Top Banner
i PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA SISWA LAKI-LAKI DAN SISWA PEREMPUAN SMA NEGERI I SEWON – BANTUL YOGYAKARTA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun oleh Dewie Retno Eko Saputro Nim: 989114148 Nirm: 980051121705120148 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007
96

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA SISWA LAKI-LAKI …repository.usd.ac.id/29913/2/989114148_Full[1].pdf · Hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan yang signifikan pada tingkat

Feb 09, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN

    ANTARA SISWA LAKI-LAKI DAN SISWA PEREMPUAN

    SMA NEGERI I SEWON – BANTUL YOGYAKARTA

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

    Disusun oleh

    Dewie Retno Eko Saputro

    Nim: 989114148 Nirm: 980051121705120148

    PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2007

  • ii

  • iii

  • iv

    HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    Ambillah Waktu

    Ambillah Waktu Untuk Berfikir, Karena itulah sumber kekuatan.

    Ambillah waktu untuk membaca, Karena itulah sumber hikmat.

    Ambillah waktu untuk bermain, Karena itulah rahasia untuk tetap muda.

    Ambillah waktu untuk berdiam, Karena itulah kesempatan untuk mencari Allah.

    Ambillah waktu untuk mengasihi dan dikasihi, Karena itulah anugerah Allah yang terbesar.

    Ambillah waktu untuk tertawa, Karena itulah musik bagi jiwamu.

    Ambillah waktu untuk bersahabat, Karena itulah jalan menuju kebahagiaan.

    Ambillah waktu untuk berdoa, Karena itulah kekuatan terbesar di permukaan bumi ini.

    Kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

    Tuhanku Yesus Kristus, Bapak Ibuku, dan Adik-adik tercinta

  • v

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

    Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

    memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

    kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

    Yogyakarta, Februari 2007

    Penulis

    Dewie Retno Eko Saputro

  • vi

    ABSTRAK

    Dewie Retno Eko Saputro (2007) Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta. Hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan, dengan asumsi siswa perempuan lebih tinggi tingkat kecemasannya dari siswa laki-laki. Timbulnya kecemasan termanifestasi dalam tiga aspek, yaitu aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek fisiologis. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas 2 di SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta yang berjumlah 100 orang, dengan rincian 42 orang siswa laki-laki dan 58 siswa perempuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala tingkat kecemasan yang diadaptasi dari TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) dari Janet Taylor (Byrne, 1961). Berdasarkan data statistik item dan reliabilitas skala tingkat kecemasan, 50 item dinyatakan lolos seleksi dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,889. Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan digunakan metode analisis data uji-t. Analisis data penelitian menghasilkan t-hitung = 2,450 dan nilai p = 0,016. Hasil ini menunjukkan p < 0,05 = signifikan, (0,016 < 2,250) yang berarti ada perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Hal tersebut menyatakan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Hasil penelitian menghasilkan mean empiris siswa laki-laki 24,67, sedangkan mean empiris siswa perempuan 29,36. Karena mean empiris siswa perempuan lebih tinggi dari mean teoritis, yang berarti kelompok siswa perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari siswa laki-laki.

  • vii

    ABSTRACK

    Dewie Retno Eko Saputro (2007) the Difference of the Level of the Anxiety between the Male Students and the Female Students in SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta: The Faculty Of Psychology, Psychology Department, Psychology Study Program, Sanata Dharma University.

    This research aimed at knowing the difference of the level of the anxiety between the male students and the female students in SMA N I Sewon – Bantul Yogyakarta. The hypothesis that was put forward was to have the difference that was significant in the level of the anxiety between the male students and the female students, and the assumption of the female students was taller the level of his anxiety from the male students. The anxiety emergence manifested in three aspects, those are afektive aspect, the cognitive aspect, and the physiological aspect. The subject in this research were male students and the female students of 2nd grade of SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta that were numbering 100 people, consist of 42 male students and 58 female students. Measurement used in this research was the Scale of the Anxiety level that was adapted from TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) from Janet Taylor (Byrne, 1961). Based of the statistical item data and reliability of the Scale of the Level of the Anxiety, 50 items were used with the coefficient alpha of 0.889. To know was not the difference of the level of the anxiety between the male students and the female students was used by the analysis method of the data t-test. The analysis of the research data was received t-counted = 2.450 and the value p = 0.016. These results showed p < 0.05 = significant, (0.016 < 2.250) that means to have the difference in the level of the anxiety between the male students and the female students. This matter stated that the hypothesis was in this research accepted. Results of the research was received mean empirical the male students 24.67 whereas mean empirical the female students 29.36. Mean empirical the female students was taller than mean theoretical, it was significant the group of the female students had the level of the anxiety that was higher than the male students.

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji syukurku hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, Allahku yang hidup.

    Berkat campur tangan Tuhan atas segala perkara dalam kehidupanku, proses

    pembuatan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi dengan judul ”Perbedaan

    Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan SMA N I Sewon –

    Bantul Yogyakarta” ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh

    gelar sarjana psikologi pada program studi psikologi Universitas Sanata Dharma –

    Yogyakarta.

    Untuk itu penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terimakasih dan

    penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang mendukung hingga

    selesainya skripsi ini, kepada:

    1. Tuhan Yesus Kristus, atas kekuatan hidup baru, sukacita, berkat, kasih, cinta,

    kesetiaan, perlindungan, dan campur tanganNya dalam kehidupanku aku percaya

    apa yang telah aku kerjakan tidak akan sia-sia, Amin.

    2. Bapak P. Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

    Universitas Sanata Dharma-Yogyakarta.

    3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si., selaku Pembantu Dekan I dan Dosen

    Pembimbing Akademik, atas dorongannya. Terlebih untuk kesediaannya

    meluangkan waktu, mendengarkan segala kesulitan yang dialami penulis selama

    menyelesaikan skripsi.

    4. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi atas

    koreksi, masukkan, semangat dan kesabarannya sampai terselesainya skripsi ini.

    5. Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta, tempat aku

    berproses menjadi sarjana. Seluruh dosen Akademik Fakultas Psikologi atas ilmu

    yang sangat bermanfaat, seluruh pengajar dan staf, perpustakaan USD dan

    karyawannya, mas Gandung, pak Gik atas kemudahan dan keramahannya,

    sungguh luar biasa.

    6. Bapak Drs. Suharja selaku kepala sekolah SMA Negeri I Sewon Bantul –

    Yogyakarta atas ijin penelitiannya, Ibu guru Karmiyati, Ibu Sujarwi dan Ibu

    Yumroni selaku guru BP untuk kesediaan dan waktu yang diberikan. Serta adik-

  • ix

    adik kelas 2 SMA Negeri I Sewon Bantul – Yogyakarta yang ikut berpartisipasi

    dalam penelitian ini.

    7. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Y. Tri Joko J.P dan Ibu Timbul Sri Rahayu atas

    kesabaran yang tiada batas, untuk doa yang tak berujung, yang tiada lelah

    memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

    8. Adik-adikku terkasih, Andhi Sapto Prabowo S.E, Dhimas Kristianto dan Ajeng

    Kristianti yang selalu membuatku lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan.

    9. Om Wahyu & Bulek Mary sekeluarga atas petuah bijak, semangat dan potret

    keluarga sempurna and all of Atmo Surono family.

    10. Bapak Suharto alias ”babe” atas dukungan yang sangat berarti bagi penulis,

    ucapan terimakasih belumlah cukup untuk mewakili semua yang babe sediakan.

    11. “Among” yang membuat hidupku lebih berarti.

    12. Tiara ”Ulit” Putri, Indah ”Susan” Susanti, Rosna ”Icha” Lisa, Evelyn Romora

    ”Mora” Hutapea, sahabat-sahabat terbaik yang selalu punya tempat dihatiku,

    karena kalian hidupku jadi lebih berwarna.

    13. Semua teman-teman angkatan 98, Rully & Ari-nya, Yona, Ika, Hera, Shita, Etta

    ”Donat”, Lephi, Lina, Yona, Hengky, Sunu, Martin, Bram, Ardhi, Kowuk, Amek,

    untuk kebersamaannya. Teman-teman seperjuangan skripsi, Yuni, Biyik,

    Darmono, Anton, Charles Meyer, yang sudah pendadaran, doakan aku segera

    menyusul!

    14. Opik, Shela & Dede Sadam atas keceriaan dan motivasinya, rukun terus ya….!

    15. Indah, Endah, Wiwit, Inta, Dery, Ayuk, Sisca, Atik Cecek, Duwik, Yeyen, Fenny,

    Dhe Chi2k, teman-teman kost Anne, Bonding, Day-day, Yoya, dunia sepi kalo ga

    ada kalian.

    16. Abi, sahabat setia yang selalu mengajarkanku akan kebijaksanaan menghadapi

    hidup, untuk keceriaan yang tiada akhir. Terimakasih telah memberi warna

    tersendiri dalam hidupku, sahabat yang luar biasa!

    17. Keluarga Sagan GK V/ 877 my second family, terimakasih untuk dukungannya.

    Semoga Tuhan membalas semua kebaikan dan ketuluasan mereka, serta

    kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah membantu

    sampai dengan selesainya skripsi ini.

  • x

    Penulis banyak menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

    terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Sehingga, untuk dapat berevolusi

    menuju kebaikkan, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya

    membangun. Semoga karya tulis yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi

    kita semua. Tuhan Yesus Memberkati.

    Yogyakarta, Februari 2007

    Penulis

  • xi

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………….. ii

    HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………. iii

    HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………. iv

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………….. v

    ABSTRAK………………………………………………………………... vi

    ABSTRACK…………………………………………………………….... vii

    KATA PENGANTAR……………………………………………………. vii

    DAFTAR ISI……………………………………………………………… xi

    DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv

    DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………… xv

    BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1

    A. Latar Belakang………………………………………………… 1

    B. Rumusan Masalah…………………………………………….. 10

    C. Tujuan Penelitian……………………………………………… 10

    D. Manfaat Penelitian…………………………………………….. 10

    1. Manfaat Teoritis………………………………………. 10

    2. Manfaat Praktis……………………………………….. 10

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 11

    A. Kecemasan…….……………………………………………… 11

    1. Pengertian Kecemasan………………………………... 11

  • xii

    2. Dimensi Kecemasan…………………………………… 13

    3. Reaksi Kecemasan…………………………………….. 16

    4. Aspek Kecemasan…………………………………….. 18

    B. Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan……… …………......... 19

    1. Remaja………………………………………………… 19

    2. Perbedaan Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan… 24

    C. Dinamika Antar Variabel…..…………………………………. 31

    D. Hipotesis……………………………………………………… 35

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 36

    A. Jenis Penelitian………………………………………………… 36

    B. Identifikasi Variabel Penelitian………………………………... 36

    C. Definisi Operasional Variabel Penelitian……………………… 36

    D. Subyek Penelitian……………………………………………... 38

    E. Metode dan Alat Pengumpulan Data………………………….. 39

    F Metode Analisis Data....………………………………………... 42

    1. Uji Validitas Isi .....................………………………….. 42

    2. Korelasi Item Total…………………………………….. 42

    3. Uji Reliabilitas……………………………………….... 43

    4. Uji Asumsi....................................................................... 45

    a. Uji Normalitas...................................................... 45

    b. Uji Homogenitas................................................... 45

    5. Uji Hipotesis..................................................................... 45

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………… 47

    A. Persiapan Penelitian…………………………………………… 47

  • xiii

    1. Validitas Isi……………………………………………… 47

    2. Korelasi Item Total ………………………………… 48

    3. Reliabilitas……………………………………...... 48

    B. Pelaksanaan Penelitian…………………………………………. 49

    C. Deskripsi Data Penelitian………………………………………. 49

    D. Analisis Data……………………………………………………. 53

    1. Uji Asumsi………………………………………………. 53

    2. Uji Hipotesis…………………………………………….. 54

    E. Pembahasan……………………………………………………... 55

    BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 60

    A. Kesimpulan……………………………………………………… 60

    B. Saran…………………………………………………………….. 60

    DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 63

    LAMPIRAN……………………………………………………………….. 66

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    Tabel 1 Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan (Sebelum Uji Coba)…………………………………………. 40

    Tabel 2 Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan (Setelah Uji Coba)…………………………………………… 48

    Tabel 3 Tabel Norma Kategorisasi…………………………………… 50

    Tabel 4 Tabel Kategorisasi Tingkat Kecemasan Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan………………………………………… 50

    Tabel 5 Tabel Gambaran Kategori Tingkat Kecemasan Pada Tiap Aspek………............................................................ 50

    Tabel 6 Tabel Gambaran Kecemasan Antar Aspek Pada Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan……………………………… 52

    Tabel 7 Tabel Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan............................................... 54

  • xv

    LAMPIRAN

    A. Hasil Validitas dan Reliabilitas Penelitian.

    B. Hasil Perhitungan Uji-t (Independent Sample T-test).

    C. Skala Kecemasan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale).

    D. Surat Keterangan Penelitian.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Tugas utama bagi seorang siswa adalah belajar, sekolah sebagai tempat

    belajar para siswa memiliki fungsi ganda. Selain tempat belajar sekolah memiliki

    fungsi sosial, yaitu menekankan kepada pengaruh-pengaruh sosial dari pada

    pengalaman murid-murid di dalam kelas. Siswa laki-laki dan siswa perempuan

    tidak saja mengalami perkembangan fisik dan intelektual, tetapi juga mengalami

    proses sosialisas. Mereka sedang belajar memperoleh kemantapan sosial dalam

    mempersiapkan diri menjadi orang dewasa yang baru (Sulastri, 1983).

    Sekolah dapat dikatakan sebagai masyarakat para siswa. Pada umumnya

    para siswa menghabiskan waktu di sekolah selama tujuh jam dalam sehari, belum

    termasuk waktu yang digunakan untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Hal

    ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari waktu yang dimiliki para siswa

    dalam sehari dihabiskan di sekolah, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa

    sekolah berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan mental para siswa

    dalam melewati masa remajanya.

    Remaja memiliki tugas-tugas perkembangan ketika memasuki usia remaja,

    selain mempunyai tugas belajar sebagai seorang siswa. Menurut Havighurst

    (Hurlock, 1990), tugas-tugas itu disebut sebagai tugas perkembangan remaja, baik

    bagi remaja laki-laki maupun remaja perempuan.

  • 2

    Tugas perkembangan diartikan sebagai tugas yang harus diselesaikan pada

    suatu periode tertentu dalam kehidupan, karena merupakan petunjuk bagi

    seseorang untuk mengerti dan memahami apa yang diharapkan dan menjadi

    tuntutan masyarakat serta lingkungan terhadap keberadaan remaja. Tugas

    perkembangan remaja ini berlaku juga bagi para siswa laki-laki dan siswa

    perempuan kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta yang sedang

    memasuki masa remaja. Dikarenakan usia kronologis mereka berkisar antara 15-

    18 tahun yang dikategorikan sebagai remaja pertengahan (Monks, 1996).

    Masa remaja sering dikatakan sebagai masa yang paling sulit dalam

    seluruh rentang kehidupan manusia (Hurlock, 1990). Remaja tidak hanya

    mengalami suatu perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, sikap dan

    tuntutan sosial, sehingga dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan remaja

    membutuhkan dukungan dalam segala segi kehidupan, terlebih dukungan dari

    keluarga. Interaksi remaja dengan anggota keluarganya sangatlah penting, karena

    dapat membentuk kepribadian dan menciptakan kondisi mengenai cara

    berkembang dengan orang lain.

    Proses perkembangan hubungan sosial remaja dimulai dari hubungan

    dengan teman-teman sebaya mereka. Ketika remaja diterima dalam suatu

    kelompok tertentu maka akan menimbulkan rasa percaya diri untuk

    mengembangkan kemampuan sosial dalam lingkup yang lebih luas. Sebaliknya

    ketika remaja ditolak oleh teman sebayanya maka hal ini dapat menciptakan

    kecemasan untuk memulai proses interaksi dengan orang lain.

  • 3

    Kecemasan yang dialami remaja timbul ketika menemui permasalahan

    dalam kehidupan, mereka merasa tidak mampu mengatasi kesulitan dalam

    kehidupannya. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Davidson dan Neale (2000),

    bahwa individu yang mengalami gangguan kecemasan umum (generalized anxiety

    disorder), merasa tidak mampu mengatasi situasi dalam kehidupan sehari-hari

    sehingga merasa takut dengan sebagian besar waktu yang dijalani. Ketika individu

    berhadapan dengan stimulus yang menyakitkan dan tidak memiliki kontrol yang

    seimbang dalam merespon stimulus tersebut maka akan timbul kecemasan.

    Kecemasan didefinisikan oleh Kretch and Qrutch (Hartanti dan

    Dwijayanti, 1997), sebagai suatu keadaan tidak menyenangkan yang dialami oleh

    seseorang yang muncul karena ketidakmampuan menyelesaikan suatu

    permasalahan atau kurang siap dalam menghadapi situasi baru. Darajat (1996),

    menambahkan pengertian kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses

    emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika individu sedang mengalami

    tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin.

    Beberapa ahli mendefinisikan kecemasan sebagai bagian dari emosional

    umum yang meliputi ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, dan adanya

    rangsangan fisiologis terhadap sesuatu yang tidak jelas serta membaur dan

    mempunyai ciri menghukum diri, terutama dalam menghadapi situasi kehidupan

    sehari-hari (Kartono, 1981; Furhmann, 1990).

    Remaja yang cemas cenderung merasa tidak memiliki kemampuan dalam

    mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga tidak jarang kecemasan

    yang timbul menyebabkan rendahnya rasa kepercayaan diri pada remaja. Ketika

  • 4

    remaja merasa rendah diri dan merasa tidak yakin akan kemampuan yang

    dimilikinya maka akan menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam

    melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, seperti: berhubungan dengan orang

    lain, bebas mengekspresikan dirinya, mengetahui dan menerima kemampuan diri

    sendiri, dapat menguasai diri berdasarkan dengan norma dan nilai yang berlaku

    serta meninggalkan cara penyesuaian diri yang kekanak-kanakan (Gunarsa, 1986).

    Pada dasarnya kecemasan merupakan kondisi yang tidak menyenangkan,

    dapat bernilai positif jika seseorang mampu melakukan penyesuaian positif untuk

    mengurangi kecemasan serta dapat bernilai negatif jika kecemasan tersebut

    menjadi kecemasan yang neurotik (Byrne, 1991).

    Kecemasan yang dialami remaja akan mempengaruhi kondisi fisik, psikis,

    maupun kognitifnya. Secara kognitif mempengaruhi proses berfikir dan

    menyebabkan kesulitan berkonsentrasi dalam pelajaran sehingga akan

    berpengaruh pada prestasi akademiknya (Maher dalam Calhoun & Acocella,

    1990). Ditambahkan lagi bahwa kecemasan yang dialami seseorang umumnya

    dapat menurunkan kualitas hidupnya, pendidikannya gagal serta karirnya

    berantakan (Surabaya Post, 2 Juli 1997). Secara fisiologis kecemasan akan

    termanifestasi dalam tidak lancarnya perilaku, seperti gerakan yang terpotong-

    potong, bergetar, merapikan pakaian atau tampilan rambut, bahkan perubahan

    tinggi suara, (Maher dalam Calhoun & Acocella, 1990).

    Sedangkan gejala psikis (afektif) akibat kecemasan akan menimbulkan

    perasaan takut dan khawatir atas suatu kejadian yang akan menimpa mereka,

    perasaan gelisah, rasa kurang percaya diri, merasa rendah diri, dan perasaan tidak

  • 5

    mampu menghadapi masalah (Hurlock, 1979). Terlebih lagi perasaan takut akan

    ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas perkembangan sebagai remaja,

    maupun dalam menjalankan fungsinya dalam keluarga, sekolah, atau masyarakat.

    Remaja yang mengalami kesulitan dalam mencapai tugas

    perkembangannya akan tampak ketika mengalami kesulitan dalam berhubungan

    sosial dengan teman sebaya atau ketika berinteraksi dengan masyarakat

    sekitarnya. Bagaimanapun juga sosialisasi yang baik akan membantu remaja

    untuk mandiri, membuat rencana-rencana, menentukan pilihan dan

    mengembangkan tanggung jawab atas perilakunya sendiri.

    Berdasarkan beberapa teori dan penjelasan diatas, penulis menyadari

    bahwa kecemasan yang dialami remaja akan sangat berpengaruh bagi

    kehidupannya dimasa yang akan datang. Sehingga penulis tertarik untuk

    memfokuskan penelitian pada remaja usia 15-18 tahun, dengan asumsi bahwa

    remaja pada kisaran usia tersebut mengalami peralihan dari usia remaja awal

    menuju usia remaja akhir, sehingga memiliki tugas perkembangan yang harus

    diselesaikan untuk memasuki usia dewasa.

    Dikhawatirkan apabila remaja tersebut mengalami kecemasan yang

    berkepanjangan akan mengganggu fungsi dan perannya dalam kehidupan

    bersosialisai di masyarakat, keluarga serta dunia kerja di masa yang akan datang.

    Peneliti mencantumkan beberapa teori dan penelitian yang berhubungan

    dengan kecemasan serta berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin. Ditemukan

    hasil bahwa perempuan lebih dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan

    dibandingkan dengan laki-laki (James dalam Smith, 1968).

  • 6

    Hal ini disebabkan perempuan menganggap bahwa kualitas hubungan

    interpersonal dengan orang-orang disekeliling mereka merupakan hal yang sangat

    penting dan merupakan prioritas hidup dibandingkan dengan laki-laki. Karena

    kaum perempuan lebih dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, sehingga

    menyebabkan perempuan lebih cemas dibandingkan laki-laki yang cenderung

    menganggap kurang penting lingkungannya. Pernyataan tersebut dikuatkan

    dengan hasil sebuah studi kecemasan, yang menyatakan bahwa perempuan lebih

    cemas dibanding dengan laki-laki (Maccoby and Jacklin, 1974).

    Selain secara fisik perempuan dan laki-laki dipandang memiliki perbedaan

    dalam hal psikis. Perempuan dinilai lebih feminin sementara laki-laki maskulin.

    Dalam studi tentang kecemasan yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin

    Myers (1983), mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan

    ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki. Dikatakan juga bahwa laki-laki

    lebih aktif, eksploratif, dan lebih rileks sedangkan perempuan lebih sensitif.

    Berawal dari hal-hal tersebut maka dinamika tingkat kecemasan antara

    siswa laki-laki dan siswa perempuan menjadi berbeda. Kecemasan yang dialami

    siswa perempuan ternyata cenderung lebih kompleks, selain lebih dipengaruhi

    oleh tekanan lingkungan, perempuan ternyata juga cenderung cemas akan

    ketidakmampuannya. Sementara laki-laki lebih rileks dalam berhubungan dan

    berinteraksi dengan lingkungannya, serta tidak mudah dipengaruhi oleh tekanan

    lingkungan, sehingga menjadikan laki-laki tidak lebih cemas dari perempuan.

    Hal tersebut membuat perempuan cenderung lebih mengembangkan

    aspek-aspek yang mendukung kualitas hubungan, seperti: memiliki empati yang

  • 7

    tinggi, mempunyai sifat memelihara, cenderung mengungkapkan perasaan ketika

    memiliki kedekatan hubungan dengan orang lain serta cenderung peka terhadap

    orang lain dibanding dengan laki-laki. Sedangkan laki-laki lebih mengarah dan

    mengembangkan potensinya pada kemandirian, rasa percaya diri, tegas, lebih

    berorientasi pada pencapaian tujuan, serta lebih menekankan pada petualangan

    (Lips, 1988).

    Menurut teori Byrne (1961), kecemasan ditunjukkan oleh aspek-aspek

    yang mencolok (overt) dari perilaku kecemasan, seperti: berkeringat, muka

    kemerahan, gemetar. Sebagian lagi mengandung keluhan-keluhan somatik,

    misalnya: perut terasa mual, pusing, diare, gangguan lambung. Sedangkan aspek

    lain yang menyertai kecemasan ditunjukkan melalui: kesulitan berkonsentrasi,

    perasaan eksitasi atau tidak dapat istirahat, menurunnya kepercayaan diri,

    sensitivitas yang berlebihan terhadap orang lain, perasaan tidak bahagia dan tidak

    berguna.

    Johnston (1971), mendefinisikan kecemasan sebagai reaksi terhadap

    adanya ancaman, hambatan, terhadap keinginan pribadi atau perasaan tertekan

    yang dapat disebabkan oleh perasaan kecewa, rasa tidak puas, tidak aman, atau

    sikap bermusuhan dengan orang lain.

    Tanda-tanda kecemasan adalah dalam bentuk perasaan khawatir, gelisah

    dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan. Biasanya perasaan-

    perasaan ini disertai oleh rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah

    diri, dan tidak mampu menghadapi masalah (Hurlock, 1979).

  • 8

    Gejala fisiologis yang sering menyertai kecemasan antara lain: timbulnya

    gerakan-gerakan yang tidak terkontrol, salah tingkah dan gejala-gejala psikologis

    seperti perasaan ragu-ragu, emosional dan tertekan (Bucklew, 1980).

    Pada dasarnya kecemasan merupakan suatu keadaan yang umum dialami

    oleh setiap prang, karena tidak ada kehidupan tanpa tantangan. Tantangan tersebut

    dapat berarti positif jika seseorang menjadi semangat dan bergairah, dapat pula

    mempunyai arti negatif jika seseorang menjadi putus asa karena adanya tantangan

    (Steiner dan Gebser, 1962).

    Kecemasan merupakan suatu gejala jiwa yang sangat berpengaruh

    terhadap kehidupan menusia. Dengan demikian kecemasan yang dialami remaja

    tentunya memerlukan perhatian khusus dari orang-orang terdekat terutama

    keluarga, yang dapat memberikan serta menumbuhkan rasa aman dan

    kepercayaan diri, sehingga kecemasan yang mereka alami dapat berkurang dari

    frekuensi tinggi menjadi frekuensi rendah atau hilang.

    Dikhawatirkan jika tidak segera diatasi hal ini dapat mengganggu fungsi

    dan peran remaja dalam bersosialisasi di masyarakat, keluarga, serta untuk dunia

    kerja di masa yang akan datang. Kecemasan merupakan suatu gejala jiwa yang

    sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang, dikhawatirkan bila seseorang

    yang mempunyai tingkat kecemasan tinggi cenderung akan memiliki tingkat

    gangguan jiwa yang tinggi pula.

    Hal ini sejalan dengan pendapat Second (1976), kecemasan yang dialami

    seseorang akan menghambat proses penyesuaian sosialnya, mengakibatkan

    seseorang menghindari hubungan sosialnya dengan orang lain yang bersifat intim

  • 9

    atau mengurangi kegiatan-kegiatan menyenangkan yang biasa dilakukan. Jika hal

    ini terus berlanjut, maka individu akan memiliki pikiran-pikiran negatif dan

    merasa seolah-olah terancam dalam situasi sosial yang sebenarnya tidak

    mengancamnya (Leary, 1983).

    Penulis menyadari bahwa kecemasan memberikan kontribusi yang kurang

    baik bagi kelangsungan hidup di masa yang akan datang, terlebih bagi remaja

    yang sedang memasuki masa paling sulit dalam seluruh rentang kehidupan

    manusia. Sehubungan dengan hal tersebut penulis memfokuskan penelitian pada

    remaja pertengahan usia 15-18 tahun, lebih spesifik lagi siswa laki-laki dan siswa

    perempuan SMA kelas 2.

    Dengan asumsi bahwa remaja pada kisaran usia tersebut mengalami

    peralihan dari usia remaja awal menuju usia remaja akhir, maka memiliki tugas

    perkembangan yang harus diselesaikan untuk memasuki usia dewasa. Sehingga

    diharapkan nantinya kecemasan tidak mengganggu fungsi dan perannya dalam

    kehidupan bersosialisasi di masyarakat, keluarga serta untuk dunia kerja di masa

    yang akan datang.

    Dari berbagai fakta yang berkaitan dengan kecemasan yang dialami oleh

    siswa laki-laki dan siswa perempuan yang sedang memasuki usia remaja, maka

    penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang: ”Perbedaan Tingkat

    Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan SMA Negeri I

    Sewon – Bantul Yogyakarta”.

  • 10

    B. Rumusan Masalah

    Dari uraian latar belakang masalah dapat disimpulkan yang menjadi fokus

    permasalahan adalah apakah ada perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-

    laki dan siswa perempuan kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta.

    C. Tujuan Penelitian

    Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kecemasan antara siswa

    laki-laki dan siswa perempuan kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Manfaat teoritis

    a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi bidang

    psikologi mengenai masalah kecemasan, khususnya tentang perbedaan

    tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan, lebih

    spesifik lagi siswa kelas 2 SMA.

    b. Menjadi literatur untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.

    2. Manfaat Praktis

    Bagi pembaca dan peneliti lain, penelitian ini bermanfaat memberi

    gambaran tentang perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan

    siswa perempuan, khususnya siswa SMA kelas 2. Diharapkan dapat

    bermanfaat untuk memberi informasi dan pertimbangan bagi remaja, pendidik

    dan keluarga agar dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam rangka

    mengantisipasi terjadinya kecemasan yang berkepanjangan.

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kecemasan

    1. Pengertian Kecemasan

    Kecemasan atau dalam bahasa inggrisnya ”anxiety”, berasal dari bahasa

    latin ”angustus” yang berarti kaku dan ”ango, anci” yang berarti mencekik. Byrne

    (1991), menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang dialami oleh

    individu pada saat mengalami ketakutan. Ciri utama kecemasan adalah obyeknya

    yang tidak jelas.

    Menurut Wignyo Soebroto (1981), ada perbedaan yang mendasar antara

    kecemasan dan ketakutan. Pada ketakutan, apa yang menjadi sumber penyebabnya

    selalu dapat ditunjuk secara nyata, sedangkan kecemasan sumber penyebabnya

    tidak dapat ditunjuk dengan jelas dan tepat. Sedangkan Prasadio (1975),

    mendefinisikan kecemasan sebagai suatu pengalaman emosional yang dirasakan

    sebagai suatu respon yang tidak menyenangkan, tidak jelas apa yang dirasakan

    dan tidak diketahui penyebabnya.

    Hall dan Lindzey (1978), mendefinisikan kecemasan sebagai kondisi

    psikologis ketika individu merasa terganggu akibat adanya kondisi yang

    mengancam meskipun masih bersifat kabur dan tidak jelas apa yang menjadi

    penyebabnya. Menurut Wilson, Nathan, dan Clark (1996), kecemasan diartikan

    sebagai paduan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang dicirikan dengan

    perasaan ketidakmampuan untuk mengontrol dan untuk memprediksikan terhadap

    peristiwa-peristiwa dalam hidup yang tidak diinginkan.

  • 12

    Pada dasarnya kecemasan yang normal dapat merupakan fungsi yang

    bermanfaat sehingga dapat membuat seseorang melakukan sesuatu hal atau

    gerakan yang luar biasa, akan tetapi kecemasan yang berlebihan dapat berakibat

    merugikan, misalnya menjadikan seseorang depresi, merasa tidak ada harapan dan

    putus asa, Cammeron (1963). Munculnya kecemasan dalam diri seseorang akan

    memotivasi pribadi tersebut untuk melakukan sesuatu, bisa lari dari daerah yang

    mengancam untuk menghalangi impuls yang membahayakan atau menuruti suara

    hati (Corey, 1997; Hall, 1993).

    Ketika seseorang berada dalam keadaan cemas, ia berada dalam

    pengalaman ketakutan tertentu, tetapi tidak diketahui penyebabnya dengan pasti

    bahkan kesulitan untuk mengatakan apa yang membuatnya takut (O’kelly &

    Muckler, 1959). Furman (1990) mengungkapkan bahwa kecemasan seperti bagian

    dari rasa sakit yang tidak mampu ditoleransi dalam waktu yang lama. Masalah

    akan muncul ketika kita banyak menghadapi masalah kecemasan karena akan

    membuang-buang energi fisik dan psikis serta kondisi tersebut akan

    menghilangkan tanggapan diri yang membuat kita menjadi merasa kecil dan tidak

    berdaya (Calhoun & Acocella, 1990).

    Tanda-tanda kecemasan diawali dengan munculnya gejala afektif, yaitu

    dalam bentuk perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang

    menyenangkan, seperti perasaan kurang percaya diri, merasa rendah diri dan tidak

    mampu menghadapi masalah (Hurlock, 1979). Adapun gejala fisiologis yang

    sering menyertai kecemasan antara lain timbulnya gerakan-gerakan yang tidak

    terkontrol dan salah tingkah. Sedangkan gejala kognitif dari kecemasan akan

  • 13

    mempengaruhi kemampuan proses berfikir seseorang, seperti sulit berkonsentrasi,

    sulit membuat keputusan, khawatir terhadap sesuatu yang mengerikan dan seolah-

    olah akan terjadi (Fischer, 1970; Kiske, Morling & Stevens, 1996).

    Daradjat (1996), menambahkan pengertian kecemasan sebagai manifestasi

    dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika individu

    sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin. Sedangkan

    Santrok (2002), mendefinisikan gangguan kecemasan (anxiety disorder) adalah

    gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (seperti: gelisah,

    gemetar, dan ketidakmampuan untuk rileks) dan hiperaktivitas, seperti: pusing,

    jantung berdebar-debar, berkeringat, pikiran serta harapan yang mencemaskan.

    Berdasarkan uraian dari pendapat beberapa ahli, dapat disimpulkan

    kecemasan merupakan manifestasi berbagai proses emosi yang komplek yang

    dirasakan individu sebagai akibat dari proses berfikir. Meliputi interpretasi

    subyektif yang negatif dan cenderung tidak menyenangkan dalam menghadapi

    situasi yang dianggap mengancam. Hal ini dirasakan sebagai konsekuensi atas

    ketidakberdayaan, pertentangan batin, tekanan batin, stress dan termanifestasi

    dalam gejala kognitif, afektif dan fisiologis, sehingga muncul respon yang tidak

    menyenangkan seperti: perasaan tidak terkontrol, ketakutan, kekhawatiran,

    kegelisahan, dan adanya rangsangan psikologis.

    2. Dimensi Kecemasan

    Terdapat beberapa teori tentang dimensi kecemasan pada individu, dalam

    hal ini terdapat 4 dimensi:

  • 14

    1. Dimensi Psikoanalis, dalam teorinya (Frued dalam Notosoedirjo, 1990),

    menyatakan munculnya kecemasan karena adanya konflik antara dorongan id

    melawan ego atau super ego yang tidak disadari. Banyak dorongan id yang

    mengancam individu karena berlawanan dengan nilai normative maupun nilai

    moral dalam masyarakat. Sedangkan menurut Davidson dan Neale (2002),

    sumber kecemasan karena adanya konflik antara dorongan id dan ego yang

    tidak disadari. Pada dasarnya keberhasilan individu dalam mengatasi

    kecemasan merupakan manifestasi dari keberhasilannya menekan dorongan

    id, yang dapat berupa dorongan seksual maupun agresifitas.

    2. Dimensi Behavioral, perspektif ini banyak digunakan untuk menghadapi

    kecemasan umum, teori ini memandang munculnya kecemasan dipicu oleh

    peristiwa eksternal spesifik dari pada konflik internal (Attkinson, 1987).

    Sedangkan pada individu yang mengalami gangguan kecemasan umum

    (generalized anxiety disorder) merasa tidak mampu mengatasi situasi

    kehidupan sehari-hari sehingga merasa takut dengan sebagian besar waktunya.

    Ketika individu berhadapan dengan stimulus yang menyakitkan dan tidak

    memiliki kontrol yang seimbang dalam merespon stimulus tersebut maka akan

    muncul kecemasan (Davidson dan Neale, 2000).

    3. Dimensi Kognitif, selain menyebabkan perubahan dalam tubuh kecemasan

    juga menyebabkan perubahan dalam proses berfikir (Fischer, 1970; Kiske,

    Morling & Stevens, 1996). Menurut teori ini individu yang mengalami

    kecemasan cenderung melakukan penilaian yang tidak realistik terhadap

    situasi tertentu. Borkovec (Davidson, 2002), menyatakan adanya gangguan

  • 15

    kecemasan umum dikarenakan kekhawatiran yang berlebihan. Oleh sebab itu,

    dimensi kognitif kecemasan ini mempengaruhi kemampuan berfikir ketika

    individu berhadapan dengan situasi yang mendorong kecemasan. Individu

    yang mengalami kecemasan ini selalu berfikir bahwa apa yang terjadi pada

    dirinya dan apa yang dilakukannya adalah negatif dalam pandangan

    lingkungan sekitarnya, sehingga hal ini menimbulkan kekhawatiran yang

    besar dalam dirinya. Mereka cenderung merasakan ketidaknyamanan disaat

    tertentu dan pemikirannya selalu terfokus pada adanya malapetaka yang akan

    menimpanya dimasa yang akan datang.

    4. Dimensi Fisiologis, sewaktu mengalami situasi yang merangsang munculnya

    kecemasan, tubuh merespon melalui sistem syaraf simpatik atau SNS

    (Sympatic Nervous System). Adapun fungsi SNS adalah mengambil alih tubuh

    untuk mempersiapkan diri dari situasi yang mengancam (Groves dan

    Schlesinger, 1982). Beberapa reaksi tubuh memacu kerja SNS, yang dapat

    terlihat dari meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan pernafasan.

    Reaksi tersebut menghasilkan lebih banyak darah dan oksigen bagi otot dalam

    tubuh, yang menjadikan otot lebih kuat dan berfungsi lebih baik dalam

    menghadapi situasi yang mengancam. Oleh sebab itu, dimensi fisiologis

    kecemasan meliputi respon tubuh dalam beberapa bentuk terhadap situasi

    yang mendorong kecemasan (Brown, Tomarken, Loosen, Kalin, dan

    Davidson, 1996).

    Jadi dapat disimpulkan bahwa dimensi kecemasan merupakan proses yang

    melibatkan aktivitas orgasmik yang saling berkaitan antara aspek fisiologis,

  • 16

    kognitif, tingkah laku dan kepribadian yang dialami individu. Saat merespon

    kecemasan, tubuh mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi yang

    mengancam. Seperti menekan konflik internal, melakukan kontrol terhadap

    stimulus yang kurang menyenangkan, menghadapi kekhawatiran yang berlebihan

    yang disebabkan oleh proses berfikir tidak realistik, serta adanya gangguan

    kelancaran perilaku. Munculnya kecemasan disebabkan adanya dorongan dan

    keinginan dasar yang dihindari akibat munculnya konflik atau penundaan

    kebutuhan. Individu akan mengalami ketegangan psikis karena ketidakmampuan

    dalam menyesuaikan diri sendiri, dengan orang lain maupun dengan lingkungan.

    3. Reaksi Kecemasan

    Dalam kondisi gangguan kecemasan, Frued menjelaskan bahwa individu

    selalu memunculkan beberapa reaksi sebagai bentuk defense mechanisme

    (pertahanan diri). Untuk membedakan kecemasan berdasarkan reaksi yang

    dimunculkan individu dari kecemasan yang sedang dideritanya, maka Lazarus

    (1991), membedakan reaksi kecemasan sebagai berikut:

    1. Kecemasan sebagai suatu respon

    Merupakan reaksi yang dimunculkan individu sebagai reaksi terhadap

    pengalaman tertentu, keadaan ini dapat diketahui dari apa yang ia katakan,

    dari bagaimana ia bertindak, maupun dari perubahan fisiologis. Kegelisahan,

    kekhawatiran, kebingungan dan ketakutan yang muncul pada dirinya sangat

    berhubungan dengan aspek-aspek subyektif dan emosi, dan hal ini hanya

    dirasakan oleh yang bersangkutan. Yang terbagi dalam dua aspek, yaitu:

  • 17

    a. State Anxiety, kecemasan yang timbul bila individu sedang dihadapkan

    pada situasi tertentu dan gejala kecemasan tersebut selalu menetap selama

    situasi sebagai stimulus yang memicu kecemasan itu tetap ada.

    b. Trait Anxiety, kecemasan yang muncul pada diri individu sebagai suatu

    yang menetap pada diri individu. Kecemasan ini sangat berhubungan

    dengan kepribadian individu yang mengalaminya, memiliki pengertian

    disposisi untuk menjadi cemas dalam berbagai situasi dan sering

    mengarah pada kesulitan individu dalam beradaptasi.

    2. Kecemasan sebagai Intervening Variabel

    Merupakan suatu keadaan yang diperkirakan terjadi karena kondisi tertentu

    dan memiliki konsekuensi. Kecemasan tersebut merupakan serangkaian

    stimulus dan respon. Kecemasan ini hanya dapat diketahui dengan melihat

    keadaan yang mendahuluinya, bukan hanya melalui observasi. Karena yang

    dapat diketahui melalui observasi hanyalah kondisi stimulus dan perilaku

    yang mendahuluinya serta menifestasinya sebagai akibat dari keadaan tersebut

    yang dapat dilihat melalui kondisi fisiologis dari situasi yang mencemaskan

    tersebut. Individu yang terlibat didalamnya akan berusaha membentuk

    penyesuaian diri untuk menghilangkan kecemasan yang dialaminya.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa reaksi kecemasan muncul sebagai bentuk

    usaha individu dalam mempertahankan dirinya dari situasi yang mengancam,

    sehingga individu mampu melakukan penyesuaian diri untuk menghilangkan

    kecemasan yang dialami.

  • 18

    4. Aspek Kecemasan

    Maher (Calhoun & Acocella, 1999) menyatakan terdapat tiga aspek dalam

    kecemasan. Aspek-aspek tersebut adalah:

    a. Aspek Afektif (emosional), yaitu munculnya kecemasan yang berkaitan dengan

    perasaan individu terhadap suatu hal yang dialami secara sadar dan mempunyai

    ketakutan yang mendalam. Misalnya: cenderung selalu merasa khawatir akan

    sesuatu hal yang menimpanya, mudah tersinggung, tidak sabar, sering

    mengeluh, dan gampang marah.

    b. Aspek Kognitif, yaitu ketakutan yang meningkat akhirnya mengganggu

    kemampuan seseorang untuk berfikir jernih dalam memecahkan masalah atau

    menangani tuntutan lingkungan. Aspek ini berkaitan dengan kekhawatiran

    individu terhadap konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dialami, apabila

    meningkat dapat mengganggu kemampuan kognitif individu. Seperti: sulit

    berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, khawatir terhadap sesuatu yang

    mengerikan dan seolah-olah akan terjadi, pelupa, pikiran kacau, mudah panik,

    dan binggung.

    c. Aspek Fisiologis, yaitu respon tubuh terhadap ketakutan untuk

    mengerahkannya menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Secara fisik

    individu akan tampak berkeringat walaupun udara tidak panas, meningkatnya

    detak jantung, telapak tangan atau kaki dingin, gangguan pencernaan, mulut

    dan tenggorokan terasa kering, muka tampak pucat, sering buang air kecil, otot

    dan persendian terasa kaku, sering mengalami gangguan tidur (susah tidur),

  • 19

    mudah terkejut, tidak rileks, menggerakkan anggota tubuh secara berlebihan,

    membenahi dandanan atau tatanan rambut yang masih rapi.

    ”Taylor Manifest Anxiety Scale” (TMAS) disusun oleh Taylor, J.A.,

    (Byrne, 1961), kecemasan ditunjukkan oleh aspek-aspek yang mencolok (overt)

    dari perilaku kecemasan, seperti: berkeringat, muka kemerahan, gemetar.

    Sebagian lagi mengandung keluhan-keluhan somatik, misalnya: perut terasa mual,

    pusing, diare, gangguan lambung. Sedangkan aspek lain yang menyertai

    kecemasan ditunjukkan melalui: kesulitan berkonsentrasi, perasaan eksitasi atau

    tidak dapat istirahat, menurunnya kepercayaan diri, sensitivitas yang berlebihan

    terhadap orang lain, perasaan tidak bahagia dan tidak berguna.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa kecemasan meliputi aspek fisik, aspek

    kognitif dan aspek afektif. Semua kondisi tersebut saling berkaitan satu dengan

    yang lain dan akan mempengaruhi kondisi mental dan psikis seseorang.

    B. Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan

    Dalam penelitian ini banyak digunakan teori tentang remaja, dengan

    alasan bahwa subyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki

    dan siswa perempuan yang berusia antara 15-18 tahun. Dimana usia tersebut

    masuk dalam kategori sebagai usia remaja pertengahan (Monks, 1996).

    1. Remaja

    Usia remaja merupakan salah satu bagian dalam rentang kehidupan

    manusia. Masa remaja disebut sebagai masa peralihan atau transisi, yaitu dari

    masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa. Dengan demikian, remaja tidak

  • 20

    memiliki tempat yang jelas dalam perkembangannya. Remaja sudah bukan anak-

    anak lagi, tetapi juga belum dapat digolongkan sebagai dewasa (Monks, 1999).

    Hurlock (1990), menyatakan bahwa usia remaja merupakan tahap

    perkembangan yang amat penting dalam sepanjang rentang kehidupan manusia.

    Dalam tahap ini terjadi proses pembentukan jati diri dan kepribadian individu,

    karena itu masa remaja dikatakan sebagai masa pencapaian identitas diri. Pada

    usia remaja seseorang mulai menyadari perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai

    bagi dirinya dalam menghadapi berbagai situasi. Dengan kata lain remaja ingin

    meninggalkan perilaku, nilai, dan sifatnya di masa kanak-kanak untuk mencari

    otonomi atas dirinya sendiri.

    Permasalahan yang dihadapi remaja memang sangat komplek, sehingga

    masa remaja dikatakan sebagai masa yang paling sulit dalam seluruh rentang

    kehidupan manusia (Hurlock, 1990). Selain memiliki tugas dan kewajiban sebagai

    seorang pelajar, pada masa ini remaja juga mengalami suatu perubahan tidak

    hanya perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, sikap dan tuntutan sosial.

    Pada masa transisi ini, remaja diharapkan mampu meninggalkan sikap kekanak-

    kanakannya dan mampu bersikap dewasa (Monks, 1999).

    Remaja diartikan sebagai usia dimana seseorang sudah siap untuk

    berintegrasi dengan masyarakat dewasa, mencapai transformasi intelektual yang

    khas dari cara berfikirnya untuk memasuki hubungan sosial dengan orang dewasa

    lainnya, Piaget (Hurlock, 1990).

    Disisi lain, masa remaja merupakan masa yang penuh dengan masalah

    karena remaja merasa dirinya mandiri, sehingga tidak ingin dibantu oleh orang tua

  • 21

    maupun orang dewasa lainnya. Meskipun dalam kenyataannya remaja belum

    memiliki kemampuan yang memadahi untuk mengatasi masalahnya menurut cara

    mereka sendiri. Sehingga dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan, dimasa

    tumbuh dan perkembangannya tidak jarang remaja membutuhkan dukungan

    dalam segala segi kehidupan, terlebih dukungan dari keluarga.

    Masa remaja berlangsung ketika seseorang berada pada usia 12-21 tahun.

    Dengan pembagian sebagai berikut: usia 12-15 tahun dikategorikan sebagai masa

    remaja awal, usia 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan dan usia 18-21

    tahun termasuk masa remaja akhir (Monks, 1996).

    Menurut Havighurst (Hurlock, 1990), remaja memiliki tugas-tugas

    perkembangan dalam kehidupan masa remaja yang harus diselesaikan pada saat

    mereka memasuki masa remaja. Tugas-tugas itu disebut sebagai tugas

    perkembangan remaja yang diartikan sebagai tugas yang harus dipenuhi pada

    suatu periode tertentu dan merupakan petunjuk yang memungkinkan seseorang

    mengerti dan memahami apa yang diharapkan dan dituntut oleh masyarakat serta

    lingkungan terhadap seseorang dalam usia tertentu.

    Tugas-tugas perkembangan remaja tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Mencapai hubungan baru dan hubungan yang lebih matang dengan teman

    sebaya.

    2. Mencapai peran sosial menurut jenis kelaminnya.

    3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif.

    4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

  • 22

    5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

    lainnya.

    6. Mempersiapkan karir ekonomi dan mampu mencapai kemandirian secara

    ekonomi.

    7. Mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep yang

    diperlukan untuk kepentingan hidup bermasyarakat.

    8. Memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial dapat

    dipertanggungjawabkan.

    9. Mempersiapkan perkawinan dan kelurga, serta

    10. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai peganggan untuk

    berperilaku.

    Tugas-tugas perkembangan tersebut harus dilakukan oleh setiap remaja,

    karena apabila tidak terpenuhi akan membawa akibat yang tidak baik di masa-

    masa berikutnya serta akan menghambat dalam melaksanakan tugas-tugas

    perkembangan selanjutnya (Hurlock,1990).

    Keberhasilan dalam melaksanakan tugas perkembangan pada masa remaja

    akan mendatangkan keadaan dimana remaja akan memiliki kemampuan

    menyesuaikan diri dengan baik terhadap keluarga, teman-teman sekolahnya,

    masyarakat di lingkungannya, maupun terhadap dirinya sendiri (Hurlock, 1990).

    Ditambahkan lagi keberhasilan remaja dalam melaksanakan tugas-tugas

    perkembangannya akan memudahkan remaja untuk melaksanakan tugas-tugas

    perkembangan selanjutnya.

  • 23

    Sebaliknya kegagalan remaja dalam melaksanakan tugas-tugas

    perkembangannya dapat menyulitkan remaja untuk melaksanakan tugas-tugas

    perkembangan dimasa selanjutnya. Dengan demikian semakin banyak tugas

    perkembangan yang tidak mampu dilaksanakan oleh remaja maka akan semakin

    tinggi pula intensitas persoalan yang akan dihadapi oleh remaja (Mappiare, 1982).

    Pada masa remaja perubahan sosial merupakan masalah yang terpenting

    dan tersulit, terlebih dalam hal penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh

    kelompok sebaya (Hurlock, 1990). Dengan kata lain hubungan dengan orang lain

    merupakan hal yang terpenting dalam perkembangan selama masa remaja.

    Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Havighurst (Hurlock, 1990), bahwa salah

    satu tugas perkembangan di masa remaja adalah mencapai hubungan baru dan

    hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

    Perubahan sosial di kalangan siswa SMA yang sedang memasuki usia

    remaja adalah harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa diluar lingkungan

    sekolah atau keluarga serta harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam

    hubungan yang belum pernah ada sebelumnya. Biehler (1999), mengatakan

    bahwa remaja merasa perlu menyesuaikan diri dengan kelompok karena ingin

    menjadi bagian dalam dalam kelompok pada umumnya. Mereka menghindari

    segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kelompok, dengan cara mematuhi cita-

    cita, sikap, kebiasaan, serta peraturan kelompok.

    Dari uraian tersebut dapat disimpulkan pengertian remaja adalah masa

    peralihan dari usia anak-anak menuju usia dewasa, dimana seseorang sudah siap

    untuk berintegrasi dengan masyarakat dewasa, mencapai transformasi intelektual

  • 24

    yang khas dari cara berfikirnya. Ditandai dengan adanya perubahan fisik,

    psikologis, perubahan kognitif, sikap dan tuntutan sosial. Dalam tahap ini terjadi

    proses pembentukan jati diri dan kepribadian individu, karena itu remaja

    dikatakan sebagai masa pencapaian identitas diri, yang artinya mulai menyadari

    perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya dalam menghadapi

    berbagai situasi dan mencari otonomi atas dirinya sendiri.

    2. Perbedaan Remaja Laki-Laki dan Remaja Perempuan

    Pergaulan remaja laki-laki cenderung berorientasi pada kegiatan yang

    menekankan persaingan dan perkembangan ketangkasan maupun

    keterampilannya. Remaja laki-laki lebih terbuka terhadap teman lawan jenis, akan

    tetapi tidak demikian dengan remaja perempuan. Pergaulan remaja perempuan

    cenderung berorientasi kepada hal-hal yang bersifat afeksi, lebih menikmati segi

    positif pergaulan dan belajar dari segi negatif pergaulan (Hamachek, 1985).

    Berdasarkan sebuah penelitian ”The Californian Adolescent Growt Study”

    menyatakan bahwa: siswa laki-laki (usia 16-19 tahun) lebih menekankan pada

    keterampilan sosial dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain. Adapun bagi

    siswa laki-laki yang telah mencapai tingkat kematangan sosial yang lebih tinggi,

    memiliki ketertarikan dibidang olah raga, ketertarikan dalam hal-hal yang

    berhubungan dengan kemampuan intelektual dan pencapaian dibidang akademis

    serta ketertarikan terhadap lawan jenis. Sedangkan untuk siswa perempuan (usia

    16-18 tahun) lebih memiliki ketertarikan dalam hal keterampilan wanita seperti

    menata ruang, menari dan berenang.

  • 25

    Proses perkembangan hubungan sosial remaja dimulai dari hubungan

    dengan teman-teman sebaya mereka. Ketika remaja diterima dalam suatu

    kelompok tertentu maka akan menimbulkan rasa percaya diri untuk

    mengembangkan kemampuan sosial dalam lingkup yang lebih luas, dan

    sebaliknya ketika remaja ditolak oleh teman sebayanya maka hal ini bisa

    menciptakan kecemasan untuk memulai proses interaksi dengan orang lain.

    Bahaya psikologis utama remaja berkisar sekitar kegagalan melaksanakan

    peralihan ke arah kematangan yang merupakan tugas perkembangan terpenting

    dari masa remaja. Sosialisasi menjadi salah satu tugas perkembangan dimasa

    remaja yang wajib dipenuhi, karena dengan soaialisasi yang baik akan membantu

    remaja untuk mandiri, membuat rencana-rencana, menentukan pilihan dan

    mengembangkan tanggung jawab atas perilakunya sendiri sebagai langkah untuk

    menjadi manusia dewasa.

    Sedangkan bagi remaja yang merupakan siswa SMA Negeri I Sewon

    Bantul yang mengalami kecemasan, dikhawatirkan kecemasan yang mereka alami

    akan menghambat peroses penyesuian sosialnya. Sehingga mengakibatkan para

    siswa menghindari hubungan sosialnya dengan orang lain yang bersifat intim atau

    justru akan mengurangi kegiatan-kegiatan menyenangkan yang sudah biasa

    dilakukan, Second (1976). Bila hal tersebut terus berlanjut, maka para siswa akan

    memiliki pikiran-pikiran negatif yang merasa seolah-olah terancam dalam situasi

    sosial yang sebenarnya tidak mengancamnya (Leary, 1983).

  • 26

    Kekhawatiran muncul apabila kecemasan yang dialami oleh para siswa

    SMA Negeri I Sewon – Bantul tidak segera diatasi, maka akan mengganggu

    fungsi dan peran para siswa dalam kehidupan bersosialisasi di masyarakat, dengan

    keluarga serta untuk dunia kerja di masa yang akan datang. Dikarenakan

    kecemasan merupakan gejala jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan

    seeorang.

    Masa remaja adalah masa peralihan dari usia anak-anak menuju usia

    dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis, tetapi juga dalam artian fisik.

    Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala

    primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis

    muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik tersebut

    (Sarwono, 2002).

    Diantara perubahan-perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya adalah

    pertumbuhan tubuh, secara lengkap Muss (Sarwono, 2002) membuat urutan

    perubahan fisik pada wanita sebagai berikut:

    a. Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi bertambah tinggi, anggota-

    anggota badan yang lain menjadi lebih panjang).

    b. Pertumbuhan payudara.

    c. Tumbuh bulu berwarna gelap dikemaluan.

    d. Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya.

    e. Datangnya haid.

    f. Tumbuh bulu-bulu pada ketiak.

  • 27

    Pada masa ini seorang wanita mengalami kematangan yang berlangsung

    secara lambat dan teratur. Masa ini merupakan kunci dari perkembangan

    seseorang, dimana introspeksi dan pencarian jati diri dimulai pada masa remaja.

    Oleh karena itu wanita dewasa yang matang dan berkepribadian banyak

    ditentukan oleh peristiwa-peristiwa dan pengalamannya pada masa remaja, baik

    itu pengalaman yang bersifat fisik maupun psikis (Kartono, 1977).

    Masa tumbuh dan berkembangnya seorang wanita sering kali oleh Frued

    (Kartono,1977), disebut sebagai ’’edisi baru dalam kompleks oedipus’, karena

    hubungan seorang wanita dengan lawan jenis masih banyak diwarnai oleh

    ikatannya dengan sang ayah.

    Sehubungan dengan hal tersebut remaja perempuan memiliki beberapa

    tugas perkembangan khusus, yaitu:

    1. Remaja perempuan dituntut untuk mengalahkan kompleks oedipus, sehingga

    mereka dapat menjalin suatu hubungan cinta yang mantap dan lebih dewasa.

    2. Remaja perempuan dituntut untuk memutuskan identifikasi total dan relasi

    yang akrab dengan ibunya yang sifatnya infantile dan primitif.

    3. Remaja perempuan harus dapat menghapuskan keragu-raguan biseksuil, untuk

    dapat mengarahkan dirinya dalam proses heteroseksuil yang positif.

    Sedangkan perubahan fisik remaja laki-laki menurut Muss (Sarwono,

    2002) meliputi:

    a. Pertumbuhan tulang-tulang.

    b. Testis (buah pelir) membesar.

    c. Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus dan berwarna gelap.

  • 28

    d. Awal perubahan suara.

    e. Ejakulasi (keluarnya air mani).

    f.. Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya.

    g. Tumbuh rambut-rambut halus diwajah (seperti: kumis, jenggot).

    h. Tumbuh bulu ketiak.

    i. Akhir perubahan suara.

    j. Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap.

    k. Tumbuh bulu di dada.

    Secara jelas perbedaan antara laki-laki dan perempuan tampak pada

    perubahan fisiknya, lebih jauh lagi terdapat beberapa hal yang membedakan

    antara laki-laki dan perempuan seperti dalam sifat dan karakteristiknya. Konsep

    nature mengakui bahwa perbedaan biologis laki-laki dan perempuan membentuk

    sifat alami maskulin untuk laki-laki sedangkan feminin untuk perempuan, yang

    kemudian membedakan sifat antara laki-laki dan perempuan (Megawangi, 1999).

    Menurut Lips (1988), sejak dari awal antara laki-laki dan perempuan

    sudah diharapkan untuk mempelajari aspek yang berbeda dalam berhubungan

    dengan orang lain. Bagi anak perempuan hubungan antar pribadi merupakan suatu

    hal yang penting, bahkan menjadi prioritas hidup. Kaum perempuan diarahkan

    untuk mengembangkan aspek yang mendukung kualitas suatu hubungan, seperti:

    empati, sifat memelihara, mengungkapkan perasaan serta peka terhadap orang

    lain. Sementara itu bagi kaum laki-laki diajarkan untuk cenderung memiliki sifat

    mandiri, percaya diri, tegas dalam bersikap dan mengambil keputusan, serta lebih

    berorientasi pada pencapaian tujuan.

  • 29

    Perbedaan tersebut bisa dilihat dari cara mereka melakukan aktivitas dan

    permainan. Perempuan lebih menekankan kedekatan, sedangkan laki-laki lebih

    pada petualangan. Lips (1988), juga mengungkapkan bahwa pada masa remaja

    hubungan dengan orang lain lebih penting artinya bagi perempuan dibandingkan

    bagi laki-laki. Sebuah penelitian membuktikan bahwa ketika remaja diminta

    untuk merangking hal-hal yang menurut mereka penting, diperoleh hasil

    hubungan interpersonal menempati urutan ketiga bagi perempuan setelah identitas

    diri dan seksualitas. Sedangkan bagi laki-laki otonomi merupakan urutan ketiga

    setelah identitas diri dan seksualitas, Strommen (Lips, 1988).

    Gillingan (1997), mengemukakan bahwa aspek kepedulian, perhatian,

    kasih sayang, dan tanggung jawab terhadap orang lain lebih banyak ditemukan

    pada perempuan. Karena pada hakikatnya perempuan memiliki kecenderungan

    menjalin hubungan serta mempertahankan hubungan dengan orang lain. Dalam

    penelitian Piaget (Gillingan, 1997), mengungkapkan bahwa ternyata anak

    perempuan lebih toleran terhadap aturan, bersedia menerima pengecualian, dan

    lebih mudah menyesuaikan diri dengan hal baru. Akibatnya hukum dan aturan

    bukan menjadi hal pokok dalam perkembangan moral bagi anak perempuan

    dibandingkan bagi anak laki-laki.

    Perbedaan yang lain mengungkapkan bahwa perempuan cenderung

    memusatkan perhatian secara pribadi dan melibatkan rasa emosional dengan

    orang lain, sedangkan laki-laki cenderung mementingkan pada tercapainya apa

    yang menjadi tujuan dan sasaran mereka ketika berhubungan dengan orang lain,

    Eagly and Crowley (Buss, 1995). Sehingga perempuan cenderung memiliki

  • 30

    hubungan yang dekat secara afeksi dengan orang lain, serta lebih

    mengekspresikan perasaannya secara pribadi, seperti dalam persahabatan

    dibandingkan dengan laki-laki.

    Eisenberg and Lennon (Buss, 1995), mengugkapkan ternyata perempuan

    juga cenderung memiliki sifat empatik dan simpati terhadap orang lain

    dibandingkan dengan laki-laki. Pendapat ini didukung oleh Bartholomew (Buss,

    1995), yang secara jelas menyatakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan

    terletak dalam hal perilaku sosialnya. Dimana perempuan cenderung bersifat

    empati dan simpati dibandingkan dengan laki-laki.

    Menurut Shaevitz (1989), laki-laki kurang memiliki perhatian pada orang

    lain, sedangkan perempuan cenderung akan mengalami kepuasan jika berhasil

    dalam berhubungan dengan orang lain. Sebenarnya bagi laki-laki persahabatan

    juga penting, akan tetapi perasaan berharga yang berkaitan dengan karir bagi

    lelaki lebih penting.

    Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perempuan

    cenderung memiliki perhatian yang lebih mendalam dalam menjalin sebuah

    hubungan persahabatan dengan orang lain, dimana rasa empati dan simpati

    menjadikan perempuan lebih memahami serta merasakan apa yang dialami oleh

    orang lain. Sedangkan bagi laki-laki, meskipun mereka mempunyai minat untuk

    menjalin hubungan dengan orang lain, tetapi tidak terlalu memfokuskan pada

    hubungannya, karena mereka lebih berorientasi pada tercapainya tujuan ketika

    berhubungan dengan orang lain.

  • 31

    C. Dinamika Antar Variabel

    Remaja diartikan sebagai usia dimana seseorang sudah siap untuk

    berintegrasi dengan masyarakat dewasa, mencapai transformasi intelektual yang

    khas dari cara berfikirnya untuk memasuki hubungan sosial dengan orang dewasa

    lainnya, Piaget (Hurlock, 1990). Banyak perubahan yang dialami oleh remaja,

    tidak hanya perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, sikap dan tuntutan

    sosial. Pada masa transisi ini, remaja diharapkan mampu meninggalkan sikap

    kekanak-kanakannya dan mampu bersikap dewasa (Monks, 1999).

    Siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri I Sewon Bantul yang

    termasuk dalam usia remaja, memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi.

    Diantaranya adalah mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya

    dan melakukan penyesuaian sosial untuk dapat diterima dalam lingkungan

    masyarakat (Havinghurst dalam Hurlock, 1990).

    Sekolah sebagai tempat belajar lebih berfungsi kepada fungsi sosialnya,

    yaitu lebih menekankan kepada pengaruh sosial dari pada pengalaman para siswa

    didalam kelas. Siswa laki-laki dan siswa perempuan tidak saja mengalami

    perkembangan fisik dan intelektual, tetapi juga mengalami proses sosialisasi.

    Mereka sedang berproses untuk memperoleh kemantapan sosial dalam

    mempersiapkan diri menjadi orang dewasa yang baru (Sulastri, 1983).

    Proses perkembangan hubungan sosial remaja dimulai dari hubungan

    dengan teman sebaya, ketika remaja diterima dalam suatu kelompok tertentu

    maka akan menimbulkan rasa percaya diri untuk mengembangkan kemampuan

    sosial dalam lingkup yang lebih luas. Sebaliknya ketika remaja ditolak oleh teman

  • 32

    sebayanya maka hal ini dapat menciptakan kecemasan untuk memulai proses

    interaksi dengan orang lain (Hurlock, 1990).

    Sarason dan Cowen (White and Watt, 1981), menambahkan bahwa

    karakteristik orang yang memiliki kecemasan tinggi adalah: kurang percaya diri,

    kurang berani mengambil resiko, serta cenderung meremehkan diri sendiri. Hal

    tersebut terkait dengan study kecemasan oleh Myers (1983), yang menyatakan

    bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-

    laki yang cenderung lebih aktif, eksploratif.

    Perempuan menganggap bahwa kualitas hubungan interpersonal lebih

    penting (Lips, 1988), sehingga penerimaan oleh teman sebaya maupun oleh

    lingkungan dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi perempuan

    dibandingkan laki-laki. Sehingga perempuan yang kurang diterima oleh

    lingkungannya cenderung mengalami kecemasan dibandingkan laki-laki.

    Kecemasan diartikan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi

    kompleks yang dirasakan sebagai akibat dari peristiwa tidak menyenangkan

    dalam menghadapi situasi yang dianggap mengancam sebagai konsekuensi atas

    ketidakberdayaan dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari (Kartono,

    1981; Furhmann,1990).

    Salah satu penyebab terjadinya kecemasan pada siswa laki-laki maupun

    siswa perempuan karena tidak siap dengan segala tuntutan lingkungan. Para siswa

    merasa tidak berdaya dan tidak mampu menghadapi situasi yang demikian

    kompleks, disatu sisi harus menjalankan tugas sebagai seorang siswa, sedangkan

    disisi yang lain mereka juga harus memenuhi tugas perkembangan mereka

  • 33

    sebagai remaja, selain harus memenuhi tuntutan lingkungan masyarakat dimana

    mereka tinggal.

    Dimana perubahan sosial yang harus dilakukan oleh remaja yaitu

    menyesuaikan diri dengan orang dewasa diluar lingkungan sekolah atau keluarga

    (Hurlock, 1990). Sehingga hal ini menimbulkan kecemasan dalam diri para siswa,

    yang akan berdampak terhadap kondisi psikis mereka.

    Kecemasan yang dialami siswa laki-laki dan siswa perempuan akan

    tercermin dalam gejala kognitif, dimana akan mempengaruhi proses berfikir para

    siswa dan menyebabkan sulit berkonsentrasi dalam pelajaran sehingga

    mempengaruhi prestasi akademiknya. Gejala afektif akibat kecemasan tercermin

    dalam perasaan takut dan khawatir atas suatu kejadian yang akan menimpa

    mereka. Terlebih lagi ketakutan akan ketidakmampuan dalam memenuhi tugas

    perkembangan di masa remaja, maupun ketakutan akan ketidakmampuan

    menjalankan fungsinya dalam lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat.

    Siswa yang mengalami kesulitan dalam mencapai tugas

    perkembangannya, tampak ketika mengalami kesulitan dalam berhubungan sosial

    dengan teman sebaya maupun ketika berinteraksi dengan lingkungan masyarakat

    sekitarnya.

    Sosialisasi yang baik akan membantu remaja untuk mandiri, membuat

    rencana-rencana, menentukan pilihan dan mengembangkan tanggung jawab atas

    perilakunya sendiri. Secara fisiologis kecemasan yang dialami para siswa akan

    termanifestasi dalam kelancaran berperilaku, seperti gerakan yang terpotong-

  • 34

    potong, bergetar, merapikan tampilan rambut atau pakaian, bahkan perubahan

    tinggi suara.

    Selain secara fisik perempuan dan laki-laki juga dipandang memiliki

    perbedaan dalam hal psikis. Perempuan dinilai lebih feminin sementara laki-laki

    maskulin. Dalam studi tentang kecemasan yang berkaitan dengan perbedaan jenis

    kelamin Myers (1983), mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan

    ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki. Dikatakan juga bahwa laki-laki

    lebih aktif, eksploratif, dan lebih rileks dalam berhubungan dengan orang lain

    sedangkan perempuan lebih sensitif.

    Hasil penelitian James (Smith, 1968), mengatakan bahwa perempuan

    lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan dibandingkan laki-

    laki. Lebih jauh lagi dalam studi kecemasan secara umum oleh Maccoby and

    Jacklin (1974), menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih mudah cemas

    dibandingkan laki-laki.

    Berawal dari hal-hal tersebut maka dinamika tingkat kecemasan antara

    siswa laki-laki dan siswa perempuan menjadi berbeda. Perempuan lebih

    dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, mereka menganggap bahwa kualitas

    hubungan interpersonal sangat penting, terlebih lagi penerimaan dari lingkungan

    sangat dibutuhkan oleh perempuan. Sehingga perempuan yang kurang diterima

    oleh lingkungan cenderung mengalami kecemasan dibandingkan laki-laki.

    Kecemasan yang dialami siswa perempuan ternyata cenderung lebih

    kompleks, selain karena perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya,

    mereka juga lebih sensitif sedangkan laki-laki lebih rileks dalam menghadapi

  • 35

    kehidupan sehari-hari maupun ketika berhubungan dengan orang lain. Laki-laki

    lebih aktif dan lebih eksploratif ketika menggungkapkan hal-hal yang disenangi

    atau yang tidak disukainya. Sementara perempuan cenderung dipengaruhi tekanan

    lingkungan dan terlalu mempertimbangkan kejadian yang akan menimpanya,

    sehingga kurang berani mengambil resiko dibanding laki-laki.

    Dari sini dapat dikatakan bahwa tingkat kecemasan siswa laki-laki dan

    siswa perempuan berbeda karena beban psikologis yang mereka hadapi dan yang

    mereka bayangkan juga berbeda. Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan

    bahwa siswa perempuan secara signifikan memiliki kecemasan yang lebih tinggi

    dari pada siswa laki-laki.

    D. Hipotesis

    Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

    Ada perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan

    SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta, tingkat kecemasan siswa perempuan

    lebih tinggi dari siswa laki-laki.

  • 36

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    A. Jenis Penelitian

    Penelitian ini berjudul Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-

    laki dan Siswa Perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta. Penelitian

    ini merupakan studi perbandingan. Peneliti ingin mencari perbedaan tingkat

    kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri I Sewon –

    Bantul Yogyakarta.

    B. Identifikasi Variabel Penelitian

    Variabel bebas : Jenis kelamin

    Variabel tergantung : Tingkat kecemasan

    C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

    Variabel dalam penelitian ini adalah variabel jenis kelamin dan tingkat

    kecemasan :

    1. Jenis Kelamin

    Jenis kelamin adalah ciri fisik yang dimiliki seseorang yang akan

    mengelompokan individu dalam kelompok laki-laki atau perempuan.

    Pengelompokan jenis kelamin diperoleh dari identitas subyek penelitian yang

    diisikan pada kolom identitas skala tingkat kecemasan yang diberikan.

  • 37

    2. Tingkat Kecemasan

    Tingkat kecemasan adalah tinggi rendahnya perasaan tidak menyenangkan

    dalam diri individu yang dianggap sebagai kejadian mengancam yang

    dirasakan sebagai akibat ketidakberdayaan individu dalam mengatasi

    permasalahan maupun situasi yang mengancam kecemasan, yang

    termanifestasi dalam 3 aspek.

    Aspek-aspek kecemasan tersebut meliputi:

    a. Aspek Afektif

    Yaitu munculnya kecemasan yang berkaitan dengan perasaan individu

    terhadap suatu hal yang dialami secara sadar dan mempunyai ketakutan yang

    mendalam. Misalnya: diwujudkan dalam perasaan mudah marah dan

    tersinggung, perasaan takut dan khawatir serta tidak sabaran.

    b. Apek Kognitif

    Aspek kognitif ini berkaitan dengan proses berfikir seperti: sulit

    berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, perasaan tidak tenang, pelupa,

    pikiran kacau, bingung, perasaan khawatir berlebihan atas suatu hal yang

    dianggap mengerikan yang seolah-olah akan terjadi.

    c. Aspek Fisiologis

    Aspek fisiologis akan tampak pada organ-organ yang diatur oleh syaraf

    simpatik, seperti: detak jantung meningkat, keringat berlebih, ketegangan otot,

    muka tampak pucat, gangguan makan, gangguan sistem pencernaan dan

    pembuangan, mulut dan tenggorokan terasa kering, gangguan tidur, tidak

  • 38

    dapat rileks, mudah terkejut dan terkadang menggerakan anggota tubuh secara

    berlebihan.

    ”Taylor Manifest Anxiety Scale” (TMAS) disusun oleh Taylor, J.A.,

    (Byrne, 1961), kecemasan ditunjukkan oleh aspek-aspek yang mencolok (overt)

    dari perilaku kecemasan, seperti: berkeringat, muka kemerahan, gemetar.

    Sebagian lagi mengandung keluhan-keluhan somatik, misalnya: perut terasa mual,

    pusing, diare, gangguan lambung. Sedangkan aspek lain yang menyertai

    kecemasan ditunjukkan melalui: kesulitan berkonsentrasi, perasaan eksitasi atau

    tidak dapat istirahat, menurunnya kepercayaan diri, sensitivitas yang berlebihan

    terhadap orang lain, perasaan tidak bahagia dan tidak berguna.

    Tingkat kecemasan dalam penelitian ini diukur menggunakan skala tingkat

    kecemasan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Tinggi rendah tingkat

    kecemasan dilihat dari hasil angka skala yang diperoleh, semakin tinggi angka

    skala semakin tinggi pula tingkat kecemasannya. Sebaliknya semakin rendah

    angka skala semakin rendah tingkat kecemasannya.

    D. Subyek Penelitian

    Subyek dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki dan siswa perempuan

    kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta dan berusia sekitar 15-18

    tahun, yang berjumlah 100 orang siswa. Dari keseluruhan kelas 2 terdapat 7 kelas,

    karena jumlah subyek penelitian yang dibutuhkan 100 orang siswa, sehingga

    peneliti cukup melakukan penelitian kepada 3 kelas.

  • 39

    Usia subyek penelitian ditetapkan sekitar 15-18 tahun, hal ini didasarkan

    karena pada usia tersebut termasuk dalam kategori remaja pertengahan. Dengan

    asumsi bahwa remaja pada kisaran usia tersebut mengalami peralihan dari usia

    remaja awal menuju usia remaja akhir, sehingga memiliki tugas perkembangan

    yang harus diselesaikan untuk memasuki usia dewasa.

    Kekhawatiran muncul apabila kecemasan yang dialami oleh para siswa

    SMA Negeri I Sewon – Bantul tidak segera diatasi, maka akan mengganggu

    fungsi dan peran para siswa dalam kehidupan bersosialisasi di masyarakat, dengan

    keluarga serta untuk dunia kerja di masa yang akan datang. Dikarenakan

    kecemasan merupakan gejala jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan

    seeorang.

    E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

    Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Pengertian

    data primer menurut Umar (1999), adalah data yang diperoleh secara langsung

    dari sumber pertama yaitu dari individu atau perorangan seperti hasil wawancara

    atau hasil pengisian kuesioner yang dilakukan oleh subyek penelitian. Data primer

    dalam penelitian ini berasal dari daftar pertanyaan atau pernyataan (skala) yang

    diberikan kepada subyek penelitian.

    Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala kecemasan

    yang diadaptasi dari Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Angket asli TMAS

    disusun oleh Janet Taylor dari item-item MMPI (Byrne, 1961). TMAS terdiri dari

    50 item, yang meliputi variasi yang agak luas dari perilaku kecemasan.

  • 40

    a) Skala Tingkat Kecemasan

    Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan

    menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah teknik pengumpilan data dengan

    menggunakan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden

    untuk dijawab (Sugiyono, 1999).

    Indikator-indikator dalam penyusunan skala tingkat kecemasan

    dimanifestasikan dalam aspek afektif, kognitif, serta aspek fisiologis. Adapun

    tingkat kecemasan diukur menggunakan skala tingkat kecemasan yang diadaptasi

    dari skala tingkat kecemasan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) dari Janet

    Taylor (Byrne, 1961).

    TMAS terdiri dari 50 item, meliputi variasi yang agak luas dari perilaku

    kecemasan yang termanifestasikan dalam aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek

    fisiologis. Tabel spesifikasi skala tingkat kecemasan dapat dilihat secara rinci

    pada tabel spesifikasi berikut:

    Tabel 1 Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan

    (Sebelum Uji Coba)

    No Aspek Favorabel Unfavorabel Total

    1 Afektif No: 07, 25, 26, 27, 30, 31, 33, 34,

    36, 40, 42, 45, 46, 47, 48, dan 49.

    No: 28, 29,

    32, 43, dan

    50.

    21 item

    2 Kognitif No: 06, 11, 37, 39, dan 41. No: 38. 6 item

    3 Fisiologis No: 02, 05, 08, 10, 13, 14, 16, 17,

    19, 21, 22, 23, 24, 35, dan 44.

    No: 01, 03,04,

    09, 12, 15, 18,

    dan 20.

    23 item

    Jumlah 36 item 14 item 50 item

  • 41

    Skala untuk melihat tinggi rendah tingkat kecemasan para siswa laki-laki

    maupun siswa perempuan ini terdiri dari 36 item favorable dan 14 item

    unfavorable. Item-item favorable adalah item-item yang mendukung terbentuknya

    kecemasan secara umum, dalam skala ini ditunjukkan oleh pernyataan nomor: 2,

    5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30, 31, 33, 35, 36,

    37, 39, 40, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49. Sedangkan item-item unfavorable adalah

    item-item yang tidak mendukung terbentuknya kecemasan secara umum,

    ditunjukkan pernyataan nomor: 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 28, 29, 32, 38, 43, 50.

    b) Nilai Skala

    Teknik skoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk

    dikotomi yakni pernyataan-pernyataan yang diberikan dengan memberikan dua

    alternatif jawaban dan diberi skor.

    Skala dikotomi ini digunakan untuk mengukur variabel tingkat kecemasan

    dengan nilai skoring: untuk jawaban dari pernyataan-pernyataan favorabel skor 0

    diberikan untuk jawaban tidak, skor 1 untuk jawaban ya. Sedangkan untuk

    pernyataan-pernyataan unfavorabel skor 0 diberikan untuk jawaban ya, skor 1

    untuk jawaban tidak.

    Tingkat kecemasan siswa laki-laki dan siswa perempuan akan diketahui

    dari tinggi rendahnya total skor yang didapat. Makin besar total skor yang didapat,

    maka tingkat kecemasannya makin tinggi. Apabila makin kecil total skor yang

    diperoleh maka tingkat kecemasannya makin rendah. Artinya, jika subyek dalam

    penelitian ini makin banyak memberikan jawaban ya artinya tingkat

  • 42

    kecemasannya makin tinggi, sebaliknya makin sedikit memberikan jawaban ya,

    artinya tingkat kecemasan yang dialami makin rendah.

    Dalam penelitian ini, variabel jenis kelamin diketahui dengan

    menggunakan skala nominal. Skala ini untuk mengetahui jenis kelamin dari

    responden, yaitu skor 1 untuk responden laki-laki dan skor 2 untuk responden

    perempuan.

    F. Metode Analisis Data

    1. Uji Validitas Isi

    Tujuan dari uji validitas adalah untuk mengetahui dan menentukan apakah

    item yang tersusun layak untuk diujii cobakan dan mampu memperoleh hasil yang

    sesuai dengan tujuan penelitian. Pada penelitian ini, validitas yang diuji adalah

    validitas isi. Uji validitas isi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana isi terdalam

    penelitian ini bisa mengukur apa yang akan diukur (Azwar, 2000).

    Dalam Penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis rasional atau

    profesional judgment, yang bertujuan untuk menetapkan apakah item-item yang

    akan diujikan memang representatif dalam hal ini mewakili aspek-aspek yang

    membentuk kecemasan. Profesional Judgement dilakukan oleh orang-orang yang

    sudah ahli, yaitu oleh dosen pembimbing skripsi.

    2. Korelasi Item Total ( Seleksi Butir)

    Pengujian validitas dilakukan dengan jalan mengkorelasikan antara skor

    tiap butir (X) dengan skor total (Y) yang merupakan jumlah tiap skor butir,

    dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment, sebagai berikut:

  • 43

    Keterangan:

    rxy = koefisiensi korelasi product moment

    N = jumlah sampel

    ∑ x = jumlah skor butir

    ∑ y = jumlah skor total

    ∑ xy = jumlah perkalian skor butir dengan skor total

    ∑ x2 = jumlah kuadrat skor butir

    ∑ y2 = jumlah kuadrat skor total

    Syarat minimum untuk dianggap memenuhi validitas adalah, rxy ≥ 0,3.

    Jadi apabila korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir

    dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid (Sugiyono, 1999).

    3. Uji Reliabilitas

    Uji reliabilitas dilakukan untuk mengukur keajegan hasil pengukuran.

    Dengan kata lain uji reliabilitas diperlukan untuk melihat sejauh mana pengukuran

    itu dapat memberikan hasil yang relatif sama jika dilakukan pengukuran kembali

    dengan alat ukur yang sama.

    Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya

    berada dalam rentang 0 – 1,00. Semakin koefisien reliabilitas mendekati 1,00

    berarti semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya semakin mendekati angka 0

    berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2000).

  • 44

    Reliabilitas dalam penelitian ini diuji dengan pendekatan konsistensi

    internal dengan menggunakan koefisien reliabilitas alpha (α). Prosedur

    pendekatan ini hanya menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali

    saja pada kelompok subyek, karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis

    dan efisien yang tinggi (Azwar, 2000).

    Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan tehnik Cronbach Alpha

    dari hasil pengolahan data dengan SPSS For Windows Release 10,0. Rumus alpha

    adalah sebagai berikut (Simamora, 2002):

    Keterangan:

    r 11 = reliabilitas instrumen

    k = banyaknya butir pertanyaan

    = jumlah varians butir

    = varians total

    Suatu instrumen dapat disebut reliabel apabila memiliki nilai Cronbach

    Alpha lebih besar dari 0,50 (Sugiyono, 1999).

    Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tes signifikan one tailed,

    dikarenakan peneliti sudah memihak pada salah satu dari dua kelompok subyek

    penelitian, yaitu siswa perempuan lebih cemas dari siswa laki-laki.

  • 45

    4. Uji Asumsi

    a. Uji Normalitas

    Uji normalitas diperlukan agar dapat diketahui apakah sebaran untuk suatu

    variabel yang diteliti normal atau tidak, karena hal ini sangat terkait dengan

    jenis statistik yang akan dipergunakan, apakah parametrik atau nonparametrik.

    Pengujian normalitas mempergunakan Kolmogorv-Smirnov (K – S) dua ekor.

    Kriteria yang digunakan: bila p > 0,05 maka sebaran item dikatakan normal.

    b. Uji Homogenitas

    Uji homogenitas untuk mengetahui apakah varians dari sampel yang akan

    diuji tersebut sama. Uji homogenitas adalah suatu syarat untuk uji-t bila data

    berdistribusi normal, dan jika data tidak normal, maka prasyarat homogenitas

    ini tidak diperlukan lagi.

    5. Uji Hipotesis

    Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan Uji-t (Independen

    t-test) jika datanya berdistribusi normal dan menggunakan uji Mean Whitney Test

    jika datanya tidak berdistribusi normal (Hadi, 1997).

    Analisis Independent t-test (Mean Whitney Test) digunakan untuk menguji

    apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kecemasan antara siswa

    laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta.

    Program yang dipakai untuk analisis adalah dengan program SPSS for Windows

    versi 10,0. Rumus t-test dapat dituliskan sebagai berikut: (Nurgiyantoro, 2002)