Hubungan antara Derajat Ansietas dengan DispepsiaPada Pasien
Diatas 18 tahun Di Puskesmas Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta
Barat
Periode Desember 2013 Januari 2014
BAB I
PENDAHULUANI.1. Latar Belakang MasalahPopulasi orang dewasa di
dunia terutama di negara-negara barat yang dipengaruhi oleh
dispepsia berkisar antara 14-38%. Dispepsia mempengaruhi 25% dari
populasi Amerika Serikat setiap tahun dan sekitar 5% dari semua
penderita pergi ke dokter pelayanan primer. Sedangkan Inggris
memiliki prevalensi dispepsia sekitar 21% dan hanya 2% dari
populasi tersebut berkonsultasi ke dokter pelayanan primer mereka
dengan episode baru atau pertama dispepsia setiap tahun, dan
dispepsia menyumbang 40% dari semua konsul ke bagian
gastroenterologi. Survei pada komunitas memperkirakan bahwa hanya
sekitar 35% dari penderita dispepsia yang berkonsultasi ke dokter.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa
hari.1Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data epidemiologi
yang pasti.3 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007,
dispepsia sudah menempati peringkat ke-10 untuk kategori penyakit
terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah
pasien 34.029 atau sekitar 1,59%.4 Angka kejadian ansietas dan
depresi pada pasien dispepsia non ulkus cukup tinggi. Dari
penelitian Harsal A tahun 1991, di RSCM ditemukan angka 80,7%
ansietas, 57,7% depresi dan 51,9% ansietas-depresi pada 52 pasien
dispepsia non ulkus. Penelitian ini memakai kuisioner HARS
(Hamilton Rating Scale for Anxiety) yang dimodifikasi dan BDI (Back
Depression Inventory). Penelitian Rychter tahun 1991 mendapatkan
angka 60% ansietas dan Rose (1986) melaporkan angka 50% depresi
pada pasien dispepsia non ulkus yang ditelitinya.
Berdasarkan data 10 besar penyakit yang di dapatkan dari
Puskesmas Kecamatan Kembangan, pasien yang mengalami dispepsia pada
bulan Januari - November 2013 didapatkan 2832 kunjungan dari
112.603 seluruh kunjungan di Puskesmas tersebut. Bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (Januari Desember 2012) didapatkan 2639
kunjungan dari 119.439 seluruh kunjungan di Puskesmas Kecamatan
Kembangan. Dari data tersebut, didapatkan kenaikan jumlah kasus
dispepsia fungsional setiap tahunnya.2Banyak penelitian yang
menghubungkan kejadian dispepsia dengan gangguan kejiwaan seperti
penelitian yang dilakukan oleh Hasan dan Abdul Azis menunjukkan
bahwa ada hubungan antara dispepsia organik dan dispepsia
fungsional dengan kecemasan dimana 25% dari penderita ulkus
duodenal, 31,2% pasien dispepsia fungsional ditemukan gangguan jiwa
dalam bentuk kecemasan dan depresi. Dapat dilihat juga dari
peningkatan jumlah penderita dispepsia fungsional tiap tahunnya di
Puskesmas Kecamatan Kembangan serta didapatkan jumlah pasien
ansietas dari total pasien puskesmas yang mengalami dispepsia
fungsional adalah 46 (21,80%) dari seluruh jumlah 211 penderita
dispepsia, sedangkan sisanya 165 penderita tidak didapatkan
ansietas, maka hal ini menjadi alasan dilakukannya penelitian
mengenai hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia.3I.2.
Perumusan Masalah
I.2.1. Pernyataan Masalah
Tingginya angka kejadian dispepsia di Puskesmas Kecamatan
Kembangan
I.2.2. Pertanyaan Masalah
1. Berapa jumlah responden yang mengalami ansietas di Puskesmas
Kecamatan Kembangan?
2. Dari jumlah responden yang mengalami ansietas, berapa yang
mengalami dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan?
3. Apakah terdapat hubungan antara derajat ansietas dengan
dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan?
I.3. Tujuan
I.3.1. Tujuan Umum
Diturunkannya jumlah pasien yang mengalami dispepsia di
Puskesmas Kecamatan Kembangan dengan diketahuinya hubungan antara
dispepsia dan derajat ansietas.I.3.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya jumlah responden yang mengalami ansietas di
Puskesmas Kecamatan Kembangan.
2. Diketahuinya jumlah responden yang mengalami dispepsia dari
jumlah responden yang mengalami ansietas di Puskesmas Kecamatan
Kembangan.
3. Diketahuinya hubungan antara derajat ansietas dengan
dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan.
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat penelitian bagi responden
Memperoleh informasi tentang derajat ansietas dan mendapatkan
penjelasan dispepsia.
I.4.2. Manfaat penelitian bagi puskesmas
Mendapat informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi terjadinya dispepsia, sehingga puskesmas mendapat
informasi yang dapat digunakan untuk memberikan penyuluhan pada
pasien yang berobat di Puskesmas Kecamatan Kembangan.
I.4.3. Manfaat penelitian bagi peneliti
Agar peneliti mendapatkan pengalaman tentang bagaimana menyusun
penelitian dan mengetahui cara-cara melaksanakan penelitian yang
benar dan memperkaya pengetahuan dalam bidang kesehatan masyrakat
luas, terutama bidang-bidang terkait yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKAII.1. Definisi Dispepsia
Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi
dispepsia sebagai berikut: Dyspepsia refers to pain or discomfort
centered in the upper abdomen. Dalam definisi, lamanya keluhan
tidak ditetapkan.8
Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) yang khusus membicarakan
tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional
didefinisikan sebagai:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di
epigastrium.82. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk
didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang
dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.83. Keluhan ini terjadi
selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.8II.2.Etiologi Dispepsia
Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak
peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll) dan kelompok dimana
sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan
patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata lain,
kelompok terakhir ini disebut sebagai gangguan
fungsional.Djojodiningrat (2007) menyebutkan penyebab
dyspepsia.
Table 2.2 Penyebab dispepsia
Penyebab dyspepsia
Esofago-gastro-duodenaltukak peptic, gastristis kronik,
gastristis NSAID, keganasan
Obat-obatanAnti inflamasi nonsteroid, antibiotic, digitalis
Hepato-billierhepatitis, kolesistisis, kolelitiasis,
disfungsi
sfingter odii
PancreasPancreatitis
Penyakit sistemik lainDM, penyakit tiroid, gagal ginjal,
penyakit
jantung
Gangguan fungsionalDyspepsia fungsional, iritabel bowel
syndrome
II.3.Cara Menentukan DispepsiaKriteria diagnostik Roma III untuk
dispepsia fungsional
Dispepsia fungsionalKriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin
di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang
menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat
endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.a. Postprandial distress
syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah
makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan
porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual
setelah makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.b.
Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah
epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit
terjadi sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada
selain daerah perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis
kelainan kandung empedu dan sfi ngter Oddi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa
menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun
mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah
makan.II.4. Patofisiologi Dispepsia
Gangguan lambung yang umum terjadi adalah gastritis dan tukak
peptik (tukak lambung dan tukak duodenum). Gastritis dan tukak
peptik merupakan penyakit yang erat kaitannya dengan asam lambung
dan pepsin. Patofisiologi dasar dari gastritis dan tukak peptik
adalah gangguan keseimbangan faktor agresif (asam lambung dan
pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan aspirin
atau obat anti inflamasi non steroid lainnya, obat-obatan
kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif,
merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam
ketahanan mukosa lambung. Gastritis dan tukak peptik menimbulkan
gejala berupa nyeri, sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada
perut bagian atas (dispepsia).Dari sudut pandang patofisiologis,
proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam
lambung, infeksi
Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan
hipersensitivitas viseral.5 Patofisiologi dyspepsia hingga kini
masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus
dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki
peranan bermakna, seperti di bawah ini:171. Abnormalitas fungsi
motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung,
hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa
yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta
gastric compliance yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan
cemas dan depresi.II.5. Faktor Resiko Dispepsia
II.5.1 Sekresi asam lambung
Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan
lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan
pepsinogen. HCl membunuh sebagan besar bakteri yang masuk, membantu
pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk
mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam
lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi
pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau
tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang
merupakan faktor perlindungan lambung.Penyebab kenaikan asam
lambung diantaranya: jumlah sel parietal lebih banyak, sel parietal
lebih sensitif terhadap rangsangan, sekresi gastrin yang
berlebihan, dan hiperfungsi kelenjar. Meningkatnya cairan lambung
disebabkan oleh makanan dan minuman seperti cuka, cabe, kopi,
alkohol, dan makanan lain yang bersifat merangsang. Kebiasaan makan
tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi untuk
mengeluarkan asam lambung. Jika hal ini berlangsung lama, produksi
asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding
mukosa pada lambung.Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan
produksi asam lambung. Asam lambung berfungsi untuk mencerna
makanan yang masuk ke dalam lambung dengan jadwal yang teratur.
Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi
tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi
asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali
waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol. Kebiasaan
makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi.
Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan
berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung
sehingga timbul gastritis dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik.
Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut
bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar.
Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan
sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut
secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia,
melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam
lambung.
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa
tidak enak di perut.5 II.5.2 Helicobacter pylori
Merupakan kuman bakteri gram negatif yang dapat hidup dalam
suasana asam di lambung dan duodenum. Bila terjadi infeksi pada
lambung atau gastritis, maka bakteri ini akan melekat pada
permukaan epitel lambung dan melepaskan zat-zat sitotoksin yang
dapat merusak mukosa lambung, karena kerusakan mukosa terjadi
produksi prostaglandin menurun. Sebagaimana kita ketahui
prostaglandin merupakan sitoprotektif yang penting untuk mukosa
lambung. Bakteri H. pylori adalah bakteri gram negatif yang
bergerak dengan flagela. Infeksi bakteri ini termasuk infeksi yang
umum terjadi pada manusia (Beyer 2004). Prevalensi H. pylori di
negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Di
negara berkembang, prevalensi H. pylori berkisar antara 30-80%
sedangkan di negara maju diperkirakan sebesar 10% (Fardah, Ganuh
dan Subijanto 2006). Bakteri H. pylori hidup secara berkoloni di
bawah lapisan selaput lendir (mukosa) dinding bagian dalam lambung
dan menghasilkan urea sehingga mampu bertahan dalam suasana asam.
Fungsi selaput lendir pada lambung adalah untuk melindungi dinding
lambung dari kerusakan akibat asam yang diproduksi lambung.Penyebab
gastritis yang paling umum sebenarnya adalah infeksi bakteri
Helicobacter pylori (H. pylori). Peran infeksi Helicobacter pylori
pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima.
Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50%
dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan infeksi H. pylori
pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan
eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori
positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.5II.5.3
Dismotilitas
Adanya perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum
dapat menimbulkan rasa penuh, kenyang, kembung, dan mual.
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus
perhatian dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan,
diantaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus
terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan
dismotilitas duodenal.19 Beragam studi melaporkan bahwa pada
dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti
bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang
sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak
dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan
motilitas.2II.5.4 Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi,
pasien dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral
terhadap distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme
pastinya masih belum dipahami.5 Hipersensitivitas viseral juga
disebut-sebut memainkan peranan penting pada semua gangguan
fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan
dyspepsia fungsional.19Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan
melalui uji klinis pada tahun 2012.20 Dalam penelitian tersebut,
sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung pasien dispepsia
fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil tingkat keparahan
gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dyspepsia fungsional.
Hal ini membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam
patofisiologi dispepsia.II.5.5 Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional.
Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan,
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat
kenyang.5II.5.6 Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia
fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih
lanjut.5II.5.7 Peranan hormonal
Ada beberapa mekanisme yang sudah dibuktikan dan beberapa
diantaranya terkait dengan sistem hormonal, dimana stres akan
menyebabkan otak mengaktifkan sistem hormon untuk memicu
sekresinya. Stres paling banyak memicu sekresi hormon kortisol,
dimana hormon ini selanjutnya akan berkerja mengkoordinasi seluruh
sistem dalam tubuh termasuk jantung, paru-paru, peredaran darah,
metabolisme, dan sistem imunitas tubuh dalam reaksi yang
ditimbulkannya. Sekresi hormon ini menjelaskan mengapa ketika
menghadapi stres, tekanan darah dan denyut jantung meningkat secara
cepat, paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil oksigen lebih
banyak sehingga meningkatkan juga peredaran darah di seluruh tubuh
mulai dari otot hingga otak, peningkatan tersebut bisa berkali-kali
lipat melebihi batas normal. Bukan hanya jantung saja yang terasa
berdebar, namun keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran
keringat juga akan meningkat dengan cepat.
Selain hormon kortisol, ada hormon lain yang turut berperan
dalam mekanisme ini, diantaranya hormon katekolamin yang terdiri
dari zat aktif dopamin, norepinefrin, dan epinefrin yang lebih
dikenal dengan adrenalin. Hormon ini akan mengaktifkan suatu sistem
ingatan jangka panjang yang akan mengingat stressor yang sama pada
peristiwa selanjutnya serta menekan bagian otak yang berperan dalam
ingatan jangka pendek. Penekanan ingatan jangka pendek inilah yang
dinilai para ahli sebagai faktor utama yang menyebabkan orang tidak
lagi berpikir secara rasional ketika mereka dilanda stres. Proses
ini juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala
dispepsia, seperti mual dan muntah, diare, pusing, sakit otot, juga
sendi. Berbagai mekanisme hormonal (penurunan serotonin,
peningkatan asetilkolin, penurunan katekolamin, dll.) akan
menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan
menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang
menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian
besar gejala gastritis dan ulkus peptik.Dilaporkan adanya penurunan
kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal pada dispepsia fungsional. Dalam beberapa percobaan,
progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas
otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.5II.5.8.
Diet dan faktor lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional dibanding kasus kontrol.5Jenis-jenis makanan
tertentu juga berperan dalam timbulnya sindrom dispepsia. Terlalu
sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak membuat
makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat
dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada
akhirnya membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower
esophageal sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas
akan naik ke kerongkongan. Lamanya pengosongan lambung berhubungan
dengan tukak lambung. Sebaliknya, konsumsi lemak dalam jumlah yang
cukup dapat menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat
pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta
empedu. Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses pencernaan
agar berlangsung lebih optimal.
Minum kopi, teh, atau minuman lain yang mengandung kafein juga
dapat mengendurkan LES. Menurut Shinya (2007), teh mengandung tanin
yang mudah teroksidasi menjadi asam tanat. Asam tanat memiliki efek
negatif pada mukosa lambung sehingga menyebabkan masalah pada
lambung misalnya tukak lambung. Minum teh dalam kondisi perut
kosong dapat menimbulkan tekanan berlebih pada lambung. Diet tinggi
garam dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel
lambung sehingga menyebabkan gastritis. Konsumsi NaCl dalam jumlah
berlebihan akan meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori.
Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat
meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam
lambung dan menyebabkan tukak lambung.
Makanan pedas dan berbumbu tajam dapat merangsang sekresi asam
lambung berlebih sehingga muncul gejala-gejala sindrom dispepsia.
Makanan yang terasa asam, sayuran dan buah-buahan bergas seperti
kol, sawi, durian, nangka, dan lainnya dapat menimbulkan gejala
sindrom dispepsia. Kebanyakan agen yang merangsang sekresi asam
lambung juga akan meningkatkan sekresi pepsinogen. Peningkatan
sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan mengiritasi mukosa
lambung sehingga timbul gastritis dan tukak.
Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan
vitamin C, vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang
melawan efek radikal bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan
sistem immunitas tubuh melalui efek anti oksidan. Vitamin A dikenal
sebagai zat gizi esensial yang berperan penting dalam penglihatan.
Di luar perannya dalam penglihatan, vitamin A juga berperan dalam
berbagai fungsi sistemik, meliputi peran dalam diferensiasi sel dan
fungsi membran sel (cell recognition), pertumbuhan dan
perkembangan, fungsi kekebalan, dan reproduksi (Mahan &
Escott-Stump 2000). Diferensiasi sel terjadi apabila sel tubuh
mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi awalnya. Sel-sel yang
paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus,
terutama sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan
mengeluarkan mukus atau lendir. Jaringan epitel yang melapisi organ
dalam tubuh dinamakan membran mukosa. Mukus melindungi sel-sel
epitel dari mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya. Mukosa
lambung juga melindungi sel epitel lambung dari sifat korosif asam
lambung dan pepsin. Kekurangan vitamin A menghambat fungsi sel-sel
goblet mengeluarkan mukus (Almatsier 2002).Faktor kebersihan yang
buruk membuat infeksi bakteri H. pylori menjadi lebih sering
terjadi. Penyebaran dispepsia, gastritis, dan tukak peptik
berkaitan dengan H. pylori umumnya terjadi pada lingkungan yang
padat penduduknya, sosio-ekonomi yang rendah, dan lebih banyak
terjadi di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Beberapa
penelitian menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara
rendahnya pendapatan rumah tangga dan besarnya jumlah anggota
keluarga dengan peningkatan kejadian penyakit gastrointestinal,
termasuk dispepsia yang merupakan predisposisi gastritis dan tukak
peptic.
II.5.9. Psikologis
Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan gangguan
psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan
biokemis seseorang. Perubahan fisiologis ini berkaitan dengan
adanya gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem
endokrin, dan sistem imun. Ada beberapa mekanisme yang sudah
dibuktikan dan beberapa diantaranya terkait dengan sistem
hormonal.
Peran factor psikososial pada dyspepsia fungsional sangat
penting karena dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini :
1. Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
2. Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
3. Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
4. Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat
mempengaruhi lambung dengan dua cara yaitu :
1. Jalur neurogen: Rangsangan konflik emosi pada kortek serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus
vagus, nervus vagus dan kemudian ke lambung
2. Jalur neuro humoral: Rangsangan pada korteks serebri
diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis
anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini merangsang
korteks adrenal dan kemudian menghasilkan hormone adrenal yang
selanjutnya merangsang produksi asam lambung.
Faktor psikis dan emosi (seperti pada ansietas dan depresi)
dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan
sekresi asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi
mukosa lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri. Pasien
dyspepsia umumnya menderita ansietas, depresi dan neurotic lebih
jelas dibandingkan orang normal.
II.5.10. Faktor genetik
Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur
genetik. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi
struktur dan fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit.
Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan
karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit.Potensi kontribusi
faktor genetik juga mulai dipertimbangkan pada disepsia fungsional,
seiring dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan
adanya interaksi antara polimorfisme gengen terkait respons imun
dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia
fungsional.21II.5. Kerangka Teori
BAB IIIKERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DANDEFINISI OPERASIONALIII.1.
Kerangka KonsepBanyak penelitian yang menghubungkan kejadian
dispepsia dengan ganguan kejiwaan seperti penelitian yang dilakukan
oleh Hasan dan Abdul Azis menunjukkan bahwa ada hubungan antara
dispepsia organik dan dispepsia fungsional dengan kecemasan dimana
25% dari penderita ulkus duodenal, 31,2% pasien dispepsia
fungsional ditemukan gangguan jiwa dalam bentuk kecemasan dan
depresi. Dapat dilihat juga dari peningkatan jumlah penderita
dispepsia fungsional tiap tahunnya di Puskesmas Kecamatan Kembangan
serta didapatkan jumlah pasien ansietas dari total pasien puskesmas
yang mengalami dispepsia fungsional adalah 46 (21,80%), maka hal
ini menjadi alasan dilakukannya penelitian mengenai hubungan antara
derajat ansietas dengan dispepsia.3
Gambar III-1. Kerangka KonsepIII.2. Hipotesis
Hipotesis alternatif (Ha) : Terdapat hubungan yang bermakna
antara derajat anxietas dengan dispepsia.III.3. Definisi
OperasionalIII.3.1. Dispepsia (Variabel Tergantung)
Definisi: Kumpulan gejala dengan keluhan yang terdiri dari rasa
tidak enak / sakit perut pada saluran cerna bagian atas, disertai
dengan kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa,
anoreksia, mual, muntah, dan nyeri tekan pada daerah
epigastrium.
Cara ukur: Dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik pada
responden. Dengan acuan standar kriteria diagnostik Roma III untuk
dispepsia fungsionalAlat ukur
: KuesionerHasil ukur
: 1. Responden dispepsia
2. Responden tidak dispepsiaSkala ukur
: Data bersifat kategorik dengan skala nominalIII.3.2. Ansietas
(Variabel Bebas)
Definisi: serangan panik yang tidak diduga, spontan yang terdiri
atas periode rasa takut yang bervariasi dari sejumlah serangan
sepanjang hari sampai hanya sedikit selama setahun. Dikatakan
serangan panik apabila sesuai dengan standar acuan Hamilton Anxiety
Rating Scale yang dibagi menjadi ansietas ringan apabila didapatkan
total skoring 0-16, serangan panik sedang apabila didapatkan total
skoring 17-24, dan serangan panik berat apabila didapatkan total
skoring 25-56. Cara ukur: Dilakukan wawancara dengan acuan Hamilton
Anxiety Rating ScaleAlat ukur: Kuesioner dihitung berdasarkan
kriteria HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale).Hasil ukur: 1.
Ansietas ringan bila HARS < 17 2. Ansietas sedang bila HARS 17
3. Ansietas berat bila HARS 25Skala ukur: Data bersifat kategorik
dengan skala ordinalBAB IV
METODOLOGI PENELITIANIV.1. Desain Penelitian dan
VariabelPenelitian yang dilakukan bersifat analitik dengan desain
studi cross-sectional dimana sebagai variabel tergantung (dependent
variable) adalah dispepsia dan sebagai variabel bebas (independent
variable) adalah derajat ansietas.
IV.2. Lokasi danWaktu
Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Kembangan, Jakarta
barat, pada bulan Januari 2014, pukul 08.00 15.00 WIB..
IV.3. Populasi Penelitian
Populasi adalah semua pasien yang datang ke Balai Pengobatan
Umum Puskesmas Kecamatan Kembangan selama masa penelitian.IV.4.
Kriteria Inklusi Pasien laki laki dan perempuan
Pasien berusia diatas 18 tahunIV.5. SampelPasien yang datang
berobat ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas Kecamatan Kembangan pada
masa penelitian dan memenuhi kriteria inklusi.IV.5.1. Perhitungan
Besar SampelUntuk menentukan besar sampel minimal digunakan uji
hipotesis terhadap 2 proporsi independen, diperlukan informasi: P1
= proporsi dispepsia dengan ansietas ringan (clinical
judgement=0,50) P2 = proporsi dispepsia dengan anxietas
sedang-berat
P2 = P1 + 10% P1
P2 = 10/10P1 +1/10 P1P2 = 11/10 P1
P1 = 10/11 (0,50)
P1 = 0,45 Derivat baku normal untuk = 5%, Z = 1,960 untuk 95%
confidence interval Derivat baku normal untuk = 20 %, z = 0,842
Rumus yang digunakan: 14
P = (P1 + P 2)
Q = (1-P)
Peneliti ingin mengetahui apakah hubungan antara derajat
ansietas dengan dispepsia. P1 adalah ansietas ringan dan mengalami
dispepsia = 0,45Dan P2 adalah ansietas berat dan mengalami
dispepsia = 0,50.
P = (P1 + P 2)
= (0,45+ 0,50)
= 0,475
Q = (1-P)
= ( 1- 0,475) = 0,525 Q1 = (1 P1)
= (1-0,45)
= 0,55
Q2= (1 P2)
= (1 - 0,5)
= 0,5Bila tingkat kemaknaan = 5 %, maka Z = 1,96 dan bila
tingkat kemaknaan = 20 %, maka Z = 084, maka besar sampel yang
dibutuhkan: = 792Dengan demilkian besar minimum sampel yang
dibutuhkan adalah 2 x 792 = 1584 sampel.IV.5.2. Teknik Pengambilan
SampelPengambilan sampel dilakukan secara non-random dengan teknik
consecutive sampling terhadap responden yang yang datang berobat ke
balai pengobatan umum Puskesmas Kecamatan Kembangan pada bulan
Januari 2014. IV.6. Instrumen Pengumpulan DataInstrumen yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah: KuesionerIV.7. Tata Cara
Pengumpulan DataPenelitian dilakukan setelah mendapatkan izin dari
kepala Puskesmas Kecamatan Kembangan dan dokter yang akan bertugas
pada hari tersebut. Apabila pasien berusia diatas atau sama dengan
18 tahun, pasien ditanya kesediannya untuk ikut serta dalam
penelitian oleh peneliti I. Jika pasien bersedia, maka pasien
tersebut selanjutnya disebut sebagai responden dan diarahkan ke
peneliti II. Peneliti II akan mulai mencatat data responden dan
wawancara berdasarkan kuesioner tentang kecemasan (ansietas).
Setelah selesai, responden kemudian diarahkan ke peneliti III untuk
diwawancarai tentang keluhan pencernaannya dan dilakukan
pemeriksaan fisik. Setelah selesai, responden dijelaskan tentang
keluhannya dan diberikan resep untuk berobat.
IV.7.1 . Gambar Alur Pengumpulan Data
Gambar 1. Alur Pengumpulan DataIV.8. Teknik dan Analisis
Data
Seluruh data yang diperoleh melalui anamnesa dan pemeriksaan
fisik disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular.IV.8.1. Analisis
Asosiasi StatistikAnalisis asosiasi statistik yang digunakan pada
penelitian ini adalah dengan uji statistik Pearson Chi-Square
menggunakan software SPSS versi 18 untuk mengetahui derajat
kemaknaan antara variabel bebas (independent variable) berskala
ordinal (data kategorik) dan variabel tergantung (dependent
variable) berskala nominal (data kategorik). Kemaknaan hubungan
antara kedua variabel tersebut dinilai dari nilai p-value. Jika p
< 0,05 : Ho ditolak artinya terdapat korelasi yang bermakna
antara 2 variabel yang diuji.
Jika p 0,05: Ho gagal ditolak yang berarti tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara 2 variabel yang diuji.IV.8.2.
Analisis Asosiasi EpidemiologiAnalisis asosiasi epidemiologi
diperoleh dengan menghitung asosiasi relatif Prevalence
Ratio(PR).DispepsiaNon-dispepsiaTotal
Ansietas ringanABA+B
Ansietas sedangCDC+D
Ansietas beratEFE+F
TotalA+C+EB+D+FA+B+C+D+E+F
Prevalence Ratio1 : Prevalence Ratio2 : Keterangan:
Jika PR = 1 ( Resiko pasien yang memiliki ansietas ringan sama
dengan resiko pasien yang memiliki ansietas berat.
Jika PR > 1 ( Resiko pasien yang memiliki ansietas ringan
lebih besar daripada resiko pasien yang memiliki ansietas
berat.
Jika PR < 1( Resiko pasien yang memiliki ansietas ringan
lebih kecil daripada resiko pasien yang memiliki ansietas berat.BAB
V
HASILV.1 Univariat
Dari hasil penelitian terhadap 58 responden, didapatkan
responden perempuan sebanyak 40 orang (69%) dan laki-laki sebanyak
18 orang (31%). Rata-rata usia responden 31,74 tahun dengan standar
deviasi 8,232. Dari 58 responden, orang (%) ansietas dan sebanyak
orang (%) memiliki riwayat dispepsia. Diantara 58 responden, yang
sering khawatir sebanyak 39 orang (67,2%), yang ragu dapat
mengatasi keadaan buruk sebanyak 13 orang (22,4%), yang ragu dapat
mengatasi ketakutan sebanyak 13 orang (22,4%), yang cepat
emosi/marah-marah sebanyak 37 orang (63,8%), yang tegang
pikiran/stress sebanyak 41 orang (70,7%), yang merasa lebih lelah
dari biasanya sebanyak 45 orang (77,6%), yang sering/mudah menangis
dari biasanya sebanyak 14 orang (24,1%), yang sering merasa gemetar
sebanyak 4 orang (6,9%), yang merasa gelisah sebanyak 13 orang
(22,4%), yang merasa tidak mampu bersantai dari kesibukan sebanyak
11 orang (19,0%), yang takut di tempat gelap sebanyak 18 orang
(31%), yang takut diajak berkenalan dengan orang yang tidak dikenal
sebanyak 18 orang (31%), yang takut jika sendirian/merasa kesepian
sebanyak 14 orang (24,1%), yang takut terhadap salah satu jenis
binatang sebanyak 24 orang (41,4%), yang takut menghadapi kemacetan
sebanyak 30 orang (51,7%), yang takut dengan tempat/suasana ramai
sebanyak 14 orang (24,1%), yang susah memulai tidur sebanyak 17
orang (29,3%), yang tidak bisa tidur di malam hari sebanyak 17
orang (29,3%), yang tidak bisa tidur di malam hari sehingga lemas
pada saat bangun di pagi hari sebanyak 10 orang (17,2%), yang
sering mendapat mimpi buruk saat tidur sebanyak 10 orang (17,2%),
yang sering mendapat teror di malam hari sebanyak 1 orang (1,7%),
yang sulit berkonsentrasi sebanyak 27 orang (46,6%), yang mudah
lupa sebanyak 39 orang (67,2%), yang kehilangan minat 12 orang
(20,7%), yang merasa bosan/kurang puas terhadap hobby sebanyak 22
orang (37,9%) . Dari 58 responden didapatkan orang (%) menderita
dispepsia.
Tabel 5.1. Tabel Distribusi Karakteristik pada Responden Usia
diatas 18 Tahun yang Datang ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas
Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta Barat Periode Desember 2013
Januari 2014V.2.1. BivariatDiantara 58 responden, yang 3 bulan
terakhir merasa sering kembung setelah makan porsi biasa sebanyak
38 orang (65,5%), yang 3 bulan terakhir merasa cepat kenyang
sehingga tidak mampu menghabiskan porsi biasa sebanyak 36 orang
(62,1%), yang mengalami nyeri ulu hati paling sedikit sekali dalam
seminggu sebanyak 21 orang (46,6%), yang mengalami rasa terbakar
(panas) di daerah ulu hati/epigastrium sebanyak 24 orang (41,4%),
yang merasa nyeri yang dirasa timbul berulang sebanyak 18 orang
(31,0 %), yang merasa nyeri ulu hati menjalar ke bagian perut lain
atau ke perut bagian kiri atas sebanyak 17 orang (29,3%), yang
nyeri berkurang dengan BAB atau buang angin sebanyak 20 orang
(34,5%), yang nyeri ulu hati yang disebabkan oleh makanan sebanyak
23 orang (39,7 %), dan yang nyeri ulu hati ditimbul saat puasa
sebanyak 25 orang (43,1%). Dari 58 responden didapatkan orang (%)
menderita dispepsia.
Tabel V.2.1. Tabel Distribusi Karakteristik pada Responden Usia
diatas 18 Tahun yang datang ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas
Kecamatan Kembangan Periode Desember 2013 Januari 2014BAB VI
PEMBAHASAN
VI.1. Temuan PenelitianBerdasarkan hasil asosiasi statistik,
terdapat hubungan bermakna antara derajat ansietas dengan dispepsia
(p-value = 0.05). VI.2 Keterbatasan Penelitian
VI.2.1. Bias Seleksi
Pada penelitian ini, bias seleksi tidak dapat disingkirkan
karena sampel diambil dengan cara non-random consecutive sampling,
dimana subyek dalam populasi terjangkau tidak mempunyai kesempatan
yang sama untuk terpilih sebagai sampel penelitian sehingga sampel
yang diambil tidak dapat mewakili populasi di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Kembangan karena sampel diambil pada waktu yang
terbatas. VI.2.2. Bias Informasi
Pada responden, respondent bias dapat terjadi akibat kemampuan
responden mengingat atau memberikan informasi mengenai gejala
penyakit dispepsia secara akurat berbeda karena terpengaruh oleh
status keterpaparannya.Pada peneliti, interviewer bias dan
observation bias diminimalkan dengan cara masing masing variabel
diukur oleh 2 peneliti yang berbeda dimana peneliti pertama menilai
faktor faktor resiko dispepsia (sekresi asam lambung, Helicobacter
pylori, dismotilitas, ambang rangsang persepsi, disfungsi otomom,
aktivitas mioelektrik lambung, peran hormonal, diet dan faktor
lingkungan,psikologis, faktor genetik), sedangkan peneliti kedua
melakukan wawancara dan pemeriksaaan fisik terhadap keluhan
dispepsia.VI.2.3 ChancePada sampel penelitian hubungan antara
derajat ansietas dengan dispepsia merupakan suatu faktor kebetulan
tidak dapat disingkirkan, karena berdasarkan perhitungan didapatkan
kesalahan tipe I () = % (pada = %), dan kesalahan tipe II () = %
(pada = %). Hal ini terjadi karena besar sampel yang diperoleh
tidak memenuhi besar sampel yang seharusnya dibutuhkan.BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada 58 responden
pada Desember 2013 sampai dengan Januari 2014 di Puskesmas
Kecamatan Kembangan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari penelitian terhadap 58 responden, didapatkan responden
(%) yang mengalami ansietas2. Dari 58 responden yang mengalami
ansietas ringan, didapatkan responden (%) mengalami dispepsia.3.
Secara statistik didapatkan hubungan bermakna antara derajat
ansietas dengan dispepsia (p-value =). Secara epidemiologik,
terdapat hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia, di mana
responden yang mengalami ansietas ringan mempunyai resiko mengalami
dispepsia lebih besar daripada responden yang mengalami ansietas
sedang-berat (Prevalance Ratio =). VII.2. Saran
VII.2.1. Bagi Pasien Puskesmas / Responden:
VII.2.2. Bagi Puskesmas Kecamatan Kembangan:
VII.2.3. Bagi Peneliti:
DAFTAR PUSTAKA
Sekresi asam lambung
DISPEPSIA
Helicobacter pylori
Faktor genetik
Dismotilitas
Psikologis (ansietas)
Ambang rangsang persepsi
Diet
faktor lingkungan
Disfungsi autonom
Peranan hormonal
Aktivitas Mioelektrik lambung
Variabel bebas
Variabel tergantung
dispepsia
ansietas
Pasien yang datang berobat ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas
Kecamatan Kembangan
Tidak diikutsertakan dalam penelitian
< 18 Tahun
18 Tahun
Menolak
Pasien ditanyakan kesediannya untuk ikut serta dalam penelitian
oleh peneliti I
Tidak dimasukan dalam sampel
Bersedia
Responden diwawancarai berdasarkan kuesioner mengenai identitas
diri dan kecemasan (ansietas) oleh peneliti II
Responden diwawancarai tentang keluhan pencernaan dan dilakukan
pemeriksaan fisik oleh Peneliti III
Non Dispepsia
Dispepsia
Ansietas Berat
Ansietas Sedang
Ansietas Ringan
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 9 Desember 2013 15 Februari 2014Page2