BAB I TINJAUAN PUSTAKA Autoimun Hemolytic Anemia (AIHA) Systemic Lupus Erythematosus (SLE) A. DEFINISI Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. 1 SLE terutama menyerang wanita muda dengan insidens puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Autoimun Hemolytic Anemia (AIHA)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
A. DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang
wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik
dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.1
SLE terutama menyerang wanita muda dengan insidens puncak pada usia 15-40 tahun
selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor klas
II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3.2
B. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis LES belum diketahui secara utuh, namun demikian banyak fakta yang
menunjukan bahwa fatogenesis LES bersifat multifaktorial, meliputi genetik yakni HLA-DR2
(ras Asia/Jepang) dan HLA-DR3 (ras Kaukasia), hormonal terhadap respon imun dan lingkungan.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak sekali gen (lebih dari 100) yang berperan,
1
terutama yang berfungsi mengkode unsur-unsur sistem imun. Selain HLA-DR2 , komplemen
yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, dan C2) telah terbukti
keterlibatannya. Gen-gen lain yang mulai terlihat ikut berperan adalah gen yang mengkode
reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.2
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi
dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi
tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit
SLE:2
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot
berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah
58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah
20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah
mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2
Gene Protein
C1QA, B, and
CComplement component C1q
C2 Complement component
C4A and C4B Complement component C4
CRP C-reactive protein
FCGR2A Activating Fcγ RIIA
FCGR3A Activating Fcγ RIIIA
FCGR2B Inhibitory Fcγ RIIb
IRF5 Interferon regulatory factor 5
TYK2 Tyrosine kinase 2
MBL Mannose-binding lectin
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
3
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi
menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan
memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi
lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan
sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh
dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
4
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu
ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada
seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE
diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.7 Lupus karena
obat: procainamide, hydralazine, isoniazide, antibiotika sulfa, agen biologik untuk terapi
artritis reumatoid seperti etanercept, infliximab, dan adalimumab dapat mencetuskan lupus.
Biasanya lupus karena obat akan membaik setelah obat yang bersangkutan diberhentikan.
Adapun patogenesis LES dihipotesiskan sebagai berikut :2
Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya munculah
sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi autoantibody maupun yang berupa sel memori. Pada LES autoantibody yang
terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen
5
sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam
keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau komplek ptotein-RNA yang
disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah mereka tidak
spesifik untuk jaringan tertentu tetapi merupakan komponen integral semua jenis sel.2
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa
gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun
dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan seperti ginjal,sendi,pleura,pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.2
C. GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit LES ini seringkali
tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri
sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi
klinis lainnya seperti fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria
6
LES. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskoloskeletal dijumpai pada 90% kasus LES,
walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.2
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah,
jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Manifestasi klinis pasien SLE
terbanyak berturut-turut adalah:
1. Artritis sebesar 48,1%,
2. Ruam malar 31,1%,
3. Nefropati27,9%,
4. Fotosensitif 22,9%,
5. Keterlibatan neurologik 19,4%, dan
6. Demam 16,6%
Sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %,
anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.3
Manifestasi Konstitusional
Kelelahan
Kelelahan ini dapat diukur dengan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan.
Apabila kelelahan diakibatkan oleh aktivitas penyakit SLE ini, maka diperlukan pemeriksaan
penunjang lainnya, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan pada penyakit ini
memberikan respon terhadap pemberian steroid dan latihan.2
Penurunan berat badan
Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh berkurangnya nafsu makan atau gejala
gastrointestinal akibat SLE.2
Demam
7
Sulit dibedakan dengan penyebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat mencapai 40 oC
tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Namun demam pada SLE biasanya tidak
disertai menggigil.2
Lain-lain
Gejala lain yang dapat dijumpai pada penderita SLE sebelum ataupun seiring dengan aktivitas
penyakitnya adalah rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah
bening, bengkak, sakit kepala, mual, dan muntah.2
Kelainan Mukokutaneus :2
Erupsi kulit, terdapat pada 40 % penderita. Erupsi di wajah (malar rash, discoid rash)
dengan bentuk seperti kupu-kupu terdiri dari eritema dan edem selama fase akut. Sedangkan
pada fase kronis muncul atrofi dan teleangiektasis. Erupsi kulit ini dipresipitasi atau
diperparah dengan paparan sinar ultraviolet.
Fotosensitifitas
Alopesia
Ulkus pada mukosa nasal atau oral
Xeroftalmia dan xerosmia = sicca syndrome/ Sjogren syndrome
Lupus hair yaitu rambut-rambut pendek yang patah-patah di atas dahi
Muskuloskeletal2
- Artritis, mialgia (nyeri otot), atralgia (nyeri sendi), sendi yang terlibat yaitu tangan, kaki dan
juga sendi-sendi besar. Sendi terlihat kemerahan, hangat dan terdapat efusi sinovial.
- Fibromialgia, miositis (disertai peningkatan CPK dan kelemahan otot proksimal)
8
- Osteoporosis dan osteonekrosis, terutama penderita dengan pengobatan steroid dosis tinggi
jangka panjang.
Kelainan Ginjal1
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan SLE. Lebih dari 70%
pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis
memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir
dengan transplantasi atau cuci darah. Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra
indikasi, maka seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk kon irmasi diagnosis, evaluasi
aktivitas penyakit, klasi ikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis dan
terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis
sudah diperbaharui oleh International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society
(ISN/RPS) tahun 200363 Klasi ikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari
imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif,
tidak aktif, dan kronis.1
Tabel 1. Klasifikasi lupus nefritis menurut World Health Organization
9
Merupakan manifestasi yang paling serius dari LES. Kelainan ginjal sangat bervariasi
dari proteinuri minimal dan sedikit cast sel-sel darah merah sampai hematuri dan proteinuri
masive. Nefritis lupus terdiri dari beberapa kelas :
Tabel 2. Klasifikasi Nephritis Lupus berdasarkan staging dari WHO (2003) :