perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user PEMBELAJARAN IPA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL MELALUI METODE POE DAN EKSPERIMEN DITINJAU DARI KEMAMPUAN MENGGUNAKAN ALAT UKUR DAN KEMAMPUAN VERBAL SISWA (Studi pada Pembelajaran Getaran dan Gelombang untuk Siswa Kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2011/2012) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sains Minat Utama: Fisika Oleh: ARIS NURKHOLIS S 831102010 PROGRAM PASCASARJANA UINVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PEMBELAJARAN IPA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL MELALUI METODE POE DAN EKSPERIMEN DITINJAU DARI
KEMAMPUAN MENGGUNAKAN ALAT UKUR DAN KEMAMPUAN VERBAL SISWA
(Studi pada Pembelajaran Getaran dan Gelombang untuk Siswa Kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2011/2012)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sains
Minat Utama: Fisika
Oleh:
ARIS NURKHOLIS
S 831102010
PROGRAM PASCASARJANA
UINVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
PEMBELAJARAN IPA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL MELALUI METODE POE DAN EKSPERIMEN DITINJAU DARI
KEMAMPUAN MENGGUNAKAN ALAT UKUR DAN KEMAMPUAN VERBAL SISWA
(Studi pada Pembelajaran Getaran dan Gelombang untuk Siswa Kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2011/2012)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sains
Minat Utama: Fisika
Oleh:
ARIS NURKHOLIS
S 831102010
PROGRAM PASCASARJANA
UINVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
PERNYATAAN ORISIONALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
1. Tesis yang berjudul “Pembelajaran IPA dengan Pendekatan Kontekstual
melalui POE dan Eksperimen Ditinjau dari Kemampuan Menggunakan
Alat Ukur dan Kemampuan Verbal Siswa” (Studi pada Pembelajaran
Getaran dan Gelombang untuk Siswa Kelas VIII SMP Muhammadiyah 4
Yogyakarta Tahun Pelajaran 2011/2012) ini adalah karya penelitian saya
sendiri bebas plagiat, serta tidak pernah terdapat karya ilmiah yang pernah
diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskan ini dan
disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila dikemudian hari
terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sangsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
(Permendiknas no 17, tahun 2010)
2. Publikasi sebagian atau keseluruan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah
lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs
UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu
semester (6 bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi
dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka prodi Pendidikan Sains PPs
UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh
prodi Pendidikan Sains UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran publikasi
ini, maka saya bersedia mendapatkan sansi akademik yang berlaku.
Surakarta, 12 November 2012 Yang membuat pernyataan,
Aris Nurkholis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al Insyirah: 6)
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
(QS. Al Ankabut: 69)
îî Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil
(HR. Muslim)
îî Siapa yang bersabar, akan beruntung
(HR. Muslim)î
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
PERSEMBAHAN
Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Kupersembahkan karya kecil ini dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Juga kupersembahkan kepada:
1. Ayahanda, Gimin (Almarhum)
2. Ibunda, Siti Maniroh (Almarhummah)
3. Kakakku, Hanif Mukhlis Asrori & Anas Saiful Anwar
4. Adikku, Nakif Nur Candra & Fajar Nur Muhammad
5. Dengan segenap do’a dan pengharapan, untukmu:
Sang pelengkap separuh agamaku, pendamping hidupku di dunia dan akhirat
kelak. (InsyaAllah....)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan
banyak rahmat, nikmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga pada
waktu-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
mendapatkan Gelar Magister Pendidikan Sains Minat Utama Fisika Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, saran,
dorongan dan perhatian dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat terselesaikan
dengan baik. Dalam kesempatan ini dengan segenap kerendahan hati perkenankan
penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan fasilitas
dalam menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana
2. Dr. M. Masykuri, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sains
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd. selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan dan dorongan sehingga proposal dapat diselesaikan.
4. Ibu Dra. Suparmi, M.A., Ph.D. selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk dalam menyelesaikan laporan penelitian
ini yang senantiasa memberikan pengarahan dan motivasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
5. Bapak Ahmad Zainal Fanani, S.Pd., M.A. selaku Kepala Sekolah SMP
Muhammadiyah 4 Yogyakarta yang telah memberikan ijin atas pelaksanaan
penelitian tesis.
6. Bapak Drs. Muhammad Dukha, selaku guru Fisika Kelas VIII SMP
Muhammadiyah 4 Yogyakarta yang telah memberikan inspirasi, semangat,
pengarahan, dan bimbingan yang luar biasa selama penulisan tesis.
7. Ibu Budi Hadiastuti, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SD Juara Yogyakarta yang
telah banyak memberikan semangat dan supportnya dalam penyelesaian
penulisan tesis.
8. Bapak dan Ibu tersayang yang telah lebih dahulu menghadap Allah SWT, Walau
engkau telah tiada namun kasih sayang, dan nasehat-nasehat yang dulu senantiasa
teringat dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaian tesis ini.
9. Kakak-kakakku tercinta, terimakasih atas segala motivasi, nasehat-nasehat dan
supportnya selama ini.
10. Adik-adikku tercinta yang senantiasa menjadi motivator.
11. Teman seperjuangan di Pendidikan Sains Minat Utama Fisika UNS.
Penulis menyadari sepenuhnya tesis yang telah dikerjakan ini masih jauh
dari kesempurnaan maka penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, 12 November 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................ .............................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... iv
MOTTO ................................ ................................................................ . v
LEMBAR PERSEMBAHAN ................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................ vii
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL. ................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ................................ .............................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ................................ ................................ .......... xx
Lampiran 50 : Surat Validasi ................................ ................................ ........ 379
Lampiran 51 : Surat Ijin uji coba instrumen dari Pascasarjana UNS ............... 383
Lampiran 52 : Surat Ijin Penelitian dari Pascasarjana UNS ............................ 384
Lampiran 53 : Surat Keterangan melaksanakan penelitian ............................. 385
Lampiran 54 : Biodata Diri ................................ ................................ ........ 386
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
ABSTRAK
Aris Nurkholis. S831102010. “Pembelajaran IPA Dengan Pendekatan
Kontekstual Melalui Metode POE dan Eksperimen Ditinjau dari Kemampuan Menggunakan Alat Ukur dan Kemampuan Verbal Siswa” (Studi pada Pembelajaran Getaran dan Gelombang untuk Siswa Kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2011/2012). Tesis. Program Studi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Pembimbing: 1) Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd. 2) Dra. Suparmi, MA., Ph.D. Surakarta. 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pendekatan kontekstual dengan menggunakan metode pembelajaran POE dan eksperimen, kemampuan menggunakan alat ukur, kemampuan verbal dan interaksinya terhadap prestasi belajar.
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimental. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta tahun pelajaran 2011/2012, sebanyak 8 kelas. Sampel penelitian ditentukan secara acak dengan teknik cluster random sampling sebanyak dua kelas yaitu ke las VIII A dan kelas VIII B. Kelas eksperimen 1 dengan metode POE dan kelas eksperimen 2 dengan metode eksperimen. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes untuk mendapatkan data prestasi belajar kognitif dan kemampuan menggunakan alat ukur, sedangkan metode angket untuk mendapatkan informasi prestasi belajar afektif. Uji hipotesis penelitian menggunakan anava tiga jalan dengan desain faktorial 2x2x2 dan frekuensi sel tidak sama.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Terdapat pengaruh penggunaan metode pembelajaran eksperimen dan POE terhadap prestasi kognitif (p-value = 0,002) dan afektif (p-value = 0,003). (2) Tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi kognitif (p-value = 0,055) dan afektif (p-value = 822). (3) Terdapat pengaruh kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif (p-value = 0,000) dan afektif (p-value = 0 ,000). (4) Tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi kognitif (p-value = 0,757) dan afektif (p-value = 0,741). (5) Tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif (p-value = 0 ,630) dan afektif (p-value = 0,637). (6) Tidak ada interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif (p-value = 601) dan afektif (p-value = 0,966). (7) Tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif (p-value = 0,897) dan afektif (p-value = 0,444). Kata kunci: pembelajaran kontekstual, eksperimen, POE, kemampuan
menggunakan alat ukur, kemampuan verbal, getaran dan gelombang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
ABSTRACT
Aris Nurkholis. S831102010. The Contextual Physics Learning by Using the POE and Experiment Methods Overviewed from the Ability of Using the Measuring Device and Verbal Abilitys of Students (A Case Study of Osilation and Wave for 8th Grade Student SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta, Academic Year 2011/2012). Thesis. Science Education Program Post Graduate Program Sebelas Maret University. Advisor: 1) Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd. 2) Dra. Suparmi, MA., Ph.D. Surakarta. 2010.
The aims of this study was to determine the effect of the use of contextual approach using the POE and experiment method, ability of using the measuring device, verbal ability, and it interaction between each variable toward students achievement.
This research is an quasy experiment. Its population was all of the students in grade VIII of 8 classes at SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta, academic year of 2011/2012. The samples of the research of 2 classes of students in grade VIII and were taken randomly by using a c luster random sampling technique. They were then divided into two experimental groups; each group consisted of 1 class. The first group used the POE learning method whereas the second one used the experiment learning method. The data was collected using test for students cognitive achievement, verbal abilitys of students, ability of using the measuring device and questionere for student’s affective achievement. The hypotheses of the research were tested using a three-way analysis of variance (Anova) with 2x2x2 factorial desain and unequal frequency cells.
Based on the results of the analysis, conclusions are drawn as follows: (1) There was significant effect of the use of POE and experiment learning methods on the cognitive achievement (p-value = 0,002) and the affective achievement (p-value = 0,003). (2) There was not any effect of the ability of using the measuring device on the cognitive achievement (p-value = 0,055) and the affective achievement (p-value = 822). (3) There was significant effect of the students verbal ability on the cognitive achievement (p-value = 0,000) and the affective achievement (p-value = 0,000). (4) There was not any interaction of effect between the use of the learning methods and the ability of using the measuring device on the cognitive achievement (p-value = 0,757) the affective achievement (p-value = 0,741). (5) There was not any interaction of effect between the use of the learning methods and the students verbal ability on the cognitive achievement (p-value = 0,630) the affective achievement (p-value = 0,637). (6) There was not any interaction of effect between the ability of using the measuring device and the students verbal ability on the cognitive achievement (p-value = 0,601) the affective achievement (p-value = 0,966). (7) There was not any interaction of effect of the use of the learning methods, the the ability of using the measuring device, and the students verbal ability on the cognitive achievement (p-value = 0,897) the affective achievement (p-value = 0,444). Key words: CTL, eksperiment, POE, the ability of using the measuring device,
verbal ability, osilation and wave.
xxiii
xxiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
PEMBELAJARAN IPA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN POE DITINJAU DARI
KEMAMPUAN MENGGUNAKAN ALAT UKUR DAN KEMAMPUAN VERBAL SISWA
Aris Nurkholis1, Widha Sunarno2, Suparmi3
1Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126, Indonesia
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pendekatan kontekstual dengan menggunakan metode pembelajaran poe dan eksperimen, kemampuan menggunakan alat ukur, kemampuan verbal dan interaksinya terhadap prestasi belajar. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimental (experimental quation) dengan desain faktorial 2x2x2. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik cluster random sampling sebanyak dua kelas. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes untuk mendapatkan data prestasi belajar kognitif dan kemampuan menggunakan alat ukur, sedangkan metode angket untuk mendapatkan informasi prestasi belajar afektif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) terdapat pengaruh penggunaan metode pembelajaran eksperimen dan poe terhadap prestasi kognitif dan afektif. (2) tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi kognitif dan afektif. (3) terdapat pengaruh kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif. (4) tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi kognitif dan afektif. (5) tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif. (6) tidak ada interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif. (7) tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif. Kata kunci: pembelajaran kontekstual, eksperimen, poe, kemampuan menggunakan alat ukur, kemampuan verbal.
Pendahuluan
Pendidikan nasional memiliki tujuan yang termaktub dalam Undang – Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pencapaian tujuan pendidikan tersebut tidak dapat dicapai dengan proses yang mudah dan cepat tetapi diperlukan sarana yang tepat serta waktu yang cukup panjang.
Tujuan pendidikan tersebut akan sulit tercapai apabila orientasi pendidikan
mempunyai kecenderungan memperlakukan siswa sebagai obyek pembelajaran, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject-oriented, tidak kontekstual dan manajemen bersifat sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan siswa tidak diperlakukan sebagai makhluk yang aktif, tidak terlibat aktif dalam menemukan konsep-konsep fisikadan tidak mengkontekstualkan dengan fakta-fakta fisika yang terjadi di lapangan sehingga siswa tidak dpat mencapai tujuan pembelajaran sains yang diharapkan. (Zamroni dalam Sutarto Hadi, 2003:1). Dilihat dari kegiatan siswa selama berlangsungnya pembelajaran, Stahl dalam Supinah (2008:1) mengungkapkan bahwa pada pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
konvensional atau tradisional siswa cenderung bekerja untuk dirinya sendiri, mata ke papan tulis dan penuh perhatian, mendengarkan guru dengan seksama, dan belajar hanya dari guru atau bahan ajar, bekerja sendiri, serta hanya guru yang membuat keputusan dan siswa pasif. Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau konvensional.
Dari beberapa faktor-faktor di atas, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah khususnya pendidikan sains. Hal ini terungkap dalam hasil studi The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007 bidang science, Indonesia menduduki peringkat 35 dari 48 negara dengan nilai 427, padahal skor rata-rata internasional adalah 500 (Williams, T et al. 2008: 2). Secara ringkas dapat diartikan bahwa sulitnya pembelajaran IPA ditandai dengan kurangnya proses, produk dan sikap penguasaan pengetahuan, konsep yang abstrak kurang mendapatkan minat bagi siswa dan kurangnya menerapkan teori dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan agar sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, pemerintah Indonesia telah melakukan pembaharuan melalui pengembangan kurikulum, mulai dari kurikulum lama yang cenderung content based menjadi kurikulum yang berbasis kompetensi (competency based). Kemudian diperbaharui dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Dalam pedoman penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (Mulyasa: 2006: 151-153), terdapat beberapa ciri penting dalam pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yaitu pertama; berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kedua, beragam dan terpadu. Ketiga, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Keempat, relevan dengan kebutuhan kehidupan masa kini dan masa datang. Kelima, menyeluruh dan berkesinambungan. Keenam, belajar sepanjang hayat. Ketujuh, seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.
Secara umum pembelajaran Fisika di SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta berpedoman pada kurikulum KTSP, namun realitasnya pembelajaran berlangsung dengan berorientasi
pada target pencapaian KKM yaitu 7,0, oleh sebab itu guru memilih pembelajaran dengan mempercepat materi yaitu dengan metode ceramah dan membahas soal-soal ketika proses kegiatan belajar mengajar berlangsung. Keterlibatan siswa dalam belajar Fisika, lebih pada ranah konsep menghafal rumus-rumus kemudian diaplikasikan dengan penerapan soal-soal latihan. Keberhasilan proses pembelajaran tidak semata-mata dipengaruhi oleh pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Berdasarkan paparan di atas, maka guru perlu menemukan pendekatan dan cara/metode terbaik dalam menyampaikan berbagai konsep materi yang diajarkan di dalam mata pelajaran sains, selain itu guru juga harus memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, dan fasilitas-media yang tersedia (Isjoni, 2008: 8). Ada berbagai macam pendekatan yang dapat digunakan antara lain pendekatan konsep, pendekatan kontruktivistik, pendekatan kooperatif atau Cooperative Learning, pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL), pendekatan pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL) dan sebagainya (Trianto, 2010: 21). Meskipun telah banyak pendekatan pembelajaran Fisika yang berorientasi pada proses dan sikap, namun pendekatan ini belum banyak diterapkan oleh para guru untuk membelajarkan IPA, khususnya Fisika.
Fungsi dan tujuan pembelajaran IPA yaitu mampu mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah, dan menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Depdiknas cit. Trianto, 2003: 2). Salah satu indikator ketercapaianya terlihat pada indikator kedua yaitu siswa mampu mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah. Tujuan tersebut tersirat bahwa siswa dituntut tidak hanya mampu mengerjakan soal-soal akan tetapi juga harus memiliki karakter sains yaitu metode ilmiah karena Fisika merupakan ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep.
Konsep getaran dan gelombang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam kenyataannya konsep getaran dan gelombang masih sulit dipahami oleh siswa karena penyampaian materi yang kurang menarik, kurang kontekstual, membosankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dan pendekatan pembelajaran yang cenderung matematis saja. Sehingga dapat diartikan bahwa ketika siswa belajar materi getaran dan gelombang membutuhkan pengalaman langsung peristiwa-peristiwa getaran dan gelombang dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan tujuan pembelajaran IPA dan karakteristik materi maka pemahaman konsep yang dimiliki siswa dibangun dari proses asimilasi sampai ekuilibrasi memerlukan proses pembangunan pengetahuan secara mandiri dan kontekstual. Menurut Riyanto (2009:59) “pendekatan pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat”.
Metode yang memungkinkan membangun pengetahuan siswa secara mandiri dan kontekstual serta meningkatkan keaktifan siswa adalah metode POE dan eksperimen. Menurut Paul Suparno (2003:102) “metode pembe-lajaran POE (prediction, observation, and explanation) adalah suatu metode pembelajaran yang menggunakan tiga langkah utama dari metode ilmiah yaitu pertama prediction atau membuat prediksi, membuat dugaan terhadap suatu peristiwa Fisika; kedua observation yaitu melakukan penelitian, pengamatan apa yang terjadi; ketiga explanation yaitu memberi penjelasan tentang kesesuaian antara dugaan dengan yang sungguh terjadi.”
Menurut Winataputra (2001: 219) “metode eksperimen adalah suatu cara penyajian materi pelajaran dimana siswa secara aktif mengalami dan membuktikan sendiri tentang apa yang dipelajarinya”. Melalui metode ini siswa secara total dilibatkan dalam melakukan sendiri, mengikuti proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu. Jadi metode ini lebih untuk mengecek supaya siswa makin yakin dan jelas akan teorinya. Pemilihan metode yang tepat harus disesuaikan dengan karakteristik materi maupun tingkat kognitif siswa hal ini diharapkan akan mampu menunjang prestasi belajar.
Prestasi belajar siswa dalam proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Slameto (2010: 54) mengemukakan bahwa “faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar banyak jenisnya tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja. Yaitu faktor internal dan eksternal”. Jadi dapat diartikan bahwa faktor internal dan faktor eksternal tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.
Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa antara lain intelegensi, kemampuan menggunakan alat ukur, kemampuan memori, kemampuan verbal, minat, bakat, motivasi, kesehatan jasmani, kesehatan rohani, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa antara lain guru, bahan pelajaran, metode mengajar, lingkungan, sarana dan prasarana, interaksi yang terjadi antar siswa ataupun interaksi antara siswa dengan guru dan lain-lain.
Pemilihan pendekatan dan metode pembelajaran adalah bagaian faktor ekternal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, oleh sebab itu perlu diselaraskan dengan faktor internal. Diantara beberapa faktor internal internal yang mendukung dalam pendekatan kontekstual dengan metode poe dan eksperimen yaitu kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal siswa.
Menurut Winkel (1999:134) “setiap proses belajar mengajar mempunyai titik tolak sendiri atau berpangkal pada kemampuan siswa tertentu (tingkah laku awal) untuk dikembangkan menjadi kemampuan baru, sesuai dengan tujuan instruksional (tingkah laku final). Oleh karena itu, keadaan siswa pada awal proses belajar mengajar tertentu (tingkah laku awal) mempunyai relevansi terhadap penentuan, perumusan, dan pencapaian tujuan instruksional (tingkah laku final).”
Berdasarkan pendapat Winkel tersebut, jika kemampuan awal siswa tinggi maka dalam proses belajar berikutnya siswa tersebut tidak akan mengalami kesulitan. Siswa hanya mengembangkan kemampuan awal tersebut menjadi kemampuan baru sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebaliknya apabila kemampuan awal siswa rendah maka siswa tersebut akan mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan yang diinginkan sehingga perlu waktu yang lebih lama. Kemampuan awal dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam menggunakan alat ukur.
Kemampuan verbal menurut Winkel (1997: 99), “kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menuangkan pengetahuan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
pengalaman yang dimiliki dalam bentuk bahasa yang memadai, sehingga dapat dikomunikasikan kepada orang lain”. Kemampuan verbal akan memperlancar penyampaian komunikasi dalam penerapan pembelajaran kontekstual melalui metode poe.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilaksanakan penelitian pembelajaran Fisika dengan pendekatan kontekstual melalui metode poe dan eksperimen ditinjau dari kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal siswa. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh pendekatan pembelajaran kontekstual dengan metode poe dan eksperimen terhadap prestasi belajar siswa; 2) pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa; 3) pengaruh kemampuan verbal tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa; 4) interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi belajar; 5) interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar siswa; 6) interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar siswa; 7) interaksi antara metode pembelajaran, kemampuan menggunakan alat ukur, dan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar siswa
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari – Maret 2012. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Kelompok eksperimen I diajar dengan pendekatan kontekstual dengan metode poe dan kelompok eksperimen II diajar dengan pendekatan kontekstual dengan metode eksperimen.
Rancangan penelitian ini menggunakan desain faktorial dengan rancangan penelitian Anava tiga jalan 2x2x2. Variabel bebas meliputi pendekatan kontekstual menggunakan metode poe dan eksperimen, variabel terikat adalah prestasi belajar siswa dan variabel moderator kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal siswa.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes untuk mengukur prestasi belajar kognitif, kemampuan menggunakan alat ukur, dan kemampun verbal siswa. Dan data
prestasi afektif melalui angket. Data tes kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal diperoleh sebelum perlakuan, sedangkan data prestasi belajar diperoleh setelah sampel diberikan perlakuan.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik dilanjutkan dengan uji Scheffe. Uji statistik anava dilakukan pada taraf signifikansi 5%. Sebelum dilakukan analisis statistik dilakukan uji prasyarat, yaitu uji homogenitas dan uji normalitas terhadap data yang diperoleh.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Data penelitian ini diperoleh melalui tes kemampuan menggunakan alat ukur, tes kemampuan verbal, dan tes prestasi belajar pada aspek kognitif. Sedangkan data prestasi belajar pada aspek afektif diperoleh menggunakan angket.
Deskripsi kategori kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal dikategorikan tinggi jika skor tes skor rata-rata total tes dan rendah jika skor tes < skor rata-rata total tes. Distribusi frekuensi kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2, sedangkan data prestasi belajar siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan metode poe dan eksperimen disajikan Tabel 3.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Menggunakan Alat Ukur
Kemampuan Menggunakan Alat
Ukur
Metode Poe Metode Eksperimen
Frek. % Frek. % Tinggi 19 56 % 19 58 % Rendah 15 44 % 14 42 % Jumlah 34 100 % 33 100 %
Tabel 1 menunjukkan bahwa frekuensi kemampuan menggunakan alat ukur tinggi lebih dominan dibandingkan dengan kemampuan menggunakan alat ukur rendah.
Tabel 2 Distribusi Data Kemampuan Verbal Tinggi dan Rendah
Kemampuan verbal
Metode Poe Metode Eksperimen
Frek. % Frek. %
Tinggi 14 41 % 17 52 %
Rendah 20 59 % 16 48 %
Jumlah 34 100 % 33 100 %
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Tabel 2 menunjukan bahwa frekuensi kemampuan verbal tinggi lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan verbal rendah.
Tabel 3 Rata-rata Prestasi Belajar Siswa Berdasarkan Metode Pembelajaran
Kelas Jumlah Kognitif Afektif Metode Poe 34 72,94 162,88 Metode Eksperimen
33 68,18 157,33
Tabel 3 menunjukan bahwa nilai rata-rata prestasi belajar kognitif dan afektif pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual menggunakan metode poe lebih baik daripada menggunakan metode eksperimen.
Data penelitian dianalisis statistik menggunakan anava 2x2x2 dan dilanjutkan dengan uji Scheffe. Rangkuman hasil uji statistik disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4 Ringkasan Anava Tiga Jalan Prestasi Kognit if
No. Sumber Variansi p-value Keputusan Uji 1. Metode 0,002 H01 ditolak 2. Kemampuan
Menggunakan alat ukur
0,055 H02 tidak ditolak
3. Kemampuan Verbal 0,000 H03 ditolak 4. Metode * Kem.
Menggunakan alat ukur
0,757 H 012 tidak ditolak
5. Metode * Kem. Verbal
0,630 H 013 tidak ditolak
6. K. Menggunakan alat ukur * K. Verbal
0,601 H 023 tidak ditolak
7. Metode * Kem. Menggunakan alat ukur * K. Verbal
0,897 H0123 tidak ditolak
Tabel 5 Ringkasan Anava Tiga Jalan Prestasi Afektif
No. Sumber Variansi p-value Keputusan Uji 1 Metode 0,003 H01 ditolak 2 Kemampuan
Menggunakan alat ukur
0,822 H02 tidak ditolak
3 Kemampuan Verbal 0,000 H03 ditolak 4 Metode * Kem.
Menggunakan alat ukur
0,741 H012 tidak ditolak
5 Metode * Kem. Verbal
0,637 H013 tidak ditolak
6 K. Menggunakan alat ukur * K. Verbal
0,966 H023 tidak ditolak
7 Metode * Kem. Menggunakan alat ukur * K. Verbal
0,444 H0123 tidak ditolak
a. Hipotesis Pertama Berdasarkan hasil keputusan uji maka Ho
ditolak pada prestasi kognitif dan afektif. Hal
ini berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pembelajaran kontekstual dengan menggunakan metode poe dan eksperimen terhadap prestasi belajar kognitif maupun afektif.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang disampaikan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Sagala,2011:87). Pendekatan pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini menggunakan metode poe dan eksperimen. Pada pelaksanaan kedua metode pembelajaran ini pada dasarnya sama yaitu sama-sama mendorong siswa untuk menemukan pengetahuan secara mandiri. Dari data hasil pengamatan, kelas dengan metode Poe lebih baik dibandingkan dengan kelas dengan metode eksperimen. Hal ini disebabkan karena metode poe yang digunakan dengan inquiry. Maksudnya, siswa aktif dalam menemukan pengetahuan secara mandiri. Dimulai dari kegiatan menduga, dalam hal ini siswa aktif membuat dugaan terhadap suatu persoalan Fisika yang disajikan oleh guru. Kemudian melakukan observasi, dalam hal ini siswa aktif mengamati secara langsung persoalan Fisika, dengan ini siswa akan menguji dugaan yang dibuat sesuai atau tidak dengan kenyataan. Dan yang terakhir, siswa memberikan penjelasan tentang hasil yang diamatinya dengan yang diduga. Apabila dugaan siswa ternyata terjadi dalam pengamatannya, maka siswa akan semakin yakin akan konsepnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan Paul Suparno (2007:102) bahwa “metode Poe menuntut siswa untuk mampu mengkonstruksi konsep pengetahuannya secara mandiri, siswa aktif berfikir tentang suatu persoalan Fisika dan siswa aktif melakukan pengamatan serta mencari penjelasannya”. Sehingga pengetahuan yang didapat dari proses tersebut akan semakin kuat tertanam diri siswa dan lebih bertahan lama atau sulit untuk dilupakan. Akibatnya, prestasi belajar siswa menunjukkan hasil yang memuaskan. Hakan Ozdemir (2011) dalam Western Anatolia Joernal Education Science yang menyebutkan bahwa penggunaan strategi Poe berpengaruh secara signifikan terjadap prestasi belajar siswa. Lebih lanjut Hakan Ozdemir menyebutkan bahwa penggunaan strategi Poe membantu siswa untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep ilmiah. Selain itu David F. Treagust (2007) dalam hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa metode Poe cukup efektif untuk meningkatkan pembelajaran bermakna di kelas.
Sedangkan pada penggunaan metode eksperimen dalam penelitian ini hasil tidak lebih baik daripada penggunaan metode poe. Pada dasarnya pelaksanaan kedua metode tersebut sebenarnya sama yaitu sama-sama mendorong siswa untuk menemukan pengetahuan secara mandiri. Namun dalam pelaksanaannya metode eksperimen tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip dan kaedah metode pembelajaran eksperimen. Diantaranya adalah tidak dengan inquiry dan masih bersifat konvensional. Maksudnya, siswa hanya diminta untuk melakukan kegiatan sesuai dengan yang terdapat pada lembar kerja siswa (LKS) sehingga siswa tidak dituntut untuk kritis. Akibatnya, prestasi belajar siswa belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dengan demikian, pendekatan pembelajaran kontekstual akan menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik jika diajarkan dengan metode poe daripada diajarkan dengan menggunakan metode eksperimen pada pokok bahasan Getaran dan gelombang.
b. Hipotesis Kedua
Berdasarkan hasil keputusan uji maka Ho diterima pada prestasi kognitif dan afektif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif.
Kemampuan menggunakan alat ukur tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar, hal ini berbeda dengan hipotesis yang dirumuskan yang menyatakan bahwa kemampuan menggunakan alat ukur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa. Hipotesis tersebut dibangun atas landasan teori Ausebel yang menyebutkan proses pembelajaran akan bermakna dan informasi yang didapat oleh siswa akan bertahan lama jika ada kaitannya antara konsepsi awal dengan konsep yang sedang dipelajari siswa (Dahar,1989:103). Konsepsi awal dalam hal ini adalah kemampuan awal siswa dalam menggunakan alat ukur. Namun di satu sisi lain terdapat penelitian yang dilakukan oleh Daimul Khasanah (2010) yang dalam salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa “kemampuan menggunakan alat ukur tidak
berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar siswa”. Sehingga hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daimul khasanah yang menyatakan kemampuan menggunakan alat ukur tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar siswa.
Tidak adanya pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur tinggi dan kemampuan menggunakan alat ukur rendah terhadap prestasi kognitif siswa diantaranya: Pertama; disebabkan karena instrumen pengambilan data untuk memperoleh informasi tentang kemampuan menggunakan alat ukur siswa hanya diperoleh dari tes tertulis pilihan ganda saja. Sehingga data kemampuan menggunakan alat ukur yang diperoleh kurang akurat dan kurang dapat dipercaya. Karena tes tertulis pilihan ganda terdapat kelemahan jika digunakan untuk mengukur kemampuan/ keterampilan/ skill yang dimiliki siswa. Maka daripada itu dibutuhkan pula sebuah instrumen atau tes lain yang dapat digunakan untuk mengukur penampilan atau kinerja yang telah dikuasai siswa. Instrumen tersebut bisa langsung tes praktek ataupun tes tertulis namun tes tertulis yang menjadi sasarannya adalah kemampuan peserta didik dalam menampilkan karya. Dengan demikian, untuk memperoleh informasi tentang kemampuan menggunakan alat ukur yang lebih valid dari para siswa, sebaiknya selain adanya tes tertulis perlu juga adanya tes keterampilan menggunakan alat ukur dan observasi secara langsung pada siswa yang bersangkutan.
Kedua; disebabkan karena data kemampuan menggunakan alat ukur pada penelitian ini hanya dikategorikan menjadi dua kategori yaitu kategori tinggi dan kategori rendah. Dalam penelitian ini peneliti tidak melibatkan kategori sedang. Hal ini sedikit memberikan pengaruh terhadap hasil penelitian, karena semakin ketat pengklasifikasian data maka hasil yang diperoleh pun akan semakin valid. Berbeda dengan sebaliknya apabila pengklasikasian terlalu sedikit maka peluang untuk data yang diperoleh kurang valid semakin besar. Ketiga; disebabkan karena dalam melakukan percobaan dilakukan secara kelompok, dan adanya keterbatasan waktu dalam melakukan percobaan sehingga tidak semua siswa terlibat dalam melakukan percobaan. Sehingga siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur tinggi belum tentu ikut terlibat menggunakan alat ukur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
untuk melakukan percobaan. Hal inilah yang menyebabkan antara siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur tinggi dan rendah tidak ada pengaruh yang signifikan.
c. Hipotesis Ketiga
Berdasarkan hasil keputusan uji maka Ho ditolak pada prestasi kognitif dan afektif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh kemampuan verbal terhadap prestasi belajar kognitif dan prestasi belajar afektif.
Kemampuan verbal berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar kognitif hal ini sesuai dengan Hawkins, et al. (2007) yang menyatakan kemampuan verbal sangat cocok untuk diinduksikan dalam proses belajar dikelas. Hal ini juga sesuai dengan Gagne cit. Winkel (1996: 322) menyatakan bahwa “dalam mengelola informasi baru dan mengkaitkannya dengan informasi lama selama informasi tersebut berada dalam ingatan jangka pendek, siswa harus mengadakan organisasi mental yang diekspresikan dalam bentuk verbal (perumusan bahasa yang memadai)”. Dalam membangun konsep pengetahuan mengenai Getaran dan gelombang hal ini sangat membutuhkan siswa secara aktif untuk berani bertanya, mencawab, dan perpendapat sehingga akan terjadi proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan yang diperoleh. Sehingga siswa yang memiliki kemampuan verbal tinggi akan mendapatkan prestasi yang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki kemampuan verbal rendah.
Kemampuan verbal tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar afektif memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini dikarenakan pendekatan kontekstual memiliki kecenderungan siswa untuk berani mengemukakan pendapat, restrukturisasi ide dengan menanggapi ide yang berbeda sehingga siswa yang memiliki kemampuan verbal tinggi mereka dengan percaya diri untuk mengemukakan pendapatnya dan lebih aktif dikelas daripada siswa yang memiliki kemampuan verbal rendah.
d. Hipotesis Keempat
Berdasarkan hasil keputusan uji maka Ho diterima pada prestasi kognitif dan prestasi afektif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi pembelajaran kontekstual menggunakan metode poe dan eksperimen dengan kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi kognitif dan afektif.
Kesimpulan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daimul Khasanah (2010) tentang pembelajaran Fisika dengan metode eksperimen dan demonstrasi ditinjau dari kemampuan menggunakan alat ukur dan sikap ilmiah siswa. Salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi belajar.
Hal ini dikarenakan siswa yang mendapat perlakuan metode eksperimen dalam pelaksanaanya hampir seluruh siswa mampu menggunakan alat ukur dengan baik dan benar, karena kemampuan menggunakan alat ukur sudah pernah dipelajari oleh siswa di kelas VII dan juga alat ukur tersebut sudah sering digunakan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan menggunakan alat ukur berkaitan menjadi kemampuan dasar siswa dalam melakukan eksperimen, maka siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur kategori tinggi memiliki nilai rata-rata prestasi kognitif lebih tinggi (69,84) dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur kategori rendah (67,71).
Sedangkan untuk siswa yang mendapat perlakuan dengan metode poe lebih mengedepankan siswa untuk aktif berinteraksi, aktif menyampaikan pendapat dan gagasannya berupa dugaan-dugaan sementara. hal ini berdampak terhadap kurangnya pemerataan keaktifan siswa dalam proses belajar. Kemampuan menggunakan alat ukur berkaitan dengan kemampuan dasar seorang siswa untuk melakukan eksperimen. Dalam hal ini metode poe kurang mampu memfasilitasi siswa untuk melakukan proses pengukuran dengan menggunakan alat ukur, karena pada kenyataanya hanya sebagian kecil siswa yang mau mencoba untuk melakukan pengukuran menggunakan alat ukur sehingga siswa seharusnya yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur kategori tinggi memiliki nilai rata-rata prestasi kognitif lebih rendah atau minimal sama dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur kategori tinggi. Namun dalam kenyataannya justru terbalik siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur kategori tinggi memiliki nilai rata-rata prestasi kognitif lebih tinggi (74,15) dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur kategori tinggi (71,33).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
e. Hipotesis Kelima
Berdasarkan hasil keputusan uji maka Ho diterima pada prestasi kognitif dan afektif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi pembelajaran kontekstual menggunakan metode poe dan eksperimen dengan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif.
Kesimpulan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dimas Candra (2007) yang dalam salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal siswa terhadap prestasi belajar. Namun hasil penilitian ini berbeda dengan hipotesis yang disusun sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar siswa.
Hal ini dikarenakan siswa yang mendapat perlakuan metode poe dalam pelaksanaannya hampir seluruh siswa aktif untuk belajar, karena setiap pembelajaran siswa dituntut untuk aktif mengungkapkan ide-ide, gagasan, dan pendapatnya. Karena kemampuan verbal berkaitan dengan ide-ide yang disampaikan dalam kata-kata maka metode poe mampu mengoptimalkan ide-ide atau gagasan pengetahuan diperoleh siswa yang lebih cenderung kebahasa lisan daripada tulisan. Hasilnya siswa yang memiliki kemampuan verbal tinggi memiliki nilai rata-rata prestasi tertinggi dan bahkan siswa yang memiliki kemampuan verbal rendah nilai rata-rata prestasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode eksperimen dengan kemampuan verbal tinggi ataupun kemampuan verbal rendah.
Untuk siswa yang mendapat perlakuan dengan metode eksperimen lebih mengedepankan keaktifan siswa dalam kelompok, hal ini berdampak terhadap kurangnya pemerataan keaktifan siswa dalam proses belajar. Kemampuan kemampuan verbal berkaitan dengan ide-ide yang disampaikan dalam kata-kata maka metode eksperimen kurang mampu memfasilitasi siswa untuk bisa menyampaikan ide atau gagasannya baik lisan ataupun tulisan, karena pada kenyataanya hanya sebagian siswa yang mampu mengungkapkan pengetahuan-pengetahuan yang sudah didapatkan. Dari pemaparan tersebut dapat diringkas bahwa tidak adanya interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar dikarenakan
metode poe mampu memfasilitasi keaktifan sebagian besar siswa sedangkan metode eksperimen hanya mampu memfasilitasi sebagian kecil siswa dalam mengoptimalkan kemampuan verbal baik lisan maupun tulisan. f. Hipotesis Keenam
Berdasarkan hasil keputusan uji maka Ho diterima pada prestasi kognitif dan afektif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif. Hasil kesimpulan ini berbeda dengan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya yang menyatakan terdapat interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal siswa. Kerangka berfikir yang dibangun dalam hipotesis tersebut berdasarkan teori Ausebel yang menyebutkan proses pembelajaran akan bermakna dan informasi yang didapat oleh siswa akan bertahan lama jika ada kaitannya antara konsepsi awal dengan konsep yang sedang dipelajari siswa (Dahar,1989:103). Konsepsi awal dalam hal ini adalah kemampuan awal siswa dalam menggunakan alat ukur. Selain teori Ausebel dalam hipotesis ini juga diungkapkan teori yang mendukung lainnya yaitu teori Gagne cit. Winkel (1996: 322) menyatakan bahwa “dalam mengelola informasi baru dan mengkaitkannya dengan informasi lama selama informasi tersebut berada dalam ingatan jangka pendek, siswa harus mengadakan organisasi mental yang diekspresikan dalam bentuk verbal (perumusan bahasa yang memadai)”. Dalam membangun konsep pengetahuan mengenai Getaran dan gelombang hal ini sangat membutuhkan siswa secara aktif untuk berani bertanya, menjawab, dan perpendapat sehingga akan terjadi proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan yang diperoleh. Sehingga berdasarkan teori yang dibangun tersebut maka hipotesis ini menyatakan terdapat interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal.
Namun hasil penelitian ini menunjukan hasil bahwa tidak ada interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal siswa terhadap prestasi belajar. Tidak adanya interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal hal ini dikarenakan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur tinggi dan kemampuan verbal tinggi lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
dapat mengikuti proses pembelajaran. Karena dalam pembelajaran baik dengan menggunakan metode Poe maupun metode eksperimen mereka tidak ada kendala dalam proses pembelajaran. Yang mana kedua metode tersebut mensyaratkan adanya kemampuan menggunakan alat ukur tinggi untuk metode eksperimen dan kemampuan verbal tinggi untuk metode Poe. Berbeda sebaliknya dengan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur tinggi dan kemampuan verbal rendah mereka sedikit terkendala dalam proses pembelajaran ketika metode yang digunakan adalah metode Poe, sehingga prestasi kognitif siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur tinggi dan kemampuan verbal rendah lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur tinggi dan kemampuan verbal tinggi.
Selain itu, tidak adanya interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal adalah dikarenakan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur rendah dan kemampuan verbal tinggi lebih dapat mengikuti proses pembelajaran walaupun ada sedikit kendala ketika pembelajaran menggunakan metode eksperimen. Berbeda sebaliknya dengan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur rendah dan kemampuan verbal rendah mereka terkendala dalam proses pembelajaran baik pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen maupun dengan metode Poe, karena kedua metode tersebut mensyaratkan adanya kemampuan menggunakan alat ukur tinggi untuk metode eksperimen dan kemampuan verbal tinggi untuk metode Poe, sehingga prestasi kognitif siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur rendah dan kemampuan verbal rendah lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat ukur rendah dan kemampuan verbal tinggi.
g. Hipotesis Ketujuh
Berdasarkan hasil keputusan uji maka Ho diterima pada prestasi kognitif dan afektif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi pembelajaran kontekstual menggunakan metode poe, eksperimen, kemampuan menggunakan alat ukur, kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif.
Dari data dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan menggunakan alat
ukur dan kemampuan verbal menggunakan metode poe rata-rata prestasi lebih baik jika dibandingkan dengan metode eksperimen. Sehingga pengaruh metode lebih dominan dalam menentukan prestasi kognitif siswa. Hal berarti faktor eksternal siswa lebih berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhibbin Syah (2010:129) yang menyatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi belajar siswa adalah salah satunya faktor metode pembelajaran yang digunakan guru. Hal ini berdampak terhadap tidak adanya interaksi antara metode, kemampuan menggunakan alat ukur, dan kemampuan verbal siswa. Siswa yang menggunakan metode poe mampu meningkatkan keaktifan siswa secara individual, sehingga berdampak terhadap proses penyimpanan dan pengambilan informasi secara optimal. Siswa yang memiliki kemampuan verbal, ia mampu mengungkapkan ide-ide, gagasan dan pendapatnya baik dalam bahasa tulisan maupun lisan sehingga berdampak positif terhadap prestasi belajar secara merata.
Untuk siswa yang mendapat metode eksperimen kurang mampu mendorong siswa untuk aktif secara menyeluruh atau hanya sebagian siswa yang benar-benar aktif dalam proses pembelajaran karena terwakili oleh kelompok-kelompok. Sehingga baik kemampuan menggunakan alat ukur ataupun kemampuan verbal siswa juga hanya sebagian yang dapat tergali secara optimal dampaknya kurang meratanya hasil nilai prestasi kognitif dengan nilai yang baik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Adapun kesimpulan penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1) pembelajaran kontekstual melalui metode poe dan eksperimen berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif. Hasilnya rata-rata prestasi kognitif metode poe lebih baik daripada daripada metode eksperimen. 2) kemampuan menggunakan alat ukur siswa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar dalam ranah kognitif maupun ranah afektif; 3) kemampuan verbal berpengaruh secara sigifikan terhadap prestasi kognitif dan afektif belajar siswa. Pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk aktif membangun pengetahuan secara mandiri baik sikap, bahasa verbal lisan ataupun tulisan; 4) tidak ada interaksi yang signifikan antara metode pembelajaran dengan kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
menggunakan alat ukur terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif siswa. Tinjauan menggunakan alat ukur tinggi dan rendah, metode poe memiliki hasil rata-rata prestasi kognitif dan afektif lebih baik daripada metode eksperimen. 5) tidak ada interaksi yang signifikan antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif siswa. Ditinjau dalam ranah afektif rata-rata prestasi belajar kemampuan verbal lebih baik menggunakan metode poe dari pada eksperimen; 6) tidak ada interaksi yang signifikan antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif siswa. Hubungan kemampuan menggunakan alat ukur terhadap prestasi belajar kognitif maupun afektif merupakan pengaruh yang independen dan tidak berhubungan dengan kemampuan verbal; 7) tidak ada interaksi yang signifikan antara metode pembelajaran, kemampuan menggunakan alat ukur, dan kemampuan verbal terhadap prestasi kognitif dan afektif siswa. Metode pembelajaran memberikan dampak yang sama terhadap dua variabel yang bersamaan dimiliki siswa yaitu kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal. Rekomendasi bagi peneliti lain yang disampaikan dalam tulisan ini adalah; (1). pembelajaran Fisika menggunakan pendekatan kontekstual melalui melalui metode poe dan eksperimen layak dijadikan alternatif dalam mengembangkan prestasi belajar siswa di kelas; (2). faktor kemampuan menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal siswa hendaknya menjadi faktor yang patut dipertimbangkan dalam merancang proses pembelajaran di kelas.
Daftar Pustaka
Daimul Khasanah. (2010). Pembelajaran Fisika Berbasis Masalah dengan Menggunakan Metode Eksperimen dan Demontrasi ditinjau dari Kemampuan Menggunakan Alat Ukur dan Sikap Ilmiah Siswa. Tesis. Surakarta: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Dimas Candra. (2007). Prestasi Belajar Siswa ditinjau dari Kemampuan Verbal, Kemampuan Penalaran, dan Kemampuan Awal. Tesis. Surakarta: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
David F. Treagust. (2007). An Investigation of The Classroom Use Of Prediction-Observation-Explanation Computer Tasks Designed to Elicit and Promote Discussion of Students’
Conceptions of Force and Motion. Curtin University of Technology, Perth, Australia.
Hakan Özdemir, dkk. (2011). Effect Of Laboratory Activities Designed Based On Prediction- Observation - Explanation (Poe) Strategy On Pre-Service Science Teachers’ Understanding Of Acid-Base Subject. dalam Wertern Anatolia Joernal Educational Science.
Hawkins et al. (2007). The jigsaw cabas school: protocols for Increasing appropriate behaviour and evoking Verbal capabilities. European Journal Of Behavior Analysis. Vol 8: pp. 203 -220.
Riyanto, Yatim. (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.
Sagala, Syaiful. (2011). Konsep Dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar Dan Mengajar. Bandung. Alfabeta
Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Suparno, Paul. (1997). Filsafat Kontekstual Dalam Pendidik. Yogyakarta: Kanisius.
---------. (2007). Metodologi Pembelajaran Fisika Kontruktivisme dan Menyenangkan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Sutarto Hadi. (2003). Pendidikan Realistik: Menjadikan Pelajaran matematika Lebih Bermakna bagi Siswa (Makalah yang Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika ’Perubahan Paradigma dari Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar’). Yogyakarta: USD.
Supinah, dkk. (2008). Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual dalam Melaksanakan KTSP. Yogyakarta: PPPPTK .
. (2010). Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam KTSP. Jakarta: Bumi Antariksa.
Williams et al. (2009). Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourth-and Eighth-Grade Students in an International Context. Institut of Educations Sciences.
Winataputra, Udin S. (2001). Strategi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Winkel, W.S. (1983). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H.Widha Sunarno, M.Pd. Dra. Suparmi, MA., Ph.D. NIP. 19520116 198003 1 001 NIP. 19520915 197603 2 001
Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal, ..............................
a.n. Ketua Program Studi Pendidikan Sains
Program Pascasarjana UNS
Dr. H. Sarwanto, M.Si. NIP. 19690901 199403 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas sumber daya
manusia seutuhnya. Hal tersebut merupakan tujuan pendidikan yang menjadi
tanggung jawab profesional setiap guru. Sebagaimana tujuan pendidikan yang
tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yaitu pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut bukanlah suatu proses yang
mudah dan cepat tetapi diperlukan sarana yang tepat serta waktu yang cukup
panjang. Tujuan pendidikan tersebut akan sulit tercapai apabila orientasi
pendidikan mempunyai kecenderungan memperlakukan siswa sebagai obyek
pembelajaran, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan
indoktrinator, materi bersifat subject-oriented, dan manajemen bersifat
sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan praktek pendidikan
mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara
yang diajarkan dengan kehidupan sehari-hari, terlalu terkonsentrasi pada
pengembangan intelektual yang tidak seja lan dengan pengembangan individu
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni dalam Sutarto
Hadi, 2003:1). Dilihat dari kegiatan siswa selama berlangsungnya pembelajaran,
Stahl dalam Supinah (2008:1) mengungkapkan bahwa pada pembelajaran
konvensional atau tradisional siswa cenderung bekerja untuk dirinya sendiri, mata
ke papan tulis dan penuh perhatian, mendengarkan guru dengan seksama, dan
belajar hanya dari guru atau bahan ajar, bekerja sendiri, serta hanya guru yang
membuat keputusan dan siswa pasif. Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam
pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau
konvensional.
Dari beberapa faktor-faktor di atas, menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah khususnya
pendidikan sains. Hal ini terungkap dalam hasil studi The Third International
Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2003 yang menyatakan bahwa
kemampuan sains siswa SMP Indonesia berada pada peringkat ke-37 dari 46
negara. Tiga tahun kemudian tahun 2007, TIMSS kembali mengeluarkan hasil
studinya yang menunjukan Indonesia menempati peringkat 36 dari 48 negara yang
terlibat dengan rata-rata 397 dibawah rata-rata semua peserta sebesar 452
(Williams, T et al. 2008: 2). Hal ini merupakan manifestasi penerapan pola
pendidikan yang kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan siswa. Selama ini
pola pengajaran yang terjadi terlalu menekankan pada tuntutan hasil akhir yang
akan diperoleh siswa, tanpa melihat bagaimana proses yang harus dijalani. Secara
ringkas dapat diartikan bahwa sulitnya pembelajaran IPA ditandai dengan
kurangnya proses, produk dan sikap penguasaan pengetahuan, konsep yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
abstrak kurang mendapatkan minat bagi siswa dan kurangnya menerapkan teori
dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan agar sesuai dengan
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, pemerintah Indonesia telah melakukan
pembaharuan melalui pengembangan kurikulum, mulai dari kurikulum lama yang
cenderung content based menjadi kurikulum yang berbasis kompetensi
(competency based ). Kemudian diperbaharui dengan kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan untuk tersusunnya kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah dengan mengacu kepada standar isi dan standar
kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dalam pedoman penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan
(Mulyasa: 2006: 151-153), terdapat beberapa ciri penting dalam pengembangan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yaitu: Pertama, berpusat pada
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. Kedua, beragam dan terpadu. Beragam artinya KTSP disusun
sesuai dengan karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis
pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama,
suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. Terpadu artinya ada
keterkaitan antara muatan wajib, muatan lokal, dan pengembangan diri dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
KTSP. Ketiga, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni. Keempat, relevan dengan kebutuhan kehidupan masa kini dan masa datang.
Kelima, menyeluruh dan berkesinambungan. Menyeluruh artinya KTSP
mencakup keseluruhan dimensi kompetensi dan bidang kajian keilmuan.
Berkesinambungan artinya KTSP antar semua jenjang pendidikan berjenjang dan
berkelanjutan. Keenam, belajar sepanjang hayat. Ketujuh, seimbang antara
kepentingan nasional dan daerah.
Dalam realitasnya yang menjadi prinsip-prinsip dalam KTSP mengahadapi
tantangan yang berat. Maka dalam hal ini dibutuhkan suatu proses pembelajaran
yang tidak hanya memandang proses sains berupa konsep semata, tetapi juga
mengajarkan bagaimana siswa menggunakan atau menerapkan konsep tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada realitasnya di lapangan tidak demikian
adanya, bahkan para siswa memiliki banyak pengetahuan, tetapi kurang dilatih
untuk menemukan pengetahuan, konsep, dan menerapkan ilmu pengetahuan.
Begitu pula yang terjadi di SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta, pembelajaran
IPA khususnya Fisika berjalan dengan orientasi target pencapaian KKM yaitu
sebesar 70,00. Berdasarkan data Balitbang (2011) menunjukan bahwa pencapaian
rata-rata nilai ujian nasional (UN) mata pelajaran IPA SMP Muhammadiyah 4
Yogyakarta jauh dari KKM yang ditetapkan yaitu sebesar 6,45. Nilai ini
menempatkan SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta dalam urutan ke 12 dari 77
sekolah yang ada di Kota Yogyakarta. Hal ini salah satu akibat ketika guru lebih
banyak menggunakan pembelajaran dengan mempercepat materi yaitu dengan
metode ceramah dan memperbanyak latihan soal-soal dalam proses pembelajaran
berlangsung. Keterlibatan siswa dalam proses kegiatan belajar IPA di kelas sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
kurang dan keterlibatan siswa hanya pada ranah konsep menghafal rumus-rumus
kemudian diterapkan dengan mengerjakan soal-soal latihan.
Fungsi dan tujuan pembelajaran IPA yaitu mampu mengembangkan
keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah, dan menguasai konsep sains untuk bekal
hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
(Depdiknas, 2003: 2). Tujuan tersebut tersirat bahwa siswa dituntut tidak hanya
mampu mengerjakan soal-soal akan tetapi juga harus memiliki karakter sains
yaitu metode ilmiah karena Fisika merupakan ilmu yang lahir dan berkembang
lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis,
pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan
teori dan konsep.
Berdasarkan paparan di atas, maka guru perlu menemukan cara/metode
terbaik bagaimana menyampaikan berbagai konsep materi yang diajarkan di
dalam mata pelajaran sains, selain itu guru juga harus memperhatikan kondisi
siswa, sifat materi bahan ajar, dan fasilitas-media yang tersedia (Isjoni, 2008: 8).
Sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih lama konsep
tersebut. Disisi lain guru juga harus melihat bahwa setiap individual mata
pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan, tidak berdiri sendiri
dan membentuk satu pemahaman yang utuh sehingga pembelajaran yang
berlangsung menjadi lebih bermakna. Sebagaimana yang disampaikan Ausubel
dalam Dahar, (1989:103) yaitu proses pembelajaran akan lebih bermakna dan
informasi yang didapatkan akan bertahan lebih lama, jika ada kaitan antara
konsepsi awal siswa dengan konsep baru yang sedang dipelajari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Selain itu belajar juga akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Hal ini sesuai dengan paradigma
pembelajaran kontekstual yaitu proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan
membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya
terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial
masyarakat dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan
yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif
pemahamannya. Lebih lanjut Paul Suparno (1997:54) mengemukakan bahwa
belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan
pengalaman atau apa yang dipelajari dengan apa yang sudah dipunyai seseorang.
Dalam pendapatnya Paul Suparno tersebut, dapat dipahami bahwa belajar yang
bermakna adalah pembelajaran dapat menghubungkan antara materi yang akan
disampaikan dengan pengetahuan yang telah diketahui oleh siswa. Sehingga
pengetahuan yang diperoleh siswa akan semakin kuat tertanam dalam diri siswa
dan lebih bertahan lama atau sulit untuk terlupakan.
Dari beberapa pendapat dalam kutipan di atas, pendekatan pembelajaran
kontekstual sebagaimana yang diuraikan pada realitasnya masih belum diterapkan
dalam pembelajaran terutama pembelajaran sains. Disisi lain terdapat beberapa
pendekatan pembelajaran IPA (Fisika) yang berorientasi pada proses, produk dan
sikap. Pendekatan ini dapat digunakan oleh guru, antara lain: pendekatan konsep,
pendekatan konstruktivisme, pendekatan keterampilan proses, problem based
learning (PBL), inquiry, discovery, dan lain-la in (Trianto,2010:21). Meskipun
telah banyak pendekatan pembelajaran Fisika yang berorientasi pada proses dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
sikap, namun pendekatan ini belum banyak diterapkan oleh para guru untuk
membelajarkan IPA, khususnya Fisika.
Apabila dicermati apa yang dikemukakan dalam KTSP, pembelajaran
bermakana Ausebel dan pembelajaran kontekstual sebagaimana yang diuraikan di
atas, menunjukkan bahwa peran aktif siswa dalam pembelajaran merupakan suatu
keharusan. Salah satu strategi pembelajaran yang dikembangkan dengan tujuan
agar pembelajaran berjalan dengan produktif dan bermakna bagi siswa adalah
metode pembelajaran POE (prediction, observation and explanation ). Metode
POE merupakan suatu metode pembelajaran yang menggunakan tiga langkah
utama dari metode ilmiah yaitu pertama prediction atau membuat prediksi; kedua
observation yaitu melakukan pengamatan apa yang terjadi; ketiga explanation
yaitu memberi penjelasan tentang kesesuaian antara dugaan dengan yang sungguh
terjadi. (Paul Suparno, 2007:102). Disisi lain masih banyak metode pembelajaran
yang mengharuskan peran aktif siswa dalam pembelajaran. Diantaranya adalah
strategi pembelajaran eksperimen, yaitu metode pembelajaran yang mengajak
siswa untuk melakukan percobaan sebagai pembuktian, pengecekan bahwa teori
yang sudah dibicarakan itu memang benar”. Meskipun kedua metode
pembelajaran tersebut penting dalam pembelajaran sains khususnya Fisika, namun
selama ini masih sangat jarang guru menggunakan kedua metode pembelajaran
tersebut dalam kegiatan belajar mengajar Fisika.
Selain kedua metode pembelajaran di atas masih banyak metode
pembelajaran yang mengharuskan peran aktif siswa dalam pembelajaran. Metode-
metode tersebut diantaranya adalah metode diskusi, demonstrasi, learning cycle,
peer tu toring (tutor sebaya), jigsaw, GI, STAD, TGT. Meskipun telah banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
metode pembelajaran Fisika yang berorientasi pada aktivitas siswa, namun
metode ini belum banyak digunakan oleh para guru untuk membelajarkan IPA,
khususnya Fisika.
Berdasarkan uraian tentang metode pembelajaran POE dan eksperimen di
atas, dan kaitannya tentang teori belajar bermakna Ausubel, maka kedua metode
tersebut berhubungan erat dengan kemampuan awal yang dimiliki siswa sebelum
mempelajari konsep yang baru khususnya kemampuan awal menggunakan alat
ukur. Karena kedua metode di atas mensyaratkan adanya kemampuan siswa dalam
menggunakan alat ukur sebagai kemampuan dasar dalam melakukan penelitian
atau percobaan. Dengan kata lain, untuk mempelajari topik tertentu, siswa harus
mempunyai kemampuan awal tertentu juga. Hal inilah yang harus diperhatikan
oleh para guru dalam memulai proses pembelajaran Fisika di kelas.
Dalam memulai suatu topik pelajaran IPA (Fisika), guru hendaknya
memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa. Tujuannya untuk
mempersiapkan guru dalam menyusun rancangan proses pelaksanaan pembelajar-
an yang sesuai dengan tingkat kebutuhan siswa atau disesuaikan dengan
kemampuan awal siswa. Dengan demikian, proses kegiatan pembelajaran di kelas
akan lebih bermakna. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ausebel yaitu
proses pembelajaran akan lebih bermakna dan informasi yang didapatkan akan
bertahan lebih lama, jika ada kaitan antara konsepsi awal siswa dengan konsep
baru yang sedang dipelajarinya (Dahar, 1989:103). Namun dalam realitas
pelaksanaan dilapangan tidak banyak guru yang memperhatikan kemampuan awal
siswa khususnya dalam hal ini kemampuan menggunakan alat ukur dalam proses
kegiatan belajar mengajar terutama kegiatan praktikum atau eksperimen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Selain faktor kemampuan awal dalam menggunakan alat ukur, kedua
metode di atas erat kaitannya pula dengan kemampuan verbal siswa yaitu
kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengungkapkan ide, gagasan,
pendapat dan pikiran yang dituangkan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun
tulisan. Atau kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menuangkan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam bentuk bahasa yang memadai,
sehingga dapat dikomunikasikan kepada orang lain (Winkel,1997:99). Hal ini
dapat dilahat pada metode pembelajaran POE yang dibagi menjadi tiga fase yaitu:
prediction, observation, dan explanation. Pada fase prediction dan explanation
siswa dituntut untuk mengungkapkan ide-idenya, gagasan, pendapat, pertanyaan-
pertanyaan dan dugaan-dugaan terhadap permasalahan atau konsep Fisika serta
mengkomunikasikannya pada orang lain berdasarkan konsep-konsep yang telah
mereka ketahui.
Selain faktor kemampuan awal menggunakan alat ukur dan kemampuan
verbal siswa, masih ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil prestasi
belajar Fisika siswa, antara lain: aktivitas belajar, gaya belajar, tingkat kecerdasan
IQ, kreativitas, motivasi berprestasi siswa, dan lain-lain. Meskipun faktor-faktor
tersebut diketahui telah dapat mempengaruhi hasil prestasi belajar Fisika siswa
namun hal ini kurang dapat diperhatikan oleh para guru. Studi penelitian untuk
mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap prestasi belajar Fisika siswa
juga masih perlu untuk ditingkatkan. Dengan demikian, penting bagi guru untuk
memperhatikan faktor-faktor internal siswa yang dapat berpengaruh terhadap
prestasi belajar Fisika siswa untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang
diinginkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Dalam penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran sebagaimana
yang diuraikan di atas hendaknya memperhatikan karakteristik materi yang akan
disampaikan. Hal ini penting diperhatikan karena tidak semua metode pembela-
jaran bisa diterapkan pada semua materi yang diajarkan yang dalam hal ini materi-
materi Fisika. Setiap materi pokok bahasan Fisika mempunyai karekteristik
berbeda-beda dan memiliki kekhasan masing-masing. Begitu juga dalam hal ini
penggunaan pendekatan kontekstual melalui metode POE dan eksperimen harus
disesuaikan juga dengan karakteristik materi Fisika yang akan disampaikan. Ada
banyak materi Fisika yang sejalan dengan penggunaan pendekatan kontekstual
melalui metode POE dan eksperimen diantaranya: getaran dan gelombang, gaya,
hukum newton, usaha dan energi, tekanan, hukum hooke, kalor, listrik.
Semisal pokok bahasan getaran dan gelombang, pada pokok bahasan
getaran dan gelombang didalamnya terdapat beberapa konsep-konsep yang sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun pada kenyataannya masih sulit
dipahami oleh siswa karena penyampaian materi yang kurang menarik, kurang
kontekstual, membosankan dan pendekatan pembelajaran yang cenderung
matematis saja. Akibatnya, yang terjadi adalah prestasi belajar IPA siswa belum
optimal baik prestasi dalam ranah kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan
dan pemahaman, afektif yang berkenaan dengan sikap dan kecakapan hidup,
maupun psikomotor yang erat kaitannya dengan keterampilan. Ketiganya
merupakan satu kesatuan hasil belajar yang tidak dapat dipisahkan dengan yang
la innya. Namun dalam realitasnya banyak guru yang hanya memperhatikan
prestasi siswa dalam aspek kognitif saja tetapi mengabaikan aspek lainnya yaitu
aspek afektif dan psikomotorik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Dengan demikian agar siswa dapat memahami konsep-konsep dan hukum-
hukum Fisika khususnya pokok bahasan getaran dan gelombang, maka perlu
diadakan penelitian untuk mencari model pembelajaran yang sesuai sebagai
upaya untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah menerapkan pembelajaran dengan metode POE dan eksperimen
ditinjau dari kemampuan menggunakan alat ukur dan verbal siswa terhadap
prestasi belajar siswa.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat
diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
1. Rendahnya kualitas pembelajaran Fisika diindikasikan oleh hasil studi
TIMSS (The Third International Mathematics and Science Study) th. 2007.
2. Orientasi pendidikan cenderung memperlakukan siswa sebagai objek
pembelajaran (student center), guru berfungsi sebagai pemegang otoritas
tertinggi keilmuan dan indoktrinator.
3. Dalam pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara
tradisional atau konvensional.
4. Para siswa memiliki banyak pengetahuan, tetapi kurang dilatih untuk
menemukan pengetahuan, konsep, dan menerapkan ilmu pengetahuan.
5. Ada beberapa alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan
untuk membelajarkan Fisika pada siswa namun belum optimal diterapkan
oleh guru, antara lain: contextual teaching and learning (CTL), problem
based learning (PBL), problem solving, inquiry, discovery, dll.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
6. Ada beberapa alternatif metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk
membelajarkan Fisika pada siswa namun belum optimal diterapkan oleh guru,
antara lain: POE , eksperimen, diskusi, demonstrasi, learning cycle, STAD,
jigsaw, tutor sebaya, dan lain-lain.
7. Guru belum memperhatikan kemampuan awal siswa khususnya kemampuan
awal menggunakan alat ukur dalam proses kegiatan belajar mengajar.
8. Guru belum memperhatikan kemampuan verbal siswa dalam proses kegiatan
belajar mengajar.
9. Penyampaian materi Fisika yang kurang menarik, membosankan dan
pendekatan pembelajaran yang hanya cenderung matematis, akibatnya
prestasi belajar Fisika siswa yang belum optimal, meliputi aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor.
10. Ada beberapa materi bahan ajar Fisika yang sejalan dengan penggunaan
pendekatan kontekstual yang disampaikan di kelas VIII SMP antara lain:
gerak lurus beraturan (GLB), gerak lurus berubah beraturan (GLBB), kalor,
usaha dan energi, tekanan, gaya, hukum newton, getaran dan gelombang,
bunyi, cahaya, namun guru belum menyampaikan konsep materi tersebut
secara bermakna kepada siswa
11. Guru belum memperhatikan sifat dan karakteristik materi bahan ajar Fisika
yang akan disampaikan kepada siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar,
apakah materi tersebut konkret atau abstrak.
12. Guru belum memperhatikan keterkaitan antar materi bahan ajar Fisika dan
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang ada maka dalam penelitian ini akan
difokuskan pada:
1. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan kontekstual.
2. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode predection,
observation, and explanation (POE) dan eksperimen.
3. Faktor internal siswa yang ditinjau dalam penelitian ini adalah kemampuan
menggunakan alat ukur kategori tinggi dan rendah.
4. Faktor internal siswa yang ditinjau dalam penelitian ini adalah kemampuan
verbal siswa kategori tinggi dan rendah.
5. Prestasi belajar Fisika siswa meliputi aspek kognitif, dan afektif.
6. Pokok bahasan yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada pokok
bahasan getaran dan gelombang.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah
maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh penggunaan pendekatan kontekstual melalui metode POE
dan eksperimen terhadap prestasi belajar Fisika siswa?
2. Adakah pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur siswa kategori tinggi
dan kemampuan menggunakan alat ukur kategori rendah terhadap prestasi
belajar Fisika siswa?
3. Adakah pengaruh kemampuan verbal tinggi dan kemampuan verbal rendah
terhadap prestasi belajar Fisika siswa?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
4. Adakah interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan
menggunakan alat ukur terhadap prestasi belajar Fisika siswa?
5. Adakah interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan verbal
siswa terhadap prestasi belajar Fisika siswa?
6. Adakah interaksi antara kemampuan alat ukur dengan kemampuan verbal
siswa terhadap prestasi belajar Fisika siswa?
7. Adakah interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan
menggunakan alat ukur dan kemampuan verbal siswa terhadap prestasi
belajar Fisika siswa?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengaruh penggunaan pendekatan kontekstual melalui metode POE dan
eksperimen terhadap prestasi belajar Fisika siswa.
2. Pengaruh kemampuan menggunakan alat ukur kategori tinggi dan
kemampuan menggunakan alat ukur kategori rendah terhadap prestasi belajar
Fisika siswa.
3. Pengaruh kemampuan verbal siswa kategori tinggi dan kemampuan verbal
siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar Fisika siswa.
4. Interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat
ukur terhadap prestasi belajar Fisika siswa.
5. Interaksi antara metode pembelajaran dengan sikap kemampuan verbal
terhadap prestasi belajar Fisika siswa.
6. Interaksi antara kemampuan menggunakan alat ukur dengan kemampuan
verbal siswa terhadap prestasi belajar Fisika siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
7. Interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan menggunakan alat
ukur dan kemampuan verbal siswa terhadap prestasi belajar Fisika siswa.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
dunia pendidikan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Mengetahui pengaruh pendekatan kontekstual melalui metode POE dan
eksperimen ditinjau dari kemampuan menggunakan alat ukur dan
kemampuan verbal siswa terhadap prestasi belajar Fisika siswa yang
meliputi aspek kognitif dan afektif.
b. Memberikan gambaran tentang penggunaan pendekatan dan metode
pembelajaran yang sesuai dengan penanganan masalah dalam proses
pembelajaran.
c. Sebagai bahan pertimbangan, masukan, dan acuan bagi penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan alternatif pembelajaran Fisika yang melibatkan peran aktif
siswa.
b. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi para guru untuk
meningkatkan prestasi belajar Fisika.
c. Memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi sekolah dalam rangka
perbaikan proses pembelajaran IPA, khususnya Fisika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Tinjauan Tentang Belajar
a. Pengertian Belajar
Belajar sebagai suatu kegiatan yang telah dikenal dan bahkan sadar atau
tidak sadar dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus
mengembangkan dirinya. Gagne dalam Ratna Wilis Dahar (1989:11) belajar dapat
didefinisikan sebagai “suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya
sebagai akibat pengalaman”. Ernes ER. Hilgard dalam Riyanto (2009:4)
mengatakan bahwa “seorang dikatakan belajar kalau dapat melakukan sesuatu
dengan cara latihan-latihan sehingga yang bersangkutan menjadi berubah”.
Menurut Winkel (1996:53) “belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan, dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas.” Sedangkan
menurut Slameto (2003: 2) “belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
Cronbach menyatakan bahwa belajar itu merupakan perubahan perilaku
sebagai hasil pengalaman. Menurut Cronbach bahwa belajar yang sebaik-baiknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
adalah dengan mengalami sesuatu yaitu menggunakan panca indra. Dengan kata
la in, bahwa belajar adalah suatu cara mengamati, mambaca, meniru,
mengintimasi, mencoba sesuatu, mendengar, dan mengikuti arah tertentu
(Riyanto,2009:5). Sedangkan menurut Chaplin dalam dictionary of psycology
membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama menyebutkan
bahwa belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif permanen
sebagai akibat latihan dan pengalaman. Rumusan kedua menyebutkan bahwa
belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan
khusus (Syah,2005:90). Lebih lanjut Wittig dalam Muhibbin Syah (2005:90)
menyatakan bahwa “belajar adalah perubahan yang relatif permanen yang terjadi
dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil
belajar”.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
perubahan tingkah laku yang relatif menetap atau permanen sebagai hasil dari
pengalamannya sendiri melalui pemecahan masalah serta dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Seseorang dikatakan belajar jika telah mengalami
perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut meliputi pengetahuan
atau pemahaman (kognitif), sikap atau nilai (afektif), serta keterampilan dan
kecakapan (psikomotorik). Belajar adalah suatu proses bukan suatu hasil yang
merupakan dasar perkembangan hidup manusia. Oleh karena itu belajar
berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk
perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
b. Teori-teori Belajar
Teori-teori belajar yang umum digunakan dalam pembelajaran IPA
terutama Fisika dengan pendekatan kontekstual yang akan digunakan antara lain:
teori Bruner, Ausubel, Piaget dan Gagne.
1) Teori Belajar Jerome S. Bruner
Ratna Wilis Dahar dalam Trianto (2007:26) mengemukakan bahwa
“salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari
Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery
learning)”. Dalam teori belajarnya, Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan
belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu
aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga
tahap. Pertama; tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan
atau pengalaman baru. Kedua; tahap transformasi, yaitu tahap memahami,
mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta transformasi dalam bentuk
baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain. dan Ketiga; tahap
menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan atau evaluasi, yaitu untuk
mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang
dimiliki seseorang atau informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga
berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam
transformasi pengetahuan, seseorang memperlakukan pengetahuan agar cocok
dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara memperlakukan
pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Bruner dalam Ratna Wilis Dahar (1989: 103) menganggap bahwa
“belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha
sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya,
menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna”. Lebih jauh lagi, Bruner
menyarankan setiap peserta didik atau siswa hendaknya belajar melalui
berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam menemukaan arti dengan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip yang bisa dimengerti sendiri, sehingga mereka
memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang
mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep itu
sendiri. Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa belajar penemuan membangkitkan
keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan
jawaban-jawaban. Pendekatan ini juga dapat mengajarkan keterampilan-
keterampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta
para siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya
menerima saja.
Lebih lanjut dalam Ratna Wilis Dahar (1989 : 103) dikemukakan bahwa
pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa
kebaikan, antara lain:
Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat, atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain. Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Dengan lain perkataan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa belajar penemuan
(discovery learning ) menurut Bruner sangat relevan jika diterapkan pada
pendekatan pembelajaran kontekstual melalui metode POE (prediction,
observation and explanation) dan eksperimen. Pendekatan pembelajaran
konteksetual atau sering disebut dengan contextual teaching and learning (CTL)
merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten pelajaran
sesuai dengan dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara
pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga, warga negara dan tenaga kerja. Selain itu pendekatan kontekstual
menghendaki siswa untuk belajar secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip, sehingga memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-
eksperimen yang mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu
sendiri.
Pembelajaran kontekstual tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
metode POE dan eksperimen. Metode POE dan eksperimen menuntut siswa untuk
turut serta aktif dalam kegiatan pembelajaran IPA khususnya Fisika di kelas
karena prinsip dari kedua metode tersebut adalah learning by doing , yakni belajar
dengan melakukan sendiri. Dengan learning by doing, siswa dapat melakukan
pemecahan masalah secara mandiri, sehingga diharapkan siswa akan menemukan
konsep dengan sendirinya pula. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh
akan bertahan lebih lama dan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
2) Teori Belajar David Ausubel
Teori kognitif lainnya, yang berbeda dengan Bruner adalah David
Ausubel membatasi teorinya untuk memahami dengan penuh arti dari materi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
verbal, jenis dari subjek permasalahan pemahaman berada di kelas. Menurut
Ausubel dalam Riyanto (2009:15), “belajar menerima dan menemukan dapat
merupakan hafalan atau bermakna, tergantung pada situasi terjadinya belajar yang
je las belajar menghafal berbeda dengan belajar bermakna. Belajar bermakna jika
informasi yang dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif siswa,
sehingga siswa dapat mengaitkan pengetahuan baru tersebut dengan struktur
kognitifnya.”
Ratna Wilis Dahar (1989: 112) menyatakan bahwa “inti dari teori
Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna
merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan
yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang”. Menurut Ausubel dalam Ratna
Wilis Dahar (1989: 115), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna, antara la in: a)
informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat; b) informasi
yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer,
jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip; c)
informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek
residual pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip,
walaupun telah terjadi “lupa”.
Selanjutnya, dalam Ratna Wilis Dahar (1989: 116) dikemukakan bahwa
“faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
(1963), ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan
dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu”. Prasyarat-prasyarat
dari belajar bermakna adalah materi yang akan dipelajari harus bermakna secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
potensial dan anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk
melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar
bermakna (meaningful learning set). Kebermaknaan materi pelajaran secara
potensial tergantung pada dua faktor, yaitu materi itu harus memiliki
kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam
struktur kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan
materi yang non-arbitrer dan substantif. Yang dimaksud dengan materi yang non-
arbitrer ialah materi yang ajek (konsisten) dengan apa yang telah diketahui.
Sedangkan yang dimaksud dengan materi tersebut harus substantif berarti materi
itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa inti dari teori
belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau
bermakna jika guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat
menghubungkannya dengan konsep relevan yang sudah ada dalam struktur
kognisi siswa. Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan yang telah diketahui
oleh siswa sebelum mempelajari konsep yang baru. Dalam penelitian ini, siswa
diharapkan dapat menemukan pengetahuan yang akan disimpan pada kognitifnya
melalui proses pembelajaran kontekstual dengan metode POE dan eksperimen.
Dalam penerapan pembelajaran ini diharapkan pengetahuan yang diperoleh siswa
dapat bertahan lama dan akan mengoptimalkan fungsi kognitif siswa.
3) Teori Belajar Gagne
Menurut Gagne (1984) “belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu
organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman” (Syaiful Sagala,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
2005: 13). Menurut Gagne dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemprosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal
yaitu keadaaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar
dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal
adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran. Dalam penelitian ini, kondisi internal berupa kemampuan siswa
dalam menggunakan a lat ukur dan kemampuan verbal siswa. Kedua faktor
internal tersebut berinteraksi dengan stimulus dari lingkungan yaitu melibatkan
siswa dalam proses pembelajaran kontekstual dengan menggunakan metode POE
dan eksperimen.
Gagne dalam Riyanto (2009:55-56) membedakan delapan tipe belajar,
yaitu: a) Belajar isyarat, sesuai dengan teori conditioning menurut Pavlov,
memberikan reaksi pada suatu perangsang (S --- R). Respon timbul setelah
memperoleh rangsangan. b) Belajar stimulus-respon, memperoleh kemampuan
setelah memperoleh latihan berulang kali. Responnya berbentuk spesifik, tidak
umum, dapat diatur dan dikuasai. Respon dapat diperkuat dengan memberikan
imbalan. Guru memberikan pujian pada anak atas suatu keberhasilan maka anak
akan berusaha untuk mengulangi keberhasilannya. c) Belajar membentuk
rangkaian tingkah laku (chaining motoric), menghubungkan tindakan atau
gerakan yang satu dengan yang lainnya. Hubungan antara stimulus dan respon
berjalan secara beruntun sehingga terjadi beberapa hubungan S --- R. d) Belajar
asosiasi verbal, memberikan reaksi verbal kepada suatu stimulus. Tipe ini
berperan dalam belajar informasi verbal, yaitu pengetahuan yang dimiliki dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
menggunakan bahasa (verbal). Informasi verbal meliputi rangkaian verbal, yakni
kata-kata yang dimiliki untuk menunjukkan pada objek yang dihadapi dan data
atau fakta. e) Belajar diskriminasi, memberikan respon yang berbeda pada
stimulus yang mempunyai kesamaan atau mirip. Belajar diskriminasi berarti
belajar membedakan beberapa objek berdasarkan ciri-ciri khusus yang teramati.
Setelah belajar diskriminasi siswa akan dapat melakukan penggolongan atau
klasifikasi. f) Belajar konssep, menempatkan objek-objek dalam kelompok-
kelompok tertentu atau mengadakan klasifikasi. Dengan cara belajar demikian
maka siswa dapat menemukan konsep-konsep seperti cahaya, bunyi, pembiasan,
kalor. g) Belajar kaidah, menghubungkan beberapa konssep sehingga
mendapatkan suatu prinsip. Kaidah atau aturan ini terdapat dalam setiap mata
pelajaran. Dalam pelajaran IPA disamping mengenal prinsip, juga mengenal yang
dinamakan hukum atau teori. Disinilah letak permasalahan pendidikan IPA,
apakah kaidah itu harus ditemukan sendiri oleh siswa atau diberikan begitu saja.
Yang harus menjadi pedoman pendidik adalah bahwa kaidah-kaidah tersebut
harus dapat dipahami oleh anak didik, tidak hanya dikenalkan saja. h) Belajar
memecahkan masalah, menggunakan kaidah-kaidah yang sudah dipahami untuk
memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalah digunakan langkah-langkah,
dan dalam pembelajaran IPA dikenal dengan metode ilmiah.
4) Teori Belajar Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang pakar yang banyak melakukan penelitian
tentang perkembangan kemampuan kognitif manusia. Menurut Piaget dalam
Desmita (2010:98) “kognitif adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan,
memecahkan masalah dan merencanakan masa depan.”
Menurut Jean Piaget dalam Riyanto (2009:9) menyatakan bahwa “proses
belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan yaitu asimilasi, akomodasi dan
ekuilibrasi. Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi
baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sementara ekuilibrasi
adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.” Dari
pernyataan tersebut dapat diartikan juga bahwa asimilasi adalah proses perubahan
apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang. Sementara
akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami.
Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik
kognitif atau suatu ketidakseimbangan antara yang telah diketahui dengan yang
dialaminya sekarang.
Piaget dalam Muhibbin Syah (2010: 24) menerangkan bahwa “asas-asas
perkembangan menitikberatkan pada aspek perkembangan pikiran secara alami
dari lahir sampai dewasa, untuk bisa mamahami teori ini bergantung pada
pemahaman asumsi-asumsi biologi yang menurunkan teori itu maupun implikasi
asumsi-asumsi tersebut dalam mengartikan pengetahuan”. Menurut pendapat
tersebut, dapat diartikan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang maka
menambah kompleksnya susunan sel sarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan
mengalami adaptasi fisik dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya
perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Menurut Piaget dalam Ratna Wilis Dahar (1989: 152), “setiap individu
mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut: a) sensori-
motor (0 – 2 tahun), b) Pra-operasional (2 – 7 tahun), c) operasional konkret (7 –
11 tahun), d) operasional formal (11 tahun – ke atas). Tahap-tahap tersebut
urutannya berlaku untuk semua orang, akan tetapi usia pada saat seseorang mulai
memasuki suatu tahap tertentu tidak selalu sama untuk setiap orang”. Berikut ini
ciri-ciri pada setiap masing-masing tahapan perkembangan intelektual menurut
John Piaget:
a) Sensori-motor (0 – 2 tahun)
Pada tahap ini pemahaman anak mengenai berbagai hal terutama tergantung
pada kegiatan (gerakan) tubuh beserta alat-alat indera. Piaget berpendapat bahwa
tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spasial penting
dalam enam sub-tahapan yaitu: pertama; sub-tahapan skema reflek; (umur 0-6
minggu), berhubungan erat dengan reflek. Kedua; sub-tahapan fase reaksi sirkular
motivasi siswa”. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor fisiologis
merupakan faktor yang berkaitan dengan jasmaniah dan otot siswa sedangkan
faktor psikologis kondisi psikis siswa yang meliputi, intelegensi, sikap, bakat,
minat, dan motivasi kedua-duanya merupakan bagian dari faktor internal yang
perlu diperhatikan oleh guru karena akan berdampak terhadap hasil belajar siswa.
Faktor eksternal yang mempengaruhi belajar berkaitan dengan faktor-
faktor yang berasal dari luar diri siswa. Menurut Slameto (2010: 60), “faktor
ekstern yang mempengaruhi belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor,
yaitu faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat”. Faktor keluarga
meliputi cara mendidik orang tua, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah,
keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar siswa dapat berupa metode mengajar,
kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah,
alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar,
dan tugas rumah. Sedangkan faktor masyarakat yang mempengaruhi belajar antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
la in kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk
kehidupan masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya proses
belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa sedangkan
faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa.
2. Hakikat IPA
Istilah Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA dikenal juga dengan istilah sains.
Kata sains ini berasal dari bahasa Latin yaitu scientia yang berarti ”saya tahu”.
Dalam bahasa Inggris, kata sains berasal dari kata science yang berarti
”pengetahuan”. Science kemudian berkembang menjadi social science yang dalam
Bahasa Indonesia dikenal dengan ilmu pengetahuan sosial (IPS) dan natural
science yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan ilmu pengetahuan alam
(IPA).
Menurut Muhammad Amin (1978:43), science secara umum merupakan
kumpulan fakta yang tersusun secara sistematis dan penggunaannya terbatas pada
gejala-gejala alam. Perlu diperhatikan juga bahwa “perkembangan science tidak
hanya ditandai dengan adanya kumpulan fakta-fakta tetapi juga ditandai dengan
munculnya metode ilmiah (scientific methods) dan sikap ilm iah (scientific
attitudes)”. Sehingga dalam mempelajari sains tidak cukup hanya dengan cara
menghafa l saja tetapi juga menggunakan keterampilan dan metode ilmiah.
Sedangkan m enurut Trianto (2010: 137) mengemukakan bahwa “secara
umum IPA meliputi tiga bagian ilmu dasar, yaitu biologi, Fisika dan kimia. Fisika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
merupakan salah satu cabang dari IPA, dan merupakan ilmu yang lahir dan
berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan
hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta
penemuan teori, dan konsep”. Jadi dapat diartikan bahwa hekekat Fisika adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam melalui serangkaian
proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun melalui sikap ilm iah.
Sementara itu, menurut Robert B. Sund dalam Winataputra (2001:122)
mendefinisikan “IPA sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara
teratur berlaku umum dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen”.
Sedangkan H.W Pouler mendefinisikan IPA sebagai “systematic and formulated
knowledge dealing with material phenomena and based mainly on observation
and induction”, artinya IPA adalah ilmu sistematis dan dirumuskan yang
berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas
pengamatan induksi (Winataputra, 2001:122). Lebih lanjut Winataputra dalam
bukunya Strategi belajar mengajar IPA, menjelaskan bahwa IPA adalah sejenis
pengetahuan teoritis. Baginya IPA bukanlah suatu keterampilan praktis dan bukan
pula suatu kerajinan. Meskipun pada kenyataannya IPA hampir berhubungan
dengan percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan dan kerajinan.
IPA tidak hanya merupakan kumpulan-kumpulan pengetahuan tentang
benda atau makhluk hidup, tetapi merupakan cara kerja, cara berpikir dan cara
memecahkan masalah. Dari beberapa definisi di atas, tersirat bahwa ada tiga unsur
utama yang terdapat dalam IPA yaitu sikap manusia, proses, dan produk yang satu
sama lain tidak dapat dipisahkan. Rasa ingin tahu pada masalah yang terjadi di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
alam merupakan sikap manusia; manusia kemudian mencoba memecahkan
masalah yang dihadapinya, pada tahapan digunakan proses atau metode dengan
cara menyusun hipotesis, melakukan kegiatan untuk membuktikan kebenaran
hipotesisnya, dan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Hasil atau produk
dari kegiatan yang telah dilakukannya tersebut berupa fakta-fakta, prinsip-prinsip,
atau teori-teori dan lain-lain.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa IPA (Fisika)
adalah cabang ilmu alam yang mempelajari tentang gejala alam dan interaksinya
serta menerangkan bagaimana gejala-gejala alam tersebut terukur melalui
penelitian dan pengamatan. Fisika meliputi aspek produk, proses, dan sikap
ilm iah. Fisika sebagai produk mempunyai arti bahwa dalam Fisika terdapat
pengetahuan yang merupakan hasil dari aktivitas ilmiah yang telah dilakukan
sebelumnya. Fisika sebagai proses mempunyai arti bahwa Fisika adalah aktivitas
ilm iah. Manusia dalam melakukan aktivitas ilmiah menggunakan cara-cara
tertentu agar tujuannya tercapai. Cara-cara tersebut kita kenal dengan istilah
metode ilmiah. Fisika ditentukan oleh serangkaian proses ilmiah yaitu observasi,
pengukuran, dan eksperimen. Melalui proses ilmiah tersebut akan diperoleh
produk ilm iah berupa konsep, prinsip, dan teori. Oleh sebab itu, Fisika dapat
didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang menguraikan dan menganalisis
peristiwa-peristiwa alam yang diperoleh melalui serangkaian proses ilmiah
dengan dilandasi sikap ilmiah.
Selanjutnya fungsi IPA (Fisika) dalam pembelajaran di sekolah
menengah antara lain: memberikan bekal pengetahuan untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
mengembangkan dan menggunakan keterampilan proses untuk memperoleh,
menghayati, dan menerapkan konsep-konsep, hukum-hukum serta asas-asas
Fisika; melatih siswa menggunakan metode ilm iah dalam memecahkan masalah
yang dihadapinya; serta meningkatkan kesadaran siswa tentang peraturan
keindahan alam sehingga siswa terdorong untuk mencintai dan mengagungkan
ciptaan Allah SWT. Dari pengertian di atas tersirat bahwa dalam rangka mencari
dan menemukan konsep atau prinsip akan diikuti dengan melakukan eksperimen.
3. Pembelajaran Kontekstual / Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pendekatan pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan
masyarakat (Riyanto, 2009:59). Lebih lanjut Riyanto menjelaskan bahwa dengan
konsep itu , hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami. Bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran
lebih dipentingkan daripada hasil.
Sedangkan menurut Trianto (2007: 102) “pembelajaran kontekstual adalah
pembelajaran yang memungkinkan siswa-siswa untuk menguatkan, memperluas,
dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai
macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan maslah-
masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan”. Dari jurnal
“Contextual Teaching and Learning for Practice” dari Clemente Charles Hudson
dan Vista R. Whisler disebutkan hasil penelitiannya bahwa CTL diartikan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
suatu cara untuk memperkenalkan muatan dengan menggunakan berbagai macam
teknik pembelajaran aktif yang dirancang untuk membantu siswa menghubungkan
apa yang sudah mereka ketahui dengan apa yang ingin mereka pelajari, dan
membentuk pengetahuan baru dari analisis dan sintesa proses pembelajaran.
Sementara itu, menurut Syaiful Sagala (2011:87) “contextual teaching and
learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”. Lebih lanjut
Syaiful Sagala menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual ini dilakukan dengan
melibatkan beberapa komponen utama pembelajaran yang efektif.
Adapun komponen dalam pembela jaran kontekstual terdiri dari tujuh
komponen, yaitu:
a. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan filosofis dari contextual teaching
and learning, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu pada hakekatnya dibangun tahap
demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui proses yang tidak selalu mulus (tria l and
error). Ilmu pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep atau
kaidah-kaidah yang siap diambil dan diingat, tapi harus dikonstruksi melalui
pengalaman nyata. Dalam konstruksivisme proses lebih diutamakan daripada
hasil. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu kemudian memberi makna
melalui pengalaman nyata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
b. Bertanya (questioning)
Bertanya (questioning) adalah cerminan dalam kondisi berpikir, melalui
bertanya jendela ilmu pengetahuan menjadi terbuka karena dengan bertanya bisa
melakukan bimbingan, dorongan, evaluasi, atau. konfirmasi. Di samping itu
dengan bertanya dapat mencairkan ketegangan, menambah pengetahuan,
mendekatkan hati, menggali informasi, meningkatkan motivasi, dan
memfokuskan perhatian. Hampir dalam semua aktifitas belajar, questioning dapat
diterapkan antara: siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan orang
la in yang didatangkan di kelas, dan sebagainya. Aktifitas bertanya juga ditemukan
ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan,
ketika mengamati atau observasi, dan sebagainya. Kegiatan ini akan
menumbuhkan dorongan siswa untuk “bertanya”.
c. Menemukan (inquiry)
Menemukan (inquiry) adalah proses yang penting dalam pembelajaran
agar retensinya kuat dan munculnya kepuasan tersendiri dalam benak siswa
dibandingkan hanya mela lui pewarisan. Dengan menemukan kemampuan berpikir
mandiri (kognitif tingkat tinggi, kritis, kreatif, inovatif, dan improvisasi) akan
terlatih yang pada kondisi selanjutnya menjadi terbiasa. Inquiry mempunyai siklus
observasi, bertanya, menduga, kolekting, dan konklusi. Dalam hal ini guru harus
selalu merancang kegiatan yang menunjukan pada kegiatan menemukan, apapun
materi yang diajarkannya.
d. Masyarakat belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil bela jar diperoleh dari
hasil kerjasama dengan orang lain, baik melalui perorangan maupun kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
orang, dari dalam kelas, sekitar kelas, di luar kelas, di lingkungan sekolah,
lingkungan rumah, ataupun di luar sana. Dalam pelaksanaan pembelajaran
kontekstual guru disarankan untuk membentuk kelompok belajar agar siswa
membentuk masyarakat belajar untuk saling berbagi, membantu, mendorong,
menghargai, atau membantu.
e. Pemodelan (modelling)
Pemodelan akan lebih mengefektifkan pelaksanaan CTL untuk ditiru,
diadaptasi, atau dimodifikasi. Dengan adanya model untuk dicontoh biasanya
konsep akan lebih mudah dipahami atau bahkan bisa menimbulkan ide baru.
Pemodelan tidak selalu dilakukan oleh guru, tetapi bisa juga dilakukan oleh siswa
atau media lainnya.
f. Refleksi (reflection )
Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru dipelajari,
merenungkan kembali aktivitas yang telah dilakukan, atau mengevaluasi kembali
bagaimana belajar yang telah dilakukan. Refleksi berguna untuk evaluasi diri,
koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri. Membuat rangkuman, meneliti dan
memperbaiki kegagalan, mencari alternatif lain cara belajar (learning how to
learn), dan membuat jurnal pembelajaran adalah contoh kegiatan refleksi.
g. Asesmen otentik (authentic assesment)
Asesmen otentik adalah penilaian yang dilakukan secara komprehensif
berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran, meliputi proses dan produk
belajar sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukannya mendapat
penghargaan. Hakekat penilaian yang diwujudkan berupa nilai merupakan
penilaian atas usaha siswa yang berkenaan dengan pembelajaran, bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
merupakan hukuman. Penilaian otentik semestinya dilakukan dari berbagai aspek
dan metode sehingga objektif. Misalnya membuat catatan harian melalui
observasi untuk menilai aktivitas dan motivasi, wawancara atau angket untuk
menilai aspek afektif, portofolio untuk menilai seleruh hasil kerja siswa (artefak),
tes untuk menilai tingkat penguasaan siswa terhadap materi bahan ajar.
4. Metode Pembelajaran POE
a. Pengertian Metode POE
Menurut Paul Suparno (2007:102) dalam buku Metodologi Pembelajaran
Fisika Kontruktivisme dan Menyenangkan, mendefinisikan metode POE adalah:
“Metode pembelajaran POE (Prediction, Observation, and Explanation) merupakan suatu metode pembelajaran yang menggunakan tiga langkah utama dari metode ilmiah yaitu pertama prediction atau membuat prediksi, membuat dugaan terhadap suatu peristiwa Fisika; kedua observation yaitu melakukan penelitian, pengamatan apa yang terjadi; ketiga explanation yaitu memberi penjelasan tentang kesesuaian antara dugaan dengan yang sungguh terjadi”. Langkah pertama adalah membuat prediksi atau dugaan. Setelah suatu
persoalan Fisika disajikan, maka siswa diminta untuk membuat dugaan sementara
terjadi. Dalam membuat dugaan, siswa sekaligus sudah memikirkan alasan
mengapa ia membuat dugaan seperti itu . Dalam proses ini, siswa diberi kebebasan
seluas-luasnya menyusun dugaan dengan alasannya. Sebaiknya tidak dibatasi
sehingga banyak gagasan dan konsep Fisika muncul dari pikiran siswa. Dengan
demikian semakin banyak gagasan konsep Fisika yang muncul dari siswa, guru
dapat mengerti bagaimana konsep dan pengertian Fisika siswa tentang persoalan
yang diajukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Langkah kedua adalah melakukan observasi. Dugaan dengan alasan yang
mendasari dugaan itu harus dipraktekkan atau dilihat dalam kenyataan. Dalam
penelitian ini siswa diajak untuk mengamati secara langsung peristiwa-peristiwa
atau gejala-gejala Fisika yang diperagakan/ didemonstrasikan oleh guru. Dalam
langkah ini siswa mengamati apa yang terjadi, dapat juga melakukan pengukuran
jika diperlukan. Yang penting dalam langkah ini adalah melihat apakah
dugaannya benar atau tidak; dugaannya terjadi atau tidak.
Langkah ketiga adalah membuat penjelasan. Dapat terjadi bahwa dugaan
siswa ternyata terjadi dalam pengamatannya. Bila ini yang terjadi maka siswa
semakin yakin akan konsepnya. Namun sebaliknya dapat terjadi bahwa dugaan
siswa ternyata tidak terjadi dalam pengamatannya. Bila hal ini yang terjadi maka
siswa dibantu untuk mencari penjelasan, mengapa dugaannya tidak benar.?
Dengan ini siswa mengalami perubahan konsep; dari konsep yang tidak benar
menjadi benar. Disinilah siswa betul-betul belajar dari kesalahan, dan biasanya
belajar dari kesalahan tidak akan dilupakan siswa.
b. Langkah-langkah Pembelajaran Metode POE
Adapun langkah-langkah praktis dalam pembelajaran dengan
menggunakan metode POE adalah sebagai berikut:
1) Guru memberikan pengantar sebelum pembelajaran dimulai. Pada langkah ini
guru menginformasikan topik yang akan dibahas, menunjukkan demonstrasi
awal dan menyampaikan masalah, menyampaikan konsep-konsep
pendukung, menyampaikan langkah-langkah kerja dalam peragaan
demonstrasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
2) Siswa membuat prediksi tentang persoalan itu, namun prediksi itu bukan asal-
asalan menebak (untung-untungan) akan tetapi berdasarkan alasan tertentu.
3) Siswa melakukan observasi dari persoalan-persoalan tersebut.
4) Siswa menarik kesimpulan dari observasi, dan mencocokkan dengan
prediksinya, apakah tepat atau tidak.
5) Siswa memberikan penjelasan atau keterangan terkait dengan kesimpulan
yang diambil.
c. Kelebihan Metode POE
Adapun kelebihan metode pembelajaran POE adalah sebagai berikut: 1)
Metode ini dapat membuat pengajaran menjadi lebih jelas dan lebih konkret. 2)
Siswa akan lebih mudah memahami konsep-konsep yang sedang dipelajarinya. 3)
Proses pembelajaran akan jauh lebih menarik. 4) Siswa menjadi lebih aktif
mengamati, menyesuaikan antara teori dengan kenyataan dan dapat mencoba
melakukan sendiri.
d. Kelemahan Metode POE
Adapun kelemahan metode pembelajaran POE adalah sebagai berikut:
1) Metode ini memerlukan keterampilan guru yang tinggi. Sebab tanpa hal ini
pelaksanaan metode POE tidak akan berjalan efektif. 2) Fasilitas, peralatan,
tempat dan biaya yang memadai tidak selalu tersedia dengan baik. 3) Metode ini
memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang. 4) Metode ini kadang
memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga dapat mengganggu jam
pelajaran la innya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
5. Metode Pembelajaran Eksperimen
a. Pengertian Metode Eksperimen
Secara umum metode eksperimen adalah metode pembelajaran yang
mengajak siswa untuk melakukan percobaan sebagai pembuktian, pengecekan
bahwa teori yang sudah dibicarakan itu memang benar (Suparno, 2007: 77). Jadi
metode ini ini lebih untuk mengecek supaya siswa makin yakin dan jelas akan
teorinya. Sedangkan menurut Winataputra (2001: 219) “metode eksperimen
adalah suatu cara penyajian materi pelajaran dimana siswa secara aktif mengalami
dan membuktikan sendiri tentang apa yang dipelajarinya”. Melalui metode ini
siswa secara total dilibatkan dalam melakukan percobaan sendiri, mengikuti
proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik
kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu.
Dari beberapa pendapat di atas, secara umum metode eksperimen dapat
disimpulkan yaitu metode mengajar yang mengajak siswa melakukan percobaan
sebagai pembuktian atau pengecekan bahwa teori yang sudah dibicarakan
memang benar. Biasanya metode eksperimen bukan untuk menemukan teori tetapi
untuk lebih untuk menguji teori atau hukum yang sudah ditemukan oleh para ahli.
Eksperimen bisa dilakukan untuk menemukan teori, konsep atau kaidah baru,
selain itu juga dapat dilakukan untuk menguji teori yang sudah ada. Hal ini
tergantung dari materi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
b. Langkah-langkah Metode Eksperimen
Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan metode
eksperimen yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
1) Menetapkan tujuan eksperimen: Guru menjelaskan tujuan eksperimen yang
akan dibuktikan. Pada tahap ini guru memberikan sebuah pernyataan atau
konsep yang harus dibuktikan kebenarannya.
2) Perancangan eksperimen: Siswa merancang alat dan bahan eksperimen
berdasarkan lembar kerja siswa (LKS) yang telah dibagikan oleh guru.
3) Observasi dan percobaan: siswa melakukan observasi dan percobaan
berdasarkan lembar kerja siswa (LKS) yang telah disediakan oleh guru.
4) Menganalisa data: Siswa menghitung dan menganalisa data hasil percobaan.
5) Menarik kesimpulan: Menyimpulkan hasil percobaan berdasarkan data yang
diperoleh dan dianalisa.
c. Kelebihan Metode Eksperimen
Adapun kelebihan metode eksperimen adalah sebagai berikut: 1) Metode
ini dapat membuat siswa percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan
percobaannya sendiri dari pada hanya menerima dari guru atau dari buku saja. 2)
Dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi tentang sains
dan teknologi. 3) Siswa terhindar dari verbalisme. 4) Memperkaya pengalaman
siswa akan hal-hal yang bersifat objektif dan realistik. 5) Mengembangkan sikap
berpikir ilmiah. 6) Hasil belajar akan terjadi dalam bentuk retensi (tahan lama
diingat) dan terjadi proses internalisasi.
d. Kelemahan Metode Eksperimen
Adapun kelemahan metode eksperimen adalah sebagai berikut: 1)
Pelaksanaan metode eksperimen membutuhkan fasilitas peralatan dan bahan yang
selalu tidak mudah untuk diperoleh. 2) Dalam kehidupan sehari-hari tidak semua
hal dapat dijadikan materi eksperimen. Hal ini disebabkan ada keterbatasan yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
keterbatasan biaya, waktu, fasilitas, moral dan agama. 3) Setiap eksperimen tidak
selalu memberikan hasil yang diharapkan. Karena banyak faktor yang berada
diluar jangkauan untuk dikontrol berpengaruh terhadap unit eksperrimen.
6. Kemampuan Menggunakan Alat Ukur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 1996: 623)
kemampuan berasal dari kata mampu, “kemampuan adalah kesanggupan,
kecakapan, kekuatan melakukan sesuatu”. Kemampuan awal merupakan dasar
untuk memperoleh pengetahuan baru yang lebih tinggi tingkatannya sehingga
dalam melakukan aktivitas, kemampuan awal seseorang mempengaruhi
keberhasilan aktivitas berikutnya. Kemampuan awal yang dimiliki siswa
merupakan salah satu titik tolak bagi perencanaan dan pengelolaan proses belajar
mengajar berikutnya. Seperti pendapat Winkel (1999: 136) yang mengatakan
bahwa “kemampuan awal dapat dirumuskan sebagai keseluruhan kenyataan
kepribadian, sosial, institusional yang kaitannya dalam tujuan instruksional dapat
berpengaruh terhadap kelangsungan proses belajar mengajar dalam kelas.
Kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh siswa sebelum
memasuki materi pelajaran berikutnya yang lebih tinggi”.
Dalam proses pembelajaran, siswa akan lebih mudah memahami atau
mempelajari materi selanjutnya jika proses belajar didasarkan pada materi yang
sudah diketahui sehingga kemampuan awal berpengaruh terhadap proses
selanjutnya dan ikut mewarnai keberhasilan belajar siswa. Kemampuan yang
diperoleh siswa dari pengalaman belajar sebelumnya merupakan titik tolak untuk
membekali siswa pada materi pelajaran berikutnya. W.S. Winkel (1999: 134)
menyatakan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Setiap proses belajar mengajar mempunyai titik tolak sendiri atau berpangkal pada kemampuan siswa tertentu (tingkah laku awal) untuk dikembangkan menjadi kemampuan baru, sesuai dengan tujuan instruksional (tingkah laku final). Oleh karena itu, keadaan siswa pada awal proses belajar mengajar tertentu (tingkah laku awal) mempunyai relevansi terhadap penentuan, perumusan, dan pencapaian tujuan instruksional (tingkah laku final).
Berdasarkan pendapat W.S. Winkel di atas, jika kemampuan awal siswa
tinggi maka dalam proses belajar berikutnya siswa tersebut tidak akan mengalami
kesulitan. Siswa hanya mengembangkan kemampuan awal tersebut menjadi
kemampuan baru sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebaliknya, apabila
kemampuan awal siswa rendah maka siswa tersebut akan mengalami kesulitan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan sehingga perlu waktu yang lebih lama.
Pada proses pembelajaran Fisika, kemampuan awal merupakan
pengetahuan konsep Fisika yang telah diketahui sebelumnya oleh siswa.
Kemampuan awal dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam
menggunakan alat ukur yang akan digunakan untuk menjelaskan konsep Fisika
yang sesuai dengan alat ukur tersebut. Kemampuan awal menggunakan alat ukur
dalam penelitian ini dititikberatkan pada kemampuan menggunakan alat ukur
waktu, massa dan panjang. Kemampuan menggunakan alat ukur ini meliputi
beberapa aspek yaitu: pertama; pengetahuan tentang macam-macam alat ukur
panjang, massa, dan waktu. Kedua; contoh penggunaan alat ukur panjang, massa,
dan waktu. Ketiga; mengetahui skala terkecil dan ketelitian alat ukur. Keempat;
menyebutkan nilai ralat atau ketidakpastian pengukuran data tunggal pada alat
ukur dan menentukan hasil pengukuran serta menentukan hasil perhitungan dari
pengukuran alat ukur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
7. Kemampuan Verbal
a. Pengertian Kemampuan Verbal
Menurut POErwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
(1976:215) menyatakan bahwa "bahasa adalah alat yang digunakan untuk
menyampaikan komunikasi, membentuk serta mengembangkan rasa ingin tahu".
Sedangkan kemampuan adalah "kecakapan, kesanggupan atau kekuatan". Sehingga
kemampuan bahasa adalah kecakapan, kesanggupan atau kekuatan seseorang untuk
menyampaikan komunikasi, membentuk serta mengembangkan rasa ingin tahu
kepada orang lain.
Kemampuan verbal merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam mengungkapkan ide, gagasan, pendapat dan pikiran yang dituangkan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun tulisan. Menurut Winkel (1999:99)
“kemampuan verbal adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menuangkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam bentuk bahasa
yang memadai, sehingga dapat dikomunikasikan kepada orang lain”. Kemampuan
verbal memiliki peran yang sangat penting dalam mengkomunikasikan
pengetahuan, pengalaman, dan kecakapan yang dimiliki kepada orang lain.
Sedangkan Femi Olivia dalam bukunya “Kembangkan Kecerdikan Anak”
mengatakan anak akan banyak akal dalam menghadapi masalah jika ia
mempunyai kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata
atau bahasa. Lebih lanjut Olivia (2009:66) menyampaikan bahwa “cara belajar
terbaik untuk siswa yang mempunyai bakat verbal/ linguistik ini adalah dengan
mengucapkan, mendengar dan melihat kata-kata”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Menurut Gagne yang dikutip Winkel (1999:322) “dalam mengelola
informasi baru dan mengkaitkannya dengan informasi lama selama informasi
tersebut berada dalam ingatan jangka pendek, siswa harus mengadakan organisasi
mental yang diekspresikan dalam bentuk verbal (perumusan bahasa yang
memadai)”. Sedangkan menurut Dewa Ketut Sukardi (1997:115), “kemampuan
verbal merupakan suatu yang penting dalam semua aktivitas akademik dan non
akademis di sekolah menengah karena tes kemampuan verbal dapat dijadikan
prediktor yang terbaik secara keseluruhan terhadap bagaimana baiknya seseorang
melakukan di sekolah, terutama dalam mata pelajaran akademis”. Dari sekian teori
di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan verbal merupakan kecakapan
seseorang yang mensyaratkan keakraban dengan bahasa tertulis maupun lisan
untuk menyimak, menelaah isi dari suatu pernyataan sehingga dapat mengambil
suatu kesimpulan.
b. Tes Kemampuan Verbal
Tes kemampuan verbal merupakan tes yang mengungkapkan
kemampuan untuk memahami konsep kata-kata (verbal). Tes kemampuan verbal
merupakan aspek dari tes IQ (Intelligence Quotient) yang diberikan kepada siswa.
Adapun variasi soal tes verbal berdasarkan Scholastic Aptitude Test (SAT) dalam
Rita L. Atkinson (1987:146) meliputi antonyms (menguji tingkat perbendaharaan
kata berupa lawan kata), analogies (menguji kemampuan untuk melihat
hubungan dalam pasangan kata, untuk memahami ide yang diekspresikan dalam
hubungan tersebut, dan menggali hubungan yang serupa atau paralel), sentence
completion (menguji kemampuan mengenali hubungan di antara bagian suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
kalimat) and reading passages (menguji kemampuan untuk memahami pesan
tertulis). Sedangkan berdasarkan tes Stanford-Binet Intelligence Scale komponen
tes kemampuan verbal meliputi: vocabulary (perbendaharaan kata),
comprehension (pemahaman), absurdities (keganjilan), and verbal relation
(hubungan verbal).
Dalam tes kemampuan verbal ini akan mengungkapkan bagaimana baiknya
seseorang dapat memahami ide-ide yang diekspresikan dengan menggunakan kata-
kata, dan bagaimana seseorang dapat berpikir dan menalar dengan kata-kata. Semakin
tinggi kemampuan verbalnya maka makin tinggi pula prestasi belajar yang dicapai,
sebaliknya semakin rendah kemampuan verbalnya maka makin rendah pula prestasi
belajar yang dicapai. Siswa yang memperoleh skor rata-rata lebih tinggi hendaknya
mempertimbangkan untuk mempersiapkan diri dan mengambil pekerjaan atau tugas-
tugas lainnya. Jenis-jenis tugas atau pekerjaan tersebut akan membantu seseorang
memikirkan yang lainnya dimana penalaran verbal dan pemahaman bersifat esensial.
Beberapa komponen yang mencakup dalam kemampuan verbal seseorang
yang akan di tes antara lain: Pertama; perbendaharaan kata yaitu siswa dapat
menunjukkan suatu kata yang bukan termasuk golongan atau tidak memiliki
persamaan kata dalam kelompok kata. Kedua; persamaan kata yaitu siswa dapat
menentukan persamaan kata dari suatu kata. Ketiga; lawan kata yaitu siswa dapat
mencari lawan kata dari suatu kata. Keempat; analogi verbal yaitu siswa dapat
menentukan hubungan secara analogi verbal, hubungan satu kata dengan yang
la innya membentuk sebuat kalimat logis. Kelima; sifat-sifat yang sama yaitu
siswa dapat menyebutkan benda-benda yang mempunyai sifat yang sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
8. Prestasi Belajar Fisika
a. Pengertian Prestasi Belajar
Berhasil tidaknya seseorang dalam belajar dapat diketahui dengan
dilakukan evaluasi untuk mengetahui prestasi setelah proses belajar mengajar
berlangsung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 700) “prestasi
adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan
seterusnya)”. Sedangkan menurut Muhibbin Syah (2005:141) “pengertian prestasi
belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan
oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan oleh guru. Prestasi dapat dikatakan sebagai hasil yang telah dicapai oleh
siswa dalam belajar sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Sedangkan menurut Winkel (1999: 51) mengartikan bahwa “prestasi
adalah bukti keberhasilan usaha yang dapat dicapai”. Prestasi belajar dapat dilihat
dari perubahan-perubahan dalam pengertian, pengalaman keterampilan, serta nilai
sikap yang bersifat konstan dan berbekas. Perubahan ini dapat berupa sesuatu
yang baru atau penyempurnaan sesuatu hal yang telah dimiliki atau dipelajari
sebelumnya. Sementara itu Supriyono (2010:5) menyebutkan bahwa “hasil
belajar/ prestasi belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-
pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan”. Lebih lanjut Supriyono
menjelaskan bahwa hasil belajar adalah perubahan secara keseluruhan bukan
hanya salah satu aspek potensi kemanusian saja. Artinya, hasil pembelajaran tidak
dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensip.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Menurut taksonomi Bloom dkk. (1956), hasil belajar terdiri dari tiga
domain (Dimyati dan Mudjiono, 2002: 26-32), yaitu:
1) Domain kognitif, berhubungan dengan kemampuan intelektual
Ada enam tingkatan domain kognitif dari yang sederhana sampai yang
lebih kompleks, yaitu: 1) pengetahuan, yaitu kemampuan mengingat materi
pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya; 2) pemahaman, seperti menafsirkan,
menjelaskan, atau meringkas; 3) penerapan, yaitu kemampuan menafsirkan atau
menggunakan materi pelajaran yang telah dipelajari ke dalam situasi baru atau
konkret; 4) analisis, yaitu kemampuan menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke
dalam komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat
dimengerti; 5) sintesis, yaitu kemampuan menghimpun bagian-bagian ke dalam
suatu keseluruhan; 6) evaluasi, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan
untuk membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu.
2) Domain afektif, berhubungan dengan perhatian, sikap, dan nilai
Domain ini mempunyai lima tingkatan dari yang sederhana sampai kepada
yang lebih kompleks, yaitu: 1) penerimaan (receiving), yaitu kepekaan menerima
rangsangan (stimulus) baik berupa situasi maupun gejala; 2) penanggapan
(responding), berkaitan dengan reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus
yang datang; 3) penilaian (valuing), berkaitan dengan nilai dan kepercayaan
terhadap gejala atau stimulus yang datang; 4) organisasi (organization ), yaitu
penerimaan terhadap berbagai nilai yang berbeda berdasarkan suatu sistem nilai
tertentu yang lebih tinggi; 5) karakteristik nilai (characterization by a value
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
complex), merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki
seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
3) Domain psikomotor, meliputi keterampilan motorik dan gerak fisik
Domain psikomotor mempunyai enam tingkatan dari yang sederhana
hingga yang lebih kompleks, maliputi: 1) persepsi, berkaitan dengan penggunaan
indera dalam melakukan kegiatan; 2) kesiapan melakukan pekerjaan, yaitu kesia-
pan melakukan suatu kegiatan, baik secara mental, fisik, maupun emosional; 3)
mekanisme, berkaitan penampilan respons yang sudah dipelajari; 4) respons
terbimbing, yaitu mengikuti atau mengulang perbuatan yang diperintahkan oleh
orang lain; 5) kemahiran, yaitu keterampilan yang sudah berkembang di dalam
diri individu sehingga siswa mampu memodifikasi pola gerakannya; 6) keaslian,
merupakan kemampuan menciptakan pola gerakan baru sesuai dengan situasi
yang dihadapi.
Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah
belajar dan mengikuti proses pembelajaran, yang meliputi aspek kognitif, afektif,
dan psikomotor. Namun dalam penelitian ini prestasi belajar dibatasi pada aspek
kognitif dan afektif saja.
a. Fungsi Prestasi Belajar
Prestasi belajar dalam kehidupan manusia pada tingkat dan jenis
tertentu dapat memberi kepuasan, khususnya mereka yang berada dibangku
sekolah yaitu siswa-siswa. Prestasi belajar sangat penting artinya bagi kita pada
dunia pendidikan karena prestasi belajar mempunyai beberapa fungsi utama.
Menurut Zainal Arifin (1989:136), “prestasi belajar mempunyai beberapa fungsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
utama antara lain: 1) prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas
pengetahuan yang telah dikuasai siswa; 2) prestasi belajar sebagai lambang
pemuasan hasrat ingin tahu siswa; 3) prestasi belajar sebagai bahan informasi
dalam inovasi pendidikan; 4) prestasi belajar sebagai indikator produktivitas suatu
institusi pendidikan. 5) prestasi belajar dapat dijadikan indikator daya serap siswa
atau kecerdasan siswa”.
Jadi, prestasi belajar tidak hanya berfungsi sebagai indikator
keberhasilan dalam belajar bidang tertentu saja tetapi juga berfungsi sebagai
indikator kualitas sebuah institusi pendidikan. Berdasarkan fungsi belajar di atas
maka betapa pentingnya mengetahui prestasi belajar siswa, baik kognitif, afektif,
maupun psikomotor karena dapat menjadi umpan balik bagi guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Dengan demikian, guru dapat
membuat evaluasi pembelajaran demi keberhasilan pembelajaran tersebut.
9. Materi Fisika: Getaran dan Gelombang
a. Getaran
1) Pengertian Getaran
Jika kamu pernah berada di stasiun kereta api, ketika kereta api datang
atau lewat, kamu akan merasakan tanah atau lantai yang kamu injak terasa
bergetar. Getaran juga dapat kita rasakan ketika kita memegang stang sepeda
motor, kemudian ketika mesin sepeda motor dihidupkan, maka akan kita rasakan
adanya getaran. Getaran juga terjadi pada kaca-kaca jendela rumah ketika terjadi
petir yang kuat. Bahkan getaran sangat kuat yang terjadi dari ledakan sebuah bom
mampu merobohkan gedung-gedung. Selain itu, contoh lain peristiwa getaran
dalam kehidupan sehari-hari yang sering kita lihat adalah diantaranya getaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
pada bandul jam dinding, beduk yang dipukul, getaran tanah akibat gempa bumi,
membran tipis yang ditiup, serta pegas/per yang diberi beban dan digantung.
Dari beberapa contoh peristiwa getaran di atas, maka getaran
didefinisikan sebagai gerak bolak-balik melalui titik setimbang
(Holiday,1985:442). Satu getaran didefinisikan sebagai satu kali bergetar penuh,
yaitu dari titik awal ke titik akhir hingga kembali lagi ke titik awal. Getaran
menghasilkan sebuah energi dan momentum. Jika energi berpindah dari suatu
sumber getar ke ruang di sekitarnya, maka akan dihasilkan gelombang. Oleh
karena itu pembahasan getaran erat kaitannya dengan gelombang. Menurut
Ganijanti Aby Sarojo (2002), setiap gerak berulang (bolak-balik) melalui titik
setimbangnya yang tetap dalam interval waktu yang tetap dinamakan gerak
periodik. Jika gerak berulang ini melalui lintasan yang sama, kecil dan lurus
disebut getaran (Sarojo, 2002:196).
2) Amplitudo Getaran
Amplitudo adalah simpangan terjauh dari suatu getaran. Besar amplitudo
mempengaruhi kuat getaran. Semakin besar amplitudo akan semakin kuat getaran
yang dihasilkan. Pada gambar 2.1 ditunjukan contoh getaran bandul sederhana.
Bandul dikatakan bergetar satu kali getaran adalah ketika suatu benda atau bandul
bergerak dari titik A-B-C-B-A atau dari titik B-C-B-A-B. Bandul tidak pernah
melewati lebih dari titik A atau titik C karena titik tersebut merupakan simpangan
terjauh. Simpangan terjauh yang ditempuh oleh suatu benda dalam bergerak bola-
balik disebut amplitudo (Bueche, 1989:98). Di titik A dan C benda akan berhenti
sesaat sebelum kembali lagi bergerak. Contoh simpangan terjauh atau amplitudo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
adalah jarak B-A atau jarak B-C. Sedangkan jarak tertentu yang ditempuh oleh
suatu benda ketika bergerak bolak-balik yang melalui titik setimbang disebut
simpangan (Bueche, 1989:98).
Simpangan pada contoh gambar di atas selalu berubah sejalan dengan
perubahan kedudukan bandul yang setiap saat berubah-ubah. Pada saat bandul
berada di titik A atau C, simpangannya merupakan simpangan maksimum.
Sedangkan pada saat bandul berada pada titik kesetimbangan yaitu titik B,
simpangannya minimum yaitu sama dengan nol. Amplitudo getaran bandul
semakin lama semakin mengecil, hal ini dikarenakan bandul dapat bergerak dari
titik A ke titik C melewati titik B disebabkan bandul mempunyai masa dan ditarik
oleh gaya grafivitasi bumi. Gaya gravitasi ini bekerja pada bandul di setiap posisi
berarah ke bawah. Dengan demikian, dalam pergerakannya bandul akan
mengalami hambatan dari gaya gravitasi bumi. Hambatan ini akhirnya akan
mampu menghentikan getaran bandul sehingga bandul berada dalam titik
keseimbangannya yaitu di titik B. Getaran merupakan jenis gerak yang mudah
kamu jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik gerak alamiah maupun buatan
Gambar 2.1 Bandul sederhana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
manusia. Dalam konsep getaran dikenal beberapa ciri-ciri atau besaran-besaran
penting dalam getaran. Adapun ciri-ciri getaran yaitu ditandai adanya amplitudo,
simpangan, frekuensi, dan periode.
3) Periode dan Frekuensi Getaran
Berdasarkan gambar 2.1 di atas, ketika bandul disimpangkan kemudian
dilepaskan maka bandul tersebut akan bergerak bolak-balik melalui titik
setimbangnya. Hal ini berarti bahwa bandul akan melakukan sejumlah getaran
setiap sekonnya. Jadi, frekuensi adalah banyaknya getaran yang dilakukan tiap
satu satuan waktu (Bueche, 1989:98). Frekuansi diberi lambang (f) dengan satuan
dalam SI adalah Hertz. Hertz diambil nama seorang ilmuan Fisika Heinrich Hertz
(1857-1894). Karena jasa-jasanya, namanya diabadikan dalam satuan frekuensi
yaitu Hertz. Besar frekuensi getar dapat ditentukan dengan rumus:
tn
f ..................................... (2.1)
Keterangan: f = frekuensi (1 getaran per sekon atau Hz), n= banyaknya getaran,
t = waktu melakukan getaran (s)
Pada gambar 2 .1 bandul akan melakukan sejumlah getaran setiap
sekonnya. Jika kita membagi waktu getaran dengan jumlah getaran ternyata
diperoleh hasil yang tetap, dan waktu tersebut disebut dengan periode. Sejumlah
getaran yang dilakukan setiap sekon disebut frekuensi getaran. Untuk melakukan
satu kali getaran, bandul membutuhkan waktu tertentu. Waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan satu kali getaran disebut periode (Bueche, 1989:98). Periode
getaran dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
nt
T ..................................... (2.2)
Hubungan frekuensi dan periode dapat dirumuskan sebagai berikut.
fT
1 atau
Tf
1 ..................................... (2.3)
b. Getaran Harmonik Sederhana
Getaran harmonik sederhana adalah getaran yang dipengaruhi gaya yang
arahnya selalu menuju ke satu titik dan besarnya sebanding dengan
simpangannya. Salah satu contoh getaran harmonik sederhana adalah ayunan
bandul sederhana dan getaran pada pegas.
1) Ayunan Bandul Sederhana
Getaran pada ayunan terjadi karena adanya gaya pemulih (F), yaitu gaya
yang menyebabkan benda kembali ke keadaan semula. Sebuah bandul sederhana
terdiri atas sebuah beban bermassa m yang digantung di ujung tali ringan
(massanya dapat diabaikan) yang panjangnya l. Jika beban ditarik ke satu sisi dan
dilepaskan, maka beban berayun melalui titik keseimbangan menuju ke sisi yang
la in. Jika amplitudo ayunan kecil, maka bandul melakukan getaran harmonik.
Periode dan frekuensi getaran pada bandul sederhana sama seperti pada pegas.
Artinya, periode dan frekuensinya dapat dihitung dengan menyamakan gaya
pemulih dan gaya sentripetal.
Gambar 2.2 Gaya pada ayunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Persamaan gaya pemulih pada bandul sederhana adalah F = -mg sin .
Untuk sudut kecil ( dalam satuan radian), maka sin = . Oleh karena itu
persamaannya dapat ditulis F = -mg ( ). Karena persamaan gaya sentripetal
adalah = 4 . , maka Anda peroleh persamaan sebagai berikut. 4 . = -mg ( ) 4 . = ( )
2 = 14 2. ( )
= 4 2
= 12 ..................................... (2.4)
Karena T = 1/f , maka:
= 2 ..................................... (2.5)
Periode dan frekuensi bandul sederhana tidak bergantung pada massa dan
simpangan bandul, tetapi hanya bergantung pada panjang tali dan percepatan
gravitasi setempat.
2) Getaran Pada Pegas
Gerak pegas menyebabkan benda bergerak bolak-balik melalui titik
setimbang, yang disebut sebagai gerak harmonik. Gerak harmonik mengarah pada
titik kesetimbangan. Pegas mempunyai panjang alami, dimana pegas tidak
memberikan gaya pada benda. Posisi benda pada titik tersebut disebut setimbang.
Jika pegas direntangkan ke kanan, pegas akan memberikan gaya pada benda yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
bekerja dalam arah mengembalikan massa ke posisi setimbang. Gaya ini disebut
gaya pemulih, yang besarnya berbanding lurus dengan simpangannya.
Gambar 2.3 Analisis gerak harmonik pada pegas
Ketika pegas yang awalnya ditarik sejauh x, seperti pada Gambar 2.3
kemudian dilepaskan. Berdasarkan Hukum Hooke, pegas memberikan gaya pada
massa yang menariknya ke posisi setimbang. Karena massa dipercepat oleh gaya
pemulih, maka massa akan melewati posisi setimbang dengan kecepatan cukup
tinggi. Pada saat melewati titik kesetimbangan, gaya yang bekerja pada massa
sama dengan nol, karena x = 0 , sehingga F = 0, tetapi kecepatan benda terus
bergerak ke kiri, gaya pemulih berubah arah ke kanan dan memperlambat laju
benda tersebut dan menjadi nol ketika melewati titik setimbang dan berhenti
sesaat di x = A . Selanjutnya, benda bergerak ke kiri dan seterusnya bergerak
bolak-balik melalui titik setimbang secara simetris antara x = A dan x = -A.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Gerak harmonik pegas pada dasarnya merupakan proyeksi gerak
melingkar pada salah satu sumbu utamanya, sehingga periode dan frekuensi dapat
ditentukan dengan menyamakan gaya pemulih dengan gaya sentripetal. = . ..................................... (2.3) . = . ..................................... (2.3) = . ..................................... (2.6)