EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPEN RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh TRI WIBOWO NIM : 1113013000045 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018
112
Embed
EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46306/1/TRI WIB… · EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPEN RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPEN
RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
TRI WIBOWO
NIM : 1113013000045
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen
Ratu Sekop Karya Iksaka Banu Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti M.Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan unsur instrinsik dalam
kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, 2) Mendekripsikan eksistensialisme
dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, 3) Mendeskripsikan
implikasi konsep eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka
Banu terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dengan menggunakan ilmu
sastra dan pendekatan filsafat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Drama-Eksistensial kerap ditemui di kehidupan
masyarakat manapun dalam berbagai macam bentuk. Maka dapat dikatakan, Dasein,
meski sebagai Adaan yang mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others), tak
seorangpun dapat menjemput/menggantikan kematiannya untuk/demi orang lain.
Selanjutnya, terdapat tiga macam Mengada yang dapat ditemui Dasein di dalam
dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat, benda-benda yang bukan alat-
alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia atau orang-orang lain. Analisis
kumpulan cerpen Ratu Sekop dapat memenuhi standar kompetensi pada pembelajaran
sastra melalui pemahaman mengenai keterkaitan unsur-unsur pembangun cerpen
dengan kehidupan sehari-hari. Melalui analisis struktur cerpen, siswa dilatih untuk
meningkatkan kepekaan dalam menemukan unsur instrinsik dan konsep
eksistensialisme yang terkandung di dalam cerpen.
Kata kunci: Eksistensialisme, Kumpulan Cerpen Ratu Sekop, Iksaka Banu, Implikasi
terhadap Pembelajaran.
ii
ABSTRACT
Tri Wibowo 1113013000045, “Existentialism in Set of Short Stories
entitled Ratu Sekop written by Iksaka Banu and Its Implication towards Learning
Indonesian Language and Literature Education in The Senior High School”,
Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiya and
Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University.
The purpose of this research are: 1) To describe intrinsic elements in the
Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu, 2) To describe existentialism in the
Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu, 3) To describe the implications of
existentialism concept in Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu towards the
Indonesian Language and Literature learning process in the school. Methods that is
used in this research paper is descriptive-qualitative, using the literature and
philosophy approaches. Based on the research, the result shows that Existential-
Drama is most likely found in any social condition and in any kind of form. Let us
say that, Dasein, as the Being that Being-with-others, no one could ever replace its
death for someone else. Next, there are three types of Being that Dasein will meet in
its life. Types of Being are ready-at-hand, presence-at-hand, and the mitdasein of the
others. The analysis of Ratu Sekop set of short stories would fulfill the competency
standards in learning literature through the understanding of the linkages between
short stories building-elements with its relations in daily life. Through the structural
short story analysis, students are trained to increase the sensitivity in finding intrinsic
elements and existentialism’s concept contained in the short stories.
Key words: Existentialism, Ratu Sekop set of Short Stories, Iksaka Banu,
Implications towards Learning
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah
memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga,
para sahabat, dan pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Eksistensialisme dalam
Kumpulan Cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.” Penulis banyak memerlukan
bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan
mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar
sarjana pendidikan (S.Pd.) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,
penulis menyampaikan terima kasih pada:
1. Ayah dan Umi tercinta, Mulyono dan Upit Supiati yang senantiasa
memberikan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril.
Kakak Pertama, Kakak Kedua, dan Adik Pertama, serta semua keluarga
yang selalu mendoakan keberhasilan penulis.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, sekaligus dosen penasehat akademik.
4. Novi Diah Haryanti, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah
memberi bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan baik.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan.
6. Akhmad Zakky M.Hum., guru spiritual yang tak pernah jemu menuntun
penulis dalam menempuh jalan sunyi.
iv
7. Rosidah Irysad M.Hum., Momskih sejagad yang tak hentinya memberi
dukungan serta visi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Roby Kurniawan dan Roni Agustinus, duet maut MarjinKiri yang
senantiasa memberikan inspirasi kepada penulis dan ide awal ini bermula
hingga tersusunnya skripsi ini.
9. Teman-teman PBSI angkatan 2013. Khususnya kepada Rizky Adhitya,
dan Raflus 1998) sebagai punggawa garis depan dalam bidang prosa.
Sementara itu, melalui keterampilan Banu (Ratu Sekop), nuansa kartun
dan komikal yang nyaris selalu hadir dengan tokoh yang selalu elastis
dijadikan untuk sesuatu yang menyulut, menghidupkan, mengagetkan,
mencubit, menarik perhatian, mengganggu, dan meneror orang (pembaca)
agar berhenti sejenak dan berpikir bahwa „Ia‟ juga manusia biasa seperti yang
lain. Ratu Sekop, bentuk-bentuk seperti kegagalan, kebebasan, kecemasan,
kesia-siaan, dan kematian juga kerap mewarnai di hampir keseluruhan
kumpulan cerpen yang sarat akan bunuh diri filosofis, sifat simbolik, juga
tragedi dan komedi.
Membaca cerita pendek Iksaka Banu yang terkumpul dalam buku Ratu
Sekop ini ibarat sedang menonton sajian sebuah film dalam imajinasi
penonton (pembacanya). Penggambaran dan detil-detil cerita yang
disampaikan lewat sudut pandang orang pertama utama menjadi semacam
39
formula bagi penulis. Latar cerita yang dekat dengan dunia seni rupa seperti
enggan melepaskan diri dari penulis yang sudah akrab dengan dunia tersebut
sejak usia dini bahkan dalam menempuh pendidikan tinggi sebelum kemudian
bekerja untuk itu. Bayangan tentang masa depan, pula menjadi hal yang
paling sering dicita-citakan manusia. Seperti robot hewan, mobil terbang,
gedung tinggi dengan asap yang selalu mengepul, lampu-lampu neon terang
menjadi sekelumit pemikiran yang identik sebagaimana kehidupan kaum
urban yang kerap mengunggulkan modernitas.
Penggambaran realisme urban juga sempat disampaikan Benny Arnas
dalam ulasannya tentang Ratu Sekop, bahwa Paradoksitas Realisme Urban
ialah sebuah potret yang ambisius dan obsesif. Irasionalitas yang ditampilkan
pun kian menguatkan paradoksitas urban, bahwa urbanitas ternyata tidak
berbanding lurus dengan rasionalitas—yang bagi masyarakat pascamodern,
rasionalitas kerap menjadi pedang yang akan menebas hal-hal yang keluar
dari daya nalar. Sebagaimana pembelahan yang menjebak Husserl dalam
dualisme dan menjadi kritik Heidegger seperti yang telah penulis singgung di
atas.
Tentu saja, mengingat Ratu Sekop dalam persinggungannya dengan
penerbit Marjin Kiri tidak bisa dilupakan begitu saja. Artinya, penerbit kecil
yang dalam skena publisitasnya kerap menerbitkan buku-buku „kiri‟yang
berpusar di jalur-jalur progresif; Marxisme; Anarkisme; dan lain
sebagainya—baik fiksi ataupun non-fiksi. Bahwa bagaimanapun, Ratu Sekop
dan Marjin Kiri dalam semangatnya yang kental dengan realisme sosialis.
Daripada humanisme universal dengan wataknya yang abstrak-universal—
yang dapat menjadi kedok persembunyian lawan yang mesti dilawan dan terus
disuarakan.
Realisme sosialis memiliki afinitas pada apa yang disebut „humanisme
proletar‟. Humanisme yang konkret yang sepenuhnya hanya berpihak kepada
kaum proletar, kaum lemah, kaum tertindas, dan kaum kelaparan, untuk
40
mendapatkan keadilan melawan kaum penghisap dan pemilik modal, maka
dalam hal ini humanisme yang dijunjung realisme sosialis adalah humanisme
yang berwatak sosial dan komunal. Realisme sosialis berpandangan bahwa
karya sastra memiliki tanggung jawab sosial untuk melawan ketidakadilan.
Dalam posisi itu, kecocokan Heidegger dalam karya Banu sangat
mungkin dipertanyakan. Benarkah Banu yang dalam persinggungannya
dengan semangat Marjin Kiri disinyalir sebagai sosok ala realisme sosialis
(atau progresif) dalam karya-karyanya justru menampilkan sosok yang
berwatak eksistensialis dan khas individualis?
Pertanyaan itu mesti penulis jawab sebelum lebih jauh menganalisis
„manusia Dasein‟ dalam cerpen-cerpen Ratu Sekop. Setidaknya ada dua
alasan yang memungkinkan pembacaan Heideggerian atas karya Banu ini
memadai. Pertama, dari sisi kepengarangan Banu. Seperti bisa kita lihat dari
daftar karya-karya yang diterbitkan, seperti Semua untuk Hindia—sebuah
kumpulan cerpen yang bertema sejarah kolonial. Selanjutnya Sang Raja,
sebuah novel sejarah yang menceritakan perjalanan seorang pengusaha rokok
kretek klobot di tengah represi zaman kolonial. Sesuai dengan misi realisme
sosialis, manusia yang ditampilkan dalam karya-karya Banu tentu bukan
sekadar manusia secara individual, melainkan manusia dengan segenap
persoalannya di bawah struktur sosial-politik-ekonomi tertentu. Terakhir,
adalah karyanya Ratu Sekop.
Namun, penulis kira, dengan manampilkan manusia yang menghadapi
persoalan struktural, disadari atau tidak, Banu sekaligus juga telah
memunculkan manusia yang memiliki kemelut personal-individual. Dengan
kata lain, soal-soal personal-individual tetap inheren dengan Heidegger dalam
sosok manusia yang ditampilkan Banu, maka pada titik itu pembacaan
Heideggerian atas karya Ratu Sekop tetap dimungkinkan—dan karenanya bisa
tetap memadai.
41
Selanjutnya, dari sisi isu Heideggerian. Sekalipun sering dicap sebagai
filsuf eksistensialis, namun Heidegger tidak memahami manusia sebagai
sosok yang egois dan individualis. Hal ini yang membedakan Heidegger
(sebagai eksistensial ontologis) dengan filsuf eksistensialis lainnya, seperti
Sartre semisal. Sartre, dalam naskah drama No Exit (Huis Clos, 1994),
memandang perjumpaan manusia dengan manusia lain selalu dalam kondisi
tegang, konfliktual—kesadaran subjek yang saling mengobjekkan, maka
orang lain pun, bagi Sartre, adalah neraka. Namun, bagi Heidegger, relasi
manusia (Dasein) dengan manusia lain (Mitdasein) terjalin lewat laku
Füsorgen atau Concern (merawat/memelihara). Artinya, perjumpaan manusia
dengan sesamanya di dunia tidak dengan saling mengobjekkan sebagaimana
dalam pertemuan manusia dengan alat (Zuhandenes), tetapi dengan saling
memelihara dan saling menjaga, sebab manusia selalu butuh kepada manusia
lainnya—hidup di dalam dunia secara bersama.
Dengan pemahaman tersebut, manusia Dasein juga memiliki watak
sosial dan komunal. Manusia Heideggerian selalu berada dalam ruang tegang
antara yang-personal dan yang-sosial; antara keheningan dan keramaian; dan
antara yang-otentik dan yang-inotentik. Manusia dalam Ratu Sekop adalah
representasi sempurna dari manusia Heideggerian—manusia yang hendak
melawan represi struktural dengan disertai gejolak yang sifatnya personal.
C. Sinopsis Cerpen Listrik
Tokoh dalam Listrik adalah seorang pengarah kreatif di salah satu biro
iklan yang melegenda. Dengan latar krisis moneter, ancaman-ancaman yang
mengganggu kelangsungan hidup seseorang bisa saja sewaktu-waktu. Salah
satunya ialah kehilangan pekerjaan di tengah persaingan yang sangat massif.
Dan tentu saja, imbasnya tidak lain mengganggu stabilitas ekonomi sebuah
keluarga, yang bahkan hanya terdiri atas suami dan istri saja.
42
Sementara kegagalan demi kegagalan dalam membuat iklan yang
sesuai dengan „keinginan‟ klien juga bukanlah hal yang baik. Terlebih bagi
pekerja kreatif yang tengah berhadapan dengan teror PHK dari Pimpinan
perusahaan, pemecatan atasnama efisiensi tenaga kerja, tentu saja, dapat
mengancam kelangsungan hidup aku kapan saja.
Sepulang kerja, aku tiba ke rumah dan mandi. Berharap guyuran air
mampu melenyapkan kepenatan, lamunan aku sebentar terhenti oleh suara
piring pecah dan kelontang alumunium. Ternyata di dapur, Istrinya sudah
terduduk lemas akibat tersengat arus listrik rice cooker.
Berkat insiden tersebut, Istrinya justru memiliki kemampuan membaca
pikiran orang lain di hadapannya. Artinya, segala rahasia dan hal-hal pribadi
yang terdapat dalam benak aku (sang suami) juga dapat diketahui Istrinya
dengan mudah.
Sebentar kerumitan pun terjadi di antara keduanya, masalah teratasi
sejak aku mendadak ingat sesuatu dan menerima kemungkinan untuk
menghargai keajaiban yang dimiliki Istrinya. Bahwa bekerja sebagai pengarah
kreatif di dunia periklanan, Istrinya adalah jawaban yang tepat untuk
senantiasa mengetahui apa yang ada di benak klien.
Kali ini, Istrinya ikut dalam pertemuan lanjutan dengan calon klien.
Tentu saja, spionase dengan membaca pikiran termasuk rencana besar mereka.
Tetapi alang kepalang, rencana itupun tidak cukup menghindarkan aku dari
suatu kegagalan. Kemesuman pimpinan klien, yang mestinya menjadi target
utama spionase, justru membuat jengah Istrinya. Dan mengalihkan pembacaan
kepada aku, suaminya, yang terpesona oleh keseksian Brand Manager.
Kecemburuan sang Istri dan kenakalan aku kemudian menggenapkan
kegagalan.
Bayangan PHK kembali menyeruak. Mendapat pekerjaan baru pun
bukan hal yang mudah bagi orang-orang pecatan di masa krisis moneter.
Hingga satu keajaiban kembali terjadi, tepatnya di ruang makan, kali ini steker
43
dari rice cooker itu menyengat tubuh aku. Tetapi bukan lagi membaca pikiran
sebagaimana kemampuan sang Istri, melainkan kini tubuh aku menjadi
transparan.
Setelah Istri yang mampu membaca pikiran, dan kini tubuh aku yang
menyusul menjadi transparan, apa yang terjadi selanjutnya? Hanya akhir
cerita yang terbuka sukses menutup Listrik. Seakan pembaca memang
dibiarkan menentukan sendiri cerita itu mesti diakhiri
D. Sinopsis Cerpen Belati
Tokoh dalam Belati adalah seorang pelukis yang tengah menghadapi
tudingan dan giringan opini miring atas dirinya. Armin Kelana. Kemudian
memutuskan untuk bunuh diri dengan plot yang sudah ia rancang sedemikian
heroik. Bahkan ia tengah menyiapkan masterpiece, selagi darah mengucur
sebagai cat kanvas, dari nadi yang ia potong dengan Belatinya.
Dalam perundungan hidup untuk masa depan dan penenentuan nasib
yang kerap diremehkan, maka membuat misi suci demi terobosan bagi
lukisannya adalah cara paling memungkinkan untuk melawan dan menepis
semua labelisasi terhadapnya.
Kemudian kejutan muncul ketika seorang tamu datang mengetuk
pintu. Kelana membuka pintu. Tetapi nahas, tamu tadi terkena serangan
jantung di kamarnya. Refleks, Kelana menahan tubuh tamu yang limbung.
Dan jambiya yang sengaja tidak disimpan, karena rencana yang akan
digunakan untuk mewujudkan impiannya, malah menusuk dada sang tamu
bernama Pak Kadiyoso. Akhirnya, kematian Pak Kadiyoso terus menggiring
Kelana kepada kematian-kematian lain.
Meski rangkaian kematian demi kematian rahasia sempat menunda
rencana Kelana, misi suci tidak berhenti begitu saja. Ia lalu memutuskan
untuk melakukan percobaan yang kedua. Meski kemudian, sebuah ketukan
44
pintu harus kembali menunda rencana Kelana. Kali ini Pak Damhuri, bertamu
untuk menanyakan ke mana Pak Kadiyoso pergi. Dan dengan pertimbangan
dari seluruh isi pembicaraan yang disampaikan Pak Damhuri, Kelana merasa
dicurigai. Dan untuk memastikan bahwa perbuatannya tidak ketahuan, Kelana
perlahan-lahan menarik ke atas belatinya dari balik saku kimono.
Meski demikian, apa yang terjadi selanjutnya? Sebagaimana cerita
lainnya, Belati ditutup dengan akhir cerita yang terbuka. Lagi-lagi, pembaca
seakan memang dibiarkan menentukan sendiri bagaimana cerita itu mesti
diakhiri.
E. Sinopsis Cerpen Istana Gotik
Tokoh dalam Istana Gotik ini diceritakan adalah seorang centeng yang
tengah yang tengah menyongsong kematiannya sendiri, yakni ketika rasa
dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya dan akan mati menuju hidup abadi
bersama Nona Miranda, kembang Istana Gotik yang berada di pangkuannya.
Willem, seorang centeng pensiunan KNIL yang kini bekerja di salah
satu rumah bordil kelas atas bernama Istana Gotik. Sedang tugasnya adalah
menjaga keselamatan Nona Miranda dari segala ancaman dan melakukan
pengawasan dari ulah pelanggan mabuk yang membahayakan nyawa Miranda,
termasuk nyawanya sendiri.
Hingga, Tuan Dorsten, seorang yang menjadi sumber kecemburuan
Willem, begitu leluasa membawa Nona Miranda ke mana saja tanpa
pengawasannya. Kemudian cerita mencapai klimaksnya, ketika pertemuan
tidak sengaja pada suatu pagi di sebuah bengkel auto. Willem melihat sekilas
ke pipi kiri Nona Miranda yang penuh dengan rona lebam.
Kekhawatiran Willem selama ini menjadi jelas setelah menerima surat
keempat yang dikirimkan Nona Miranda melalui kurir seorang Bocah Bisu.
Tiga kali Bocah bisu itu datang, membuat bara api di dalam hati Willem
semakin membesar tiap kali membacanya. Hingga tiba surat keempat, lengkap
45
bersama ikatan lonceng kecil yang menjadi penanda sebuah bahaya besar:
“Ayah, aku ingin pulang.”
Selanjutnya, cerita ini berakhir dengan kematian Nona Miranda.
Disusul dengan refleksi tokoh Willem yang sedang sekarat menjelang ajalnya
sendiri. Tentang ia yang begitu menginginkan kematian, bayangan lantai
dansa dalam alunan musik swing jazz serta percakapan sebuah kehidupan
yang abadi.
Lalu bagaimana dengan nasib Willem dan Istana Gotik itu? Akhir
cerita yang terbuka, kembali menutup Istana Gotik. Pembaca seakan kembali
dibiarkan menentukan sendiri bagaimana cerita itu mesti diakhiri.
46
BAB IV
HASIL ANALISIS
A. Analisis Unsur Intrinsik
Buku kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu memuat 13
cerita. Tetapi dalam pembahasan ini, penulis hanya akan menganalis 3 cerpen,
yaitu Listrik, Belati, dan Istana Gotik (selanjutnya disingkat IG).
1. Tema
Tema dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop mayoritas terkait
pembahasan eksistensialisme, khususnya refleksi tokoh-tokoh terhadap
kematiannya sendiri—yang bersifat filosofis maupun simbolis. Berbeda
dengan gerak eksistensial entitas-entitas lain, manusia adalah adaan yang
berada sebagai keberadaan di dunia yang sekaligus mempertanyakan ada di
antara cara berada ada-adaan yang lain.
Selain tema kematian, kumpulan cerpen Ratu Sekop juga
menampilkan tokoh-tokoh yang selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan
kesia-siaan dalam serangkaian keterlemparan dan kejatuhan sebagai drama
berada-bersama. Tokoh-tokoh yang dalam menghayati adanya dalam sebuah
lingkungan-sekitar (umwelt)—selanjutnya disebut sebagai Dasein, selalu
mengada mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others atau Mitsein),
mengada-berdampingan-dengan-benda-benda (Being-alongside-things atau
Sein-bei), dan mengada-pada-dirinya (Being-one‟s-self atau Selbstein).
Contoh kematian dalam cerpen Listrik dialami oleh tokoh Suami yang
bersifat simbolis, yakni tubuhnya yang sebentar hilang sebentar muncul,
berubah menjadi transparan seperti es batu setelah menyentuh steker penanak
nasi.
47
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”1
Kematian simbolis yang ditunjukkan dalam cerpen Listrik terlihat dari
kutipan “aku sendiri masih bisa melihat jelas seluruh tubuhku”, sementara
bagi orang lain termasuk istrinya tidak mampu melihat tubuhnya kecuali
kelebat yang transparan. Artinya, Suami sebagai adaan yang merasakan
keberadaannya, tidak dirasakan lagi kehadirannya di hadapan orang lain.
Contoh kematian dalam cerpen Belati dialami oleh tokoh Armin
Kelana yang bersifat filosofis, yakni ketika ia tengah mempersiapkan
kematiannya sendiri, dengan sebilah belati yang akan digunakan untuk
memotong urat nadinya sendiri.
Kalau semua lancar, maka menit-menit di antara saat pemotongan nadi
sampai datangnya malaikat maut akan kupakai untuk menyapukan
warna merah yang berasal dari darahku ke atas lukisan tadi sebanyak-
banyaknya. Setelah itu, aku percaya kebenaran akan hadir. Setelah itu,
aku percaya tidak akan ada lagi yang meremehkanku.2
Kematian filosofis yang ditunjukkan dalam cerpen Belati terlihat
ketika Tokoh dalam cerita ini, Armin Kelana, memutuskan untuk bunuh diri
dengan plot yang sudah ia rancang sedemikian heroic, bahkan ia tengah
menyiapkan masterpiece selagi darah mengucur sebagai cat kanvas, dari nadi
yang ia potong dengan sebilah belati.
Contoh kematian dalam cerpen IG dialami oleh tokoh Centeng yang
tengah menyongsong kematiannya sendiri, yakni ketika rasa dingin mulai
menjalar ke seluruh tubuhnya dan akan mati menuju hidup abadi bersama
Nona Miranda, kembang Istana Gotik di pangkuan.
1 Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017), h.
58 2 Ibid., h. 60
48
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Belum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan. Saling bercakap tentang kehidupan abadi.3
Menyongsong kematian yang ditunjukkan dalam cerpen IG ini
sebetulnya sangat dekat dan akrab sekali dengan keberadaan Tokoh dalam
cerita ini, Willem, seorang centeng pensiunan KNIL yang kini bekerja di salah
satu rumah bordil kelas atas bernama Istana Gotik. Sedang tugasnya adalah
menjaga keselamatan Nona Miranda dari segala ancaman dan melakukan
pengawasan dari ulah pelanggan mabuk yang membahayakan nyawa
Miranda, termasuk nyawanya sendiri.
Beberapa macam kematian yang diangkat dalam kumpulan cerpen
Ratu Sekop menggambarkan bahwa kematian dalam berbagai bentuk sering
ditemui di kehidupan masyarakat manapun. Meski demikian, Dasein sebagai
Adaan yang mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others), tak seorangpun
dapat menjemput kematiannya untuk orang lain. Kematian adalah momen
paling otentik dan eksistensial bagi Dasein.4
Cerpen IG misalnya, seorang centeng boleh saja merasa telah
mewakili kematiannya demi Istana Gotik. Atau bunuh diri Armin Kelana
dalam Belati yang coba mendedikasikan kematiannya demi karya seni secara
filosofis, kegagalan dan banyak kematian orang lain juga akhirnya tidak bisa
mewakili dirinya. Atau lihat pula kematian simbolik yang dialami kedua
tokoh dalam Listrik, pasangan suami-istri yang akhirnya mesti mengalami
kematiannya masing-masing dan tetap menghadapi kematiannya sendiri
3 Ibid., h. 171
4 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), h. 103.
49
seorang diri bukan mewakili kematian yang lain, bahkan demi pasangannya
sendiri.
Tentu saja, bagi Heidegger, kematian bukanlah kematian fisik
melainkan kemungkinan untuk mati. Dengan kata lain, kematian dimengerti
secara eksistensial. Sebagaimana seorang manusia lahir, ia sudah terlalu tua
untuk mati.5
Death (Tod) is not organic death, “perishing” (Verenden) that state of
any biological being in which it loses all organic functionality, nor
“demise” (Ableben) that event which concludes a human being‟s life,
and which, for example, is commemorated and legally ascertained. But
death is “dying” (Sterben), is dying, that is, not the event of death,
organic of the conclusion of life, but that way in which Dasein is
toward its death (Sein zum Tode).6
Atas dasar menyongsong sejak awal sampai akhir, di sini kematian
sebagaimana juga kelahiran, mendapat pengertian eksistensial. Pada skema
yang lebih sederhana, Heidegger ingin mengatakan, (faktisitas) manusia
terlempar di dunia ini, terbenam dalam kesehariannya, dan akhirnya mati.7
Meski demikian, kematian yang dimengerti sebagai kemungkinan
untuk mati tidaklah pasti kapan dan bagaimana terjadi, maka kecemasan akan
kematian (Angst vor dem Tode) inilah yang muncul dalam momen
eksistensial. Lalu ketidakpastian akan membawa sikap Dasman yang
cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti
menimpa setiap orang; atau sikap Dasein yang cenderung membuka diri
terhadap kemungkinan yang paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.
5 “As soon as man comes to life, he is at once enough to die.” Heidegger, Martin, Being and
Time. [pen. John Macquarrie and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 289. 6 Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. Joan Stambaugh]. (New York: State University of
New York Press, 1996), h. 223-224; dan h. 229. 7 F. Budi Hardiman, Op cit., h. 99.
50
Seorang centeng dalam cerpen IG, boleh saja seakan tampak tidak
cemas atas kematiannya. Tapi membuka lemari senjata, menyiapkan sepasang
Browning M1903 berikut empat klip magasin dan sabuk kulit berisi enam
bilah pisau lempar8 adalah sikap (Vorlaufen) dari antisipasi Dasein yang
menyadari keterlemparan dari kecemasan eksistensialnya untuk mengambil
keputusan penting yang menentukan kemungkinan arah hidup.
Centeng yang seolah dihadapkan pada kemungkinannya sendiri dan
harus „melompat‟ ke dalam kemungkinan tersebut. Sikap berani menghadapi
kemungkinan yang paling khas ini tak lain daripada sikap membuka diri
terhadap kematiannya sendiri. Inilah pengalaman kebebasan eksistensial yang
menurut Heidegger tak lain daripada „kebebasan menuju kematian‟ (Freiheit
zum Tode).9
2. Latar
Latar merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk
membentuk suatu cerita. Biasanya latar yang dimunculkan dalam cerita akan
mampu membawa pembaca untuk merasakan kejadian-kejadian yang dialami
oleh tokoh di dalam cerita, bahkan Stanton mengelompokan latar, bersama
dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang
dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca
cerita fiksi.10
Latar sebagai „seluruh milieu dari sebuah cerita‟, seperti tata cara,
kebiasaan, cara hidup, latar belakang alam dan lingkungan sekitar. Hudson
membedakan dua jenis latar, (a) sosial; dan (b) materiel, latar-latar itu dikenal
sebagai ruang atau „tempat‟ tokoh-tokoh melandaskan laku dan alasan
8 Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
9 F. Budi Hardiman, Op cit., h. 108.
10 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2005), h. 216.
51
psikologis pertumbuhan tokoh.11
Untuk memahami ketiga latar cerpen dari
kumpulan cerpen Ratu Sekop dapat ditilik dari segi latar „materiel‟, yakni
„dunia desain‟ (cerpen Listrik), „dunia seni‟ (cerpen Belati), dan „dunia
centeng‟ (cerpen IG). Sementara, latar sosial yaitu kerutinan kehidupan umum
tokoh-tokoh yang menghayati adanya dalam sebuah lingkungan-sekitar
(umwelt) atau dunia yang sudah selalu dipahami berdasarkan struktur
ontologis Dasein yang mendiaminya. Serta nilai sosialnya yang mengalami
perbenturan atau kritiknya dengan „nilai pribadi‟ tokoh yang tumbuh
menggejala secara eksistensial.
Pada cerpen Listrik, „dunia desain‟ menjadi latar yang membentuk
cerita, sehingga memunculkan seorang pengarah kreatif sebagai tokoh yang
sejak memikirkan sesuatu, cenderung mengganti kalimat sulit dengan
potongan film dan gambar sebagai peristiwa bahasanya.
Terkutuklah krisis moneter ini. Bagi biro iklan sekecil tempatku
bekerja, imbasnya adalah sebulan sekali kami harus bertempur
beberapa biro iklan lain untuk memperebutkan klien baru, atau satu
persatu kami akan didepak ke luar oleh pemimpin perusahaan atas
nama efisiensi.12
Latar sebagai „dunia‟ keterlemparan Dasein, menunjukkan bahwa
sejak awal tokoh sudah harus menyerahkan diri ke dalam kehidupan untuk
senantiasa „memahami‟13
dan menjalaninya. Dengan kata lain, „dunia
designer‟ ini pula yang membuat tokoh untuk memahami keterlemparannya.
Dengan mengambil keputusan terhadap kemungkinannya sendiri, sebagai
rancangan atas proyeksi hidupnya yang berorientasi ke masa depan.
11
Dami N. Toda. Novel Baru Iwan Simatupang. (Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka, 1984), h. 41 12
Iksaka Banu, Op cit., h. 44. 13
“Pada ranah ontologis ini memahami bukan sekadar aktivitas kognitif, melainkan cara manusia
berada di dalam dunia ini. Dalam tinjauan ontologis ini memahami merupakan ciri eksistensial kita
sebagai Dasein.” lihat Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher
sampai Derrida. (Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015) h. 112.
52
“Aku tidak begitu yakin. Semua muncul dan lenyap dengan sangat
cepat. Tapi kurasa gabungan keduanya. Tampaknya kau cenderung
mengganti kalimat sulit dengan sepotong foto atau suatu adegan film
untuk membuatnya menjadi sebuah kalimat lengkap...”14
Tokoh Suami sebagai seorang pengarah seni, sudah terlibat begitu saja
bersama praktik-praktik seni dalam hidup yang dijalaninya, sehingga
„memahami‟ sebuah desain tidak berarti sekadar „pengetahuan‟ tentang seni
desain, melainkan kemampuan atau kepiawaiannya dalam mengerjakan
desain. Atau sebagai cara bereksistensi, desain mendahului dan
memungkinkan pemahaman tokoh Suami ini tentang bagaimana membuat
kerangka bentuk, menyusun pola atau corak.
Begitupun yang terdapat dalam cerpen Belati, „dunia seni‟ menjadi
latar yang menggejala bagi Armin Kelana sebagai seorang pelukis, bahkan
sebelum ia mempersiapkan kematiannya.
Masih terbayang judul artikel sebuah surat kabar ternama ibukota yang
mengulas pameran terakhirku dua tahun silam: Armin Kelana,
gagalnya kebangkitan ulang aliran abstrak ekspresionis Indonesia.
Atau judul sebuah majalah terkemuka: Armin Kelana dan “action
painting” Indonesia, sampai di sini saja! Atau paragraf pertama jurnal
seni lainnya: Dunia pernah setengah hati menerima Jackson Pollock,
pelukis yang menetes-neteskan adonan cat ke atas kanvas. Alangkah
malangnnya orang labil yang mencoba menjadi pengikutnya atas
nama sensasi.15
Latar ini pula yang menjelaskan bahwa Kelana hidup dalam dunia
yang dibentuknya sekaligus membentuk dirinya; pelukis, politikus seni, surat
kabar, pelukis terdahulu, kritikus, kolektor, promotor, istri, tetangga hingga
penghuni apartemen. Artinya, keterlemparan ke dunia inilah yang membuat
Dasein memiliki seluruh makna dan pemaknaan.
14
Iksaka Banu, Op cit., h. 49. 15
Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61.
53
Kuikat surat wasiatku dengan pita merah, lalu kuletakkan dekat
sepasang lilin wangi di samping lukisanku. Isi suratku pendek saja:
“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari
segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”16
Melalui latar ini pula, Kelana merasakan adanya momen
keterlemparan. Ia cemas dengan keberadaannya, menyesali keterlemparannya
dan mengutuk dunianya. Meski demikian, alih-alih sebuah perlawanan
struktural dalam lingkup komunal, justru yang tampak menonjol dalam
momen itu justru sebuah tegangan eksistensial yang amat personal.
Kemudian cerpen IG, judul yang juga menjadi sebuah nama dari
lokalisasi yang melatari cerita ini. Sebuah rumah bordil kelas atas yang
berlanggam hias gotik. Berikut gadis-gadis molek dan dan beberapa kamar
dengan ranjang beraroma cendana. Meski demikian, justru bukan „lokalisasi
pelacuran‟ yang menjadi latar pembentuk cerita. Melainkan „dunia centeng‟
yang menggejala dalam diri seorang Willem atau Bang Willie sebagai seorang
penjaga Nona Miranda dari para lelaki mabuk dan pelanggan-pelanggan yang
mengancam keselamatannya.
Cara kerjaku ringkas. Kuwajibkan pasangan Nona Miranda bertatap
wajah denganku terlebih dahulu, setelah itu barulah aku siaga di luar
kamar. Semacam peringatan agar mereka tidak macam-macam. Jarang
yang tak bergidik melihat ukuran tubuh dan bekas luka di wajahku.17
Latar ini pula yang menjelaskan bahwa Bang Willie hidup dalam dunia
yang dibentuknya sekaligus membentuk dirinya, yaitu kerutinan kehidupan
umum tokoh-tokoh yang menghayati adanya dalam sebuah lingkungan-sekitar
16
Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 17
Iksaka Banu, Op cit., h. 162.
54
(umwelt) atau dunia yang sudah selalu dipahami berdasarkan struktur
ontologis Dasein yang mendiaminya.
Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning M1903 berikut empat klip
magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kukaitkan pula di dada,
sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil
memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,
agar disampaikan kepada Babah Sun.18
Latar akhirnya, baik „dunia desain, lukis atau centeng‟, dikenali
Dasein sebagai ruang atau „tempat‟, dunia yang bagi tokoh untuk
melandaskan laku dan alasan pertumbuhannya untuk memahami
keberadaanya secara eksistensial. Dengan kata lain, sebagai pra-reflektif atau
pra-pemahaman,19
yaitu keterbukaan manusia terhadap dunianya.
Akhirnya, sebagai cara bereksistensi, tokoh terlibat begitu saja dalam
praktik-praktik yang menumbuhkan pemahamannya yang pra-reflektif sebagai
seorang seniman. Atau sebagai totalitas keterlibatan kita dalam praktik-praktik
hidup yang kita jalani, dan hal itu “bungkam‟, yaitu non-tematis, pra-
predikatif, non-verbal.20
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop digambarkan selalu
mengalami bentuk-bentuk seperti kejatuhan, faktisitas, kecemasan, juga
kematian. Gambaran penokohan juga sekaligus menampilkan sturuktur dasar
manusia; yang-terlempar ke dunia, berada-dalam-dunia, dan menuju-
18
Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 19
“Interpretation is not the acknowledgment of what has been understood, but rather the of
possibilities projected in understanding.” Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. John Macquarrie
and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 139. 20
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.
(Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015) h. 114-115.
55
kematian. Sebagai makhluk penanya Ada-nya, tokoh pula yang memunculkan
kecemasan (angst) eksistensial.
Pada momen ini, kecemasan membuat dasar-dasar keseharian tokoh-
tokoh menjadi transparan. Atau dengan kata lain, kecemasan menelanjangi
Dasein sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi
tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensialnya, sehingga kumpulan
cerpen Ratu Sekop kerap menampilkan tokoh-tokoh yang selalu diliputi
kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian keterlemparan dan
kejatuhan sebagai drama berada-bersama.
Pada cerpen Listrik, Suami adalah tokoh sentral yang selalu diliputi
kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian yang-terlempar ke
dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang juga sekaligus
tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami ketersituasiannya
menghadapi krisis moneter juga ancaman PHK.
Seakan tidak diizinkan untuk „melamunkan‟ apa yang baru saja terjadi,
sebab peristiwa lain menyusul dengan ditandai jeritan sang Istri.
Kubuka pintu dapur dan kujumpai ia terduduk lemas di lantai di antara
kepingan piring. Mukanya putih, badannya menggigil. Tiga jari tangan
kanannya tampak sedikit melepuh keputih-putihan. Di atas meja, dari
pantat rice cooker tua kami yang terserak isinya, seutas kabel dengan
kepala steker yang telah pecah plastiknya tampak menjulur ke
bawah.21
Atas peristiwa tersebut, Sita, istri dari tokoh Suami itu memiliki
keajaiban membaca pikiran. Meski sempat terjadi kebuntuan karena
perselisihan yang alot di antara keduanya, kemahiran tokoh Istri kemudian
diakomodasi pada ketersituasian tokoh Suami yang terancam kehilangan
pekerjaannya di biro iklan.
21
Iksaka Banu, Op cit., h. 46.
56
Menit-menit berlalu. Untuk sementara perhatian kami berdua beralih
kepada acara iklan di layar televisi. Iklan! Mendadak aku teringat
nasihat pimpinan perusahaan untuk senantiasa mengetahui apa yang
ada di benak para klien. Bukankah ini saat yang tepat?22
„Ada‟ Dasein tak pernah mencapai keseluruhannya,„menjadi‟ karena
terus-menerus mengada yang merupakan suatu „kebeluman terus-menerus‟.
Dalam arti inilah, Heidegger lalu menyebut bahwa Dasein adalah
kemungkinan itu sendiri (Seinkönnen), ada Dasein tak lain daripada sesuatu
yang ia tentukan sendiri.23
“Teganya kau!” aku meremas rambut, “Biar kuberi tahu: taka da
namanya lain kali! Itu adalah pertemuan terakhir dengan mereka. Dan
kami belum berhasil menemukan ke mana sesungguhnya arah
marketing mereka! Padahal aku hidup dengan seorang ahli pembaca
pikiran satu-satunya di dunia! Yah, apa boleh buat, pembaca pikiran
ini rupanya selalu curiga kepada suaminya. Ia tak tahu, sebentar lagi
suaminya akan hidup menjadi gelandangan di jalanan tanpa pekerjaan.
Mengapa aku harus mengalami ini semua?”24
Bayangan hidup menjadi gelandangan, Suami sebagai tokoh dari
drama eksistensial Dasein tetap tak bisa menghindari kemungkinannya sendiri
dan akan senantiasa mengalami kegagalan demi kegagalannya yang lain.
Seperti satu peristiwa lain di bagian penutup cerpen Listrik. Tubuh Suami
tersentak hebat akibat arus listrik yang berasal dari steker rice cooker,
membuatnya kini tampak transparan seperti es batu.
22
Iksaka Banu, Op cit., h. 54. 23
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 58. 24
Iksaka Banu, Op cit., h. 56.
57
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”25
Hingga akhirnya, Suami sebagai Dasein seakan menemui suatu nadir
ontologisnya: mencapai totalitas Ada-nya. Metafora „transparan‟ yang terjadi
pada tubuh Suami, meski bukan secara fisik, melainkan secara simbolis adalah
kematian Dasein. Artinya, persis di titik itulah Suami kehilangan kontak Ada-
nya dan berhenti sebagai berada-di-dalam-dunia.
Sementara pada cerpen Belati, Armin Kelana adalah tokoh sentral
yang selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian
yang-terlempar ke dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang
juga sekaligus tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami
ketersituasiannya menghadapi tuaian para kritikus yang membentuk opini-
opini sesat; labelisasi; tudingan demi tuduhan yang kerap meremehkan.
Sebulan penuh aku melawan. Namun akhirnya semua jumpa pers serta
jasa public relations yang mahal itu terbukti tak cukup ampuh
memulihkan namaku. Pameran-pameranku tetap jeblok. Kolektorku
kebingungan. Promotorku patah arang. Utang-utangku tak terbayar.
Rumah mewahku lenyap. Istriku kabur.”26
Antara keinginan untuk melawan atau menerima begitu saja
perundungan hidup dan penenentuan nasib, kondisi itulah yang membuat
Kelana menjadi Dasein. Kelana yang merasa cemas terhadap keber-Ada-
annya, bahwa kecemasan menyendirikan Dasein pada berada-di-dalam-dunia-
nya yang tak dapat dipertukarkan dengan orang lain.27
25
Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 26
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 27
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91.
58
Orang-orang public relations mengatakan, semua akan pulih seperti
sedia kala apabila aku mau melukis dengan gaya lama. Kupikir usul
itu tolol sekali. Kupecat mereka semua.”28
Berdasarkan kutipan tersebut, Kelana sampai pada kebulatan tekad
atau momen visi (pengambilan keputusan), atau dalam Mistik Keseharian,
keterpesonaan akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan dan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditangani.29
Lalu di luar itu, apakah Kelana berarti adalah seorang eksistensialis
yang sangat egois dan individualis? Jawabannya: iya dan tidak. Jawaban iya,
sejauh Kelana dipahami hanya sebagai sosok personal, terlepas dari kaitan
struktural. Ini semakin dipertegas dengan pernyataan setelah itu aku berhenti
melukis, lalu menyepi di sebuah apartemen kecil. Jawaban menjadi tidak,
sejauh Kelana hanya benci apartemen, tapi tidak pernah benci penghuninya
dan dipahami tidak hanya sebagai sosok personal, melainkan juga sebagai
representasi dari sebuah kelas dalam struktur sosial.
Walau menjengkelkan, aku tak keberatan menerima mereka. Terutama
semenjak istriku minggat. Beberapa dari mereka bahkan pernah
menjadi mode lukisanku. Aku benci apartemen (karena rumah
mewahku lenyap .pen), tapi tidak pernah benci penghuninya.30
Kelana akhirnya hanyalah representasi kelas bawah (pelukis), yakni
kelas yang tertindas (leh Politikus Seni, Surat Kabar, Pelukis terdahulu,
Kritikus, Kolektor, dan Promotor, Kelana adalah personifikasi sempurna dari
kehendak perlawanan masyarakat urban—yang tak mendapatkan apa-apa di
tengah modernitas.
28
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 29
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91. 30
Iksaka Banu, Op cit., h. 64.
59
Kubayangkan wajah mereka besok pagi, melihat tubuhku terbaring di
depan sebuah pernyataan seni paling orisinil abad ini: lukisan
darah!”31
Kembali pada eksistensialitas tokoh Kelana dalam drama sebagai
Dasein, proyek „misi suci‟ tokoh Kelana bukan pula sebuah bentuk
perlawanan frontal terhadap realitas historis. Alih-alih larut dalam keseharian
dan mengutuk dalam kejatuhan (Verfallen), sebuah tegangan eksistensial atas
segala penyesalan yang amat personal. Kelana justru kerap melakukan banyak
upaya seperti apa yang oleh Heidegger disebut sebagai “proyeksi masa
depan”, yakni melalui Misi suci ini, Kelana telah mengantisipasi masa
depannya dengan keteguhan hati (resoluteness). Sebuah hari pembalasan
yang dapat ditelusuri dari pemecatan public relations, lalu menyiapkan sebuah
misi suci atas kematiannya sendiri sebagai maha karya berdarah.
Semua telah kutata rapi. Sebidang kanvas berisi lukisan setengah jadi
berukuran dua kali tiga meter dengan warna dominan putih, sehelai
kimono yang kukenakan saat ini—juga berwarna putih—serta sebilah
belati yang sebentar lagi akan kugunakan untuk memotong urat
nadiku. darah!”32
Kelana telah memutuskan untuk bunuh diri dengan plot yang sudah ia
rancang sedemikian heroik, sebagaimana manifestasi atas kekagumannya
terhadap Yukio Mishima, seorang penulis terhormat Jepang yang melakukan
seppuku dan petikan opera Turandot karya Pucini yang telah ia putar sebagai
lagu pengiring atas kematiannya. Walau demikian, Kelana, tetaplah Dasein
yang tak bisa menghindari kemungkinannya sendiri dan akan senantiasa
mengalami kegagalan demi kegagalannya yang lain. Seperti satu peristiwa
31
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 32
Iksaka Banu, Op cit., h. 61.
60
mengejutkan, saat nahas seorang tamu mengetuk pintu dan gagal jantung di
kamarnya.
Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah
Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.33
Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,
kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara
“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak
Kadiyoso seperti cula badak.34
Kematian Pak Kadiyoso, akhirnya terus menggiring Kelana kepada
pembunuhan berantai dan kematian-kematian lain. Satu sisi, tragedi ini
semakin menjauhkan misi suci seorang Kelana yang ingin bunuh diri sebagai
manifestasinya menjemput kematiannya sendiri. Di sisi yang sama sekali lain,
tragedi ini justru semakin mempertegas struktur dasar Kelana sebagai Dasein
yang sejak awal keterlemparannya di dunia, Dasein sudah terlalu tua untuk
mati.35
Artinya, kematian demi kematian orang lain yang melibatkan Kelana,
semakin menyingkap keber-Ada-annya pada kemungkinannya sebagai Dasein
untuk mati. Sebab bagi Dasein, kematian itu penting untuk kehidupan dan
merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu
sendiri.36
Demikianlah Sorge seorang Kelana, sebuah struktur dasar dari seorang
Dasein. Keseluruhan „Ada‟ yang serentak memuat tiga hal: antisipasi (masa
depan atau eksistensial), terlempar di dunia (masa lalu atau faktisitas) dan
larut dalam keseharian (masa kini atau kejatuhan).
Pada cerpen IG, Bang Willie atau Willem adalah tokoh sentral yang
selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian yang-
33
Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 34
Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 35
“As soon as man comes to life, he is at once enough to die.” Heidegger, Martin, Being and
Time. [pen. John Macquarrie and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 289. 36
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 100.
61
terlempar ke dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang juga
sekaligus tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami ketersituasiannya
menghadapi suara hatinya sendiri sebagai pria tua yang terbakar api cemburu.
Sebab melihat Nona Miranda pergi bersama Tuan Dorsten tanpa
pengawalannya.
“Saya mau berdua saja, Tak ada centeng,” katanya. Aku membuka
mulut, siap menolak. Tapi injakan kaki Babah Sun membuatku diam.
Ya, demi masa depan, Babah perlu koneksi kakap seperti Tuan
Dorsten. Dan senyum itu, belum pernah kulihat senyum semacam itu
di bibirnya. Tampaknya gadisku menyukai bedebah itu. Bedebah? Ah,
suara hati pria tua yang terbakar cemburukah ini?37
Selanjutnya, seakan bayangan Nona Miranda baru saja akan terhapus
dari benak Willem sejak kepergian itu. Luka hati yang semula terbebat waktu,
kembali melempar Willem pada ketersituasiannya yang lain. Ia bertukar
pandang dengan Nona Miranda di sebuah bengkel auto pada suatu pagi.
Saat menyadari tatapanku, dengan gugup ia menutup muka. Hanya
sekilas, tapi tak mungkin aku salah lihat: pada pipi kiri, melebar
sampai keliling mata, rona lebam tertera jelas.38
Atas peristiwa tersebut, seorang Bocah bisu, datang ke Istana Gotik
dengan membawa gulungan kertas Nona Miranda. Tiga kali Bocah bisu itu
datang, membuat bara api di dalam hati Willem semakin membesar tiap kali
membacanya. Hingga tiba surat keempat, lengkap bersama ikatan lonceng
kecil yang menjadi penanda sebuah bahaya besar: “Ayah, aku ingin pulang.”
Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning 1903 berikut empat klip
magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kuikatkan pula di dada,
37
Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 38
Iksaka Banu, Op cit., h. 168.
62
sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil
memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,
agar disampaikan kepada Babah Sun.39
Pada momen ini, kecemasan membuat dasar-dasar keseharian Willem
menjadi transparan. Dengan kata lain, kecemasan menelanjangi Dasein
sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi
tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensialnya. Mengantisipasi
kematian terjadi manakala kita menyadari keterlemparan dalam kecemasan
eksistensial, yaitu saat krisis untuk mengambil keputusan penting yang
menentukan arah hidup.40
Pekerjaan? Kulirik Nona Miranda. Kutangkap sebuah gelengan kecil,
nyaris tak terlihat. Jantungku berdebar. Ini soal hidup dan mati. Nona
Miranda harus hidup, aku boleh mati. Celah kesempatan hanya
berbilang detik.41
Kutipan tersebut, Willem sampai pada kebulatan tekad atau momen
visi (pengambilan keputusan), atau dalam Mistik Keseharian, keterpesonaan
akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan dan kemungkinan-
kemungkinan yang bisa ditangani.42
Tiba-tiba terdengar letusan keras. Sesungguhnya aku sudah punya
firasat, tapi tak pernah membayangkan Bahwa hal itu akan terjadi.
Nona Miranda. Gadisku yang gagah berani. Rubuh bersimbah darah,
menjadi perisai penahan peluru yang dilepaskan si durjana untukku.
Anjing!.43
39
Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 40
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 107. 41
Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 42
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91. 43
Iksaka Banu, Op cit., h. 171.
63
Dalam ruang tegang tersebut, Heidegger membedakan antara masa
depan otentik dan inotentik. Masa depan ontentik, oleh Heidegger, disebut
sebagai „antisipasi‟. Artinya, dalam masa depan yang otentik, manusia
menghadapi kemungkinan-kemungkinannya dengan sikap antisipasi.
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Belum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan. Saling bercakap tentang kehidupan abadi..44
Pada titik itulah Dasein, sebagai manusia otentik dalam historisitasnya
dituntut untuk selalu memunculkan eksistensialitasnya; mengarahkan dirinya
menyongsong kematian sebagai kemungkinan-kemungkinan yang datang
menghampirinya; dan sekaligus mengambil keputusan eksistensial sebagai
antisipasi atas semua kemungkinan yang akan datang. Sikap berani
menghadapi kemungkinan ini yang paling khas ini tak lain daripada sikap
membuka diri terhadap kematian sendiri.
Dengan demikian, inilah pengalaman kebebasan eksistensial yang
menurut Heidegger tak lain daripada „kebebasan menuju kematian‟ (Freiheit
zum Tode).45
4. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pada tiga cerpen Ratu Sekop adalah
seragam, yakni dengan melalui sudur pandang orang pertama pelaku utama.
Baik dalam cerpen Listrik, Belati, maupun IG, pengarang menempatkan diri
sebagai orang yang secara langsung. Artinya pengarang menjadi Aku, yaitu
tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri serta mengalami segala
44
Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 45
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 108.
64
peristiwa secara langsung dan menceritakan kembali kepada pembaca.
Peristiwa yang diketahui, didengar, dilihat, dialami, dirasakan, serta sikap dan
tindakannya terhadap tokoh lain, sehingga membuat pembaca bersimpati
kepada para tokoh Aku di masing-masing cerpen tersebut. Meski tak bisa
dimungkiri, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas
terhadap apa yang terjadi. Sebab pembaca hanya menerima apa yang
diceritakan oleh Aku sebagai konsekuensi dari penggunaan jenis sudut
pandang ini.
5. Alur
Alur merupakan suatu rangkaian penting di dalam sebuah cerita yang
terbagi menjadi tiga bagian. Pertama diawali oleh pengenalan seluruh tokoh
cerita dengan bagaimana cerita itu dimuai. Bagian kedua, biasanya muncul
berbagai macam konflik dalam cerita dan berakhir pada puncak atau klimaks
cerita tersebut. Selanjutnya pada bagian ketiga, merupakan bagian
penyelesaian dari keseluruhan cerita. Dalam cerpen Listrik dan Belati, Iksaka
Banu menggunakan alur maju dan hanya pada cerpen IG yang menggunakan
alur sorot balik.
Pada Listrik, alur dalam cerpen ini menggunakan alur maju. Cerita
diawali dengan kepulangan Suami dari kantor biro iklan tempatnya bekerja
dan baru saja memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
Persis pukul sepuluh malam ketika aku selesai memasukkan mobil ke
dalam garasi. Sambil mematikan kunci kontak, kutarik napas dalam-
dalam. Terkutuklah krisis moneter ini. Bagi biro iklan sekecil
tempatku bekerja, imbasnya adalah sebulan sekali kami harus
bertempur beberapa biro iklan lain untuk memperebutkan klien baru,
atau satu persatu kami akan didepak ke luar oleh pemimpin
perusahaan atas nama efisiensi.46
46
Iksaka Banu, Op cit., h. 44.
65
Pada cerpen ini, pengarang memulai cerita dengan mendeskripsikan
sebuah latar penting dari seluruh rangkaian cerita. Dunia desain dan rumah
yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai
macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Selain itu, pengarang juga
melanjutkan dengan pengenalan tokoh-tokoh lain seperti istrinya dan bos
tempatnya bekerja.
Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang
memunculkan peristiwa penting yang menjadi alasan pemberian judul pada
cerpen ini. Sebuah konflik yang terjadi ketika tokoh Suami sedang menunggu
persiapan makan malam di meja makan. Terdengar jeritan yang disusul suara
piring pecah dan kelontang aluminium dari arah dapur. Arus listrik dari steker
rice cooker telah menyetrum tubuh istrinya.
Kubuka pintu dapur dan kujumpai ia terduduk lemas di lantai di antara
kepingan piring. Mukanya putih, badannya menggigil. Tiga jari tangan
kanannya tampak sedikit melepuh keputih-putihan. Di atas meja, dari
pantat rice cooker tua kami yang terserak isinya, seutas kabel dengan
kepala steker yang telah pecah plastiknya tampak menjulur ke
bawah.47
Atas peristiwa tersebut, Sita, istri dari tokoh Suami itu memiliki
keajaiban membaca pikiran. Kemudian cerita mencapai klimaksnya, ketika
peristiwa arus listrik kembali terulang. Kali ini, giliran Suami yang menjadi
korban dan sekaligus membuat tubuhnya terlihat transparan akibat sengatan
arus listrik.
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”48
47
Iksaka Banu, Op cit., h. 46. 48
Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017),
h. 58
66
Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan percakapan terakhir antara
suami-istri yang masing-masing memiliki pengalaman dan konsekuensi akibat
tersengat listrik. Kemudian pengarang menutup cerita dengan humor gelap
dari tokoh Aku yang mengomentari jingle iklan yang menurutnya jelek sekali,
“Aku tak mau diam-diam kau menyelinap mengintip si brand
manager mandi,” “Aku juga tak mau kau membaca pikiranku.
Mengorek-ngorek masa laluku.” Sunyi sesaat. “Yang, apakah Santi
juga jarang orgasme?” Aku tak ingin menjawab. Dari pesawat televisi,
untuk kesekian kalinya terdengar jingle iklan deterjen yang kabarnya
baru naik daun itu. Menurutku, jingle itu jelek sekali. 49
Selanjutnya pada Belati, Iksaka Banu masih menggunakan pola yang
sama. Cerita diawali dengan narasi tokoh aku, Armin Kelana, seorang pelukis
yang baru saja selesai mempersiapkan aksi bunuh diri.
Semua telah kutata rapi. Sebidang kanvas berisi lukisan setengah jadi
berukuran dua kali tiga meter dengan warna dominan putih, sehelai
kimono yang kukenakan saat ini—juga berwarna putih—serta sebilah
belati yang sebentar lagi akan kugunakan untuk memotong urat
nadiku. darah!”
Kalau semua lancar, maka menit-menit di antara saat pemotongan nadi
sampai datangnya malaikat maut akan kupakai untuk menyapukan
warna merah yang berasal dari darahku ke atas lukisan tadi sebanyak-
banyaknya. Setelah itu, aku percaya kebenaran akan hadir. Setelah itu,
aku percaya tidak akan ada lagi yang meremehkanku.50
Pada cerpen ini, pengarang memulai cerita dengan mendeskripsikan
sebuah latar penting dari seluruh rangkaian cerita. Dunia seni dan apartemen
yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai
macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Selain itu, pengarang juga
49
Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017),
h. 58 50
Iksaka Banu, Op cit., h. 61.
67
melanjutkan dengan pengenalan tokoh-tokoh lain dan seluruh milieu dari
sebuah cerita, seperti pelukis lain, politikus seni, surat kabar, pelukis
terdahulu, kritikus, kolektor, promotor, istri, tetangga hingga penghuni
apartemen
Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang
memunculkan peristiwa penting yang membuat tokohnya menghadapi sebuah
konflik. Peristiwa itu terjadi ketika seorang tamu mengetuk pintu kamar
Kelana dan gagal jantung di kamarnya.
Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah
Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.51
Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,
kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara
“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak
Kadiyoso seperti cula badak.52
Tamu itu bernama Pak Kadiyoso, terbunuh secara tidak sengaja oleh
Jambiya yang sebelumnya dipersiapkan Kelana untuk memotong urat nadinya
sendiri. Atas peristiwa tersebut, cerita kemudian mencapai klimaksnya.
Kematian Pak Kadiyoso, justru terus menggiring Kelana kepada pembunuhan
berantai dan kematian-kematian lain. Seperti pembunuhan terhadap Pak
Buyung dan seorang Hansip Desa.
Kucabut Jambiya dari dada Pak Kadiyoso, lalu kusabetkan ke leher
Pak Buyung. Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan
hebat antara Pak Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik
nyawanya. Setelah itu, sunyi.53
Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan pembunuhan terakhir yang
dilakukan Kelana di depan kamarnya. Kali ini korban tersebut Pak Armin,
51
Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 52
Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 53
Iksaka Banu, Op cit., h. 68.
68
yang pada mulanya hendak mengklarifikasi dan bertanya bahwa apakah
seseorang yang sempat ia lihat sedang memegang jeriken bensin dan berdiri di
samping mobil yang mirip dengan milik Pak Kadiyoso di puncak adalah
Kelana.
Aku tak menjawab. Di daerah puncak? Tadi malam? Pasti jip itu!
Sorot lampu itu! Tapi benarkah dia mengetahui apa yang terjadi tadi
malam? Harus kuyakinkan! Dari saku kimono, perlahan-lahan kutarik
belati ke atas.54
Berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, Iksaka Banu kali ini
menggunakan alur sorot balik pada cerpen IG. Pengarang justru memulainya
dengan mendeskripsikan situasi tokoh Willie sedang menjelang kematiannya.
Derit rem, disusul empat bantingan pintu auto. Pasti Babah Sun dan
teman-teman. Terlambat. Syaraf tubuh bagian bawahku mulai enggan
mematuhi perintah otak. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku
akan mati. Mereka akan menjumpai tubuhku berkubang darah.
menyusul si durjana.55
Kemudian cerita mengalami sorot balik, pengarang mulai
mendeskripsikan asal-usul tokoh Aku serta pertemuannya dengan tokoh-tokoh
lain dan seluruh milieu dari sebuah cerita. Dunia centeng dan Istana Gotik
yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai
macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Seperti, lokalisasi, germo,
pelacur, para lelaki hidung belang, dan para centeng.
Nona Miranda. Istana Gotik. Ya, semua bermula tiga tahun lalu,
setelah Babah Sun kuselamatkan dari keroyokan para sinyo mabuk di
54
Iksaka Banu, Op cit., h. 72. 55
Iksaka Banu, Op cit., h. 159.
69
sekitar Kali Besar. Mendengar aku butuh pekerjaan, Babah
membawaku ke Istana Gotik menjadi karyawannya.56
Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang
memunculkan peristiwa penting yang membuat tokohnya menghadapi sebuah
konflik. Peristiwa itu terjadi ketika Nona Miranda mulai bercerita bahwa ia
baru saja dilamar salah satu lelaki yang juga diketahui Willie.
“Dia melamarku, Ayah,” katanya seraya menunjukkan sehelai surat.
Seperti yang kukatakan, taka da pria di sekitar Nona Miranda yajng
tak kuketahui. Justru karena itulah aku meerasa remuk. Kutatap sekali
lagi nama pengirim surat itu. Andreas Maurits Dorsten. Pengusaha
besar. Tokoh penting Volksraad. Rajin menyerukan kesetaraan derajat.
Anak-anak muda, bahkan pribumi, mencintainya.57
Atas peristiwa tersebut, Tuan Dorsten, seorang yang menjadi sumber
kecemburuan Willie bisa lebih leluasa membawa Nona Miranda ke mana saja
tanpa pengawasannya. Hingga cerita mencapai klimaksnya, ketika pertemuan
tidak sengaja pada suatu pagi di sebuah bengkel auto. Willie melihat sekilas
ke pipi kiri Nona Miranda yang penuh dengan rona lebam. Kekhawatiran
Willie selama ini menjadi jelas setelah menerima surat keempat yang
dikirimkan Nona Miranda melalui kurir seorang Bocah Bisu.
Surat itu diikatkan pada sebuah lonceng kecil. Benda yang akrab di
Istana Gotik pada masa lalu. Benda yang kebisuannya menjadi
penanda bahwa Nona Miranda berada dalam bahaya besar. Tanpa pikir
panjang, aku bersiap..58
Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan kematian Nona Miranda.
Kemudian pengarang menutupnya dengan refleksi tokoh Willie yang sedang
56
Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 57
Iksaka Banu, Op cit., h. 165-166. 58
Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
70
sekarat menjelang ajalnya sendiri. Tentang ia yang begitu menginginkan
kematian, bayangan lantai dansa dalam alunan music swing jazz serta
percakapan sebuah kehidupan yang abadi.
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Berlum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan tentang kehidupan abadi.59
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan suatu cara yang digunakan oleh pengarang
dalam memilih dan menggunakan bahasa di dalam sebuah cerita untuk
memperoleh efek tertentu. salah satu tujuannya ialah untuk menciptakan rasa
simpati seorang pembaca dan memberikan nilai estetika. Gaya penceritaan
yang digunakan dalam Belati, Listrik, dan IG cenderung menggunakan bahasa
sehari-hari. Tidak terlewat pula, pengarang menggunakan ungkapan-ungkapan
filosofis melalui para tokohnya untuk menebalkan imaji bagi pembaca dalam
memahami motif di balik keputusan dan sikap-sikap yang diambil para
tokohnya.
Seperti majas perbandingan (asosiasi dan personifikasi) yang terdapat
dalam cerpen Listrik berikut ini.
Ia tidak menolak. Pegangan tangannya yang belum mantap
menyebabkan giginya terantuk berkali-kalli ke bibir gelas,
menimbulkan suara serupa hiasan gantung yang tertiup angin.60
Bagaikan sebuah mikrofon ia menyerukan apa yang ada di benakku,
“Padahal aku hanya ingin tahu, bisa sejujur apakah hati seorang
manusia.61
59
Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 60
Iksaka Banu, Op cit., h. 47. 61
Iksaka Banu, Op cit., h. 53.
71
Berikutnya dapat ditemui pula majas alusio dan hiperbola dalam
cerpen Belati.
Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan hebat antara Pak
Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik nyawanya.
Setelah itu, sunyi.62
Cepat bagai kilat kusarangkan belati tadi ke leher serta ulu hatinya. Ia
mati tanpa banyak mengeluh.63
Kemudian terdapat pula penggunaan majas ironi dalam cerpen IG.
Seperti kukatakan, taka da pria di sekitar Nona Miranda yang tak
kuketahui. Justru karena itulah aku merasa remuk.64
Tampaknya gadisku menyukai bedebah itu. Bedebah? Ah, suara hati
pria tua yang terbakar cemburukah ini?65
Terakhir, pengarang juga menggunakan ungkapan-ungkapan filosofis
dalam tiga cerpennya, Listrik, Belati, dan IG. Berikut secara berurutan.
Apa dosaku sehingga hak yang paling pribadi dariku dijarah orang,
meskipun orang itu adalah istriku sendiri?”66
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”67
“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari
segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”68
Tubuhku terasa segar dan ringan. Astaga… perlukah rasa segar
menjelang kematian?”69
Oh, mulut lebar itu. Cocok menjadi rumah kata-kata manis yang sering
ia tebar. Kata-kata yang telah membuat Miranda hanyut menjadi gadis
bodoh.70
Belum pernah aku begitu menginginkan kematian. Tapi itu nanti. Kini,
sambil menunggu saat itu datang, aku membayangkan lantai dansa.
62
Iksaka Banu, Op cit., h. 68. 63
Iksaka Banu, Op cit., h. 70. 64
Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 65
Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 66
.Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 67
.Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 68
Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 69
Iksaka Banu, Op cit., h. 71. 70
Iksaka Banu, Op cit., h. 159.
72
Swing jazz. Musik mengalun, kami berpelukan. Saling bercakap
tentang kehidupan abadi.71
7. Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak
disampaikan pengarang keada pembaca melalui karyanya. Secara garis besar,
amanat yang terdapat dalam Listrik, Belati, dan IG bisa ditelusuri dengan
nuansa kartun dan komikal yang nyaris selalu hadir melalui tokoh-tokoh yang
selalu elastis. Bahwa tokoh yang selalu dihadapi dengan berbagai
kemungkinannya sendiri di masa depannya digambarkan untuk senantiasa
menarik perhatian, mengganggu, dan meneror orang (pembaca) agar berhenti
sejenak dan berpikir bahwa „Ia‟ juga manusia biasa seperti yang lain.
Bentuk-bentuk seperti kegagalan, kebebasan, kecemasan, kesia-siaan,
dan kematian yang kerap mewarnai di hampir keseluruhan cerita adalah
kehidupan itu sendiri. Sebagaimana kehidupan, memikirkan tentang kematian
sama pentingnya dengan memikirkan kehidupan. Sebab tidak ada yang lain,
bagi Dasein, selain bahwa kematian itu penting untuk kehidupan dan
merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri.
71
Iksaka Banu, Op cit., h. 171
73
B. Analisis Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya
Iksaka Banu
Heidegger menyebutkan bahwa sifat dasar Dasein secara eksistensial
adalah „ada-di dalam-dunia‟. Lalu, apa yang ditemui Dasein di dalam
dunianya? Heidegger menyebut ada tiga macam Mengada yang dapat ditemui
Dasein di dalam dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat,
benda-benda yang bukan alat-alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia
atau orang-orang lain.
Dasein sebagai pengada yang menanyakan Ada-nya dari Mengada-
mengada lain, akan menunjukkan bahwa caranya bersikap terhadap masing-
masing Mengada itu memang harus berbeda. Di dalam pertemuan Dasein
dengan masing-masing Mengada inilah yang kemudian disebut sebagai
Keseharian.
Sampai di sini, Dasein mengalami suatu hal, oleh Budi Hardiman
disebut „dramatis‟. Sebab di satu pihak Dasein dituntut untuk menyingkap
dan mengenal Ada-nya, yang tidak dapat dilakukan saat berhubungan dengan
Mengada-mengada lain dalam kesehariannya. Sementara di pihak lain,
Dasein juga dirasa musykil untuk keluar dari kolam kesehariannya, karena
secara eksistensial sifat dasarnya adalah „ada-di dalam-dunia‟. „Ada-di
dalam-dunia‟ adalah faktisitas bagi dirinya.
Atas dasar Drama-Eksistensial inilah, analisis dimaksudkan sebagai
kajian terhadap pilihan cerpen (Listrik, Belati, dan IG) dalam kumpulan Ratu
Sekop. Berikut ini merupakan penjabaran terkait „Keseharian‟ yang terdapat
dalam cerpen Listrik, Belati, dan IG.
74
1. Keseharian Dasein dalam Listrik
Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk
memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-
mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan
faktisitasnya. Di saat Suami, sebagai aku dan tokoh utama, dalam cerpen ini
mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia berhubungan
dengan Ada-nya. „Dunia-desain‟ telah membuatnya sebagai pengarah kreatif
(Besorgen) selalu berinteraksi dengan pertukaran simbol atau bahasa (Um-zu)
sebagai alat-alatnya (Zuhandenes). Ini terlihat ketika Sita, istri dari tokoh aku,
menguji kemampuannya membaca pikiran.
“Aku tidak begitu yakin. Semua muncul dan lenyap dengan sangat
cepat. Tapi kurasa gabungan keduanya. Tampaknya kau cenderung
mengganti kalimat sulit dengan sepotong foto atau suatu adegan film
untuk membuatnya menjadi sebuah kalimat lengkap. Kadangkala
mereka tumpang tindih. Dan ya, gambarnya berwarna meski di
sekelilingnya hitam, seperti meliha layar dalam sebuah bioskop yang
ruangannya mulai digelapkan.”72
Barangkali, Sita tidak akan pernah memiliki kemampuan membaca
pikiran, seandainya peristiwa tersengat listrik tidak terjadi. Peristiwa
tersengat listik juga boleh jadi tidak pernah ada, seandainya rice-cooker tidak
semata dianggap sebagai urusan domestik yang melulu hanya ditangani oleh
seorang istri. Sampai di sini bisa dikatakan, bahwa rice-cooker sekadar
benda-benda yang bukan alat-alat (Vorhandes) bagi Suami yang tak berminat
untuk menangani.
“Mungkin aku memang selalu ceroboh,” seperti membaca pikiranku,
samar-samar kudengar ia berbisik serak. “Tapi minggu lalu kamuu
sendiri yang berjanji mau mengganti ujung steker itu, bukan?”73
72
Iksaka Banu, Op cit., h. 49. 73
Iksaka Banu, Op cit., h. 47.
75
“Jangan terlalu absurd membesarkan jumlah, Sayang. Memangnya
kecelakaan seperti apalagi yang bisa menimpaku. Juga please jangan
tunda mengganti kabelnya. Aku bisa, dan mau belajar berhati-hati, tapi
bagaimana kalau ada saudara atau tamu ikut memasak dengan barang
itu?” terdengar lagi suaranya. Kali ini nadanya agak tertekan.74
Selain itu, sikap terhadap „steker rice-cooker‟ sebagai benda yang
tidak pernah ditangani (Vorhandenes) bisa saja menjadi Zuhandenes,
seandainya Istri tidak menunggu-nunggu (Awaiting) Suami untuk mengganti
ujung stekernya. Atau dengan kata lain, sikap menunggu-menunggu Sita,
dalam pembahasan Heidegger mengenai ekstasis waktu, merupakan masa
depan yang inotentik.75
Atau dalam kondisi yang sama sekali lain, di akhir cerpen ini terdapat
sebuah cermin yang pada mulanya mungkin saja hanya Vorhandenes. Tetapi
setelah peristiwa serupa menimpa tubuh Suami dan membuatnya transparan
akibat tersengat listrik. Cermin akhirnya menjadi Zuhandenes dan akrab
dengan keberadaannya.
“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain
yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat
jelas seluruh tubuhku.”76
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah
dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang
dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Suami, atau tokoh
aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan
terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan
terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu
dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).
74
Iksaka Banu, Op cit., h. 47. 75
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 130. 76
Iksaka Banu, Op cit., h. 58.
76
Sambil berhati-hati menyingkirkan pecahan kaca, kubantu ia berdiri,
lalu perlahan-lahan kubimbing menuju meja makan. Merasakan betapa
keras gigilan badannya, kusimpulkan bahwa arus listrik yang sempat
berpindah ke tubuh istriku cukup besar.77
…seluruh tim kreatif sudah sampai pada batas ketahanan fisik dan
mental. Seperti juga aku.78
Meski demikian, lihatlah bagaimana Suami sebagai Dasein, yang
tidak melulu mampu mempertahankan sikap (Fürsorge) terhadap Bos,
Pimpinan Klien, Brand Manager.
Ketika secara sinis pimpinan menerangkan kemungkinan tuduhan
nepotisme, kutanggapi bahwa istriku bersedia dibayar rendah untuk
proyek pitching ini. Dasar kapitalis. Ia langsung setuju.79
Istriku duduk persis di seberang tempat duduk pimpinan mereka:
seorang pria tua berkumis tebal, berbadan gempal, dan sangat irit
senyum.80
“Kau. Karena kulihat kau terus menatap brand manager mereka.
Mengagumi aura kecerdasan dari matanya, serta dengan beraninya
memperbandingkannya dengan aku. Kau patut tahu satu hal. Orang
dengan tubuh seksi seperti aku belum tentu IQ-nya rendah.81
Drama-eksistensial dalam keseharian seorang Dasein niscaya tetap
terjadi. Drama itu tak lain adalah paradoks yang ganjil antara penyingkapan
dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul dan membenamkan
diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya ke dalam momen penarikan diri
dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-
dunia. Sebab berada-bersama, menurut Heidegger, yaitu solidaritas, juga
77
Iksaka Banu, Op cit., h. 46. 78
Iksaka Banu, Op cit., h. 44. 79
Iksaka Banu, Op cit., h. 55. 80
Iksaka Banu, Op cit., h. 55. 81
Iksaka Banu, Op cit., h. 56.
77
merupakan momen eksistensial yang sama pentingnya dengan penarikan
diri.82
2. Keseharian Dasein dalam Belati
Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk
memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-
mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan
faktisitasnya. Di saat Armin Kelana, sebagai aku dan tokoh utama, dalam
cerpen ini mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia
berhubungan dengan Ada-nya. „Dunia-seni‟ telah membuatnya sebagai
pelukis (Besorgen) selalu berinteraksi dengan kanvas, adonan cat, kuas, dan
media cetak (Um-zu) sebagai alat-alatnya (Zuhandenes). Ini terlihat pada
deskripsi tentang persiapan kematian seorang Kelana, setelah menganggapi
para kritikus yang mengulas pameran dua tahun silamnya di berbagai media
cetak.
Perihnya hati ini! Sempat kugelar jumpa pers untuk menangkis semua
kritik tadi. Kukatakan kepada mereka bahwa aku tak butuh sensasi.
Aku sudah sukses. Aku sudah melukis selama dua puluh lima tahun.
Ini cuma soal mengubah gaya lukis! Dan Jackson Pollock? Meski
memang mirip, aku punya gaya sendiri. Oh betapa aku benci
kritikus!83
Kutebar pandangan terakhir kali ke sekeliling ruangan. Biasanya aku
melukis di sanggarku, di Kemang. Tetapi untuk mahakarya ini, kurasa
apartemen lebih cocok. Apartemen mewakili gaya hidup urban. Sangat
mekanis. Sangat bisnis. Sangat semu. Persis seperti hati para kritikus
laknat itu. Ya Tuhan, sungguh efek gestalt yang sempurna. Pemilihan
simbol yang rapi dan terpadu. Yang pada akhirnya, kuharap akan
menjeritkan pesan tunggal: “Mampuslah kalian semua, para
munafik!”84
82
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 75. 83
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 84
Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61.
78
Hingga tiba Kelana pada benda tajam yang kelak akan digunakannya
untuk memotong urat nadi. Sebuah kesibukan yang kemudian melarutkan
kesehariannya mengurus Jambiya, sebuah pisau lengkung peninggalan
Kakek, yang pada mulanya sekadar benda-benda yang bukan alat-alat
(Vorhandes). Hal ini terlihat sebelum peristiwa nahas yang menimpa Pak
Kadiyoso akibat tidak akrabnya Kelana dalam „menggenggam‟ Jambiya.
Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah
Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.85
Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,
kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara
“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak
Kadiyoso seperti cula badak.86
Apa lagi yang harus kulakukan? Apakah sebaiknya kulanjutkan acara
sakralku dengan belati itu? Rasanya tak mungkin. Kalau belati kutarik,
darahnya pasti muncrat ke segala penjuru.87
Selain itu, tidak ditemukannya bukti teks atas kedekatan Kelana
dalam menggunakan benda tajam tersebut, sebagai seorang pelukis dan
dirinya di dalam „Dunia-seni‟. Sekalipun ia begitu mengagumi seorang
penulis-samurai yang melakukan seppukku, tidak ada deskripsi yang
menjelaskan latar belakang Kelana sebagaimana keakraban Yukio Mishima
dengan benda tajam semacam itu.
Belati sebagai metafora benda yang tidak pernah ditangani
(Vorhandenes), seketika menjadi Zuhandenes setelah peristiwa nahas
menimpa Pak Buyung. Kelana menggunakan belati itu untuk membunuh dan
menjadi penentu nadir ontologis orang lain. Demikian pembunuhan demi
pembunuhan yang terjadi selanjutnya, motif belati kini menjadi benda yang
85
Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 86
Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 87
Iksaka Banu, Op cit., h. 64.
79
sangat akrab bagi keberadaannya, seperti yang dialami Pak Hansip juga Pak
Damhuri.
Kucabut Jambiya dari dada Pak Kadiyoso, lalu kusabetkan ke leher
Pak Buyung. Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan
hebat antara Pak Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik
nyawanya. Setelah itu, sunyi.88
Kuraih jambiya di dasbor depan. Tubuh hansip terlalu tambun.
Sebentar sudah terkejar. Cepat bagai kilat kusarangkan belati tadi ke
leher serta ulu hatinya. Ia mati tanpa banyak mengeluh.89
Kumasukkan belati ke dalam saku kimono, lantas kubuka pintu. Pak
Damhuri. Penghuni kamar 400 … Dari saku kimono, perlahan-lahan
kutarik belati ke atas.90
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah
dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang
dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Suami atau tokoh
aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan
terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan
terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu
dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).
Walau menjengkelkan, aku tak keberatan menerima mereka. Terutama
semenjak istriku minggat. Beberapa dari mereka bahkan pernah
menjadi model lukisanku. Aku benci apartemen, tapi tidak pernah
benci penghuninya.91
Meski demikian, lihatlah bagaimana Kelana sebagai Dasein, yang
tidak melulu mampu mempertahankan sikap (Fürsorge) terhadap kritikus,
88
Iksaka Banu, Op cit., h. 68. 89
Iksaka Banu, Op cit., h. 70. 90
Iksaka Banu, Op cit., h. 72. 91
Iksaka Banu, Op cit., h. 64.
80
politikus seni, surat kabar, pelukis terdahulu, kolektor, promotor, juga istri
yang lebih dulu minggat meninggalkannya.
Masih terbayang judul artikel sebuah surat kabar ternama ibukota yang
mengulas pameran terakhirku dua tahun silam: Armin Kelana,
gagalnya kebangkitan ulang aliran abstrak ekspresionis Indonesia.
Atau judul sebuah majalah terkemuka: Armin Kelana dan “action
painting” Indonesia, sampai di sini saja! Atau paragraf pertama jurnal
seni lainnya: Dunia pernah setengah hati menerima Jackson Pollock,
pelukis yang menetes-neteskan adonan cat ke atas kanvas. Alangkah
malangnnya orang labil yang mencoba menjadi pengikutnya atas
nama sensasi.92
Kupikir usul itu tolol sekali. Kupecat mereka semua. Setelah itu aku
berhenti melukis, lalu menyepi di sebuah apartemen kecil.93
Kuikat surat wasiatku dengan pita merah, lalu kuletakkan dekat
sepasang lilin wangi di samping lukisanku. Isi suratku pendek saja:
“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari
segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”94
Drama-eksistensial dalam keseharian seorang Dasein niscaya tetap
terjadi. Drama itu tak lain adalah paradoks yang ganjil antara penyingkapan
dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul dan membenamkan
diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya ke dalam momen penarikan diri
dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-
dunia. Sebab berada-bersama, menurut Heidegger, yaitu solidaritas, juga
merupakan momen eksistensial yang sama pentingnya dengan penarikan
diri.95
92
Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61. 93
Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 94
Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 95
F. Budi Hardiman, Op cit., h. 75.
81
3. Keseharian Dasein dalam IG
Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk
memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-
mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan
faktisitasnya. Di saat Willem, sebagai aku dan tokoh utama, dalam cerpen ini
mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia berhubungan
dengan Ada-nya. „Dunia-centeng‟ telah membuatnya sebagai penjaga
keselamatan Nona Miranda (Besorgen) selalu berinteraksi dengan perangkat
senjata bahkan tubuhnya sendiri (Um-zu) sebagai alat-alatnya (Zuhandenes)
untuk memertahankan diri di iklim kekerasan yang senantiasa menjadi
dunianya. Ini terlihat ketika Willem, menunjukkan pertama kali tugasnya
dalam melindungi keselamatan Nona Miranda dari para lelaki mabuk dan
pelanggan-pelanggan yang mengancam keselamatannya.
Kudekati pria itu. Meski pandai bermain drama, cahaya matanya
bukanlah milik seorang petarung. Tak bakal ia menarik pelatuk.
Kugemur lututnya dengan tendangan. Disusul tinju kananku yang
terayun sepenuh tenaga. Kurasa butuh waktu lama baginya kembali ke
dunia panggung. Hidungnya remuk, dua gigi depannya tanggal.96
Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning M1903 berikut empat klip
magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kukaitkan pula di dada,
sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil
memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,
agar disampaikan kepada Babah Sun.97
Selanjutnya, perhatikanlah rutinitas Willem dalam alunan
kesehariannya sebagai tokoh yang selalu mengurusi bisnis. Ia seakan patah
dari alunan itu dan terhempas ke dalam dirinya sendiri, misalnya saat ia
berhadapan dengan Swing Jazz di lantai dansa (Vorhandes) bersama Nona
Miranda sebagai benda-benda dari produk kultural.
96
Iksaka Banu, Op cit., h. 162. 97
Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
82
“Ah, dengar iramanya. Abang tidak terpanggil?” gadis itu menarik-
narik tanganku. Dengan enggan, kuikuti langkahnya. Sesaat kemudian,
di tengah irama yang meliuk dan menyentak, dapat kurasakan betapa
berwarna sesungguhnya hidup ini. Cinta, harapan, serta
keberuntungan. Satu persatu hinggap padaku, lalu pergi. Kadang
kembali, kadang lama sekali baru kembali. Dan perempuan kecil ini,
betapa pandai ia berdamai dengan ombak-ombak kehidupan tadi.
Sepandai gerakan tubuhnya. Berputar, mengerutkan badan dan
melemparkan diri. Seolah akulah dan bukan dia yang mahir
berdansa.98
Seperti pola pada cerpen-cerpen sebelumnya, sikap Willem
sebelumnya terhadap „lantai dansa dan swing jazz‟ sebagai benda-benda yang
tidak pernah ditangani (Vorhandenes) kemudian menjadi Zuhandenes pula.
Hal ini terlihat ketika Willem menjelang kematiannya sendiri, lantai dansa
dan swing jazz menjadi suatu hal yang Ia akrabi bahkan menghadirkan hal itu
ke dalam realitasnya yang sedang absen.
Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin
pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi
tentu aku akan tahu. Berlum pernah aku begitu menginginkan
kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku
membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami
berpelukan tentang kehidupan abadi.99
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah
dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang
dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Willem atau tokoh
aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan
terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan
98
Iksaka Banu, Op cit., h. 164-165. 99
Iksaka Banu, Op cit., h. 169.
83
terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu
dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).
Nona Miranda. Istana Gotik. Ya, semua bermula tiga tahun lalu,
setelah Babah Sun kuselamatkan dari keroyokan para sinyo mabuk di
sekitar Kali Besar. Mendengar aku butuh pekerjaan, Babah
membawaku ke Istana Gotik menjadi karyawannya.100
Meski demikian, drama-eksistensial dalam keseharian seorang
Dasein niscaya tetap terjadi. Drama itu tak lain daripada paradoks yang ganjil
antara penyingkapan dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul
dan membenamkan diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya dan raib di
tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-dunia.
Malam itu kukabarkan kepadanya seluruh perjalanan hidupku:
Sebatang kara. Kemiskinan yang menggila. Dikhianati istri tercinta.
Menjadi tentara. Dan akhirnya, belajar meniadakan nurani dengan
menembak orang tua, wanita, dan bayi di Bali pada tahun 1906.
Kubisikkan semua. Tepat di muara telinganya.101
Atau, lihatlah bagaimana hubungan Willem dengan „dunia centeng‟.
Kesehariannya yang terpaut jarak, peraturan, dan nasib yang membentuknya,
sebagai Dasein, yang tidak mesti memperlihatkan bagaimana seharusnya
bersikap terhadap Mengada-mengada lain.
Kudekati pria itu. Meski pandai bermain drama, cahaya matanya
bukanlah milik seorang petarung. Tak bakal ia menarik pelatuk.
Kugemur lututnya dengan tendangan. Disusul tinju kananku yang
terayun sepenuh tenaga. Kurasa butuh waktu lama baginya kembali ke
dunia panggung. Hidungnya remuk, dua gigi depannya tanggal.102
100
Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 101
Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 102
Iksaka Banu, Op cit., h. 162.
84
Kuangkat kedua tangan sambil melompat. Laras Browning kembarku