POTRET ORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPEN BERHALA KARYA DANARTO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) Oleh: Nurul Hikmah (1113013000011) JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019
158
Embed
POTRET ORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50337/1/SKRIPS… · Kumpulan cerpen Berhala mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa pada
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
POTRET ORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPEN
BERHALA KARYA DANARTO DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DI SEKOLAH
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Oleh:
Nurul Hikmah
(1113013000011)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
i
ABSTRAK
Nurul Hikmah (NIM: 1113013000011). “Potret Orde Baru dalam Kumpulan
Cerpen Berhala Karya Danarta dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.
Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan potret Orde Baru pada kumpulan
cerpen Berhala karya Danarto. Penelitian yang dilakukan menggunakan tinjauan
sosiologi sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif. Hasil penelitian menemukan gambaran kondisi politik, sosial, dan
hukum yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada cerpen “Panggung” berupa
perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di antara keluarga pejabat. Pada
cerpen “Pundak yang Begini Sempit” berupa tindakan menghakimi para residivis
dengan cara melakukan penembakan dan dimasukkan ke dalam karung serta
dibuang begitu saja, lebih dikenal dengan kasus antara gabungan anak liar (Gali)
dan penembak misterius (Petrus). Pada cerpen “Gemertak dan Serpihan-Serpihan”
berupa tindakan persekongkolan untuk melakukan tindak kejahatan, dan fasilitas
mewah yang bisa didapatkan seorang narapidana di dalam penjara. Ketiga cerpen
tersebut memiliki kesamaan, yaitu melibatkan peran kekuasaan seseorang, konflik
yang memunculkan rasa dendam, serta prilaku saling mengkhianati. Analisis
potret Orde Baru dalam cerpen Berhala karya Danarto memiliki implikasi
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yaitu dalam
menganalisis isi dan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam cerpen.
Kata Kunci: Kumpulan Cerpen Berhala, Potret Orde Baru, Pembelajaran Sastra.
ii
ABSTRACT
Nurul Hikmah (NIM: 1113013000011). “Portrait of Orde Baru in Berhala
Collection Short Story by Danarto and Its Implication towards Indonesian
Language and Literature Learning in School.” Department of Indonesian
Language and Literature Education, Faculty of Science and Teaching, Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah
Haryanti, M. Hum.
The Study aims to describe portrait of Orde Baru in Berhala Collection Short
Story by Danarto. This research conducted using sociology of literature review.
The method that used in this research is descriptive qualitative. The results of the
study found an image of political conditions, social, and law that happened on
Orde Baru period. On the “Panggung” short story be in the form of corruption
behaviour, collusion, nepotism among the official’s family. On the “Pundak yang
Begini Sempit” short story in the form of judging recidivists by doing shooting
enterred in a sack and thrown away, better known with case between Freeman
gang and mysterious sniper. On the “Gemertak dan Serpihan-Serpihan” short
story in the form of conspiracy for doing criminal act, and lux facility which can
avalaible for criminal in the jail. The three short stories has similarity, that is to
involve the role of power someone, conflict that appear revenge, and behaviour to
betray each other. Analysis portrait of Orde Baru in Berhala short story by
Danarto has implication towards Indonesian language and literature learning at
school in analyzing content and social values that contained in the short story.
Keywords: Berhala Collection Short Story, Portrait of Orde Baru, Literature
Learning.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah yang tiada henti memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Potret Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen Berhala Karya Danarto dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah”. Salawat dan
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat,
serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis menyusun skripsi menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu
syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari
berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku dosen pembimbing dan Sekretaris
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah memberikan arahan, motivasi, dan saran saat penyusunan
skripsi ini;
4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta;
5. Teristimewa untuk keluarga tercinta. Kedua orang tua dan kerabat yang
tiada hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang, serta
memberikan dukungan baik moril dan material kepada penulis;
iv
6. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kawan-
kawan seperjuangan, adik-adik, dan kakak-kakak yang berproses
bersama;
7. Keluarga besar Mahasiswa Bidikmisi 2013 yang secara bersama-sama
berproses dan saling mendukung untuk menjadi mahasiswa berprestasi;
8. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan banyak pengalaman dan pelajaran
selama penulis menjadi pengurus dan ketua pada masa bakti tahun 2015
dan 2016;
9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) yang turut
mewarnai perjalanan dan pengalaman penulis;
10. Keluarga Besar Kahfi BBC Motivator School, khususnya kawan-kawan
angkatan 18 yang meski sebentar saya ikut belajar bersama, sangat
berkesan dan menambah pengalaman penulis;
11. Kawan-kawan dan kokolot Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek (DST),
Emperan Pamulang (Empang), dan para penggiat komunitas kesenian di
Tangerang Selatan, yang senantiasa mendukung, berbagi pengalaman,
dan mewarnai perjalanan penulis selama studi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
12. Keluarga Besar Ma’had Tarbiyatul Mubtadiin. Pejabat struktural, rekan-
rekan Asatidz/dzah, serta para santri yang memberikan dukungan, dan
turut mewarnai perjalanan penulis saat menyelesaikan studi;
13. Segenap kawan, sahabat, dan orang terkasih yang memberi warna
kebahagiaan pada perjalanan hidup penulis.
Tangerang, 01 Oktober 2019
Nurul Hikmah
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
LEMBAR UJI REFERENSI
ABSTRAK ............................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI.......................................................................................... v
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 3
C. Batasan Masalah ............................................................................ 4
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
G. Metodologi Penelitian ................................................................... 5
BAB II : KAJIAN TEORI .................................................................... 8
A. Cerita Pendek sebagai Karya Fiksi ................................................ 8
1. Definisi Cerita Pendek ............................................................ 8
2. Unsur-Unsur Cerita Pendek .................................................... 10
B. Pendekatan Sosiologi Sastra .......................................................... 18
1. Sosiologi Sastra ...................................................................... 18
2. Sejarah Sosiologi Sastra ......................................................... 19
3. Paradigma dan Langkah Kerja Sosiologi Sastra .................... 20
C. Potret Orde Baru ............................................................................ 22
1. Awal Orde Baru ...................................................................... 22
Rosdakarya, Cetakan ke-8 (2013)), h. 145. 3 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),
h. 3. 4 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), h. 46-47. 5 Dr. Juliansyah Noor, S.E., M.M., Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011), h. 138. 6Ibid.
7
Adapun teknik simak yang digunakan peneliti adalah dengan menyadap
penggunaan bahasa seseorang baik secara lisan maupun dalam bentuk tulis,
karena penelitian ini dihadapkan pada penggunaan bahasa bentuk tertulis,
maka penelitian ini menggunakan teknik catat. Peneliti mencatat berbagai
informasi yang relevan terkait analisis kumpulan cerpen Berhala karya
Danarto.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data dapat dikatakan sebagai kegiatan menata, menyusun dan
memberi makna pada kumpulan data yang ada. Jenis analisis data yang
dilakukan adalah metode kualitatif dengan penyajian deskriptif. Sehingga,
analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen Berhala
karya Danarto. Kegiatan yang dilakukan adalah membaca dan mencatat
kembali bentuk-bentuk yang relevan dengan penelitian. Kemudian
mengelompokkan teks-teks dalam kumpulan cerpen tersebut yang
mengandung unsur-unsur intrinsik cerpen berupa tema, tokoh dan
penokohan, plot, alur, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat.
b. Menganalisis hubungan sosial masyarakat dengan fakta sejarah pada
masa rezim Orde Baru pada kumpulan cerpen Berhala karya Danarto.
c. Mengimplikasikan analisis hubungan sosial masyarakat dengan fakta
sejarah pada masa rezim Orde Baru pada kumpulan cerpen Berhala karya
Danarto pada kegiatan pembelajaran materi sastra di sekolah. Langkah
terakhir adalah membuat kesimpulan dan saran dari seluruh hasil
penelitian.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Cerita Pendek sebagai Karya Fiksi
1. Definisi Cerita Pendek
Fiksi dapat diartikan sebuah cerita rekaan. Penyebutan untuk karya fiksi
biasanya ditujukan terhadap karya sastra yang berbentuk prosa naratif atau
biasa disebut teks naratif. Cerita pendek termasuk ke dalam sebuah karya sastra
fiksi sama halnya dengan novel. Cerita pendek disingkat cerpen, dalam bahasa
Inggris disebut short story. Pengertian tentang cerita pendek dikemukakan oleh
beberapa pakar sastra dan sastrawan.
H.B. Jassin dalam buku Tifa Penyair dan Daerahnya, mengemukakan
bahwa cerita pendek ialah cerita yang pendek. Cerita yang panjangnya sepuluh
atau dua puluh halaman bisa disebut cerita pendek, ada juga cerita pendek yang
panjangnya hanya satu halaman. Pengertian serupa dikemukakan oleh
Sumardjo dan Saini dalam buku Apresiasi Kesusastraan, dikemukakan bahwa
cerita pendek (atau disingkat cerpen) adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan
hanya melihat fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah
cerita yang pendek tersebut adalah cerpen.7
Sumardjo dalam Purba mengemukakan pengertian cerita pendek di
dalam bukunya Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Ia berpengertian bahwa
cerita pendek adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”.
Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk
pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15
halaman folio ketik.8
Dalam buku Cerita Pendek Indonesia, Rosidi dalam Purba memberi
pengertian dan keterangan tentang cerpen. Cerpen atau cerita pendek adalah
cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Dalam kesingkatan dan
kepadatannya itu, sebuah cerita pendek adalah lengkap, bulat dan singkat.
7 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cetakan kedua 2012), h.
49-50. 8 Ibid, h. 50.
8
9
Semua bagian dari sebuah cerpen mesti terikat pada suatu kesatuan jiwa:
pendek, padat, dan lengkap. Tak ada bagian-bagian yang boleh lebih atau bisa
dibuang.9
Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjiman dalam Purba menuliskan
pengertian cerita pendek. Ia berpengertian bahwa cerita pendek (short story)
adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan
memberikan kesan tunggal yang dominan. Cerita pendek memusatkan diri pada
satu tokoh dalam satu situasi pada satu ketika. Meskipun persyaratan itu tidak
terpenuhi, cerita pendek tetap memperlihatkan kepaduan sebagai patokan.
Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang
ditampilkan pada suatu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir dan
batin terlibat dalam satu situasi.10
Pendapat lain mengenai jumlah kata atau halaman diungkapkan oleh
Burhan Nurgiyantoro. Menurutnya, walaupun sama-sama pendek, panjang
cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story),
bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang
panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long
short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.
Cerpen yang panjangnya terdiri dari puluhan ribu kata tersebut, barangkali
dapat disebut juga sebagai Novelet.11
Satu yang terpenting, cerita pendek
haruslah berbentuk „padat‟. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit
ketimbang jumlah kata dalam novel.12
Dari beberapa definisi di atas, cerpen dapat diartikan sebagai karya fiksi
naratif dalam bentuk cerita yang pendek yang memiliki kebulatan ide,
kepadatan cerita yang memusatkan pada penggambaran situasi dan tokoh
dalam satu waktu.
9 Ibid, h. 50-51.
10 Ibid, h. 51.
11 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Edisi
Revisi 2013), h. 12. 12
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 76.
10
2. Unsur-Unsur Cerita Pendek
Sebuah karya prosa pada umumnya terbentuk dari dua unsur pembangun
karya, kedua unsur tersebut adalah unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur-
unsur yang secara langsung dan tak langsung turut serta membangun cerita.
Unsur tersebut dimaksudkan untuk mengkaji cerpen dan karya sastra pada
umumnya.
a. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra
itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem
organisme teks sastra.13
Keberadaan karya sastra tidak begitu saja
terbentuk tanpa keterlibatan penulis dan kehidupan penulis itu sendiri.
Rokhmansyah mengemukakan pandangan Wellek dan Warren
bahwa unsur ekstrinsik karya sastra meliputi unsur biografi, unsur
psikologis; keadaan lingkungan; dan pandangan hidup pengarang.14
Sedangkan, Kosasih mengungkapkan unsur ekstrinsik dalam karya sastra
yaitu: latar belakang pengarang, kondisi sosial budaya, dan tempat karya
tersebut dikarang.15
Kumpulan cerpen Berhala karya Danarto menghadirkan beragam
teori pemikiran, konsep religi, ekonomi, kekuasaan, politik, budaya,
kemanusiaan, dan pandangan sejarah di dalam karya tersebut. Unsur
ekstrinsik digunakan untuk membantu menafsirkan sebuah karya sastra,
menjadi penunjang kehadiran karya sastra dengan melihat biografi dan
latar sosial - budaya pengarang.
b. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yang ada pada cerpen tidak berbeda dengan unsur
yang ada pada karya fiksi novel. Meskipun secara umum unsur-unsur yang
ada pada novel lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen.
Unsur-unsur tersebut seperti, tema, tokoh dan penokohan, latar, sudut
13
Nurgiyantoro, op. cit, h. 30. 14
A. Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 33. 15
E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 72.
11
pandang, alur, gaya bahasa, dan amanat atau pesan. Unsur intrinsik dapat
dijumpai dalam cerpen ketika membacanya.
1) Tema
Tema secara singkat dapat didefinisikan sebagai “The central
throught in a literary works”. Ia adalah gagasan sentral dalam suatu
karya sastra.16
Stanton dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro
mengatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh
sebuah cerita.17
Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita.
Tema cerita menyangkut segala persoalan, yaitu persoalan
kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.
Untuk mengetahui tema sebuah cerita, diperlukan apresiasi
menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan.18
Bisa saja tema
“dititipkan” dalam unsur penokohan, alur atau latar. Dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tema adalah gagasan atau
persoalan yang mendasari suatu cerita yang menjadi patokan
pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra.
Proses dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca
sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang
berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup
dan kehidupan.19
Dengan demikian, untuk menentukan tema harus
memahami isi keseluruhan sebuah cerita, sehingga dapat memperoleh
inti dari sebuah cerita dan dapat menentukan tema yang tepat.
2) Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah para pelaku atau subjek lirik dalam karya sastra.20
Tokoh merupakan pengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
16
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), h. 34. 17
Nurgiyantoro, op. cit, h. 114. 18
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 55. 19
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161. 20
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 110.
12
peristiwa menjadi jalinan suatu cerita.21
Burhan berpendapat bahwa
istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.22
Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh disebut
penokohan.23
Penokohan artinya karakter dan perwatakan, menunjuk
pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu
dalam sebuah cerita.24
Penyajian para tokoh dalam cerita yang dilakukan oleh
pengarang pada umumnya menggunakan dua metode, yaitu metode
langsung (telling) dan metode tak langsung (showing).25
Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis, antara lain: a) Jika dilihat dari peran tokoh dalam
perkembangan plot, maka dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian atau yang dikenai kejadian.
Sedangkan tokoh tambahan kehadirannya hanya jika ada kaitannya
dengan tokoh utama.;26
b) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh,
maka dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Tokoh protagonis tokoh yang merupakan pengejewantahan nilai-nilai
yang ideal. Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab
terjadinya konflik yang berposisi dengan tokoh protagonis. c) Jika
dilihat dari kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh
dalam cerita, maka dapat dibedakan menjadi tokoh statis dan tokoh
berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial
tidak mengalami perubahan akibat adanya peristiwa-peristiwa yang
21
Siswanto, op. cit, h. 142. 22
Nurgiyantoro, op. cit, h. 247. 23
Siswanto, loc.cit. 24
Nurgiyantoro, loc. cit. 25
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 6. 26
Nurgiyantoro, op. cit, h. 258.
13
terjadi. Sedangkan tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami
perubahan sejalan dengan perkembangan peristiwa dalam cerita.27
3) Latar (Setting)
Menurut Abrams dalam Karmini, latar menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa diceritakan.28
Selanjutnya, menurut
Welleck dan Warren latar adalah segala keterangan mengenai waktu,
ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.29
Namun,
latar tidak hanya mampu memberikan pengetahuan tentang
masyarakat tertentu, tetapi juga mampu melukiskan secara lengkap
berbagai masalah, watak, sikap hidup, ambisi masyarakat tertentu.30
Stepehen Minot menyatakan bahwa latar memuat: latar waktu,
latar alam/geografi, dan latar sosial.31
Faktor dominan dalam latar
antara lain: a) Faktor tempat, yaitu gambaran tentang di mana
peristiwa atau cerita dalam fiksi itu terjadi. Tempat itu bisa terdiri atas
negara, kota, kampung, desa, pantai, hutan, dan lainnya; b) Faktor
waktu, merupakan gambaran kapan, masa, dan saat tertentu terjadinya
peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungannya
dengan tempat, yaitu gambaran suatu tempat pada masa, zaman,
tahun, atau musim tertentu. Waktu berkaitan pula dengan sejarah; c)
Faktor sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat.32
Namun, biasanya tidak semua bentuk penjelasan latar di atas,
terdapat atau bisa ditampilkan dalam sebuah cerpen, baik itu latar
waktu, latar tempat, atau latar sosial. Bisa jadi dalam sebuah cerita
hanya menonjolkan salah satunya saja, seperti latar tempatnya saja,
27
Ibid, h. 260. 28
Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h. 67. 29
Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, (Yogyakarta: UGM Press, 2013), h. 249. 30
Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57. 31
Priyatni, op. cit, h. 112. 32
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 53-55.
14
atau latar waktu, dan bahkan latar sosialnya saja yang ditampilkan
pada sebuah cerita.
4) Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang (point of view) adalah posisi pengarang dalam
membawakan cerita.33
Pradopo berpendapat bahwa sudut pandang
digunakan oleh pengarang sebagai pusat pengisahan yang
menerangkan siapa yang bercerita.34
Seorang pengarang dalam
membawakan atau memaparkan ceritanya dapat memilih sudut
pandang tertentu.
Telaah umum mengenai pembedaan sudut pandang diungkapkan
oleh Burhan Nurgiyantoro sama halnya dengan telaah yang dilakukan
kebanyakan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita, persona ketiga
dan persona pertama,35
Kedua bentuk sudut pandang tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang
persona ketiga, menempatkan narator sebagai seseorang yang
berada di luar cerita. Menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Dalam sudut
pandang ini, “dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
“dia” bersifat “mahatahu” (Narator menceritakan apa saja hal
yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Menceritakan segala
sesuatu yang dipikirkan, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan
oleh berbagai tokoh dalam cerita). Dan, “dia” bersifat “terbatas”
atau sebagai “pengamat” (Narator menceritakan segala sesuatu
yang dipikirkan, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan oleh
tokoh dalam cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh
saja).
33
Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, op. cit, h. 62. 34
Rachmad Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 75. 35
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op. cit, h. 347.
15
b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang
persona pertama “aku”, menempatkan narator sebagai seseorang
yang terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri. Sudut pandang persona
pertama dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu “aku”
sebagai “tokoh utama” (Mengisahkan berbagai peristiwa dan
tingkah laku yang dialaminya, si “aku” menjadi fokus, pusat
kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si “aku”
diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau jika
dianggap penting). Dan, “aku” sebagai “tokoh tambahan” (Tokoh
“aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang
tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk
mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya).
c) Sudut Pandang Campuran
Pengisahan cerita yang digunakan pengarang menggunakan
lebih dari satu teknik bercerita. Pengarang menggunakan sudut
pandang persona ketiga atau sudut pandang persona pertama
secara sekaligus. Artinya, penggunaan dua sudut pandang “aku”
dan “dia” dapat dilakukan secara bergantian dalam cerita.
5) Alur (Plot)
Abrams mengungkapkan alur adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah
cerita yang dihadirkan oleh para pelaku tokoh dalam suatu cerita.36
Stanton mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain. Demikian pendapat Foster mengenai plot adalah
peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya
36
Siswanto, op. cit, h. 159.
16
hubungan urutan waktu.37
Alur dan atau plot akan memiliki pengertian
yang sama sebagai suatu rangkaian atau jalinan cerita, jika mengacu
pada hubungan sebab akibat sebuah peristiwa.
Persoalan alur atau jalan cerita dalam sebuah cerpen tentu akan
lebih sederhana jika dibandingkan dengan alur yang ada pada sebuah
novel. Secara umum jalan cerita terbentuk atas bagian-bagian berikut
ini:
a) Pengenalan situasi cerita (exsposition)
Tahap ini merupakan pembukaan sebuah cerita, pengarang
mulai memperkenalkan para tokoh serta menata adegan dan
hubungan antartokoh.
b) Pengungkapan peristiwa (complication)
Pada tahapan ini disajikan peristiwa awal yang dapat
menyulut atau menimbulkan berbagai masalah, pertentangan,
ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokoh di dalamnya.
c) Menuju pada adanya konflik (rising action)
Tahap konflik yang sudah muncul semakin berkembang
intensitasnya. Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan,
kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang
menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.
d) Puncak konflik (turning point)
Tahap ini disebut pula sebagai klimaks. Pada tahap ini
konflik yang dialami tokoh mencapai puncaknya, pada bagian ini
pula ditentukan perubahan kisah beberapa tokohnya, misalnya
berhasil tidaknya menyelesaikan masalah.
e) Penyelesaian (ending)
Tahap ini merupakan bagian akhir cerita, ketika konflik
yang terjadi mulai menemukan solusinya. Bagian ini berisi
penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami oleh tokoh setelah
mengalami peristiwa puncak.
37
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op. cit, h. 143.
17
6) Gaya Bahasa
Istilah gaya bahasa mengandung pengertian sebagai cara
pengucapan bahasa oleh pengarang untuk mengungkapkan sesuatu
dalam konteks dan tujuan tertentu yang ditandai oleh ciri-ciri formal
kebahasaan.38
Jacob Sumardjo dan Saini KM mengartikan gaya
bahasa sebagai cara khas yang dipakai pengarang untuk
mengungkapkan dan meninjau persoalan. Aminudin menyatakan
bahwa gaya bahasa dibentuk oleh unsur kebahasaan yang berupa kata
dan kalimat.39
Penggunaan gaya bahasa dapat bertujuan untuk
mencapai efek keindahan dalam sebuah cerita, baik kaitannya dengan
ruang lingkup linguistik maupun dalam ruang lingkup sastra.
Pengertian gaya bahasa sering kali disamakan dengan majas.
Majas (Figure of Speech) adalah bahasa indah untuk meningkatkan
efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu hal
tertentu dengan hal lain yang lebih umum sehingga dapat mengubah
nilai rasa atau konotasi tertentu.40
Dan, gaya bahasa itu bersifat
individual, artinya setiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri-
sendiri. Ciri khas gaya perorangan mempunyai hubungan dengan
perwatakan, kepribadian, dan kematangan pengarang.41
Sehingga,
dapat mencerminkan kepekaan pengarang dalam merasakan dan
memahami ide karangannya.
7) Amanat atau Pesan
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang
hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui
karyanya.42
Setiap pengarang tentu dalam menuliskan karyanya
memiliki tujuan yang hendak dicapai atau disampaikan kepada
pembacanya.
38
Karmini, op. cit, h. 74. 39
Priyatni, op. cit, h. 114-115. 40
Henri Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 112. 41
Tuloli, op. cit, h. 58. 42
Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, op. cit, h. 64.
18
Penyampaian amanat dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Penyampaian secara langsung bersifat menggurui. Berbeda
dengan penyampaian secara tidak langsung, pesan hanya tersirat
melalui cerita.43
Meskipun cerpen cenderung singkat, tetapi tidak jauh
berbeda dengan cerita lainnya, cerpen memiliki amanat yang sering
kali disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam
keseluruhan cerita.
B. Pendekatan Sosiologi Sastra
1. Sosiologi Sastra
Sosiologi memiliki pengertian ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan
(evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan
jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional
dan empiris. Sastra memiliki pengertian kumpulan alat untuk mengajar, buku
petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih
spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya
kumpulan hasil karya yang baik.44
Dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
merupakan pemahaman terhadap suatu karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan.
Sapardi Djoko Damono mengungkapkan bahwa secara singkat sosiologi
adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat;
telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan
bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan
segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, yang
kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran
tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang
mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota
43
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op. cit, h. 429. 44
Dr. Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan kedua 2019), h. 1-2.
19
masyarakat di tempatnya masing-masing.45
Seperti halnya sosiologi, sastra
berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal
isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi yang sama.
Sosiologi sastra memiliki objek kajian utamanya adalah sastra, yang
berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk
memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra,
maupun pembaca dalam relasi dialetiknya dengan kondisi masyarakat yang
menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca sebagai
individu kolektif yang menghidupi masyarakat. Dengan relasi dialektis ini,
yang memahami hubungan sastra dengan masyarakat dengan analisis
sosiologis, maka peran, pengaruh dan keadaan masyarakat yang digambarkan
atau memengaruhi keberadaan substansi sosiologis dapat dijelaskan. Oleh
karena itu, analisis sosiologi sastra berkaitan dengan analisis sosial terhadap
karya sastra, baik ideologi sosial pengarang, pandangan dunia pengarang,
pengaruh strukturalisasi masyarakat terhadap karya sastra atau sebaliknya, dan
fungsi sosial sastra.46
2. Sejarah Sosiologi Sastra
Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman
Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 BC), filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul
Ion dan Republik dilukiskan mekanisme antar hubungan sastra dan
masyarakatnya. Sastra dalam pembicaraan ini hanya meliputi puisi, sesuai
dengan kondisi zamannya, semua bentuk sastra ditulis dalam bentuk genre
tersebut.47
Meskipun hubungan sastra dengan masyarakat sudah ada sejak zaman
Plato dan Aristoteles, seperti disebutkan di atas, tetapi sosiologi sastra sebagai
ilmu yang berdiri sendiri, menggunakan teori dan metode ilmiah, dianggap
45
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 6. 46
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi; Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 5-6. 47
Dr. Nyoman Kutha Ratna, op. cit, h. 4.
20
baru mulai abad ke-18. Buku teks pertama mengenai sosiologi sastra adalah
The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C.
Albrecht, James H. Barnett, dan Mason Griff, terbit pertama kali di tahun 1970.
Oleh karena itu, kehadiran sosiologi sastra dapat dikatakan sangat terlambat
apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain.
Melalui pertimbangan aspek-aspek kemasyarakatannya, maka sosiologi
sastra juga disebut sosiokritik sastra. Sesuai dengan pendapat masing-masing,
ada banyak pendapat mengenai siapa sesungguhnya yang dianggap sebagai
pelopor sosiologi sastra. Michel Biron menyebutkan George Lukacs. Rene
Wellek dan Austin Warren menyebutkan De Bonald. Elizabeth dan Tom Burns
menyebutkan Madame de Stael. Robert Escarpit dan Harry Levin menyebutkan
Hippolyte Taine. Diana Laurenson dan Alan Swingewood juga menyebutkan
Hippolyte Taine.48
Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali melalui
ceramah Harsya W. Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian
Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja
sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973.
Dalam bentuk buku teks, mulai dengan terbitnya Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas (Sapardi Djoko Damono, 1978) dan disusul dengan Mitos
dan Komunikasi (Umar Junus, 1981), dan Sosiologi Sastra: Persoalan Teori
dan Metode (Umar Junus, 1986).49
3. Paradigma dan Langkah Kerja Sosiologi Sastra
a. Paradigma Sosiologi Sastra
Wellek dan Warren (1956) mengemukakan tiga paradigma pendekatan
dalam sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang; inti dari analisis
sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari
masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam
memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang
48
Ibid, h. 7-8. 49
Ibid, h. 8.
21
bermasyarakat. Kedua, sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang
kedua ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek
sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memaknai
hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga,
sosiologi pembaca; kajian pada sosiologi pembaca yang memaknai karya
sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang diciptakan karya sastra. Kajian
terhadap sosiologi pembaca berarti mengkaji aspek nilai sosial yang
mendasari pembaca dalam memaknai karya sastra.50
b. Langkah Kerja Sosiologi Sastra-Objektif
Kajian ini memfokuskan hubungan dialektis antara karya sastra dengan
kenyataan sosial.
1) Analisis Sosial Struktur Karya Sastra
Analisis ini hakikatnya adalah mengkaji struktur pembangun
karya sastra dalam perspektif sosiologis, yaitu menguraikan interaksi
sosial yang terbangun antara tokoh dengan tokoh dalam suatu kondisi
sosial dan waktu tertentu. Fokusnya adalah pada tokoh, latar sosial, dan
alur (rangkaian peristiwa) yang dibahas dalam konteks sosial.
2) Analisis Sosial yang Diacu Karya Sastra
Menganalisis secara sosiologis kondisi sosial yang diacu dalam
karya sastra tersebut. Analisis sosialnya bisa membahas tiga paradigma
sosiologi ini: fakta sosial, definisi, prilaku sosial, dan data-data yang
digunakan adalah sumber pustaka, wawancara, ataupun analisis sendiri
dengan cermat.
3) Relasi Sosial Karya Sastra dengan Kenyataan Sosial
Konsep analisisnya mencakup hubungan relasional kenyataan
sosial karya sastra dengan kenyataan sosial yang diacu yang meliputi:
analisis peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi, fakta-fakta sosial yang
ada, prilaku-prilaku sosial tokoh-tokohnya, definisi sosial tokoh-
50
Heru Kurniawan, op. cit, h. 11.
22
tokohnya yang kemudian direalisasikan dengan kenyataan sosial yang
diacunya.51
C. Potret Orde Baru
1. Awal Orde Baru
Orde Baru sebagai sebuah rezim yang mengatasnamakan diri sebagai
bagian dari koreksi terhadap kesalahan, penyelewengan-penyelewengan yang
telah terjadi pada masa Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Memperbaiki
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Namun tujuan untuk
memperbaiki tatanan pada masa lalu dan kembali pada Pancasila dan UUD
1945 hanya bagian dari retorika semata agar penguasa baru saat itu Soeharto
mendapat dukungan dari rakyat.
Pada awal-awal pemerintahan Orde Baru berjalan secara wajar, tapi
selanjutnya pemerintahan berjalan dengan lebih menonjolkan kediktatorannya
yang tak jauh beda dengan masa Orde Lama. Pemerintahan yang dinakhodai
oleh Soeharto ini dapat dikatakan sebagai satu-satunya masa pemerintahan
yang dalam sejarah Indonesia paling lama memimpin, yaitu memimpin selama
sekitar tiga puluh dua tahun.
Secara sederhana, masa pemerintahan Soeharto (1966-1998) dapat dibagi
atas tiga periode yang masing-masing terdiri dari sekitar satu dekade (batasnya
sebetulnya tidak terlalu tegas). Masa tersebut terbagi atas masa awal, masa
perkembangan/kejayaan, dan akhirnya masa penurunan/kejatuhan. Dalam
periode pertama, pada mulanya diragukan banyak orang untuk memimpin
bangsa ini berusaha menumbuhkan kekuasaannya secara perlahan-lahan.52
Kepercayaan masyarakat itu diawali dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) yang diberikan Presiden Soekarno. Presiden saat itu yang
menyatakan memberikan kuasa kepada Letjen Soeharto selaku Panglima
Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) untuk 51
Ibid, h. 14-18. 52
Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 45.
23
memulihkan keamanan. Soeharto menggunakan kuasa ini antara lain untuk
membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Sidang Istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)
mencabut jabatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, mengukuhkan
kewenangan eksekutif Soeharto dengan Supersemar, dan secara resmi
melarang PKI dan semua ajaran komunisme/marxisme. Setelah dilantik dan
disahkan sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968, perhatian
utama Soeharto adalah pemulihan ekonomi yang sangat merosot pada akhir
kepemimpinan Soekarno.53
2. Kepemimpinan Soeharto
“..., Soeharto berhasil mengatasi keraguan dan kekhawatirannya menjadi
presiden. Saya melihat keterbatasannya. Walau Soeharto unggul dalam
taktik, ia tidak terlalu kuat dalam hal strategi, karena keterbatasan
pendidikannya. Acuan sejarahnya hanya terbatas pada kerajaan Jawa.
Soeharto belajar dari cerita pewayangan, tetapi ini pun terbatas karena ia
tinggal bersama pamannya, ayah Soedwikatmono, yang membatasi ruang
gerak di usia mudanya.
Soeharto secara alamiah memang cerdas. Semua pelajaran yang diterima
di tingkat menengah dan tingkat tinggi berasal dari program militer.
Pengalaman-pengalaman menjabat menjabat di berbagai komando
mempersiapkan dirinya untuk menjadi presiden...”54
Setelah diangkat menjadi Presiden perhatian Soeharto adalah pemulihan
ekonomi yang sangat merosot pada akhir pemulihan ekonomi yang sangat
merosot pada akhir pemerintahan Soekarno. Soeharto berprinsip bahwa
pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas keamanan baik secara nasional
maupun regional. Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia,
kembali menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), mensponsori
pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asians Nations) dan kemudian
menjadi motor penggerak organisasi regional tersebut.55
Keamanan dalam negeri harus terjamin agar penanaman modal asing
yang diperlukan tidak terganggu. Tindakan represif dilakukan baik terhadap
53
Ibid, h. 46. 54
Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, (Jakarta: Kompas, 2014), h. 99. 55
Adam, op. cit., h. 46.
24
pers, mahasiswa maupun kelompok masyarakat yang mencoba melakukan
kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah.56
Ia pun mempunyai pembantu
dekat yang terdiri dari berbagai kelompok.
Kriteria anggota kabinetnya adalah orang yang punya keahlian, loyal, dan
dapat bekerja sama dalam satu tim. Menteri yang diangkatnya bisa menjabat
satu periode atau berkali-kali, rakyat tidak pernah tahu kriteria keberhasilan
atau kegagalan seorang menteri, semua tergantung kepada Presiden. Bila
seorang telah dipilihnya, akan dia bela mati-matian meskipun keliru dalam
bertugas. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
Sebaliknya, orang yang mencoba menentangnya secara terbuka akan
direjamnya habis-habisan.57
3. Soeharto dan Orde Baru
Beberapa catatan sejarah mengenai kepemimpinan Soeharto pada rezim Orde
Baru adalah sebagai berikut:
a. Tumbuh Suburnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
1) Korupsi
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Korupsi adalah
Ko.rup.si n penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.58
“Mungkin kelemahan utama Soeharto adalah ia tidak bisa
mengerti bagaimana pendapat orang lain tentang suatu hal. Ia
tidak pernah mengambil posisi yang tegas dalam penangan
korupsi. Sejak 1967, ia mengutarakan pendapatnya bahwa 5
persen atau 10 persen komisi bagi pejabat yang menangani proyek
adalah wajar. Ia tidak mempertimbangkan secara cermat
kemungkinan para pejabat itu mempunyai konflik kepentingan,
dan berakibat dianggap bersalah di mata masyarakat dan elit
politik. Sikap ini tidak berubah sepanjang hidupnya.”59
56
Ibid, h. 46-47. 57
Ibid, h. 47-48. 58
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan kedelapan edisi IV 2014), h. 736. 59
Wanandi, op. cit, h. 106.
25
2) Kolusi
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Kolusi adalah
Ko.lu.si n kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji;
persekongkolan: hambatan usaha pemerataan berupa -- antara pejabat
dan pengusaha.60
Seperti tampak pada penuturan Wanandi, Soeharto juga menjalin
hubungan di luar militer. Melalui Jenderal Soewarto, yang saat itu
menjabat Wakil Komandan Seskoad, Soeharto berkenalan dengan Prof.
Widjojo Nitisastro dan mereka kelak dijuluki “Mafia Berkeley” yang
terdiri dari Mohammad Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, Saleh Afiff,
dan Johannes Baptista Sumarlin, sebagai penasihat ekonomi. Mereka
menjadi tim ekonomi inti Soeharto selama hampir 30 tahun. Mereka
mendapat dukungan politik Soeharto saat mereka membutuhkannya,
dan umumnya berhasil, terutama dalam masa rehabilitasi ekonomi
antara 1967 dan 1973.61
3) Nepotisme
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Nepotisme
adalah Ne.po.tis.me /népotisme/ n 1prilaku yang memperlihatkan
kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; 2kecenderungan untuk
mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama
dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; 3tindakan memilih
kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan: para
pemimpin banyak melakukan korupsi, menyalahgunakan kekuasaan,
dan cenderung ke arah --.62
Untuk memperingati serangan 1 Maret 1994 di Yogyakarta,
teman-teman seperjuangannya membangun museum. Dalam
pidatonya pada acara peresmian museum itu pada awal 1990-an,
Soeharto mengatakan, “Kewajiban utama kita adalah merawat
keluarga karena kita sudah banyak berbuat bagi negara dan
60
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit, h. 717. 61
Wanandi, op. cit, h. 100-101. 62
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit, h. 959.
26
bangsa.” Berdasarkan falsafah hidupnya, ketika
mempertimbangkan mana yang lebih penting antara kepentingan
keluarga dan nilai-nilai anti korupsi, jelas bahwa ia menempatkan
keluarga sebagai kepentingan paling tinggi63
b. Terjadinya Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia)
Bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pada masa Orde
Baru yang disembunyikan Soeharto terbilang tidak sedikit. Misalnya, kasus
pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak “Petrus” (pembunuh
misterius) yakni penembakan terhadap para preman atau residivis kriminal
yang mayatnya ditaruh di tempat umum antara tahun 1983-1985 yang
jumlahnya mencapai 5.000 jiwa. Mereka yang terbunuh mempunyai ciri
khas umum yaitu memiliki tato di tubuhnya.64
Meskipun korban bisa
dikatakan sebagai ancaman masyarakat pada umumnya, namun mengambil
hak nyawa seorang begitu saja tidaklah dibenarkan.
c. Hilangnya Demokrasi
Sejak awal Soeharto memang mengendalikan seluruh keputusan dan
langkah dalam menentukan keberlangsungan hidup masyarakat dan negara.
Kalangan profesional dikendalikan dengan mengharuskan mereka
berhimpun dalam wadah tunggal (wartawan, dokter, buruh, pengusaha) dan
pengurusnya harus mendapat restu dari Soeharto. Saat berkuasa sedemikian
besar, maka dengan mudah dilakukan pembredelan pers yang mencoba
mengkritik kebijakan dia dan pembantunya. Majalah Tempo, Editor, dan
Detik ditutup tahun 1994. Pelarangan buku yang tidak sesuai kebijakan
pemerintah, terus dilakukan sejak awal Orde Baru.65
Dengan demikian
hilanglah hak warga negara dalam menentukan pendapatnya sendiri.
Bentuk kepemimpinan absolut Soeharto dengan pengendalian
terhadap hampir seluruh lini pembangunan, ekonomi, politik dan
kemasyarakatan bertahan cukup lama. Akhirnya, Soeharto dan Orde Baru
berakhir pada tanggal 21 Mei 1998 bersamaan dengan pernyataan
berhentinya Soeharto sebagai presiden.
63
Wanandi, op. cit, h. 106-107. 64
Adam, op. cit, h. 49. 65
Ibid, h. 50.
27
Soeharto adalah sebuah fenomena. Nyaris tidak ada sosok yang lebih
fenomenal dibanding penguasa Orde Baru jika diukur dari pengaruh serta
otoritarianismenya selama 23 tahun memimpin Indonesia. Soeharto berhasil
mengendalikan dinamika politik yang membuatnya di kagumi sekaligus di
benci, dipuji sekaligus dimaki. Sejarah Indonesia adalah kisah yang penuh
dengan jejaknya, sesak dengan ambisinya yang tidak pernah padam.66
Dengan demikian, potret yang ditampilkan Orde Baru lekat dengan peran
Soeharto dalam berkuasa mengendalikan pemerintahan.
D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Pengajaran sastra membutuhkan keterampilan yang memadai dalam hal cara
menyampaikan pesan yang terkandung di dalamnya untuk bisa ditransfer kepada
peserta didik sebagai penikmat. Sebab itu, guru harus membebaskan peserta didik
berpikir secara bebas dalam menanggapi sebuah karya sastra sebagai sesuatu yang
berkaitan erat dengan kehidupannya.67
Artinya, karya sastra sangat penting
keberadaannya sebagai bentuk pengajaran, serta membantu meningkatkan peran
pendidikan secara utuh dalam memaknai realitas kehidupan.
Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjang pembentukan watak.68
Keempat manfaat tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
1. Membantu Keterampilan Berbahasa
Keterampilan berbahasa meliputi empat komponen, yaitu: menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Dalam pengajaran sastra, peserta didik
dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya
yang dibaca oleh guru, teman, atau melalui media audiovisual; peserta didik
dapat melatih kemampuan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama,
66
Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal, (Jakarta: Palapa, 2016), h. 198. 67
Prof. Dr. Emzir, M.Pd., dan Dr. Saifur Rohman, M.Hum., M.Si., Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), h. 223. 68
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.
28
apresiasi karya sastra; peserta didik dapat meningkatkan keterampilan
membaca dengan membaca sebuah karya prosa fiksi; peserta didik dapat
melatih keterampilan menulis dengan mencatat hasil diskusi kelompok
tentang pembahasan terhadap suatu karya sastra.
2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Pengajaran sastra diharapkan mampu merangsang peserta didik dalam
memahami makna dan fakta-fakta yang ada dalam karya sastra. Karya sastra
yang kehadirannya tidak terlepas dari problematika kehidupan masyarakat
dari zaman ke zaman, serta luasnya cakupan wilayah. Sehingga mampu
mengantarkan peserta didik memahami fakta budaya yang tergambar di
dalamnya. Tugas pengajaran yang utama adalah memperkenalkan peserta
didik mengenai sederet kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia,
tanpa merusak kebanggaan atas kebudayaan mereka sendiri.
3. Mengembangkan Cipta dan Rasa
Kesadaran pendidik terhadap kecakapan peserta didik dalam memahami
karya sastra yang berbeda-beda, serta kadar perkembangan yang berbeda-
beda. Oleh karena itu, penting untuk memandang pengajaran sebagai proses
pengembangan individu secara keseluruhan. Pengajaran sastra yang benar
dapat membantu meningkatkan pengembangan kecakapan-kecakapan, seperti
kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif; sosial, dan religius.
4. Menunjang Pembentukan Watak
Pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih
tajam, serta kemungkinan lebih banyak mengantarkan untuk mengenal
seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia. Selain itu, dapat memberikan
bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta
didik yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajinasian, dan
penciptaan. Sehingga sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang
sangat luas.
Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya
mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai
dan mana yang tak bernilai. Secara umum, lebih lanjut dia akan mampu
29
menghadapi masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan,
toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam. Perlu digarisbawahi bahwa
kedalaman itu merupakan satu kualitas yang dibutuhkan masyarakat
berkembang di mana pun tanpa terkecuali.69
Dengan demikian, peserta didik
dapat dengan mudah menghadapi tantangan hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Kegiatan membelajarkan sastra di sekolah tidak terlepas dari peran guru
sebagai pendidik dalam memenuhi capaian perencanaan, pelaksanaan, hingga
evaluasi. Dalam penelitian ini, Kompetensi Dasar (KD) untuk pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia mengenai informasi dalam cerita pendek yang
harus dicapai oleh peserta didik adalah mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan
dan menganalisis unsur-unsur pembangun cerita pendek. Memenuhi
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) menjadi syarat mutlak
dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Sehingga, diperlukan
indikator yang harus dicapai peserta didik, yakni menentukan unsur intrinsik
dan ekstrinsik cerpen serta penerapan dalam kehidupan sehari-hari, mampu
mengidentifikasi cerpen dengan memperhatikan unsur-unsur pembangun
cerpen, dan menulis cerpen dengan memperhatikan unsur-unsur
pembangunnya. Untuk memenuhi pencapaian tersebut makan diperlukan
strategi, metode, dan model pembelajaran yang sesuai dan efektif.
Sastra menjadi bagian penting dalam pembelajaran Bahasa Indonesia,
selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan
aspek bahasa yang lainnya, yaitu menyimak, menulis, membaca dan
berbicara. Dengan demikian, kegiatan membelajarkan sastra menjadi bagian
penting untuk menambah wawasan serta kemampuan berpikir peserta didik.
E. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan kegiatan penelusuran yang dilakukan peneliti pada berbagai
sumber baik pustaka maupun penelusuran internet. Peneliti menjumpai sangat
sedikitnya penelitian terkait kumpulan cerpen Berhala karya Danarto, dan tidak
69
Ibid, h. 25.
30
menemukan penelitian skripsi terkait potret Orde Baru dalam cerpen Berhala
karya Danarto. Akan tetapi penelitian terkait kumpulan cerpen Berhala karya
Danarto pernah dilakukan.
Penelitian skripsi terkait kumpulan cerpen Berhala karya Danarto dilakukan
oleh Febri Ramadani, mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung tahun 2018 yang berjudul Nilai-Nilai Sosial
dalam Kumpulan Cerpen Berhala Karya Danarto dan Rancangan Pembelajaran
Sastra di SMA. Hasil penelitian tersebut menguraikan nilai-nilai sosial yang
terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut, mencakup semua jenis nilai sosial
berupa nilai material, nilai vital, dan nilai kerohanian. Serta implikasinya terhadap
pembelajaran di sekolah mengenai cara mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan
dalam kumpulan cerpen yang dibaca.
Selain itu, peneliti menemukan penelitian lain terkait karya Danarto,
dilakukan oleh Muhamad Adi Alvian, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2018 yang berjudul Gagasan Tasawuf dalam
Kumpulan Cerpen Godlob Karya Danarto dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah. Hasil penelitian tersebut menguraikan terobosan
untuk mengenal gagasan tasawuf yang secara implisit diceritakan baik melalui
tema, alur, latar, tokoh, dan gaya penceritaan. Gagasan itu berupa gagasan
ketuhanan, gagasan tentang kejiwaan, dan gagasan tentang alam semesta. Setiap
tokoh yang ditampilkan dalam cerita memiliki gagasan sendiri-sendiri dalam
menjalani proses laku sufi berharap bertemu dengan wajah Tuhan.
Penelitian berikutnya terkait potret Orde Baru juga pernah dilakukan oleh
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015 yang berjudul Potret Buruh Indonesia
pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji
Thukul dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah. Hasil penelitian tersebut menguraikan dua puluh dua puisi Wiji Thukul
31
dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang menampilkan berbagai potret
buruh Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Seperti, potret kehidupan
buruh yang sulit dengan upah yang tak sepadan dengan beban pekerjaan yang
ditanggung. Menampilkan potret buruh yang kerap kali diperlakukan sewenang-
wenang oleh pihak perusahaan seperti lembur paksa hingga 24 jam. Serta
implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah, serta mengetahui potret
sejarah buruh di Indonesia pada masa Orde Baru.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, tema penceritaan mengangkat
peristiwa pada masa Orde Baru sudah sering kali diteliti, meskipun bahasannya
masih cukup luas pada peristiwa mana pembahasannya. Penelitian terhadap karya
Danarto yaitu kumpulan cerpen Berhala pun sudah ada yang meneliti dengan
bahasan yang berbeda dengan peneliti. Sehingga, penelitian ini berpusat terhadap
kumpulan cerpen Berhala karya Danarto, peneliti memilih tiga judul cerpen di
dalamnya, yaitu Panggung, Pundak yang Begini Sempit, dan Gemertak dan
Serpihan-Serpihan dengan memotret beberapa peristiwa yang terjadi pada masa
Orde Baru.
32
BAB III
BIOGRAFI DAN SINOPSIS CERPEN
A. Danarto: Biografi dan Karyanya
Danarto merupakan seniman dan budayawan yang dikenal memiliki
pengalaman menulis cerita pendek, melukis, penyair, menyutradarai teater, dan
menjadi penata artistik. Danarto lahir pada tanggal 27 Juni 1940 di Sragen, Jawa
Tengah. Danarto tumbuh bukan dalam lingkungan keluarga yang berbakat dalam
kesenian. Danarto adalah anak ke empat dari lima bersaudara, ayahnya seorang
mandor pabrik gula di Mojo, Sragen, Jawa Tengah, yaitu Jakio Harjodinomo dan
ibunya Siti Aminah adalah seorang pedagang batik di pasar. Danarto menikah
dengan Siti Zainab Luxfiati pada tanggal 1 Januari 1986, dan bercerai setelah lima
belas tahun berumah tangga.70
Danarto memulai pendidikannya di SD (Sekolah Dasar) di Sragen tahun
1954. Setelah lulus Danarto melanjutkan belajar di SMP (Sekolah Menengah
Pertama) tahun 1958 di daerah yang sama. Pada saat sekolah SMP inilah Danarto
mulai menulis. Pada tahun 1958-1962 tulisan Danarto yang pertama dimuat di
majalah Si Kuncung. Ia membantu majalah anak-anak Si Kuncung dengan
menampilkan cerita anak sekolah dasar. Ia menghiasi cerita itu dengan pelbagai
variasi gambar. Setelah lulus, Danarto melanjutkan ke SMA di Solo, tidak lama ia
pindah belajar di ASRI (Akademia Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta pada
tahun 1958-1961.71
Selama belajar di ASRI, pada tahun 1959-1964 Danarto aktif dalam
sanggar bambu pimpinan pelukis Sunarto Pr. Danarto ikut melaksanakan pelbagai
pameran lukisan, seni rupa, teater, musik, dan seni tari. Tahun 1969, Danarto
meninggalkan Yogyakarta dan pindah menuju Jakarta.72
Danarto pernah bekerja
sebagai tukang poster saat Taman Ismail Marzuki didirikan (1968) sampai 1975.
70
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Danarto (1940-... http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Danarto diunduh pada 25 Juli 2019 pukul 15:22. 71
Danarto juga pernah menjadi karyawan Media Komunikasi, Taman Ismail
Marzuki (1968-1974). Sebelum akhirnya menjadi tenaga pengajar di Akademi
Seni Rupa LPKJ sekarang IKJ (Institut Kesenian Jakarta) selama sebelas tahun
(1973-1984) dan menjadi wartawan majalah Zaman selama enam tahun (1979-
1985).73
Tahun 1973, Danarto pernah membuat pameran tunggal lukisan di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. Pelukis dan sastrawan Danarto memamerkan serangkaian
kanvas putih dalam pameran yang bertajuk “Putih di Atas Putih” tersebut
dianggap sebagai pameran radikal dan kontroversial saat itu. Salah satu perupa
tanah air, Dadang Christanto mengungkapkan bahwa para pengunjung
pamerannya dijungkirbalikkan pemahamannya tentang wujud lukisan. Ruang
pameran disuguhi rentengan kanvas kosong polos putih. Ini “kegilaan” yang
melampaui zamannya.74
Danarto juga aktif dalam dunia teater. Ia adalah penata pentas pagelaran
teater Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil Arifin C. Noer, pementasan-
pementasan Ikranegara, dan pagelaran tari Sandono W. Kusumo. Bersama
Sandono, Danarto sempat keliling Eropa dengan pagelaran tari “Dongeng Dari
Dirah” dalam rangka Festival Fantastique (1974). Danarto juga pernah pergi ke
Osaka, Jepang untuk mengikuti Expo‟70. Pengalamannya yang lain tahun 1983
Danarto mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda. Dia juga
menulis naskah drama dan pernah membantu tata artistik film, antara lain Mutiara
dalam Lumpur (1972) dan Suci Sang Primadona (1977).75
Danarto juga pernah
mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat (1976).76
Selain pengalaman yang luas, Danarto menjadi satu di antara lima orang penerima
73
Ibid. 74
Tempo.co, Mengenal Karya-Karya Seniman Paket Lengkap, Danarto, dari https://seleb.tempo.co/read/1078585/mengenal-karya-karya-seniman-paket-lengkap-danarto/full&view=ok diakses pada tanggal 25 Juli 2019 pukul 19.55. 75
Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) yang ke-7 tahun 2009 di bidang
kesusatraan.77
Danarto tergolong sebagai sastrawan yang produktif, dilihat dari karya-
karya yang dihasilkannya tidak sedikit, ada banyak cerpen yang terlahir dari ide
kreatifnya. Cerpen-cerpennya itu kemudian diterbitkan menjadi kumpulan cerpen,
seperti, Godlob (1974), Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1993),
Setangkai Melati di Sayap Jibril (2008), dan Kacapiring. Sedangkan karya lain
berupa novel yang diterbitkan adalah Asmaraloka (1999). Berupa kumpulan esai
berjudul Begitu Ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu (1996), Cahaya Rosul 1-3
(1999-2000). Catatan perjalanan berjudul Orang Jawa Naik Haji (1983). Naskah
teater berjudul Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek dan berjudul Bel Geduwel
Beh (1976).
Tahun 1974 kumpulan cerpen Danarto berjudul Godlob terbit, yang
sebelumnya sudah pernah dimuat di majalah Horison pada tahun 1968, cerpen
berjudul Godlob ini berhasil menjadi cerpen terbaik majalah Horison tahun 1968.
Kumpulan cerpen Godlob berisi sembilan cerpen. Cerpen berjudul “Nostalgia”
memiliki sifat mistik Jawa terutama kerinduannya mencari persatuan dengan sang
pencipta, “Asmarandana” mengenai kerinduan bertemu dengan Tuhan,
“Kecubung Pengasihan” mengenai perjalanan makhluk menuju persatuan dengan
khalik, “Godlob” mengenai masih terikatnya orang akan segi-segi badaniah yang
dikuasai oleh alam adikodrati, “Armagedon” mengenai nafsu serakah,
“Abracadabra”, “Sandiwara di atas Sandiwara”, “Labirinth”, dan cerpen yang
berjudul dengan lambang jantung terpanah. Th. Sri Rahaju Prihatmi
mengungkapkan pendapatnya pada Sastra budaya UNDIP dengan judul “Warna
Mistik dalam „Goldob‟” menurutnya suasana mistik buku Goldob ketika kita
membaca cerpen tersebut baik lewat ajang penyampaiannya yaitu bahasa maupun
tokohnya yang penuh rahasia.78
77
Kompas.com, Lima Orang Anak Bangsa Peroleh PAB 2009, dari https://ekonomi.kompas.com/read/2009/08/13/17291664/lima.orang.anak.bangsa.peroleh.pab.2009 diakses pada tanggal 25 Juli 2019 pukul 20.07. 78
Th. Sri Rahayu Prihatmi, Warna mistik dalam “Goldob”, (Pusat Dokumentasi Sastra H.B JASSIN: Sastra Budaya UNDIP 1976).
Danarto menerima Hadiah Sastra DKJ 1982 dan hadiah dari Yayasan Buku
Utama atas cerpen dan kumpulan cerpen Adam Ma’rifat. Pertama kali diterbitkan
di Jakarta oleh Balai Pustaka, 1982, setebal 72 halaman dengan ukuran 15x21 cm.
Judul kumpulan cerpen ini di ambil dari salah satu judul di dalamnya, yang terdiri
dari enam judul cerpen yang terbit pertama kali di tahun 1982. Enam judul cerpen
yang ada dalam kumpulan cerpen ini adalah “Mereka Toh Tidak Mungkin
Menjaring Malaikat” (Jakarta, 11 Maret 1975), “Adam Ma‟rifat” (Jakarta, 3
September 1975), “Megatruh” (Jakarta, 28 Maret 1978), “Lahirnya Sebuah Kota
Suci” (Jakarta, 17 September 1980), “Bedoyo Robot Membelot” (Jakarta, 7 April
1981), dan cerpen yang berjudul gambar not balok dengan tanda-tanda bunyi
„ngung-ngung‟ dan „cak-cak-cak‟ yang tidak bertitimangsa. Kandungan isi
keenam cerpen itu berhubungan dengan dunia gaib dan sejenis pengalaman mistik
yang diungkap dalam bentuk dongeng tentang malaikat Jibril, Adam Ma‟rifat
sebagai wujud pengetahuan tentang kehidupan hakiki, kota suci di dunia dalam
penafsiran, serta tentang hakikat tarian Bedoyo. Semua cerpen itu syarat dengan
sebutan benda dan gambaran peristiwa berwujud dongeng atau mengandung
makan simbolik.79
Dibalik karya-karyanya yang simbolik serta kiprahnya dalam kesenian dan
kebudayaan di tanah air. Kabar duka meninggalnya seniman dan budayawan
Danarto, segera menyebar di kalangan pembaca sastra dan media tempo lalu.
Danarto meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan, Danarto ditabrak
kendaraan sepeda motor di Jalan H. Juanda Ciputat, Tangerang Selatan, pada hari
Selasa tanggal 10 April 2018 pukul 13.30 WIB. Danarto sempat dirawat di Rumah
Sakit Fatmawati, namun nyawanya tidak dapat tertolong dan meninggal dunia
pada pukul 20.45 WIB.
79
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Adam Ma’rifat (1980), dari http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Adam_Ma%2527rifat diakses pada 28 Juli 2019 pukul 10:05.
36
B. Dunia Alternatif Danarto
Umar Kayam dalam Sebuah Pengantar mengutarakan Danarto dan cerpen-
cerpennya adalah kasus yang istimewa. Mungkin tidak ada penulis cerpen di
negeri ini yang sejak semula sudah dengan sangat sadar menciptakan “dunia
alternatif” dalam cerita-ceritanya.80
Cerita-cerita fiksi Danarto dapat mendobrak
nalar cara berpikir logis, membuat pembacanya mempertimbangkan, bahwa
sesuatu yang tidak logis itu bisa menjadi sensasi alternatif untuk mengisi setiap
bagian yang alpa dalam dunia nyata.
“Batas antara realitas dengan yang tidak realitas itu kan tipis sekali. Dan itu
bisa bersambung setiap saat. Misalnya ketika Anda mengendarai mobil tiba-tiba
kepentok kemacetan yang luar biasa. Kemudian di sebelah kiri Anda ada jalan
kampung, lalu Anda masuk situ,” Ujar Danarto dalam sebuah wawancara yang
dimuat dalam Southeast Asia Digital Library. Kesedapan realisme magis atau
kerap juga disebut sufistik dalam cerita-cerita Danarto, berangkat dari persentuhan
dengan spiritualitas yang banyak membubuhi perjalanan hidupnya. Mulai dari
ayah yang dekat dengan ilmu kebatinan, sufistik yang ia pelajari sejak usia 23
tahun, sampai pengalaman spiritualnya ketika berada di sebuah desa di Garut pada
tahun 1967.81
Menurut Umar Kayam dalam pengantarnya untuk kumpulan cerpen
Berhala, ia menelaah sebenarnya dunia alternatif apa yang sesungguhnya
diciptakan Danarto? Satu eksperimen ekstrem yang nyaris mendekati cerita
science fiction dalam tradisi Ray Bradbury atau bagaimana? Bila kita hanya
sekilas membaca cerpen-cerpen itu memang kita dapat terkecoh mendapat kesan
suasana science fiction. Akan tetapi bila kita membacanya lebih mendalam serta
lebih jauh menyimak serta berusaha mempertimbangkannya lebih teliti kita mulai
menduga bahwa dibalik cerita-cerita itu ada sesuat “strategi” yang membimbing
cerpen-cerpen tersebut. Suatu pandangan dunia, suatu worldview, yang rupanya
telah menjadi pegangan mantap bagi Danarto. Adapun pandang dunia itu adalah
80
Danarto, Berhala, (Yogyakarta: Diva Press, 2017), h. 8. 81
Kumparan, Danarto dan Dunia Sonya Ruri, dari https://m.kumparan.com/@kumparanstyle/danarto-dan-dunia-sonya-ruri diakses pada 28 Juli 2019 pukul 11:10.
harus memegang teguh perjanjian kita.” Lalu saya cabut surat
perjanjian itu dari saku dan dengan keras saya sumpalkan ke
mulutnya.226
Pada tahap ini terjadi penurunan intensitas konflik, Parman yang tidak
mendapat imbalan dari Barga. Memulai kehidupannya kembali dari hasil
penjualan rumahnya yang telah jadi abu, dengan cara memiliki kebun
kangkung dan kios untuk istrinya berjualan rokok.
c) Menuju pada adanya konflik (rising action)
Tahap ini merupakan tahap peningkatan konflik, konflik yang sudah
muncul semakin berkembang intensitasnya. Peristiwa yang terjadi semakin
menegangkan, konflik semakin mengarah pada tahap klimaks. Pada tahap
ini, terjadi kenaikan kembali intensitas konflik. Ketika Tarsih menghilang
dari kios tempatnya berjualan, dan Parman tidak berhasil menemukan
istrinya setelah berkeliling mencarinya. Namun, ketika kembali ke
rumahnya, Parman mendapati sebuah surat. Hal ini dibuktikan dengan
kutipan berikut:
Parman ditunggu di gudang.
dari sobat lama
Barga227
d) Puncak konflik (turning point)
Tahap ini disebut pula sebagai klimaks. Pada tahap ini konflik yang
dialami tokoh mencapai puncak intensitasnya. Tahap klimaks dalam cerpen
Gemertak dan Serpihan-Serpihan, terjadi ketika Barga kembali dengan
kehadirannya menculik Tarsih istri Parman dengan tujuan agar Parman mau
menuruti perintahnya dengan iming-iming keselamatan dan kehidupan yang
lebih baik.
226
Ibid, h. 153. 227
Ibid, h. 165.
91
“Istrimu, anak-anakmu, kebun kangkungmu, gubukmu, kiosmu, akan
selamat jika kamu menuruti semua perintahku.”228
Keesokan harinya saya dibawa ke ruangan sebelah. Ternyata di situlah
istri saya disekap. Menyaksikan keadaan Tarsih saya tidak mungkin
dapat memaafkan diri saya sendiri. Akhirnya saya putuskan untuk
bersedia membakar supermarket itu.229
Meskipun Parman terus menolak perintah Barga. Pada akhirnya,
Parman mengikuti perintah Barga untuk membakar supermarket tersebut,
pada mulanya supermarket itu merupakan daerah perkampungan kumuh
yang dibakarnya.
Sampai seluruhnya sunyi, dan dua orang satpam, ya, dua orang saja
meronda berkeliling dengan senternya.
Ketika seluruh lantai, tempat penjualan barang dagangan, sudah
dimakan api, saya melewati jalan darurat dan keluar. Mulus.
Melompat pagar dan langsung di cekal oleh dua orang tukang pukul
itu lalu dibawa ke mobil. Sesampainya di gudang saya disekap
kembali.230
Pada tahap ini, Parman kembali melakukan tindak kejahatan berupa
pembakaran sebuah tempat, yang dilakukannya berdasarkan perintah Barga.
e) Penyelesaian (ending)
Tahap ini merupakan tahap konflik yang terjadi mulai menemukan
solusi kemudian cerita di akhiri. Tahap penyelesaian dalam cerpen
Gemertak dan Serpihan-Serpihan dimulai dengan keberhasilan Parman
membakar supermarket. Kali ini ia mendapat imbalan seperti yang
dijanjikan oleh Barga. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
“Istri dan kedua anakmu sekarang sudah menempati kontrakan di
bilangan Manggarai,” tutur Barga ketika kami sedang menikmati
Dunia Dalam Berita TV. Sepertinya saya tidak mendengar apa yang ia
omongkan. Saya menyedot rokok dan menenggak vodka.231
Pada tahap ini Barga mengetahui alasan ia harus membakar
supermarket, yaitu karena penolakan mereka membayar upeti kepada Barga.
228
Ibid, h. 166. 229
Ibid, h. 169. 230
Ibid, h. 170. 231
Ibid, h. 171.
92
Parman semakin mengetahui rahasia-rahasia Barga. Operasi-operasi untuk
memusnahkan suatu tempat demi mendapatkan penghasilan.
Tahap ini diselesaikan dengan keadaan Parman yang semakin terbiasa
dengan tindakan pembakaran atau pemusnahan yang ditugaskan kepadanya.
Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
Sore harinya ketika saya sedang berkemas, disodorkannya seberkas
berisi tiga puluh tujuh proyek pemusnahan di pelbagai kota yang harus
saya laksanakan.232
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa, yang
bertujuan untuk merepresentasikan dirinya. Secara keseluruhan gaya bahasa
yang ditemukan dalam ketiga cerpen terdiri dari beberapa gaya bahasa, seperti
simile, personifikasi, hiperbola, dan alusi.
a. Simile
Majas simile merupakan gaya bahasa yang melakukan perbandingan secara
eksplisit ataupun langsung. Biasanya dalam majas ini digunakan kata-kata
seperti, bagaikan, sama, laksana, sebagai, dan lain sebagainya. Pengarang
menggunakan majas ini dalam kutipan berikut:
... Genggaman tangannya merenggut taplak meja dan segala masakan
yang lezat-lezat itu terseret oleh berat tubuhnya yang gendut,
berhamburan bersama porselen-porselen yang indah-indah itu. Persis
segala sesuatu yang disedot masuk jurang. Tumpah ruah terkeping-
keping. Lalu segala sesuatunya diterima sebagai sesaji.233
... Bola lampu itu berantakan dan Ayah makin kelihatan seperti
patung yang mengapung.234
Kutipan dalam cerpen Panggung di atas adalah ungkapan Joko untuk
melukiskan keadaan sang ayah usai ditembaknya. Ia membandingkan
peristiwa jatuh Ayahnya dengan menarik taplak meja yang di atasnya
berisikan berbagai jamuan itu sangat cepat jatuh bersamaan sehingga
nampak seperti tersedot masuk jurang. Persamaan yang diungkapkan adalah
besarnya kekuatan yang mampu menyedot berbagai sajian itu sehingga 232
Ibid, h. 174. 233
Ibid, h. 37. 234
Ibid, h. 50.
93
tumpah ruah. Hal tersebut merupakan bentuk penekanan untuk
menggambarkan begitu dramatisnya peristiwa terbunuhnya sang ayah.
Simile disebut sebagai gaya bahasa perbandingan, secara eksplisit tampak
pada kutipan di atas melalui penggunaan kata persis, seperti.
Pada cerpen Gemertak dan Serpihan-Serpihan memiliki majas yang
sama. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
Kobaran api menjilat-jilat angkasa, menjalar sebagai naga,
menyambar rumah demi rumah, di tingkah teriakan dan jerit
tangis para penghuninya. 235
Kutipan di atas menggambarkan peristiwa terjadinya kebakaran ketika
api semakin tinggi dan menyebar membakar semua yang ada di sekitarnya.
Ia membandingkan peristiwa api yang membakar itu seperti berjalan dari
satu tempat ke tempat lain. Secara berantai menjalar dengan menggunakan
kata “sebagai” yang merupakan ciri dari penggunaan majas simile. Kata
tersebut merujuk pada menyamakan api yang merambat seperti naga yang
panjang.
b. Personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang mengungkapkan benda
mati tetapi melakukan sesuatu hal seperti makhluk hidup. Hal itu dibuktikan
dengan kutipan berikut:
Pedal gas saya genjot dan berlarilah mobil ini seperti kijang, keluar
halaman.236
Kutipan dalam cerpen Panggung di atas menunjukkan bahwa kata
“berlarilah” merupakan tindakan yang dilakukan oleh manusia. Tetapi
dalam kutipan tersebut kata “berlarilah” dilakukan oleh benda mati yaitu
mobil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kalimat tersebut menggunakan
majas personifikasi. Kutipan tersebut digunakan oleh pengarang untuk
menggambarkan betapa cepatnya mobil itu bergerak atau dapat bermakna
bahwa sangat tergesa-gesa orang yang mengendarainya.
235
Ibid, h. 149. 236
Ibid, h. 46.
94
Pada cerpen Gemertak dan Serpihan-Serpihan memiliki majas yang
sama. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
Kobaran api menjilat-jilat angkasa.237
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kata “menjilat-jilat” merupakan
tindakan yang dilakukan oleh manusia. Tetapi dalam kutipan tersebut kata
“menjilat-jilat” diterapkan pada benda mati yaitu angkasa atau langit.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kalimat tersebut menggunakan majas
personifikasi. Kutipan tersebut digunakan oleh pengarang untuk
menggambarkan api yang menyala itu sangat besar dan tinggi hingga
nampak dekat dengan langit.
c. Hiperbola
Majas hiperbola adalah suatu gaya yang bertujuan untuk menjelaskan
suatu hal namun dilakukan dengan cara melebih-lebihkan dari kenyataan
aslinya dengan maksud untuk meningkatkan kesan dan daya pengaruh
sesuatu yang dibicarakan. Hal ini Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
Ia tidak dapat melihat siapa pun jadi terkenal, jadi kaya dan punya
pacar cantik. Pencemburu setengah modar, apinya bisa
menyebabkan neraka mbludag.”238
Kutipan dalam cerpen Pundak yang Begini Sempit di atas
menunjukkan bahwa sikap tokoh Goplak yang dikenal pencemburu.
Sehingga, rasa cemburu yang berlebihan itu mengakibatkan tanggapan yang
dramatis, bahwa kemarahan seseorang dapat mengakibatkan neraka mblulag
yang bermakna melebihi kapasitas atau berlebihan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kalimat tersebut menggunakan majas hiperbola. Kutipan
tersebut digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan jika neraka itu
dalam suatu tempat atau wadah maka daya tampungnya sudah tidak cukup
dan bisa melebar keluar hingga tidak tertampung. Begitulah bentuk rasa
cemburu berlebihan yang ditunjukkan Goplak.
237
Ibid, h. 149. 238
Ibid, h. 127.
95
Pada cerpen Gemertak dan Serpihan-Serpihan memiliki majas yang
sama. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
... Kucur peluh dibiarkannya menjadi banjir, orang-orang
kuyup menatap kobaran api dari tempat barang-barang yang bisa
diselamatkan.239
Kutipan di atas menunjukkan kondisi orang-orang yang rumahnya
mengalami kebakaran sangat sibuk menyelamatkan harta bendanya. Kondisi
mereka yang berkeringat itu lebih di dramatisir lagi sehingga dikaitkan
dengan kondisi banjir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kalimat tersebut
menggunakan majas hiperbola. Kutipan tersebut digunakan oleh pengarang
untuk menggambarkan jika banyaknya keringat yang dikeluarkan seseorang
akibat rasa letih dan udara yang panas disamakan dengan kondisi air yang
berlebihan hingga menyebabkan banjir.
B. Potret Orde Baru dalam Cerpen Panggung, Pundak yang Begini Sempit, dan
Gemertak dan Serpihan-Serpihan
Berhala memuat tiga belas cerpen yang ditulis antara tahun 1979-1987, yang
memiliki keistimewaan pada masing-masing ceritanya, di antaranya menyoal
kondisi sosial dan politik, dengan latar penulisan di kota Jakarta. Hal ini menarik
mengingat antara tahun 1965-1998 menjadi memoar perjalanan masa Orde Baru
di Indonesia yang ditunggangi oleh Soeharto. Tidak heran jika beberapa cerita di
dalamnya memotret kondisi sosial dan politik pada masa Orde Baru, termasuk tiga
cerpen di dalamnya, yaitu Panggung (1981), Pundak yang Begini Sempit (1986),
dan Gemertak dan Serpihan-Serpihan (1987).
1. Potret Orde Baru dalam cerpen Panggung
Kondisi politik pada masa Orde Baru melatarbelakangi cerpen
Panggung. Politik dalam masyarakat memiliki berbagai dimensi pengertian,
mulanya merupakan dimensi positif, yaitu upaya yang dilakukan warga negara
untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Namun,
kegiatan berpolitik kerap kali diwarnai sebatas upaya untuk mendapatkan atau
239
Ibid, h. 150.
96
mempertahankan kekuasaan di masyarakat saja. Munculnya penyalahgunaan
kekuasaan yang rentan dilakukan oleh para pejabat, sehingga tanggung jawab
besar dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara tidak lagi menjadi
pekerjaan yang terhormat.
Potret korupsi mewarnai cerpen Panggung, korupsi sebagai tindakan
penyalahgunaan atau penyelewengan yang bermuara pada kekuasaan dan uang
terjadi dalam sebuah keluarga pejabat. Dalam sebuah keluarga antara satu
dengan yang lain tentu memiliki sifat dan sikap yang berbeda. Hal inilah yang
diperlihatkan Danarto, bahwa hubungan antara orang tua dan anak tidak selalu
berjalan beriringan. Cerita dalam cerpen Panggung bermula pada kebencian
seorang anak terhadap prilaku ayahnya, kebencian itu muncul akibat surat
kaleng yang ia terima mengenai tindakan buruk ayahnya.
... Isi surat kaleng itu banyak yang mengerikan yang menuding Ayah
sebagai orang Bappenas. Ayah disindir. Dicaci. Dihina habis-habisan.
Lama-lama surat kaleng itu dapat membakar saya dan menaruhkan
kebencian dengan enaknya di salah satu kamar hati saya. Terbakar sudah!
Saya mulai membenci Ayah.240
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana seorang pejabat dianggap
sebagai sosok yang jahat, bahwa kejahatan seseorang dapat terbongkar dengan
berbagai cara, termasuk melalui surat kaleng. Artinya, setiap kejahatan tidak
mudah dapat terbongkar dan dapat diadili, begitu pun sebaliknya, tidak selalu
dapat disembunyikan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Inter-
Governmental Group on Indonesia (IGGI), kedua lembaga ini banyak
dibicarakan dalam cerpen Panggung. Pada awal Orde Baru, yang mewarisi
kebangkrutan ekonomi Orde Lama, telah muncul ide mengenai perlunya kita
memperoleh pinjaman dari luar-negeri untuk mengangkat perekonomian
Indonesia. Bersamaan dengan itu muncul pula gagasan tentang bagaimana kita
harus berhati-hati terhadap pinjaman luar-negeri. Dari gagasan tentang
perlunya pinjaman luar negeri itulah awal dari dibentuknya IGGI. Tidak bisa
diabaikan bahwa tujuan dari pembentukan IGGI adalah untuk mencari
240
Danarto, op. cit, h. 40.
97
penyelesaian utang Indonesia zaman Orde Lama pada luar-negeri yang
mencapai USD 2,4 miliar (USD 1,5 miliar di antaranya untuk pembebasan
Irian Jaya).241
Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) didirikan pada tahun
1967. Tujuannya, memberi bantuan kredit jangka panjang dengan bunga ringan
kepada Indonesia untuk biaya pembangunan. IGGI berpusat di Den Haag
(Belanda). Ketua IGGI dijabat oleh Menteri Kerja Sama Pembangunan
Kerajaan Belanda. Bantuan IGGI kepada Indonesia, antara lain berbentuk:
bantuan proyek, bantuan program, bantuan pangan, bantuan teknik, devisa
kredit (devisa yang diperoleh dari pinjaman), dan grant (sumbangan atau
hadiah). Bantuan IGGI kepada Indonesia ini diberikan setiap tahun. Setiap
tahun diselenggarakan sidang IGGI untuk membahas dan mengevaluasi
pelaksanaan pembangunan Indonesia sebagai dasar pemberian bantuan tahun
berikutnya. Bantuan yang berbentuk pinjaman (devisa kredit) bersyarat lunak
dengan bunga berkisar 0–3% setahun dengan jangka waktu angsuran berkisar
7–10 tahun. Bantuan dari IGGI yang digunakan untuk pembangunan proyek-
proyek produktif dan kesejahteraan sosial. Pada tanggal 25 Maret 1992, IGGI
bubar sebab Indonesia menolak bantuan Belanda yang dianggap terlalu banyak
mengaitkan pinjaman luar negerinya dengan masalah politik di Indonesia.242
Sehingga, keberadaan IGGI berlangsung hanya pada masa Orde Baru.
Awal Orde Baru dan terbentuknya IGGI menjadi magnet bagi
perkembangan ekonomi Indonesia. Dilihat dari peran penting Bappenas dan
IGGI dalam pelaksanaan pemerintahan dan perkembangan perekonomian yang
terjadi pada masa Orde Baru. Jika Bappenas dimulai sejak tahun 1945, IGGI
dimulai sejak 1967, dan cerpen Panggung ditulis tahun 1981, maka tidak heran
jika cerpen Panggung secara jelas menyebutkan kedua lembaga tersebut.
241
Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Keberadaan dan Peran CGI atau AID Coordinator : Tinjauan Berkelanjutan Fiskal dan Upaya Mengurangi Ketergantungan, dari https://www.bappenas.go.id/files/5213/6082/9490/sri-edi__20091015095921__2298__0.doc, diakses tanggal 18 Agustus 2019 pukul 09.30. 242
Doni Setyawan, Bantuan Ekonomi dari IGGI dan CGI , dari http://www.donisetyawan.com/bantuan-ekonomi-dari-iggi-dan-cgi/, diakses tanggal 18 Agustus 2019 pukul 09.50.
“Kamu menyembunyikan sesuatu tentang GIGI,” kata saya tentang IGGI
dengan kebiasaan menyebutnya sebagai GIGI, kepada sahabat saya
Sekretaris II Bidang Ekonomi (untuk kemudian saya sebut S II BE saja)
dari salah satu kedubes negara yang tergabung dalam grup yang
membantu Indonesia.243
Kutipan tersebut semakin menegaskan keterikatan tokoh utama dengan
kondisi aktual ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru, keberadaan IGGI dan
negara yang tergabung di dalamnya, untuk membantu ekonomi Indonesia.
Adapun anggota IGGI adalah Negara-negara kreditor, seperti Inggris, Prancis,
Belgia, Italia, Swiss, Jepang, Belanda, Jerman Barat, Australia, Selandia Baru,
Amerika Serikat, dan Kanada. Badan keuangan dunia baik internasional
maupun regional, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia
(Asian Development Bank), Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund), dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).244
Ibu melihat arloji kalungnya: “Detik ini pesawat yang membawa ayahmu
ke Zurich sedang tauke-off dari Halim.”245
Pagi hari mendarat di Orly, Paris, saya ngebut ke Boulevard Sebastopol
untuk membeli atau merampok pistol.246
Ada dua negara di antarnya disebutkan dalam kutipan cerpen Panggung
di atas, yaitu Swiss dan Prancis. Zurich adalah pusat perdagangan di Swiss dan
menjadi salah satu kota yang sangat penting di dunia. Paris adalah ibu kota
Prancis yang ramai dengan kemewahan dan pusat perbelanjaan. Kedua negara
tersebut adalah negara yang tergabung dalam IGGI. Pemilihan dan penulisan
nama negara pada cerita adalah kemungkinan hasil potret kondisi IGGI pada
masa Orde Baru.
Pembunuhan terhadap Ayah itu saya persiapkan semasak mungkin.
Artinya dengan waktu yang sangat tepat. Bertepatan dengan datangnya
para utusan IGGI yang akan meninjau berbagai proyek untuk rakyat di
Jawa Barat. Di suatu restoran yang terkenal enak dan mewahnya itu para
utusan dijamu. Dalam salah satu surat kaleng itu menyebutkan Ayah
punya kebiasaan memamerkan kemewahan sambutan yang sangat terasa
243
Danarto, Berhala, (Yogyakarta: Diva Press, 2017), h. 39. 244
Doni Setyawan, op. cit. 245
Danarto, op. cit., h. 48. 246
Ibid, h. 50.
99
berlebih-lebihan, hingga sering membuat para utusan merasa risi dan
malu. Apa maksudnya itu semua, mereka bertanya-tanya. Saya selalu
ingat batu karang dalam laut dengan lidah panjang. Dan di restoran itulah
Ayah saya habisi.247
Kutipan tersebut memotret prilaku ayah dari tokoh utama seseorang
pejabat Bappenas ketika berhadapan dengan utusan IGGI. Dalam kondisi
faktual bahwa kedatangan IGGI tidak terlepas dari memberikan bantuan,
dengan kata lain memberikan pinjaman kepada Indonesia. Menurut Sri Edi
Suwarsono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengenai
IGGI dan hutang-piutang Indonesia sebagai berikut,
Saya mengajak kita semua untuk melihat kasus utang Indonesia sebagai
suatu perjuangan untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan
meningkatkan kemandirian. Mari kita merubah posisi debt-trap menjadi
debt-resolution, merubah keterjebakan atau ketercanduan menjadi energi
sosial untuk meraih martabat dan melepas posisi subordinasi sebagai
bangsa yang tangannya menengadah di bawah.
Saya telah lama mencemaskan bahwa debt-trap telah menumbuhkan
cultural-trap, di mana posisi tersubordinasi sebagai bangsa berutang
telah menempatkan kita pada posisi keterdiktean, mem¬bentukkan mind-
set kita ke dalam pola pikir hubungan ekonomi “tuan-hamba”, yang
selalu mencari kepercayaan, mencari muka, dan mencari “suaka kultural”
kepada para kreditor berkat hilangnya percaya diri. Pikiran kita pun
tergadaikan untuk selalu mencari solusi ekonomis- finansial melalui
utang belaka dan melalui petunjuk para kreditor pula, kita “menari atas
kendang mereka”.248
Kutipan tersebut menampilkan potret bahwa langkah untuk terbebas dari
keterpurukan ekonomi dengan jalan meminjam tidak selalu menjadi solusi
terbaik, bahkan dapat menciptakan persoalan baru, seperti pada kutipan ..., di
mana posisi tersubordinasi sebagai bangsa berutang telah menempatkan kita
pada posisi keterdiktean, membentukkan mindset kita ke dalam pola pikir
hubungan ekonomi “tuan-hamba”, yang selalu mencari kepercayaan, mencari
muka, dan mencari “suaka kultural” kepada para kreditor berkat hilangnya
percaya diri.249
Berkaitan dengan kutipan cerpen ... Di suatu restoran yang
terkenal enak dan mewahnya itu para utusan dijamu. Dalam salah satu surat 247
Ibid, h. 43. 248
Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, op. cit. 249
Ibid.
100
kaleng itu menyebutkan Ayah punya kebiasaan memamerkan kemewahan
sambutan yang sangat terasa berlebih-lebihan, hingga sering membuat para
utusan merasa risi dan malu. Apa maksudnya itu semua, mereka bertanya-
tanya.250
Akhirnya, muncul mental yang rendah pada diri seseorang untuk
mendapatkan suatu pengakuan agar dapat terselenggaranya tujuan.
Kejahatan yang dibalas oleh tindak kejahatan nampak pada cerpen
Panggung. Hal tersebut terdapat pada keberanian seorang anak dalam
melakukan tindakan untuk membunuh ayahnya, meskipun ayahnya telah
melakukan tindakan yang salah, membunuh seseorang tetaplah sebuah
kesalahan. Artinya, tidak mudah untuk dapat mengadili seseorang yang berbuat
kejahatan, langkah lain yang sering kali ditempuh adalah dengan melakukan
tindakan yang lebih jahat. Sama halnya, bahwa menutupi berita besar harus
dengan berita yang lebih besar lagi, menutupi satu kebohongan dengan
kebohongan lain. Tidak hanya pada masa Orde Baru bahwa kekuasaan atau
jabatan seseorang dapat membuat hidupnya lebih mudah.
Sesampainya di sel baru, saya terbengong lagi. Beberapa pekerja sedang
memasang AC di kamar saya. Sebuah kamar yang luas dan kelihatan
bakal nyaman. Tapi ini juga berarti saya harus betah tinggal lama di sel
ini dan belajar mencintainya. Ha, ternyata ada juga TV berwarna paling
gede, video recorder dengan setumpuk kaset filmnya. Bahkan ada video
game segala. Ini apa-apaan! Saya geleng-geleng. Perabotan yang bagus-
bagus juga sedang diatur. Ini semua pasti ulah Ibu. Wanita yang luar
biasa.251
Uraian di atas menunjukkan bahwa uang dan kekuasaan dapat membuat
hidup seseorang tetap nyaman meskipun telah melakukan tindakan kejahatan,
nampak bahwa harta dan jabatan menjadi kekuasaan tunggal terhadap segala
keputusan hidup. Tindakan kolusi, korupsi, dan nepotisme menjadi rantai yang
sulit dipecah sehingga sering kali menjadi rangkaian temuan tindak kejahatan
di kalangan elite politik.
250
Danarto, Op. Cit., h. 43. 251
Ibid, h. 45.
101
2. Potret Orde Baru dalam cerpen Pundak yang Begini Sempit
Orde Baru dengan serangkaian kontroversi yang mengiringinya, memang
selalu menjadi daya tarik tersendiri dalam mempelajari sejarah pada era saat
ini. Sederet kasus-kasus dapat bermunculan ketika menyoal Orde Baru,
termasuk dalam cerpen Pundak yang Begini Sempit dengan jelas menyinggung
kasus yang terjadi pada masa Orde Baru. Potret kasus mengenai Penembak
Misterius (Petrus) dan Gabungan Anak Liar (Gali) memang lekat dengan Orde
Baru, kedua istilah itu dikenal pada masa Orde Baru sebagai sebuah kasus yang
terjadi sekitar tahun 1981-1985. Kasus memiliki pengertian bahwa yang terjadi
merupakan sebuah pelanggaran yang bertentangan dengan aturan atau
ketetapan hukum yang berlaku.
Kehadiran serangkaian kasus yang terjadi adalah ketika Orde Baru
berakhir pada 1998, tuntutan untuk mengungkap dugaan terjadinya
pelanggaran berat HAM masa lalu banyak bermunculan. Sejumlah produk
hukum bermunculan untuk merespons tuntutan itu. Misalnya, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Lebih jauh, terdapat sejumlah proses hukum
yang dilakukan oleh Komnas HAM terkait menyelesaikan persoalan kasus
masa lampau.252
Salah satunya mengenai potret kasus Petrus dan gali, meski
keberadaan gali atau preman dianggap meresahkan, namun tindakan
melenyapkan nyawa seseorang tanpa melalui proses hukum yang berlaku
tetaplah tidak dibenarkan. Potret gali nampak pada kutipan berikut.
Goplak adalah raja gali. Ia menguasai dua blok toko paling laris. Setiap
bulannya ia punya penghasilan dua juta rupiah dari hasil pungutan, upeti,
hasil kompasan, atau apa pun namanya. Ia membawahi paling tidak 50
orang anak buah, dengan didikan tangan besi. Goplak adalah ketua
gerombolan yang garang, sangat gemar main kasar. Gali-gabungan anak
liar-telah beroleh makna yang sejati di tangan Goplak, suatu rumus ke
arah lahan kejahatan yang lebih luas. Goplak adalah pengejawantahan
252
Kompas.com, Kontras Paparkan 10 Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto, dari https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=4, diakses tanggal 24 Agustus 2019 pukul 19.20.
“Aku nggak mau suamiku Petrus. Aku nggak mau!” jeritnya yang diikuti
jeritan Nining di balik pintu.256
... Begitu saya ditahan, begitu istri saya minta cerai. Alasannya terutama
karena saya ini Petrus, penembak misterius. Dia merasa disambar ledek
ketika mengetahui suaminya seorang yang pekerjaannya membunuhi
orang. Biarpun yang dibunuh itu para penjahat, dia sama sekali tak dapat
menerimanya.257
Pekerjaan sebagai seorang Petrus bukanlah sebuah pekerjaan yang
diterima begitu saja oleh orang lain apalagi keluarga, namun menjadi pekerjaan
yang di rahasiakan oleh para anggota militer atau polisi yang bertindak sebagai
Petrus. Potret pekerjaan sebagai Petrus dalam cerpen dirahasiakan karena
oknum anggota militer atau polisi tersebut tidak mendapat perlindungan hukum
sebagai Petrus.
Komandan yang tertarik cerita bohong itu berkali-kali mengunjungi saya.
Secara halus tapi kejam Komandan memepet terus saya ke pojok yang
jorok, sampai di mana hubungan saya dengan laki-laki aneh itu.
Hubungan itu berbentuk apa, sudah berlangsung berapa lama, apa saja
yang saya dapat dari hubungan itu, siapa saja yang masuk jaringan ini.258
Keberadaan Petrus yang masih dirahasiakan dan kemungkinan tidak
semua jajaran organisasi militer atau polisi turut campur di dalamnya, potret di
atas sejalan dengan kondisi aktual berikut.
Berita-berita yang terbit di media massa dihiasi silang pendapat. Kepala
Bakin Yoga Soegama menyatakan tak perlu mempersoalkan para
penjahat yang mati secara misterius (Sinar Harapan, 23 Juli 1983),
sementara itu mantan Wapres H. Adam Malik angkat bicara dan
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi penembakan misterius
(Terbit, 25 Juli 1983). “Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil
langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya
dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,”
Adam Malik mengingatkan, “setiap usaha yang bertentangan dengan
hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,” kecam pemuda
angkatan 1945 itu.
LB Moerdani, panglima yang disebut-sebut sebagai salah satu desainer
operasi Petrus itu mengatakan kalau peristiwa itu dipicu oleh perang
antargenk. Benny berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan
256
Ibid, h. 138. 257
Ibid, h. 140. 258
Ibid, h. 141.
104
tangan ABRI. Sementara itu Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran,
Ucapan dan Tindakan Saya, punya dalih lain. Dia menuturkan kalau
Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin
dengan harapan menimbulkan efek jera.
Potret gali yang harus berhadapan dengan Petrus mendapatkan nasib mati
dengan tembakan dan peluru bersarang di tubuhnya. Setelah mati mayatnya
bisa dibuang di mana saja dengan cara digeletakkan begitu saja atau
dimasukkan ke dalam karung. Kutipan cerpen berikut.
Yang menarik saya adalah tato pada punggung tangan sang pemuda itu.
Gali-gali memang biasa bertato untuk menunjukkan kejantanannya.259
“Si Epong jangan di ambil, Pak Abas,” tangis Bu Bibing sambil memeluk
kedua kaki saya, membuat anak-anak menyingkir.260
... Dan kami pun secepat kilat memasukkan mayat itu ke dalam karung,
meninggalkannya di situ, sebelum orang-orang pada berdatangan.261
Potret cara mengidentifikasi seseorang itu gali atau bukan dalam kutipan
cerpen di atas memiliki hubungan faktual dengan kondisi pada masa Orde
Baru, yaitu dapat dilihat dari tubuhnya yang memiliki tato dan cara
kematiannya yang ditembak dan dimasukkan ke dalam karung adalah akibat
dibunuh oleh Petrus.
Berita di koran-koran yang terbit pada masa itu pun hampir seluruhnya
menampilkan penemuan mayat-mayat bertato dengan dada atau kepala
berlubang ditembus peluru. Dalam sehari, di berbagai kota, hampir dapat
dipastikan ada mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau
dimasukkan ke dalam karung yang digeletakkan begitu saja di emperan
toko, bantaran kali, dan di semak-semak.262
Berdasarkan uraian di atas, potret gali dan Petrus muncul dalam satu
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Potret gali yang menjadi sasaran Petrus
untuk dihilangkan, bukan hanya bentuk kejahatannya, tetapi juga nyawanya.
3. Potret Orde Baru dalam cerpen Gemertak dan Sepihan-Serpihan
Potret yang ditampilkan dalam cerpen Gemertak dan Sepihan-Serpihan
adalah mengenai kegiatan kerja sama yang dilakukan untuk melenyapkan suatu
259
Ibid, h. 144. 260
Ibid, h. 137. 261
Ibid, h. 145. 262
Bonnie Triyana, op. cit.
105
wilayah atau tempat dengan cara melakukan pembakaran dengan tujuan
mencari keuntungan dari pihak lain. Mendengar kata kebakaran pada masa
Orde Baru maka yang paling lekat adalah peristiwa kerusuhan yang disusul
dengan pembakaran di suatu tempat yang terjadi di kawasan Tanjung Priok
pada 12 September 1984 yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa Tanjung
Priok” yang dikenal sebagai tindakan provokasi, subversi hingga pelanggaran
HAM.
Beberapa pekan sebelum 12 September 1984, kawasan Jakarta Utara bak
api dalam sekam. Di wilayah kaum buruh dan nelayan kecil yang dikenal
kumuh serta kerap banjir tersebut, isu-isu politik berbalut keagamaan bertiup
kencang. Hampir tiap minggu, para ulama via masjid-masjid
mengumandangkan kritik keras terhadap pemerintah Orde Baru yang dinilai
tidak berpihak kepada umat Islam. Dua tema yang kerap menjadi “santapan
rohani” para jamaah masjid-masjid di Tanjung Priok adalah soal pemaksaan
Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus dicantumkan termasuk bagi
organisasi-organisasi Islam dan diskriminasi pihak pemerintah terhadap para
siswa serta mahasiswa berjilbab.263
Peristiwa dalam cerpen Gemertak dan
Serpihan-Serpihan ditulis pada tahun 1987, terdapat potret yang terjadi pada
masa Orde Baru terkait kegiatan pembakaran yang terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya, misalnya Peristiwa Tanjung Priok tersebut. Memotret realitas
bahwa setiap peristiwa yang terjadi ada maksud dan tujuan yang
melatarbelakangi, sering kali ditujukan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Potret terselenggaranya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
tergambar dalam cerpen ini. Melalui kekuasaan seseorang dapat membeli
kenyamanan, meskipun telah melakukan tindak kejahatan. Hal ini tergambar
ketika tokoh Parman telah melakukan tindakan pembakaran supermarket atas
suruhan tokoh Barga.
Saya makan banyak dan enak-enak. Apa saja yang saya minta dipenuhi.
Saya juga mendapatkan pakaian-pakaian baru. Kamar tahanan serta-
263
Historia.id, Peristiwa Tanjung Priok: Darah Pun Mengalir di Utara Jakarta, dari https://historia.id/politik/articles/peristiwa-tanjung-priok-darah-pun-mengalir-di-utara-jakarta-D8JmQ, diakses tanggal 29 Agustus 2019 pukul 20.00.
merta diubah, menjadi rumah tinggal yang apik, dengan kamar mandi di
dalam, plus televisi dan surat kabar pagi. Agaknya apa yang saya
pikirkan sampai yang sepele-sepele, diketahui Barga dan dipenuhinya.264
Potret ketika di dalam penjara seorang narapidana tidak mendapatkan
kesulitan. Bahkan mendapatkan perlakuan yang istimewa sudah menjadi
rahasia umum.
Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu mengatakan transaksi jual
beli sel mewah di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan
(rutan) terhadap tahanan dan warga binaan bukan cerita baru. Kejadian
seperti di Lapas Sukamiskin, Bandung justru sudah terjadi bertahun-
tahun lalu sejak masa Orde Baru hingga saat ini.265
Potret lain yang tergambar adalah kekuasaan seorang Jenderal,
mendengar kata Jenderal tentu lekat dengan masa Orde Baru. Pada masa Orde
Baru terdapat gambaran catatan sejarah tentang “tantangan” yang dihadapi
Presiden Soeharto dalam hubungannya dengan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) selama periode 1975-1982 serta perdebatan yang
berkembang tentang peranan ABRI di masyarakat. Sekalipun perdebatan itu
menyangkut keterlibatan ABRI di seluruh segi kehidupan masyarakat.266
Tidak
heran jika cerpen ini memunculkan tokoh Jenderal di dalamnya mengingat
masa Orde Baru lekat dengan rezim militer Indonesia.
Suatu iring-iringan yang terdiri dari lima mobil memasuki kawasan.
Pintu-pintu mobil membuka secara bersamaan. Seorang jenderal
terpancang lima bintang di pundaknya muncul dari mobil-mobil yang
lain memberi hormat dengan senapannya. Bergegas ia memasuki gudang
tempat penyimpanan peti-peti. Para penjaga cepat berdiri tegak memberi
hormat. Ia meminta terpal penutupnya dibuka. Sejenak ia pandangi peti-
peti itu.267
Kutipan cerpen tersebut memberikan gambaran yang mengarah pada
tokoh jenderal yang memiliki pangkat bintang lima. Jenderal bintang lima
264
Danarto, op. cit., h. 171. 265
Berita Satu, Transaksi Jual Beli Sel Mewah Bukan Cerita Baru, dari https://www.beritasatu.com/nasional/502334/transaksi-jual-beli-sel-mewah-bukan-cerita-baru, diakses tanggal 29 Agustus 2019 pukul 20.30. 266
David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA: Rezim Militer Indonesia 1975-1983, (Depok: Katalog Dalam Terbitan, 2010), h. xxvii. 267
bergelar jenderal besar. Jenderal Besar adalah pangkat tertinggi yang dapat
dicapai oleh seorang perwira TNI. Gelar ini diberikan atas jasa luar biasa
jenderal tersebut terhadap bangsa dan negaranya bahkan dunia. Di Indonesia
sendiri hanya sedikit yang mempunyai pangkat jenderal bintang lima, yaitu
Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution,
Jenderal Besar TNI (Purn) Soeharto (Presiden Indonesia ke-2).268
“Ya,” sambungnya sambil menyapukan pandangannya ke peti-peti. “Ada
obyekan dua miliar rupiah, berwujud peralatan piawai untuk sebuah RRI.
Barangnya di dalam peti-peti ini. “Ia meraba-raba peti di sisinya.
“Supaya peralatan ini bisa laku secepatnya, peralatan lama RRI harus
dimusnahkan. Logis, kan. Ini obyekan kutu loncat yang usahanya Cuma
memindahkan saja dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Paham?”
“Paham, Jenderal.”
“Laksanakan!”
Ketika jenderal itu beranjak dari tempat duduknya, seperti saya membau
sesuatu yang terbakar. Gemertak dan serpihan-serpihan seperti
membuntutinya. Pemusnahan, gumam saya seperti meluncur dari mulut
begitu saja,...269
Potret jenderal yang ditampilkan dalam cerpen tersebut semakin
mengarah pada sosok Soeharto. Hal tersebut dapat dilengkapi dengan realitas
berikut:
Inilah pola pikir Soeharto yang berkembang sejak tahun-tahunnya di
Angkatan Darat. Pada tahun 1948-1949 Soeharto memiliki reputasi buruk
karena ketika Sultan Yogyakarta yang mendukung perjuangan melawan
Belanda tahun 1948 menyerahkan beberapa gudang penuh dengan barang
kepada Soeharto, ia tidak pernah memberikan pertanggungjawabannya.
Ketika bertugas di Semarang, Soeharto pernah dipindahkan dari Kodam
Diponegoro karena melakukan perdagangan barter dengan negara lain
secara ilegal. Bukannya mengambil hikmah dari kejadian ini, ia malah
tetap saja melakukan hal yang sama di kemudian hari.270
Dilihat dari peristiwa di atas, bahwa keterlibatan Soeharto dalam
kegiatan perdagangan benar terjadi, seperti tergambar dalam cerpen tersebut.
268
Okezone.com, Ini Dia Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Salah Satunya Mantan Presiden, dari https://nasional.okezone.com/read/2017/10/04/337/1788772/ini-dia-tiga-jenderal-bintang-lima-di-indonesia-salah-satunya-mantan-presiden, diakses tanggal 29 Agustus 2019 pukul 20.50. 269