Page 1
Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan
Kolaboratif Oleh
Sri Hidayat1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel
Email : [email protected]
Hp : 085255929708
Abstrak :
Perencanaan ruang saat ini belum sepenuhnya melibatkan publik. Sementara teori perencanaan
sebagai suatu perspektif, ternyata telah mengantarkan perlunya pelibatan publik dalam perencananaan
melalui berbagai bentuk konsep baik teoritis maupun praktek. Perencanaan ruang yang partisipatif dan
kolaboratif diharapkan dapat membuka kesempatan pelibatan publik pada proporsi yang lebih besar. Pada
prakteknya perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif memerlukan ; (1) tenaga ahli yang
memiliki kompentensi perencanaan partisipatif, (2) partisipatif aktif publik atau masyarakat, (3) keseteraan
kekuasaan, (4) kepemimpinan yang memotivasi, (5) kesamaan pandangan makna dan implementasi
partisipatif serta kolaborasi. Perencanaan ruang secara partisipatif dan kolaboratif merupakan hasil
determinasi prinsip-prinsip moral. Hadirnya prinsip-prinsip moral pada proses perencanaan ruang
merupakan implementasi dari etika spasial yang membuka nilai-nilai baru pada pengambilan keputusan
yang lebih baik.
Abstrac :
Spasial planning is not currently fully public. While the theory of planning as a perspective, it has led to
the need for public engagement in the planning through various forms of both theoretical concepts and
practices. Participatory and collaborative spatial planning is expected to open up opportunities for public
engagement in larger proportions. In practice, participatory and collaborative spatial planning requires;
(1) experts who have participatory planning competencies, (2) participatory active public or community,
(3) power equality, (4) motivational leadership, (5) similar meaning of views and participatory
implementation and collaboration. Participatory and collaborative spatial planning is the result of
determining moral principles. The presence of moral principles in the space planning process is an
implementation of spatial ethics that opens new values to better decision making.
PENDAHULUAN
Perencanaan pembangunan saat ini belum
sepenuhnya melibatkan publik, dan masih
bersifat top down planning. Paradigma
community driven yaitu penciptaan iklim
untuk memberi penguatan peran masyarakat
untuk ikut dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan, ikut menggerakkan
atau mensosialisasikan dan melakukan kontrol
publik, belum signifikan. Tanpa melibatkan
masyarakat, pemerintah tidak akan dapat
mencapai hasil secara optimal. Pembangunan
hanya akan melahirkan produk-produk baru
tak sesuai kebutuhan masyaratnya (Sofyan,
2007). Dimana proses perencanaan masih
terkesan berjalan teknokratis tanpa melibatkan
masyarakat di dalamnya. Termasuk juga
perencanaan dalam pemanfaatan ruang.
Penataan ruang khususnya kota-kota di
Indonesia masih dilihat hanya sebatas untuk
memenuhi pertumbuhan pembangunan dan
cenderung berorientasi pada upaya untuk
mencapai target pertumbuhan ekonomi,
Page 2
ataupun untuk memenuhi kebutuhan
pengembangan suatu kawasan tertentu yang
tak bisa dihindari. Orientasi penataan kota
yang demikian itu kurang mempertimbangkan
tujuan penataan dan penggunaan ruang yang
sesuai dengan peruntukannya
(Lisdiyono,2008).
Hal tersebut telah berakibat munculnya
dualisme tradisi membangun atau pola
memanfaatkan ruang di tanah air. Di satu sisi
pemerintah terus berupaya untuk
mengendalikan pembangunan kota secara
lebih terencana namun disisi lain tidak dapat
dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat yang
begitu mendesak terutama terhadap rumah
tinggal telah ”memaksa” mereka menempuh
cara-cara ”informal” untuk memenuhinya.
Data empirik menunjukkan bahwa rumah
tinggal yang dibangun secara informal ini
mencapai hampir 90% dari total jumlah rumah
yang ada di Indonesia (Panudju, 1999). Bila
dilihat secara positif, sesungguhnya kenyataan
ini merupakan bentuk peran serta masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan huniannya secara
mandiri. Namun demikian fenomena ini pada
banyak kasus sering tidak selaras dengan
kaidah-kaidah tata ruang. Fenomena ini tentu
saja menjadi persoalan yang dilematis di tanah
air. Kota berkembang tanpa arah (urban
sprawl) dan segala aktifitas dan pemanfaatan
sumber daya menjadi tidak efisien dan bahkan
kontraproduktif (Asnawi, 2011).
Idealnya, untuk menjaga keberlanjutan
ruang untuk hidup (life space) bagi
masyarakat suatu kota maka pola pemanfaatan
ruang harus direncanakan dan dikelola secara
sistemik, menyeluruh, hierarkis, dan organis
(Ernawi, 2010). Namun demikian bila
pemikiran normatif ini diterapkan maka
pendekatan perencanaan yang bersifat terpusat
(top down) akan lebih dikedepankan. Padahal
telah banyak akademisi yang mengkritik
pemikiran dan pendekatan perencanaan dari
atas (top down) ini. Mereka menilai produk-
produk perencanaan yang dihasilkan dengan
pendekatan ini kurang relevan dengan kondisi
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Yang
tidak kalah pentingnya adalah para perencana
sering kali kurang memperhatikan suatu
kenyataan bahwa rencana yang disusun pada
umumnya tidak berada di ruang yang kosong
akan tetapi sebagian besar sudah terbangun
dan memiliki karakteristik dan identitas lokal
yang unik (Soerjodibroto, 2007). Sebagai
antitesis dari pendekatan dari atas tersebut
mereka menyarankan bahwa kegiatan
perencanaan di era masyarakat yang semakin
tersegregasi seperti saat ini perlu ditempuh
pendekatan-pendekatan yang lebih dialogis,
kolaboratif, partisipatif dan inklusif (Abbott,
1996; Day & Parnell, 2003; Healey, 2006;
Sirianni, 2007).
Menyadari akan kelemahan kebijakan
penataan ruang selama ini yang cenderung
mengalami pergeseran yang merugikan
masyarakat dan kerusakan lingkungan, maka
perlu dikembangkan model pembuatan
kebijakan penataan ruang yang bersifat
“relasional-kolektif” dan “partisipatoris
responsif”. Relasional kolektif artinya dalam
proses pembuatan kebijakan dimaknakan
sebagai relasi antar manusia, yang berarti
hubungan antara orang-orang atau pihak-
pihak yang berkepentingan dalam pembuatan
kebijakan ada kompromi dalam keragaman
yang akan tercapai keadilan dan kemanfaatan
serta akan meminimalis terjadinya konflik.
Prinsip kesamaan berdasarkan kesamaan
martabat pribadi setiap orang yang terlibat
dalam proses legislasi. Prinsip“
ketidaksamaan sosial dan ekonomis akan
mengakibatkan ketimpangan dalam
pengambilan kebijakan. Prinsip partisipatoris
respons diartikan sebagai keterlibatan
masyarakat dalam suatu proses pembangunan
yang didorong oleh kesadarannya tentang arti
Page 3
keterlibatannya, namun apabila yang muncul
hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong
oleh faktor penentu dan kesadaran maka hal
tersebut tidak termasuk dalam kategori
partisipasi melainkan adalah memobilisasi.
Sedangkan responsif dimaknakan sebagai
prinsip yang memungkinkan sebuah tatatan
hukum dapat bertahan dan mampu menangkap
tuntutan dan keinginan masyarakat dalam
lingkup sebuah kehidupan sosial tertentu
(Lisdiyono,2008).
Pada prakteknya perencanaan yang
melibatkan publik baik melalui tindakan
partisipatif dan kolaboratif tidaklah mudah.
Komunitas masyarakat dengan kapasitas yang
rendah akan menjadi sulit diberdayakan atau
diajak berkomunikasi, sharing atau bertukar
pikiran untuk merencanaan penggunaan
ruang. Sehingga pada prakteknya perencanaan
cenderung disusun tidak prosedural dan tanpa
pelibatan publik dalam pengambilan
keputusan serta cenderung sifatnya
teknokratik top down. Kalaupun ada pelibatan
publik, hanyalah sebuah stempel partisipatif
semu. Publik hanya dilibatkan untuk
mendengar sosialisasi sebuah produk hasil
perencanaan spasial. Keputusan akhir dibuat
dibelakang meja oleh para elit yang umumnya
cenderung menciptakan kolaborasi
kepentingan antara pemerintah dan corporate
atau market.
Untuk itulah artikel akan ini menguraikan
perubahan paradigma perencanaan dan nilai-
nilai baru yang dapat dicapai dalam proses
perencanaan ruang dengan melibatkan publik
dalam pengambilan keputusan yang lebih baik
melalui pendekatan partisipatif dan
kolaboratif dengan lingkup permasalahannya
serta urgensitasnya.
PEMBAHASAN
1. Proses Perencanaan
Perencanaan pada hakekatnya adalah
suatu proses terus menerus (continuous) dan
berulang (cyclical) di dalam mengambil suatu
keputusan yang terbaik. Dalam rangka
mencapai keputusan yang ”terbaik” maka dia
harus rasional yang tercermin dari rangkaian
aktifitas-aktifitas yang dikelompokkan ke
dalam tahapan-tahapan yang saling terkait,
sistematis dan teratur (Conyers & Hills, 1984).
Keputusan yang rasional tersebut baik ditinjau
dari sisi ”proses” ataupun ”hasil” diartikan
sebagai suatu upaya untuk mendapatkan
sesuatu yang maksimum dengan usaha (in put)
tertentu. Ditinjau dari sisi hasil rasionalitas
diartikan dengan masukan (in put) usaha yang
seminimal mungkin untuk mendapatkan
keluaran (out put) semaksimal mungkin.
Adapun dari sisi proses pendekatan
rasionalitas di dalam pembuatan keputusan
dijelaskan oleh Carley dalam Conyer dan Hills
(1984) melalui serangkaian urutan tahapan
kegiatan sebagai berikut:
1. Menemukenali dan merumuskan masalah
(problem identification and definition)
2. Mengelompokkan dan mengorganisasikan
tujuan-tujuan (goals), nilai-nilai (values),
dan sasaran-sasaran (objectives) yang
terkait dengan masalah
3. Menemukenali berbagai alternatif tindakan
(alternative courses of action) untuk
menjawab masalah atau mewujudkan
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
4. Memperkirakan berbagai dampak sebagai
akibat (consequencies) dari masing-masing
alternative tindakan dan kemungkinan dari
hal itu akan terjadi
5. Membandingkan dari akibat-akibat yang
akan terjadi dari pilihan-pilihan tindakatan
dalam kaitan dengan tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan
6. Memilih suatu tindakan yang berakibat
paling dekat dengan tujuan dan sasaran atau
yang paling dapat menjawab masalah.
Page 4
Tentu saja pilihan tersebut juga yang paling
menguntungkan: yang bisa dilihat dari sisi
hasil yang lebih baik dari keluaran biaya
yang sama atau dari sisi hasil yang sama
dari pengeluaran biaya yang paling ringan
(kecil).
Dalam kaitan dengan perencanaan ruang
Burkholder, Chupp, & Star (2003)
menekankan sisi lain dari proses rasional di
atas bahwa perencanaan ruang merupakan
sebuah proses pembelajaran sosial (social
learning process) dimana warga (penduduk)
dan pemangku kepentingan lainnya belajar
bersama tentang ruang mereka, merumuskan
visi bersama, dan mengembangkan strategi-
strategi untuk mewujudkan hal itu dan
menjaga keberlanjutannya dalam waktu yang
lama atau jangka panjang (long term strategic
planning). Adapun secara fisik, produk dari
kegiatan perencanaan tersebut adalah pada
akhirnya menghasilkan sebuah Dokumen
Rencana (plan) yang selanjutnya menjadi
acuan bersama dalam mendorong dan
mengarahkan investasi sosial dan ekonomi di
masa yang akan datang. Tentu saja secara
umum tujuan yang diharapkan adalah menuju
pembangunan ruang yang lebih sehat, asri,
serasi, produktif, berkelanjutan dan
sebagainya.
Perkembangan perencanaan ini
menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi
semakin penting peranannya dalam
perencanaan, dimana pada era dibawah
paradigma modernisasi, aspek sosial
dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang
meliputi aspek sosial, ekonomi dan fisik. Bila
pada era ini kehidupan sosial dilihat dengan
prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang
dapat berlaku disemua lokasi (bersumber
rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
yang valid dalam perencanaan), maka pada era
post-modern, kehidupan kemasyarakatan
tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu
yang homogen, dimana kehidupan masyarakat
terikat pada konteks dimana mereka
melakukan interaksi sosial. Karenanya
perencana harus memahami bagaimana
interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek
tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal
ini perencanaan akan sulit untuk berhasil.
Karena kehidupan kemasyarakatan tidak dapat
dipandang homogen, maka pengertian publik
pun tidak dapat dianggap tunggal yang
diwakili oleh perencana (yang umumnya
bekerja pada pemerintah), yang dapat
menentukan apa yang terbaik bagi
masyarakat. Makna publik tentunya harus
dipahami sebagai sesuatu yang plural,
beraneka ragam, apa yang disebutkan oleh
Sandercock (1998) sebagai multiple publik.
Menyadari keberagaman masyarakat, maka
pengetahuan bagaimana public yang beragam
tersebut berinteraksi (interaksi sosial),
memberi ruang bagi diskusi tentang arti
penting modal sosial (social capital, sebagai
produk dari interaksi sosial) dalam
perencanaan.
2. Perkembangan Prespektif
Perencanaan
Berdasarkan sejarah, pengenalan teori
perencanaan berkembang pada saat terjadinya
perencanaan kota modern dalam konsep:
Garden City, City Beautiful, dan Public Health
Reforms (Allmendinger, 2001). Teori
perencanaan itu sendiri merupakan subjek
studi yang sulit difahami, Karena di dalamnya
akan menggambarkan berbagai disiplin ilmu
yang semakin dibahas akan memberi peluang
pengembangan yang semakin terbuka lebar.
Ada pertanyaan utama dalam teori
perencanaan yaitu: aturan apa yang dapat
diterapkan dalam perencanaan untuk
mengembangkan kota atau wilayah di antara
hambatan politik, sosial, dan ekonomi?
Page 5
Jawabannya bukan pada membangun sebuah
model perencanaan, tapi lebih pada bagaimana
praktek perencanaan yang berbasis pada
karakteristik masyarakat di mana perencanaan
itu akan diterima dan dilaksanakan (Saraswati,
2006).
Selama dekade 1970 hingga 1980an,
muncul keprihatinan terhadap keterbatasan
dan validitas informasi, data serta metode
kuantitaf yang sering dihubungkan dengan
positivisme sebagai paradigma yang berlaku
saat itu. Paradigma positivisme yang
menurunkan pemahaman kebenaran ilmiah
melalui proses penelitian kuantitatif memang
telah berlaku sejak abad ke-19, sehingga
metode ilmiah menjadi berkonotasi positivis.
Positivisme mengangap adanya dunia
obyektif, yang kurang lebih dapat segera
digambarkan dan diukur oleh metode ilmiah,
serta berupaya untuk memprediksikan dan
menjelaskan hubungan sebab-akibat di antara
variable-variable utamanya secara kuantitatif.
Metode positivistik ini dikritik sebagai
menghilangkan konteks dari pemaknaan
dalam proses pengembangan ukuran kuantitif
terhadap fenomena faktual yang diteliti
(Lincoln dan Guba, 2000).
Oleh sebab itu, muncul pemikiran-
pemikiran baru dalam teori perencanaan yang
mengarah pada komunikatif rasionalitas yang
dituangkan dalam berbagai konsep yang salah
satunya digagas oleh Habermas dengan
Communicative Rationality, Forester melalui
Communicative Planning Theory. Healey
dengan Collaborative Planning, dan
Allmendinger dengan Postmodern Planning
nya (Almendinger, 2002).
Jika dilakukan periodesasi mengenai
perjalanan teori perencanaan, maka ada dua
alur besar teori perencnaan, yaitu instrumental
rasionalitas dan komunikatif rasionalitas.
Instrumental rasionalitas merupakan konsep-
konsep pemikiran pada era Pra Modern
Planning dan Modern Planning Theory,
sedangkan komunikasi rasionalitas berada
pada era Post Modern Planning Theory.
Dalam typologinya, teori perencanaan ini
berada pada filisofi Positivist dan
Postpositivist (Almendinger, 2002).
Konsep perencanaan komunikatif dan
kolaboratif yang dituangkan dalam tipologi
postmoderen tersebut, telah banyak
membicarakan tentang bagaiman melakukan
kolaborasi antara “knowledge of science”
dengan “practical reasoning” dalam suatu
perencanaan yang lebih berpihak pada
kepentingan masyarakat banyak, tidak hanya
berpihak pada kelompok yang mampu
melakukan ‘lobby’ dengan pihak pengambil
keputusan saja. Perencanaan komunikatif dan
perencanaan kolaboratif merupakan kritik
terhadap Pemerintah dan Group Pelobi Bisnis
dalam kapasitas dan kompetensi pemerintah
lokal, melalui keadilan alokasi ruang,
pelibatan masyarakat dalam proses
perencanaan, outcome dalam perbaikan
lingkungan hidup, keberpihakan, dan
perhatian terhadap perilaku masyarakat dalam
suatu lingkungan perumahan.
Konsep komunikatif, khususnya
perencanaan kolaboratif yang digagas oleh
Haley (1987) berawal dari pengalamannya
dalam pengendalian pembangunan ruang kota
dalam bidang property dengan konsern utama
pada land-use dan land development.
3. Perencanaan Partisipatif
Sebagai suatu proses pembelajaran
bersama (social learning process) maka dia
harus dilakukan secara partisipatif. Pengertian
partisipasi sendiri memiliki banyak perspektif.
Partisipasi masyarakat dapat ditinjau dari dua
sudut pandang (Abers, 2000) pemberdayaan
masyarakat (people empowerment) dan dari
sudut pandang instrumen (instrumental
participation). Dari sudut pandang
Page 6
pemberdayaan masyarakat partisipasi dilihat
sebagai proses politik yang pada akhirnya
dapat membuka akses masyarakat dalam
pengambilan keputusan atau memperkuat
posisi masyarakat agar dapat memiliki
kekuatan (borgeinig power) yang seimbang
dengan pemangku kepentingan yang lain
untuk ikut serta di dalam proses pengambilan
keputusan. Sedangkan sudut pandang
instrument pemahaman partisipasi diletakkan
pada pelibatan masyarakat sebagai pengguna
akhir (end user) untuk ikut berkontribusi
dalam proses pembangunan artinya
masyarakat pengguna akhir yang
berkepentingan akan bahu membahu menggali
dan memobilisasi segala sumber daya yang
dimilikinya untuk membantu mewujudkan
tujuan pembangunan atau memecahkan
permasalahan yang sedang dihadapinya.
Dari uraian dua pandangan di atas Manaf
(2007) berpendapat bahwa salah satu ciri atau
prinsip pokok dari pendekatan partisipatif
adalah pemberian wewenang yang lebih besar
kepada masyarakat sebagai pengguna akhir
(end user) untuk mengelola sumber daya
(resources) pembangunan yang tersedia
secara lebih mandiri (autonomous). Adapun
untuk mengukur partisipasi atau pemberian
wewenang kepada di dalam mengelola
sumberdaya pembangunan tersebut banyak
peneliti hingga kini masih menggunakan
tangga partisipasi yang diusulkan Arnstein
(1969) sebagai kerangka untuk melakukan
analisis. Bagi Arnstein partisipasi berkaitan
dengan konsep relasi kekuasaan antara satu
aktor dengan aktor yang lain dalam proses
pengambilan keputusan.
Dalam proses partisipasi tidak cukup
hanya menjelaskan mengapa keputusan itu
dibuat (tanpa melibatkan mereka dalam
pembuatan keputusan itu sendiri) apalagi
hanya menginformasikan keputusan tersebut
saja kepada penerima manfaat. Kekuasan di
dalam pengambilan keputusan di antara aktor–
aktor ini harus didasari atas adanya
persetujuan atau kesepakan dari semua aktor
tersebut. Sehingga secara umum dia membagi
tiga tingkatan partisipasi: pertama, tingkatan
tertinggi dia sebut dengan tingkatan
kekuasaan penuh di tangan rakyat (degree of
citizen power); kedua tingkatan partisipasi
simbolik (degree of tokenism), dan ketiga
tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada
partisipasi (degree of manipulation or non-
participation).
Pada tingkatan kekuasaan penuh di
tangan rakyat (degree of citizen power)
Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori
tingkatan: Pertama, masyarakat yang selama
ini terabaikan (the have-not) mendapatkan
kedaulatan penuh dalam penyusunan
perencanaan, mengabil keputusan atau
membuat kebijakan dan mengelola program
(citizen control). Kedua, masyarakat memiliki
otoritas yang lebih besar karena mereka
mayoritas dalam sebuah komite pengambilan
keputusan utama (delegated power). Mereka
memiliki delegasi (suara) mayoritas dan
mampu menjamin akuntabilitas pelaksanaan
keputusan. Ketiga kekuasaan terdistribusi
sebagai hasil negosiasi antara masyarakat
dengan pemegang kekuasaan (partnership).
Tanggungjawab perencanaan dan pembuatan
keputusan dibagi secara sederajat berdasarkan
hasil negosiasi di dalam komite bersama
(community stakeholder council).
Sementara pada kategori kedua tingkatan
partisipasi simbolik (degree of tokenism)
Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori
tingkatan: pertama tingkatan kooptasi dimana
posisi masyarakat lebih lemah di dalam
pengambilan keputusan. Hanya orang-orang
yang terpandang (tokoh masyarakat) yang bisa
diajak bicara dilibatkan di dalam komite.
Disini masyarakat seolah-oleh dilibatkan
dalam perencanaan akan tetapi mereka pada
Page 7
hakekatknya tidak punya hak suara dalam
mengambil keputusan. Sifatnya sebagai
“Stempel Karet” saja (placation). Kedua,
masyarakat mulai tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan akan tetapi mereka
hanya diposisikan sebagai teman untuk diajak
bicara atau memberikan masukan. Biasaya
masyarakat dilibatkan secara fisik seperti di
dalam mengumpulkan data dan iformasi
pembangunan, mengawasi pelaksanaan dari
segala kegiatan yang telah ditetapkan oleh
pihak luar. Partisipasi masyarakat hanya
sebatas mengahdiri pertemuan-pertemuan
dengar pendapat akan tetapi pertemuan ini
biasanya hanya bersifat seremonial saja
(consultation). Ketiga tingkat partisipasi yang
paling rendah. Masyarakat tidak lagi diajak
berdialog dua arah akan tetapi mereka hanya
diberikan berbagai sosialisasi dan atau
informasi dari satu arah saja (informing).
Selanjutnya pada kategori ketiga
tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada
partisipasi (degree of non-participation).
Tujuan pendekatan ini adalah untuk
mengobati (therapy) karena masyarakat
dianggap lemah, tidak berdaya, sebagai
sumber masalah. Pada tingkatan ini
masyarakat dianggap objek bukan subjek
pembangunan. Dan subkategori terakhir
adalah tidak hanya tergolong non partisipasi
bahkan bisa disebut penyalahgunaan makna
partisipasi. Pada tingkatan ini semua usulan
perencanaan dibuat dan ditentukan dari atas
(top down). Dalam hal ini penentu kebijakan
melakukan berbagai bentuk kegiatan dengan
tujuan seolah-olah keputusan diambil sudah
melalui proses pelibatan masyarakat secara
demokratis sehingga keputusan tersebut sah
dan legitimate (manipulation).
4. Perencanaan Kolaboratif
Beberapa pendekatan perencanaan, yaitu
perencanaan transaktif (Friedman, 1973),
perencanaan kolaboratif (Healey, 1996),
perencanaan komunikatif (Sager, 1994; Innes,
1997), perencanaan deliberatif partisipatif
(Forester, 2000), dan perencanaan konsensus
(Woltjer,2000), memiliki karakteristik yang
relatif sama dalam hal menekankan
pentingnya kerjasama dengan didasari
komunikasi antarpemangku kepentingan.
Proses kerjasama tersebut akan berlangsung
dengan baik jika terdapat komunikasi dalam
bentuk dialog didalamnya. Dalam
perencanaan transaktif, dialog yang terjadi
adalah life dialogue, yang dipertegas oleh
Innes dan Booher (1997) sebagai authentic
dialogue. Dalam hal ini, setiap aktor yang
duduk bersama saling menghargai, empati,
terjadi hubungan timbal balik dan saling
menguntungkan. Dengan demikian, dialog
hanya akan terjadi jika para pemangku
kepentingan berpartisipasi dan duduk bersama
dalam memecahkan permasalahan. Partisipasi
sendiri hanya akan terjadi jika mereka
memiliki kepentingan dan memiliki
kesempatan untuk menyuarakan
kepentingannya, dan partisipasi tersebut
hanya akan terjadi jika ada saling
ketergantungan dan kepercayaan. Kerjasama
melalui dialog dan partisipasi diarahkan pada
pembentukan konsensus (Woltjer, 2000;
Innes, 1996). Proses yang memuat aktivitas
dialog, partisipasi, dan berorientasi kepada
keputusan bersama, terangkum dalam suatu
proses kolaboratif. Dengan demikian, dalam
suatu pendekatan perencanaan berbasis
komunikasi, terjadi proses kolaboratif
(Gambar Perencanaan kolaboratif (Healey,
1997; Innes, 1998).
Proses kolaboratif merupakan suatu
proses adaptive system dimana pendapat-
pendapat yang berbeda dari berbagai pihak
yang akhirnya menghasilkan suatu konsensus.
Anshell dan Gash (2008) berupaya
memetakan suatu model yang
Page 8
menggambarkan bagaimana proses
kolaboratif terjadi. Proses kolaboratif menurut
model ini terdiri dari berbagai tahapan yaitu
dimulai dari adanya dialog secara tatap muka
(face-to-face dialogue), membangun
kepercayaan (trust building), membangun
komitmen terhadap proses (commitment to the
process), berbagi pemahaman (shared
understanding), dan kemudian terbentuknya
hasil sementara (intermediate outcome).
Tahapan ini merupakan suatu siklus sehingga
terjadi proses pembelajaran didalamnya. Innes
dan Booher (2010) mengembangkan model
DIAD Network Dynamic untuk
memerlihatkan bahwa proses kolaborasi
menggambarkan jejaring kolaboratif dimana
terdapat keragaman, saling ketergantungan
dan dialog otentik didalamnya. Hal ini berarti
bahwa: pertama, jejaring kolaboratif memiliki
keragaman agen-agen, kedua, agen-agen
berada dalam situasi mampu untuk saling
memenuhi kepentingan masing-masing dan
menyadari adanya saling ketergantungan
diantara mereka, dan ketiga, terdapat dialog
otentik (authentic dialogue) dimana
komunikasi mengalirmelalui jejaring secara
akurat dan dapat dipercaya diantara para
peserta. Dalam dialog otentik, terdapat timbal
balik (reciprocity), hubungan (relationship),
pembelajaran (learning), kreatifitas
(creativity), dan menghasilkan adaptasi dari
sistem yang ada. Hal ini berarti bahwa para
peserta (aktor) berbicara mewakili
kepentingan kelompoknya, saling
menghormati, dan berbicara dengan akurat.
Tentu saja hal ini membutuhkan kepercayaan,
komitmen, dan pemahaman diantara para
aktor.
Dengan memperhatikan bagaimana
proses kolaboratif dalam perencanaan terjadi,
dimana terjadi dialog otentik yang berorientasi
consensus didalamnya, maka dapat dikatakan
bahwa proses kolaboratif terjadi jika terdapat
beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat
tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para
pemangku kepentingan (Anshel dan Gash,
2008; Healey, 2006; Woltjer,2000).
Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen
power seperti dikekukakan dalam tangga
partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada
umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul
dalam masyarakat yang sudah menjalankan
sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi
dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan
Gash, 2008; Dengan memerhatikan
bagaimana proses kolaboratif dalam
perencanaan terjadi, dimana terjadi dialog
otentik yang berorientasi consensus
didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa
proses kolaboratif terjadi jika terdapat
beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat
tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para
pemangku kepentingan (Anshel dan Gash,
2008; Healey, 2006; Woltjer, 2000).
Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen
power seperti dikekukakan dalam tangga
partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada
umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul
dalam masyarakat yang sudah menjalankan
sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi
dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan
Gash, 2008).
Proses kolaboratif akan dapat berjalan
dengan baik dengan partisipasi aktif
masyarakatnya diwakili oleh aktor-aktor yang
memiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya
dapat terjadi di negara-negara maju dan sudah
demokratik. Dengan melihat prasyarat di atas,
maka proses kolaboratif tidak dapat dengan
mudah terwujud pada masyarakat yang
memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang
rendah, serta kepemimpinan yang tidak
mendukung. Kondisi seperti ini masih mudah
dijumpai pada masyarakat tertentu, umumnya
di negara-negara berkembang. Hal ini
umumnya terjadi karena berkaitan dengan
Page 9
masalah budaya dan tingkat Pendidikan
masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam
mengikuti proses perencanaan pembangunan
masih terdapat banyak kelemahan terutama
melalui jalur musrenbang (Akadun, 2011),
dan konsep pembangunan yang partisipatif
perlu dirumuskan dalam suatu strategi yang
menyeluruh (Djoeffan, 2002).
Inti kegiatan pada tahap ini adalah
membangun kolaborasi perencanaan, dimana
antar berbagai pihak (masyarakat, pemerintah,
dan pelaku usaha/swasta) dapat saling terbuka
berbagi informasi, melakukan dialog dan
konsultasi, dan bersepakat terhadap aturan
bangunan setempat dan pokok-pokok
perencanaan dan pembangunan. Para
pemangku kepentingan tersebut kemudian
berupaya menyusun berbagai pengaturan yang
diperlukan, dan melembagakannya melalui
organisasi masing-masing untuk mewujudkan
tata kepemerintahan yang baik (good
governace). Dasar pijakannya tetap konsisten
pada pelembagaan nilai-nilai luhur (value
based development), prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik (good governance),
serta prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development)
(Manaf, 2011).
5. Implementasi Praktek Perencaan
Partisipatif dan Kolaboratif
Pada implementasinya praktek
perencanaan partisipatif dan kolaboratif
berhadapat dengan tantangan kondisi
masyarakat atau komunitas dimana praktek
perencanaan ruang akan dilaksanakan.
Beberapa penelitian membicarakan tantangan
ini.
Penelitian yang dilakukan Manaf, 2011,
pada Studi Kasus Pelaksanaan Program
Pengembangan Lingkungan Berbasis
Komunitas (PLP-BK) di Kelurahan Prigapus
Kabupaten Semarang menyimpulkan bahwa
pendekatan partisipatif yang diterapkan pada
pelaksanaan PLP-BK di wilayah studi telah
memberikan wewenang yang besar bagi
masyarakat di dalam mengambil keputusan
perencanaan akan tetapi semua itu masih
berada dalam koridor kaidah-kaidah penataan
ruang. Selanjutnya penelitian ini
mengelompokkan 2 (dua) issue penting yang
masih harus diperhatikan untuk memperbaiki
kinerja program di masa yang akan datang:
pertama, kejelasan tentang ruang lingkup
permasalahan program PLP-BK yang
hendaknya lebih mengarah pada permasalahan
skala lingkungan; kedua, karena perencanaan
partisipatif sarat dengan konflik antar pihak
maka kebutuhan akan Tenaga Ahli
Perencanaan Partisipatif (TAPP) yang
memiliki kompetensi tidak hanya pada bidang
tata ruang akan tetapi juga pada metode dan
teknik perencanaan partisipatif menjadi
mendesak.
Praktek lain yang dilakukan oleh
Sufianti,E. dkk, 2013, pada Proses Kolaboratif
dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi
pada Masyarakat Non Kolaboratif di Kota
Surakarta. Disimpulkan bahwa proses
kolaboratif merupakan bagian tak terpisahkan
dari perencanaan berbasis komunikasi, yang
terdiri dari beberapa tahap dan terdapat dialog
otentik didalamnya. Proses ini memerlukan
partisipasi tinggi, kesetaraan kekuasaaan, dan
para aktor yang kompeten. Kondisi ideal ini
terlihat sulit terjadi pada masyarakat yang
memiliki tingkat partisipasi rendah,
ketidaksetaraan kekuasaan, dan kompetensi
yang rendah. Namun proses kolaboratif dapat
terjadi pada masyarakat dengan tingkat
partisipasi rendah, adanya ketidaksetaraan
kekuasaan, kompetensi rendah. Proses ini
dimulai dengan membangun kepercayaan
melalui hubungan, membangun pemahaman
bersama melalui timbal balik, memecahkan
masalah melalui pembelajaran, dan
Page 10
membangun komitmen untuk
mengimplementasikan pemecahan masalah
melalui adaptasi terhadap sistem. Serangkaian
tahapan tersebut terjadi melalui suatu proses
dialog tatap muka. Dengan demikian, dialog
tatap muka bukan merupakan bagian dari
tahapan, tetapi terjadi pada semua tahapan.
Proses kolaboratif juga tetap dapat terjadi
karena adanya peran kepemimpinan.
Kepemimpinan tersebut mampu memotivasi
dan membawa mereka kedalam proses
kolaboratif, membuat mereka terlibataktif,
meningkatkan tingkat partisipasi, serta
meningkatkan kemampuan komunikasi dan
substansi dengan cara memotivasi mereka
untuk membicarakan apa yang mereka
butuhkan.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh
Saragih, T., 2011, menyimpulkan bahwa
proses partisipasi masyarakat dalam
pembentukan perda RDTR dan Kawasan
dapat dilakukan melalui ; (1) lokakarya atau
konsultasi publik untuk menjaring aspirasi
masyarakat yang dilakukan secara bertahap
kewajibannya sebagai pelaku pembangunan
wilayah dengan difasilitasi oleh pemerintah,
(2) proses dialog yang terus menerus
sepanjang keseluruhan proses penataan ruang,
sehingga terjadi proses pembelajaran bersama
dan pemahaman bersama (mutual
understanding) berbagai pihak tentang
penataan ruang.
Penelitian presepsi stakeholder atas
perencanaan partisipatif dalam penyusunan
RDTR Kota Semarang yang dilakukan oleh
Farchan, M, 2005 menunjukkan bahwa
masyarakt masih cenderung menganggap
proses penyusunan RDTR selama ini belum
partisipatif sementara pemerintah cenderung
menganggap proses penyusunan RDTR Kota
Semarang sudah partisipatif. Hal ini terjadi
Karena adanya ketidaksamaan presepsi
masyarakat dengan pemerintah tentang makna
dan proses partisipatif, demikian halnya dalam
implementasinya.
Menurut Saraswati, 2006, dalam alur
komuniatif rasionalitas tersebut, konsep dasar
mengenai komunikasi dan kolaborasi antara
budaya lokal atau kearifan lokal dengan
perencanaan masih belum secara eksplisit
dibicarakan, karena selama ini komunikatif
rasionalitas lebih banyak membicarakan
hubungan antar individu, kelompok
masyarakat, pemerintah, pelaku bisnis, dan
stakeholder perencanaan lainnya. Budaya atau
kearifan budaya lokal sebagai bagian dari
“practical reasoning” sesungguhnya ada dan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat,
terutama di negara-negara sedang berkembang
bukan barat (non western culture) seperti
Indonesia, di samping perencanaan normatif
sebagai hasil penalaran “knowledge of
science” dalam perencanaan.
6. Urgensitas Praktek Perencanaan
Partisipatif dan Kolaboratif.
Kecenderungan yang selama ini
ditampilkan oleh para penentu kebijakan
penataan ruang adalah kurang menumbuhkan
semangat partisipasi masyarakat. Partisipasi
dan kolaborasi masyarakat terkadang hanya
sekedar dipolitisir untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan lain yang justru
semakin jauh dari harapan masyarakat. Oleh
karena partisipasi masyarakat tidak terlalu
diperdulikan, maka tidaklah mengherankan
kalau keputusan-keputusan yang dihasilkan
secara “top down” tersebut kemudian
mendapat perlawanan dari masyarakat.
Masyarakat memberontak, karena mereka
menilai bahwa kepentingan mereka sungguh
terabaikan. Sebuah proses pembuatan
kebijakan yang baik sangat diperlukan adanya
partisipasi masyarakat, dan oleh karena itu
masyarakat harus dilibatkan sejak awal proses,
Page 11
mereka perlu didengar dan diajak bicara dalam
suasana tanpa tekanan. Pada prinsipnya
kebijakan (Peraturan) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah termasuk menyangkut
pembangunan harus bermanfaat untuk
masyarakat.
Proses pembuatan kebijakan penataan
ruang yang baik sangat dianjurkan untuk
menumbuhkan prinsip partisipatoris-
responsif, terutama partisipasi masyarakat
dalam proses legislasi. Partisipasi diartikan
sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu
proses pembangunan yang didorong oleh
determinasi dan kesadarannya tentang arti
keterlibatannya tersebut. Apabila yang
muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak
didorong oleh determinasi dan kesadaran,
maka hal tersebut tidak termasuk dalam
kategori partisipasi melainkan lebih tepat
disebut sebagai mobilisasi (Soetomo, 2006).
Sedangkan prinsip “responsif” sebagaimana
untuk pertama kali digagas oleh Nonet &
Selznick dimaknakan sebagai prinsip yang
memungkinkan sebuah tatanan hukum dapat
bertahan dan mampu menangkap tuntutan dan
keinginan masyarakat yang terlingkup dalam
sebuah kehidupan sosial tertentu.
Kebijakan penataan ruang ideal, proses
pembuatan dan perumusan kebijakan ideal
penataan ruang haruslah menerapkan prinsip
partisipatoris-responsif. Prinsip ini menuntut
adanya partisipasi aktif dari masyarakat, dan
dengan demikian kebijakan penataan ruang
yang dihasilkan benar-benar merespon
sekalian kepentingan/kebutuhan masyarakat
di mana kebijakan penataan ruang itu
diadakan atau dibuat. Keterlibatan masyarakat
ini menjadi sangat penting untuk ikut memberi
arah dari kebijakan penataan ruang tersebut,
dan sekaligus untuk menghindari adanya
protes dari warga masyarakat di kemudian hari
ketika kebijakan penataan ruang menjadi final
(Lisdiyono, 2008).
Semangat perencanaan partisipatif dan
kolaboratif juga sejalan dengan prinsip
moralitas. Prinsip-prinsip moralitas sangat
diperlukan dalam proses pembuatan kebijakan
hukum tata ruang yang ideal diperlukan untuk
mewarnai pola pikir dan pola tingkah laku
para pengambil kebijakan dalam merumuskan
dan merencanakan kebijakan hukum tata
ruang. Prinsip ini menjadi sangat penting
sebagai penyaring seluruh substansi kebijakan
penataan ruang yang tidak berpihak pada
kepentingan yang lebih besar.
Oleh karena pertimbanganpertimbangan
moral kurang mendapatkan perhatian yang
semestinya, sehingga banyak kebijakan
penataan ruang yang secara moral sangat
merugikan masyarakat tapi tetap disahkan
untuk diberlakukan. Pertimbangan moral ini
menjadi sangat penting dalam setiap
pembuatan kebijakan, karena harus disadari
sungguh-sungguh bahwa setiap kebijakan
yang dibuat selalu terkait erat dengan aspek
manusia yang dalam hal ini tergabung dalam
sebuah kelompok masyarakat. Pandangan
yang demikian mengisyaratkan, bahwa
legislasi atau proses pembuatan hukum itu
dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dan
kebenaran, kebahagiaan, kemaslahatan, dan
kebahagiaan umat manusia (Lisdiyono, 2008).
Mengintegrasikan prinsip-prinsip moral
dalam perencanaan ruang merupakan fokus
pembahasan etika spasial. Secara teoretis etika
berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik,
tata cara hidup yang baik yang melekat pada
diri seseorang atau masyarakat, yang dianut
dan diwariskan dari satu generasi kegenerasi
lain. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu
dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau
norma yang disebarluaskan, dikenal,
dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam
masyarakat. Kaidah, norma atau aturan itu
pada dasarnya menyangkut baikburuk
perilaku manusia. Dengan kata lain, kaidah ini
Page 12
menentukan apa yang baik harus dilakukan
dan apa yang buruk harus dihindari. Oleh
karena itu, etika sering dipahami sebagai
ajaran yang berisikan aturan tentang
bagaimana manusia hidup baik sebatai
manusia, atau sebagai ajaran yang berisikan
perintah dan larangan tentang baik buruknya
perilaku manusia (Keraf, 2002).
Konsep etika yang demikian itu dapatlah
dipahami secara lebih luas sebagai pedoman
bagaimana manusia harus hidup, dan
bertindak sebagai orang yang baik. Etika
memberi petunjuk, orientasi, dan arah tentang
bagaimana harus hidup secara baik sebagai
manusia. Konsep etika ini jangan lalu
dipahami sebagai sesuatu yang berada jauh di
awang-awang, melainkan sebagai refleksi
kritis tentang bagaimana manusia harus hidup
dan bertindak dalam situasi konkret. Etika
adalah filsafat moral atau ilmu yang
membahas dan mengkaji secara kritis
persoalan benar dan salah secara moral,
tentang bagaimana harus bertindak dalam
situasi konkret (Keraf, 2002).
Pada akhirnya praktek perencanaan ruang
yang partisipatif dan kolaboratif akan
menghasilkan proses perumusan kebijakan
hukum tata ruang dengan mempertimbangkan
sekalian aspek dalam tuntunan prinsip
partisipatoris responsif tersebut, maka secara
ideal dapat dihasilkan sebuah produk hukum
(produk kebijakan) tata ruang yang baik.
Produk hukum penataan ruang yang
dihasilkan tersebut jelas tidak akan
mengabaikan keberadaan manusia yang
terlingkup dalam sebuah masyarakat, aspek
ketahanan lingkungan ekologis maupun aspek
keteraturan dan estetika. Dengan demikian,
sebuah ruang sosial diperbolehkan untuk
ditata, dikelola, dan dimanfaatkan, namun
segala hal yang dilakukan itu tidak boleh
meninggalkan sekalian aspek yang terdapat
dalam ruang sosial tersebut.
KESIMPULAN
Perkembangan teori perencanaan telah
mengarah dari alur instrumental rasionalitas
ke alur komunikatif rasionalitas, yaitu suatu
pemahaman bahwa perencanaan perlu
melibatkan berbagai aspek yang terlibat di
dalam perencanaan, termasuk di dalamnya
adalah masyarakat sebagai bagian penting
dalam proses perencanaan. Teori perencanaan
sebagai suatu perspektif, ternyata telah
mengantarkan perlunya pelibatan masyarakat
dalam perencananaan melalui berbagai bentuk
konsep baik teoritis maupun praktek, seperti
partisipatif dan colaboratif .
Pada prakteknya perencanaan ruang yang
partisipatif dan kolaboratif memerlukan ; (1)
tenaga ahli yang memiliki kompentensi
perencanaan partisipatif, (2) partisipatif aktif
publik atau masyarakat, (3) keseteraan
kekuasaan, (4) kepemimpinan yang
memotivasi, (5) kesamaan pandangan makna
dan implementasi partisipatif serta kolaborasi.
Perencanaan ruang dengan pendekatan
partisipatif dan kolaboratif diperlukan agar
kepentingan publik tidak terabaikan. Integrasi
prinsip-prinsip moral pada proses perencanaan
ruang merupakan implementasi dari etika
spasial yang membuka nilai-nilai baru pada
pengambilan keputusan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, J.,1996. Sharing the city: community
participation in urban management
(1sted.). London: Earthscan
Publication Ltd.
Akadun., 2011. “Revitalisasi Forum
Musrenbang sebagai Wahana
Parttisipasi Masyarakat
dalam Perencanaan Pembangunan”,
MIMBAR, Jurnal Sosial dan
Pembangunan, Vol. XXVII,No.2
Page 13
(Desember 2011): hal. 183-191
‘Terakreditasi’ SK Dikti No.
64a/DIKTI/Kep/ 2010.
http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/
mimbar/article/view/327. Diunduh
pada tanggal 8 September 2013
Allmendinger, Philip, 2002, Toward Post-
Positivist Typology of Planning
Theory, SAGE
Publication, 1 (1). 77-99.
Burkholder, S. H., Chupp, M., & Star,
P.(2003). Principles of spasial
planning for community development.
Cleve and: Maxine Goodman Levin
College of Urban Affairs.
Conyers, D., 1984. “Perencanaan Sosial di
Dunia Ketiga, Suatu Pengantar”
(Susetiawan, Trans.). Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Conyers, D., & Hills, P., 1984. An
introductionto development planning
in the Third Wolrd. New York: John
Wiley & Sons Ltd.
Day, C., & Parnell, R., 2003. Consensus
Design: Socially inclusive process.
Oxford: Architectural Press.
Djoeffan, S., 2002. “Strategi Partisipasi
Masyarakat dalam Perencanaan
Pembangunan di Indonesia”.
MIMBAR, Jurnal Sosial dan
Pembangunan, 18,
mar.http://ejournal.unisba.ac.id/index
.php/mimbar/article/view/63>.
Diunduh pada tanggal 18 Januari 2014.
Ernawi, I. S., 2010. Morphology –
Transformasi dalam Ruang Perkotaan
yang Berkelanjutan. Paper presented at
the Seminar Nasional “Morfologi –
Transformasi Dalam Ruang Perkotaan
Yang Berkelanjutan”.
Farchan, M., 2005. “Presepsi Stakeholder
Atas Perencanaan Partisipatif Dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota
Semarang”. Tesis tidak
dipublikasikan. Program Magister
Teknik Pembangunan Wilayah dan
Kota, Universitas Diponegoro
Semarang.
Healey, P., 2006. Collaborative Planning:
Shaping Places in Fragmented
Societies. New York: Palgrave
Macmillan.
Keraf, A., Sonny. “Etika Lingkungan”.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Lisdiyono, E., 2008. Legislasi Penataan
Ruang Studi Tentang Pergeseran
Kebijakan Hukum Tata Ruang Dalam
Regulasi Daerah Di Kota Semarang.
Disertasi tidak dipublikasi. Program
Doktor Ilmu Hukum, Univeritas
Diponegoro, Semarang.
Lincoln, Y. S. & Guba, E. G., 2000. “Paradigmatic controversies,
contradictions, and emerging
confluences”. In N. K. Denzin & Y. S.
Lincoln (Eds.), Handbook of
qualitative research (2nd ed., pp. 163-
188). London: Sage Publications.
Manaf, A., 2011. ”Menuju Pembangunan
Berbasis Tata Ruang Melalui
Perencanaan Lingkungan Bertetangga
Secara Partisipatif”, Jurnal Tata Loka.
Volume 13, Nomor 3, Agustus 2011,
hal. 152-166.
Panudju, B., 1999. “Pengadaan Perumahan
Kota dengan Peran Serta Masyarakat
Berpenghasilan Rendah. Jakarta:
Page 14
Yayasan Adikarya Ikapi & The Ford
Foundation.
Saraswati, 2006. “Kearifan Budaya Lokal
Dalam Prespektif Teori Perencanaan”,
Jurnal PWK Unisba.
Soerjodibroto, G., 2007. Upaya menuju tata
ruang yang efektiv: masalah dan
tantangan. Paper presented at the
Seminar Tata Ruang UNDIP
Semarang.
Sufianti, E., dkk, 2012. “Proses Kolaboratif
dalam Perencanaan Berbasis
Komunikasi Pada Masyarakat Non
Kolaboratif”. Mimbar. Volume 29,
Nomor 2, Desember 2013, hal. 133-
144.
Saragih, T.M, 2011. ”Konsep Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah Rencana Detail Tata
Ruang Dan Kawasan”. Jurnal Sasi.
Volume 17, Nomor 3, Juli-September
2011, 11-20.
Sofyan, A., 2007. Mengkritisi Perencanaan
Pembangunan, Online:
(https://khazanaharham.
wordpress.com/2007/09/04/menkritisi
-perencanaan-pembangunan), diakses
27 Juli 2017.
Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan
Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,
2006.