaran. Jurnal Gentengkali, 3(11-12).

Wilson, B.G. 1995. Metaphors for Instruction: Why We Talk About Learning Environments. Educational Technology, September-Oktober, 25-30.

Page 53: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 53

JALUR MENUJU BERPIKIR FORMAL DALAM MATEMATIKA

Abdussakir

Jurusan Matematika UIN Maliki Malang

Abstrak: David Tall menyatakan bahwa terdapat tiga dunia berpikir matematika, yaitu dunia perwujudan, simbolis, dan formal. Pembelajaran matematika di sekolah menengah lebih menekankan pada dunia perwujudan dan simbolis, sedangkan di perguruan tinggi lebih menekankan pada dunia berpikir formal. Perubahan pola pembelajaran ini mengakibatkan terjadinya transisi berpikir pada mahasiswa matematika di tahun pertama perguruan tinggi. Untuk sampai pada dunia berpikir formal, hasil penelitian Pinto (1998) dan Weber (2003) menunjukkan terdapat tiga jalur yang dapat ditempuh mahasiswa, yaitu jalur alami, formal, dan prosedural. Tulisan ini mencoba menganalisis adanya kemungkinan jalur lain yang dapat ditempuh mahasiswa menuju berpikir formal.

Kata Kunci: dunia berpikir, perwujudan, simbolis, formal, jalur.

Pendahuluan

Sebagian besar mahasiswa matematika di tahun pertama mengalami perubahan dalam proses berpikir sebagai akibat transisi dari matematika sekolah ke pembuktian formal dalam matematika murni di universitas. Matematika sekolah dapat dipandang sebagai kombinasi dari representasi visual, termasuk geometri dan grafik, bersama-sama dengan perhitungan dan manipulasi simbolis. Matematika murni di universitas bergeser menuju kerangka formal sistem aksiomatik dan bukti matematik.

Transisi dalam berpikir dapat dirumuskan dalam kerangka tiga dunia matematika, yaitu (1) dunia perwujudan-konseptual, berdasarkan persepsi dan refleksi pada sifat-sifat objek, pada awalnya terlihat dan dirasakan dalam dunia nyata tapi kemudian dibayangkan dalam pikiran, (2) dunia simbolis-proceptual, yang tumbuh keluar dari dunia perwujudan melalui tindakan (seperti menghitung) dan disimbolkan sebagai konsep masuk akal (seperti angka) yang berfungsi sebagai proses untuk berbuat dan konsep untuk berpikir (prosep), dan (3) dunia formal-aksiomatik, dari kerangka teoritik definisi konsep dan bukti matematika, yang membalik urutan

konstruksi makna dari definisi yang didasarkan pada objek dikenal menuju konsep formal berdasarkan pada set-teoritik definisi (Tall, 2004:285, 2008a:5).

Setiap “dunia” mempunyai urutan pengembangan sendiri dan bentuk-bentuk bukti sendiri yang dapat dipadukan untuk menghasilkan berbagai macam cara berpikir secara matematis (Tall, 2008a:5, Tall dan Mejia-Ramos, 2006:5). Dalam dunia perwujudan, mahasiswa mulai dengan percobaan fisik untuk menemukan kecocokan antar benda, deskripsi verbal menjadi definisi dan digunakan untuk mendukung konstruksi visual terhadap bukti verbal dan membangun teori dari definisi dan bukti. Dalam dunia simbolik, argumen dimulai dari perhitungan numerik yang spesifik dan berkembang menjadi bukti manipulasi simbolik. Dalam dunia formal, bentuk bukti yang diinginkan adalah deduksi formal, seperti teorema nilai tengah dibuktikan dengan aksioma kelengkapan (Tall dan Mejia-Ramos, 2006:5).

Beberapa penelitian mengenai transisi menuju berpikir formal sudah dilakukan. Hasil penelitian Hong dkk (2009) menunjukkan bahwa guru matematika lebih cenderung pada dunia simbolis sedangkan dosen lebih cenderung pada dunia formal. Guru lebih cenderung pada gaya prosedural sedangkan dosen lebih cenderung pada gaya formal.

Page 54: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 54

Penelitian oleh Stewart & Ramos (2007, 2008) pada matakuliah aljabar linear menemukan berbagai cara mahasiswa menjelaskan konsep bebas linear, nilai eigen, dan vektor eigen. Mahasiswa menggunakan representasi perwujudan dan simbolis untuk menjelaskan konsep tersebut. Namun, demikian dalam penelitian ini tidak dijelaskan alasan mengapa mahasiswa menggunakan representasi perwujudan dan simbolis. Lebih lanjut dalam disertasinya, Sepideh Stewart (2008:247) menyarankan agar dilakukan penelitian mendalam mengenai bagaimana proses berpikir mahasiswa sehingga dapat mencapai berpikir formal.

Penelitian Pinto (1998) menemukan dua jalur yang ditempuh mahasiswa dalam matakuliah analisis real, yaitu jalur alami dan jalur formal, untuk menuju berpikir formal. Jalur alami dibangun berdasarkan dunia perwujudan, simbolis atau gabungan keduanya dan membentuk jaringan dengan bayangan mental selama proses menerjemahkan bayangan mental menjadi bukti tertulis. Jalur formal menfokuskan pada teorema-teorema dan langkah logika yang diperlukan untuk mencapai kesimpulan yang diinginkan. Berdasarkan penelitian Pinto, Weber (2004) menambahkan satu jalur, yaitu jalur procedural, ketika melaksanakan penelitian pada matakuliah analisis real. Jalur prosedural menfokuskan langkah pembuktian sebagai hasil menghapal.

Davil Tall (2008b:14-15) Menyatakan “These transitions occur

throughout the curriculum. Those that involve unhelpful met-befores include: (a) From counting to the whole

number concept (b) From whole numbers to

fractions (c) From whole numbers to signed

numbers (d) From arithmetic to algebra (e) From powers to fractional and

negative powers (f) From finite arithmetic to the limit

concept (g) From description to deductive

definition

(h) At many other transitions, such as teaching the function concept in stages (linear, quadratic, trigonometric, logarithm, exponential, etc) builds limitations at each stage that stunt long-term growth. Research in many of these

areas still needs to be done, so I invite you to do research into the effects of met-befores in transitions in the mathematical curriculum.” Pernyataan David Tall ini menjelaskan

bahwa penelitian tentang dampak met-before dalam transisi berpikir juga sangat perlu dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah adakah kemungkinan jalur lain selain jalur natural, formal, dan procedural serta bagaimana peran met-before pada saat seseorang menempuh suatu jalur tertentu.

Set-Before dan Met-Before

David Tall (2008a) menggunakan istilah set-before untuk merujuk kepada struktur mental manusia yang dibawa sejak lahir, yang mungkin memerlukan sedikit waktu untuk matang saat otak manusia membuat koneksi pada awal kehidupan. Sebagai contoh, struktur visual otak memiliki sistem built-in untuk mengidentifikasi warna dan corak, untuk melihat perubahan dalam corak, mengidentifikasi sisi, mengkoordinasikan sisi untuk melihat benda-benda dan melacak gerakan mereka. Jadi anak lahir dengan sistem biologis untuk mengenali jumlah benda-benda (satu, dua, atau mungkin tiga) yang memberikan set-before untuk konsep “duaan” sebelum anak belajar menghitung.

Lebih lanjut, Tall (2008a) menyatakan ada tiga set-before mendasar yang menyebabkan manusia berpikir secara matematis dengan cara tertentu. Ketiganya adalah: 1. pengenalan pola, persamaan dan

perbedaan; 2. pengulangan rangkaian tindakan

sampai menjadi otomatis.

Page 55: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 55

3. bahasa untuk menggambarkan dan memperbaiki cara kita berpikir tentang sesuatu; Meskipun pengenalan dan pengulangan

untuk berlatih kebiasaan-kebiasaan juga ditemukan pada spesies lain, kekuatan bahasa, dan penggunaan simbol-simbol yang terkait, memungkinkan manusia untuk fokus pada ide-ide penting, untuk menamai mereka dan berbicara tentang mereka untuk memperbaiki makna. Pengenalan pola adalah fasilitas penting untuk matematika, termasuk pola dalam bentuk dan bilangan.

Pengulangan yang menjadi otomatis sangat penting untuk belajar prosedur. Namun, ada tingkat yang lebih tinggi yang tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melakukan prosedur, tetapi juga untuk berpikir tentang hal ini sebagai suatu entitas. Dalam hal ini, simbol-simbol beroperasi secara dual, yakni sebagai proses dan konsep (prosep) yang memungkinkan manusia untuk berpikir fleksibel (Gray & Tall, 1994).

Perkembangan pribadi didasarkan pada pengalaman yang telah ditemui sebelumnya. Pengalaman sebelumnya membentuk koneksi di otak yang mempengaruhi bagaimana memahami situasi baru. David Tall (2008a) mendefinisikan met-before sebagai fasilitas mental sekarang berdasarkan pengalaman spesifik individu sebelumnya. Suatu met-before ini kadang-kadang konsisten dengan situasi baru dan kadang-kadang tidak konsisten. Kebanyakan kurikulum hanya berfokus pada perluasan pengalaman berdasarkan pada met-before positif, dan gagal untuk menjelaskan met-before yang menyebabkan banyak peserta didik mengalami kesulitan mendalam. Tiga Dunia Matematika

Perkembangan individu dibangun atas tiga set-before mendasar yaitu pengakuan, pengulangan dan bahasa untuk mengkonstruksi tiga urutan perkembangan yang saling terkait dan saling terpadu untuk membangun pemikiran matematis secara penuh (Tall, 2004, 2006). Ini bukan untuk mengatakan bahwa ada korespondensi satu-satu antara set-before dan urutan perkembangan. Pengakuan dan kategorisasi gambar serta bentuk mendukung pemikiran dalam geometri dan grafik, sedangkan pengulangan serangkaian tindakan yang

disimbolkan sebagai konsep yang dapat dipikirkan mengarah pada aritmetika dan aljabar. Masing-masing proses konstruksi ini berkembang lebih lanjut melalui penggunaan bahasa untuk menggambarkan, mendefinisikan dan menyimpulkan hubungan, sampai pada tingkat tertinggi, bahasa digunakan sebagai dasar untuk matematika formal.

Davidd Tall (2008a) selanjutnya menggambarkan cara berpikir ini ke dalam tiga dunia matematika yang berkembang dalam pengalaman duniawi dengan cara yang cukup berbeda. Tiga dunia matematika ini sebagai berikut. 1. Dunia perwujudan-konseptual,

berdasarkan persepsi dan refleksi pada sifat-sifat objek, pada awalnya terlihat dan dirasakan dalam dunia nyata tapi kemudian dibayangkan dalam pikiran;

2. Dunia simbolis-proceptual yang tumbuh keluar dari dunia perwujudan melalui tindakan (seperti menghitung) dan disimbolkan sebagai konsep masuk akal (seperti angka) yang berfungsi sebagai proses untuk berbuat dan konsep untuk berpikir (prosep);

3. Dunia formal-aksiomatik (berdasarkan definisi formal dan bukti), yang membalik urutan konstruksi makna dari definisi yang didasarkan pada objek dikenal menuju konsep formal berdasarkan pada set-teoritik definisi. Perwujudan konseptual tidak hanya

mengacu pada klaim yang lebih luas dari Lakoff (1987) bahwa semua pemikiran adalah perwujudan, tapi lebih khusus untuk representasi perseptual sesuatu. Secara konseptual, kita dapat mewujudkan figur geometris, seperti segitiga yang terdiri dari tiga segmen garis lurus; kita membayangkan segitiga seperti itu dan menjadikan suatu segitiga khusus yang bertindak sebagai prototipe untuk mewakili seluruh kelas segitiga. Kita "melihat" gambaran suatu grafik tertentu yang mewakili suatu fungsi spesifik atau generik.

Proceptual simbolis mengacu pada penggunaan simbol-simbol yang muncul

Page 56: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 56

dari skema aksi, seperti menghitung, yang menjadi konsep-konsep, seperti bilangan (Gray & Tall, 1994). Suatu simbol seperti 3 + 2 atau b2- 4ac mewakili proses yang harus dilakukan sekaligus konsep yang dihasilkan oleh proses tersebut.

Aksiomatik formal mengacu pada formal Hilbert yang membawa kita melampaui operasi formal Piaget. Perbedaan utama dari perwujudan dan simbolis matematika dasar matematika adalah bahwa dalam matematika dasar, definisi muncul dari pengalaman dengan benda-benda yang sifatnya dijabarkan dan kemudian digunakan sebagai definisi. Dalam matematika formal, seperti ditulis dalam publikasi matematika, presentasi resmi mulai dari set-teori definisi dan menyimpulkan properti lainnya menggunakan bukti formal.

Ketiga dunia tersebut dapat saling berinterkasi dan bekerja secara bersama. Meletakkan dua nama secara bersama, seperti perwujudan-konseptual aksiomatik-formal adalah jelas tidak tepat sehingga diperlukan kompresi. Untuk tujuan ini, mengacu pada tiga dunia matematika, David Tall (2008a) hanya menyebut sebagai perwujudan, simbolis dan formal. Istilah ini tetap menggunakan makna untuk istilah yang telah ditetapkan. Dengan kompresi ini, maka memungkinkan untuk menggabungkan mereka dan memberikan nama seperti perwujudan formalis ketika berpikir formal didukung oleh perwujudan.

Matematika sekolah berkembang dari perwujudan konsepsi tindakan fisik: bermain dengan bentuk, menempatkan mereka dalam koleksi, menunjuk dan menghitung, membagi, dan mengukur. Setelah operasi ini dilakukan dan menjadi rutinitas, mereka dapat disimbolkan sebagai bilangan dan digunakan secara dual sebagai operasi atau sebagai entitas mental. Saat fokus perhatian beralih dari perwujudan ke manipulasi simbol, berpikir matematika berubah dari perwujudan ke dunia simbolik (proseptual). Melalui matematika sekolah, perwujudan memberikan arti khusus dalam berbagai konteks, sementara simbolis dalam aritmetika dan aljabar menawarkan dunia mental daya komputasi.

Kemudian transisi ke dunia aksiomatik formal didasarkan pada pengalaman perwujudan dan simbolis ini untuk

merumuskan definisi formal dan untuk membuktikan teorema dengan menggunakan bukti matematis. Bukti formal yang tertulis adalah tahap akhir berpikir matematika. Hal ini didasarkan pada pengalaman teorema apa yang layak untuk membuktikan dan bagaimana mungkin pembuktian dilakukan, sering kali berkembang secara implicit dalam perwujudan dan pengalaman simbolik.

Teori-teori formal yang didasarkan pada aksioma sering mengarah pada struktur teorema, yang mengungkapkan bahwa sistem aksiomatik (seperti ruang vektor) mempunyai perwujudan yang lebih rumit dan simbolis yang terkait -misalnya ruang vector berdimensi hingga adalah system koordinat dimensi-n. Dengan cara ini, kerangka teoretis menjadi lingkaran penuh, berkembang dari perwujudan dan simbolis ke formal, kembali lagi ke bentuk yang lebih canggih dari perwujudan dan simbolis yang, pada gilirannya, memberikan cara-cara baru pada matematika yang lebih rumit.

Beberapa penelitian mengenai teori David Tall mengenai tiga dunia matematika telah dilakukan. Hasil penelitian Hong dkk (2009) menunjukkan bahwa guru matematika lebih cenderung pada dunia simbolis sedangkan dosen lebih cenderung pada dunia formal. Hal ini jelas akan memberikan pengaruh pada perubahan cara berpikir siswa ketika masuk ke perguruan tinggi. Penelitian Kristina Juter (2006) mengenai perkembangan konsep mahasiswa untuk topik limit fungsi menunjukkan bahwa semua mahasiswa belum mencapai berpikir formal. Penelitian oleh Stewart & Ramos (2007, 2008) pada matakuliah aljabar linear menemukan bahwa mahasiswa hanya sampai pada dunia perwujudan dan simbolis untuk menjelaskan konsep bebas linear, nilai eigen, dan vektor eigen. Lebih lanjut dalam disertasinya, Sepideh Stewart (2008:247) menyarankan agar dilakukan penelitian mendalam mengenai bagaimana mahasiswa dapat mencapai berpikir formal. Dualitas Simbol: Proses dan Konsep

Ausubel dkk (1968) membedakan antara belajar bermakna dan belajar hapalan. Belajar yang menghasilkan skema pengetahuan yang kaya akan saling

Page 57: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 57

keterkaitan antara entitas pengetahuan disebut belajar bermakna, dan belajar yang menghasilkan entitas pengetahuan yang terisolasi dari skema pengetahuan yang ada disebut belajar hapalan. Hiebert dan Lefevre (dalam Hiebert, 1986;6) membedakan antara pengetahuan procedural dan konseptual. Pengetahuan mengenai fakta dan prosedur oleh disebut pengetahuan procedural, sedangkan pengetahuan mengenai fakta dan konsep yang saling terkait satu sama lain disebut pengetahuan konseptual. Skemp (1987:166) membedakan antara pemahaman instrumental, pemahaman relasional, dan pemahaman formal/logis. Kemampuan untuk melakukan rumus-rumus atau prosedur-prosedur tanpa mengetahui mengapa rumus itu dapat berfungsi disebut pemahaman instrumental. Kemampuan untuk menghasilkan aturan atau prosedur khusus dari saling keterkaitan konsep matematika yang lebih umum disebut pemahaman relasional. Kemampuan untuk menghubungkan simbol-simbol dan notasi-notasi matematika (fakta) dengan konsep matematika dan kemampuan mengkombinasikan fakta dan konsep ke dalam jaringan penalaran logis disebut pemahaman formal atau pemahaman logis.

Aspek prosedural matematika terfokus pada manipulasi rutin objek yang diwakili baik oleh benda konkret, kata-kata lisan, simbol tertulis, atau gambaran mental. Relatif mudah untuk melihat apakah prosedur tersebut dilakukan secara memadai, dan kinerja dalam tugas-tugas serupa sering diambil sebagai ukuran pencapaian dalam keterampilan ini. Pengetahuan konseptual di sisi lain lebih sulit untuk dinilai. Ini adalah pengetahuan yang kaya dalam hubungan (Gray & Tall, 1994:2).

Pembedaan antara belajar procedural dan belajar konseptual ini sebenarnya tidak bersifat eksklusif. Prosedur-prosedur dapat memberikan kesempatan untuk bekerja dalam matematika dan saling keterkaitan konseptual dapat memberikan kesempatan untuk memikirkannya. Melalui belajar aritmetika, aljabar dan kalkulus, symbol dapat berperan penting untuk melakukan suatu prosedur (misalnya penjumlahan) sekaligus sebagai hasil dari prosedur itu (yakni jumlahnya). Jadi, symbol berfungsi

sebagai proses sekaligus sebagai konsep. Berikut ini beberapa contoh yang lain.

Simbol Proses Konsep 3 + 4 Penjumlahan Jumlah

-3 Kurangi 3, 3 langkah ke

kiri

Negatif 3

¾ Pembagian Pecahan 3 + 2x Evaluasi Expresi v = s/t Rasio Kecepatan sin A =

sisi depan/sisi

miring

Rasio trigonometri

Fungsi trigonometri

y = f(x) Pemasangan Fungsi dy/dx Diferensiasi Turunan f(x) dx Integrasi Integral

Perkembangan umum dalam matematika dimulai dengan mendapatkan pengalaman dari suatu proses, pertama sebagai prosedur yang spesifik, mungkin kemudian dengan lebih banyak fleksibilitas dalam cara-cara alternatif yang lebih efektif atau dibatasi, dan akhirnya dipahami sebagai satu kesatuan. Simbol yang pertama kali membangkitkan suatu proses menjadi dilihat juga sebagai konsep yang dihasilkan. Penggunaan simbol sebagai poros antara proses dan konsep disebut procep. Ini memberikan kekuatan yang besar yang memungkinkan individu untuk melakukan matematika (sebagai proses) dan untuk berpikir tentang hal itu (sebagai suatu konsep) (Tall, 1996:2-3). Jalur Menuju Berpikir Formal

Ketika berhadapan dengan ide-ide matematika baru, individu bentindak dalam berbagai cara. Dalam aritmetika, siswa yang berhasil sudah memiliki struktur fleksibel yang saling mendukung penggunaan simbolis baik sebagai proses untuk mendapatkan hasil dan konsep untuk dipikirkan. Siswa yang tidak berhasil lebih menfokuskan pada ketepatan melakukan algoritma dan jarang sukses dengan masalah rutin. Saat perkembangan mereka terus berlanjut dalam matematika, perbedaan mulai berbeda bahkan lebih mencolok. Dalam menghadapi ide-ide baru, beberapa

Page 58: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 58

siswa memiliki sedikit struktur kognitif untuk dikembangkan dan cenderung untuk mundur lebih jauh pada belajar hafalan. Beberapa siswa yang memiliki kekayaan pertumbuhan struktur kognitif mengembangkan pendekatan pribadi yang berbeda-beda.

Salah satu metode kategorisasi pendekatan yang berbeda adalah dengan mengatakan "Apakah siswa membangun struktur yang dimiliki untuk memahami matematika baru, atau apakah pelajar mencoba untuk memahami matematika sebagai matematika itu sendiri?" Dengan kata lain, apakah siswa mensintesis pengalaman mereka untuk membangun ide-ide matematika baru atau menganalisis ide-ide matematika baru untuk membangun sistem itu sendiri yang mungkin dapat diintegrasikan dengan pengetahuan sebelumnya. Duffin & Simpson (1993) menyebut yang pertama sebagai siswa "alami" dan yang terakhir sebagai siswa "asing". David Tall (1997) menyebut yang pertama sebagai siswa “alami” dan yang kedua sebagai siswa “formal”. Siswa alami mencoba untuk memahami ide baru menggunakan pengetahuan saat ini, sedangkan siswa formal memberikan kesempatan pada pengetahuan baru untuk mengembangkan arti tersendiri tanpa merasa perlu untuk menghubungkannya dengan pengetahuan lainnya (Tall, 1997:11-12).

Apa yang terjadi pada siswa alami dan formal ketika mereka menghadapi definisi dan deduksi pada matematika lanjut? Siswa alami harus menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan berusaha menempatkan definisi sesuai fungsinya. Ini memerlukan sejumlah besar refleksi dan reorganisasi pengetahuan yang memuat banyak kelemahan. Sesungguhnya "pelajar alami" yang belum memahami peran definisi sebagai formalisasi konsep baru dan mendeduksi sifat-sifatnya, benar-benar "mengetahui" banyak sifat dan dibingungkan oleh seluruh masalah. Namun, yang lainnya bisa sukses dan ditandai dengan kemampuan memberikan arti definisi berdasarkan kekayaan pengalaman mereka. Di sisi lain, siswa formal adalah mereka yang berusaha untuk menggunakan definisi verbal sesuai fungsinya dan menggunakannya untuk mengekstrak makna. Sekali lagi, ada yang

berhasil dan beberapa gagal (Tall, 1997:11-12).

Dikaitkan dengan transisi berpikir dari dunia perwujudan dan simbolis menuju dunia formal, Maria Pinto (1998) mengemukakan dua jalur yang ditempuh mahasiswa dalam matakuliah analisis real, yaitu jalur alami dan jalur formal. Jalur alami dibangun berdasarkan dunia perwujudan, simbolis atau gabungan keduanya dan membentuk jaringan dengan bayangan mental selama proses menerjemahkan bayangan mental menjadi bukti tertulis. Jalur formal menfokuskan pada teorema-teorema dan langkah logika yang diperlukan untuk mencapai kesimpulan yang diinginkan. Penelitian Pinto ini dilakukan pada materi analisis real khususnya topik limit barisan.

Berangkat dari hasil penelitian Pinto, pertanyaan yang dapat diajukan untuk diteliti lebih lanjut adalah mengapa mahasiswa memilih jalur alami atau jalur formal. Pemilihan jalur oleh mahasiswa ini dapat ditinjau dari met-before mahasiswa. Pinto tidak memberikan penjelasan mengenai met-before mahasiswa terutama jika dikaitkan dengan metode pembelajaran yang dilakukan dosen untuk materi yang diteliti.

Melengkapi penelitian Pinto, penelitian Weber (2003 dan 2004) memberikan penjelasan yang lebih detil. Weber tidak hanya ingin menjelaskan berbagai jalur yang ditempuh mahasiswa, tetapi juga melihat met-before mahasiswa berkaitan dengan gaya mengajar dosen pada matakuliah analisis real. Selian jalur alami dan formal, Weber menambahkan satu jalur baru, yaitu jalur procedural. Jalur prosedural menfokuskan langkah pembuktian sebagai hasil menghapal tanpa pembenaran secara formal. Data penelitian Weber juga menunjukkan bahwa mahasiswa dapat menggunakan berbagai jalur bergantung pada konteks materi yang mereka hadapi. Dari 6 mahasiswa yang diteliti, semua menggunakan jalur alami untuk pertanyaan tentang topologi. Perkuliahan topologi ini dilakukan dengan gaya semantik. Meskipun demikian, untuk pertanyaan tentang fungsi dan limit, hanya satu siswa yang menjawab secara alami. Respon yang lain, 4 formal dan 1 prosedural (untuk soal fungsi) serta 2

Page 59: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 59

formal dan 3 prosedural (untuk soal limit). Perkuliahan materi fungsi dilakukan dengan gaya logiko-struktural dan materi limit barisan dengan gaya procedural.

David Tall (2008a) menggunakan istilah perwujudan untuk perwujudan-konseptual, simbolis untuk simbolis-proseptual, dan formal untuk formal-aksiomatik. Penggunaan istilah ini dilakukan untuk menyederhanakan istilah ketika terjadi penggabungan antara dua dunia, misalnya formal dan simbolis, sehingga dapat disebut simbolis formal bukan simbolis-proseptual formal-aksiomatik. Penyederhanaan ini memberikan kemungkinan adanya penggabungan dua dunia atau lebih yang pada akhirnya dapat memberikan kemungkinan adanya penggabungan dua jalur atau lebih pada transisi berpikir mahasiswa.

Gambar 1. Perkembangan Kognitif melalui Tiga

Dunia Matematika (David Tall, 2008a)

Berdasarkan Gambar 1, maka penulis dapat merinci bahwa terdapat minimal 4 (empat) jalur menuju pembuktian formal, (1) jalur melalui dunia perwujudan menuju pembuktian formal, (2) jalur melalui dunia simbolik menuju pembuktian formal, (3) jalur dari dunia perwujudan dan simbolik, dan akhirnya menuju pembuktian formal, dan (4) jalur dari dunia formal menuju pembuktian formal. Pinto (1998) menyebut jalur (1), (2), dan (3) dengan jalur natural, dan jalur (4) dengan jalur formal.

Kompresi jalur (1), (2), dan (3) menjadi satu jalur masih perlu penghalusan. Jalur (1) dan jalur (2) tentunya akan melewati aktivitas mental yang sangat berbeda. Jalur (1) membangun bukti formal melalui manipulasi atau tindakan fisik seperti bermain dengan bentuk, menempatkan

mereka dalam koleksi, menunjuk dan menghitung, membagi, dan mengukur sedangkan jalur (2) membangun bukti formal melalui manipulasi simbol. Dengan demikian, penulis merasa masih diperlukan penghalusan dalam pengkategorian jalur natural.

Pinto (1998:302-303) menyatakan bahwa

“From the analysis of data collected, and also on basis of our own experience learning mathematics, it is more likely that an individual builds mathematical knowledge constantly combining the two identified strategies of learning. It seems to be important to follow the development of students who present such a variation to the routes of learning which are already identified. In addition, there might be other strategies used by the learners when building their mathematical knowledge, which are worth to be known and understood.

Penelitian Hahkiöniemi (2006:74-75) menemukan bahwa terdapat beberapa jalur yang ditempuh mahasiwa dalam memahami konsep turunan, yaitu jalur perwujudan, jalur simbolik, dan beberapa variasi gabungan dari dua jalur tersebut. Nampak disini, bahwa Hahkiöniemi (2006) tidak menyatakan jalur tersebut sebagai jalur natural menurut Pinto (1998), tetapi merincinya sebagai jalur tersendiri. Observasi awal penulis menunjukkan bahwa ada mahasiswa yang menggunakan bentuk formal dan perwujudan ketika diminta menjawab pertanyaan tentang materi fungsi komposisi. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa masih ada jalur lain selain jalur alami, formal, dan procedural. Berdasarkan kajian teoritik dan gejala empirik yang ada, maka adanya jalur lain selain jalur natural, formal, dan procedural sangat dimungkinkan dan perlu diteliti lebih lanjut.

Page 60: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 60

Penutup

Transisi berpikir dari matematika sekolah ke matematika formal di perguruan tinggi masih menyisakan banyak pertanyaan jika dikaitkan dengan jalur yang dilalui mahasiswa dari dunia perwujudan dan simbolis menuju dunia formal. Penelitian lebih lanjut masih dapat dilakukan untuk menjawab kemungkinan adanya jalur lain selain jalur alami, formal, dan procedural. Selain itu, dalam menempuh suatu jalur, penelitian tentang proses berpikir mahasiswa masih perlu dilakukan untuk melihat peran met-before. Apakah met-before berperan positif atau justru berperan negatif.

Referensi

Duffin, J. M. & Simpson. A. P. 1993. Natural, Conflicting, and Alien. Journal of Mathematical Behavior, 12 4: 313–328.

Gray, E. & Tall, D. O. 1994. Duality, Ambiguity and Flexibility: A Proceptual View of Simple Arithmetic. The Journal for Research in Mathematics Education, 26 (2):115–141.

Hiebert, James. 1986. Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Hahkiöniemi, M. 2006. Tools for Studying the Derivative. Unpublished PhD, Jyväskylä, Finland.

Hong, YY., Kerr, S.. Klymchuk, S.. McHardy, J.. Murphy, P.. Spencer, S.. Thomas, M.. & Watson, P.. 2009. Modelling the Transition from Secondary to Tertiary Mathematics Education: Teacher and Lecturer Perspectives. Article from Group Research, Auckland University of Technology, New Zealand.

Lakoff, G. 1987. Women, Fire and Dangerous Things. Chicago: Chicago University Press.

Pinto, M. M. F. 1998. Students’ Understanding of Real Analysis. Unpublished PhD Thesis, University of Warwick. UK.

Skemp, Richard R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates.

Stewart, S., & Thomas, M. O. J. 2007. Eigenvalues and Eigenvectors:Formal, Symbolic and Embodied Thinking. Dipresentasikan pada the 10th Conference of the Special Interest Group of the Mathematical Association of America on Research in Undergraduate Mathematics Education, San Diego, California, USA.

Stewart, S., & Thomas, M. O. J. 2008. Linear Algebra Thinking: Embodied, Symbolic and Formal Aspects of Linear Independence. Dipresentasikan pada the 11th Conference of the Special Interest Group of the Mathematical Association of America on Research in Undergraduate Mathematics Education, San Diego, California, USA.

Stewart, S.. 2008. Understanding Linear Algebra Concepts Through the Embodied, Symbolic and Formal Worlds of Mathematical Thinking. Unpublished PhD. Thesis, Department of Mathematics, The University of Auckland. New Zealand.

Tall, D.O. 1996. Advanced Mathematical Thinking & The Computer. Proceedings of the 20th University Mathematics Teaching Conference, Shell Centre, Nottingham, Halaman: 1-8

Tall, D.O. 1997. From School to University: the Transition from Elementary to Advanced

Page 61: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 61

Mathematics Thinking. Dipresentasikan pada the Australasian Bridging Conference in Mathematics di Auckland University, New Zealand, 13 Juli 1997.

Tall, D. O. 2004. Thinking through Three Worlds of Mathematics. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Bergen, Norway. Vol 4 Hal: 281-288.

Tall, D. O. 2006. A Theory of Mathematical Growth through Embodiment, Symbolism and Proof. Annales de Didactique et de Sciences Cognitives, Irem de Strasbourg. 11, 195–215.

Tall, D.O. 2008a. The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education Research Journal, Vol. 20 No. 2 Hal: 5-24.

Tall, D.O.. 2008b. The Historical & Individual Development of Mathematical Thinking: Ideas that are Set-Before and Met-Before. Plenary Presented at Colóquio de Histório e Tecnologia no Ensino Da Mathemática. UFRJ, Rio de Janeiro, Brazil, May 5th.

Tall, D. O., & Mejia-Ramos, J. P. 2006. The Long-Term Cognitive Development of Different Types of Reasoning and Proof. Dipresentasikan pada the Conference on Explanation and Proof in Mathematics: Philosophical and Educational Perspectives di Universität Duisburg-Essen, Essen, Germany.

Weber, K. 2003. A procedural route toward understanding the concept of proof. Proceedings of the Twenty-third Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics

Education, Honolulu, HI. Vol 4 Hal: 395 - 401

Weber, K. 2004. Traditional Instruction in Advanced Mathematics Courses: A Case Study of One Professor’s Lectures and Proofs in an Introductory Real Analysis Course. Journal of Mathematical Behavior 23 Halaman 115–133.

Page 62: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 62

SIFAT IDIOSINKRATIK DALAM MENGORGANISASI PENGETAHUAN: PENGARUH PANDANGAN AHLI PSIKOLOGI

KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Edy Bambang Irawan Jurusan Matematika FMIPA-UM

Abstracts

Some learning theory from the view of learning mathematics psychologists show that the students possess of hierarchy of mathematical skills. Knowledge has the nature of hierarchy means that there are parts of knowledge or skill as a prerequisites and necessary to study the matter further. Mathematics hierarchy in learning theory based on two assumptions. First, the student could obtaining mathematics concepts from learning mathematics. Second, its obtained concepts depend on previous concepts. The consecuence of it are mathematics concepts considered as entity. Furthermore, the concecuence of existence of hierarchy in mathematics learning theory is there ability hierarchy which the student could placed in certain mathematics ability. Cognitive psichologist refused the asumptions in which mathematics concepts considered as entity and nothing unique mathematics ability hierarchy. The individual construction of concepts is personal and idiosincratic. The opinion from its cognitive psichologist influence mathematics instruction.

Keywords: hierarchy of mathematics ability, idiosincratic, mathematics instruction 1. DUA ASUMSI DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA

Beberapa teori belajar dari para pakar psikologi belajar matematika seperti: Piaget, Guilford, Gagne, dan pakar-pakar lain, memberikan kesan adanya hirarki kemampuan matematika bagi siswa. Pengetahuan yang bersifat hirarkis mempunyai arti bahwa terdapat bagian pengetahuan atau ketrampilan yang merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mempelajari bagian lebih lanjut. Adanya hirarki kemampuan matematika menunjukkan adanya kemampuan matematika yang berkembang dari kemampuan rendah menuju kemampuan yang lebih tinggi.

Piaget telah mengembangkan tahap perkembangan intelek yang terdiri dari empat tahap perkembangan intelek, yaitu: sensory-motor, preoperational, concrete operational dan formal operational. Guilford mengenalkan 6 produk belajar dalam mengorganisasi informasi meliputi: units, classes, relations, systems, trasformations, dan implications. Gagne mengembangkan hirarki belajar pada problem solving dan pada belajar aturan. Dienes mengembangkan teori belajar yang

mirip dengan teori perkembangan intelek Piaget. Dia mengenalkan enam tahap perkembangan dalam belajar konsep matematika, yaitu: freeplay, games, searching for communalities, representation, symbolization dan formalization (Bell, 1978, h. 98 – 147).

Dengan adanya tahap-tahap perkembangan dari teori belajar yang dihasilkan oleh para pakar psikologi memberikan kesan adanya tahap-tahap kemampuan matematika yang dimiliki siswa dalam belajar matematika. Kesan adanya tahap-tahap kemampuan matematika siswa dapat diberikan contoh berikut. Misalnya dikatakan bahwa kemampuan matematika siswa pada tahap concrete operational lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan siswa pada tahap formal oprational. Contoh lain misalnya, kemampuan matematika siswa yang belajar pada tahap formalisasi lebih tinggi dari pada kemampuan matematika siswa yang belajar pada tahap representasi. Adanya tahap-tahap kemampuan matematika yang berkembang dalam proses belajar matematika, dapat dikatakan adanya suatu hirarki kemampuan matematika bagi siswa.

Apabila berpijak pada pandangan Ernest (1991, h. 239) adanya hirarki dalam

Page 63: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 63

teori belajar matematika berpijak pada dua asumsi. Pertama, dalam belajar matematika, suatu konsep (atau: ketrampilan) matematika yang dipelajari siswa setelah mengikuti pengalaman belajar tertentu sifatnya diperoleh. Sebelum mengikuti pengalaman belajar tertentu, siswa belum memperoleh konsep yang akan diberikan. Setelah mengikuti pengalaman belajar dikatakan siswa telah memperoleh konsep yang dipelajari dan siswa sudah memiliki konsep tersebut. Kedua, konsep matematika yang diperoleh dari hasil belajar tergantung pada konsep matematika yang diperoleh sebelumnya. Kedua pendapat tersebut didukung oleh Minsky (1986, dalam Clement & Sarama, 2007, 264).

Kedua asumsi di atas membawa konsekuensi bahwa suatu konsep merupakan suatu entitas, mempunyai eksistensi real. Dalam pengertian ini, apabila seorang siswa dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep segitiga, dikatakan bahwa siswa tersebut telah memiliki konsep segitiga dalam pikirannya. Eksistensi konsep segitiga telah dimiliki oleh siswa. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya hirarki dalam teori belajar matematika adalah seorang siswa dapat dikatakan mempunyai kemampuan matematika tertentu dalam suatu hirarki kemampuan matematika.

Dalam beberapa kurikulum pendidikan matematika, sering dijumpai tulisan-tulisan yang secara tersirat memandang bahwa suatu konsep merupakan entitas. Disamping itu dalam kurikulum pendidikan matematika juga tersirat adanya suatu hirarki kemampuan matematika bagi siswa yang belajar matematika. Berikut beberapa contoh tulisan dalam Kurikulum Pendidikan Dasar. (i). Salah satu hal yang perlu diperhatikan

sebelum melakukan kegiatan pembelajaran adalah pengetahuan prasyarat harus dimiliki oleh siswa sebelum mempelajari materi yang akan datang.

(ii). Tujuan pembelajaran matematika di SLTP adalah agar siswa memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan menengah.

(iii). Pada dasarnya silabus merupakan pedoman mengajar bagi guru yang

berisikan materi minimal yang perlu dipelajari oleh semua siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

(iv). Materi pengayaan dimaksudkan sebagai tambahan materi untuk siswa agar lebih cepat dalam belajar matematika bila dibandingkan dengan yang lain.

Beberapa contoh di atas, tampak

bahwa dari contoh pertama dan kedua menunjukkan adanya asumsi bahwa suatu konsep merupakan suatu entitas, sedangkan dari contoh ketiga dan keempat menunjukkan adanya asumsi bahwa terdapat suatu hirarki dalam kemampuan matematika. Dari adanya kedua asumsi tersebut, para pakar psikologi memberikan suatu kritik. Kritik tersebut terkait dengan adanya anggapan sifat entitas dari suatu konsep dan kritik yang terkait dengan adanya hirarki dalam kemampuan matematika.

2. SIFAT IDIOSINKRATIK DALAM MENGORGANISASI PENGETAHUAN

2.1. Pengorganisasian Konsep Matematika

Kritik terhadap sifat entitas suatu konsep dan adanya hirarki kemampuan matematika memberikan pengaruh dalam pengorganisasian konsep matematika. Ruthven (dalam Ernest, 1991, h. 244) menolak pandangan bahwa kemampuan matematika bersifat hirarkis. Penolakan pandangan Ruthven tersebut berdasarkan argumentasi sosiologis dan psikologis. Argumentasi sosiologis yang dikemukakan adalah terdapat kaitan yang kuat antara latar belakang sosial dan kemajuan pendidikan dari semua jenis. Argumentasi psikologis yang menjadi dasar penolakan adalah psokologis Soviet yang menolak pengertian kemampuan tertentu, dan menghubungkan perkembangan psikologis dengan pengalaman yang terjadi secara sosial.

Apabila berpijak pada pendapat Ruthven (dalam Ernest, 1991, h. 243) kemampuan siswa yang seringkali ditunjukkan dengan prestasi belajar, pada hakekatnya merupakan mathematics ability stereotyping. Dengan kata lain, kemampuan matematika yang ditunjukkan siswa sebagai hasil belajar merupakan suatu judment

Page 64: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 64

global dari kemampuan matematika siswa yang merupakan suatu summary dari bentuk stereotip.

Vergnaud (dalam Ernest, 1991, h. 241) mengatakan bahwa hirarki kemampuan matematika tidak mengikuti pengorganisasian urutan menyeluruh seperti pada teori tahap-tahap perkembangan, namun merupakan urutan parsial. Situasi dan masalah yang dikuasai siswa secara progresif, prosedur dan representasi simbolik yang digunakan dari umur 2 atau 3 tahun sampai dewasa dideskrepsikan dengan skema urutan parsial, seseorang mendapatkan kompetensi tidak menyandarkan pada urutan yang satu satu dengan yang lain.

Pakar-pakar psikologi kognitif lainnya, seperti Brower, 1989; Lave, 1988; Solomon, 1989; Walkerdue, 1988; Carreher, 1988; Evans, 1988; Novak, 1989 (dalam Ernest, 1991, h. 240-241) menolak adanya klaim bahwa pengorganisasian konsep matematika mengikuti suatu hirarki tertentu. Secara logika, matematika dipandang sebagai kumpulan konvensi untuk memanipulasi simbol (Glasersfeld, 1990, h. 44). Dari pandangan tersebut, kiranya mustahil hirarki tertentu bisa dibuat, karena setiap pakar akan membuat konvensi yang spesifik, yang tentunya saling berbeda. Dengan demikian, pengorganisasian pengetahuan matematika tidak dapat dimasukkan pada sebuah hirarki kemampuan matematika tertentu.

2.2. Sifat Idiosinkratik

Kata idiosinkratik berasal dari kata idiosyncrasy yang berati cara berfikir atau perilaku seseorang yang bersifat khas (Hornby, 1974, h. 421). Pengertian sifat idiosinkratik dalam mengorganisasi suatu konsep kiranya dapat mengambil dari pendapat Ernest (1991, h. 241) atas keberatan utama terhadap pandangan bahwa suatu konsep bersifat ‘diperoleh’ oleh individu. Dengan memperhatikan pendapat tersebut, sifat idiosinkrtatik dalam mengorganisasi suatu konsep dapat dijelaskan sebagai berikut. (i) Suatu konsep terstruktur dalam pikiran

anak secara komposit, secara pribadi tumbuh semakin luas sesuai konteks yang dihadapi anak.

(ii). Suatu konsep dapat dimanifestasikan secara tidak langsung, karena struktur mental anak tidak dapat diamati secara langsung. Esensi dari manifestasi suatu konsep merupakan suatu anggapan (presumtive).

(iii). Suatu konsep yang terstruktur pada individu-individu tidak dapat dikatakan identik.

Para pakar psikologi kognitif

mengarah pada pandangan bahwa pengorganisasian pengetahuan bersifat idiosinkratik (Ernest, 1991, h. 240), akibatnya pembentukan konsep-konsep matematika sebagai hasil belajar matematika bersifat idiosinkratik. Pandangan bahwa pengorganisasian pengetahuan bersifat idiosinkratik antara lain juga tersirat pada pandangan para pakar psikologi berikut.

Vico (dalam Glasersfeld, 1990, h. 21) menuliskan slogan bahwa “the human mind can know what the human mind has made”. Menurut Novak (dalam Ernest, 1991, h. 241), kemampuan individu dalam mengorganisasikan pengetahuan dilakukan secara pribadi dan unik. Dengan demikian, apabila dikatakan bahwa individu yang berbeda memiliki konsep yang sama, konsep yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut bukanlah suatu entitas yang identik. Stigler dan Baranes (1989, dalam Nunes T, 1992, h. 558) mengatakan bahwa matematika merupakan kumpulan representasi simbolik yang dikonstruksi secara kultural dan kumpulan prosedur memanipulasi representasi tersebut. Anak memasukkan representasi dan prosedur dalam sistem kognitif, suatu proses yang terjadi dalam konteks yang dikonstruksi secara sosial.

Brown (dalam Ernest, 1991, h. 240) mengemukakan bahwa suatu konsep tumbuh menurut luasnya penggunaan kontekstual, siswa yang menstruktur secara mental dari suatu konsep dilakukan secara kontekstual. 3. IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

3.1. Implikasi pandangan bahwa pengorganisasian pengetahuan siswa bersifat idiosinkratik

Telah dijelaskan bahwa para pakar psikologi kognitif berpandangan bahwa

Page 65: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 65

pengorganisasian pengetahuan siswa bersifat idiosinkratik. Para ahli psikologi menolak pandangan bahwa suatu konsep merupakan suatu entitas, yang dapat diperoleh, dan menolak pandangan bahwa konsep diperoleh secara langsung, dimiliki atau tidak dimiliki oleh siswa. Pandangan ini dapat mempunyai implikasi dalam pembelajaran matematika.

Dalam penyusunan program pembelajaran matematika, menyusun deskripsi hasil belajar, maupun dalam interaksi guru dan murid, dipandang sebagai suatu hal yang lazim bahwa konsep dipandang sebagai suatu entitas yang dapat diperoleh secara langsung, dan dapat dimiliki oleh siswa. Apabila pandangan ilmuwan kognitif di atas dipahami secara sempit bagi para pendidik, akan membingungkan dalam kegiatan pembelajaran. Para pendidik akan mengahadapi dilema sebagai berikut. (i). Bagaimana bisa mengajarkan konsep

lebih lanjut, apabila siswa tidak memiliki konsep sebelumnya?

(ii). Apa yang terjadi apabila siswa tidak pernah bisa memperoleh konsep yang diajarkan?

Dengan demikian, terdapat ungkapan-

ungkapan yang memiliki makna cukup jelas bagi para pendidik di lapangan , namun dari pandangan psikologi kognitif perlu mendapatkan kritik. Ungkapan-ungkapan dimaksud dapat diberikan contoh sebagai berikut.

(i). Siswa sudah memiliki konsep segitiga yang diberikan guru melalui demonstrasi dengan menggunakan alat peraga.

(ii). Siswa memperoleh konsep jarak berdasarkan pengalaman sehari-hari dan hasil belajar di kelas..

Dengan berpijak pada pandangan ahli

psikologi kognitif, kiranya contoh-contoh ungkapan di atas lebih sesuai bila dinyatakan sebagai berikut. (i). Siswa sudah dapat mengorganisasikan

secara mental konsep segitiga yang diajarkan guru melalui demonstrasi dengan menggunakan alat peraga.

(ii). Siswa mengkostruksi secara mental konsep jarak berdasarkan pengalaman sehari-hari dan hasil belajar di kelas.

3.2. Implikasi dari pandangan bahwa kemampuan matematika individu tidak mempunyai hirarki unik Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa para ahli psikolgi menolak pandangan bahwa kemampuan matematika individu mempunyai karakteristik unik. Implikasi pandangan ini bagi para pendidik di lapangan apabila dipahami secara sempit akan membingungkan dan menyulitkan dalam kegiatan pembelajaran. Para pendidik di lapangan akan mengalami dilema sebagai berikut. (i) Apakah tidak dapat dilakukan

pengelompokan kemampuan anak didik berdasarkan kemampuan matematika rendah, sedang atau tinggi?

(ii) Apakah kemampuan matematika siswa tidak dapat digambarkan pada suatu kurva?

(iii) Apa yang bisa dikatakan kemampuan siswa A terhadap siswa B terhadap kemampuan matematikanya?

Dengan demikian, terdapat ungkapan-

ungkapan yang oleh para pendidik di lapangan merupakan ungkapan yang mempunyai makna jelas, bagi para ahli psikologi dipandang perlu mendapat kritik. Ungkapan-ungkapan yang dimaksud dapat diberikan contoh sebagai berikut. (i). Siswa yang mempunyai kemampuan

menghitung tinggi, akan lebih cepat dalam menyelesaikan masalah menghitung dibandingkan siswa yang mempunyai kemampuan menghitung rendah.

(ii). Ada kecenderungan bahwa gambaran kemampuan matematika siswa dalam suatu kelas membentuk model kurva normal.

Pada contoh pertama tampak bahwa

ungkapan ‘kemampuan menyelesaikan masalah menghitung yang lebih cepat’ dihubungkan dengan ‘kemampuan tinggi’. Ungkapan yang lebih cermat tentunya dengan berpijak pada pandangan ahli psikologi kognitif. Dalam hal ini, ungkapan ‘menyelesaikan masalah menghitung yang lebih cepat’ akan lebih cermat bila dihubungkan dengan ‘skor tinggi’. Demikian

Page 66: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 66

juga pada contoh kedua, tampak bahwa ungkapan ‘membentuk model kurva normal’ dihubungkan dengan ‘kemampuan matematika’, akan lebih cermat bila ungkapan tersebut dihubungkan dengan ‘skor tes matematika’.

4. PENUTUP

Kreativitas guru yang terkait dengan kegiatan pembelajaran matematika seringkali diwujudkan dalam bentuk penyusunan program pembelajaran matematika, penyusunan bahan ajar matematika, maupun aplikasi perencanaan program pembelajaran dalam kegiatan di kelas. Dari contoh-contoh ungkapan yang disajikan pada kedua implikasi di atas ( subbab C.1 dan C.2) , diharapkan produk kreativitas tersebut dapat dibuat lebih cermat, sejauh mungkin tidak menimbulkan kritik yang tajam ditinjau dari pandangan ahli psikologi kognitif..

5. DAFTAR RUJUKAN Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary Schools). Iowa: Brown W.C.

Ernest P. 1991. The Phylosophy of Mathematics Education. USA: Falmer

Glasersfeld. 1990. An Exposition of Constructivism: Why Some Like It Radical. Journal for Research in Mathematics Education. Monograph. Vol.4

Nunes, T. 1992. Ethnomathematics and Everyday Cognition. Handbook of Research Mathematics Teaching and Learning. New-York.

Secada W.G. 1991. The Challenges of a Changing World for Mathematics Education. Teaching and Learning Mathematics in 1990s. 1990 Yearbook. NCTM. Virginia

Clement D.H. & Sarama J. 2007. Early Childhood Mathematics Learning. Second Handbook od Research on Mathemayics Teaching and Learning. NCTM. 2007.

Page 67: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 67

Proses Komunikasi Matematis dalam Bahasa Inggris Melalui Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS)

dan Asesmen Newman’s Prompt.

Santi Irawati ( [email protected] ) Ety Tejo Dwi Cahyowati ( [email protected])

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang

Abstrak. Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah menetapkan kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Untuk itu, perlu disiapkan calon guru yang profesional saat mengajar di SBI. Persiapan tersebut dapat melalui penerapan pembelajaran yang inovatif, pemanfaatan ICT, dan pembiasaan berkomunikasi dengan

bahasa global yaitu bahasa Inggris. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan proses komunikasi matematis mahasiswa dalam bahasa Inggris melalui pembelajaran

model Think-Pair-Share (TPS) dan asesmen Newman’s prompt. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kualitatif dilengkapi dengan data kuantitatif yang

melibatkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang semester I kelas bilingual tahun ajaran 2009/2010 sebanyak 22 orang.

Kesimpulan yang didapat adalah (1) mahasiswa lebih intensif dalam berkomunikasi matematis dalam bahasa Inggris (2) masing-masing anggota kelompok terfasilitasi

untuk mempresentasikan ide matematisnya dalam bahasa Inggris dan mahasiswa yang lain terfasilitasi untuk melakukan refleksi dalam bahasa Inggris.

Kata kunci: pembelajaran Think-Pair-Share, Newman’s Prompt.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan beberapa dosen pembina mata kuliah Kalkulus selama beberapa periode, banyak sekali mahasiswa (bahkan untuk jurusan Matematika) yang mengalami kesulitan mentransfer dasar pengetahuan yang telah mereka miliki di SMU dan menggunakannya untuk memahami konsep matematika di tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa semester awal nampak sekali belum siap untuk memasuki jenjang berpikir secara deduktif. Dari penelitian yang dilakukan oleh Parta (2002), di UM terungkap bahwa sangat banyak kendala yang muncul dan saling terkait yaitu antara lain mahasiswa tidak mampu “membaca” buku teks, tidak mampu mengikuti alur formal dalam menyelesaikan soal, dan kemampuan abstraksi mahasiswa yang masih rendah.

Dengan adanya temuan ini, perlu kiranya dilakukan perbaikan pelayanan

pembelajaran guna membantu mahasiswa di tahun pertama mereka yang tentunya belum dapat belajar secara mandiri. Konsep-konsep yang dipelajari pada Kalkulus I, yang ditempuh pada semester pertama tahun pertama perkuliahan, merupakan dasar pengetahuan untuk bidang disiplin ilmu lainnya, di mana materi perkuliahannya disajikan bervariasi dari hal-hal konkrit sampai pada beberapa konsep abstrak. Yuwono (2002) mengemukakan bahwa (1) Kalkulus sebagai bagian dari matematika mudah untuk menyeimbangkan porsi penalaran konseptual dengan ketrampilan proseduralnya, (2) Melalui matakuliah Kalkulus ini mahasiswa diberikan diberikan bekal sedini mungkin dengan proses penalaran yang sesungguhnya dari “bumi” matematika, dan (3) melalui penalaran yang “benar” secara matematika, diharapkan mahasiswa mampu bernalar secara benar

Page 68: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 68

pula dalam mempelajari matakuliah matematika di semester berikutnya.

Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah menerbitkan kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Berdasarkan artikel pada Edupedia (2008), tertulis bahwa SBI adalah sekolah yang menyiapkan peserta didik berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusan memiliki kemampuan daya saing internasional. Visi SBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya - upaya yang dilakukan secara intensif dan terarah. Setiap SBI harus menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (information communication technology/ICT). Proses belajar - mengajar di SBI harus menggunakan bilingual, terutama untuk pelajaran matematika dan sains. SBI dikembangkan dengan 8 prinsip utama, yaitu: 1. Pengembangan SBI mengacu pada

SNP + X. BI = SNP + X. Di mana SNP meliputi 8 standar SNP, yaitu, kompetensi lulusan, isi, proses, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, manajemen, pembiayaan, penilaian sedangkan X adalah nilai plus, yaitu, penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri yang telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.

2. SBI dikembangkan berdasarkan atas kebutuhan dan prakarsa sekolah (demand driven and bottom up).

3. Kurikulum bertaraf internasional yang ditunjukkan oleh pengembangan isi yang mutakhir dan canggih dengan perkembangan ilmu pengetahuan global.

4. SBI menerapkan manajeman berbasis sekolah (MBS) dengan tata kelola yang baik.

5. SBI menerapkan proses belajar mengajar yang pro-perubahan dan inovatif.

6. SBI menerapkan prinsip - prinsip kepemimpinan yang memiliki visi ke depan (visioner).

7. SBI harus memiliki SDM yang professional, baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan.

8. Penyelenggaraan SBI harus didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap, relevan, mutakhir, dan canggih seperti laptop di laboratorium, LCD, TV, dan media pendidikan penunjang lainnya. Berdasarkan 8 prinsip pengembangan

SBI tersebut, maka perlu disiapkan calon guru yang profesional pada saat mengajar di SBI. Persiapan tersebut dapat melalui penerapan pembelajaran yang inovatif, pemanfaatan ICT, dan pembiasaan berkomunikasi dengan bahasa global yaitu bahasa Inggris.

Salah satu pembelajaran yang inovatif adalah pembelajaran kooperatif tipe Think- Pair- Share (TPS). Dengan menerapkan model pembelajaran TPS ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk memikirkan solusi dari problem yang diberikan dan mendiskusikannya dengan pasangan dalam kelompoknya, serta mengkomunikasikan hasil diskusinya ke kelas. Karena model pembelajaran TPS memberi kesempatan mahasiswa berkomunikasi pada saat diskusi dengan pasangannya dan di depan kelas, maka dapat diharapkan mahasiswa lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris. Dengan berkomunikasi dalam bahasa Inggris di depan kelas, maka pembina matakuliah dapat mengukur kemampuan mahasiswa berkomunikasi secara matematis dalam bahasa Inggris.

Salah satu instrumen yang mengukur kemampuan berkomunikasi secara matematis dalam bahasa Inggris adalah model Newman’s Prompt. Berdasarkan uraian tentang alternatif pembelajaran inovatif model TPS dan adanya instrumen

Page 69: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 69

komunikasi matematis model Newman’s Prompt, maka peneliti menerapkan TPS dan asesmen model Newman’s Prompt pada topik limit di kelas bilingual. Topik limit dipilih karena konsep limit merupakan materi prasyarat penting untuk konsep-konsep berikutnya pada matakuliah Kalkulus I dan matakuliah selanjutnya. Di samping itu, topik limit mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan masalah matematika (misalnya garis singgung) maupun fisika (misalnya kecepatan sesaat).

Pembelajaran Matematika Perguruan

Tinggi Tujuan pokok pengajaran matematika

di sekolah ialah menanamkan daya nalar. Drost (2007) mengemukakan bahwa matematika merupakan ilmu paling murni, yang hanya didasarkan pada akal budi manusia. Misalnya, titik itulah besaran matematis, hanya pemikiran lepas dari setiap pengalaman. Langkah-langkah matematika hanya berarah satu, menempuh jalan lurus, tidak pernah menyimpang. Semua kesimpulan harus diuji oleh logika yang mutlak.

Selain itu Drost (2007) mengatakan bahwa tujuan proses mengajar dan belajar di SMU adalah "kematangan masuk perguruan tinggi" karena baik menurut kodratnya maupun de facto SMU di Indonesia merupakan persiapan studi di perguruan tinggi. Kematangan itu tidak berarti tiap lulusan SMU harus sanggup dan mampu memulai setiap studi di perguruan tinggi. Kematangan itu tidak berarti bahwa tiap lulusan sudah menguasai semua pengetahuan dasar dari semua jurusan. Dengan kata lain, dengan kematangan ini, tiap lulusan SMU harus mampu dalam waktu cukup pendek, mengejar kekurangan-kekurangan yang masih dialami pada saat kuliah dimulai. Inti kematangan ini ialah kemampuan bernalar dan berbicara. Orang yang mampu berbicara dapat menyampaikan apa yang ada dengan apa adanya sedemikian rupa sehingga tiap pendengar tanpa ragu dapat menangkap isi hati dan memahami arti dari apa yang ingin disampaikan. Ini menuntut pengertian tentang apa yang mau dikomunikasikan pada si penutur. Dengan demikian orang yang meraih kematangan ini

penalarannya jelas, taat asas, konsekuen, dan kritis. Selanjutnya, hasil penalaran dapat disampaikan memakai bahasa yang jelas, taat asas, konsekuen, dan kritis.

Usaha mengatasi problematika pembelajaran matematika antara lain dengan melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning re-construction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian (Sudrajat, 2007). Trend model pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika. Misalnya dalam wujud NCTM Standard for Curriculum and Evaluation, NCTM Standard for Instruction, dan NCTM Standard for Assessment. Bentuk konstruksi pemahaman matematika yang saat ini dikembangkan bahkan cenderung menjadi sebuah “gerakan” studi model pembelajaran matematika di antaranya: constructivism, problem solving, problem posing, realistic mathematics education, open-ended approach, communication in mathematics, methacognitive model, cooperative learning, dan reinvention in mathematics.

Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif

(cooperative learning) merupakan salah satu pembelajaran inovatif berbasis konstruktivistik. Esensi dari pembelajaran kooperatif adalah siswa belajar bersama dan berkolaborasi dalam kelompok yang beranggotakan dua sampai empat orang untuk menguasai materi ajar yang telah disampaikan oleh guru (Slavin, 1995). Berdasarkan esensi tersebut, maka terdapat lima elemen pokok yang mencirikan pembelajaran kooperatif. Kelima elemen pokok tersebut adalah: saling ketergantungan positif, tanggung jawab secara individu dan kelompok, interaksi face to face, keterampilan berhubungan dalam kelompok (interpersonal small-group

Page 70: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 70

skills), proses bekerja dalam kelompok (group processing).

Pada kenyataannya, tidak setiap pembelajaran yang menggunakan setting diskusi kelompok merupakan pembelajaran kooperatif. Sebagai ilustrasi, pada saat pelaksanaan open class Lesson Study di beberapa sekolah di Kabupaten Pasuruan seringkali disetting siswa belajar secara berkelompok. Selama proses diskusi kelompok, siswa yang berkemampuan tinggi cenderung mendominasi komunikasi dalam kelompok, sedangkan siswa yang berkemampuan rendah cenderung pasif dan sangat bergantung pada siswa yang berkemampuan tinggi. Keadaan tersebut tidaklah mencirikan pembelajaran kooperatif, karena tidak terdapat ketergantungan positif dan tanggung jawab individu dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, diharapkan tercipta suasana masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan kelompoknya. Timbulnya rasa tanggung jawab tersebut dapat disebabkan karena adanya skor perkembangan (pada STAD), atau reward pada tipe-tipe pembelajaran kooperatif selain STAD, atau karena mereka bekerja dalam kelompok kecil (secara berpasangan) pada pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share.

Pembelajaran melalui Think-Pair-Share (TPS) merupakan suatu pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Hal tersebut disebabkan karena pada TPS siswa diminta belajar dan bekerja secara berpasangan. Adapun langkah-langkah pokok pembelajaran model TPS adalah sebagai berikut. 1. Guru atau dosen memberikan

masalah dan meminta siswa atau mahasiswa secara individu untuk memikirkan (thinking) srategi penyelesaian masalah.

2. Siswa atau mahasiswa bekerja secara berpasangan (pair) mendiskusikan strategi penyelesaian yang telah mereka pikirkan dan masalah secara rinci.

3. Masing-masing kelompok menyajikan rincian penyelesaian masalah di depan kelas (share). Berdasarkan langkah-langkah

pokok pembelajaran model TPS, maka mahasiswa dapat terfasilitasi untuk bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Hal tersebut didukung dengan adanya tuntutan agar mahasiswa berpikir secara individu tentang strategi pemecahan masalah yang nantinya akan didiskusikan dengan pasangannya. Selain itu, karena dalam TPS mahasiswa bekerja secara berpasangan, maka akan timbul rasa malu kalau ia melepas tanggungjawabnya dalam memikirkan strategi pemecahan masalah. Kekuatan lain dari pembelajaran model TPS adalah dimungkinkannya interaksi yang intensif dalam kelompok. Mahasiswa secara otomatis berinteraksi dengan pasangannya dan teman lain di kelasnya pada saat presentasi. Oleh karena itu model pembelajaran TPS sesuai apabila diterapkan pada mahasiswa kelas bilingual, karena tanpa disadari mereka terfasilitasi untuk berinteraksi dalam bahasa Inggris lebih intensif. Di samping memfasilitasi mahasiswa untuk berinteraksi dalam bahasa Inggris, model pembelajaran TPS juga memudahkan pengajar dalam melakukan asesmen komunikasi matematis dalam bahasa Inggris.

Asesmen Model Newman’s Prompt. Newman (2000), pengajar dari

Australia menyusun suatu instrumen yang mengukur kemampuan berkomunikasi secara matematis. Instrumen tersebut disusun menjadi lima tahapan untuk membantu menentukan dimanakah letak kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada siswa ketika menyelesaikan soal-soal uraian. Kelima tahapan tersebut meminta siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikut.

1. Please read the question to us. 2. Tell us what the question is asking

you to do. 3. Tell us how you are going to find the

answer.

Page 71: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 71

4. Show us what to do to get the answer.

5. Now, write down your answer to the question.

Penelitian ini akan mengkaji bagaimana proses komunikasi matematis dalam bahasa Inggris melalui Think-Pair-Share (TPS) dan Asesmen Model Newman’s Prompt.

Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif kualitatif dengan subyek penelitian mahasiswa pendidikan matematika semester I kelas bilingual angkatan 2009/2010 sebanyak 22 orang. Proses komunikasi matematis dalam bahasa Inggris diukur dengan menggunakan assmen Newman’s prompt yang meliputi 5 tahapan, yaitu:

1. Membaca pertanyaan dosen (Please read the question to us).

2. Menyatakan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan/dibuktikan (Tell us what the question is asking you to do).

3. Menyatakan strategi apa yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan (Tell us how you are going to find the answer).

4. Menunjukkan kepada kelas bagaimana menerapkan strategi yang digunakan untuk memperoleh jawaban (Show us what to do to get the answer).

5. Menuliskan rincian jawaban (Write down your answer to the question).

Karena kerterbatasan waktu di kelas dan harapan agar tiap anggota kelompok mempunyai cukup waktu untuk memikirkan strategi penyelesaian sebelum masuk ke tahap Pair, maka tahapan Think dilakukan di luar perkuliahan.

Selanjutnya, pada pelaksanaan pembelajaran dilakukan langkah-langkah: (1) Pembagian kelompok, (2) Penyusunan dan pembagian soal untuk tiap kelompok, (3) Pelaksanaan unjuk kerja (presentasi) tiap kelompok, (4) Pengamatan dan penilaian unjuk kerja tiap kelompok, (5) Pelaksanaan refleksi antar mahasiswa-dosen-mahasiswa, (6) Pelaksanaan unjuk kerja (presentasi)

untuk beberapa kelompok yang belum tuntas menjawab soal (revisi atau tugas tambahan) dan (7) Penilaian akhir tiap kelompok berdasarkan presentasi dan hasil tulisan yang telah direvisi.

Hasil dan Pembahasan Proses pelaksanaan unjuk kerja

(presentasi) mahasiswa dilakukan dengan memberi tenggang waktu 2 minggu setelah pembagian soal agar mahasiswa mempunyai cukup waktu untuk berdiskusi di luar jam perkuliahan. Presentasi kelompok dilaksanakan secara acak, sehingga tiap kelompok diharapkan siap pada tiap kali perkuliahan. Setelah proses pengamatan dan refleksi antar mahasiswa-dosen-mahasiswa, dosen menyimpulkan perlu tidaknya kelompok yang tampil untuk melakukan revisi terhadap hasil tulisan yang mereka tampilkan. Kelompok yang melakukan revisi diwajibkan untuk tampil lagi mempresentasikan hasil revisi tulisan mereka. Setelah semua kelompok tuntas melakukan presentasi dan mengumpulkan hasil tulisan mereka, dosen bersama mahasiswa menarik kesimpulan secara global. Selanjutnya, dosen memberi tugas perluasan konsep yang tertuang dalam soal-soal yang diberikan sebagai tugas mandiri.

Adapun hasil pengamatan yang dilakukan dosen terhadap hasil unjuk kerja tiap kelompok adalah sebgai berikut. 1. Tahap Membaca pertanyaan dosen

(Please read the question to us). Setiap kelompok yang maju di depan

kelas diminta untuk menulis soal (dalam bahasa Inggris) dan membacanya. Karena soal yang dibahas hanya berupa pernyataan dan bukan soal-soal cerita, semua kelompok tidak menemui kesulitan dalam membaca soal-soal yang diberikan. 2. Tahap Menyatakan apa yang diketahui

dan apa yang ditanyakan/dibuktikan (Tell us what the question is asking you to do).

Pada tahap ini, tiap kelompok diminta untuk menjelaskan makna soal dengan mengemukakan informasi apa saja yang diberikan dan apa yang ditanyakan dari suatu soal. Dengan demikian mereka diuji apakah memahami makna soal tersebut. Dari presentasi seluruh kelompok, hanya kelompok 10 yang mendapat giliran untuk maju pertama kali yang belum memahami aturan permainan dalam presentasi ini.

Page 72: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 72

Setelah dijelaskan oleh dosen, maka kelompok lainnya tidak lagi mengalami kesulitan dalam pelaksanaan tahap ke dua ini.

3. Tahap Menyatakan strategi apa yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan (Tell us how you are going to find the answer).

Pada tahap ini, setelah kelompok mengemukakan informasi apa saja yang diberikan dan apa yang ditanyakan dari suatu soal, mereka diminta untuk mengemukakan jawaban BENAR atau SALAH disertai penjelasan singkat bagaimana cara menjawabnya. Apabila mereka menyimpulkan bahwa soal tersebut BENAR, maka mereka hanya diminta untuk mengatakan akan memberikan bukti secara langsung atau tidak langsung. Apabila mereka menyimpulkan bahwa soal tersebut SALAH, maka mereka diminta menjawab akan memberikan suatu contoh penyangkal. Semua kelompok memahami apa maksudnya pada tahap ini, namun ada dua kelompok (Kelompok 7 dan 10) yang salah dalam menyimpulkan pernyataan pada soal yang diberikan, sehingga keliru dalam menjawab bagaimana prosesnya.

4. Tahap Menunjukkan kepada kelas bagaimana menerapkan strategi yang digunakan untuk memperoleh jawaban (Show us what to do to get the answer).

Untuk tahapan ini, tiap kelompok mulai menuliskan alasan pendukung untuk kesimpulan terhadap soal yang diberikan dan belum ada tuntutan untuk menuliskan jawaban secara rinci dan sistematis. Pada tahap ini, ada beberapa kelompok yang melakukan kesalahan berupa (a) Kesalahan dalam menjawab soal

(Kelompok 4, 7 dan 10 ) (b) Kesalahan dalam memilih contoh

penyangkal (Kelompok 2 dan 4) (c) Kesalahan dalam proses pembuktian,

masalah yang akan dibuktikan digunakan di dalam proses pembuktiannya (Kelompok 10) 5.Tahap Menuliskan rincian jawaban

Write down your answer to the question).

Untuk tahapan ini, tiap kelompok diminta untuk menjelaskan jawaban yang mereka tulis di papan tulis dan menjawab pertanyaan yang diajukan kelompok lain maupun dosen. Pada tahap ini, masing-masing anggota kelompok telah membagi tugas untuk bergantian menjelaskan jawaban yang mereka tulis dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dosen dan kelompok lain umumnya menanyakan maksud tulisan di papan (menuntut jawaban yang lebih rinci) ataupun memberikan pendapat lain. Pada tahap inilah, terlihat jalannya proses Share dan interaksi antar mahasiswa-dosen-mahasiswa dalam berkomunikasi matematika. Pada tahap ini, ada beberapa kelompok yang melakukan kesalahan berupa (a).Kurang memperhatikan premis sebagai

syarat untuk menggunakan kesimpulan yang akan dipakai dalam menjawab soal (Kelompok 10 belum tahu bahwa premis tidak dipenuhi pada teorema 6 namun tetap menggunakannya untuk kesimpulan tentang komposisi fungsi)

(b).Kesalahan dalam memilih contoh penyangkal (Kelompok 2, 4 dan 5). Kelompok 5 kurang jeli dalam menyelidiki limit fungsi sehingga keliru dalam menyimpulkan soal. Kelompok 4 juga masih melakukan kesalahan di dalam proses menuliskan jawaban mereka. Setelah mendapatkan saran-saran

dari kelompok lain dan dosen, masing-masing kelompok diberi kesempatan untuk melakukan revisi dan diminta untuk maju lagi menjelaskan hasil revisi tersebut pada pertemuan berikutnya.

Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah

dilaksanakan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Mahasiswa lebih intensif dalam berkomunikasi matematis dalam bahasa Inggris. Adanya refleksi dan tuntutan untuk melakukan revisi dan presentasi berulang mengakibatkan mahasiswa lebih siap dalam menanggapi pertanyaan teman atau

Page 73: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 73

dosen sehingga kemampuan berkomunikasi matematis mereka meningkat. 2. Masing-masing anggota kelompok terfasilitasi untuk mempresentasikan ide matematisnya dalam bahasa Inggris dan mahasiswa yang lain terfasilitasi untuk melakukan refleksi dalam bahasa Inggris.

Pada umumnya pembelajaran di sekolah dasar dan menengah kurang memfasilitasi siswa dalam bekomunikasi matematis. Sedangkan untuk kelas bilingual, aspek komunikasi dalam bahasa Inggris berperan sangat penting. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pada pembahasan dan kesimpulan, maka disarankan agar pembelajaran melalui TPS dapat ditindaklanjuti untuk topik lainnya di kelas bilingual untuk sekolah dasar dan menengah.

Daftar Rujukan Ariyanto T., 2001. “Antusiasme Kurikulum

Berbasis Kompetensi”. Dalam harian KOMPAS, 24 Desember 2001, hal. 10.

Drost J., 2007. Matematika di sekolah. [email protected]. Diakses 5 Desember 2007.

Marpaung Y., 2002. “Pendidikan matematika realistik Indonesia perubahan paradigma dalam pembelajaran matematika disekolah” Jurnal MATEMATIKA, Thn. VIII Edisi Khusus Juli 2002. Malang: Universitas Negeri Malang. Newman A., 2000. Finding out why students make mistakes. http://www.curriculumsupport.education.nsw.gov.au/primary/mathematics/ numeracy/newman/index.htm. Diakses 30 Sept 2009 Parta, I.N. 2002. Upaya Meningkatkan

Kualitas Proses belajar Mengajar Dalam Perkuliahan Kalkulus I Melalui Program Remidi. Laporan Penelitian. Malang: JICA

Slavin, R. E., 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice, second edition. Masachussets: Allyn&Bacon A Simon &Schuster Company.

Sudrajat, 2007. ”Gerakan” pendekatan kontekstual (baca: CTL) dalam matematika sebuah kemajuan atau jalan ditempat? http://rbaryans.wordpress.com/2007/07/31/%e2%80%9cgerakan%e2%80%9d- pendekatan-kontekstual-baca-ctldalam-matematika-sebuah-kemajuan-atau-jalan- di- tempat/ Di akses 29 Jan 2008.

Yuwono I., 2002. “Pembelajaran Kalkulus berbasis konstruktivisme dan pengaruhnya pada perolehan belajar mahasiswa jurusan pendidikan matematika” Malang: Hibah penelitian Due-Like.

---, Edupedia, 2008. Sekolah Bertaraf Internasional. http://setjen.diknas.go.id/.Diakses 1 Desember 2009.

---, http://en.wikipedia.org/wiki/Cooperative_learning.

Page 74: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 74

BAHAN AJAR CALCULUS 1 BERBAHASA INGGRIS BERACUAN KONSTRUKTIVISTIK - ICT UNTUK

MEMFASILITASI BERPIKIR KRITIS MAHASISWA KELAS BILINGUAL

Ety Tejo Dwi Cahyowati

Santi Irawati Imam Supeno

ABSTRAK: Penelitian ini dlakukan untuk menghasilkan bahan ajar Calculus 1 berbahasa

Inggris beracuan konstruktivistik-ICT yang dapat mendorong munculnya berpikir kritis mahasiswa kelas bilingual. Penelitian dilaksanakan pada semester gasal 2010/2011 dengan

subjek penelitian 24 mahasiswa kelas bilingual Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang

meliputi kegiatan-kegiatan: Fase Investigasi Awal, Fase Desain dan Fase Realisasi (Konstruksi), Fase Tes, Evaluasi, dan Revisi. Hasil penelitian ini adalah bahan ajar

Calculus 1 berbahasa Inggris yang beracuan konstruktivistik-ICT yang dapat mendorong munculnya berpikir kritis mahasiswa kelas bilingual.

Kata kunci: bahan ajar, konstruktivistik, berpikir kritis

A. Pendahuluan

Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah menerbitkan kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3 yang menyebutkan: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional” Pendidikan bertaraf internasional ini selanjutnya dikenal dengan istilah SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) yang diawali dengan merintis sekolah yang dikenal dengan istilah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).

SBI dikembangkan dengan 8 prinsip utama (http://setjen.diknas.go.id/), di antaranya adalah SBI menerapkan proses belajar mengajar yang pro-perubahan dan inovatif dan SBI harus memiliki SDM yang profesional, baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Agar dapat memiliki tenaga pendidik yang profesional, maka LPTK diharapkan mampu memberikan fasilitas yang memadai kepada mahasiswa

di antaranya dengan membuat kelas khusus bilingual. Oleh karena itu, proses belajar mengajar kepada mahasiswa kelas bilingual hendaknya berorientasi kepada proses belajar mengajar yang pro-perubahan dan inovatif di samping keharusan menggunakan bahasa Inggris yang secara bertahap berkembang dari semester ke semester. Salah satu fasilitas yang dapat memberikan pengalaman belajar yang inovatif adalah dengan menyusun bahan ajar yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis. Dengan berfikir kritis, maka pemahaman mahasiswa terhadap topik-topik Calculus I akan tajam dan kaya.

Bahan ajar dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan untuk mengajar (http://www.find-health-articles.com/msh-teaching-materials.htm). Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa bahan ajar tidak hanya berisi uraian materi atau topik pembelajaran tetapi di dalamnya juga memuat aktivitas –aktivitas pembelajaran. Karena mengajar tidak hanya sekedar penjejalan topik atau materi, maka perlu ditekankan di sini, bahwa bahan ajar tidak hanya sekedar tumpukan atau koleksi topik-topik atau materi ajar. Bahan ajar Calculus 1 yang disusun dengan urutan penyajian definisi atau teorema diikuti dengan contoh soal dan penyelesaian yang rinci kurang dapat

Page 75: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 75

memfasilitasi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman yang inovatif. Hal ini disebabkan karena mahasiswa hanya sekedar meniru apa yang ada di contoh sehingga sifat kritis mereka kurang terdorong untuk muncul.

Di dalam menyusun bahan ajar perlu diperhatikan aspek-aspek belajar dari mahasiswa sehingga diperlukan penyusunan secara sistematis yang beracuan paradigma pembelajaran terkini yaitu konstruktivistik. Buku rujukan utama Calculus 1 sebagai bahan ajar dalam bentuk cetakan yang digunakan selama ini masih banyak memuat contoh-contoh dan penyelesian secara rinci. Oleh karena itu perlu disusun bahan ajar pelengkap yang sarat dengan aktivitas konstruktivistik yang dapat mendorong munculnya berfikir kritis mahasiswa.

Visi SBI (http://setjen.diknas.go.id/) adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Implikasi dari visi tersebut adalah perlunya dilakukan upaya - upaya secara intensif dan terarah tentang penyiapan manusia bertaraf internasional . Setiap SBI harus menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (information communication technology/ICT). Berdasarkan visi SBI, maka LPTK perlu memberikan pengalaman belajar dengan menggunakan ICT melalui pengemasan bahan ajar yang dilengkapi dengan aktivitas pemanfaatan ICT.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana proses dan hasil pengembangan bahan ajar Calculus 1 berbahasa Inggris beracuan konstruktivistik-ICT yang dapat memfasilitasi berpikir kritis kelas bilingual?” Berdasarkan rumusan masaah tersebut dapat diketahui tujuan penelitian, yaitu untuk menghasilkan bahan ajar Calculus 1 berbahasa Inggris beracuan konstruktivistik-ICT yang dapat mendorong munculnya berpikir kritis mahasiswa kelas bilingual. Indikator munculnya berpikir kritis yang dimaksud pada penelitian ini adalah: mempertahankan pendapat dengan

memberikan alasan yang logis menerima atau menolak pendapat

pihak lain dengan memberikan

alasan yang logis menunjukkan alasan yang logis pada

langkah-langkah pembuktian teorema atau penyelesaian soal atau tugas

mengevaluasi pembuktian teorema atau penyelesaian tugas yang telah dilakukan

membuat konjektur berdasarkan pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi

menerapkan konsep berdasarkan pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi

menganalisa, mensintesa, atau mengevaluasi informasi berdasarkan pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi

mengevaluasi pembuktian teorema pihak lain

Indikator tersebut di atas berdasarkan beberapa definisi berpikir kritisyang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut.

Mayer & Goodchild (dalam Huitt, 1998) menyatakan berpikir kritis sebagai “systematic process of understanding and evaluating arguments. An argument provides an assertion about the properties of some object or the relationship between two or more objects and evidence to support or refute the assertion”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah mempertahankan pendapat dengan memberikan alasan yang logis;menerima pendapat pihak lain dengan memberikan alasan yang logis; tidak menerima pendapat pihak lain dengan memberikan alasan yang logis; membuat konjektur dengan mengaitkan beberapa peristiwa.

Scriven dan Paul (Huitt, 1998) mendefinisikan berpikir kritis sebagai: ”the intellectually disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying, analyzing, synthesizing, and/or evaluating information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication, as a guide to belief and action”. Berdasarkan definisi ini, maka indikator munculnya berpikir kritis

Page 76: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 76

adalah membangun konsep dengan membuat konjektur berdasarkan pengamatan,pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi ; menerapkan konsep berdasarkan pengamatan,pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi; menganalisa,mensintesa, atau mengevaluasi informasi berdasarkan pengamatan,pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi

Masih dalam Huitt,1988, Chanche menyebutkan bahwa berpikir kritis merupakan “the ability to analyze facts, generate and organize ideas, defend opinions, make comparisons, draw inferences, evaluate arguments and solve problems”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah menganalisis fakta; menghasilkan dan menyusun ide; mempertahankan pendapat; membuat perbandingan; melukiskan dugaan atau kesimpulan, mengevaluasi argument; dan memecahkan masalah.

Fisher dan Scriven (dalam Wikipedia) menuliskan berpikir kritis adalah skilled, active, interpretation and evaluation of observations, communications, information, and argumentation. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah terampil dan aktif melakukan observasi, komunikasi, atau beragumentasi; terampil dalam mengintepretasikan dan mengevaluasi informasi atau argumentasi.

Tertulis dalam Wikipedia, Moore & Parker menyatakan berpikir kritis sebagai “the careful, deliberate determination of whether one should accept, reject, or suspend judgment about a claim and the degree o f confidence with which one accepts or rejects it”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah memutuskan untuk menerima, menolak, atau menunda suatu pendapat dengan hati-hati dan cermat.

Ennis R (2002) mendefinisikan: “Critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe and do”. Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah memutuskan secara logis apakah sesuatu diterima ; berpikir refleksi dalam hal memutuskan apakah sesuatu dapat dipercaya

atu dikerjakan. Johnson (terjemahan2007) berpikir

kritis merupakan proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri Indikator munculnya berpikir kritis yang didasarkan pada definisi ini adalah merumuskan pendapat, menarik kesimpulan atau dugaan, mengevaluasi bukti,logika, atau pendapat orang lain;mengevaluasi bukti,logika, atau pendapat

B. Meode Penelitian

Penelitian ini merupakan

penelitian pengembangan dengan

kerangka pelaksanaan seperti yang

tercantum pada bagan 1 berikut.

Page 77: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 77

Bagan 1. Kerangka pelaksanaan

penelitian

Keterangan: *) Bagan diadaptasi dari Disertasi Dr. Edy Bambamg Irawan **) Validasi protitipe bahan ajar

meliputi aspek isi secara matematis, proses pedagogis, dan keterbacaan serta gramatikal linguistik. Pada ujicoba lapangan dan evaluasi diperlukan instrumen penelitian.

Fase-fase pengembangan bahan ajar pada penelitian ini mengacu pada fase-fase pengembangan menurut Plomp (1997, h. 7) dengan melakukan beberapa modifikasi. Fase-fase pengembangan pada penelitian ini terdiri dari: (i) fase investigasi awal, (ii) fase desain, (iii) fase realisasi/konstruksi, dan (iv) fase pengujian, evaluasi dan revisi.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Aktivitas fase investigasi awal

meliputi observasi terhadap buku Calculus eighth edition oleh Varberg, Purcell , dan Rigdon sebagai rujukan utama perkuliahan Calculus 1. Hasil observasi menunjukkan bahwa kerangka umum penyajian materi meliputi: ilustrasi awal yang menuju konsep, definisi/teorema, contoh soal dan penyelesaian, sebagian bukti teorema, dan soal-soal yang berdagrasi dari soal mudah hingga soal yang sulit. Penyajian ilustrasi awal dan contoh soal serta penyelesaiannya kurang melibatkan mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan danmendorog munculnya berpikir kritis mahasiswa. Di samping itu, secara umum penyajian materi sangat kurang memanfaatkan teknologi komputer. Berdasarkan hasil observasi tersebut, peneliti merasa memerlukan bahan ajar yang meliputi aktivitas mahasiswa dalam hal memberikan contoh kasus atau

menjawab pertanyaan yang mengarah pada pengkonstruksian definisi atau teorema, membuat contoh soal sebagai kegiatan elaborasi, mengerjakan soal-soal yang memerlukan pemikiran kritis yang dapat dipilih dari soal-soal pada buku rujukan utama, dan memanfaatkan ICT.

Berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan pada fase investigasi awal, maka dirancang dan disusun bahan ajar dan instrumen penelitian sebagai implementasi fase desain dan realisasi. Pototipe bahan ajar yang dihasilkan adalah: Activity (constructing) – Definition / Theorem – Activity (elaborating) – Excercises. Kegiatan pada Activity (constructing) dapat berupa aktivitas investigasi dengan melakukan tugas-tugas seperti: membuat sketsa grafik, mengidentifikasi grafik, membuat konjektur, dan menarik kesimpulan. Proses investigasi dapat disisipi tugas untuk memanfaatkan ICT seperti aplikasi Graphmatica dan mengakses internet.

Uraian berikut merupakan contoh

bahan ajar yang berupa Activity (constructing) Kegiatan pada Activity (elaborating)

dapat berupa aktivitas investigasi dengan

melakukan tugas-tugas seperti:

mengeksplorasi sketsa grafik yang

berkaitan dengan definisi atau teorema,

1. If we have , then

calculate the values of f(x) and fill them to

the following table. You may to calculate the

f(x) by using calculator or computer

software.

x f(x)

-1.01

-1.001

-

1,0001

-1

..................

..................

..................

..................

..................

Page 78: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 78

membuktikan teorema, membuat

konjektur, dan menarik kesimpulan.

Uraian berikut merupakan contoh bahan

ajar yang berupa Activity (elaborating).

Sebagai implementasi fase tes,

evaluasi dan revisi, maka dilakukan

pengujian terhadap prototipe yang

berupa validasi bahan ajar, instrumen,

dan ujicoba lapangan. Validasi bahan

ajar meliputi tiga aspek validasi yang

berbeda, yaitu aspek isi matematis, aspek

pedagogis, dan aspek linguistik. Hasil

validasi dievaluasi dan berdasarkan

aspek linguistik, beberapa di antaranya

perlu direvisi. Prototipe bahan ajar yang

sudah direvisi diujicobakan di kelas dan

diobservasi oleh 6 observer mahasiswa

semester 5 kelas bilingual dan anggota

penelitian yang lainnya. Uji coba

dilaksanakan untuk 6 kali pertemuan

masing-masing 3 jam pertemuan. Hasil

observasi aktivitas ditunjukkan pada

Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil observasi Aktivitas

No. Aspek Rerata Skor Observasi ke

1 2 3 4 5 6

1 Identifikasi-eksplorasi-

investigasi 4 4 4 4 4

4

2 Konjektur 4 4 4 4 4 4

3 Pembuktian

konjektur/teorema 4 4 4 4 4

4

4 Pemanfaatan ICT 4 2 4 3 4 2

5 Komunikasi dalam

Bahasa Inggris 2 2 3 3 2

3

Rerata Total 3,6 3,2 3,8 3,6 3,6 3,4

Berdasarkan Tabel 1, tampak

bahwa aspek no 1 sampai dengan no. 3

memiliki skor yang sangat tinggi (sangat

baik) sedangkan aspek komunikasi

dalam bahasa Inggris yang paling rendah

(kurang baik). Hal tersebut dapat terjadi

karena prototipe bahan ajar yang

dikembangkan selalu memuat aktivitas

identifikasi-eksplorasi-investigasi,

pemunculan konjektur, dan pembuktian

konjektur/teorema. Sedangkan untuk

aspek komunikasi sangat rendah karena

mahasiswa dalam kerja kelompok

mengkomunikasikan idenya dengan

bahasa Indonesia. Mereka baru

menggunakan Bahasa Inggris pada

waktu presentasi kelas, karena dituntut

dosen pengajar. Pemanfatan ICT sangat

rendah pada saat pembahasan topik yang

cukup dengan diskusi manual saja.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa prototipe bahan ajar yang dikembangkan sudah beracuan konstruktivistik. Hal disebabkan karena bahan ajar yang disusun memuat aktivitas- aktivitas yang menekankan pada pengkonstuksian pengetahuan bedasarkan pengalaman. Aktivitas-aktivitas tersebut sesuai dengan pengertian konstruktivistik berikut: ”Konstruktivistik merupakan teori belajar yang menekankan pada perumusan

1. Sketch a graph of f that has conditions:

does not exist

2. Sketch a graph of f that has conditions: is

undefined and does not exist

3. Give all possibilities of

and

Page 79: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 79

atau pengkonstruksian pengetahuan dan pemahaman berdasarkan pengalaman” (Raskin.2002, Wikipedia, Savery & Duffy dalam Robin.2006, dan Megg.2009).

Hasil observasi berpikir kritis

ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.

No. Indikator Observasi ke

1 2 3 4 5 6

1

Mahasiswa

mempertahankan

pendapatnya dengan

memberikan alasan

yang logis

v v v - v v

2

Mahasiswa menerima

atau menolak pendapat

pihak lain dengan

memberikan alasan

yang logis

v v v - v v

3

Mahasiswa

menunjukkan alasan

yang logis pada

langkah-langkah

pembuktian teorema

atau penyelesaian soal

atau tugas

v v v v v v

4

Mahasiswa

mengevaluasi

pembuktian teorema

atau penyelesaian

tugas yang telah

dilakukan

- v v - v v

5

Mahasiswa membuat

konjektur berdasarkan

pengamatan,

pengalaman, refleksi,

penalaran, atau

komunikasi

v v v v v v

6

Mahasiswa

menerapkan konsep

berdasarkan

pengamatan,

pengalaman, refleksi,

penalaran, atau

komunikasi

v v v v v v

Secara keseluruhan dapat

dikatakan bahwa prototipe bahan ajar

yang dikembangkan sudah mendorong

munculnya berpikir kritis mahasiswa.

Hal tersebut tampak dengan selalu

munculnya dua indikator no. 3 dan no 5

dengan kriteria baik dan sangat baik.

Munculnya indikator-indikator ini

disebabkan karena bahan ajar yang

beracuan konstruktivistik dapat

mendorong munculnya berpikir kritis.

C. Penutup

Bahan ajar Calculus 1 yang

beracuan konstruktivistik yang dapat

mendorong munculnya berpikir kritis

mahasiswa adalah bahan ajar dengan

spesifikasi sajian: Activity (constructing)

– Definition / Theorem – Activity

(elaborating) – Excercises. Oleh karena

itu disarankan agar model sajian bahan

ajar ini dikembangkan untuk matakuliah-

matakuliah lain yang menghendaki

munculnya berpikir kritis mahasiswa.

Daftar Rujukan

Departemen Pendidikan Nasional.2008.

Sekolah Bertaraf Internasional.

http://setjen diknas.go.id, diakses 3

Februari 2010.

Ennis,Robert.H.2002. A Super-

Streamlineed Conception of Critical

Thinking.

http://www.criticalthinking.com

/company/articles/critical-thinking-

definition.jsp. diakses 19sept’10

Huitt, W. (1998). Critical thinking: An

overview. Educational Psychology

Page 80: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 80

Interactive. Valdosta, GA: Valdosta

State University. Retrieved [date]

from

http://www.edpsycinteractive.org/

topics/ cogsys/critthnk.html.

[Revision of paper presented at the

Critical Thinking Conference

sponsored by Gordon College,

Barnesville, GA, March, 1993.]

Irawan, Bambang E. 2007.

Pengembangan Desain Pelatihan

Strategi Mengkaji Konsep Geometri

bagi Calon Guru Matematika

Sekolah Menengah. Disertasi.

Johnson,Elaine B. Tanpa tahun.

Contextual Teaching and Learning

Menjadikan Kegiatan Belajar-

Mengajar Mengasyikkan dan

Bermakna.Terjemahan oleh Ibnu

Setiawan. 2007. Bandung: Mizan

Learning Centre

Plomp, Tjeerd.1997.Educational and

Training Systems Design.University

of Twente Faculty of Educational

Science and Technology Enschede

The Netherlands.

Varberg,dkk.2000.Calculus Eight

Edition.Prentice-Hall,Inc.ISBN

0130811378

___________.Teaching materials.

Tanpa tahun. http://www.find-

health-articles.com/msh-teaching-

materials.htm. diakses 20 Februari

2010

____________ Undang-undang

Republik Indonsia Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pasal 50 ayat 3,

http://www.bapsi.

undip.ac.id/id/images/Download/

Dokumen/uu%20no.20%20thn%202

003%20sisdiknas.pdf. diakses 18

Maret 2010

Wikipedia.Critical thinking. Jump to

:Navigation, search.diakses 18

Maret 2010

Page 81: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 81

MEMPERBAIKI KESALAHAN KONSEP AKAR KUADRAT DAN HARGA MUTLAK

UNTUK MAHASISWA MATEMATIKA TAHUN PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Dwiyana

Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang e-mail : [email protected]

Abstrak

Mahasiswa baru merupakan mahasiswa yang mengalami transisi dari statusnya sebagai siswa menjadi mahasiswa. Pada masa transisi ini diperlukan kemampuan yang lebih banyak untuk menyesuaikan diri. Salah satu wujud menyesuaikan diri tersebut adalah penyesuaian dalam belajarnya. Kebiasaan belajar matematika di SMA saat ini lebih banyak bersifat mekanistik, sehingga lebih banyak menekankan pada keterampilan menggunakan rumus-rumus daripada memahami pengertian suatu konsep.

Berdasarkan kebiasaan belajar matematika sewaktu di SMA, dimungkinkan terjadinya kesalahan konsep sewaktu menjadi mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelacakan terhadap prakonsepsi mahasiswa sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya kesalahan konsep tersebut. Jika ternyata terjadi kesalahan konsep matematika, maka perlu diadakan pembe-tulan/pelurusan terhadap pengertian konsep tersebut. Sehingga dengan terjadinya pelurusan pengertian itu berarti kesalahan konsep telah dapat diperbaiki.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan dengan tujuan untuk mengkaji model yang dikembangkan ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa, sehingga dengan meningkatnya kualitas itu, akan diikuti peningkatan prestasi belajar mahasiswa.

Upaya memperbaiki kualitas pembelajaran materi akar kuadrat dan harga mutlak, dalam penelitian ini dirancang menggunakan penelitian tindakan sehingga langkah-langkah penelitian mengikuti prosedur yang berlaku pada penelitian tindakan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa dapat diperbaiki/diluruskan, sedangkan prestasi yang dicapai oleh mahasiswa ditunjukkan dengan rerata skor lebih dari 75. Kata kunci : Memperbaiki Kesalahan Konsep, Mahasiswa Tahun Pertama, Pembelajaran Kooperatif.

1. PENDAHULUAN

Salah satu ciri keberhasilan belajar mahasiswa matematika adalah mereka dapat memahami konsep-konsep matematika dengan baik dan benar. Salah satu indikator dari keberhasilan mahasiswa itu adalah metode pembelajaran yang diberikan oleh dosen. Sampai saat ini metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen umumnya menggunakan metode ekspositori.

Dengan metode ini dosen tidak dapat mengetahui perkembangan belajar mahasis-wanya secara individu, sehingga dosen belum bisa membedakan mahasiswa yang telah maju dan yang masih tertinggal.

Mahasiswa baru merupakan mahasiswa yang mengalami transisi dari statusnya sebagai siswa menjadi mahasiswa. Pada masa transisi ini diperlukan

kemampuan yang lebih banyak untuk menyesuaikan diri. Salah satu wujud menyesuaikan diri tersebut adalah penyesuaian diri dalam belajarnya. Kebiasaan belajar matematika di SMA saat ini lebih banyak bersifat mekanistik, sehingga lebih banyak menekankan pada ke-trampilan menggunakan rumus-rumus daripada memahami pengertian suatu konsep.

Berdasarkan kebiasaan belajar matematika sewaktu di SMA, dimungkinkan terjadinya kesalahan konsep pada mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelacakan terhadap prakonsepsi mahasiswa sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya kesalahan konsep tersebut. Jika ternyata terjadi kesalahan konsep matematika, maka perlu diadakan perbaikan terhadap pengertian

Page 82: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 82

konsep tersebut. Sehingga dengan terjadinya pelurusan pengertian itu berarti kesalahan konsep telah dapat diperbaiki.

Pengamatan yang dilakukan penulis selama mengajar matematika, terutama untuk mahasiswa tahun pertama, sering ditemukan kesalahan konsep terhadap topik akar kuadrat dan harga mutlak. Kesalahan konsep ini meliputi pengertian akar kuadrat, konsep harga mutlak, fungsi harga mutlak, dan penyelesaian pertidaksamaan harga mutlak. Berbagai contoh tentang kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa seperti (1) 16 = 4, yang seharusnya 16 = 4,

(2) )5( 2 = -5, yang seharusnya )5( 2 = 5,

(3) x2 = 25 x = 5, yang seharusnya x2 = 25 x = 5,

(4) 2x = x – 2, untuk x 0, seharusnya

2x = x – 2, untuk x 2,

(5) 4x > 2 x – 4 > 2, yang

seharusnya 4x > 2 x – 4 > 2 atau x – 4 < -2,

(6) x < 3 x < 3, yang seharusnya x < 3 -3 < x < 3.

Konsep yang benar tentang akar kuadrat dan harga mutlak ini sangat diperlukan, terutama dalam belajar kalkulus (bagian dari matematika matematika) yang juga harus dipelajari dan dipahami oleh mahasiswa matematika. Hal ini dikarenakan inti dari kalkulus adalah konsep turunan. Sedangkan pengertian turunan didasari oleh pengertian konsep limit, konsep limit didasari oleh pengertian konsep harga mutlak, dan konsep harga mutlak didasari oleh pemahaman terhadap konsep akar kuadrat. Oleh karena itu, jika memang benar terjadi kesalahan konsep terhadap topik-topik tersebut, maka perlu dilakukan perubahan konsepsi secara dini, sehingga kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa tidak akan berlanjut.

Terdapat beberapa cara/strategi yang dapat digunakan untuk meluruskan kesa-lahan konsep tersebut. Salah satu dari cara/strategi itu adalah cara/strategi pembe-lajaran kooperatif. Belajar berstrategi koope-

ratif merupakan pembelajaran yang mene-kankan pada penghargaan kerja kelompok. Pemahaman suatu konsep melalui strategi ini dilakukan dengan berbagai masalah dan pendapat antar sesama mahasiswa. Oleh karena itu, diharapkan dengan strategi ini kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa dapat diperbaiki.

Model pembelajaran kooperatif ini dirancang sedemikian rupa sehingga maha-siswa selalu aktif dalam kegiatan belajar mengajarnya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dalam belajar kooperatif ini mahasiswa belajar bersama dengan teman, saling menyum-bangkan pikiran dan bertanggung jawab atas pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok. Mahasiswa belajar dan bekerjasama dalam kelompok kecil-kecil yang terdiri dari empat atau lima orang, se-hingga diharapkan dengan kelompok kecil ini interaksi mahasiswa menjadi maksimal dan efektif.

Jadi, di satu pihak masih banyaknya mahasiswa yang melakukan kesalahan dalam hal pemahaman terhadap konsep matematika, di pihak lain ditawarkan strategi pembelajaran yang mempunyai keunggulan dalam rangka mencapai keberhasilan mahasiswa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengajukan judul tentang upaya memperbaiki kesalahan konsep akar kuadrat dan harga mutlak bagi mahasiswa matematika tahun pertama melalui belajar kooperatif.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada pendahuluan di atas, rumusan masalah dari penelitian ini dikemukakan sebagai berikut. Bagaimanakah upaya untuk memperbaiki kesalahan konsep tentang akar kuadrat dan harga mutlak bagi mahasiswa matematika tahun pertama melalui belajar kooperatif?

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan yang diinginkan dalam penelitian tindakan ini adalah (a) Menerapkan model pembelajaran

dengan strategi kooperatif untuk materi akar kuadrat dan harga mutlak.

(b) Mengkaji apakah model pembelajaran yang digunakan ini dapat memperbaiki

Page 83: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 83

kesalahan konsep tentang akar kuadrat dan harga mutlak bagi mahasiswa jurusan Matematika.

(c) Mengkaji apakah dengan model yang dikembangkan ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa, sehingga dengan meningkatnya kualitas itu, akan diikuti peningkatan prestasi belajar mahasiswa.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberi manfaat untuk (a) Pengembangan model pembelajaran

untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan sekaligus meningkatkan prestasi belajar mahasiswa matematika, khususnya dalam hal memperbaiki kesalahan konsep untuk akar kuadrat dan harga mutlak,

(b) Menambah pengetahuan dosen (pengajar) tentang hal-hal yang ber-kaitan dengan pengembangan metode mengajar.

(c) Referensi model pembelajaran matakuliah di Jurusan Matematika, yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan pembelajaran lebih lanjut.

2. MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Slavin (1997) memberikan uraian tentang pembelajaran model kooperatif sebagai berikut: cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for one another’s learning as well as their own, sedangkan Newman (As’ari,2002), mendefinisikan pembelajaran model kooperatif sebagai berikut: cooperative learning is an approach that involves a small group of learners working together as a team to solve a problem, complete a task, or accomplish a common goal. Dari dua pernyataan di atas, tampak bahwa model belajar kooperatif memuat ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, mahasiswa dikelompok- kelompokkan menjadi bebe-rapa kelompok. Kedua, kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok kecil. Ketiga, pebelajar di dalam kelompok tersebut belajar bersama (bukan sama-sama belajar).

Keempat, masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab terhadap keberhasilan teman anggotanya. Kelima, yang dipelajari bisa berupa masalah, tugas, atau hal-hal lain yang pada prinsipnya merupakan tujuan bersama dari anggota-anggota kelompok tersebut. Tidak semua belajar kelompok dapat disebut belajar kooperatif. Menurut Khairiree (2002) terdapat lima unsur pokok yang menentukan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu (a) ketergantungan positif, artinya mahasiswa merasa bahwa mereka saling tergantung secara positif dan saling terikat antar sesama anggota kelompok, merasa tidak akan sukses jikalau temannya tidak sukses, (b) tanggung jawab perse-orangan, artinya setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari materi dan bertanggung jawab atas keberhasilan belajar kelompok, (c) interaksi yang saling mendukung secara tatap muka, artinya pebelajar bertatap muka antara satu dengan lainnya dan berinteraksi secara langsung, pebelajar saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah, (d) kemampuan bekerja sama, artinya mahasiswa dimotivasi menggunakan ketrampilan berinteraksi dalam kelompok, dan (e) pemrosesan kelompok, artinya mahasiswa memproses keefektifan kelompok dengan menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbangkan belajar dan mana yang tidak. Di dalam pembelajaran model kooperatif, anggota kelompok harus saling bergantung secara positif. Keberhasilan atau kegagalan kelompok adalah keberhasilan dan kegagalan setiap anggotanya. Masing-masing harus mengupayakan agar semua anggota kelompok berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Mereka tidak boleh mem-biarkan ada anggota kelompok yang gagal meskipun sebagian besar yang lainnya sudah berhasil. Keberhasilan kelompok ditentukan oleh sumbangan keberhasilan belajar masing-masing individu di dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, masing-masing anggota kelompok, secara individual harus bertanggung jawab terhadap keberhasilan dirinya untuk menjamin agar kelompoknya masuk dalam kategori berhasil.

Page 84: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 84

Di dalam proses belajar bersama tersebut, antar anggota kelompok harus terjadi proses tatap muka dimana yang satu belajar dari yang lain. Kelebihan anggota yang lain harus ditularkan dengan memberikan bantuan secara tatap muka dalam kelompok kecil kepada anggota yang lainnya yang masih lemah. Di dalam pembe-lajaran model kooperatif ini tidak dibenarkan belajar secara sendiri-sendiri, apalagi tentang hal-hal yang berbeda, walaupun dilakukan dalam tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula. Komunikasi antar anggota harus terus menerus terjadi, ini untuk mengetahui sejauh mana tujuan belajar bersama telah dicapai dan tindakan apa yang harus dilakukan jika ada anggota yang masih belum mencapai tujuan. Cara-cara berkomunikasi juga harus diperhatikan agar suasana belajar menjadi kondusif untuk mencapai tujaun yang telah ditetapkan. Keberhasilan belajar dari kelompok-kelompok tersebut sangat menentukan tercapainya tujuan belajar. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses evaluasi kelompok dan evaluasi ini bisa dilakukan setelah bebe-rapa kali kerja kelompok. 3. METODE

Metode dan prosedur dalam penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap (1) rancangan penelitian, (2) prosedur tindakan, dan (3) tahap pelaksanaan. Rancangan yang diterapkan berupa rancangan penelitian tindakan, sehingga langkah-langkah penelitian ini mengikuti prinsip dasar yang berlaku pada penelitian tindakan. Kemmis dan Mc Taggart (1988) berpandangan bahwa penelitian tindakan merupakan seperangkat aktivitas yang dilakukan peneliti secara siklus spiral. Aktivitas perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi terhadap suatu gejala tidak berlangsung linear, tetapi berulang. Tiap selesai satu siklus selalu akan dilanjutkan untuk siklus berikutnya. Dalam penelitian ini kegiatan penelitian dimulai dari refleksi awal untuk melakukan kegiatan pendahuluan tentang kondisi objektif yang terjadi di lapangan sampai dengan pemberian refleksi setiap tahapan.Setelah itu dilakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan tindakan,

pemantauan dan refleksi, yang mungkin diikuti perencanaan ulang. 4. PROSEDUR PENELITIAN Terdapat dua tahap dalam penelitian ini, yaitu tahap pra tindakan dan tahap pelaksanaan tindakan, yang rinciannya sebagai berikut. Kegiatan pra tindakan a. Menentukan subjek penelitian

Subjek diteliti dalam penelitian adalah mahasiswa jurusan matematika tahun pertama angkatan tahun 2010/2011 yang berjumlah 29 siswa. Penentuan subjek ini didasarkan atas pertimbangan bahwa mahasiswa semester satu tahun pertama merupakan mahasiswa yang mengalami transisi dari sekolah menengah ke perguruan tinggi.

b. Menentukan waktu penelitian dan tindakan Waktu yang diperlukan dalam tindakan di kelas dilakukan pada selang waktu September sampai dengan Oktober 2010, waktu tindakan ini disesuaikan dengan subtansi kajian akar kuadrat dan harga mutlak yang tersaji pada silabus jurusan metematika. Dari rentangan waktu itu telah dilaksanakan kegiatan selama enam pertemuan, setiap pertemuan dilakukan selama 100 menit.

Pelaksanaan Tindakan Kelas

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa pelaksanaan tindakan kelas yang dilakukan menggunakan model siklus, dengan setiap siklus meliputi 4 tahapan. Seperti yang dikemukakan oleh Kemmis dan McTaggart terdapat empat tahapan dalam penelitian tindakan, yaitu (1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan, (3) tahap observasi, dan (4) tahap refleksi. Dalam pembelajaran akar kuadrat dan harga mutlak dalam penelitian ini dilakukan dua siklus pembelajaran. 5. HASIL PENELITIAN Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut. a. Mahasiswa dapat menyatakan kembali

pengertian akar kuadrat dengan benar. b. Mahasiswa dapat menyatakan kembali

pengertian harga multak (|x|) dengan benar.

Page 85: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 85

c. Mahasiswa dapat menyatakan ekivalensi pertidaksamaan harga mutlak dengan benar.

d. Mahasiswa dapat menyatakan pertidaksamaan tanpa nilai mutlak yang ekivalen dengan |x| < |y| dengan benar.

6. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Pada bagian ini akan diuraikan berturut-turut kegiatan yang dilakukan siklus satu sampai dengan akhir siklus dua. Pada siklus pertama dilakukan pembelajaran tentang kuadrat dan akar kuadrat. Materi ini sebenarnya telah dikenal oleh mahasiswa sejak di SMP, bahkan di sekolah dasar, sehingga dalam hal ini sebenarnya dosen hanya mengingatkan kembali saja terhadap materi kuadrat dan akar kuadrat. Namun. Dijumpai saat pembelajaran, beberapa mahasiswa (kelompok 7 dan kelompok 8) salah mengartikan pengertian akar kuadrat. Pertanyaan dari pengajar, bagaimana kalau √(-4)2, kelompok 7 menjawab -4, demikian juga kelompok 8 menjawab -4. Dari jawaban ini, pengajar mengalihkan pertanyaan kepada kelompok lain (kelompok 1) untuk dijawab; dan jawaban dari kelompok lain menjawab dengan “4 pak”. Selanjutnya, ditanya pengajar kenapa 4, kelompok 1 kurang tepat dalam memberi jawaban. Dengan jawaban seperti ini, pengajar member kesempatan kepada semua kelompok untuk membaca kembali dengan benar di buku tentang akar kuadrat. Kesimpulan dari diskusi tentang akar kuadrat ini ialah √ x2 = |x|. Untuk lebih memahami arti akar kuadrat, kepada kelompok diberikan permasalahan untuk didiskusikan dan hasilnya dipresentasikan. Pada siklus kedua, dilakukan pembelajaran tentang harga mutlak dan fungsi harga mutlak. Dalam apersepsinya, pengajar menyampaikan sepintas tentang harga mutlak, yang dilanjutkan dengan fungsi harga mutlak. Kesalahan terpenting yang dilakukan mahasiswa saat berdiskusi tentang harga mutlak dan fungsui harga mutlak adalah mengartikan definisi harga mutlak yang belum benar. Padahal sebenarnya secara tidak langsung harga mutlak ini telah disinggung ketika mendiskusikan tentang akar kuadrat.

Pengajar menunjukkan definisi harga mutlak seperti berikut ini.

x, x ≥ 0

|x| = ….. (a) x, x ≤ 0.

Mahasiswa secara umum memahami mengerti dan memahami arti definisi di atas, namun begitu dihadapkan kepada masalah |x – 1|, mereka menjawab seperti berikut ini,

x, x ≥ 0

|x – 1| = ….. (b) -x, x ≤ 0.

Dengan jawaban seperti ini, pengajar mencari tahu kenapa mereka menjawab seperti yang disajikan di atas. Atas dasar jawaban ini, pengajar mengingatkan kembali kepada mahasiswa arti harga mutlak, dengan memfokuskan kepada variabel x. Harga mutlak x, persaratannya x lebih dari atau sama dengan nol, dan x kurang dari nol. Tetapi jika fokus variabel kepada x – 1, tentu harga mutlak x – 1 memiliki perserata x – 1 lebih dari atau sama dengan nol, dan x – 1 kurang dari nol. Dengan begitu jawab yang benar untuk |x – 1| dituliskan seperti berikut ini.

x - 1, (x – 1) ≥ 0

|x – 1| = ….. (c) -(x – 1), (x – 1) ≤ 0.

Harga mutlak di atas ini dapat dituliskan sebagai,

x - 1, x ≥ 1

|x – 1| = ….. (d) x + 1, x < 1.

Dengan memahami jawaban di atas ini, mahasiswa dapat mengetahui dan membeda-kan antara (b) dan (d). Untuk pemahaman lebih lanjut, dengan cara belajar kooperatif, mahasiswa diberi permasalahan-permasalahan terkait dengan harga mutlak agar mereka benar-benar mengerti konsep harga mutlak.

Inilah hal yang penting dalam mengoreksi kesalahan mahasiswa terkait dengan akar kuadrat dan harga mutlak. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan terhadap konsep akar kuadrat dan harga

Page 86: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 86

mutlak sudah semestinya diperbaiki karena materi ini merupakan prasarat untuk belajar matematika lebih lanjut, khususnya belajar materi limit fungsi dan turunan. 7. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan Berdasarkan uraian yang disajikan secara singkat di atas, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan berbagai hal sebagai berikut (a) pembelajaran materi akar kuadrat dan harga mutlak perlu memperhatikan prasarat-prasarat dalam pembelajarannya, (b) berbagai kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam belajar akar kuadrat dan harga mutlak seperti mencari √ (-4)2, menentukan |x–1| telah dapat diluruskan/diperbaiki, (c) pembelajaran dengan strategi kooperatif dapat berjalan dengan baik, terlihat kadar kooperatifnya yang tinggi, yaitu dari hasil analisis lembar observasi kegiatan diskusi kelompok. 7.2. Saran Saran yang perlu peneliti sampaikan dalam laporan penelitian ini ialah (a) pembelajaran ini dilakukan di satu offering saja, sehingga simpulan dari penelitian belum bisa digeneralisasi, oleh karena itu perlu ada tindak lanjut berupa penelitian serupa untuk offering yang lain, (b) materi dalam penelitian ini terbatas pada akar kuadrat dan harga mutlak, oleh karena itu untuk akan lebih baik bila dilakukan penelitian serupa dengan materi diperluas, (c) mudah-mudahan hasil ini dapat digunakan untuk acuan penelitian selanjutnya.

DAFTAR RUJUKAN As’ari, A. 2002. Cooperative Learning Untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran Matematika. Makalah Disampaikan pada Workshop Piloting Jurusan Matemaika FMIPA Universitas Negeri Malang.

Kemmis, S and Taggart, Robbin. 1988. The Action Research Planner. Victoria:Deakin University.

Khairiree, K. 2002. Cooperative Learning. Penang, Malaysia: SEAMEO RECSAM.

Purcell, E. 1984. Calculus with Analityc Geometry. Prentice-Hall, Inc.

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Boston,MA:Allyn and Bacon.

Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology. Boston, MA: Allyn and Bacon.

Soedarsono, F. 1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian Kedua, Rencana, Desain, dan Implementasinya. IKIP Yogyakarta: Dirjen Dikti.

Suherman, E.2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, JICA Jurusan Pendidikan Matematika. FMIPA. UPI.

Sumarno, 1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian Ketiga Pemantauan dan Evaluasi. IKIP Yogyakarta: Dirjen Dikti.

Page 87: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 87

Reciprocal Teaching Berbantuan Komputer dalam Pembelajaran Matematika

Abd. Qohar Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Malang Email : [email protected]

Abstrak: Komputer bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika, diantaranya dengan mendesain pembelajaran berbantuan komputer yang menarik siswa untuk belajar serta meningkatkan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang reciprocal teaching berbantuan komputer dalam pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Pembahasan meliputi pendapat-pendapat para ahli tentang reciprocal teaching dan penggunaan komputer dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Untuk lebih memperjelas permasalahan, disajikan juga contoh bahan teks untuk pembelajaran matematika. Hal penting yang harus diperhatikan dalam merancang pembelajaran matematika dengan pendekatan reciprocal teaching berbantuan komputer adalah adanya desain pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa melakukan aktivitas pembelajaran yang optimal, meningkatkan kemampuan-kemampuan matematisnya, serta bisa menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika.

Kata kunci : reciprocal teaching, pembelajaran berbantuan komputer, pembelajaran matematika

Pendahuluan

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dinyatakan bahwa pembelajaran di sekolah perlu diberikan berbagai model maupun metode agar tujuan pembelajaran bisa tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa guru harus menguasai dan bisa menerapkan berbagai model dan metode pembelajaran agar tujuan pembelajaran tersebut bisa tercapai. Dengan menerapkan berbagai model dan metode pembelajaran maka berbagai type belajar siswa akan bisa terakomodasi sehingga pembelajaran di kelas menjadi lebih optimal dan tujuan pembelajaran bisa lebih mudah untuk dicapai.

Salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan sebagai alternatif adalah reciprocal teaching. Reciprocal teaching merupakan salah satu model pendekatan pembelajaran di mana siswa dilatih untuk memahami suatu naskah dan menjelaskannya pada teman sebaya, sehingga para ahli banyak yang menyebut reciprocal teaching ini sebagai peer practice (latihan dengan teman sebaya). Palinscar (1986) menyatakan bahwa reciprocal teaching adalah suatu kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar yang

disediakan, menyimpulkan, membuat pertanyaan, menjelaskan kembali dan menyusun prediksi. Pembelajaran ini dilakukan secara kooperatif di mana salah satu anggota kelompok berperan sebagai pemimpin pembelajaran dan dilakukan secara bergantian. Salah seorang siswa yang bertugas sebagai pemimpin tersebut memimpin teman-teman dalam kelompoknya dalam melaksanakan tahap-tahap reciprocal teaching. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator yang memberi kemudahan, dan pembimbing yang melakukan scaffolding.

Dalam KTSP tersebut juga disebutkan perlunya penggunaan teknologi untuk mendukung pembelajaran. Perkembangan teknologi, dalam hal ini teknologi komputer, merupakan sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Saat ini komputer merupakan suatu bentuk teknologi yang mampu menjadikan alat tersebut sebagai penyaji informasi dan komunikasi yang lebih produktif, efektif, efisien, menarik dan memungkinkan terjadinya hubungan atau komunikasi tanpa batas. Dalam pembelajaran matematika, kelebihan-kelebihan tersebut bisa dimanfaatkan

Page 88: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 88

sehingga bisa mendukung proses pembelajaran.

Untuk membantu pemahaman siswa dalam mempelajari suatu materi pelajaran, maka dapat dirancang suatu pembelajaran berbantuan komputer yang menarik dan efisien. Perangkat lunak komputer mempunyai kelebihan dibandingkan dengan buku, misalnya bisa menampilkan materi secara interaktif. Penyajian materi dengan komputer mencakup teks, gambar diam, suara, gambar bergerak. Banyak hal yang bisa disimulasikan atau ditampilkan di komputer. Selain itu perangkat lunak dapat digunakan sebagai sarana belajar mandiri. Hal tersebut akan memberikan banyak manfaat ke siswa karena siswa bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap suatu materi. Disamping itu juga bisa menimbulkan keingintahuan untuk mempelajari hal baru yang lebih menarik, dan mengurangi ketergantungan terhadap guru.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang model pembelajaran reciprocal teaching berbantuan komputer dan penerapannya dalam pembelajaran matematika. Pembahasan meliputi faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam model pembejaran tersebut dan penerapannya dalam pembelajaran matematika. Di samping itu, contoh bahan ajar untuk pembelajaran matematika dengan model tersebut juga diberikan dalam makalah ini.

Reciprocal Teaching Palincsar & Brown (1984) menyatakan

bahwa strategi reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca dan pemahaman pada siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu siswa memahami bacaan dengan baik. Dalam kamus on line Wikipedia juga dinyatakan bahwa Reciprocal Teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang berbasis konstruktivisme (Wikipedia, 2008).

Menurut Palinscar (1986) reciprocal teaching bisa disusun dengan menggunakan empat strategi yang bisa diterapkan secara fleksibel yaitu menyimpulkan (summarization), membuat pertanyaan (question generation), klarifikasi (clarification), dan memprediksi (prediction). Dalam implementasinya, guru harus mempersiapkan bahan teks yang berisi materi pokok bahasan yang akan diajarkan. Foster & Rotoloni (2008) menyatakan bahwa bahan ajar yang dipersiapkan oleh guru harus efektif dan mudah diimplementasikan oleh siswa, tidak boleh terlalu mudah atau terlalu sulit.

Dilihat dari karakteristitik pembelajaran yang ada pada reciprocal teaching, maka konstruktivisme sosial Vigotsky lebih sesuai untuk diterapkan. Teori konstruktivisme sosial menyatakan bahwa proses sosial dan individual mempunyai peran sentral dalam pembelajaran matematika (Ernest, 1994). Dalam konstruktivisme sosial tersebut, aspek individu dan aspek kelompok, aspek sosial serta aspek psikologis siswa mendapat perhatian secara komprehensif dalam pembelajaran.

Dalam reciprocal teaching guru berperan sebagai fasilitator yang melakukan bimbingan secara bertahap atau scaffolding. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan oleh guru ataupun siswa kepada siswa lainnya untuk belajar dan menyelesaikan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, penguraian masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Scaffolding perlu diberikan agar siswa atau kelompok siswa yang lambat dalam memahami suatu materi bisa mengikuti pembelajaran secara lancar dan tidak tertinggal dengan kelompok yang lain. Scaffolding juga bermanfaat untuk meluruskan pemahaman jika ada kelompok yang masih ragu maupun salah dalam memahami konsep. Dengan adanya scaffolding, kemampuan aktual siswa yaitu kemampuan yang mampu dicapai oleh siswa dengan belajar sendiri dapat berkembang lebih tinggi dan lebih baik sehingga dicapai kemampuan potensialnya. Dengan demikian

Page 89: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 89

scaffolding mampu membantu siswa mengembangkan kemampuan aktualnya menjadi kemampuan potensialnya (Rosyid & Ibrahim, 2007).

Dalam reciprocal teaching siswa diajarkan untuk membuat pertanyaan-pertanyaan dari bahan bacaan yang sudah dibacanya. Dengan membuat pertanyaan-pertanyaan siswa bisa lebih memahami metakognisinya, siswa menjadi lebih tahu tentang hal-hal yang dimengertinya dan hal-hal yang tidak dimengertinya. Selanjutnya siswa dilatih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah diajukan oleh teman dalam dalam kelompoknya. Dengan menjawab pertanyaan yang diajukan, siswa akan menjadi lebih paham tentang apa yang sudah diketahuinya dan terjadi pertukaran pendapat antar kelompok, sehingga siswa yang mempunyai pemahaman yang kurang benar akan bisa diluruskan. Setelah selesai menjawab dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dalam kelompok, siswa juga dituntut untuk memprediksi pertanyaan-pertanyaan lanjutan.

Salah satu pilar pendidikan yang ditetapkan oleh UNESCO adalah learning to live together. Model belajar matematika secara kooperatif seperti yang dilaksanakan pada reciprocal teaching sangat mendukung salah satu pilar pendidikan yang ditetapkan oleh UNESCO tersebut. Dengan melaksanakan reciprocal teaching, siswa akan berlatih untuk belajar secara berkelompok, menghargai pendapat orang lain, serta bisa saling bertukar pendapat antar sesama teman dalam kelompok maupun dalam kelas. Siswa yang melakukan belajar kelompok akan mendapatkan kemampuan dan pengalaman yang dapat menanamkan kesadaran dalam diri para siswa bahwa mereka bersatu dalam satu upaya bersama, bahwa mereka akan berhasil atau gagal sebagai sebah tim. Kemampuan-kemampuan ini akan sangat bermanfaat bagi siswa sebagai bekal dalam studi selanjutnya dan dalam hidup bermasyarakat.

Reciprocal teaching yang merupakan pembelajaran berbasis konstruktivisme memberikan peluang kepada siswa untuk mengeksplorasi secara bebas namun terarah terhadap ide-ide matematika. Siswa secara bebas juga bisa bertanya kepada pemimpin kelompok tentang hal-hal yang tidak

dipahaminya tanpa ragu-ragu atau malu. Jika ada perbedaan pendapat, dan menemui jalan buntu guru bisa membantunya dengan scaffolding. Suasana pembelajaran dengan ciri-ciri tersebut sangat dimungkinkan untuk mengarahkan kepada siswa agar menyukai pembelajaran matematika yang pada gilirannya siswa akan punya sikap positif terhadap matematika. Hal inilah yang merupakan salah satu aspek yang mendorong peneliti agar dalam penelitian ini diterapkan reciprocal teaching, di samping aspek-aspek yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Pembelajaran Matematika Berbantuan Komputer

Pengembangan teknologi komputer dalam pembelajaran matematika merupakan hal yang penting. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) tahun 2000 memasukkan prinsip teknologi ke dalam salah satu prinsip yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika, disamping 5 prinsip yang lain. Ada 3 hal yang membuat prinsip pemanfaatan teknologi itu penting yaitu : (1) teknologi bisa meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, (2) teknologi bisa mendukung pembelajaran secara lebih efektif dan (3) teknologi bisa memberi pengaruh tentang materi matematika yang diajarkan (NCTM 2000). Namun demikian teknologi tidak bisa digunakan untuk mengganti secara total peran guru dalam pembelajaran matematika. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kariadinata (2006), ditemukan bahwa pembelajaran matematika berbantuan komputer interaktif yang dilakukan tanpa adanya bimbingan guru memberikan hasil yang lebih jelek dibandingkan dengan pembelajaran yang dilakukan secara konvensional (tanpa bantuan komputer).

Penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika sudah bayak diteliti oleh para ahli dan menunjukkan hasil yang dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa. Hal tersebut sebagaimana telah diteliti oleh Frid (2002), yang menemukan bahwa pembelajaran dengan kelas menggunakan komputer yang disertai adanya tatap muka dengan guru, maka pembelajaran bisa dilakukan dengan hasil yang baik, namun jika tanpa tatap muka,

Page 90: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 90

maka komunikasi dan refleksinya menjadi sangat kurang sehingga hasilnya kurang baik. Neo (2007) menyatakan bahwa penggunaan komputer untuk pemecahan masalah dalam pembelajaran meningkatkan hasil belajar dan memperbaiki pemahaman materi. Para siswa sangat termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran dan melihat hasil-hasil mereka yang akhir. Mereka juga banyak terlibat dalam aktivitas pembelajaran konstruktivis, di mana guru bertindak sebagai suatu fasilitator dan konsultan, memandu para siswa dalam memecahkan permasalahan mereka. Para siswa mampu bekerja sama untuk membuat keputusan-keputusan, untuk melengkapi tugas kelompok mereka.

Penerapan komputer untuk pembelajaran matematika di sekolah perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran dengan multimedia tersebut. Edwards (2005) menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan komputer, yaitu :

1. Pengetahuan pendidik tentang penggunaan komputer.

Pengetahuan pendidik tentang penggunaan komputer merupakan faktor yang sangat penting dalam pembelajaran matematika menggunakan komputer. Hal ini dikarenakan, dengan kemampuan yang memadai, pendidik bisa mengarahkan siswa agar bisa melakukan aktifitas pembelajaran dengan optimal. Kemampuan pendidik yang kurang, bisa mengakibatkan kurang optimalnya pembelajaran dengan multimedia komputer interaktif tersebut. 2. Pemilihan perangkat lunak yang

sesuai dengan materi pelajaran dan perkembangan siswa. Perangkat lunak yang sesuai dengan

materi pelajaran dan perkembangan siswa juga merupakan faktor yang sangat penting dalam pembelajaran matematika menggunakan multimedia komputer interaktif. Perangkat lunak yang baik, mudah digunakan (user friendly), materi yang lengkap akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.

3. Kemudahan akses pada sumber-sumber belajar terkini berbasis teknologi informasi.

Kemudahan akses pada sumber-sumber belajar terkini berbasis teknologi informasi termasuk faktor yang penting pula. Dengan adanya kemudahan untuk mengakses sumber belajar matematika berbasis teknologi informasi maka adanya perkembangan dan isu terahir dari pembelajaran matematika akan bisa langsung diserap dan dimanfaatkan oleh siswa.

4. Lokasi dan pengaturan komputer di dalam kelas.

Faktor yang termasuk penting adalah lokasi dan pengaturan komputer dikelas. Dengan pengaturan dan setting tata letak komputer yang bagus diharapkan siswa merasa senang dan enjoy dalam melaksanakan pembelajaran dikelas. Jika pengaturanya monoton, dikhawatirkan siswa akan cepat bosan melaksanakan pembelajaran dengan multimedia komputer interaktif tersebut.

Faktor pengetahuan pendidik tentang penggunaan komputer multimedia juga diungkapkan oleh Donald (1998). Dalam penelitianya Donald menemukan bahwa kebanyakan guru matematika di negara bagian Virginia Amerika Serikat masih kurang professional dalam hal menerapkan pembelajaran matematika menggunakan komputer, sehingga para pendidik tersebut perlu diberi pelatihan tentang penerapan komputer dalam pembelajaran matematika.

Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Lynch (2006), yang merekomendasikan bahwa penggunaan teknologi komputer dalam pembelajaran matematika diperlukan transformasi dan inovasi pembelajaran, sehingga implementasinya bisa memberikan hasil yang optimal dan memberikan pengaruh yang positif pada pembelajaran matematika.

Reciprocal Teaching Berbantuan Komputer dalam Pembelajaran Matematika

Reciprocal teaching berbantuan komputer merupakan model pembelajaran reciprocal teaching dengan menggunakan bantuan komputer dalam tahap-tahap pembelajarannya. Penggunaan bantuan

Page 91: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 91

komputer dalam tahap-tahap pembelajaran bisa dilakukan secara fleksibel, misalnya bisa dilakukan pada tahap membaca bahan ajar, menyimpulkan, membuat pertanyaan, klarifikasi, ataupun memprediksi. Guru harus dapat memilih tahap mana yang perlu dengan bantuan komputer dan tahap mana yang tidak perlu, jangan sampai bantuan komputer tersebut malah menghambat pembelajaran.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan reciprocal teaching berbantuan komputer bisa digunakan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan matematis, antara lain pemahaman matematis dan komunikasi matematis. Hal ini bisa dilihat dari karakteristik dan tahap-tahap yang harus dilakukan dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Berikut ini akan dijelaskan langkah-langkah dalam pembelajaran dan potensinya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan matematis tersebut.

Langkah awal reciprocal teaching berbantuan komputer adalah membaca bahan teks materi matematika. Langkah ini mengarahkan siswa untuk memahami bahan bacaan. Bagi siswa yang lebih pandai akan lebih mudah untuk memahami teks dan bisa berperan sebagai pemimpin dalam kelompok, walaupun pada akhirnya semua anggota diusahakan agar mendapat giliran sebagai pemimpin kelompok. Sedangkan siswa yang lain atau yang kurang pandai bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau prediksi sehingga bisa mendapat klarifikasi atau penjelasan agar menjadi lebih paham. Klarifikasi merupakan salah satu unsur pemahaman, dan salah satu tahap reciprocal teaching berbantuan komputer adalah klarifikasi. Tugas memberikan klarifikasi dan penjelasan kepada teman sebaya akan memotivasi siswa untuk lebih memahami materi tersebut. Dengan adanya tahap klarifikasi ini kemampuan pemahaman matematis siswa diharapkan bisa meningkat.

Kemampuan komunikasi matematis dapat dikembangkan dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa reciprocal teaching merupakan pembelajaran kooperatif. Dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa melakukan tahap-tahap yang ditentukan dalam reciprocal teaching.

Dalam diskusi kelompok ini kemampuan komunikasi siswa bisa ditingkatkan. Within (Saragih, 2007) mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, di mana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, mengambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika.

Aspek-aspek kemampuan komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya karakteristik dari tahap-tahap yang harus dilakukan dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Aspek membaca dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya tahap membaca teks yang dilakukan sebelum proses pembuatan kesimpulan. Salah satu ciri reciprocal teaching adalah adanya bahan teks yang harus dipersiapkan guru sebelum proses pembelajaran dimulai. Dalam konteks pembelajaran matematika, guru harus menyiapkan bahan teks yang berisi materi-materi matematika yang menjadi pokok bahasan dalam pembelajaran. Bahan teks ini harus dibaca oleh semua siswa dalam kelompok, sehingga dalam tahap ini kemampuan siswa dalam membaca bisa ditingkatkan. Siswa tidak hanya sekedar membaca teks, namun juga dituntut untuk memahami teks tersebut sehingga pemahamannya bisa digunakan untuk melakukan tahap-tahap pembelajaran berikutnya.

Aspek menulis dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya tahap-tahap pembuatan kesimpulan, pembuatan pertanyaan dan prediksi. Pemahaman matematis siswa yang didapatkan pada saat membaca teks maupun pada tahap klarifikasi, siswa diberi tugas untuk membuat kesimpulan. Tugas ini bisa meningkatkan kemampuan siswa dalam hal menuliskan ide-ide matematisnya. Tahap pembuatan pertanyaan akan membuat siswa bisa menuangkan hal-hal yang belum diketahui maupun yang perlu penjelasan lebih detail untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Tahap prediksi memperkirakan materi atau masalah matematis lanjutan yang bisa digali oleh siswa, masalah-masalah ini dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga

Page 92: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 92

bisa meningkatkan kemampuan menulis bagi siswa.

Sedangkan aspek diskusi dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya proses klarifikasi dalam reciprocal teaching berbantuan komputer. Bagi siswa yang bertugas sebagai pemimpin kelompok, tahapan ini sangat bermanfaat untuk mengasah kemampuan berbicara, memberikan penjelasan, serta memahami pendapat siswa lain. Bagi siswa yang sedang tidak bertugas sebagai pemimpin kelompok, bisa mengungkapkan pendapat-pendapatnya, menanyakan hal-hal yang tidak jelas, serta menambah penjelasan yang sudah diberikan.

Aspek mendengar dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya proses klarifikasi. Siswa yang bertugas sebagai pemimpin kelompok, selain bermanfaat untuk mengasah kemampuan berbicara, tahapan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan pendapat siswa lain yang ingin mengungkapkan pendapatnya. Sedangkan bagi siswa yang tidak bertugas sebagai pemimpin kelompok, dengan mendengar klarifikasi dari pemimpin kelompok, akan meningkatkan kemampuan mendengar.

Contoh Bahan Teks dalam Reciprocal

Teaching Berbantuan Komputer Perhatikan gambar berikut :

Y y y=2x 3 y = 3 2 0 x 0 1 x

(i) (ii)

y y y = 2x - 4 0 2 0 x -4 -2 y = -2 (iii) (iv) Gambar 1 . Berbagai gambar grafik garis lurus

Page 93: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 93

Dari gambar-gambar diatas, tampak beberapa garis lurus dengan berbagai bentuk persamaanya. Pada Gambar 1. (i) tampak garis lurus dengan persamaan y = 3, sejajar dengan sumbu ......dan melewati titik (...., ....). pada Gambar 1. (ii) tampak garis lurus dengan persamaan y = 2x, melewati titik (....,....) dan titik (...., ....). Pada Gambar 1. (iii) tampak garis lurus dengan persamaan y = -2, sejajar dengan sumbu ......dan melewati titik (....., ....). pada gambar 1. (iv) tampak garis lurus dengan persamaan y = 2x-4, melewati titik (....,....) dan titik (...., ....). Persamaan-persamaan y = 3 dan y = -2 merupakan persamaan-persamaan garis lurus (linear) dan mempunyai variabel sebanyak ........buah, dan disebut dengan persamaan garis lurus ........variabel. Sedangkan persamaan-persamaan y = 2x dan y = 2x – 4 merupakan persamaan-persamaan garis lurus dengan variabel sebanyak ...... buah, dan disebut dengan persamaan garis lurus ........variabel. Perhatikan bahwa variabel-variabel dari persamaan garis lurus berpangkat .............dan tidak terdapat perkalian antar 2 variabel.

Setelah siswa membaca bahan text tersebut, dilanjutkan dengan melakukan tahap-tahap reciprocal teaching berbantuan komputer secara berkelompok 3-4 siswa. Dalam setiap kelompok minimal disediakan 1 unit komputer yang sudah dilengkapi perangkat lunak yang mendukung materi pembelajaran, dalam hal ini adalah Graphmatica, perhatikan Gambar 2. Perangkat lunak ini dipilih karena mudah digunakan, sehingga bisa meminimalkan dampak yang diakibatkan oleh ketidakmahiran siswa dalam penggunaan komputer dalam belajar matematika.

Gambar 2. Contoh Tampilan

Graphmatica dengan Grafik y=2x dan y=

2x - 4

Dalam reciprocal teaching berbantuan komputer pada materi ini, komputer berfungsi sebagai alat untuk bereksplorasi bagi siswa terutama untuk tahap klarifikasi atau penjelasan untuk meningkatkan pemahaman konsep-konsep matematika. Pemahaman-pemahaman konsep mendasar dalam pembelajaran harus tetap diberikan oleh guru pada tahap refleksi, hal ini juga berfungsi untuk menghindari salah konsep bagi siswa.

Penutup

Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat saat ini bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika dengan pendekatan Reciprocal Teaching berbantuan komputer merupakan salah satu alternatif pembelajaran matematika berbantuan komputer yang bisa diterapkan. Pembelajaran matematika berbantuan komputer tersebut harus didesain agar siswa bisa melakukan aktifitas konstruktivis seluas-luasnya, jangan sampai keberadaan komputer menjadi beban tersendiri yang menyulitkan siswa dalam belajar matematika. Pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa bisa ditingkatkan melalui pembelajaran dengan pendekatan reciprocal teaching berbantuan komputer. Dengan adanya bantuan komputer, siswa bisa lebih leluasa melakukan eksplorasi sehingga bisa meningkatkan pemahaman matematis dan komunikasi matematisnya.

Referensi

Page 94: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 94

Donald, J. B.(1998). “Technology in

Mathematics Education”. Doctor

Dissertation, Virginia Polytechnic

Institute and State University.

Edwards, S.(2005). “Identifying the factors that influence computer use in the early childhood classroom”. Australasian Journal of Educational Technology, 21(2), 192-210.

Ernest, P. (1994). Constructing Mathematical Knowledge: Epistemology and Mathematics Education. London: The Falmer Press.

Foster, E. & Rotoloni, B.(2008). Reciprocal Teaching, From Emerging Perspec-tives on Learning, Teaching and Technology. [On Line]. Tersedia di: http://projects.coe.uga.edu/epltt/index.php?title=Review_of_Reciprocal _Teaching [29 April 2008]

Frid, S. (2002). “Engaging Primary Students in Working Mathematically within a Virtual Enrichment Program”. Mathematics Education Research Journal, Vol. 14, No. 1, 60-79.

Lynch J. (2006). “Assessing Effects of Technology Usage on Mathematics Learning”. Mathematics Education Research Journal. Vol. 18, No. 3, 29–43.

NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics, Reston, Virginia.

Neo, M. et al. (2007). “A constructivist approach to learning an

interactive multimedia course: Malaysian students' perspectives”. Australasian Journal of Educational Technology, 23(4), 470-489.

Palinscar, A.(1986). Strategies for Reading Comprehension Reciprocal Teaching. [online]. Tersedia di : http://curry.edschool.virginia.edu/go/readquest/ strat/rt.html [29 April 2008]

Palinscar, A. & Brown, A. (1984). Reciprocal Teaching in Comprehension-Fostering and Comprehension-Monitoring Activities Cognition and Instruction. [online] Tersedia di: http://teams.lacoe.edu/documentation/classroom/patti/2-3/teacher/ resources/reciprocal.html [29 April 2008]

Rosyid, D. M. & Ibrahim,I. (2007). Reciprocal Teaching Sebagai Strategi. [online]. Tersedia: http://kpicenter.web.id/neo/content/view/17/1.html [29 April 2008]

Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi S3 UPI.: Tidak Diterbitkan.

Wikipedia(2008). Constructivism_(learning_theory). [online] Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory).htm [29 April 2008]

Page 95: semnas mipa Matematika

SEMNAS MIPA 2010 MAT - 95