Page 1
PERUBAHAN HEMODINAMIK AKIBAT HIPERVENTILASI PADA
PASIEN APENDIKTOMI PER LAPAROSKOPI
Makalah ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menjalani Kepaniteraan Klinik
Anestesi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Oleh :
Hanindyo R
Maya Damayanti
Raeiza Olyvia R
Rhandy Septianto
Pembimbing : dr. Vera, SpAn, KIC
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN SYARIF HIDATULLAH JAKARTA
1436 H/2015
Page 2
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji Syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
nikmat islam, iman, dan ikhsan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam kita curahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita ke zaman yang terang benderang ini.
Pertama-tama penulis ucapkan terima kasih kepada semua konsulen
anestesi yang telah menyalurkan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis,
terutama kepada dr. Vera, SpAn, KIC sebagai pembimbing penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran yang bangun sangat
penulis harapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri
maupun bagi yang membacanya.
Jakarta, Juli 2015
Penulis
Page 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................5
2.1 Apendisitis.........................................................................................................5
2.2 Fisiologi Paru.....................................................................................................8
2.3 Hiperventilasi.....................................................................................................13
2.4 Farmakologi Obat Anestesi...............................................................................16
2.5 Laparoskopi.......................................................................................................34
BAB 3 ILUSTRASI KASUS.............................................................................................43
BAB 4 LAPORAN KASUS...............................................................................................48
BAB 5 ANALISIS KASUS................................................................................................50
BAB 6 KESIMPULAN......................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................54
3
Page 4
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Penelitian epidemiologi
menunjukan peran kebiasaan konsumsi makanan rendah serat terhadap timbulnya
apendisitis. Pengobatan tunggal yang terbaik untuk apendiks yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan membuang penyebabnya (dilakukan operasi
apendektomi). Pada operasi umunya dilakukan dengan anastesi general atau spinal.
Operasi yang dilakukan dapat menggunakan teknik konvensional, yaitu dengan
melakukan sayatan pada perut bagian kanan bawah. Alternatif lain operasi
apendektomi yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Laparoskopi merupakan tindakan pembedahan abdomen dengan prinsip
minimal invasive dan secara luas telah digunakan dalam ilmu bedah. Selama operasi
laparoskopi CO2 digunakan untuk membentuk pneumoperitoneum peningkatan
tekanan intraperitoneum oleh CO2 dan pneumoperitoneum menyebabkan beberapa
efek samping terutama terhadap system kardiovaskular. Penggunan CO2 akan
menyebabkan hiperventilasi yang menyebabkan terjadinya tekanan positif
intratorakal yang persisten dimana akanmenurunkan cardiac preload dan cardiac
output.
Pada makalah ini, penulis akan memaparkan perubahan hemodinamik akibat
hiperventilasi pada pasien apendektomi durante laparoskopi apendektomi.
4
Page 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apendisitis
Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
Pada masyarakat umum,sering juga disebut dengan istilah radang usus
buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan
digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu
sebenarnya adalah sekum (caecum).
Fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif
berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh).
Immunoglobulin sekretoal merupakan zat pelindung yang efektif terhadap
infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak
terdapat di dalam apendiks adalah Ig-A. Namun demikian, adanya
pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh.
Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil
sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.
Selain itu, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari. Lendir itu
secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke
sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut merupakan salah satu
penyebab timbulnya appendisitis.
Klasifikasi
Klasifikasi Apendisitis ada 2, yaitu :
1. Apendisitis Akut, dibagi atas :
5
Page 6
Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh
akan timbul striktur lokal.
Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Appendisitis akut dalam 48 jam dapat menjadi :
a. Sembuh
b. Kronik
c. Perforasi
d. Infiltrat
2. Apendisitis Kronis, dibagi atas :
Apendisitis kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh
akan timbul striktur lokal.
Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring dimana
biasanya ditemukan pada usia tua.
Gejala kliinis
Ada beberapa hal yang penting dalam gejala penyakit apendisitis
yaitu:
Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri berhubungan dengan
anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi.
Muntah dan mual oleh karena nyeri viseral. Nutrisi kurang dan volume
cairan yang kurang dari kebutuhan juga berpengaruh dengan terjadinya
mual dan muntah.
Suhu tubuh meningkat dan nadi cepat (karena kuman yang menetap di
dinding usus).
Rasa sakit hilang timbul
Diare atau konstipasi
Tungkai kanan tidak dapat atau terasa sakit jika diluruskan
Perut kembung
6
Page 7
Hasil pemeriksaan leukosit meningkat 10.000 - 12.000 /ui dan 13.000/ui
bila sudah terjadi perforasi
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan.
Tatalaksana
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi. Pernah
dicoba pengobatan dengan antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat
kekambuhannya mencapai 35 %. Pembedahan dapat dilakukan secara
terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan
atau apendektomi, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur
(pecah), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut
(peritonitis). Pada hampir 15% pembedahan apendiks, apendiksnya
ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai ditemukan
penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Apendiks yang terinfeksi
bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul.
Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, apendiks tetap diangkat.
Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan
penyebab nyeri yang sebenarnya. Pembedahan yang segera dilakukan bisa
mengurangi angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari
rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan
sempurna. Apendiks yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang
lalu, kasus yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik,
angka kematian mendekati nol.
Komplikasi
7
Page 8
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi apendiks mungkin
didahului oleh adanya penyumbatan di dalam apendiks. Bila peradangan
berlanjut tanpa pengobatan, apendiks bisa pecah. Apendiks yang pecah bisa
menyebabkan :
1. Perforasi dengan pembentukan abses.
2. Peritonitis generalisata, masuknya kuman usus ke dalam perut,
menyebabkan peritonitis, yang bisa berakibat fatal.
3. Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa
berakibat fatal.
4. Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan
penyumbatan pada saluran indung telur yang bisa menyebabkan
kemandulan.
5. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang terjadi.
2.2 Fisiologi Paru
Definisi
Sistem respirasi adalah system organ yang berfungsi untuk mengambil
O2 dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh untuk mentranspor CO2 yang
dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Organ-organ respiratorik juga
berfungsi untuk produksi bicara dan berperan dalam keseimbangan asam
basa, pertahanan tubuh melawan benda asing, dan pengatran hormonal
tekanan darah.
8
Page 9
Sistem respirasi dibedakan menjadi dua saluran yaitu, saluran nafas bagian
atas dan saluran nafas bagian bawah. Saluran nafas bagian atas terdiri dari: rongga
hidung, faring dan laring. Saluran nafas bagias bawah terdiri dari trakea, bronkus,
bronkiolus, dan paru-paru.
Fisiologi
Respirasi dibagi menjadi 2 bagian , yaitu respirasi eksternal dimana proses
pertukaran O2 & CO2 ke dan dari paru ke dalam O2 masuk ke dalam darah
dan CO2 + H2O masuk ke paru paru darah. Kemudian dikeluarkan dari tubuh
dan respirasi internal/respirasi sel dimana proses pertukaran O2 & peristiwa
CO2 di tingkat sel biokimiawi untuk proses kehidupan.
Proses pernafasan terdiri dari 2 bagian, yaitu sebagai berikut :
Ventilasi pulmonal yaitu masuk dan keluarnya aliran udara antara
atmosfir dan alveoli paru yang terjadi melalui proses bernafas (inspirasi
dan ekspirasi) sehingga terjadi disfusi gas (oksigen dan karbondioksida)
antara alveoli dan kapiler pulmonal serta ransport O2 & CO2 melalui
darah ke dan dari sel jaringan.
Masuk dan keluarnya udara dari atmosfir ke dalam paru-paru
dimungkinkan olen peristiwa mekanik pernafasan yaitu inspirasi dan
ekspirasi. Inspirasi (inhalasi) adalah masuknya O2 dari atmosfir & CO2
ke dlm jalan nafas. Dalam inspirasi pernafasan perut, otot difragma akan
berkontraksi dan kubah difragma turun ( posisi diafragma datar ),
selanjutnya ruang otot intercostalis externa menarik dinding dada agak
keluar, sehingga volume paru-paru membesar, tekanan dalam paru-paru
akan menurun dan lebih rendah dari lingkungan luar sehingga udara dari
luar akan masuk ke dalam paru-paru. Ekspirasi (exhalasi) adalah
keluarnya CO2 dari paru ke atmosfir melalui jalan nafas. Apabila terjadi
pernafasan perut, otot difragma naik kembali ke posisi semula
9
Page 10
( melengkung ) dan muskulus intercotalis interna relaksasi. Akibatnya
tekanan dan ruang didalam dada mengecil sehingga dinding dada
masuk ke dalam udara keluar dari paru-paru karena tekanan paru-paru
meningkat.
Transportasi gas pernafasan
Ventilasi
Selama inspirasi udara mengalir dari atmosfir ke alveoli. Selama
ekspirasi sebaliknya yaitu udara keluar dari paru-paru. Udara yg masuk
ke dalam alveoli mempunyai suhu dan kelembaban atmosfir. Udara yg
dihembuskan jenuh dengan uap air dan mempunyai suhu sama dengan
tubuh.
Difusi
Yaitu proses dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 pada pertemuan
udara dengan darah. Tempat difusi yg ideal yaitu di membran alveolar-
kapilar karena permukaannya luas dan tipis. Pertukaran gas antara
alveoli dan darah terjadi secara difusi. Tekanan parsial O2 (PaO2)
dalam alveolus lebih tinggi dari pada dalam darah O2 dari alveolus ke
dalam darah. Sebaliknya (PaCO2) darah > (PaCO2) alveolus sehingga
perpindahan gas tergantung pada luas permukaan dan ketebalan dinding
alveolus. Transportasi gas dalam darah O2 perlu ditrasport dari paru-
paru ke jaringan dan CO2 harus ditransport kembali dari jaringan ke
paru-paru. Beberapa faktor yg mempengaruhi dari paru ke jaringan ,
yaitu:
Cardiac out put.
Jumlah eritrosit.
Exercise
10
Page 11
Hematokrot darah, akan meningkatkan vikositas darah
mengurangi transport O2 menurunkan CO.
Perfusi pulmonal
Merupakan aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal dimana O2
diangkut dalam darah membentuk ikatan (oksi Hb) / Oksihaemoglobin
(98,5%) sedangkan dalam eritrosit bergabung dgn Hb
dalam plasma sbg O2 yg larut dlm plasma (1,5%). CO2 dalam darah
ditrasportasikan sebagai bikarbonat, alam eritosit sebagai natrium
bikarbonat, dalam plasma sebagai kalium bikarbonat , dalam larutan
bergabung dengan Hb dan protein plasma. C02 larut dalam plasma
sebesar 5 – 7 % , HbNHCO3 Carbamoni Hb (carbamate) sebesar 15 –
20 % , Hb + CO2 HbC0 bikarbonat sebesar 60 – 80% .
Pengukuran volume paru
Fungsi paru, yg mencerminkan mekanisme ventilasi disebut volume
paru dan kapasitas paru. Volume paru dibagi menjadi :
Volume tidal (TV) yaitu volume udara yang dihirup dan dihembuskan
setiap kali bernafas.
Volume cadangan inspirasi (IRV) , yaitu volume udara maksimal yg
dapat dihirup setelah inhalasi normal.
Volume Cadangan Ekspirasi (ERV), volume udara maksimal yang dapat
dihembuskan dengan kuat setelah exhalasi normal.
Volume residual (RV) volume udara yg tersisa dalam paru-paru setelah
ekhalasi maksimal.
Kapasitas Paru:
Kapasitas vital (VC), volume udara maksimal dari poin inspirasi
maksimal.
11
Page 12
Kapasitas inspirasi (IC) Volume udara maksimal yg dihirup setelah
ekspirasi normal.
Kapasitas residual fungsiunal (FRC), volume udara yang tersisa dalam
paru-paru setelah ekspirasi normal.
Kapasitas total paru (TLC) volume udara dalam paru setelah inspirasi
maksimal.
Pengaturan pernafasan:
Sistem kendali memiliki 2 mekanismne saraf yang terpisah yang
mengatur pernafasan. Satu system berperan mengatur pernafasan
volunter dan system yang lain berperan mengatur pernafasan otomatis.
Pengendalian Oleh saraf Pusat ritminitas di medula oblongata
langsung mengatur otot otot pernafasan. Aktivitas medulla
dipengaruhi pusat apneuistik dan pnemotaksis. Kesadaran
bernafas dikontrol oleh korteks serebri. Pusat Respirasi terdapat
pada Medullary Rhythmicity Area yaitu area inspirasi &
ekspirasi, mengatur ritme dasar respirasi , Pneumotaxic Area
terletak di bagian atas pons dan berfungsi untuk membantu
koordinasi transisi antara inspirasi & ekspirasi, mengirim
impuls inhibisi ke area inspirasi paru-paru terlalu mengembang,
dan Apneustic Area yang berfungsi membantu koordinasi
transisi antara inspirasi &
ekspirasi dan mengirim impuls ekshibisi ke area inspirasi.
Pengendalian secara kimia pernafasan dipengaruhi oleh : PaO2,
pH, dan PaCO2. Pusat khemoreseptor : medula, bersepon
terhadap perubahan kimia pd CSF akibat perub kimia dalam
darah. Kemoreseptor perifer : pada arkus aortik dan arteri karotis
2.3 Hiperventilasi
12
Page 13
Hiperventilasi terjadi ketika seseorang bernapas berlebihan yaitu, ketika
kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolik tubuh akan pengeluaran CO2.
Akibatnya CO2 yang dikeluarkan ke atmosfer lebih cepat daripada produksinya
di jaringan sehingga PCO2 arteri turun. Hiperventilasi dapat dipicu oleh
berbagai hal seperti demam atau keracunan aspirin. Selama hiperventilasi Po2
alveolus meningkat karena lebih banyak O2 segar yang disalurkan ke alveolus
dari atmosfer daripada yang diekstraksi oleh darah untuk disalurkan ke
jaringan, dan kerananya PO2 arteri meningkat. namun, karena Hb hampir jenuh
pada PO2 arteri normal maka sangat sedikit O2 yang ditambahkan ke dalam
darah.
13
Page 14
Hiperventilasi menyebabkan terhambatnya perkembangan tekanan negatif
intratorakal sebelum dinding dada kembali keposisi semula, sehingga aliran
balik vena ke ventrikel kanan terhambat, yang menyebabkan terjadinya
gangguan hemodinamik.
Gardar sirgudson et al menyebutkan bahwa hipervntilasi secara fisiologis
akan menyebabkan terjadinya tekanan positif intratorakal yang persisten
dimana akan menurunkan cardiac preload dam cardiac output dan mengancam
fungsi dari ventrikel kanan. Studi yang dilakukan pada binatang menunjukan
tekanan intratorakal meningkat pada binatang yang diberikan laju ventilasi yang
tinggi.
14
Page 15
Selama operasi laparoskopi, Co2 digunakan untuk membentuk
pneumoperitoneum, peningkatan tekanan intraperitoneum oleh Co2 dan
penumoperitoneum menghasilkan beberapa efek samping terhadap sistem
kardiovaskular. Level plasma katekolamin dan vasopresin meningkat pada
laparoskopi. Peningkatan level katekolamin mengaktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron dimana menyebabkan terjadinya perubahan
hemodinamik yang mencakup menurunnya kardiak output, peningkatan tekanan
arteri dan peningkatan resistensi vaskular pulmonal.
15
Page 16
2.4 Farmakologi Obat Anestesi
1. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum induksi anestesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan setelah anestesia.
Tujuannya antara lain:
a. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
b. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus
c. Melancarkan induksi intravena
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual muntah pasca pembedahan
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah:
a. Obat antikolinergik
Tujuan pemberiannya adalah mengurangi sekresi kelenjar saliva, saluran
cerna dan saluran nafas, mencegah spasme laring dan bronkus, mencegah
bradikardi, mengurangi motilitas usus, serta melawan efek depresi narkotik
terhadap pusat nafas.
Sulfas atropin
Mekanisme kerja: menghambat kerja asetil kolin pada organ yang dipersarafi
oleh serabut saraf otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai
neurotransmiter asetil kolin
Efek pada SSP: tidak ada efek depresi SSP
Efek pada respirasi: menghambat sekresi kelenjar pada hidung, mulut,
faring, trakea dan bronkus, menyebabkan mukosa jalan nafas kekeringan dan
16
Page 17
relaksasi otot polos bronkus dan bronkiolus sehingga diameter melebar dan
ruang rugi bertambah.
Efek pada kardiovaskular: menghambat aktivitas vagus pada jantung,
sehingga denyut jantung meningkat.
Efek pada gastrointestinal: menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut
terasa kering dan sulit menelan, mengurangi sekresi getah lambung serta
menurunkan motilitas usus.
Efek pada kelenjar keringat: menghambat sekresi kelenjar keringat sehingga
kulit terasa kering.
Cara pemberian:
IV dosis 0,005 mg/kgBB, sediaan 1 ampul 0,25 mg/mL atau 0,5 mg/mL
b. Obat sedatif
Tujuan pemberiannya adalah memberikan suasana nyaman bagi pasien,
bebas dari rasa cemas dan takut.
Midazolam
Farmakodinamik: bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat
dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi
tidur. Setelah pemberiannya terjadi amnesia anterograd.
Farmakokinetik: OOA 30 detik – 1 menit IV 15 menit IM, DOA 15 – 80
menit IV/IM, menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi janin, serta
diekskresi di ASI
Indikasi: premdikasi, induksi, kejang
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepam, insufisiensi paru-paru
akut, depresi nafas
Penggunaan klinis: premed 0,03-0,04 mg/kgBB IV, induksi 0,2-0,4
mg/kgBB IV.
Efek pada kardiovaskular: tekanan darah menurun akibat vasodilatasi perifer
di mana cardiac output tidak berubah.
Efek pada ventilasi: depresi nafas minimal
17
Page 18
Efek pada SSP: menurunkan aliran darah ke otak
c. Obat analgetik
Fentanyl
Merupakan obat narkotik sintetik yang paling banyak digunakan dalam
praktik anestesi. Mempunyai potensi 1000 kali lebih kuat dibanding petidin
dan 50-100 kali lebih kuat dibanding morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa
kerjanya pendek.
Penggunaan: 1 – 2 µg/kgBB
Efek pada SSP: menurunkan kesadaran dan pada dosis lebih tinggi akan
menyebabkan depresi nafas.
Efek pada kardiovaskular: hipotensi, bradikardi
Efek pada respirasi: depresi nafas
Efek pada gastrointestinal: mual, muntah, pengosongan lambung terlambat,
spasme traktus biliaris.
2. Induksi Intravena
Indikasi anestesi intravena:
Alternatif dari anestesi inhalasi
Sedasi pada anestesi regional
ODS (One Day Surgery)
Situasi sulit dilaksanakan anestesi inhalasi karena tidak ada N2O
Anestesi intravena yang ideal:
Larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan.
Mulai kerja cepat, lama kerja pendek
Tanpa efek eksitatori
Punya efek amnesia dan analgesik
Menghasilkan pemulihan yang cepat
Tanpa efek samping (mual dan muntah)
Depresi respirasi dan kardiovaskular minimal pada dosis klinis
18
Page 19
a. Propofol
Merupakan derivat fenol, berupa cairan putih seperti susu, tidak larut di
dalam air dan bersifat asam.
Farmakodinamik: OOA 30 detik, DOA 5-10 menit, tidak bersifat histamine
release, dapat melewati plasenta tapi dapat dikeluarkan dengan cepat dari
sirkulasi neonatus. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri.
Mekanisme kerja: menghasilkan efek hipnotik sedatif melalui interaksi
dengan GABA.
Penggunaan klinis: dosis 2-2,5 mg/kgBB untuk induksi, 6-10 mg/kgBB/jam
sebagai maintenance, pada manula dosis dikurangi.
Efek pada kardiovaskular: menyebabkan penurunan resistensi vaskular
sistemik dan juga tekanan darah. Relaksasi otot-otot polos pada pembuluh
darah disebabkan oleh inhibisi simpatik. Penurunan tekanan darah dapat
berlebihan pada pasien hipovolemik, pasien tua dan pasien penurunan fungsi
ventrikel kiri yang disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Dapat
menyebabkan hipotensi, aritmia, bradikardi, takikardi.
Efek pada respirasi: menimbulkan depresi nafas yang beratnya sesuia dengan
dosis yang diberikan.
Efek pada SSP: penurunan kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat
ini secara IV.
b. Ketamine
Merupakan derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kateleptik di mana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesik yang sangat baik. Menyebabkan delirium dan
halusinasi.
Indikasi:
Pembedahan singkat dan indikasi pada penderita dengan tekanan darah yang
rendah
Penderita yang berisiko seperti asma
19
Page 20
Untuk analgesik dan anestesi pada obstetrik
Farmakokinetik: daya larut dalam lemak tinggi membuat transfer obat ini
melewati sawar darah otak dan menghasilkan anastesi, absorbsi cepat
terutama jaringan kaya darah.
Penggunaan klinis: induksi dicapai dengan dosis 1-3 mg/kgBB IV, 9-11
mg/kgBB IM, OOA 30 detik IV, DOA 10-20 menit.
Kontraindikasi:
Hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg ke atas
Pasien preeklampsia dan eklampsia
TIK tinggi
Penyakit jantung dan kelainan pembuluh darah otak.
Efek pada kardiovaskular: TD meningkatkan 20-40 mmHg, denyut jantung
juga meningkat, hal ini terjadi karena stimulasi pada pusat simpatis dan
depresi pada baroreseptor.
Efek pada respirasi: tidak terjadi depresi nafas kecuali pada dosis besar,
mempunyai efek bronkodilator.
Efek pada SSP: merupakan vasodilator serebral yang poten sehingga
meningkatkan aliran darah ke otak dan TIK.
Terapi Cairan
Komposisi Cairan Tubuh
Komposisi cairan dalam tubuh manusia berbeda-beda sesuai dengan
rentang usia tertentu yaitu sebagai berikut :
1) Bayi premature : 80 % dari berat badan
2) Bayi normal : 70- 75 % dari berat badan
3) Sebelum pubertas : 65-70 % dari berat badan
4) Orang Dewasa : 50-60 % dari berat badan
Proses pertukaran cairan antara komponen intraseluler dan
ekstraseluler terjadi akibat perbedaan kadar osmolaritas diantara kedua
20
Page 21
komponen tersebut. Pada kompartemen ekstraseluler tersebut, proses
pertukaran cairan antara interstisial dan plasma (vascular) dapat terjadi
dengan menembus endothelium vaskuler dan dipengaruhi oleh perbedaan
antara tekanan onkotik dan hidrostatik
Cairan dalam plasma sangat berperan dalam menjaga oksigenasi dan
perfusi terutama ke organ-organ vital dan jaringan perifer. Prinsip resusitasi
cairan adalah sebagai transport oksigen ke organ organ vital. Sedangkan
apabila terjadi, kehilangan darah ataupun plasma secara masif, maka dapat
menyebabkan cardiac output dan oksigenasi ke jaringan perifer semakin
berkurang. Sedangkan cairan interstisial dapat berfungsi sebagai “cadangan”
saat cairan pada plasma semakin berkurang, yang pada prinsipnya harus
tercapai kondisi keseimbangan antara cairan interstisial dan cairan plasma.
Sehingga apabila terjadi deficit cairan pada plasma, maka akan segera di
“cover” oleh cairan interstisial dalam waktu dekat.
Jenis Cairan dan Transfusi
1) Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid yang didalamnya terkandung air dan berbagai
elektrolit yang memiliki karakteristik isotonik dengan cairan ekstraseluler.
Cairan kristaloid akan terdistribusikan di dalam rongga ekstrasel, sesuai
dengan lokasi beradanya natrium. Sekitar 1/3 cairan kristaloid tetap berada
dalam vascular, sedangkan sisanya akan masuk ke dalam rongga interstisial.
Cairan kristaloid bertahan didalam intravascular 20-30 detik. Cairan
kristaloid memiliki massa molekular yang lebih rendah dibandingkan dnegan
koloid. Cairan kristaloid yang lebih sering digunakan untuk mengganti
cairan yang hilang adalah ringer laktat karena, cairan ringer laktat meskipun
memiliki sifat hipotonik tetapi cenderung menurunkan kadar sodium. Laktat
dalam cairan akan mengalami perubahan menjadi bikarbonat yang berfungsi
sebagai buffer didalam darah.
21
Page 22
Terdapat beberapa jenis cairan kristaloid antara lain sebagai berikut :
1) Ringer Laktat
Secara garis besar, larutan ringer memiliki karakteristik yang hampir
sama dengan cairan NaCl, namun larutan ringer ini memiliki kandungan
natrium dan klorida yang lebih sedikit serta terdapat kandungan kalium,
magnesium dan kalsium.
2) Natrium Klorida (NaCl)
Penggunaan cairan NaCl ini harus sesuai dengan kadar yang
dibutuhkan, dapat menyebabkan asidosis metabolic sebagai akibat dari
kandungan klor nya. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke ginjal. Sehingga mempengaruhi pada penurunan
laju filtrasi glomerulus. Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement
therapy) untuk kasus : kadar Na rendah, keadaan dimana RL tidak cocok
untuk digunakan seperti pada alkalosis dan retensi kalium, cairan pilihan
untuk kasus trauma kepala, dipakai untuk mengencerkan sel darah merah
sebelum transfusi. NaCl memiliki kekurangan yaitu tidak mengandung
HCO3-, tidak mengandung K+, kadar Na+ dan Cl- relative tinggi sehingga
dapat terjadi asidosis hyperchloremia, asidosis dilutional, dan hypernatremia.
3) Glukosa 5 %
Pemberian glukosa 5 % sama seperti dengan pemberian air karena
seluruh glukosa akan termetabolisme dan sisa air akan didistribusikan ke
seluruh kompartemen dan masuk ke intrasel.
22
Page 23
Gambar 2.3 Komposisi Cairan Kristaloid (Morgan,2013)
2) Cairan Koloid
Cairan koloid tidak dapat menembus membrane semipermeabel.
Karakteristik koloid menetap lebih lama dalam pembuluh darah jika
dibanding dengan cairan kristaloid dikarenakan tidak dapat disaring secara
langsung oleh ginjal. Koloid secara langsung dapat meningkatkan tekanan
osmotic dan dapat menarik cairan keluar dari rongga interstisial ke dalam
vascular. Koloid memiliki sifat sebagai pengganti komponen plasma yang
23
Page 24
bersifat sementara karena hanya dalam waktu yang singkat dalam sirkulasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berapa lama cairan koloid menetap dalam
vascular adalah tergantung pada berat dan ukuran molekul koloid. Koloid
memiliki waktu paruh yang lebih lama pada intravascular (3-6 jam) jika
dibandingkan dengan kristaloid (20-30 menit), sehingga lebih efektif dalam
mengembalikan volume intravascular dan curah jantung. Koloid juga dapat
meningkatkan transport oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi O2 serta
menurunkan laktat serum. Cairan koloid digunakan sebagai tambahan
kristaloid ketika dibutukan pengganti cairan lebih dari 3-4 L sebelum
mendapatkan tranfusi.
1. Blood-derived coloid
a. Albumin
b. Fraksi Protein Plasma
2. Sintetik
a. Dextrose starches
Dextran terdiri dari dextran 70 (macrodex) dan dextran 40 (Rheomarcodex).
Dextran 70 memiliki kemampuan untuk pengembangan volume tetapi dapat
menurunkan viscositas darah senhingga aliran darah mikrosirkulasi lebih
bain dibandingkan dengan dextran 40. Dextrose starches dapat membuat
alergi.
b. Gelatin
Dapat membuat alergi karena gelatin memicu pelepasan histamin didalam
tubuh.
c. Hetastarch
Molekul starch berasal dari tumbuhan. Molekul kecil starch akan diekskresi
di ginjal, sementara sebagian besar yang lain akan di pecah oleh amilase.
Hetastarch sangat efektif digunakan untuk plasma expander dan lebih murah
daripada albumin. Hetastarch juga nonantigenik dan jarang menyebabkan
reaksi anafilaktik.
24
Page 25
3) Cairan Nutrisi
Termasuk dalam salah satu bagian dari terapi rumatan/maintenance,
yang bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi
sehingga tercukupi kebutuhannya. Pada umumnya diberikan dengan
kecepatan rumatan sekitar 80 mL/jam. Cairan nutrisi terdiri dari amiparen,
aminovel-600, pan-amin G, Ka-en MG 3, Martos 10, Triparen
Prinsip Dasar Terapi Cairan
Intravenous Fluid Therapy (IVFD) bertujuan agar tercapai
keseimbangan antara input dan output cairan serta meminimalisir potensi
kehilangan cairan yang dapat terjadi. Secara umum, penggunaan cairan
intravena memiliki fungsi sebagai resusitasi, rumatan (maintenance), serta
replacement dan redistribusi.
1) Resusitasi
Resusitasi cairan diperlukan jika terjadi defisit/kehilangan cairan
yang signifikan sehingga mempengaruhi kondisi hemodinamik tubuh
manusia. Pada dasarnya, resusitasi cairan ini berfungsi untuk
memaksimalkan perfusi nutrisi dan oksigen ke jaringan perifer dengan cara
meningkatkan volume intravascular.
Terdapat beberapa indikator khusus untuk memulai resusitasi cairan, antara
lain sebagai berikut :
- Tekanan darah sistolik <90 mmHg dan/atau mean arterial pressure (MAP) <
60 mmHg
- Pengisian kapiler > 2 sekon dan akral dingin
- Denyut nadi > 100 kali per menit
25
Page 26
- Nafas >20 kali per menit
2) Rumatan/Maintenance
Cairan rumatan/maintenance berfungsi untuk mencukupi kebutuhan
cairan dan elektrolit yang tidak dapat terpenuhi melalui asupan oral ataupun
enteral. Pemberian cairan rumatan dengan ketentuan sebagai berikut
:
- Kebutuhan cairan rumatan berkisar antara 25-30 mL/kgBB/hari
- Kebutuhan K, Na, Cl sekitar 1 mmoL/kgBB/hari
- Kebutuhan glukosa 50-100 gr/hari untuk mencegah ketosis
- Pada pasien obesitas, pemberian cairan rumatan/maintenance mengikuti
berat badan ideal
- Pemberian cairan tidak melebihi 30 mL./kgBB/hari
Berikut adalah jenis cairan rumatan yang biasanya digunakan :
1) Ringer laktat/asetat
2) Nacl 0,9 % hanya untuk rumatan pada kehilangan cairan yang tinggi
kandungan Nacl dari saluran cerna ataupun ginjal
3) Glukosa 5 %
4) Glukosa saline (campuran glukosa 5 % dengan NaCl)
3) Penggantian/Replacement dan Redistribusi
Penggantian cairan dilakukan jika terdapat deficit cairan dan/atau
elektrolit atau kehilangan cairan ke luar tubuh yang sedang berlangsung.
Biasanya kehilangan cairan berasal dari traktus gastrointestinal atau traktus
urinarius
Darah dan Komponen darah
Berikut ini adalah gambaran volume darah pada masing-masing individu,
berdasarkan persentase berat badan adalah :
26
Page 27
1. Laki-laki : 7,5 % BB = 75 cc/kgBB
2. Perempuan : 6,5 % BB= 65 cc/kgBB
3. Bayi/ neonatus : 8,5 % BB = 85 cc/kgBB
Whole blood
Whole blood menempati 8 % dari berat badan manusia. mayor perdarahan
>1500 ml. Pada orang dewasa diberikan bila kehilangan darah lebih dari 15-
20 % volume darahnya, sedangkan pada bayi lebih dari 10 % volume
darahnya.
Indikasi whole blood
1. Pasien pada keadaan hipovolemia yang disebabkan oleh perdarahan masif
2. Trauma masif
3. Emergensi obstetrik
PRC (Packed Red Blood Cells)
PRC dipersiapkan melalui proses sentrifugasi dari whole blood dengan
membuang 250 ml plasma. Satu unit RBC dapat meningkatkan hemoglobin
1 g / dl (10 g/ L) dan hematokrit 3 %. dimana supernatant (trombosit yag
kayak akan plasma) dihilangkan. Keuntungannya bisa meningkatkan daya
angkut oksigen tanpa menambah beban volume darah. Dari setiap unit PRC
terdiri dari :
1. Hematokrit (55-75%)
2. Hemoglobin (20 g/dl)
3. Volume (150-200 ml)
4. Disimpan pada suhu 2-6 derajat celsius
5. Harus ditranfusikan dalam 4 jam pada keadaan hangat
27
Page 28
Indikasi dari pasien Packed Red Cells
a. Pada pasien yang dirawat, tranfusi PRC dibutuhkan ketika hb< 7g/dl
b. Pada periode perioperatif, apabila Hb 7 g/ dl, transfusi PRC sangat
dibutuhkan. Apabila Hb 7-10 g/dl, tranfusi PRC dapat dapat dilakukan
apabila pada kondisi tertentu seperti, iskemia organ, ada risiko kehilangan
darah yang besar, faktor risiko terjadinya komplikasi karena inadekuat
oxygenasi.
c. Bedah mayor kehilangan darah > 20 % volume darah
Volume darah yang diberikan =
volume darah pasien x kenaikan Hb yangdiinginkanHb darah yang diberikan
Catatan : Hb darah normal (donor) = 12 g %
Hb darah PRC = 24 g %
Plasma
Fresh Frozen Plasma
Fresh frozen plasma dibentuk dengan memisahkan cairan dari darah
kemudian dibekukan. Frozen plasma terdiri dari :
a. Faktor pembekuan, imunoglobulin, dan albumin
b. Volume 200-300 ml/ unit
Indikasi
1. Perdarahan aktif dengan kejadian koagulopathi sebelumnya (INR>2,
prothrombin time > 1.5 atau activated partial thromboplastin time (APTT) 2
kali normal
2. Kerusakan hati dengan koagulopathy
28
Page 29
3. Efek warfarin
4. DIC
5. Penggantian dari defisiensi salah satu faktor ( misal:faktor XI)
6. Terapi prophilaksis pada pasien yang sedang dibedah atau mengalami
prosedur invasif tetapi dengan koagulopathy
FFP yang ditransfusikam adalah 10-15 ml/ kg. Target dari INR harus < 1.7
atua PT <1.5 atau APTT harus < 2 x normal.
Trombosit
Indikasi :
1. Perdarahan aktif dan jumlah trombosit < 50.000/ μl
2. Perdarahan aktif dan terjadi defek pada trombosit
3. Pasien hematologi dengan perdarahan aktif, penyakit autoimun trombosir,
dangue, malaria.
Pasien onkologi :
1. Jumlah trombosit < 10.000/ μl pada pasien stabil
2. Jumlah trombosit < 20.000/ μl pada pasien dengan faktor risiko
Pembedahan atau prosedur invasif.
1. Jumlah trombosit < 50.000 / μl pada prosedur dengan risiko perdarahan
minimal.
2. Jumlah trombosit < 100.000 / μl pada operasi CNS, ophthalmologi dimana
perdarahan mikrovaskular dapat terjadi.
Tranfusi 1-2 unit adekuat untuk mengontrol perdarahan.
Cryoprecipitate
29
Page 30
Dipersiapkan dengan cara mencairkan FFP dan mengumpulkan presipitat.
Cryoprecipitat terdiri dari konsentrasi faktor VIII dan fibrinogen. Setiap unit
dari cryoprecipitat akan meningkatkan kadar fibrinogen level 5-10 mg/ dl
(0.15 to 0.29 µmol per L), dengan tujunan untuk menjaga fibrinogen level
setidaknya 100 mg/ dl (2.94 mmol per L). Dosis untuk dewasa biasanya 10
unit cryoprecipitat.
Tata Cara Tranfusi
Transfusi darah harus dimulai pada waktu 30 menit. Apabila tidak digunakan
dalam waktu tersebut, harus disimpan dalam penyimpanan dengan suhu 2
derajat celsius hingga 6 derajat celsius
Cek identitas pasien dan kantung darah sebelum tranfusi
Menentukan kecepatan tranfusi
Kecepatan tranfusi berbeda dari 3-5 ml/ kg/ jam dan meningkat pada
individu yang sedang hipovolemik syok.
Lihat kadaluarsa dari komponen darah
30
Page 31
Aspek lain pada tranfusi darah
Penghangat darah
Tidak ada bukti apakah menghangatkan darah memiliki efek yang baik pada
pasien ketika tranfusi berlangsung lambat. Ketika kecepatan tranfusi
dilakukan lebih dari 100 mL/ menit, darah yang dingin dapat menjadi faktor
yang mengkontribusikan cardiac arrest. Membuat pasien hangat lebih
penting daripada membuat darah hangat.
Darah yang hangat dibutuhkan apabila:
1. Dewasa : 50 mL/Kg/ Jam
2. Anak : 15 mL/kg/ jam
Darah hanya dihangatkan menggunakan penghangat darah.
Darah jangan dihangatkan di mangkok panas dan dapat menyebabkan
hemolisis dari sel darah dan berbahaya untuk tranfusi
2.12 Syok Hipovolemik
Sindrom klinis akibat perfusi jaringan yang tidak adekuat sehingga
suplai oksigen tidak mencukupi untuk proses metabolic normal akibat
penurunan volume intravascular secara signifikan
2.12.1 Kriteria Syok
Pemeriksaan Klinis :
- Perubahan status mental : gelisah, agitasi, letargi
- Tekanan darah sistolik < 110 mmHg
- Takikardia > 90 x/menit
- Frekuensi nafas <7 atau > 29 kali/menit
- Urine output < 0,5 cc/kgBB/jam
31
Page 32
2.12.2 Patofisiologi
1) Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sehingga dapat
menyebabkan perfusi jaringan (apabila lebih lanjut akan menyebabkan
gangguan seluler). Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi
untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan
aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan
konservasi air. pada Pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan frekuensi
dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan
peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar.
2) Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi
kebutuhan tubuh. Tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun,
hipoksia jaringan semakin signifikan, gangguan seluler, metabolisme
terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian
sel. Hipoksia jaringan juga dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari
aerobik menjadi anaerobik. Pada akhirnya dapat menyebabkan asidosis
metabolic akibat peningkatan asam laktat
3) Fase Irevesibel
Kerusakan seluler dan sirkulasi yang berlangsung lama sehingga tidak
dapat terkompensasi lagi. Pada akhirnya menyebabkan kekurangan oksigen
pada jaringan sehingga mempercepat timbulnya ireversibilitas syok, dan
dapat menyebabkan multiorgan damage/failure.
2.12.3 Tanda dan Gejala Klinis
1) Stadium awal (<20 % volume darah)
Pasien dapat menunjukkan gejala perubahan tingkat kesadaran, kulit dingin,
hipotensi ortostatik, takikardia ringan
32
Page 33
2)Stadium hipovolemia sedang (20-40 % volume darah)
Pasien menjadi gelisah, agitasi, dan takikardia serta sering ditemukan gejala
hipotensi postural
3)Stadium hipovolemia berat (40 % volume darah)
Tekanan darah semain menurun, takikardia semakin dominan, oligouria,
agitasi atau confusion
33
Page 34
2.5 Laparoskopi
Anestesi pada Bedah Laparoskopi
Bedah laparoskopi adalah teknik operasi abdomen dengan prinsip minimal
invasif, dan secara luas telah digunakan dalam ilmu bedah. Keuntungan dari
laparoskopi dibandingkan dengan operasi abdomen terbuka antara lain trauma
bedah berkurang, nyeri berkurang, komplikasi paru pasca operasi lebih sedikit,
dan waktu pemulihan lebih pendek. Kerugian laparoskopi ini meliputi waktu
operasi yang lebih lama dan memerlukan peralatan yang lebih mahal dan
canggih.
Operasi laparoskopi rutin dilakukan dengan anestesi umum. Kemudian
dilanjutkan dengan dekompresi dari saluran gastrointestinal (GI), relaksasi otot
yang memadai, pneumoperitoneum, dan posisi Trendelenburg. Kondisi-kondisi
ini meningkatkan eksposur dari organ-organ perut dan mengurangi risiko
cedera mekanik operasi pada pasien. Namun, hal-hal ini dapat menyebabkan
perubahan patofisiologis spesifik dan berpotensi membahayakan pasien. Tujuan
dari ahli bedah adalah untuk beroperasi dengan aman dan tepat, sedangkan
tujuan dari anestesi adalah untuk membantu memperbaiki kondisi bedah bila
mungkin, mencegah efek samping, serta menjaga fungsi organ vital.
Pembentukan Kondisi Pembedahan
Untuk memberikan kondisi yang optimal untuk bedah laparoskopi, organ-
organ perut harus cukup terbuka, port laparascopic dan instrumen harus
dimasukkan dengan aman dan dalam posisi yang tepat . Hal ini dicapai dengan
dekompresi saluran pencernaan, anestesi umum, relaksasi otot,
pneumoperitoneum, dan posisi Trendelenburg .
Dekompresi saluran Gastrointestinal dimulai pre-operatif dengan persiapan
usus dan intraoperatif dengan orofaring tube atau nasogastric tube setelah
34
Page 35
induksi anestesi. Tindakan ini dapat mengurangi volume intraabdominal.
Tindakan ini juga diperlukan untuk dekompresi udara yang mungkin masuk
dari ventilasi masker selama induksi anestesi dan penting untuk mengurangi
risiko cedera lambung dari penyisipan jarum Veress (jarum yang digunakan
untuk menciptakan kondisi pneumoperitonium).
Dengan induksi anestesi, blokade neuromuskular bertujuan untuk
mengendurkan otot-otot dinding perut, sehingga memfasilitasi penempatan port
laparascopic dan induksi pneumoperitoneum. Blokade neuromuskular juga
mencegah gerakan pasien tiba-tiba yang dapat menyebabkan cedera struktur
intra-abdominal oleh instrumen laparaskopik. Pneumoperitoneum dilakukan
dengan insuflasi perut, umumnya dengan karbon dioksida (CO2) . Selanjutnya,
pasien diposisikan di Trendelenburg, sehingga isi perut jatuh dari perut bagian
bawah dan memperlihatkan organ panggul. Tindakan ini menyebabkan
sejumlah efek patofisiologis klinis relevan selama operasi.
Efek Fisiologis Bedah Laparoskopi
I. Sistem Kardiovaskular
Efek Hemodinamik Pneumoperitoneum
Gangguan hemodinamik selama laparoskopi secara umum disebabkan oleh
pneumoperitoneum. Pneumoperitoneum dilakukan dengan insuflasi perut
dengan tekanan 15-20 mmHg. Tekanan intra-abdomen (IAP) normal adalah 0-5
mmHg . Peningkatan IAP di atas 10 mmHg secara klinis signifikan, dan IAP
>15mmHg dapat mengakibatkan sindrom kompartemen abdominal, yang
mempengaruhi beberapa sistem organ. Manifestasi kardiovaskular dapat
dipahami melalui hubungan sederhana berikut, yang menyatakan faktor-faktor
penentu tekanan darah :
35
Page 36
Mean Arterial Pressure (MAP) = Cardiac Output (CO) x Systemic Vascular
Resistance (SVR)
Pneumoperitoneum menyebabkan peningkatan SVR dan penurunan CO.
Namun, MAP meningkat secara keseluruhan karena peningkatan SVR melebihi
penurunan CO. Efek ini sebanding dengan peningkatan IAP . Mekanisme untuk
meningkatkan SVR adalah kompresi dari organ-organ perut dan pembuluh
darah. Resistensi pada arteri meningkat karena faktor mekanis dan
neurohumoral (pelepasan katekolamin dan vasopressin dan aktivasi sistem renin
-angiotensin). Penurunan di CO disebabkan oleh penurunan venous return
(penurunan preload jantung) dari kompresi vena cava inferior, dari peningkatan
resistensi dalam sirkulasi vena, dan dari hipovolemia karena persiapan
praoperasi usus. CO biasanya menurun dari 10-30 %. Namun, meskipun
terdapat penurunan volume darah intrakardia, tekanan pengisian intrakardia
mungkin meningkat karena tekanan melalui diafragma ke jantung. Terdapat
efek analag dalam sirkulasi paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan
resistensi vaskuler paru (PVR) dan penurunan CO ke paru-paru.
Pasien sehat memiliki toleransi terhadap efek hemodinamik ini dengan baik.
Beberapa studi menunjukkan bahwa perfusi organ akhir dapat dipertahankan
dengan baik meskipun CO menurun. Namun, pasien dengan penyakit jantung
mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi. Pasien dengan penurunan volume
intravaskular memiliki toleransi yang paling buruk. Untuk meminimalkan efek
ini, digunakan tekanan insuflasi terendah untuk mencapai paparan bedah yang
adekuat. Idealnya, tekanan insuflasi harus kurang dari 15 mmHg . Peningkatan
SVR dapat diatasi dengan vasodilator, alpha-2 agonis sentral, atau opioid.
Penurunan venous return dan CO dapat dicegah dengan loading cairan
intravena sebelum induksi pneumoperitoneum.
36
Page 37
Efek Hemodinamik Posisi
Pada posisi terlentang dan kondisi tidak adanya pneumoperitoneum, posisi
Trendelenburg umumnya meningkatkan venous return dan CO. Namun, dengan
adanya pneumoperitoneum, venous return dan CO menurun secara keseluruhan.
Jika pasien diposisikan Trendelenburg yang ekstrim dapat menyebabkan
penurunan venous return dari kepala, sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dan intraokuler. Jika posisi ini dipertahankan dalam durasi
yang lama dapat menyebabkan edema serebral dan ablasi retina. Karena
stagnasi vena, mungkin terjadi sianosis dan edema pada wajah dan leher. Posisi
head-up (reverse Trendelendburg) mengurangi venous return, yang dapat
menyebabkan penurunan CO dan tekanan arteri. Posisi litotomi akan
menginduksi auto-transfusi dengan mendistribusikan darah dari pembuluh
darah ekstremitas bawah ke dalam kompartemen tubuh sentral, yang akan
meningkatkan preload jantung.
Komplikasi Kardiovaskular
Bradiaritmia, disritmia, dan bahkan asistole dapat terjadi selama penyisipan
port laparoskopi atau selama insuflasi perut. Peregangan peritoneum mendadak
dapat memicu peningkatan tonus vagal yang mendadak, refleksif, dan dalam.
Insuflasi CO2 secara lambat dapat mengurangi risiko aritmia. Pemberian obat
antikolinergik dianjurkan pada kasus bradiaritmia. Jika aritmia berlanjut,
operasi dapat dihentikan dan penumoperitonium dihilangkan.
Paru dan Sistem Pernapasan
Pneumoperitoneum
Pneumoperitoneum menyebabkan tekanan pada rongga thorax. Tekanan ke
atas mengangkat diafragma, kompresi paru-paru, dan menghambat ekspansi
37
Page 38
paru-paru dan rongga dada (mengurangi compliance thoracopulmonar).
Terdapat 2 implikasi paru dari efek mekanik ini.
Pertama, kompresi paru-paru menyebabkan penurunan kapasitas residual
fungsional (FRC), yaitu, volume gas yang tersisa di paru-paru setelah
pernafasan normal. Kondisi ini memperparah penurunan FRC yang biasanya
terjadi di bawah anestesi umum. Penurunan End-expiratory Lung Volume ini
tidak cukup untuk mempertahankan patensi alveoli sehingga menyebabkan
atelektasis. Atelektasis mengubah kondisi normal ventilasi dan perfusi. Area
paru yang atelektasis memiliki ventilasi yang rendah sehingga menyebabkan
hipoksemia. Pasien yang lebih tua sangat beresiko atelektasis, karena End-
expiratory Lung Volume minimum yang diperlukan untuk mencegah atelektasis
(closing capacity) meningkat seiring dengan usia. Positive End Expiratory
Pressure (PEEP) dapat mengurangi penurunan FRC dengan membuka alveoli
yang stenting pada akhir ekspirasi.
Kedua, pneumoperitoneum menyebabkan ventilasi mekanis yang terkontrol
lebih sulit karena penurunan compliance thoracopulmonary. Tekanan udara
yang lebih besar diperlukan untuk menghasilkan volume tidal yang cukup.
Sebaliknya, semakin besar volume tidal mekanik yang diberikan akan
menghasilkan tekanan udara yang lebih tinggi. Tekanan ini memberikan efek
hemodinamik yang sebanding dengan peningkatan IAP. Kondisi ini mungkin
akan diperburuk oleh posisi Trendelenburg dan kondisi yang mengakibatkan
penyakit paru restriktif (obesitas). Compliance thoracopulmonary mungkin
akan menurun hingga 50 % selama pneumoperitoneum.
Pneumoperitoneum selanjutnya menyebabkan hiperkapnea dari penyerapan
sistemik CO2. CO2 adalah gas yang paling sering dipilih untuk insuflasi
peritoneal. CO2 adalah pilihan yang nyaman karena mudah diserap ke dalam
darah, di-buffer oleh buffer fisiologis (bikarbonat), dan mudah dihilangkan
melalui sistem pernapasan. Pada laparoskopi, tekanan parsial CO2 arteri
38
Page 39
(PaCO2) meningkat pada induksi pneumoperitoneum 15-30 menit kemudiandan
mencapai keseimbangan. Derajat hiperkapnea tergantung pada tekanan CO2
insuflasi, tetapi dalam kasus rutin dengan anestesi umum dan ventilasi mekanik
yang dikontrol, hiperkapnea mudah dikelola dengan meningkatkan ventilasi
alveolar sebesar 10-25 %. Dalam kasus di mana tingkat hiperkapnea menjadi
tidak terkendali dengan hiperventilasi saja, pneumoperitoneum dapat dilepas
sementara untuk memungkinkan eliminasi CO2.
Posisi
Posisi kepala di bawah umumnya menurunkan FRC, volume paru-paru secara
keseluruhan, dan compliance paru-paru. Pasien morbidly obese akan memiliki
tekanan udara puncak yang lebih besar dan sering tidak dapat mempertahankan
posisi Trendelenburg dalam waktu lama. Meskipun operasi laparoskopi dapat
dilakukan pada pasien morbidly obese, setiap operasi harus dievaluasi secara
hati-hati untuk kelayakan keberhasilan dan potensi risiko.
Komplikasi Paru dan Respiratorik
Emfisema Subkutan CO2
Emfisema subkutan adalah komplikasi pernapasan yang paling umum selama
laparoskopi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan End-tidal CO2 (EtCO2) >25%
atau peningkatan yang terjadi > 30 menit setelah insuflasi. Emfisema subkutan
sering dapat teraba. Penyebabnya adalah insuflasi ekstraperitoneal dari CO2.
Meskipun dalam beberapa kasus hal ini tidak disengaja, dalam kasus lain
emfisema ini diperlukan untuk operasi struktur. Ekstraperitoneal. Kondisi
hiperkapnea yang mungkin terjadi dikelola dengan meningkatkan ventilasi
mekanis. Emfisema subkutan CO2 bukan merupakan kontraindikasi ekstubasi
pada akhir operasi asalkan kriteria ekstubasi lain tercapai.
Pneumotoraks
39
Page 40
Gerakan gas dari peritoneum ke dada dapat terjadi melalui locus minoris
diafragma. Pneumotoraks ini mungkin asimtomatik, atau bermanifestasi sebagai
peningkatan peak airway pressure, penurunan saturasi O2, dan hipotensi. Dalam
kasus yang parah, dapat terjadi hipotensi mendalam dan cardiac arrest.
Diagnosis dini dan pengobatan dapat menyelamatkan jiwa. Operasi harus
dihentikan dan pneumoperitoneum dilepaskan. Tindakan suportif harus
dilakukan sambil mengkonfirmasikan diagnosis, baik secara klinis atau dengan
foto thorax. Pneumotoraks dapat diatasi dengan kanula interkostal atau
thoracostomy tube. Setelah pasien stabil, pertimbangkan untuk beralih ke teknik
pembedahan terbuka.
Intubasi Endobronkial
Elevasi diafragma oleh pneumoperitoneum dapat mengubah posisi ETT dalam
trakea. Dalam beberapa kasus, paru-paru didorong ke arah kepala sehingga ETT
terdorong melebihi karina dan bronkus. Jika hal ini terjadi, hanya satu paru-
paru yang berventilasi. Paru-paru yang tidak berventilasi masih tetap
mendapatkan perfusi, dan menjadi sumber shunt intrapulmonar. Intubasi
endobronkial dicurigai bila ada penurunan saturasi O2 dan compliance paru.
Penurunan compliance terjadi karena volume udara pernapasan normal hanya
mencapai 1 paru. Diagnosis dikonfirmasi dengan auskultasi nafas yang tidak
simetris. ETT harus sedikit ditarik mengembalikan ventilasi ke 2 sisi paru.
Emboli Gas CO2
Emboli gas, meskipun jarang, memiliki tingkat kematian hampir 30% .
Hipotensi berat, aritmia, atau asistole dapat terjadi akibat sumbatan gas di vena
kava atau ventrikel kanan yang mengganggu sirkulasi. Penyebab utama adalah
40
Page 41
insuflasi intravaskular gas akibat penempatan jarum Veress atau Trocar yang
tidak tepat ke dalam pembuluh darah maupun parenkim organ. Faktor risiko
meliputi histeroskopi, hipovolemia, dan riwayat operasi perut sebelumnya.
Emboli gas yang paling sering terjadi pada induksi pneumoperitoneum namun
dapat terjadi setiap saat selama operasi.
Manajemen Anestesi
Monitoring Pasien
Pemantauan standar pasien untuk laparoskopi meliputi EKG, monitor tekanan
darah non-invasif, pulse oximetry , kapnografi , dan termometer. Monitor
neuromuscular junction dapat digunakan untuk memastikan relaksasi otot yang
memadai. Airway Pressure Monitor secara rutin digunakan selama ventilasi
mekanikal, dan dapat membantu deteksi IAP, intubasi endobronkial, atau
bahkan anestesi tidak memadai. Pemantauan tekanan darah invasif dan analisis
gas darah harus dipertimbangkan pada pasien dengan usia lanjut atau dengan
komorbid kardiopulmonar.
Teknik Anestesi
Berbagai macam teknik anestesi telah digunakan untuk prosedur laparoskopi.
Meskipun anestesi umum dengan intubasi endotrakeal paling rutin digunakan
dan dianggap teknik anestesi paling aman, anestesi lokal dan regional juga telah
digunakan secara aman untuk operasi laparoskopi.
Pilihan agen maintenance lebih pada short-acting seperti Sevofluran, Desfluran,
dan Propofol . Karena operasi laparoskopi umumnya telah dilakukan dengan
intubasi trakea dan ventilasi terkontrol, maka short atau intermediate-acting
neuromuscular blocker harus diberikan berdasarkan durasi operasi. Anestesi
umum dapat dilakukan tanpa intubasi dengan aman dan efektif dengan
Laryingeal Mask Airway pada pasien non-obesitas. Perhatian harus diberikan
pada pasien dengan airway pressure tinggi (>30 cmH2O) atau bila pasien
41
Page 42
direncanakan head-down ekstrim. Obat reversal seperti Neostigmin dan
Glycopyrrolate belum terlibat dalam PONV. Anestesi regional (spinal,
epidural) dapat digunakan dalam prosedur laparoskopi (diagnostik, infertilitas,
dan sterilisasi tuba).
42
Page 43
BAB III
ILUSTRASI KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. EO
No. RM : 01369510
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Cipencang No. 107 RT 002 RW 001
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Pasien dengan apendisitis kronis akan dilakukan apendiktomi per laparoskopi
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merasakan nyeri pada perut kanan bawah sejak 2 bulan yang lalu. Pada
awalnya pasien merasa nyeri pada perut bagian tengah. Kemudian menjalar ke
perut bagian kanan bawah dan menjalar ke belakang perut. Rasa sakit ini baru
pertama kali dirasakan pasien. Pasien sebelumnya pernah diberikan obat
pereda nyeri di Rumah Sakit Hermina, namun pasien merasakan nyeri
berulang dan dirujuk ke Rumah Sakit Fatmawati.
Riwayat penyakit yang sedang diderita :
- Alergi (-) - Diabetes mellitus (-)
- Asma (-) - Gangguan pembekuan darah (-)
- Hipertensi (-)
Riwayat Obat-Obatan :
- Alergi obat (-)
- Konsumsi Obat : (-)
43
Page 44
Riwayat Anestesi :
- Pasien belum pernah di operasi
3. Pemeriksaan Fisik
- Tanda vital :
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Berat Badan : 51 kg
Tinggi Badan : 147 cm
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Suhu : 36.5 0C
Nadi : 80 x/m
RR : 18 x/m
- Mallampati Score : grade I
- Kesulitan Intubasi : Tidak ada
- Jantung : Ictus cordis tidak terlihat, batas jantung paru dalam
batas normal, bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : Gerakan dada simetris statis dan dinamis, vocal
fremitus simetris, ronkhi (-), wheezing (-)
- Abdomen : Kenyal, edema (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan (+), massa (-), BU (+, normal)
- Ekstremitas : dalam batas normal
- Status neurologis : dalam batas normal
4. Pemeriksaan laboratorium (26/06/2015 pukul 02.19 WIB)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hematologi
Hemoglobin 13.2 g/dL 11.7 – 15.5
Hematokrit 40 % 33-45
44
Page 45
Leukosit 6.9 Ribu/ul 5.0 - 10.0
Trombosit 285 Ribu/ul 150 - 440
Eritrosit 4.62 Juta/ul 3.80 – 5.20
LED 41 mm 0.0 – 20.0
VER/HER/KHER/RDW
VER 86.7 fl 80.0 – 100.0
HER 28.5 pg 26.0 – 34.0
KHER 32.9 g/dl 32.0 – 36.0
RDW 13.5 % 11.5 – 14.5
HITUNG JENIS
Basophil 0 % 0 – 1
Eosinofil 4 % 1 – 3
Netrofil 64 % 50 – 70
Limfosit 23 % 20 – 40
Monosit 6 % 2 – 8
Luc 3 % <4.5
HEMOSTASIS
APTT 30.1 Sec 26.3 – 40.3
KONTROL APTT 30.7 Sec -
PT 11.8 Sec 11.5 – 14.5
KONTROL PT 13.6 Sec -
INR 0.83 - -
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT 19 U/l 0 - 34
SGPT 10 U/l 0 - 40
45
Page 46
FUNGSI GINJAL
Asam urat Darah 4.4 Mg/dl <7
Ureum Darah 17 Mg/dl 20 – 40
Kreatinin Darah 0.7 Mg/dl 0.6 – 1.5
DIABETES
Gula Darah Puasa 88 Mg/dl 80 – 100
Gula Darah 2 jam PP 102 Mg/dl 80 – 145
LEMAK
Trigliserida 51 Mg/dl <150
Kolesterol Total 167 Mg/dl <200
Kolesterol HDL 36 Mg/dl 37 – 83
Kolesterol LDL 128 Mg/dl <130
ELEKTROLIT DARAH
Natrium (Darah) 138 mmol/l 135 – 147
Kalium (Darah) 3.80 mmol/l 3.10 – 5.10
Klorida (Darah) 107 mmol/l 95 – 108
SERO-IMUNOLOGI
Golongan Darah O (+)
Pemeriksaan Rontgen Thorax (01/07/2015)
Hasil Interpretasi :
- Mediastinum superior tak melebar
- Cor : Ukuran dan bentuk normal. CTR <50%, aorta baik.
- Pulmo : Kedua hilus tak menebal. Corakan bronkovaskuler dan
parenkim paru baik.
- Kedua sinus dan diafragma baik.
46
Page 47
Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal.
BAB IV
LAPORAN ANESTESI
Preoperatif
47
Page 48
Pasien dipuasakan selama 8 jam.
Keadaan Prainduksi
Anamnesis :
Pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi obat (-), hipertensi (-), DM (-), hilangnya
gigi (-), gigi palsu (-), masalah mobilitas leher (-), leher pendek (-), batuk (-), sesak
napas (-), sebelumnya menderita infeksi saluran napas atas (-), stroke (-), sakit dada
(-), denyut jantung tidak normal (-), mual/muntah (-), susah buang air kecil (-), kejang
(-), riwayat pingsan (-), obesitas (-).
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran composmentis, buka mulut >2 jari, jarak thyromental >3 jari, jalan napas
ETT, gerakan leher maksimal normal.
BB : 51 Kg
TB : 147 cm
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Hb : 13,2 g/dL
Status fisik ASA : I
Na/K/Cl : 138 / 3.80 / 107 mmol/l
Ur/Cr : 17/ 0.7 mg/dL
Keadaan Intraoperatif
Pasien dilakukan anestesi general. Operasi berlangsung selama 50 menit.
Tanggal/Jam : 29 Juli 2015/ 09.00
Diagnosis preoperatif : Apendisitis kronik
Rencana Tindakan : Laparoskopi + apendektomi
Jenis operasi : Elektif
Lama operasi : 50 menit
Lama anestesi : 1 jam 30 menit
Teknik anestesi : general anestesi
Premedikasi : Midazolam 5 mg, Fentanyl 150 mcg
48
Page 49
Induksi : Propofol 200 mg, Rocuronium 50 mg
Respirasi : Kendali, TV 451, RR 15 x/menit
Jalan napas : ETT ukuran 7.5 cuff
Posisi : Lateral Kiri
Infus : Tangan Kanan 20 G
Obat-obatan intravena: Dexamethasone 10 mg, Ondansenton 4 mg , Tramadol
100 mg.
Cairan infus : RL 1000 cc
Urin output : 150 cc
Pendarahan : 10 cc
Monitoring selama operasi
BAB V
ANALISA KASUS
49
Page 50
Perempuan, 37 tahun dengan apendisitis kronis yang akan dilakukan
apendiktomi per laparoskopi. Pasien mengalami peradangan pada bagaian apendiks
yang berfungsi sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi
immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh). Immunoglobulin sekretoal merupakan zat
pelindung yang efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan
immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah Ig-A. Sehingga
pasien merasakan nyeri pada perut kanan bawah sejak 2 bulan yang lalu. Kemudian
menjalar ke perut bagian kanan bawah dan menjalar ke belakang perut. Untuk itu
pada pasien harus segera dilakukan pembedahan, utnuk mencega terjadinya ruptur
(pecah), terbentuknya suatu abses atau peradangan pada selaput rongga perut
(peritonitis). Maka pada pasien dilakukan apendiktomi per laparoskopi.
Bedah laparoskopi adalah teknik operasi abdomen dengan prinsip minimal
invasif, dan secara luas telah digunakan dalam ilmu bedah. Keuntungan dari
laparoskopi dibandingkan dengan operasi abdomen terbuka antara lain trauma bedah
berkurang, nyeri berkurang, komplikasi paru pasca operasi lebih sedikit, dan waktu
pemulihan lebih pendek. Kerugian laparoskopi ini meliputi waktu operasi yang lebih
lama dan memerlukan peralatan yang lebih mahal dan canggih. Operasi laparoskopi
rutin dilakukan dengan anestesi umum.
Selama operasi laparoskopi, CO2 digunakan untuk membentuk
pneumoperitoneum, peningkatan tekanan intraperitoneum oleh CO2. Peningkatan dari
CO2 akan menyebabkan hiperventilasi sehingga menyebabkan gangguan
hemodinamik. Dan penumoperitoneum menghasilkan beberapa efek samping
terhadap sistem kardiovaskular. Level plasma katekolamin dan vasopresin meningkat
pada laparoskopi. Peningkatan level katekolamin mengaktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron dimana menyebabkan terjadinya perubahan hemodinamik
yang mencakup menurunnya kardiak output, peningkatan tekanan arteri dan
peningkatan resistensi vaskular pulmonal.
1. Induksi Intravena
Pasien Ny. E dengan berat badan 51 kg dilakukan tindakan laparoskopi
dengan apendektomi. Jenis pembedahan tersebut membutuhkan teknik general
50
Page 51
anestesi. Induksi anastesi merupakan tindakan membuat pasien sadar menjadi
tidak sadar. Induksi anastesi dapat dilakukan dengan cara intravena, inhalasi,
intramuskular atau rektal. Pada pasien ini sebelum dilakukan induksi secara
intravena diberikan premedikasi berupa:
- Fentanyl 2-4 mcg/kgBB efek analgesik untuk bedah dalam dan
lama
(2x51 – 4x51) = 102 – 204 mcg = 150 mcg = 3 cc
Kemudian dilakukan induksi secara intravena:
- Propofol 2 – 2,5 mg/kgBB pasien tidur
(2x51 – 2,5x51) = 102 – 127.5 mg = 120 mg = 12 cc
- Rocuronium 0,6 – 1 mg/kgBB relaksasi otot
(0,6x51 – 1x51) = 30,6 – 51 mg = 50 mg = 5 cc
Induksi disuntikkan dengan kecepatan 30 – 60 detik. Pada proses induksi
anestesi hal-hal yang dipantau, yaitu pernapasan, nadi dan tekanan darah.
Selama induksi pasien selalu diberikan oksigen.
Untuk maintenance pasien juga diberikan induksi inhalasi berupa Isofluran 1
– 2 MAC. Isoflurane dapat menyebabkan depresi kardiak minimal dan dilatasi
arteri koroner, menurunkan resitensi sistemik dan menurunkan tekanan darah.
Isoflurane juga merupakan bronkodilator yang baik.
Pemantauan durante operasi:
- Nadi: stabil
- Tekanan darah:
2. Terapi cairan
- Maintenance
10 kg pertama: 4 cc/kgBB = 4x10 = 40 cc
10 kg kedua: 2cc/kgBB = 2x10 = 20 cc
51
Page 52
BB>20kg: 1 cc/kgBB = 1x32 = 32 cc
M total = 40+20+32 = 92 cc/jam
- Pengganti cairan saat puasa
Pasien dipuasakan selama 8 jam
P = 8 x 92 = 736 cc
- Intraoperasi (O)
Pembedahan yang dilakukan merupakan pembedahan sedang = 4-6
cc/kgBB
O = 4 x 51 = 204 cc
1 jam pertama = M+1/2P+O = 92+736+204 = 1032cc/jam
1 jam kedua = M+1/4P+O = 92+368+204 = 664cc/jam
1 jam ketiga = M+1/4P+O = 92+368+204 = 664 cc/jam
Setiap 1 jam selanjutnya = M+O = 92+204= 296 cc/jam
Jadi, kebutuhan cairan pasien selama operasi 50 menit= 1032cc.
Cairan yang masuk:
- Ringer Laktat 1000 cc
Cairan keluar:
- Perdarahan = 10 cc
Total = 10 cc
Balans cairan = 1000-1032-10 = -42 cc
Estimated Blood Volume (EBV) = 70 x 51= 3570 cc
Allowable Blood Loss = EBVx (Ht pasien-Ht batas)/Ht pasien
= 3570 x (40-45) / 40 = 446,25 ml
BAB VI
KESIMPULAN
52
Page 53
Pasien Ny. EO datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah sejak 2
bulan yang lalu. Kemudian pasien di diagnosis apendisitis kronis, sehingga dilakukan
operasi apendiktomi per laparoskopi. Pada pasien memerlukan perhatian mengenai
ventilasi karena penggunaan CO2 selama laparoskopi yang akan menyebabkan
hiperventilasi dan mengganngu hemodinamik yang akhirnya akan menurunkan
cardiac output.
DAFTAR PUSTAKA
53
Page 54
1. Sartelli et al. World Journal of Emergency Surgery 2013. guidelines for
management of intra-abdominal infections. http://www.wjes.org/content/8/1/3
2. Wim de jong. Gawat Abdomen dalam buku ajar Ilmu bedah. 2011
3. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku
ajar ilmu bedah sjamsuhidayat-de jong. Ed 3. Jakarta: EGC. 2010.
4. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC.
2010.
5. Latief S, Suryadi K. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta:
FKUI. 2002.
6. Gerges FJ, Kanazi G, Jabbour-khoury S. Anesthesia for laparoscopy: a
review. J Clin Anesth. 2006;18:67-78.
7. Gutt CN, Oniu T, Mehrabi M et al. Circulatory and respiratory
complications of carbon dioxide insuflation. Dig Surg. 2004;21:95-105.
8. O’Malley C, Cunningham A. Physiology changes during
laparoscopy.Anesthesiol Clin North Am. 2001;19:1-19.
9. Smith I. Anesthesia for laparoscopy with emphasis on outpatient
laparoscopy. Anesthesiol Clin North Am. 2001;19:21-41.
10. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung Senapathi. Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reaminasi. Jakarta : Indeks Jakarta. 2010
54