Top Banner
Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh Sri Hidayat 1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel Email : [email protected] Hp : 085255929708 Abstrak : Perencanaan ruang saat ini belum sepenuhnya melibatkan publik. Sementara teori perencanaan sebagai suatu perspektif, ternyata telah mengantarkan perlunya pelibatan publik dalam perencananaan melalui berbagai bentuk konsep baik teoritis maupun praktek. Perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif diharapkan dapat membuka kesempatan pelibatan publik pada proporsi yang lebih besar. Pada prakteknya perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif memerlukan ; (1) tenaga ahli yang memiliki kompentensi perencanaan partisipatif, (2) partisipatif aktif publik atau masyarakat, (3) keseteraan kekuasaan, (4) kepemimpinan yang memotivasi, (5) kesamaan pandangan makna dan implementasi partisipatif serta kolaborasi. Perencanaan ruang secara partisipatif dan kolaboratif merupakan hasil determinasi prinsip-prinsip moral. Hadirnya prinsip-prinsip moral pada proses perencanaan ruang merupakan implementasi dari etika spasial yang membuka nilai-nilai baru pada pengambilan keputusan yang lebih baik. Abstrac : Spasial planning is not currently fully public. While the theory of planning as a perspective, it has led to the need for public engagement in the planning through various forms of both theoretical concepts and practices. Participatory and collaborative spatial planning is expected to open up opportunities for public engagement in larger proportions. In practice, participatory and collaborative spatial planning requires; (1) experts who have participatory planning competencies, (2) participatory active public or community, (3) power equality, (4) motivational leadership, (5) similar meaning of views and participatory implementation and collaboration. Participatory and collaborative spatial planning is the result of determining moral principles. The presence of moral principles in the space planning process is an implementation of spatial ethics that opens new values to better decision making. PENDAHULUAN Perencanaan pembangunan saat ini belum sepenuhnya melibatkan publik, dan masih bersifat top down planning. Paradigma community driven yaitu penciptaan iklim untuk memberi penguatan peran masyarakat untuk ikut dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, ikut menggerakkan atau mensosialisasikan dan melakukan kontrol publik, belum signifikan. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil secara optimal. Pembangunan hanya akan melahirkan produk-produk baru tak sesuai kebutuhan masyaratnya (Sofyan, 2007). Dimana proses perencanaan masih terkesan berjalan teknokratis tanpa melibatkan masyarakat di dalamnya. Termasuk juga perencanaan dalam pemanfaatan ruang. Penataan ruang khususnya kota-kota di Indonesia masih dilihat hanya sebatas untuk memenuhi pertumbuhan pembangunan dan cenderung berorientasi pada upaya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi,
14

Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

Mar 02, 2019

Download

Documents

hadieu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan

Kolaboratif Oleh

Sri Hidayat1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel

Email : [email protected]

Hp : 085255929708

Abstrak :

Perencanaan ruang saat ini belum sepenuhnya melibatkan publik. Sementara teori perencanaan

sebagai suatu perspektif, ternyata telah mengantarkan perlunya pelibatan publik dalam perencananaan

melalui berbagai bentuk konsep baik teoritis maupun praktek. Perencanaan ruang yang partisipatif dan

kolaboratif diharapkan dapat membuka kesempatan pelibatan publik pada proporsi yang lebih besar. Pada

prakteknya perencanaan ruang yang partisipatif dan kolaboratif memerlukan ; (1) tenaga ahli yang

memiliki kompentensi perencanaan partisipatif, (2) partisipatif aktif publik atau masyarakat, (3) keseteraan

kekuasaan, (4) kepemimpinan yang memotivasi, (5) kesamaan pandangan makna dan implementasi

partisipatif serta kolaborasi. Perencanaan ruang secara partisipatif dan kolaboratif merupakan hasil

determinasi prinsip-prinsip moral. Hadirnya prinsip-prinsip moral pada proses perencanaan ruang

merupakan implementasi dari etika spasial yang membuka nilai-nilai baru pada pengambilan keputusan

yang lebih baik.

Abstrac :

Spasial planning is not currently fully public. While the theory of planning as a perspective, it has led to

the need for public engagement in the planning through various forms of both theoretical concepts and

practices. Participatory and collaborative spatial planning is expected to open up opportunities for public

engagement in larger proportions. In practice, participatory and collaborative spatial planning requires;

(1) experts who have participatory planning competencies, (2) participatory active public or community,

(3) power equality, (4) motivational leadership, (5) similar meaning of views and participatory

implementation and collaboration. Participatory and collaborative spatial planning is the result of

determining moral principles. The presence of moral principles in the space planning process is an

implementation of spatial ethics that opens new values to better decision making.

PENDAHULUAN

Perencanaan pembangunan saat ini belum

sepenuhnya melibatkan publik, dan masih

bersifat top down planning. Paradigma

community driven yaitu penciptaan iklim

untuk memberi penguatan peran masyarakat

untuk ikut dalam proses perencanaan dan

pengambilan keputusan, ikut menggerakkan

atau mensosialisasikan dan melakukan kontrol

publik, belum signifikan. Tanpa melibatkan

masyarakat, pemerintah tidak akan dapat

mencapai hasil secara optimal. Pembangunan

hanya akan melahirkan produk-produk baru

tak sesuai kebutuhan masyaratnya (Sofyan,

2007). Dimana proses perencanaan masih

terkesan berjalan teknokratis tanpa melibatkan

masyarakat di dalamnya. Termasuk juga

perencanaan dalam pemanfaatan ruang.

Penataan ruang khususnya kota-kota di

Indonesia masih dilihat hanya sebatas untuk

memenuhi pertumbuhan pembangunan dan

cenderung berorientasi pada upaya untuk

mencapai target pertumbuhan ekonomi,

Page 2: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

ataupun untuk memenuhi kebutuhan

pengembangan suatu kawasan tertentu yang

tak bisa dihindari. Orientasi penataan kota

yang demikian itu kurang mempertimbangkan

tujuan penataan dan penggunaan ruang yang

sesuai dengan peruntukannya

(Lisdiyono,2008).

Hal tersebut telah berakibat munculnya

dualisme tradisi membangun atau pola

memanfaatkan ruang di tanah air. Di satu sisi

pemerintah terus berupaya untuk

mengendalikan pembangunan kota secara

lebih terencana namun disisi lain tidak dapat

dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat yang

begitu mendesak terutama terhadap rumah

tinggal telah ”memaksa” mereka menempuh

cara-cara ”informal” untuk memenuhinya.

Data empirik menunjukkan bahwa rumah

tinggal yang dibangun secara informal ini

mencapai hampir 90% dari total jumlah rumah

yang ada di Indonesia (Panudju, 1999). Bila

dilihat secara positif, sesungguhnya kenyataan

ini merupakan bentuk peran serta masyarakat

untuk memenuhi kebutuhan huniannya secara

mandiri. Namun demikian fenomena ini pada

banyak kasus sering tidak selaras dengan

kaidah-kaidah tata ruang. Fenomena ini tentu

saja menjadi persoalan yang dilematis di tanah

air. Kota berkembang tanpa arah (urban

sprawl) dan segala aktifitas dan pemanfaatan

sumber daya menjadi tidak efisien dan bahkan

kontraproduktif (Asnawi, 2011).

Idealnya, untuk menjaga keberlanjutan

ruang untuk hidup (life space) bagi

masyarakat suatu kota maka pola pemanfaatan

ruang harus direncanakan dan dikelola secara

sistemik, menyeluruh, hierarkis, dan organis

(Ernawi, 2010). Namun demikian bila

pemikiran normatif ini diterapkan maka

pendekatan perencanaan yang bersifat terpusat

(top down) akan lebih dikedepankan. Padahal

telah banyak akademisi yang mengkritik

pemikiran dan pendekatan perencanaan dari

atas (top down) ini. Mereka menilai produk-

produk perencanaan yang dihasilkan dengan

pendekatan ini kurang relevan dengan kondisi

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Yang

tidak kalah pentingnya adalah para perencana

sering kali kurang memperhatikan suatu

kenyataan bahwa rencana yang disusun pada

umumnya tidak berada di ruang yang kosong

akan tetapi sebagian besar sudah terbangun

dan memiliki karakteristik dan identitas lokal

yang unik (Soerjodibroto, 2007). Sebagai

antitesis dari pendekatan dari atas tersebut

mereka menyarankan bahwa kegiatan

perencanaan di era masyarakat yang semakin

tersegregasi seperti saat ini perlu ditempuh

pendekatan-pendekatan yang lebih dialogis,

kolaboratif, partisipatif dan inklusif (Abbott,

1996; Day & Parnell, 2003; Healey, 2006;

Sirianni, 2007).

Menyadari akan kelemahan kebijakan

penataan ruang selama ini yang cenderung

mengalami pergeseran yang merugikan

masyarakat dan kerusakan lingkungan, maka

perlu dikembangkan model pembuatan

kebijakan penataan ruang yang bersifat

“relasional-kolektif” dan “partisipatoris

responsif”. Relasional kolektif artinya dalam

proses pembuatan kebijakan dimaknakan

sebagai relasi antar manusia, yang berarti

hubungan antara orang-orang atau pihak-

pihak yang berkepentingan dalam pembuatan

kebijakan ada kompromi dalam keragaman

yang akan tercapai keadilan dan kemanfaatan

serta akan meminimalis terjadinya konflik.

Prinsip kesamaan berdasarkan kesamaan

martabat pribadi setiap orang yang terlibat

dalam proses legislasi. Prinsip“

ketidaksamaan sosial dan ekonomis akan

mengakibatkan ketimpangan dalam

pengambilan kebijakan. Prinsip partisipatoris

respons diartikan sebagai keterlibatan

masyarakat dalam suatu proses pembangunan

yang didorong oleh kesadarannya tentang arti

Page 3: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

keterlibatannya, namun apabila yang muncul

hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong

oleh faktor penentu dan kesadaran maka hal

tersebut tidak termasuk dalam kategori

partisipasi melainkan adalah memobilisasi.

Sedangkan responsif dimaknakan sebagai

prinsip yang memungkinkan sebuah tatatan

hukum dapat bertahan dan mampu menangkap

tuntutan dan keinginan masyarakat dalam

lingkup sebuah kehidupan sosial tertentu

(Lisdiyono,2008).

Pada prakteknya perencanaan yang

melibatkan publik baik melalui tindakan

partisipatif dan kolaboratif tidaklah mudah.

Komunitas masyarakat dengan kapasitas yang

rendah akan menjadi sulit diberdayakan atau

diajak berkomunikasi, sharing atau bertukar

pikiran untuk merencanaan penggunaan

ruang. Sehingga pada prakteknya perencanaan

cenderung disusun tidak prosedural dan tanpa

pelibatan publik dalam pengambilan

keputusan serta cenderung sifatnya

teknokratik top down. Kalaupun ada pelibatan

publik, hanyalah sebuah stempel partisipatif

semu. Publik hanya dilibatkan untuk

mendengar sosialisasi sebuah produk hasil

perencanaan spasial. Keputusan akhir dibuat

dibelakang meja oleh para elit yang umumnya

cenderung menciptakan kolaborasi

kepentingan antara pemerintah dan corporate

atau market.

Untuk itulah artikel akan ini menguraikan

perubahan paradigma perencanaan dan nilai-

nilai baru yang dapat dicapai dalam proses

perencanaan ruang dengan melibatkan publik

dalam pengambilan keputusan yang lebih baik

melalui pendekatan partisipatif dan

kolaboratif dengan lingkup permasalahannya

serta urgensitasnya.

PEMBAHASAN

1. Proses Perencanaan

Perencanaan pada hakekatnya adalah

suatu proses terus menerus (continuous) dan

berulang (cyclical) di dalam mengambil suatu

keputusan yang terbaik. Dalam rangka

mencapai keputusan yang ”terbaik” maka dia

harus rasional yang tercermin dari rangkaian

aktifitas-aktifitas yang dikelompokkan ke

dalam tahapan-tahapan yang saling terkait,

sistematis dan teratur (Conyers & Hills, 1984).

Keputusan yang rasional tersebut baik ditinjau

dari sisi ”proses” ataupun ”hasil” diartikan

sebagai suatu upaya untuk mendapatkan

sesuatu yang maksimum dengan usaha (in put)

tertentu. Ditinjau dari sisi hasil rasionalitas

diartikan dengan masukan (in put) usaha yang

seminimal mungkin untuk mendapatkan

keluaran (out put) semaksimal mungkin.

Adapun dari sisi proses pendekatan

rasionalitas di dalam pembuatan keputusan

dijelaskan oleh Carley dalam Conyer dan Hills

(1984) melalui serangkaian urutan tahapan

kegiatan sebagai berikut:

1. Menemukenali dan merumuskan masalah

(problem identification and definition)

2. Mengelompokkan dan mengorganisasikan

tujuan-tujuan (goals), nilai-nilai (values),

dan sasaran-sasaran (objectives) yang

terkait dengan masalah

3. Menemukenali berbagai alternatif tindakan

(alternative courses of action) untuk

menjawab masalah atau mewujudkan

sasaran-sasaran yang telah ditetapkan

4. Memperkirakan berbagai dampak sebagai

akibat (consequencies) dari masing-masing

alternative tindakan dan kemungkinan dari

hal itu akan terjadi

5. Membandingkan dari akibat-akibat yang

akan terjadi dari pilihan-pilihan tindakatan

dalam kaitan dengan tujuan dan sasaran

yang telah ditetapkan

6. Memilih suatu tindakan yang berakibat

paling dekat dengan tujuan dan sasaran atau

yang paling dapat menjawab masalah.

Page 4: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

Tentu saja pilihan tersebut juga yang paling

menguntungkan: yang bisa dilihat dari sisi

hasil yang lebih baik dari keluaran biaya

yang sama atau dari sisi hasil yang sama

dari pengeluaran biaya yang paling ringan

(kecil).

Dalam kaitan dengan perencanaan ruang

Burkholder, Chupp, & Star (2003)

menekankan sisi lain dari proses rasional di

atas bahwa perencanaan ruang merupakan

sebuah proses pembelajaran sosial (social

learning process) dimana warga (penduduk)

dan pemangku kepentingan lainnya belajar

bersama tentang ruang mereka, merumuskan

visi bersama, dan mengembangkan strategi-

strategi untuk mewujudkan hal itu dan

menjaga keberlanjutannya dalam waktu yang

lama atau jangka panjang (long term strategic

planning). Adapun secara fisik, produk dari

kegiatan perencanaan tersebut adalah pada

akhirnya menghasilkan sebuah Dokumen

Rencana (plan) yang selanjutnya menjadi

acuan bersama dalam mendorong dan

mengarahkan investasi sosial dan ekonomi di

masa yang akan datang. Tentu saja secara

umum tujuan yang diharapkan adalah menuju

pembangunan ruang yang lebih sehat, asri,

serasi, produktif, berkelanjutan dan

sebagainya.

Perkembangan perencanaan ini

menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi

semakin penting peranannya dalam

perencanaan, dimana pada era dibawah

paradigma modernisasi, aspek sosial

dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang

meliputi aspek sosial, ekonomi dan fisik. Bila

pada era ini kehidupan sosial dilihat dengan

prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang

dapat berlaku disemua lokasi (bersumber

rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah

sebagai satu-satunya sumber pengetahuan

yang valid dalam perencanaan), maka pada era

post-modern, kehidupan kemasyarakatan

tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu

yang homogen, dimana kehidupan masyarakat

terikat pada konteks dimana mereka

melakukan interaksi sosial. Karenanya

perencana harus memahami bagaimana

interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek

tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal

ini perencanaan akan sulit untuk berhasil.

Karena kehidupan kemasyarakatan tidak dapat

dipandang homogen, maka pengertian publik

pun tidak dapat dianggap tunggal yang

diwakili oleh perencana (yang umumnya

bekerja pada pemerintah), yang dapat

menentukan apa yang terbaik bagi

masyarakat. Makna publik tentunya harus

dipahami sebagai sesuatu yang plural,

beraneka ragam, apa yang disebutkan oleh

Sandercock (1998) sebagai multiple publik.

Menyadari keberagaman masyarakat, maka

pengetahuan bagaimana public yang beragam

tersebut berinteraksi (interaksi sosial),

memberi ruang bagi diskusi tentang arti

penting modal sosial (social capital, sebagai

produk dari interaksi sosial) dalam

perencanaan.

2. Perkembangan Prespektif

Perencanaan

Berdasarkan sejarah, pengenalan teori

perencanaan berkembang pada saat terjadinya

perencanaan kota modern dalam konsep:

Garden City, City Beautiful, dan Public Health

Reforms (Allmendinger, 2001). Teori

perencanaan itu sendiri merupakan subjek

studi yang sulit difahami, Karena di dalamnya

akan menggambarkan berbagai disiplin ilmu

yang semakin dibahas akan memberi peluang

pengembangan yang semakin terbuka lebar.

Ada pertanyaan utama dalam teori

perencanaan yaitu: aturan apa yang dapat

diterapkan dalam perencanaan untuk

mengembangkan kota atau wilayah di antara

hambatan politik, sosial, dan ekonomi?

Page 5: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

Jawabannya bukan pada membangun sebuah

model perencanaan, tapi lebih pada bagaimana

praktek perencanaan yang berbasis pada

karakteristik masyarakat di mana perencanaan

itu akan diterima dan dilaksanakan (Saraswati,

2006).

Selama dekade 1970 hingga 1980an,

muncul keprihatinan terhadap keterbatasan

dan validitas informasi, data serta metode

kuantitaf yang sering dihubungkan dengan

positivisme sebagai paradigma yang berlaku

saat itu. Paradigma positivisme yang

menurunkan pemahaman kebenaran ilmiah

melalui proses penelitian kuantitatif memang

telah berlaku sejak abad ke-19, sehingga

metode ilmiah menjadi berkonotasi positivis.

Positivisme mengangap adanya dunia

obyektif, yang kurang lebih dapat segera

digambarkan dan diukur oleh metode ilmiah,

serta berupaya untuk memprediksikan dan

menjelaskan hubungan sebab-akibat di antara

variable-variable utamanya secara kuantitatif.

Metode positivistik ini dikritik sebagai

menghilangkan konteks dari pemaknaan

dalam proses pengembangan ukuran kuantitif

terhadap fenomena faktual yang diteliti

(Lincoln dan Guba, 2000).

Oleh sebab itu, muncul pemikiran-

pemikiran baru dalam teori perencanaan yang

mengarah pada komunikatif rasionalitas yang

dituangkan dalam berbagai konsep yang salah

satunya digagas oleh Habermas dengan

Communicative Rationality, Forester melalui

Communicative Planning Theory. Healey

dengan Collaborative Planning, dan

Allmendinger dengan Postmodern Planning

nya (Almendinger, 2002).

Jika dilakukan periodesasi mengenai

perjalanan teori perencanaan, maka ada dua

alur besar teori perencnaan, yaitu instrumental

rasionalitas dan komunikatif rasionalitas.

Instrumental rasionalitas merupakan konsep-

konsep pemikiran pada era Pra Modern

Planning dan Modern Planning Theory,

sedangkan komunikasi rasionalitas berada

pada era Post Modern Planning Theory.

Dalam typologinya, teori perencanaan ini

berada pada filisofi Positivist dan

Postpositivist (Almendinger, 2002).

Konsep perencanaan komunikatif dan

kolaboratif yang dituangkan dalam tipologi

postmoderen tersebut, telah banyak

membicarakan tentang bagaiman melakukan

kolaborasi antara “knowledge of science”

dengan “practical reasoning” dalam suatu

perencanaan yang lebih berpihak pada

kepentingan masyarakat banyak, tidak hanya

berpihak pada kelompok yang mampu

melakukan ‘lobby’ dengan pihak pengambil

keputusan saja. Perencanaan komunikatif dan

perencanaan kolaboratif merupakan kritik

terhadap Pemerintah dan Group Pelobi Bisnis

dalam kapasitas dan kompetensi pemerintah

lokal, melalui keadilan alokasi ruang,

pelibatan masyarakat dalam proses

perencanaan, outcome dalam perbaikan

lingkungan hidup, keberpihakan, dan

perhatian terhadap perilaku masyarakat dalam

suatu lingkungan perumahan.

Konsep komunikatif, khususnya

perencanaan kolaboratif yang digagas oleh

Haley (1987) berawal dari pengalamannya

dalam pengendalian pembangunan ruang kota

dalam bidang property dengan konsern utama

pada land-use dan land development.

3. Perencanaan Partisipatif

Sebagai suatu proses pembelajaran

bersama (social learning process) maka dia

harus dilakukan secara partisipatif. Pengertian

partisipasi sendiri memiliki banyak perspektif.

Partisipasi masyarakat dapat ditinjau dari dua

sudut pandang (Abers, 2000) pemberdayaan

masyarakat (people empowerment) dan dari

sudut pandang instrumen (instrumental

participation). Dari sudut pandang

Page 6: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

pemberdayaan masyarakat partisipasi dilihat

sebagai proses politik yang pada akhirnya

dapat membuka akses masyarakat dalam

pengambilan keputusan atau memperkuat

posisi masyarakat agar dapat memiliki

kekuatan (borgeinig power) yang seimbang

dengan pemangku kepentingan yang lain

untuk ikut serta di dalam proses pengambilan

keputusan. Sedangkan sudut pandang

instrument pemahaman partisipasi diletakkan

pada pelibatan masyarakat sebagai pengguna

akhir (end user) untuk ikut berkontribusi

dalam proses pembangunan artinya

masyarakat pengguna akhir yang

berkepentingan akan bahu membahu menggali

dan memobilisasi segala sumber daya yang

dimilikinya untuk membantu mewujudkan

tujuan pembangunan atau memecahkan

permasalahan yang sedang dihadapinya.

Dari uraian dua pandangan di atas Manaf

(2007) berpendapat bahwa salah satu ciri atau

prinsip pokok dari pendekatan partisipatif

adalah pemberian wewenang yang lebih besar

kepada masyarakat sebagai pengguna akhir

(end user) untuk mengelola sumber daya

(resources) pembangunan yang tersedia

secara lebih mandiri (autonomous). Adapun

untuk mengukur partisipasi atau pemberian

wewenang kepada di dalam mengelola

sumberdaya pembangunan tersebut banyak

peneliti hingga kini masih menggunakan

tangga partisipasi yang diusulkan Arnstein

(1969) sebagai kerangka untuk melakukan

analisis. Bagi Arnstein partisipasi berkaitan

dengan konsep relasi kekuasaan antara satu

aktor dengan aktor yang lain dalam proses

pengambilan keputusan.

Dalam proses partisipasi tidak cukup

hanya menjelaskan mengapa keputusan itu

dibuat (tanpa melibatkan mereka dalam

pembuatan keputusan itu sendiri) apalagi

hanya menginformasikan keputusan tersebut

saja kepada penerima manfaat. Kekuasan di

dalam pengambilan keputusan di antara aktor–

aktor ini harus didasari atas adanya

persetujuan atau kesepakan dari semua aktor

tersebut. Sehingga secara umum dia membagi

tiga tingkatan partisipasi: pertama, tingkatan

tertinggi dia sebut dengan tingkatan

kekuasaan penuh di tangan rakyat (degree of

citizen power); kedua tingkatan partisipasi

simbolik (degree of tokenism), dan ketiga

tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada

partisipasi (degree of manipulation or non-

participation).

Pada tingkatan kekuasaan penuh di

tangan rakyat (degree of citizen power)

Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori

tingkatan: Pertama, masyarakat yang selama

ini terabaikan (the have-not) mendapatkan

kedaulatan penuh dalam penyusunan

perencanaan, mengabil keputusan atau

membuat kebijakan dan mengelola program

(citizen control). Kedua, masyarakat memiliki

otoritas yang lebih besar karena mereka

mayoritas dalam sebuah komite pengambilan

keputusan utama (delegated power). Mereka

memiliki delegasi (suara) mayoritas dan

mampu menjamin akuntabilitas pelaksanaan

keputusan. Ketiga kekuasaan terdistribusi

sebagai hasil negosiasi antara masyarakat

dengan pemegang kekuasaan (partnership).

Tanggungjawab perencanaan dan pembuatan

keputusan dibagi secara sederajat berdasarkan

hasil negosiasi di dalam komite bersama

(community stakeholder council).

Sementara pada kategori kedua tingkatan

partisipasi simbolik (degree of tokenism)

Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori

tingkatan: pertama tingkatan kooptasi dimana

posisi masyarakat lebih lemah di dalam

pengambilan keputusan. Hanya orang-orang

yang terpandang (tokoh masyarakat) yang bisa

diajak bicara dilibatkan di dalam komite.

Disini masyarakat seolah-oleh dilibatkan

dalam perencanaan akan tetapi mereka pada

Page 7: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

hakekatknya tidak punya hak suara dalam

mengambil keputusan. Sifatnya sebagai

“Stempel Karet” saja (placation). Kedua,

masyarakat mulai tidak dilibatkan dalam

pengambilan keputusan akan tetapi mereka

hanya diposisikan sebagai teman untuk diajak

bicara atau memberikan masukan. Biasaya

masyarakat dilibatkan secara fisik seperti di

dalam mengumpulkan data dan iformasi

pembangunan, mengawasi pelaksanaan dari

segala kegiatan yang telah ditetapkan oleh

pihak luar. Partisipasi masyarakat hanya

sebatas mengahdiri pertemuan-pertemuan

dengar pendapat akan tetapi pertemuan ini

biasanya hanya bersifat seremonial saja

(consultation). Ketiga tingkat partisipasi yang

paling rendah. Masyarakat tidak lagi diajak

berdialog dua arah akan tetapi mereka hanya

diberikan berbagai sosialisasi dan atau

informasi dari satu arah saja (informing).

Selanjutnya pada kategori ketiga

tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada

partisipasi (degree of non-participation).

Tujuan pendekatan ini adalah untuk

mengobati (therapy) karena masyarakat

dianggap lemah, tidak berdaya, sebagai

sumber masalah. Pada tingkatan ini

masyarakat dianggap objek bukan subjek

pembangunan. Dan subkategori terakhir

adalah tidak hanya tergolong non partisipasi

bahkan bisa disebut penyalahgunaan makna

partisipasi. Pada tingkatan ini semua usulan

perencanaan dibuat dan ditentukan dari atas

(top down). Dalam hal ini penentu kebijakan

melakukan berbagai bentuk kegiatan dengan

tujuan seolah-olah keputusan diambil sudah

melalui proses pelibatan masyarakat secara

demokratis sehingga keputusan tersebut sah

dan legitimate (manipulation).

4. Perencanaan Kolaboratif

Beberapa pendekatan perencanaan, yaitu

perencanaan transaktif (Friedman, 1973),

perencanaan kolaboratif (Healey, 1996),

perencanaan komunikatif (Sager, 1994; Innes,

1997), perencanaan deliberatif partisipatif

(Forester, 2000), dan perencanaan konsensus

(Woltjer,2000), memiliki karakteristik yang

relatif sama dalam hal menekankan

pentingnya kerjasama dengan didasari

komunikasi antarpemangku kepentingan.

Proses kerjasama tersebut akan berlangsung

dengan baik jika terdapat komunikasi dalam

bentuk dialog didalamnya. Dalam

perencanaan transaktif, dialog yang terjadi

adalah life dialogue, yang dipertegas oleh

Innes dan Booher (1997) sebagai authentic

dialogue. Dalam hal ini, setiap aktor yang

duduk bersama saling menghargai, empati,

terjadi hubungan timbal balik dan saling

menguntungkan. Dengan demikian, dialog

hanya akan terjadi jika para pemangku

kepentingan berpartisipasi dan duduk bersama

dalam memecahkan permasalahan. Partisipasi

sendiri hanya akan terjadi jika mereka

memiliki kepentingan dan memiliki

kesempatan untuk menyuarakan

kepentingannya, dan partisipasi tersebut

hanya akan terjadi jika ada saling

ketergantungan dan kepercayaan. Kerjasama

melalui dialog dan partisipasi diarahkan pada

pembentukan konsensus (Woltjer, 2000;

Innes, 1996). Proses yang memuat aktivitas

dialog, partisipasi, dan berorientasi kepada

keputusan bersama, terangkum dalam suatu

proses kolaboratif. Dengan demikian, dalam

suatu pendekatan perencanaan berbasis

komunikasi, terjadi proses kolaboratif

(Gambar Perencanaan kolaboratif (Healey,

1997; Innes, 1998).

Proses kolaboratif merupakan suatu

proses adaptive system dimana pendapat-

pendapat yang berbeda dari berbagai pihak

yang akhirnya menghasilkan suatu konsensus.

Anshell dan Gash (2008) berupaya

memetakan suatu model yang

Page 8: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

menggambarkan bagaimana proses

kolaboratif terjadi. Proses kolaboratif menurut

model ini terdiri dari berbagai tahapan yaitu

dimulai dari adanya dialog secara tatap muka

(face-to-face dialogue), membangun

kepercayaan (trust building), membangun

komitmen terhadap proses (commitment to the

process), berbagi pemahaman (shared

understanding), dan kemudian terbentuknya

hasil sementara (intermediate outcome).

Tahapan ini merupakan suatu siklus sehingga

terjadi proses pembelajaran didalamnya. Innes

dan Booher (2010) mengembangkan model

DIAD Network Dynamic untuk

memerlihatkan bahwa proses kolaborasi

menggambarkan jejaring kolaboratif dimana

terdapat keragaman, saling ketergantungan

dan dialog otentik didalamnya. Hal ini berarti

bahwa: pertama, jejaring kolaboratif memiliki

keragaman agen-agen, kedua, agen-agen

berada dalam situasi mampu untuk saling

memenuhi kepentingan masing-masing dan

menyadari adanya saling ketergantungan

diantara mereka, dan ketiga, terdapat dialog

otentik (authentic dialogue) dimana

komunikasi mengalirmelalui jejaring secara

akurat dan dapat dipercaya diantara para

peserta. Dalam dialog otentik, terdapat timbal

balik (reciprocity), hubungan (relationship),

pembelajaran (learning), kreatifitas

(creativity), dan menghasilkan adaptasi dari

sistem yang ada. Hal ini berarti bahwa para

peserta (aktor) berbicara mewakili

kepentingan kelompoknya, saling

menghormati, dan berbicara dengan akurat.

Tentu saja hal ini membutuhkan kepercayaan,

komitmen, dan pemahaman diantara para

aktor.

Dengan memperhatikan bagaimana

proses kolaboratif dalam perencanaan terjadi,

dimana terjadi dialog otentik yang berorientasi

consensus didalamnya, maka dapat dikatakan

bahwa proses kolaboratif terjadi jika terdapat

beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat

tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para

pemangku kepentingan (Anshel dan Gash,

2008; Healey, 2006; Woltjer,2000).

Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen

power seperti dikekukakan dalam tangga

partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada

umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul

dalam masyarakat yang sudah menjalankan

sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi

dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan

Gash, 2008; Dengan memerhatikan

bagaimana proses kolaboratif dalam

perencanaan terjadi, dimana terjadi dialog

otentik yang berorientasi consensus

didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa

proses kolaboratif terjadi jika terdapat

beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat

tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para

pemangku kepentingan (Anshel dan Gash,

2008; Healey, 2006; Woltjer, 2000).

Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen

power seperti dikekukakan dalam tangga

partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada

umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul

dalam masyarakat yang sudah menjalankan

sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi

dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan

Gash, 2008).

Proses kolaboratif akan dapat berjalan

dengan baik dengan partisipasi aktif

masyarakatnya diwakili oleh aktor-aktor yang

memiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya

dapat terjadi di negara-negara maju dan sudah

demokratik. Dengan melihat prasyarat di atas,

maka proses kolaboratif tidak dapat dengan

mudah terwujud pada masyarakat yang

memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang

rendah, serta kepemimpinan yang tidak

mendukung. Kondisi seperti ini masih mudah

dijumpai pada masyarakat tertentu, umumnya

di negara-negara berkembang. Hal ini

umumnya terjadi karena berkaitan dengan

Page 9: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

masalah budaya dan tingkat Pendidikan

masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam

mengikuti proses perencanaan pembangunan

masih terdapat banyak kelemahan terutama

melalui jalur musrenbang (Akadun, 2011),

dan konsep pembangunan yang partisipatif

perlu dirumuskan dalam suatu strategi yang

menyeluruh (Djoeffan, 2002).

Inti kegiatan pada tahap ini adalah

membangun kolaborasi perencanaan, dimana

antar berbagai pihak (masyarakat, pemerintah,

dan pelaku usaha/swasta) dapat saling terbuka

berbagi informasi, melakukan dialog dan

konsultasi, dan bersepakat terhadap aturan

bangunan setempat dan pokok-pokok

perencanaan dan pembangunan. Para

pemangku kepentingan tersebut kemudian

berupaya menyusun berbagai pengaturan yang

diperlukan, dan melembagakannya melalui

organisasi masing-masing untuk mewujudkan

tata kepemerintahan yang baik (good

governace). Dasar pijakannya tetap konsisten

pada pelembagaan nilai-nilai luhur (value

based development), prinsip-prinsip

kepemerintahan yang baik (good governance),

serta prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan (sustainable development)

(Manaf, 2011).

5. Implementasi Praktek Perencaan

Partisipatif dan Kolaboratif

Pada implementasinya praktek

perencanaan partisipatif dan kolaboratif

berhadapat dengan tantangan kondisi

masyarakat atau komunitas dimana praktek

perencanaan ruang akan dilaksanakan.

Beberapa penelitian membicarakan tantangan

ini.

Penelitian yang dilakukan Manaf, 2011,

pada Studi Kasus Pelaksanaan Program

Pengembangan Lingkungan Berbasis

Komunitas (PLP-BK) di Kelurahan Prigapus

Kabupaten Semarang menyimpulkan bahwa

pendekatan partisipatif yang diterapkan pada

pelaksanaan PLP-BK di wilayah studi telah

memberikan wewenang yang besar bagi

masyarakat di dalam mengambil keputusan

perencanaan akan tetapi semua itu masih

berada dalam koridor kaidah-kaidah penataan

ruang. Selanjutnya penelitian ini

mengelompokkan 2 (dua) issue penting yang

masih harus diperhatikan untuk memperbaiki

kinerja program di masa yang akan datang:

pertama, kejelasan tentang ruang lingkup

permasalahan program PLP-BK yang

hendaknya lebih mengarah pada permasalahan

skala lingkungan; kedua, karena perencanaan

partisipatif sarat dengan konflik antar pihak

maka kebutuhan akan Tenaga Ahli

Perencanaan Partisipatif (TAPP) yang

memiliki kompetensi tidak hanya pada bidang

tata ruang akan tetapi juga pada metode dan

teknik perencanaan partisipatif menjadi

mendesak.

Praktek lain yang dilakukan oleh

Sufianti,E. dkk, 2013, pada Proses Kolaboratif

dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

pada Masyarakat Non Kolaboratif di Kota

Surakarta. Disimpulkan bahwa proses

kolaboratif merupakan bagian tak terpisahkan

dari perencanaan berbasis komunikasi, yang

terdiri dari beberapa tahap dan terdapat dialog

otentik didalamnya. Proses ini memerlukan

partisipasi tinggi, kesetaraan kekuasaaan, dan

para aktor yang kompeten. Kondisi ideal ini

terlihat sulit terjadi pada masyarakat yang

memiliki tingkat partisipasi rendah,

ketidaksetaraan kekuasaan, dan kompetensi

yang rendah. Namun proses kolaboratif dapat

terjadi pada masyarakat dengan tingkat

partisipasi rendah, adanya ketidaksetaraan

kekuasaan, kompetensi rendah. Proses ini

dimulai dengan membangun kepercayaan

melalui hubungan, membangun pemahaman

bersama melalui timbal balik, memecahkan

masalah melalui pembelajaran, dan

Page 10: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

membangun komitmen untuk

mengimplementasikan pemecahan masalah

melalui adaptasi terhadap sistem. Serangkaian

tahapan tersebut terjadi melalui suatu proses

dialog tatap muka. Dengan demikian, dialog

tatap muka bukan merupakan bagian dari

tahapan, tetapi terjadi pada semua tahapan.

Proses kolaboratif juga tetap dapat terjadi

karena adanya peran kepemimpinan.

Kepemimpinan tersebut mampu memotivasi

dan membawa mereka kedalam proses

kolaboratif, membuat mereka terlibataktif,

meningkatkan tingkat partisipasi, serta

meningkatkan kemampuan komunikasi dan

substansi dengan cara memotivasi mereka

untuk membicarakan apa yang mereka

butuhkan.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh

Saragih, T., 2011, menyimpulkan bahwa

proses partisipasi masyarakat dalam

pembentukan perda RDTR dan Kawasan

dapat dilakukan melalui ; (1) lokakarya atau

konsultasi publik untuk menjaring aspirasi

masyarakat yang dilakukan secara bertahap

kewajibannya sebagai pelaku pembangunan

wilayah dengan difasilitasi oleh pemerintah,

(2) proses dialog yang terus menerus

sepanjang keseluruhan proses penataan ruang,

sehingga terjadi proses pembelajaran bersama

dan pemahaman bersama (mutual

understanding) berbagai pihak tentang

penataan ruang.

Penelitian presepsi stakeholder atas

perencanaan partisipatif dalam penyusunan

RDTR Kota Semarang yang dilakukan oleh

Farchan, M, 2005 menunjukkan bahwa

masyarakt masih cenderung menganggap

proses penyusunan RDTR selama ini belum

partisipatif sementara pemerintah cenderung

menganggap proses penyusunan RDTR Kota

Semarang sudah partisipatif. Hal ini terjadi

Karena adanya ketidaksamaan presepsi

masyarakat dengan pemerintah tentang makna

dan proses partisipatif, demikian halnya dalam

implementasinya.

Menurut Saraswati, 2006, dalam alur

komuniatif rasionalitas tersebut, konsep dasar

mengenai komunikasi dan kolaborasi antara

budaya lokal atau kearifan lokal dengan

perencanaan masih belum secara eksplisit

dibicarakan, karena selama ini komunikatif

rasionalitas lebih banyak membicarakan

hubungan antar individu, kelompok

masyarakat, pemerintah, pelaku bisnis, dan

stakeholder perencanaan lainnya. Budaya atau

kearifan budaya lokal sebagai bagian dari

“practical reasoning” sesungguhnya ada dan

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat,

terutama di negara-negara sedang berkembang

bukan barat (non western culture) seperti

Indonesia, di samping perencanaan normatif

sebagai hasil penalaran “knowledge of

science” dalam perencanaan.

6. Urgensitas Praktek Perencanaan

Partisipatif dan Kolaboratif.

Kecenderungan yang selama ini

ditampilkan oleh para penentu kebijakan

penataan ruang adalah kurang menumbuhkan

semangat partisipasi masyarakat. Partisipasi

dan kolaborasi masyarakat terkadang hanya

sekedar dipolitisir untuk memperjuangkan

kepentingan-kepentingan lain yang justru

semakin jauh dari harapan masyarakat. Oleh

karena partisipasi masyarakat tidak terlalu

diperdulikan, maka tidaklah mengherankan

kalau keputusan-keputusan yang dihasilkan

secara “top down” tersebut kemudian

mendapat perlawanan dari masyarakat.

Masyarakat memberontak, karena mereka

menilai bahwa kepentingan mereka sungguh

terabaikan. Sebuah proses pembuatan

kebijakan yang baik sangat diperlukan adanya

partisipasi masyarakat, dan oleh karena itu

masyarakat harus dilibatkan sejak awal proses,

Page 11: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

mereka perlu didengar dan diajak bicara dalam

suasana tanpa tekanan. Pada prinsipnya

kebijakan (Peraturan) yang dikeluarkan oleh

Pemerintah termasuk menyangkut

pembangunan harus bermanfaat untuk

masyarakat.

Proses pembuatan kebijakan penataan

ruang yang baik sangat dianjurkan untuk

menumbuhkan prinsip partisipatoris-

responsif, terutama partisipasi masyarakat

dalam proses legislasi. Partisipasi diartikan

sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu

proses pembangunan yang didorong oleh

determinasi dan kesadarannya tentang arti

keterlibatannya tersebut. Apabila yang

muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak

didorong oleh determinasi dan kesadaran,

maka hal tersebut tidak termasuk dalam

kategori partisipasi melainkan lebih tepat

disebut sebagai mobilisasi (Soetomo, 2006).

Sedangkan prinsip “responsif” sebagaimana

untuk pertama kali digagas oleh Nonet &

Selznick dimaknakan sebagai prinsip yang

memungkinkan sebuah tatanan hukum dapat

bertahan dan mampu menangkap tuntutan dan

keinginan masyarakat yang terlingkup dalam

sebuah kehidupan sosial tertentu.

Kebijakan penataan ruang ideal, proses

pembuatan dan perumusan kebijakan ideal

penataan ruang haruslah menerapkan prinsip

partisipatoris-responsif. Prinsip ini menuntut

adanya partisipasi aktif dari masyarakat, dan

dengan demikian kebijakan penataan ruang

yang dihasilkan benar-benar merespon

sekalian kepentingan/kebutuhan masyarakat

di mana kebijakan penataan ruang itu

diadakan atau dibuat. Keterlibatan masyarakat

ini menjadi sangat penting untuk ikut memberi

arah dari kebijakan penataan ruang tersebut,

dan sekaligus untuk menghindari adanya

protes dari warga masyarakat di kemudian hari

ketika kebijakan penataan ruang menjadi final

(Lisdiyono, 2008).

Semangat perencanaan partisipatif dan

kolaboratif juga sejalan dengan prinsip

moralitas. Prinsip-prinsip moralitas sangat

diperlukan dalam proses pembuatan kebijakan

hukum tata ruang yang ideal diperlukan untuk

mewarnai pola pikir dan pola tingkah laku

para pengambil kebijakan dalam merumuskan

dan merencanakan kebijakan hukum tata

ruang. Prinsip ini menjadi sangat penting

sebagai penyaring seluruh substansi kebijakan

penataan ruang yang tidak berpihak pada

kepentingan yang lebih besar.

Oleh karena pertimbanganpertimbangan

moral kurang mendapatkan perhatian yang

semestinya, sehingga banyak kebijakan

penataan ruang yang secara moral sangat

merugikan masyarakat tapi tetap disahkan

untuk diberlakukan. Pertimbangan moral ini

menjadi sangat penting dalam setiap

pembuatan kebijakan, karena harus disadari

sungguh-sungguh bahwa setiap kebijakan

yang dibuat selalu terkait erat dengan aspek

manusia yang dalam hal ini tergabung dalam

sebuah kelompok masyarakat. Pandangan

yang demikian mengisyaratkan, bahwa

legislasi atau proses pembuatan hukum itu

dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dan

kebenaran, kebahagiaan, kemaslahatan, dan

kebahagiaan umat manusia (Lisdiyono, 2008).

Mengintegrasikan prinsip-prinsip moral

dalam perencanaan ruang merupakan fokus

pembahasan etika spasial. Secara teoretis etika

berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik,

tata cara hidup yang baik yang melekat pada

diri seseorang atau masyarakat, yang dianut

dan diwariskan dari satu generasi kegenerasi

lain. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu

dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau

norma yang disebarluaskan, dikenal,

dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam

masyarakat. Kaidah, norma atau aturan itu

pada dasarnya menyangkut baikburuk

perilaku manusia. Dengan kata lain, kaidah ini

Page 12: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

menentukan apa yang baik harus dilakukan

dan apa yang buruk harus dihindari. Oleh

karena itu, etika sering dipahami sebagai

ajaran yang berisikan aturan tentang

bagaimana manusia hidup baik sebatai

manusia, atau sebagai ajaran yang berisikan

perintah dan larangan tentang baik buruknya

perilaku manusia (Keraf, 2002).

Konsep etika yang demikian itu dapatlah

dipahami secara lebih luas sebagai pedoman

bagaimana manusia harus hidup, dan

bertindak sebagai orang yang baik. Etika

memberi petunjuk, orientasi, dan arah tentang

bagaimana harus hidup secara baik sebagai

manusia. Konsep etika ini jangan lalu

dipahami sebagai sesuatu yang berada jauh di

awang-awang, melainkan sebagai refleksi

kritis tentang bagaimana manusia harus hidup

dan bertindak dalam situasi konkret. Etika

adalah filsafat moral atau ilmu yang

membahas dan mengkaji secara kritis

persoalan benar dan salah secara moral,

tentang bagaimana harus bertindak dalam

situasi konkret (Keraf, 2002).

Pada akhirnya praktek perencanaan ruang

yang partisipatif dan kolaboratif akan

menghasilkan proses perumusan kebijakan

hukum tata ruang dengan mempertimbangkan

sekalian aspek dalam tuntunan prinsip

partisipatoris responsif tersebut, maka secara

ideal dapat dihasilkan sebuah produk hukum

(produk kebijakan) tata ruang yang baik.

Produk hukum penataan ruang yang

dihasilkan tersebut jelas tidak akan

mengabaikan keberadaan manusia yang

terlingkup dalam sebuah masyarakat, aspek

ketahanan lingkungan ekologis maupun aspek

keteraturan dan estetika. Dengan demikian,

sebuah ruang sosial diperbolehkan untuk

ditata, dikelola, dan dimanfaatkan, namun

segala hal yang dilakukan itu tidak boleh

meninggalkan sekalian aspek yang terdapat

dalam ruang sosial tersebut.

KESIMPULAN

Perkembangan teori perencanaan telah

mengarah dari alur instrumental rasionalitas

ke alur komunikatif rasionalitas, yaitu suatu

pemahaman bahwa perencanaan perlu

melibatkan berbagai aspek yang terlibat di

dalam perencanaan, termasuk di dalamnya

adalah masyarakat sebagai bagian penting

dalam proses perencanaan. Teori perencanaan

sebagai suatu perspektif, ternyata telah

mengantarkan perlunya pelibatan masyarakat

dalam perencananaan melalui berbagai bentuk

konsep baik teoritis maupun praktek, seperti

partisipatif dan colaboratif .

Pada prakteknya perencanaan ruang yang

partisipatif dan kolaboratif memerlukan ; (1)

tenaga ahli yang memiliki kompentensi

perencanaan partisipatif, (2) partisipatif aktif

publik atau masyarakat, (3) keseteraan

kekuasaan, (4) kepemimpinan yang

memotivasi, (5) kesamaan pandangan makna

dan implementasi partisipatif serta kolaborasi.

Perencanaan ruang dengan pendekatan

partisipatif dan kolaboratif diperlukan agar

kepentingan publik tidak terabaikan. Integrasi

prinsip-prinsip moral pada proses perencanaan

ruang merupakan implementasi dari etika

spasial yang membuka nilai-nilai baru pada

pengambilan keputusan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, J.,1996. Sharing the city: community

participation in urban management

(1sted.). London: Earthscan

Publication Ltd.

Akadun., 2011. “Revitalisasi Forum

Musrenbang sebagai Wahana

Parttisipasi Masyarakat

dalam Perencanaan Pembangunan”,

MIMBAR, Jurnal Sosial dan

Pembangunan, Vol. XXVII,No.2

Page 13: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

(Desember 2011): hal. 183-191

‘Terakreditasi’ SK Dikti No.

64a/DIKTI/Kep/ 2010.

http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/

mimbar/article/view/327. Diunduh

pada tanggal 8 September 2013

Allmendinger, Philip, 2002, Toward Post-

Positivist Typology of Planning

Theory, SAGE

Publication, 1 (1). 77-99.

Burkholder, S. H., Chupp, M., & Star,

P.(2003). Principles of spasial

planning for community development.

Cleve and: Maxine Goodman Levin

College of Urban Affairs.

Conyers, D., 1984. “Perencanaan Sosial di

Dunia Ketiga, Suatu Pengantar”

(Susetiawan, Trans.). Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Conyers, D., & Hills, P., 1984. An

introductionto development planning

in the Third Wolrd. New York: John

Wiley & Sons Ltd.

Day, C., & Parnell, R., 2003. Consensus

Design: Socially inclusive process.

Oxford: Architectural Press.

Djoeffan, S., 2002. “Strategi Partisipasi

Masyarakat dalam Perencanaan

Pembangunan di Indonesia”.

MIMBAR, Jurnal Sosial dan

Pembangunan, 18,

mar.http://ejournal.unisba.ac.id/index

.php/mimbar/article/view/63>.

Diunduh pada tanggal 18 Januari 2014.

Ernawi, I. S., 2010. Morphology –

Transformasi dalam Ruang Perkotaan

yang Berkelanjutan. Paper presented at

the Seminar Nasional “Morfologi –

Transformasi Dalam Ruang Perkotaan

Yang Berkelanjutan”.

Farchan, M., 2005. “Presepsi Stakeholder

Atas Perencanaan Partisipatif Dalam

Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota

Semarang”. Tesis tidak

dipublikasikan. Program Magister

Teknik Pembangunan Wilayah dan

Kota, Universitas Diponegoro

Semarang.

Healey, P., 2006. Collaborative Planning:

Shaping Places in Fragmented

Societies. New York: Palgrave

Macmillan.

Keraf, A., Sonny. “Etika Lingkungan”.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Lisdiyono, E., 2008. Legislasi Penataan

Ruang Studi Tentang Pergeseran

Kebijakan Hukum Tata Ruang Dalam

Regulasi Daerah Di Kota Semarang.

Disertasi tidak dipublikasi. Program

Doktor Ilmu Hukum, Univeritas

Diponegoro, Semarang.

Lincoln, Y. S. & Guba, E. G., 2000. “Paradigmatic controversies,

contradictions, and emerging

confluences”. In N. K. Denzin & Y. S.

Lincoln (Eds.), Handbook of

qualitative research (2nd ed., pp. 163-

188). London: Sage Publications.

Manaf, A., 2011. ”Menuju Pembangunan

Berbasis Tata Ruang Melalui

Perencanaan Lingkungan Bertetangga

Secara Partisipatif”, Jurnal Tata Loka.

Volume 13, Nomor 3, Agustus 2011,

hal. 152-166.

Panudju, B., 1999. “Pengadaan Perumahan

Kota dengan Peran Serta Masyarakat

Berpenghasilan Rendah. Jakarta:

Page 14: Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang ... · Pelibatan Publik Dalam Prespektif Perencanaan Ruang yang Partisipatif dan Kolaboratif Oleh ... dipandang sebagai satu

Yayasan Adikarya Ikapi & The Ford

Foundation.

Saraswati, 2006. “Kearifan Budaya Lokal

Dalam Prespektif Teori Perencanaan”,

Jurnal PWK Unisba.

Soerjodibroto, G., 2007. Upaya menuju tata

ruang yang efektiv: masalah dan

tantangan. Paper presented at the

Seminar Tata Ruang UNDIP

Semarang.

Sufianti, E., dkk, 2012. “Proses Kolaboratif

dalam Perencanaan Berbasis

Komunikasi Pada Masyarakat Non

Kolaboratif”. Mimbar. Volume 29,

Nomor 2, Desember 2013, hal. 133-

144.

Saragih, T.M, 2011. ”Konsep Partisipasi

Masyarakat Dalam Pembentukan

Peraturan Daerah Rencana Detail Tata

Ruang Dan Kawasan”. Jurnal Sasi.

Volume 17, Nomor 3, Juli-September

2011, 11-20.

Sofyan, A., 2007. Mengkritisi Perencanaan

Pembangunan, Online:

(https://khazanaharham.

wordpress.com/2007/09/04/menkritisi

-perencanaan-pembangunan), diakses

27 Juli 2017.

Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan

Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,

2006.