Presentasi Kasus LAPORAN KASUS ANESTESI “Fibroadenoma Mammae Multiple Sinistra dengan tindakan General Anestesi (Narkose Umum) Tehnik Intubasi Endotrakheal” Disusun oleh : Martina Alifa (1102005 ) Satrio Bagoes Putro Wijaya (1102007255) Pembimbing : Dr. Widodo Sp.An Tugas Kepaniteraan Klinik SMF Anestesiologi dan Rawat IntensifRSUD Gunung Djati Cirebon Periode 8 Oktober – 27 Oktober 2012 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Anestesi umum ( general anesthesia) disebut pula dengan nama narkose umum (NU).
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang
bersifat reversibel.
Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu :
- Hipnosis (tidur)
- Analgesia (bebas dari nyeri)
- relaksasi otot
Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan
mempermudah tindakan pembedahan.
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan
obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan pelbagai
macam obat.
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran).Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Sedangkan relaksasi
otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant ).
INDUKSI ANESTESI UMUM
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel).
Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi anestesi.Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit sebelum induksi anestesi
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
- intravena (paling sering)
- inhalasi
- intramuskular
- per rektal.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose. Induksiintravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu sampai pasien
tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose ataupun maximal
dose.
Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri,
pasien presyok).
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin.
Induksi inhalasi dapat dikerjakan dengan teknik :
- steal induction
- gradual induction
- single breath induction.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu matadisentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
Pelemas otot yang dapat digunakan antara lain suksinil kolin, atrakurium, vekuronium,
pankuronium, mivakurium, dan rokuronium. Tiap-tiap obat pelemas otot memiliki
kelebihan dan kekurangan serta memiliki mula kerja (onset of action) dan durasi kerja(duration of action) yang berbeda. Sehingga penggunaannya disesuaikan dengan
kebutuhan.
Atrakurium, misalnya, onset kerja setelah dua menit dan durasi kerja di atas 25 menit.
Oleh karena itu intubasi endotrakeal dilakukan setelah dua menit pemberian atrakurium.
Untuk menghemat waktu, atrakurium dapat diberikan 1 menit sebelum induksi. Jadi,
setelah pasien tertidur, intubasi endotrakeal sudah dapat dilakukan 1 menit sesudah
induksi. Karena durasi kerja atrakurium terbilang panjang, maka dilakukan pengendalianrespirasi pasien oleh anestetis.
Suksinilkolin sering dipilih untuk teknik anestesi umum dengan respirasi spontan karena
mula kerja yang sangat cepat (sekitar 40 detik) dan durasi kerja suksinil yang singkat
(sekitar 5 menit) sehingga respirasi pasien yang semula dilumpuhkan dapat segera pulih.
Hanya saja, suksinilkolin menimbulkan fasikulasi ketika diberikan. Fasikulasi inimenyebabkan mialgia pasca anestesi. Selain fasikulasi, suksinilkolin juga memiliki
kelemahan lain. Untuk mengurangi fasikulasi, dua menit sebelum pemberian suksinil
kolin, terlebih dahulu diberikan pelemas otot nondepolarisasi dengan dosis ¼ dari dosisintubasi.
Agar dapat melakukan intubasi tanpa pelemas otot, diperlukan waktu yang lebih lama
sejak induksi hingga tercapai kondisi ideal untuk dilakukan intubasi endotrakeal. Kondisi
ideal adalah apabila sudah terdapat relaksasi optimal pada otot-otot rahang (masseter),
leher, dan abdomen.
Setelah terpasang pipa endotrakeal, apabila pasien masih bergerak-gerak, dapat diberikan
50-100 mg tiopental (pasien dewasa) atau 30-40 mg propofol (pasien dewasa) atau
dengan suksinilkolin ½ dosis intubasi.
Apabila diinginkan teknik respirasi kendali, berikan pelemas otot sesuai dosis dan kondisi
pasien. Pilihan pelemas otot misalnya atrakurium, pankuronium, vekuronium dan
rokuronium.
Tehnik Intubasi Endotrakheal.
Pengertian
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa
melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea.
Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke
dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan
dikendalikan (Anonim, 2002).
Tujuan Intubasi Endotrakhea.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan salurantrakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya,tujuan intubasi endotrakheal (Anonim, 1986) :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan
lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker
nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida diarteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasiendengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain(Anonim, 1986) disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain:
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24
jam seharusnya diintubasi.
f. Pada post operative respiratory insufficiency.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air possition. Kesalahan
yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
Teknik Pemasangan.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)
biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mentalsymphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang
bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang senditemporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada
leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.
Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1989)
antara lain :
a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis
laringoskop yaitu :i. Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.
ii. Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyaiteknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena
mempunyai epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis
dengan blade lurus lebih sering terjadi.
b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali
pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di
daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai
spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balonyaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan
tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapatmenyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas
dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon
biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerahrawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian
tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter
internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :Panjang pipa yang masuk (mm) =
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar danlebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
c. Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan
nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
d. Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipaendotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan
untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
f. Alat pengisap atau suction.
Tindakan Intubasi.Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau
botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea danlaringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukanoksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan
lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudutkanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi
atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kirimemfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya
pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktuventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan
dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila
terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti
ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi
intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang,terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut
pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
Obat-Obatan yang Dipakai.Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakheal
(Anonim, 1986), antara lain :
a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan
dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi,
bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat
Suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan
I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct visionintubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian O2
dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan. Metode initidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan
pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak.
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis
besar dapat mendepresi pernafasan.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain.
penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikanrelaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. alotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dandapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulithidung.
Malfungsi tuba berupa obstruksi.
3. Komplikasi setelah ekstubasi.
Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suarasesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
Gangguan refleks berupa spasme laring
RUMATAN ANESTESIA
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur
konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akandihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan
didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk
itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.
Pada penggunaan eter sebagai anestetik tunggal, indikator kedalaman anestesi sangatgampang dilihat. Anestetis tinggal mencocokkan dengan Skala Guedel.
Namun ketika eter tidak lagi digunakan, maka cara menilai kedalaman anestesi perlu
modifikasi. Indikator klinis yang sering dipakai untuk menilai kedalaman anestesi adalahrespon terhadap rangsang bedah yaitu ;
1. respon otonomik berupa tekanan darah, nadi, respirasi, air mata, dan keringat
Angka-angka tadi disesuaikan dengan kondisi pasien, jenis pembedahan, dan teknik anestesi. Pasien lemah, bedah obstetri (peripartum), dan respirasi kendali membutuhkan
konsentrasi obat yang lebih sedikit. Pasien berotot kekar, atlet, dan respirasi spontan
membutuhkan konsentrasi obat yang lebih tinggi. Jika anestesi tanpa menggunakan N2O,
maka kebutuhan konsentrasi halotan/enfluran/isofluran/sevofluran menjadi lebih tinggi.
Dalam melakukan rumatan anestesi, jika anestesi dangkal, maka lakukan penambahan
konsentrasi obat. Namun jika anestesi dalam lakukan pengurangan konsentrasi obat.
Tanda-tanda anestesi dangkal (kurang dalam) di antaranya :
- takikardi
- hipertensi
- keluar air mata
- berkeringat (kening menjadi basah)
- pasien bergerak-gerak (kecuali pasien mendapat pelemas otot)
- napas lebih cepat (jika respirasi spontan)
Untuk mengembalikan ke anestesi yang adekuat, dapat dilakukan cara-cara berikut :
- hiperventilasi
- penambahan narkotika
- penambahan sedatif
- penambahan pelemas otot
- atau kombinasi semua di atas.
Jika pembedahan masih berlangsung lama, sementara durasi pelemas otot hampir
berakhir dan teknik respirasi kendali tetap ingin dipertahankan, maka dapat diberikan
tambahan pelemas otot dengan dosis ½ dari dosis intubasi. Jika durasi obat pelemas ototadalah 30 menit, maka di menit 25 sudah harus diberikan tambahan obat.