LAPORAN PENELITIAN TELAAH KEMUNGKINAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA UNTUK SISTEM WANA TANI DI KACAMATAN KURAU KALIMANTAN SELATAN Oleh IR.H. SETIA BUDI PERAN, MP (NIDN 0016085803) IR. H.AHMAD YAMANI, MP (NIDN 0002076011) FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT A P R I L 2016
40
Embed
Oleh IR.H. SETIA BUDI PERAN, MP (NIDN 0016085803)eprints.ulm.ac.id/3421/1/Telaah Kemungkinan... · telaah kemungkinan pemanfaatan lahan rawa untuk sistem wana tani di kacamatan kurau
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PENELITIAN
TELAAH KEMUNGKINAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA
UNTUK SISTEM WANA TANI DI KACAMATAN KURAU
KALIMANTAN SELATAN
Oleh
IR.H. SETIA BUDI PERAN, MP (NIDN 0016085803)
IR. H.AHMAD YAMANI, MP (NIDN 0002076011)
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
A P R I L 2016
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……………………………………………………. iv
DAFTAR TABEL .... ……………………………………………………… v
I. PENDAHULUAN ............................................................................... … 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. …… 5
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............ …………………. 9
IV. KEADAAN UMUM TEMPAT PENELITIAN.......................................... 10
A. Lokasi dan luas...................................................................................... 10
B. Topografi............................................................................................... 10
C. Iklim...................................................................................................... 11
D. Tanah dan Geologi................................................................................ . 11
E. Penggunaan Lahan................................................................................ 12
F. Vegetasi................................................................................................. 12
G. Demografi............................................................................................. 12
H. Mata Pencaharian.................................................................................. 13
I. Sosial Budaya......................................................................................... 13
V. METODOLOGI PENELITIAN................................................................ 14
A. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 14
B. Obyek dan Alat Penelitian........................................................................ 14
C. Prosuder Penelitian................................................................................... 14
D. Parameter yang diteliti................................................................................ 15
E. Analisis Data.............................................................................................. . 16
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 17
A. Hasil Penelitian.......................................................................................... 17
B. Pembahasan............................................................................................... 21
VII. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 29
A. Kesimpulan.................................................................................... ... 29
B. Saran-saran ........................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji atau menduga kemungkinan pemanfaatan lahan rawa
atau gambut untuk penerapan dan pengembangan system Wana Tani atau Agroforestry. D ari
penelitian ini diharapkan dapat diproleh informasi (data) untuk dijadikan acuan dalam menduga
kemungkinan penerapan dan pengembangan system wana tani di lahan rawa serta bentuk Wana
Tani sesuai dengan kondisi lingkungan setempat . lokasi penelitian di Kecamatan Kurau,
Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan selam 4 (empat) bulan mulai bulan Desember. 2016
sampai dengan bulan Maret 2017. Metode yng digunakan untuk analisa vegetasi dengan system
jalur berpetak, sedangkan untuk identifikasi tanahnya dengan pengambilan sampel tanahnya
secara komposit, kemudian dianalisis dilaboratorium. Hasil penelitian menunjukkan jenis-jenis
vegetasi hutan alam yang ditemukan adalah rambai, piai, nipah, buta-buta, panggang, rungun dan
bakau laki. Nipah dan rambai jenis yang mendominasi tingkat tiang dan pohon. Untuk jenis
tanaman budidaya yang dominan adalah kelapa. Kandungan hara makro tanah N sedang, P
sangat rendah dan ,K rendah, dengan pH tanahnya tergolong masam. Penduduknya sebagian
besar berasal dari suku Banjar dengan mata pencaharian pokoknya bertani di lahan rawa gambut.
Kata kunci : Lahan Rawa; Wana Tani.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah laporan
penelitian yang berjudul ”Telaah Kemungkinan Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Sistem Wana
Tani di Kecamatan Kurau Kalimantan Selatan” ini dapat diselesaikan untuk memenuhi surat
perjanjian pelaksanaan penelitian nomor 2057/PT10.H.1/R-1997, tanggal 18 Nopember 1997.
Pada kesempatan ini Tim penelitian mengucapkan terima kasih atas bantuan, partisipasi
dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dan diselesaikan kepada :
1. Bapak Rektor ULM
2. Kepala Lembaga Penelitian ULM
3. Dekan Fakultas Kehutanan ULM
4. Ketua Jurusan Kehutanan ULM
5. Staf Kantor Kecamatan Kurau
6. Semua pihak
Disadari bahwa banyak keterbatasan dalam penyajian laporan ini, karenanya kritik
dan saran selalu diharapkan.
Akhirnya semoga laporan ini dapat bermanfaat, terutama bagi penelitian dan
pengembangan dalam rangka ikut serta menyumbangkan pemikiran bagi pembangunan kawasan
yang menjadi obyek penelitian.
Banjarbaru, Januari 1998
Tim peneliti
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Jenis Penggunaan Lahan ................................................. 12
2. Komposisi Jenis Vegetasi Alam Beserta
KN, FN, INP Tingkat Semai............................................ 17
3. Komposisi Jenis Vegetasi Alam Beserta
KN, FN dan INP Tingkat Pancang.................................. 17
4. Komposisi Jenis Vegetasi Alam Beserta
KN, FN, DоN dan INP Tingkat Tiang............................ 18
5. Komposisi Jenis Vegetasi Alam Beserta
KN, FN, DоN dan INP Tingkat Pohon............................ 18
6. Komposisi Jenis Vegetasi Budidaya............................... 19
7. Kandungan Hara dan Ph tanah........................................ 20
I. PENDAHULUAN
Secara keseluruhan Kalimantan Selatan meliputi wilayah seluas kurang lebih 37.530 km2.
Bagian timur dari propinsi ini, seluas 2,1 juta hektar adalah daerah berbukit dan bergunung, di
wilayah ini tumbuh hutan primer, hutan sekunder dan padang alang-alang ( Imperata cylindrica
). Bagian barat merupakan daerah rawa, terdiri dari rawa pasang surut ( 200.000 ha ), rawa
monoton ( 500.000 ha ) dan rawa banjir (100.000 ha ).
Rawa Kalimantan Selatan mendapat perhatian karena dua hal, pertama karena telah lama
areal ini diusahakan oleh penduduk setempat kedua karena areal yang potensial untuk
pengembangan semacam ini masih sangat luas. Usaha tani di wilayah ini meskipun perlahan
terus menerus berkembang (Ismet Ahmad, 1994).
Dewasa ini lahan subur di pulau Jawa yang menopang swasembada beras terus menyusut,
padahal swasembada beras harus tetap dipetahankan agar stabilitas pangan nasional dapat terus
berlangsung. Dalam upaya mengantisipasi masalah tersebut saat ini terdapat pilihan, yaitu
pemanfaatan lahan rawa atau gambut yang ada di luar pulau Jawa, dan Kalimantan Selatan
seperti tersebut di atas memiliki lahan rawa atau gambut yang cukup potensial untuk
dikembangkan. Hingga saat ini oleh penduduk yang bermukim di sekitar areal lahan tersebut
masih tetap diusahakan baik untuk keperluan pertanian, perkebunan dan lain-lain.
Ironisnya, dalam upaya memperoleh lahan untuk usaha pertanian di lahan rawa atau
gambut, ekosistem hutan yang ada di atasnya dibabat begitu saja tanpa lebih jauh
mempertimbangkan keseimbangan ekologis setempat, padahal eksistensi vegetasi hutan idealnya
perlu diperhatikan dalam memperoleh fungsi ekologisnya pada suatu tempat.
Kecamatan Kurau adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Tanah Laut,
propinsi Kalimantan Selatan yang lahannya sebagian besar adalah lahan rawa gambut yang saat
ini dimanfaatkan untuk pengembangan usaha tani bagi petani setempat dan transmigran dari
pulau Jawa.
Lahan rawa yang sebagian besar terdiri dari tanah aluvial dan tanah gambut merupakan
ekosistem yang rapuh dan marginal ( Widjaja- Adhi, 1992). Pengelolaan yang kurang tepat dan
cermat terhadap tanah ini dapat menyebabkan degradasi, yang selanjutnya produktivitas lahan
cenderung semakin menurun. Pemanfaatan lahan rawa memerlukan perencanaan dan
pengelolaan dengan pendekatan yang kompleks yang meliputi aspek ekologis, aspek ekonomis,
dan aspek sosial – budaya.
Secara ilmiah di sektor kehutanan terdapat sistem pengelolaan lahan yang dinilai efektif
dalam memenuhi tuntutan ekologis, ekonomis, sosial – ekonomis dan sosial –budaya, yaitu
sistem wana tani atau agroforestry dengan berbagai macam bentuknya yang dapat dipilih sesuai
dengan kondisi ekologis, sosial – ekonomis, dan sosial – budaya setempat. Sistem ini dalam
penerapannya di beberapa pedesaan di pulau Jawa telah memberikan hasil atau kontribusinya
terhadap lingkungan fisik dan pendapatan petani ( Departemen Kehutanan, 1992). Sedangkan di
Filipina Saplaco (1996) dalam Udiansyah (1997) menyatakan bahwa suatu bentuk sistem wana
tani yang disebut Lowland Agroforestry System (LAS) telah memberikan hasil yang
menakjubkan terhadap pendapatan bersih ( Net Income ), yaitu sebesar 33 kali lebih tinggi
daripada usaha tani monokultur padi. Disamping keuntungan finansial tersebut di atas, sistem ini
juga dapat mempertahankan biodiversitas dengan segala dampak positifnya terhadap populasi
fauna dan flora, mencegah fluktuasi cuaca yang terlampau ekstrim, mengurangi ketergantungan
terhadap pestisida dan bahan kimia untuk penggunaan dalam proses produksi padi, dan secara
umum menjaga kualitas lingkungan.
Dengan memperhatikan uraian di atas, sistem wana Tani tampaknya cocok diterapkan di
lahan rawa, karena tidak saja dapat memperbaiki tingkat pendapatan petani yang
mengusahakannya, akan tetapi juga dengan adanya tanaman keras berupa pohon – pohonan pada
sistem ini dapat menjaga lingkungan, namun permasalahannya adalah untuk menemukan bentuk
sistem wana tani di lahan rawa yang tepat, secara teknis dapat dilakukan, secara ekonomis dan
ekologis menguntungkan perlu dikaji sistem ini diduga dapat diterapkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Agroforestry ( Wana Tani )
1. Pengertian Agroforestry ( Wana Tani )
Menurut King dan Chandler (1978), agroforestry adalah suatu sistem pengelolaan lahan
dengan berazaskan kelestarian, yang mampu meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan,
mengkombinasikan produksi tanaman pertanian dan tanaman hutan dan atau hewan secara
bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan
yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat.
Dipandang dari aspek ekologis dan ekonomis, sistem agroforestry lebih kompleks dari
sistem monokultur. Sistem agroforestry produksinya selalu beraneka ragam dan saling
bergantung satu sama lainnya. Sekurang-kurangnya satu komponen merupakan tanaman keras
berkayu, sehingga siklusnya lebih dari satu tahun. Sistem agroforestry juga bersifat lokal, karena
harus cocok dengan kondisi-kondisi ekologi dan sosial ekonomi setempat (Nair, 1998).
Abdul Manap dan Abood (1990) menyatakan bahwa fungsi utama pohon-pohon dan
tanaman keras lainnya dalam sistem agroforestry adalah untuk memberikan jasa, dan juga untuk
memberikan penghasilan langsung dalam bentuk buah-buahan, biji-bijian, rebung, kulit dan akar.
Menurut Lundgren (1988) dalam Anonim (1992) agroforestry adalah suatu nama kolektif
untuk sistem-sistem penggunaan lahan dan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-
pohonan, perdu, jenis-jenis palma, bambu, hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu
bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi
ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan.
Komoditi yang dihasilkan dari sistem agroforestry, tidak semata-mata komoditi
kehutanan, tetapi komoditi lainnya seperti tanaman pangan, hijauan makanan ternak, kayu bakar
dan lain-lain. Dengan demikian pengembangan sistem agroforestry diharapkan dapat
memecahkan masalah penggunaan lahan sehingga kebutuhan manusia yang bermacam-macam
dapat terpenuhi (Satjapradja, 1981).
2. Manfaat dan keuntungan Agroforestry
Menurut Satjapradja (1981), untuk memperoleh pemecahan masalah penggunaan lahan,
sistem agroforestry dapat diterapkan dengan pertimbangan bahwa sistem ini dapat mencapai
optimalisasi penggunaan lahan dan manfaat lainnya sebagai berikut :
a. Dalam bentuk agroforestry, didapat tanaman yang tidak homogen dan tidak seumur yang
terdiri dari 2 strata atau lebih. Dengan pola tanaman demikian, tajuk tegakan dapat menutup
tanah, terhindar dari erosi dan produktivitas tanah dapat dipertahanka. Selain itu bahwa energi
sinar matahari juga dapat dimanfaatkan secara maksimal.
b. Para petani yang bermukim di sekitar hutan dapat mengolah lahan dengan tanaman palawija
dan hijauan makanan ternak disamping menanam tanaman utama kehutanan. Dengan
demikian sistem agroforestry dapat memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan
pendapatan masyarakat sekitar hutan.
c. Dengan melaksanakan sistem agroforestry akan didapat bentuk hutan serbaguna atau usaha
tani terpadu di luar kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan yang majemuk seperti
kayu pertukangan, kayu bakar, bahan pangan, madu, obat-obatan, hijauan makanan ternak dan
lingkungan hidup sehat serta kebutuhan lain yang mendesak dari penduduk. Dengan demikian
dapat meningkatkan produktivitas lahan.
Keuntungan dari kegiatan agroforestry secara umum adalah sebagai berikut:
a. Keuntungan ekologis, berupa pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal seperti
pemanfaatan sinar matahari lebih efesien dari lapisan strata yang berbeda, adanya fungsi
lindung dari pepohonan yang ditanam, yaitu mengurangi erosi dan penurunan kualitas
lingkungan.
b. Keuntungan ekonomis, karena pemanfaatan sumberdaya alam lebih efesien sehingga hasil
dari setiap unit lahan juga bertambah.
c. Keuntungan sosial-budaya, dapat memberikan hasil sepanjang tahun dari jenis- jenis tanaman
tahunan disamping dari hasil tanaman semusim.
3. Bentuk-bentuk Agroforestry
Menurut king (1992), disebutkan bahwa ada 4 (empat) bentuk agroforestry, yaitu sebagai
berikut :
a. Agrisilviculture, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak
untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
b. Sylvopastoral system, yaitu sistem pengolahan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan
memelihara ternak.
c. Agrosylvo-pastoral system, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksikan
hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan
ternak.
d. Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman
berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya akan tetapi juga daun-daunan dan
buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia atau ternak.
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji atau menduga kemungkinan
pemanfaatan lahan rawa atau gambut untuk penerapan dan pengembangan sistem Wana Tani dan
Agroforestry.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi (data) untuk dijadikan
acuan dalam menduga kemungkinan penerapan atau pengembangan sistem Wana Tani di lahan
rawa serta memperoleh informasi (data) tentang kemungkinan bentuk Wana Tani yang sesuai
dengan kondisi lingkungan setempat.
IV. KEADAAN UMUM TEMPAT PENELITIAN
A. Lokasi dan Luas
Secara geografis daerah penelitian terletak antara lintang 3˚30˙ LS - 3˚43˙ LS dan bujur
114˚30˙ BT - 114˚42˙ BT, sedangkan batas batasnya adalah sebagai berikut:
- Sebelah barat : Laut Jawa
- Sebelah timur : Kecamatan Bati Bati
- Sebelah utara : Kecamatan Aluh Aluh
- Sebelah selatan : Kecamatan Takisung Dan Pelaihari
Secara administrative pemerintah daerah penelitian terletak dalam kecamatan kurau dati
II Tanah Laut, Propinsi Kalimantan Selatan.
B. Topografi
Secara keseluruhan daerah penelitian mempunyai bentuk lahan berupa daratan dengan
kelerengan kurang dari 8 %, yang sebagian besar merupakan lahan basah, yaitu berupa sawah
dan rawa dan hanya sebagian kecil merupakan lahan kering
Tinggi tempat daerah penelitian berkisar antara 0 – 500 m diatass permukaan air laut,
sehingga dapat dikataakan daerah penelitian merupakan daerah dataran rendah dan masih di
pengaruhi oleh pasang surut air laut.
Sungai utama yang terdapat di daerah ini adalah sungai maluka dengan cabang
cabangnya terdiri dari sungai bati bati dan sungai kurau.
C. Iklim
Berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun dari pos pengamatan curah hujan di
kecamatan kurau, ternyata besarnya curah hujan rata rata bulanan adalah 181,6 mm dan
jumlahnya rata rata hari hujan bulanan sebanyak 11,7 hari.
Perbandingan jumlah rata rata bulan kering dan bulan basah menghasilkan nilai Q antara
14,3 sampai dengan 33,3%, dengan demikian berdasarkan system klasifikasi Schidt dan
Ferguson (1951) daerh penelitian termasuk tipe iklim B.
D. Tanah dan Geologi
Berdasarkan peta tanah tinjau Kalimantan selatan skala 1 : 500.000 yang dibuat oleh
lembaga penelitian tanah (LPT) Bogor, terdapat tiga jenis tanah di daerah penelitian, yaitu
orgnoso, glei humus dan alluvial. Jenis tanah organosol tersebar pada daerah rawa pasang surut,
hasil pengamatan dilapangan menunjukkan kematangan dekomposisi bahan organik pada tingkat
fibrik yang potensial di kembangkan untuk pertanian. Jenis tanah glei humus alluvial tersebar di
sepanjang tanggul tanggul sungai yang relative sempit dan meluas disepanjang pantai selatan.
Jenis tananh ini umumnya sangat subur untuk pertanian apabila salinitas airnya tidak melebihi
batas ambang.
E. Penggunaan Lahan
Rincian penggunaan lahan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis Penggunaan Lahan
No Jenis penggunaan Luas (ha) Luas (%)
1 Sawah pasang surut 12.235 45,7
2 Pekarangan 599 2,2
3 Tegal/kebun 118 0,5
4 Ladang/huma - -
5 Padang pengembalaan 4.020 15,0
6 Rawa alami 158 0,6
7 tambak 12 0,0
8 Kolam/tabat/emapang - -
9 Tanah kering tidak diusahakan 980 3,7
10 Hutan rakyat 4.050 15,1
11 Hutan negara 2.200 8,2
12 perkebunan 347 1,3
13 Lain lain 2.027 7,7
Jumlah 26.750 100,00
F. Vegetasi
Sesuai dengan kondisi edafis daerah penelitian, maka tipe vegetasi yang masih tersisa
luasnya relatif sedikit berupa hutan payau yang tersebar disekitar desa pantai harapan dan sungai
rasu. Jenis jenis yang mendominasi pada hutan payau atau mangrove adalah Rhizopora spp,
aviccenia spp dan lain lain, sedangkan pada daerah peralihan atau disepanjang sungai terdapat
jenis rambai dan nipah.
G. Demografi
Berdasarkan data demografi kecamatan dalam angka (1996), daerah penelitian dihuni
oleh penduduk berjumlah4.900 kepala keluarga atau 21.900 jiwa, sehingga rata rata riap rumah
tangga terdiri dari 4,3 jiwa. Bila dipandang dari komposisi penduduk menurut umur, maka
berjumlah penduduk tersebut terdiri atas laki laki 10.306 jiwa dan perempuan 10.714.
Pada tahun 198 jumlah penduduk di daerah penelitian berjumlah 19.458 jiwa, sehingga
besarnya tingkat pertumbuhan penduduk rata rata pertahun sebesar 0,9%. Angka tersebut
termasuk kecil bila dibanddingkan dengan tingkat pertumbuhn penduduk secara nasional, yaitu
sebesar 2,2 %. Besarnya kepadatan penduduk rata rata di daerah penelitian adalaha 81,87%.
H. Mata Pencaharian
Pada umumnya mata pencaharian penduduk di desa desa daerah penelitian adalah bertani,
kecuali penduduk di desa pantai harapan dan sungai risau yang sebagian besar bermata
pencaharian subagai nelayan, karena kedua desa tersebut berada di dekat pantai laut jawa.
I. Sosial Budaya
Sebagian besar penduduk di daerah penelitian berasal dari suku banjar, meskipun ada
sedikit dari suku jawa dan bugis. Mereka hidup dalam budaya yang bernafaskan islam sangat
kental, karena itu hampir seluruhnya beragama islam dengan persentase mendekati 100%.
Lainnya. Didalam areal lokasi pengamatan yang sudah ditentukan sebelumnya dibuat
jalur secara
V. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kurau, Kabupaten Tanah Laut/ Pelaihari, Profensi
Kalimantan Selatan. Waktu penelitian selama 4 (empat) bulan, mulai bulan Desember 2016
sampai dengan bulan Maret 2017.
B. Obyek dan Alat Penelitian
Sebagai obyek penelitian adalah areal lahan yang ditumbuhi oleh vegetasi dari jenis-jenis
hutan rawa. Sedangkan peralatan yang dipergunakan antara lain kompas, haga, phiban, meteran,
soil tester, tallysheet, dan alat tulis menulis.
C. Prosedur Penelitian
Sebelum dilakukan pengambilan data dilapangan, maka terlebih dahulu tim peneliti
malakukan survey pendahuluan untuk mengetahui kondisi areal penelitian yang akan diamati.
Setelah benar-benar mengetahui kondisi lapangan barulah dilakukan kegiatan pengamatan
dengan menentukan lokasi pengamatan yang presentatif atau dapat mewakili seluruh areal yang
jadi obyek penelitian.
Selanjutnya untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis vegetasi yang terdapat di
hutan rawa setempat,maka harus dilakukan dengan menganalisis vegetasi. Metode yang
dipergunakan dalam analisa vegetasi tersebut yang umum adalah dengan system jalur berpetak.
Langkah awalnya adalah menentukan titik ikat (starting point) jalur pertama yang akan dibuat
sejajar dengan jalur lainnya. Didalam areal lokasi pengamatan yang sudah ditentukan
sebelumnya dibuat jalur secara acak sebanyak 3 buah jalur dengan lebar 20 m, panjang 500 m
dan jarak antar sumbu jalur 100 m, didalam jalur yang dibuat beberapa petak menurut tingkat
pertumbuhan, yaitu untuk tingkat pohon (Diameter lebih dari 20 cm), 10 x 10 m untuk tingkat
tiang (Diameter tiang 10-20 Cm) 5 x 5 m untuk tingkat pancang tingginya 1,5-3m dan
diamternya kurang dari 10 cm serta 2 m x 2 m untuk tingkat semai (tinggi kurang dari 1,5 m.
sampel tanah diambil setiap jarak 100 m di dalam masing masing jalur).
Pada pekarangan rumah penduduk digunakan metode petak ganda yang di tentukan
secara acak dengan ukuran petak 20 m x 20 m. jumlah petak pada masing masing desa yang
terpilih secara acak adalah 10 buah, sedangkan jumlah desanya adalah 3 buah, jadi jumlah petak
ganda adalah 30 buah.
Sampel tanah juga diambil dengan cara komposit pada 5 titik di luar areal vegetasi alami,
yaitu lahan usaha tani penduduk, sedangkan data sisila ekonomi budaya di peroleh melalui
wawancara dan daftar kuisioner.
D. Parameter yang diamati
1. Keadaan Bio-Fisik
Komponen bio0fisik yang diamati (diteliti) adalah komposisi jenis vegetasi dan
pekaranagan (tanaman) di kawasan pemukiman penduduk, sifat kimia tanah lahan rawa gambut
yang meliputi pH dan kandungn hara makro (N, P, K,) serta keadaan iklim makro, yaitu curah
hujan rata rata tahunan dan tipe iklim.
2. Keadaan Sosial ekonomi
Data yang dikumpulkan meliputi jumlah penduduk, penyebaran penduduk, mata
pencaharian, pendidikan agama/kepercayaan dan adat istiadat serta presepsi msyarakat desa
terhadap keadaan dan kemungkinan pemanfaatan lahan rawa di sekitar pemukiman mereka.
E. Analisis Data
Data vegetasi yang diperoleh dilapangan (alami dan tanaman ) dianalisis dengan
menggunakan rumus muller dombois dan ellenberg (1974) yaitu:
INP = KN + FN + DoN
Dimana :
KN : Kerapatan Nisbi
FN : Frekuensi Nisbi
Don : Dominasi Nisbi
Data kimia tanah dianalisi di labolaturium, data iklim dan sosil ekonomi diulas dan
dianalisis secara kualitatif.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Komposisi Jenis Vegetasi Alami
a. Tingkat Semai
Komposisi jenis vegetasi alami beserta KN, FN, dan INP unutk tingkst semai ddisajikan
pada Tabel 2
Tabel 2. Komposisi jenis vegetasi alami beserta KN, FN, INP Tingkat semai.
No Jenis KN (%) FN (%) INP (%)
1 Rambai 19,30 33,33 52,63
2 Piyai 19,30 33,33 52,63
3 Nipah 57,90 26,39 84,29
4 Buta buta 3,51 6,49 10,45
Dari Tabel 2 diatas terlihat bahwa nilai INP yang paling tinggi adalah pada jenis Nipah,
yaitu 84,29 % yang berarti untuk tingkat semai jenis ini dominan di lokasi penelitian.
b. Tingkat pancang
Komposisi jenis vegetasi alami beserta KN, FN dan INP unutk tingkat pancang
disajikan pada Tabel 3
Tabel 3 komposisi jenis vegetasi alami beserta KN, FN, INP tingkat pancang
No Jenis KN (%) FN (%) INP (%)
1 Rambai 41,30 23,07 64,37
2 Panggang 23,91 30,76 54,67
3 Nipah 13,04 19,23 32,27
4 Rungun 6,52 11,54 18,04
5 Buta buta 10,71 15,38 26,09
Dari Tabel 3 diatas terlihat bahwa INP yang paling tinggi adalah pada jenis rambai, yaitu
64, 37% yang berarti untuk tingkat pancang jenis ini dominan di lokasi penelitian.
c. Tingkat Tiang
Komposisi jenis vegetasi alami beserta KN, FN , DoN dan INP untuk tingkat tiang
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi jenis vegetasi alami beserta KN, FN, DoN, INP tingkat tiang
no Jenis KN (%) FN (%) DoN (%) INP
1 Rambai 29,21 19,44 33,96 82,61
2 Panggang 21,36 27,77 16,98 66,10
3 Rungun 14,61 16,66 15,09 46,38
4 Buta buta 33,71 36,11 33,96 103,78
Dari Tabel 4 diatas terlihat bahwa penilaian INP yang paling tinggi adalah pada jenis buta
buta, yaitu 103,78% yang berarti untuk tingkat tiang jenis ini dominan di lokasi penelitian.
d. Tingkat Pohon
Komposisi jenis vegetasi alami beserta KN, FN, DoN dan INP untuk tingkat pohon
disajikan pada Tabel 5
Tabel 5 komposisi jenis vegetasi alami bserta KN, FN, INP, DoN tingkat pohon.
No Jenis KN (%) FN (%) DoN (%) INP (%)
1 Rambai 28, 83 13,95 26,09 68,87
2 Api api 0,90 0,58 17,39 18,87
3 Panggang 18,02 27,91 17,39 63,32
4 Buta buta 34,23 29,65 17,39 81, 27
5 Rungun 18,02 27,91 21,74 67,67
Dari Tabel 5 diatas terlihat bahwa nilai INP yang paling tinggi adalah pada jenis buta
buta yaitu 81, 27 % yang berarti untuk tingkat pohon jenis ini dominan di lokasi penelitian.
2. Komposisi Jenis Vegetasi Budidaya (Tanaman)
Komposisi jenis vegetasi budidaya tanaman yang terdapat pada lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 5
Tabel 5 Komposisi Jenis Vegetasi Budidaya
No jenis KN (%) FN (%) INP (%)
1 Kelapa 52,63 25,00 77,63
2 Petai 7,01 7,50 14,51
3 Mangga panjang 1,75 2,50 4,25
4 Mangga golek 2,10 5,00 7,10
5 Sirsak 3,50 2,50 6,00
6 Papaya 6,31 5,00 11,31
7 Rambutan 3,50 7,50 11,00
8 Jambu biji 1,76 2,50 4,25
9 Randu 5,26 12,50 17,76
10 Bambu 3,50 7,50 11,00
11 Kemiri 2,10 5,00 7,10
12 Jambu mente 2,45 5,0 7,45
13 Jeruk manis 3,50 2,50 6,00
14 Sukun 2,10 5,00 7,10
15 Belimbing 2,45 5,00 7,45
Dari Tabel 5 diatas terlihat baha kalapa merupakan jenis tanaman budidaya yang paling
tinggi INPnya yaitu 77,63% yang berarti jenis ini merupakan jenis yang dminan di lokasi
(pemukiman) penduduk yang diteliti.
3. Kandungan Hara Dan Ph Tanaman
Rata rata kandugan hara dan ph tananh yang dilakukan pada dua tempat yang berbeda
pada lokasi penelitian , yaitu pada lahan yang telah diusahakan sebagai usaha tani (A) dan lahan
berhutan (B) disajikan pada Tabel 6
Tabel 6. kandungan Unsur Hara dan pH Tanah
Lokasi Unsur hara Kandungan hara pH
A N-TOTAL
P-TOTAL
P- TERSEDIA
K-TOTAL
K-TERSEDIA
AL
FE
0,27%
49,14 Mg/100
2,99 mg/100
75,09mg/100
2,88 me /100
0,0409 me/100 gr
113,5225 ppm
6,02
B N-TOTAL
P-TOTAL
P-TERSEDIA
K-TOTAL
K-TERSEDIA
AL
FE
0,29 %
48,04 mg/100
2,29 ppm
52,11 mg/100
1,84 me/ 100gr
0,1589 m2 /100gr
144,4525 ppm
4. Sosial Ekonomi
Hampir 95% penduduk kecamatan kurau bermata pencaharian bertani pada lahan rawa
gambut, hanya sebagian kecil didamping bertani juga mnangkap ikan di laut, terutama penduduk
yang bermukiman di desai sungai rasau dam pantai harapan. Dari 22 desa yang ada di kecamatan
kurau, sebanyak 16 desa telah menerima IDT (Inpres Desa Tertinggal), hal ini menunjukkan
bahwa kondisi sebahian besar desa desa di kecamatan ini perlu di kembangkan lebih jauh dari
berbagai segi aspek. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa pendapatan mereka
secara kasar relative masih minimal. Menurut mereka minimalnya oendapatan mereka sebagai
petani disebabkan karena lahan yang mereka usahakan belum atau tidak memberikan hasil yang
optimal disebabkan tingkt kesuburan relative masih rendah.
B. Pembahasan
Hasil penelitian terhadap Bio-Fisik lokasi penelitian untuk vegetasi alami ( hutan) yang
ada menunjukan bahwa terdapat 4 jenis tingkat semai dan tingkat tiang serta 5 jenis tingkat
pancang dan pohon. Untuk semai jenis yang dominan adalah Nipah ( Nypa fruticans ) dengan
INP = 84,29 %. Untuk pancang, jenis yang dominan adalah Rambai ( Sonneratia caseolaris )
dengan INP = 64,37 %. Untuk tiang, jenis yang dominan adalah Buta-buta ( Excoecaria
agallocha ) dengan INP = 103,78 % dan untuk pohon juga Buta-buta (Excoecaria agallocha )
dengan INP = 81,27 %.
Tidak ditemukannya jenis NIpah pada tingkat pancang, tiang dan pohon yang sama jenis
ini pada tingkat semai dominan karena jenis ini adalah jenis palma yang secara genitik
pertumbuhannya tidak akan mencapai fase tiang atau pohon. Sedangkan jenis Rambai meskipun
pada tingkat pancang dominan, tetapi pada tingkat semai, tiang dan pohon kalau dilihat INP-nya
meskipun ridak lebih tinggi dari jenis-jenis lain yang ada. Kalau memperhatikan jenis-jenis
Nipah dan Rambai, maka jenis-jenis ini merupakan indicator bahwa lokasi tersebut merupakan
daerah ekoton ( peralihan ) antara ekosistem hutan rawa dan ekosistem hutan mangrove atau
disebut juga ekosistem hutan payau karena lahannya yang secara priodik terendam air sungai (
tawar ) dan air asin ( laut ) yang ada disekitarnya. Jenis-jenis ini merupakan jenis-jenis dominan
pada hutan payau yang diteliti oleh Kamrani ( 1984 ) dan whitmore ( 1984 ).
Untuk vegetasi budidaya ( tanaman ) keras, yang kebanyakan adalah jenis-jenis pohon
kehidupan ( penghasilan buah-buahan ) didominasi oleh jenis kelapa ( Cocus nucifera ).
Melimpahnya jenis ini di lokasi penelitian, karena kelapa merupakan jenis komoditi yang telah
memberikan kontribusi pendapatan bagi penduduk setempat melalui hasil buahnya. Namun
selain kelapa sebagai tanaman komoditi, padi yang ditanam penduduk pun selain untuk
kebutuhan hidup sendiri juga dijual. Jadi kelapa dan padi merupakan tanaman budidaya yang
utama dijadikan sebagai sumber pendapatan petani.
Berdasarkan data hasil penelitian ( Tabel 6 ), kandungan nitrogen ( N ) antara ekosistem
hutan dan lahan yang diusahakan untuk pertanian relatif tidak berbeda ( masing-masing 0,27 %
dan 0,29 % ).
Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah ( lampiran 3 ), kandungan nitrogen pada
kedua lokasi tersebut tergolong sedang.
Jumlah nitrogen yang terdapat di dalam tanah adalah sedikit, sedangkan tiap tahun
diambil tanaman relatif banyak. Disamping itu sejumlah besar nitrogen dalam tanah berada
dalam bentuk organik. Dengan demikian dekomposisi nitrogen merupakan sumber utama
nitrogen tanah, dan nitrogen juga dapat berasal dari hujan dan irigasi. Hakim et al. ( 1986 )
menyatakan, pada umumnya tanah gambut mempunyai tingkat kesuburan alami yang relatif
rendah, miskin unsure hara, hal ini disebabkan atau dipengaruhi oleh jenis bahan gambut, tingkat
kematangan serta lingkungan fisik dan kimia yang khas yang berbeda dengan tanah mineral.
Kandungan phospor tersedia, berdasarkan kriteria penelitian sifat kimia tanah pada kedua
lokasi tergolong rendah, masing-masing nilainya adalah 2,99 ppm dan 2,29 ppm.
Ketersediaan phospor dal\am tergantung pada sifat dan cirri tanah. Penambahan phospor
kedalam ta\nah yang berasal dari sisa-sisa tanaman sedikit jumlahnya. Disamping itu
pertamb\ahan phospor kedalam tanah tidak terjadi dengan pengikatan biokimia seperti halnya
nitrogen, dan hanya bersumber dari deposit atau batuan dan mineral yang mengandung phospor
di dalam tanah. Oleh karena itu kadar phospor tanah juga ditentukan oleh banyak atau sedikitnya
cadangan mineral yang mengandung phospor dan tingkat pelapukannya ( Hakim et al ., 1986 ).
Tersedia atau tidaknya phospor juga tergantung pada derajat kemasaman ( pH ) tanah.
Pada pH tanah yang rendah ( lebih kecil dari 5,0 ) phospor akan diikat oleh unsur besi ( Fe ) dan
aluminium ( Al ) sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Besi fosfat dan aluminium fosfat dasar
mempunyai kelarutan minimum sekitar pH 3,0 – 4,0. Sedangkan pada pH yang tinggi ( lebih dari
8,0 ) phospor diikat oleh kalsium ( Buckman dan Brandy, 1982 ). Sedangkan kandungan
kalium ( K ) tersedia pada kedua lokasi juga tergolong rendah, masing-masing nilainya adalah
2,88 dan 1,84 me/100 gr.
Kalium terdapat pada batuan dan mineral dengan melalui proses pemupukan atau
pembebaskan kalium kedalam larutan tanah dimana sebagian besar bentuk ini akan hilang akibat
pencucian. Kalium tidak dapat masuk ke tanah melalui sumber lain, sehingga proses peredaran
kalium lebih cenderung banyak hilang. Hakim et al. ( 1986 ) menyatakan, tanaman cenderung
mempercepat kehilangan kalium tanah. Dengan demikian, diduga baik pada lokasi berhutan
maupun lahan yang diusahakan untuk pertanian akan mempercepat kehilangan kalsium di dalam
tanah.
Tanah gambut memiliki sifat kimia tanah yang miskin hara dengan proses
pelapukan/perombakan bahan tumbuh-tumbuhan dan jasad renik yang berlangsung lambat, maka
keadaan tanah pada lokasi ini kurang menguntungkan karena pengambilan unsur kalium tanah
oleh tanaman lebih banyak daripada ketersediaannya di dalam tanah.
Untuk pH tanah, pada lokasi berhutan dan lahan pertanian nilainya masing-masing adalah
6,02 ( agak masam ) dan 5,45 ( masam ).
Taher ( 1996 ) menyatakan, sebagian besar gambut di Indonesia bereaksi masam.
Biasanya reaksi tanah yang dalam suasana masam dapat dijumpai kadar aluminium ( Al ) yang
tinggi, terutama jika kadar mineral gambut cukup tinggi. Keadaan yang sangat masam dapat
terjadi jika gambut yang mengandung pirit dikeringkan, terutama jika lapisan piritnya dekat ke
permukaan. Kelarutan Al pada taraf tertentu akan bersifat meracuni tanaman, sehingga
perkembangan akar sangat terhambat dan dapat menyebabkan P kurang tersedia bagi tanaman.
Tanah gambut cenderung bereaksi lebih masam dari tanah mineral pada kejenuhan basa
yang sama. Di samping itu dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asam-asam organik
yang terakumulasi pada tubuh tanah, sehingga meningkatkan kemasaman tanah gambut ( Hakim
et al ., 1986 ).
Berdasarkan data sosial-ekonomi dan sosial budaya, pada umumnya penduduk di lokasi
penelitian sebagian besar adalah suku Banjar yang note bane mata pencahariannya adalah petani,
kecuali penduduk desa Pantai Harapan dan Sungai Rasau disamping bertani juga sebagai pencari
ikan ( nelayan ).
Dari uraian di atas, yaitu mengenai kondisi Bio Fisik tempat penelitian, khususnya
ekosistem hutannya, ternyata ekosistem hutan ada ( tersisa ) adalah ekosistem peralihan antara
hutan rawa dan hutan mangrove. Hutan mangrove di tempat penelitian masih ada terutama di
sekitar desa Pantai Harapan, terbukti dalam penelitian ini telah ditemukan jenis Rhizophora spp,
sedangkan hutan rawa tampaknya sudah tidak ada lagi, karena jenis-jenis penyusunannya tidak
dijumpai, seperti Gonystylus bancanus, Alstonia spathulata, Dyera costulata, Gluta renghas,
Shorea blangeran, Vatica rassak, Shorea ovalis, dan lain-lain.
Disamping itu, secara nasional seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, lahan
untuk usaha tani pun semakin menyempit, lagipula dewasa ini kecenderungan lahan rawa atau
gambut akan dimanfaatkan dan dikembangkan untuk lahan pertanian, tidak terkecuali pada
lokasi penelitian ini, dimana pada lokasi ini ( kecamatan Kurau ) yang meliputi desa-desa sungai
Rasau, Kurau Utara, Kurau, Padang Luas, Handil Maluka dan Pantai Harapan telah berlangsung
pembukaan Iahan rawa gambut 1000 ha untuk dijadikan sawah sistem irigasi bagi penduduk
local dan transmigran yang akan didatangkan dari pulau Jawa ( Dinamika Berita, 1997 ).
Dengan demikian, ada kecenderungan untuk memperoleh lahan yang dimaksud dengan cara
membuka ekosistem hutan yang ada atau tersisa, padahal keberadaan sebuah ekosistem hutan di
suatu tempat selayaknya ada, karena ekosistem hutan mempunyai banyak fungsi yang
bermanfaat bagi manusia baik langsung maupun tidak langsung, terutama kalau dititik beratkan
pada fungsi lindung dan kenyamanan lingkungan. Bertitik tolak pada pemikiran inilah sistem
Wana Tani ( Agroforestry ) tampaknya layak untuk dikembangkan di lokasi ini, dan kalau
didasarkan pada kondisi Bio-Fisik dan sosial- ekonomi lokasi penelitian, maka bentuk-bentuk
sistem Wana tani yang diduga dapat dikembangkan adalah Agrisilvikultur ( tumpang sari ).
Silvofishery ( hutan tambak ) dan Multipurpose Forest Tree Production system.
Dalam rencana pengembangan sistem Wana Tani di suatu lokasi, maka selayaknya
pemilihan jenis vegetasi disesuaikan dengan Zone Agro-Ekosistem, yaitu dengan
memperhatikan komponen-komponen letak tinggi tempat dari permukaan laut ( elevasi ), jenis
tanah dan tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson ( 1951 ).
Lokasi penelitian terletak antara 0 – 500 m dari permukaan laut, tipe iklim B dan jenis
tanah yang ada adalah Organosol, glei humus dan aluvial. Berdasarkan kondisi ini, maka
alternatif pemilihan jenis vegetasi kehutanan yang sesuai adalah seperti yang dinyatakan oleh
Kelompok Penelitian Argo-Ekosistem Jawa Timur ( 1980 ), yaitu jenis-jenis Anthosephalus