1 MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN MELALUI PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS VII SLB/C- YPCM BOYOLALI TAHUN 2009 Skripsi Sri Asdati X.5107604 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN KEGURUAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
69
Embed
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN MELALUI …... · penting yang dibutuhkan siswa adalah trampil berbahasa. ... terhadap sastra dan bahasa Indonesia untuk memahami dan merespon
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN MELALUI
PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PENGAJARAN BAHASA
INDONESIA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS VII SLB/C-
YPCM BOYOLALI TAHUN 2009
Skripsi
Sri Asdati X.5107604
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan dan
membangun sumber daya manusia yang handal, termasuk anak-anak berkelainan
juga diberikan kesempatan dan pelayanan semaksimal mungkin untuk meraih cita-
cita.
Pada dasarnya hak anak adalah hak asasi manusia yang harus dihormati,
dilindungi dan dipenuhi oleh Negara. Sangat jelas bahwa setiap anak mempunyai
hak yang sama dalam memperoleh pendidikan termasuk anak tunagrahita. Hal
tersebut menegaskan bahwa pendidikan perlu diberikan, pendidikan yang
diberikan disekolah antara lain bahasa Indonesia.
Namun kenyataan bahwa kemampuan siswa Tunagrahita dalam menguasai
kompetensi belum menunjukkan gejala yang maksimal dan masih perlu sekali
adanya pembelajaran khusus.
Khususnya anak Tunagrahita menunjukkan kondisi anak yang berbeda
dengan anak normal pada umumnya. Keadaan anak Tunagrahita dapat merupakan
awal dari permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, salah satu kompetensi
penting yang dibutuhkan siswa adalah trampil berbahasa.
Banyak bahkan hampir semua siswa tunagrahita mengalami kesulitan
dalam komunikasi untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, hal ini dapat
diketahui dari percakapan sehari-hari dan Tanya jawab yang diberikan oleh guru.
Secara umum mereka belum menunjukkan kompetensi berbicara yang baik.
Untuk memenuhi tuntutan terhadap perlunya kemampuan berbicara, dengan
komunikasi berbahasa Indonesia bagi anak tunagrahita, maka sesuai dengan
kurikulum bahasa Indonesia SMPLB tunagrahita ringan tahun 2004 standard
kompetensi yang ditargetkan adalah siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis, minimal
peserta didik menggambar pengetahuan, ketrampilan berbahasa dan sikap positif
terhadap sastra dan bahasa Indonesia untuk memahami dan merespon situasi
lokal, reginal dan nasional.
3
Namun kondisi yang ada masih jauh dari tujuan pembelajaran tersebut.
Saya mengajar di SLB YPCM Boyolali jenjang SMPLB kelas VII bidang studi
bahasa Indonesia, memang letak sekolah ditengah-tengah kota akan tetapi anak
didik sebagian besar dari wilayah pelosok pedesaan yang mengalmi tunagrahita
ringan.
Dikelas guru mengajar dengan banyak permasahan yang terjadi, rata-rata
mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya ujaran-ujaran yang didapat mereka pada
lingkungan sehari-hari, mereka tidak mampu memberikan respon yang
semestinya, ketika ada orang lain berbicara kepadanya.
Anak didik tidak mampu memberikan respon kepada lawan bicara yang
berbicara, misal apa kamu sudah belajar bahasa Indonesia ? siswa hanya akan
menjawab ya atau bahkan diam saja, respon yang diharapkan adalah “ya saya
sudah belajar”, saya disini merupakan unsur penting pembicaraan tidak akan
berlanjut bila siswa tidak memiliki kompetensi berbahasa seperti tersebut diatas.
Hal ini sering diabaikan oleh guru sehingga siswa banyak yang tidak tahu
apa yang seharusnya diucapkan bila ada orang yang mengajak bicara. Guru hanya
mengajarkan bahasa tradisional seadanya saja yang tidak memberikan makna dan
tidak memungkinkan siswa melakukan pembicaraan dalam bahasa Indonesia,
maka siswa hanya mampu dalam ranah kognitif saja.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut ditetapkan dengan
tujuan mengembalikan pengajaran bahasa Indonesia kepada kemampuan
berkomunikasi atau kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa adalah
kecakapan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi yaitu menyampaikan pesan
dari seseorang kepada orang lain, dari pembicara atau penulis kepada pendengar
atau pembaca.
Disamping itu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar 2006
menyiratkan pendekatan komunikatif yang digunakan dalam pengajaran bahasa
Indonesia. Bahasa diajarkan untuk keperluan berkomunikasi, sesuai dengan
komunikasi dengan konteks.
Mengingat pentingnya permasalahan yang dihadapi anak tunagrahita
tersebut guru merasa tergerak untuk mencari pemecahannya guru mencoba
4
menerapkan suatu strategi pembelajaran yang menyenangkan sekaligus melatih
anak tunagrahita memberikan respon yang benar bila ada orang yang mengajak
bicara.
Dalam penelitian ini akan dikaji tentang MENINGKATKAN KEMAMPUAN
KOMUNIKASI LISAN MELALUI PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM
PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI ANAK TUNAGRAHITA
RINGAN KELAS VII DI SLB/C - YPCM BOYOLALI.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
“Apakah dengan melalui pendekatan komunikatif dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi dalan pengajaran bahasa Indonesia bagi anak
tunagrahita ringan kelas VII di SLB/C YPCM Boyolali tahun ajaran 2009. “
C. Tujuan Penelitian
a. Penulis ingin meningkatkan pengucapan dan intonasi dengan benar dalam
komunikasi lisan.
b. Penulis ingin meningkatkan kelancaran siswa dalam memberikan respon
kepada guru atau teman yang mengajaknya bicara dengan bahasa
Indonesia.
c. Penulis ingin menciptakan suasana kelas yang aktif dan responsive.
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberi manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Dapat memberikan wawasan pengetahuan mengenai pendekatan
komunikatif meningkatkan komunikasi lisan anak tunagrahita ringan
untuk lembaga Pendidikan Luar Biasa.
5
2. Manfaat praktis
a. Bagi guru :
1) Dapat memperbaiki kinerjanya dengan mengembangkan
strategi mengajar bahasa Indonesia sesuai dengan karakteristik
anak tunagrahita ringan.
b. Bagi Siswa :
1) Dapat mengatasi kesulitan dalam melakukan komunikasi lisan
pada pengajaran bahasa Indonesia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Tinjauan tentang anak tunagrahita
a. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan
Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam referensi disebut pula
dengan terbelakang mental, lemah ingatan, fibleminded, mental sub normal,
tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut adalah sama, yakni
menunjukkan kepada seorang yang memiliki kecerdasan mental dibawah
normal.
Anak tunagrahita ringan adalah salah satu golongan anak tunagrahita
yang taraf kecacatanya masih ringan, serta masih mempunyai kemampuan
untuk dididik secara sederhana hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Munzayanah (2000:200) yang menyatakan bahwa:
”Anak tunagrahita ringan atau anak mampu didik ialah mereka yang masih mempunyai kemungkinan memperleh pendidikan dalam bidang membaca, menulis, dan menghitung pada suatu tingkat tertentu disekolah khusus. Biasanya untuk kelompok ini dapat mencapai tingkat tertentu, setingkat dengan kelas IV Sekolah Dasar, serta dapat mempelajari ketrampilan-ketrampilan yang sederhana”.
Pendapat tersebut di atas senada dengan pendapat S.A. Bratanata
(1997:5) yang menyatakan bahwa ”Anak tunagrahita ringan adalah anak yang
masih mempunyai kemungkinan memperoleh pendidikan akademis sampai
kelas dasara empat atau lima dan dapat mempelajari ketrampilan-ketrampilan
sederhana”.
Menurut American Asosiation on Mental Deficiency (AAMD) dan PP
No.72 tahun 1991 tentang anak berkebutuhan khusus yang dikutip oleh Moh.
Amin (1995:22) menyatakan bahwa ”Anak tunagrahita adalah mereka yang
mempunyai IQ antara 50-70 sehingga mengalami hambatan dalam kecerdasan
dan adaptasi sosialnya, namun mereka mempunyai kemampuan untuk
berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan
kemampuan bekerja”.
7
Emi Dasiemi (1997:138) memberikan batasan anak tunagrahita ringan
atau debil yaitu anak yang mempunyai IQ antara 50/55 70/75, kurang mampu
mencari nafkah sendiri, namun masih mampu menerima pendidikan dan
latihan meskipun terbatas.
Dari pengertian diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
anak tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai intelektual atau
kecerdasan mental antara 50/55 - 70/75 dan mengalami hambatan dalam
kecerdasan dan adaptasi sosialnya. Tetapi masih memiliki potensi yang dapat
dikembangkan dalam bidang akademis yang sederhana seperti membaca,
menulis dan berhitung.
b. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak
tunagrahita berikut ini akan diuraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi
dokter, pekerja sosial, psikolog & pedagogik. Seorang dokter dalam
mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada type kelainan fisik,
seperti tipe Mongoloid, microcephalon, cretinisan dan lain-lain.
Menurut Sutjihati Soemantri (2005 : 106) yang menggunakan test
Stanford Binet dan Skala West Chter (WISC) mengklasifikasikan anak
sebagai berikut :
1) Tunagrahita ringan atau debil IQ 63-52 atau 69-55
2) Tunagrahita sedang atau imbesil IQ 51-36 atau 54-50.
3) Tunagrahita berat atau idiot IQ 31-30 atau 39-25.
Seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita mengarah
pada aspek mental intelegensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka hasil
test kecerdasan, seperti :
IQ 0 – 25 dikategorikan idiot
IQ 25 – 50 dikategorikan imbisil
IQ 50 – 75 dikategorikan debil (moron)
Seorang Pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan
pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak.
8
Dari penilaian tersebut dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita
mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita mampu
rawat.
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang
tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya
tidak maksimal.
Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu
didik antara lain :
1) Membaca, menulis, mengeja dan berhitung.
2) Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain.
3) Ketrampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian
hari.
Kesimpulannya anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita
yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan
pekerjaan.
Anak tunagrahita mampu latih (imbisil) adalah anak tunagrahita yang
memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk
memiliki program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik.
Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang
perlu diberdayakan, yaitu :
1) Belajar mengurus dirisendiri, misalnya makan, pakaian, tidur atau
mandi sendiri.
2) Belajar menyesuaikan dilingkungan rumah atau sekitarnya.
3) Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja atau
dilembaga khusus.
Kesimpulannya :
Untuk mengurus diri sendiri melalui aktifitas kehidupan sehari-hari serta
melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya. Anak
tunagrahita mampu rawat atau idiot adalah anak tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau
sosialisasi untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang
9
lain, dengan kata lain anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita
yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya karena anak
tersebut tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang.
c. Karakteristik Anak Tunagrahita
Secara fisik anak tunagrahita ringan tidak berbeda dengan anak normal
pada umumnya tetapi secara pisikis berbeda, menurut Eceptional Children
Fith edition, P.485-486, 1996 mengatakan bahwa anak tunagrahita
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Lamban dalam mempelajari hasil-hasil yang baru, mempunyai kesulitan
dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu
cepat lupa apa yang ia pelajari tanpa latihan yang terus menerus.
2) Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
3) Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat.
4) Cacat fisik perkembangan gerak, kebanyakan anak dengan tunagrahita
berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat
berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau
sesuatu, dan mendongakkan kepala.
5) Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri, sebagian anak
tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti
pakaian, makan dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu
memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
6) Tingkah laku dan komunikasi yang tidak lazim anak tunagrahita ringan
dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang
mempunyai tunagrahita berat tidak melakukan hal tersebut. Hal ini
mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita dalam memberikan
perhatian terhadap lawan main.
7) Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus banyak anak tunagrahita
berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti
ritual, misalnya : memutar-mutar jari didepan wajahnya dan melakukan
10
hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya : menggigit diri
sendiri, membentu-benturkan kepala, dll.
Menurut Moh. Amin (1995 : 37) karakteristik anak tunagrahita ringan
antara lain sebagai berikut :
1. Banyak yang lancar berbicara tapi kurang perbendaharaan kata.
2. Mengalami kesukaran berpikir abstrak.
3. Dapat mengikuti pelajaran akademik baik disekolah biasa maupun
disekolah khusus.
4. Pada umumnya umur 16 tahun baru dapat mencapai umur kecerdasan
yang sama dengan anak umur 12 tahun.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa secara umum anak tunagrahita ringan mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1. Kondisi fisik anak tunagrahita ringan meliputi : bentuk kepala, mata,
hidung dan bentuk tubuh tidak jauh berbeda dengan anak normal pada
umumnya.
2. Kondisi psikis anak tunagrahita ringan meliputi : kemampuan berpikir
rendah, perhatian dan ingatannya lemah sehingga mengalami kesulitan
untuk mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan fungsi mental dan
intelektualnya, kurang memiliki perbendaharaan kata, sehingga kurang
mampu berpikir abstrak.
3. Kondisi sosial anak tunagrahita ringan tidak dapat atau kurang dapat
bersosialisasi dengan baik dalam lingkungannya.
d. Sebab-sebab Anak Tunagrahita
Tunagrahita dapat disebabkan beberapa faktor. Para ahli dari berbagai
ilmu telah berusaha membagi faktor-faktor penyebab tunagrahita menjadi
beberapa kelompok strauss (Moh. Amin, 1995 : 63), mengelompokkan faktor-
faktor penyebab menjadi dua gugus yaitu :
1) Faktor endogen yang berasal dari keturunan.
2) Eksogen seperti firus yang menyerang otak, benturan, radiasi dan lain-
lain yang tidak bisa diturunkan.
11
Menurut Triman Prasadio yang dikutip oleh Munzayanah (2000:14)
bahwa penyebab retardasi mental digolongkan menjadi dua kelompok yaitu :
1) Kelompok biomedik
(a) Pre Natal
(b) Infeksi pada ibu waktu mengandung, gangguan metabolisme,
iradiasi sewaktu kehamilan umur dua sampai enam minggu,
kelainan kromosom, malnutrisi.
(c) Natal.
(d) Anoxia, Asphysia, Prematuritas dan post maturitas, kerusakan
otak.
(e) Post Natal
(f) Malnutrisi, infeksi, trauma.
2) Kelompok sosiokultura psikologi dan lingkungan
Munzayanah (2000 : 16) mengatakan bahwa tunagrahita dapat
disebabkan oleh faktor :
(a) Luka otak
(b) Gangguan fisiologik
(c) Keturunan
(d) Pengaruh kultur atau lingkungan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tunagrahita dapat
(c) Anak tunagrahita yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada
umumnya adalah sindroma down atau sindroma mongol atau
mongolism dengan IQ 20 s/d 60, dan rata-rata mereka memiliki
IQ 30-50.
2) Pada masa sebelum kelahiran (Pre-natal)
(a) Infeksi robella atau cacar.
(b) Faktor resus atau Rh.
12
3) Pada saat kelahiran (Peri-natal)
Retardasi mental (tunagrahita) yang disebabkan oleh kejadian yang
terjadi pada saat kelahiran kelahiran, sesak nafas atau asphixia dan
lahir prematur.
4) Pada saat setelah lahir (post-natal)
Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya : miningitis (peradangan
pada selaput otak) problema nutrisi yaitu kekurangan gizi misalnya :
kekurangan protein yang diderita bagi bayi dan awal masa kanak-
kanak dapat menyebabkan tunagrahita.
5) Faktor sosio / kultural
Sosio kultural atau sosial budaya lingkungan dapat mempengaruhi
perkembangan intelektual manusia.
6) Gangguan metabolisme / nutrisi
(a) Gangguan pada metabolisme atau animo yaitu gangguan pada
enzym phenylketonuria.
(b) Gangguan metabolisme saccharide dalam hati, limpa kecil dan
otak.
(c) Gangguan pada tiroid yang dikenal karena definisi yodium.
e. Dampak Anak Tunagrahita
Penyandang tunagrahita suatu keadaan individu dengan kondisi mental
yang rendah, mereka mengalami keterlambatan dan keterbelakangan ke dalam
segala aspek, sehingga tidak mampu memperkembangkan diri sesuai dengan
tuntutan lingkungan.
Penyandang tunagrahita tidak mudah untuk mengiternalkan rangsangan,
lambat pada fungsi motoriknya, lambat dalam kemampuan berbahasa dan
bersosialisasi (Mumpuniarti, 2000:29-39) ditinjau dari segi :
a) Fisiologis
Penyandang tunagrahita kurang mampu mengkoordinasikan
geraknya, bahkan pada tunagrahita taraf berat baru mampu berjalan diusia
5 tahun ada juga yang tidak dapat berjalan sama sekali, mereka kurang
13
mampu melakukan gerak yang terarah dan kurang mampu menjaga
kesehatan.
b) Psikologis
Timbul berkaitan dengan kemampuan jiwa lainnya karena keadaan
mental yang rendah, menghambat proses kejiwaan dalam tanggapan
terhadap rangsang (stimulus).
Hambatan terletak pada persepsi menghubungkan antara rangsang
dengan situasi lain, memperkaitkan dan mengingat sehingga hambatan-
hambatan proses kejiwaan itu menyebabkan tidak dapat terpenuhinya
kebutuhan psikologinya secara mandiri sehingga harus perlu dukungan
kuat dari pihak orang lain.
c) Sosiologis
Kehadiran anak tunagrahita dikeluarganya menyebabkan beberapa
perubahan dikeluarganya, keadaan tersebut merupakan musibah,
kesedihan, dan beban yang berat dengan reaksi yang bermacam-macam
misalnya : kecewa, shock, marah, depresi, merasa bersalah, bingung yang
dapat mempengaruhi hubungan antara anggota keluarga tidak akan
kembali seperti semula.
Anak tunagrahita yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan
tuntutan sosialnya dapat menimbulkan respon yang negatif akan
berdampak anak tersebut dijahui atau ditolak oleh lingkungan sosial dan
akan ada jurang pemisah dalam berkomunikasi antara anak tunagrahita
kurang mampu menangkap pesan verbal yang diberikan oleh
lingkungannya.
f. Pekembangan Bahasa Anak Tunagrahita
Perkembangan bahasa dan perkembangan kognisi keduanya mempunyai
hubungan timbal balik bahasa merupakan simbol yang dihasilkan alat ucap
manusia (Keraf 1987-14) . Perkembangan bahasa anak tunagrahita terbatas
pada kosakata yang sederhana yang sering digunakan anak dalam kenyataan
sehari-hari. Kosakata tersebut mampu dimiliki anak tunagrahita karena
berkaitan dengan pengalaman yang kongkrit dalam hidupnya.
14
Mereka tidak mampu menyusun kalimat majemuk, karena rangkaian
kalimat majemuk lebih menggambarkan situasi yang komplek. Kalimat yang
biasa mereka gunakan terbatas kalimat yang sederhana dan berkomunikasi
dengan mereka harus bersifat sederhana dan berkaitan dengan situasi sehari-
hari (Mumpuniarti 1992 : 29-39).
Untuk pengembangan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita, ada
kemungkinan guru mengalami kesulitan sebab diantara mereka mengalami
beberapa kelainan bicara antara lain kelalaian artikulasi, arus ujar, nada suara
atau afasia sensoris dan afasia motoris.
Untuk itu dalam pengembangan bahasa dan bicara anak tunagrahita agar
dapat maksimal tentunya perlu upaya strategi khususnya yang dipahami oleh
guru. Dalam uraian diatas telah diketengahkan secara singkat tampak adanya
reaksi dari lingkungan anak tunagrahita umumnya dari bahasa ibu si anak.
Telah diketengahkan juga bahwa sifat dan corak reaksi lingkungan itu sedikit
banyak terpengaruh oleh bagaimana cara anak mengungkapkan rangkaian
bunyi itu.
2. Tinjauan Tentang Kemampuan Komunikasi
a. Pengertian Kemampuan Komunikasi
Pengertian kemampuan menurut Depdikbud (1990:522) adalah
kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Menurut Onong Uchjana Effendy
(1990:3) menyatakan bahwa komunikasi dalam pengertian umum dapat dilihat
dari dua segi, yaitu :
1) Secara etimologis istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin
communication dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti
Communis disini adalah sama. Dalam arti kata sama makna, yaitu
sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila
antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai
suatu hal yang dikomunikasikan.
2) Secara terminologis sendiri, komunikasi berarti proses penyampaian
suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.
15
Sedangkan menurut John Austin yang dikutip oleh Henry Guntur
Tarigan (1990:145) mengatakan bahwa ”Komunikasi adalah serangkaian
tindak berkomunikatif atau tindak ujar yang dipakai secara bersistem untuk
menyelesaikan tujuan-tujuan tertentu”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
komunikasi adalah kecakapan atau kesanggupan penyampaian pesan, gagasan,
atau pikiran kepada orang lain dengan tujuan orang lain tersebut memahami
apa yang dimaksudkan dengan baik, secara langsung atau tidak langsung.
b. Proses Komunikasi
Seseorang yang ingin menyampaikan suatu pesan kepada orang lain
yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak tertentu
kepada orang yang menerima pesan. Menurut Onong Uchjana Effendy
(1990:11) proses komunikasi terbagi menjadi 2 tahap:
1) Proses Komunikasi secara primer
Adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang
kepada orang lain dengan menggunakan lambang ( simbol ) sebagai
media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah
bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya secara langsung
mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada
komunikan. Media primer atau lambang yang banyak di gunakan adalah
bahasa akan tetapi tidak semua orang pandai mencari kata-kata tepat dan
lengkap yang dapat mencerminkan pikiran dan perasaan dan
sesungguhnya. Selain itu, perkataan belum tentu mengadung makna sama
bagi semua orang.
2) Proses Komunikasi secara sekunder
Adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang
lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah
memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator
menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena
komunikasi sebagai sasaranya berada di tempat yang relatif jauh atau
16
jumlahnya banyak. Surat, telepon, surat kabar,majalah radio, televisi,film
adalah media kedua yang sering di gunakan dalam komunikasi.
Komunikasi dalam penelitian ini termasuk dalam proses komunikasi
primer yang mana proses penyampaian pikiran, pesan, kepada orang lain
menggunakan bahasa untuk maksud Komunikasi. Pesan yang disampaikan
komunikan biasanya panduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide,
informasi, kehidupan, keyakinan, imbauan, anjuran dan sebagainya.
c. Klasifikasi Komunikasi
Manusia adalah makluk sosial yang selalu hidup bersama dalam suatu
kelompok. Dalam kelompok itu mereka berkomunikasi satu sama lain.
Menurut Djago Tarigan (1992:138) ada dua jenis komunikasi yang mereka
guinakan, yakni :
a) Komunikasi verbal.
Sarana dalam komunikasi ini adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun
bahasa tulisan.
b) Komunikasi non verbal.
Sarana dalam komunikasi ini bukan bahasa, seperti gerak-gerik tubuh dan
anggota tubuh manusia, bunyi bel, bendera, warna, gambar dan lain-lain.
Berdasarkan tingkatan yang melibatkan jumlah peserta komunikasi
paling sedikit hingga komunikasi yang melibatkan jumlah peserta paling
banyak, menurut Onong Uchjana Effendy (1990:72) mengemukakan
klasifikasi komunikasi adalah sebagai berikut :
1) Komunikasi intra pribadi
Adalah komunikasi dengan diri sendiri, baik kita sadari maupun
tidak. Contohnya : berpikir.
2) Komunikasi antar pribadi
Adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi yang lain secara
langsung baik verbal maupun non verbal, Contohnya suami-istri, guru-
murid.
17
3) Komunikasi kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan
bersama yang berkomunikasi satu sama lainnya, dan memandang
mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Komunikasi kelompok
dengan sendirinya melibatkan komunikasi antar pribadi. Contohnya
keluarga, tetangga.
4) Komunikasi publik
Adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah
besar orang (khalayak) yang tidak bisa dikenali satu persatu. Contoh :
pidato, ceramah, atau kuliah.
5) Komunikasi organisasi
Komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal
juga informal dan berulang dalam suatu jaringan yang lebih besar
daripada komunikasi kelompok.
6) Komunikasi massa
Adalah komunikasi yang menggunakan media masa, baik cetak,
(surat kabar, majalah) atau elektronik (radio televisi) yang dikelola
oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan pada
sejumlah orang yang tersebar ditempat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang
menggunakan bahasa lisan termasuk komunikasi verbal. Komunikasi verbal
termasuk dalam klasifikasi komunikasi antar pribadi. Dimana orang yang
menyampaikan pesan secara tatap muka, orang yang menerima pesan tersebut
dapat menangkap reaksi secara langsung sehingga pesan dapat diterima
dengan baik.
Dalam proses komunikasi antar pribadi yang melibatkan dua orang
dalam situasi komunikasi, komunikasi menjadi suatu pesan, lalu
menyampaikannya kepada komunikan (sender), dan komunikasi menyimak
pesan tersebut. Sampai disitu komunikasi menjadi encoder dan komunikasi
menjadi jecoder. Akan tetapi karena komunikasi antar pribadi itu bersifat
dialogis, maka ketika komonikan memberikan jawaban, ia kini menjadi
18
enconder dan komunikator menjadi decoder. Disamping itu dalam komunikasi
antar pribadi, karena situasinya tatap muka tanggapan komunikasi segera
dapat diketahui.
Komunikasi secara lisan menentukan pembicara (sender) berbicara
(encoder), menyimak (decoder), dan penyimak (receiver). Dengan demikian
untuk dapat berkomunikasi secara lisan diperlukan ketrampilan berbicara.
3. Tinjauan Tentang Pengajaran Bahasa Indonesia di SLB-C
a. Pengertian Pengajaran Bahasa Indonesia
Menurut Suyanto dalam (Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama
Islam, 2001:1) menyatakan bahwa ”Pengajaran artinya proses penyajian bahan
oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain itu menerima,
menguasai dan mengembangkan bahan itu”.
Pendapat lain dikembangkan oleh A. Soedomo Hadi (2005:11)
menyatakan bahwa ”Pengajaran (Instruction) adalah semua kegiatan yang
secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus
pengajaran, antara lain menentukan entry-behavior siswa, menyusun rencana
pelajaran, memberikan informasi (mengajar) yang efektif, bertanya kepada
siswa, melakukan evaluasi formatif dan sumatif dan sebagainya”.
Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2003:7) menyatakan bahwa ”yang
dimaksud dengan instructian dalam hal ini adalah a good-directed teaching
process whick ismore or less pre-planned”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengajaran adalah semua kegiatan yang
mempunyai tujuan untuk mendidik dan melatih ketrampilan yang dimiliki
siswa.
Menurut Soepomo Poedjosoedarmo (2001 :169) menyatakan bahwa
”Bahasa ialah sistem simbul lesan yang arbitraries, dimana anggota
masyarakat saling berkomunikasi”.
Menurut Mustakim (1994 :2) menyatakan bahwa ”Bahasa secara teknis
adalah seperangkat ujaran yang bermakna dihasilkan oleh alat ucap manusia,
sedangkan secara praktis bahasa merupakan alat komunikasi antar anggota
19
masyarakat yang berupa sistem lambang bunyi yang bermakna, yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia”.
Jadi bahasa merupakan alat komunikasi yang diekspresikan dalam
bentuk bicara yang bermakna sehingga antar anggota masyarakat dapat saling
berkomunikasi atau saling berhubungan.
Dari pengertian pengajaran dan bahasa yang telah dikemukakan diatas
dapat disimpulkan bahwa pengajaran bahasa adalah cara mengajarkan sistem
lambang bunyi yang dihasilkan alat-alat ucap yang telah disepakati besama
sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran. Disini
yang diajarkan adalah bahasa Indonesia.
Jadi pengajaran bahasas Indonesia adalah suatu kegiatan yang bertujuan
untuk mendidik dan melatih kemampuan bahasa Indonesia para siswa.
b. Tujuan Pengajaran Bahasa Indonesia
Pengajaran bahasa memang merupakan bidang pengajaran yang cukup
kompleks, banyak masalah yang tetap terbuka dan belum terjawab. Salah satu
permaalahan yang cukup penting adalah cara mengembangkan kemampuan
berbahasa kepada para siswa, sehingga mereka dapat menggunakan bahasa itu
dalam berbagai fungsinya.
Pertanyaan itu menurut Akhadiah Sabarti, dkk (1991:10) menyatakan
bahwa ”Tujuan akhir pengajaran bahasa ialah kemampuan menggunakan
bahasa itu untuk berbagai keperluan. Dengan kata lain titik berat pengajaran
bahasa terletak pada ketrampilan berbahasa yang sekaligus menyangkut aspek
kebahasaan, pemahaman, penggunaan”.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006:66) maka pelajaran
bahasa Indonesia SLB tunagrahita ringan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang
berlaku, baik secara lisan maupun tulisan.
2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa Negara.
20
3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannyadengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan.
4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional, dan sosial.
5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk keperluan wawasan,
memperhalus budi pekerti serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa.
6) Menghargai dan membanggakan sartra Indonesia sebagai khasanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Keseluruhan butir tersebut menunjukkan tujuan pengajaran Bahasa
Indonesia di SLB-C mencakup tujuan-tujuan pada aspek kebahasaan,
pemahaman, penggunaan dan menyiratkan pendekatan komunikatif yang
digunakan dalam proses belajar mengajar.
Selain itu tujuan tersebut jelas tergambar, bahwa fungsi pengajaran
bahasa Indonesia di SLB-C ialah sebagai wadah untuk mengembangkan
kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi bahasa
itu, terutama sebagai alat komunikasi.
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa dalam
pengjaran bahasa Indonesia seorang guru harus memperhatikan beberapa hal
yang berhubungan dengan fungsi pengajaran bahasa Indonesia yaitu
kemampuan dasar anak, pembentukan sikap anak, dan yang lebih penting
pengajaran bahasa Indonesia dengan memperhatikan fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi.
c. Pengertian Berbicara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 114) disebutkan bahwa
”Makna kata berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa; melahirkan
pendapat (dengan perkataan, tulisan dan sebagainya)”.
Menurut Akhadia Sabarti, dkk (1991 :153) mengemukakan bahwa
”Berbicara adalah ketrampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan”.
Apabila isi pesan itu dapat diketahui oleh penerima pesan, maka akan terjadi
21
komunikasi antar pemberi pesan dan penerima pesan. Komunikasi itu pada
akhirnya akan menimbulkan pengertian atau pemahaman terhadap isi pesan
bagi penerimanya.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa berbicara
adalah penyampaian maksud ide, pikiran, isi hati seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dipahami oleh
orang lain.
Berbicara adalah ketrampilan menyampaikan peasan melalui bahasa
lisan. Kegiatan berbicara selalu diikuti oleh kegiatan menyimak. Bila
menyimak dapat memahami pesan yang disampaikan oleh pembicara, maka
terjadi komunikasi yang tepat.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Berbicara
Berbicara adalah bagian dari komunikasi lisan. Menurut Djago Tarigan
(1992 :132) dalam setiap kegiatan berbicara selalu terlibat sejumlah faktor
seperti :
1) Pembicara 2) Pembicaraan 3) Penyimak 4) Media 5) Sarana (penunjang) 6) Komunikasi
Jika dipandang dari segi bahasa, menyimak dan berbicara dikategorikan
sebagai ketrampilan berbahasa lisan. Dari segi komunikasi, menyimak dan
berbicara diklasifikasikan sebagai komunikasi lisan. Melalui berbicara orang
menyampaikan informasi melalui ujaran kepada orang lain. Kegiatan
berbicara selalu diikuti oleh kegiatan menyimak, atau kegiatan menyimak
pasti ada didalam kegiatan berbicara.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan diatas maka dapat
disimpulkan kesulitan dalam berbicara seperti halnya kesulitan dalam
menyimak, disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang
menimbulkan kesulitan dalam berbicara adalah yang datang dari teman
22
berbicara. Seperti kita ketahui, dalam setiap kegiatan berbicara teman bicara
menafsirkan makna pembicaraan agar komunikasi dapat berlangsung terus
sampai tujuan pembicaraan tercapai. Apabila teman bicara tidak dapat
menangkap makna pembicaraan, maka komunikasi terputus dengan kata lain
tujuan komunikasi tidak tercapai.
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan yang penting didalam
setiap belajar berbahasa. Kemampuan berbicara akan mempengaruhi
kemampuan berbahasa yang lain. Oleh karena itu Imam Syafiie,dkk (1981:18)
mengatakan bahwa ”Salah satu prinsip utama pengajaran Bahasa Indonesia
adalah pertama-tama mengajarkan anak-anak berbicara, barulah membaca dan
menulis”
Pengajaran berbahasa harus selalu mengingat prinsip diatas, walaupun
tidak berarti pengajaran bahasa itu hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat
penguiasaan audio lingual saja. Namun kenyataan apabila murid-murid
menguasai konstruksi dasar dari bahasa dalam bahasa lisan, maka akan lebih
mudah mendapat kemajuan dalam ketrampilan berbahasa yang alin.
Berkaitan dengn ketrampilan dalam bahasa yakni ketrampilan berbicara,
pengajar hendaknya memperhatikan beberapa ketrampilan yang diperlukan
agar siswa dapat berbicara dengan baik. Menurut Djago Tarigan (1992 : 145)
ketrampilan-ketrampilan berbicara siswa harus dibina oleh guru melalui
latihan antara lain :
1) Pengucapan 2) Pelafalan 3) Pengontrolan suara 4) Pengendalian diri 5) Pengontrolan gerak-gerik tubuh 6) Pemilihan kata, kalimat dan pelafalannya. 7) Pemakaian bahasa yang baik 8) Pengorganisasian ide. Imam Syafiie, dkk (1981:19) mengelompokkan ketrampilan tersebut
kedalam empat kemampuan yang sangat penting dengan mempengaruhi
ketrampilan berbicara seseorang yaitu :
23
1) Kemampuan menggunakan informasi, tekanan, nada panjang dan
pelafalan.
2) Kemampuan menggunakan kosakata, dalam arti mampu memilih
kata yang tepat serta mampu mengucapkan kata-kata itu dengan
betul.
3) Kemampuan menyusun kalimat
4) Kemampuan berbicara lancar.
Menurut Tomkins dan Hoskisson (1995:120) yang dikutip oleh Ahmad
Rofi’uddin dan Darmiyati Zuhdi (2001:8) mengemukakan proses
pembelajaran berbicara dengan berbagai jenis kegiatan, yaitu :
1) Percakapan, langkah-langkahnya:
a) Memulai percakapan seorang murid secara sukarela atau
dengan ditunjuk guru membuka pembicaraan.
b) Menjaga kelangsungan percakapan
Apabila terjadi perbedaan selama mengadakan percakapan
murid-murid harus dapat mengatasinya dengan baik sehingga
tidak terjadi pertengkaran.
c) Mengakhiri percakapan
Murid-murid seharusnya sudah dapat mencapai suatu
persetujuan, sudah menjawab semua pertanyaan atau sudah
3) Berbicara untuk menyampaikan informasi atau mempengaruhi
a) Melaporkan informasi secara lisan
b) Melakukan wawancara
c) Berdebat
24
4) Kegiatan dramatik
Memiliki kekuatan sebagai teknik pembelajaran bahasa karena
melibatkan murid-murid dan kegiatan berfikir logis dan kreatif.
e. Metode Pengajaran Berbicara
Menurut Djago Tarigan (1992 :229) metode pengajaran berbicara ada
bermacam-macam antara lain metode:
1) Ulang ucap 2) Lihat ucapkan 3) Menirukan 4) Menjawab pertanyaan 5) Bertanya 6) Pertanyaan menggali 7) Melanjutkan cerita 8) Menceritakan kembali 9) Percakapan 10) Parafrase 11) Reka cerita gambar 12) Bercerita 13) Memberi petunjuk 14) Melaporkan 15) Bermain peran 16) Wawancara 17) Diskusi 18) Bertelepon 19) Dramatisasi
Metode pengajaran berbicara berfungsi sebagai sarana mewujudkan
pengalaman yang telah dirancang menjadi kenyataan dalam pelaksanaan
pengajaran pokok bahasan tertentu. Metode pengajaran yang baik selalu
memenuhi kriteria. Kriteria itu berkaitan dengan tujuan, bahan, pembinaan
ketrampilan proses, dan pengalaman belajar.
25
Menurut Djago Tarigan (1992 :229) kriteria yang harus dipenuhi oleh
metode pengajaran berbicara, antara lain :
1) Relevan dengan tujuan pengajaran
2) Memudahkan siswa memahami materi pelajaran
3) Mengembangkan butir-butir ketrampilan proses
4) Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang
5) Merangsang siswa untuk belajar
6) Mengembangkan penampilan siswa
7) Mengembangkan kreativitas siswa
8) Tidak menuntut peralatan yang rumit
9) Mudah dilaksanakan
10) Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
f. Kemampuan Berbicara Anak Tunagrahita
Kemampuan berbicara sebagian dari anak tunagrahita memang terlihat
terbelakang dalam bidang berbicara. Kosakata sedikit, menggunakan kata dan
setruktur kata atau kalimat sederhana, tetapi cukup dipahami maksudnya.
Menurut Dipdikbud (1983 :21) ”Kelemahan anak tunagrahita dalam bidang
berbicara, bukan karena kelemahan fisik melainkan karena pada segi mental
intelektualnya”.
Kemampuan mental yang rendah ini, akan mempengaruhi anak-anak
tunagrahita dalam mengadakan komunikasi secara lisan, terlihat pada
pengubahan pesan menjadi kode. Selain itu kekurangan dalam memahami
simbul yang abstrak juga mempengaruhi perbendaharaan kata. Untuk
menambahnya perlu banyak rangsangan dari luar. Hal ini dapat dilakukan oleh
orang tua anak dan guru dengan mengajak anak berbicara sambil ditunjukkan
kongkritnya, sehingga maksud pesan, ungkapan perasaan dan atau pikiran
yang abstrak dan dinyatakan secara verbal dapat diserap oleh anak.
26
4. Tinjauan Tentang Pendekatan Komunikatif
a. Pengertian Pendekatan Komunikatif
Pendekatan Komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada
pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi
merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Didalam
konsep pendekatan komunikatif yang membedakan komponen bahasa menjadi
dua bagian, yaitu kompetensi dan performasi atau unjuk kerja ”(http://www.
geocities. Com/no vvant/inisiai 3 sem 2 / Inisiasi Pembelajaran Bahasa
Indonesia SD.3.pdf diakses pada tanggal 16 Pebruari 2009.
Kompetensi komunikatif itu adalah keterkaitan dan interelasi antara
kompetensi gramatikal atau pengetahuan kaidah-kaidah bahasa dengan
kompetensi sosiolinguistik atau aturan-aturan tentang penggunaan bahasa
yang sesuai dengan kultur masyarakat. Kompetensi komunikatif hendaknya
dibedakan dengan performan komunikatif karena performan komunikatip
mengacu pada realisasi kompetensi kebahasaan beserta komunikasinya dalam
pemroduksian secara aktual dengan pemahaman terhadap tuturan-tuturan.
Oleh karena itu seseorang yang dikatakan memiliki kompetensi dan
performansi bahasa yang dipelajarinya, baik dalam produksian (bicara dan
menulis atau mengarang) maupun dalam pemahaman (membaca dan
menyimak atau mendengarkan).
Menurut Muchlisoh, dkk (1995 : 14) mengemukakan perlu diketahui
bahwa pendekatan komunikatif dalam mengajar bahasa ini tidak memberikan
resep bagaimana seharusnya seseorang guru mengajar bahasa (metode
mengajar) tetap lebih berhubungan dengan penyusunan program belajar
mengajar dalam silabus GBPP dan bahan pengajarannya.
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai materi
pengajaran komunikatif yakni berdasarkan fungsi komunikatif yaitu tujuan
tang inginm dicapai siswa dalam belajar bahasa serta tindak bahasa yang
diperlukan. Bahan pelajaran disusun atas dasar fungsi berbahasa dengan
memberikan tekanan pada berbagai cara pengungkapan bahasa sesuai dengan
situasi dan konteks. Hadirnya pendekatan komunikatif adalaha untuk
27
memenuhi kebutuhan siswa agar mampu berkomunikasi. Kemampuian
komunikasi ini berarti terampil berbahasa.
Adapun maksud pendekatan komunikatif dalam penelitian ini adalah
pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa
Indonesia. Orientasi belajar mengajar bahasa Indonesia berdasarkan tugas dan
fungsi berkomunikasi ini disebut pendekatan komunikatif. Jadi, kegiatan
belajar mengajar bahasa Indonesia menitik beratkan pada ketrampilan
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
b. Karakteristik Pendekatan Komunikatif
Agar dapat melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan
komunikatif, maka setiap guru hendaknya memahami karakteristik pendekatan
komunikatif, seperti yang dikemukakan oleh Muchlisoh, dkk (1995 : 16)
sebagai berikut :
1) Kegiatan komunikasi yang disajikan betul-betul diperlukan siswa. Kalau
siswa bertanya tentang sesuatu tetapi sudah tahu jawabannya maka ini
bukan komunikasi, sebab tidak ada kesenjangan informasi. Jadi terdapat
kekosongan informasi.
2) Untuk mendorong siswa mau belajar, hendaknya guru memberikan
kegiatan belajar yang bermakna.
3) Materi dari kurikulum komunikatif dipersiapkan setelah diadakan suatu
analisis mengenai kebutuhan berbahasa.
4) Penekanan pendekatan komunikatif ialah pada pelayanan individu siswa.
Oleh karena itu, penyajian materi dan kegiatan belajar harus berorientasi
pada siswa.
5) Peran guru ialah sebagai pelayan, ia menjadi fasilitator, mativator bagi
perkembangan individu siswa. Guru tidak lagi dibenarkan selalu
menguasai materi dan kelas, karena yang dipentingkan ialah bagaimana
siswa dapat dibimbing untuk dapat kominikasi yang wajar.
6) Materi instruksional berperan menunjang komunikasi siswa secara aktif.
Materi ini terdiri atas tiga macam, yaitu materi yang berdsarkan teks
28
(buku-buku pelajaran), materi berdasar tugas, dan materi berdasarkan
otentik atau realita.
Menurut Sabarti Akhadiah, dkk (1991 :144) karakteristik pendekatan
komunikasi sebagai berikut :
1) Siswa sentris : pengajaran didasarkan pada minat, kebutuhan dan
lingkungan siswa.
2) Penekanan pengajaran : pengejaran ditekankan pada bahasa lisan tanpa
mengabaikan bahasa tulis, kegiatan berbahasa menyimak dan berbicara
sangat diperhatikan tanpa melupakan kegiatan berbahasa membaca dan
menulis.
3) Dalam pengajaran : bahan pengajaran ragam bahasa yang relevan
dengan tuntutan komunikasi yang diperlukan siswa.
4) Tujuan pengajaran : pengajaran menumbuhkan ketrampilan
berkomunikasi.
5) Sikap terhadap kesalahan berbahasa : kesalahan berbahasa diterima
sebagai suatu kesalahan yang wajar terjadi dalam proses belajar bahasa.
6) Sikap terhadap ragam bahasa : semua ragam bahasa dihargai, tidak
melebih-lebihkan ragam baku.
c. Kegiatan Belajar Mengajar dengan Pendekatan Komunikatif
Mengingat kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi pada
anak didik sangat berpengaruh oleh berbahasa yang kita sajikan, maka guru
dalam proses belajar mengajar dapat menggunakan peluang tersebut untuk
mengembangkan bahasa peserta didik seluas-luasnya. Guru harus berusaha
memberikan keasyikan mendengarkan dan memotivasi anak tunagrahita
ringan untuk memberikan pertanyaan, tanggapan, jawaban atau meneruskan
kalimat-kalimat sesuai dengan bentuk yang dikuasai atau telah diajarkan
sebelumnya. Dengan begitu segaligus dapat melatih ketrampilan berbicara,
dan melalui latihan yang berulang-ulang anak memiliki pengalaman berbicara.
Apabila yang terjadi demikian, maka ketrampilan menyimak (dekoding) dan
berbicara (encoding) dapat diajarkan atau dilatih melalui kegiatan belajar-
mengajar.
29
Proses belajar-mengajar dengan pendekatan komunikatif adalah belajar-
mengajar yang rirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan
kesalahan-kesalahan berbahasa dengan komunikasi yang dimiliki siswa
sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk langsung terlibat dalam kegiatan-
kegiatan atau pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang baik berbeda
dengan yang terjadi dilingkungannya.
Memahami bahwa penekanan pengajaran pada bahasa lisan tanpa
mengabaikan bahasa tulisan, kegiatan berbahasa menyimak dan berbicara
merupakan ciri dalam kegiatan pendekatan komunikatif, maka kedua kegiatan
berbahasa tersebut tidak dapat dipisahkan. Proses belajar-mengajar dengan
pendekatan komunikatif setidak-tidaknya harus ditandai adanya keterlibatan
siswa untuk melakukan kedua kegiatan secara terpadu.
Peran guru bergeser apabila proses belajar-mengajar bahasa Indonesia
dengan pendekatan komunikatif terjadi. Guru bukan sebagai penguasa materi
dan kelas, tetapi mempunyai peran sebagai pelayan, motivator, fasilitator
perkembangan siswa. Guru terutama berperan dalam menyampaikan kalimat
dalam latihan, karena selama latihan siswa sebaiknya tidak membuka buku
mereka, dan dalam mengatur lalu lintas pembicaraan. Setelah kalimat
disampaikan, ia memberi kesempatan seorang siswa memberi tanggapan atau
jawaban atau bertanya tentang informasi dalam kalimat tersebut. Bila isi
jawaban siswa tidak sesuai dengan kalimat yang diberikan, ia meminta siswa
lain menjawab atau menanggapi. Bila telah sesuai ia dapat memberikan
kesempatan pada siswa lain untuk memberikan jawaban, tanggapan atau
pertanyaan atau kalimat temannya tadi bila latihan itu menuntut seperti itu.
Bila sorang siswa memberi jawaban yang telah sesuai, tetapi tata bahasanya
salah, ia dapat meminta siswa lain untuk memberi jawaban dengan isi yang
sama tetapi dengan tata bahasa yang benar. Bila tidak ada lagi siswa yang
memberi jawaban yang lain, ia dapat meneruskan dengan kalimat berikutnya.
Dengan bentu latihan seperti itu, suasana kelas akan aktif komunikatoif.
Siswa selalu aktif menunjukkan pemahaman atas bentuk yang diajarkan, dan
mempergunakan bentuk tersebut dalam komunikasi yang wajar.
30
A. Kerangka Berpikir
Kerangka Berpikir adalah merupakan anggapan dasar tentang suatu
masalah yang menjadi dasar berpikir dan bertindak dalam melaksanakan
penelitian. Dalam hal ini peneliti mengemukakan kerangka berpikir adalah
ketunagrahitaan.
Disekolah anak tunagrahita mendapat pelajaran bahasa Indonesia.
Disekolah tersebut anak tunagrahita secara sengaja belajar bahasa. Secara praktis
dari belajar bahasa diharapkan anak tunagrahita mendapatkan kemampuan
menggunakan bahasa untuk komunikasi.
Mengingat fungsi bahasa tersebut diatas, kurikulum SMLB-C hendaknya
menitik beratkan pada fungsinya sebagai alat komunikasi, sehingga diharapkan
setelah belajar bahasa Indonesia, anak tunagrahita mampu menggunakan bahasa
Indonesia dengan tepat dan kreatif untuk macam-macam tujuan, keperluan dan
keadaan.
Guru-guru SLB-C dalam mengadakan kegiatan belajar mengajar
senantiasa beradaptasi pada kurikulum yang berlaku yaitu Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar 2006 sehingga guru-guru SLB-C harus melaksanakan
proses belajar-mengajar Indonesia yang dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi anak tunagrahita.
Kegiatan belajar-mengajar bahasa Indonesia dengan pendekatan
komunikatif berorientasi pada fungsi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Guru berperan sebagai pelayan, motivator dan fasilitas serta mengatur lalu-lintas
pembicaraan.
Sebelum anak tunagrahita berkomunikasi secara tertulis, terlebih dahulu
anak tunagrahita diharapkan mempunyai kemampuan komunikasi lisan, sehingga
dapat menggunakan dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan sekitarnya.
Ketrampilan yang diperlukan dalam kecakapan komunikasi lisan adalah
ketrampilan menyimak dan ketrampilan berbicara.
Dalam upaya meningkatkan komunikasi tersebut tidak lepas dari peran
guru untuk pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan prinsip
pembelajaran aktif, inovatif kreatif dan menyenangkan (PAIKEM).
31
Hasil suatu survey seperti yang diungkapkan pada bagian pendahuluan
diatas menunjukkan bahwa selama ini pengajaran bahasa Indonesia di sekolah
hanya ditekankan pada ketrampilan membaca dan menulis, sehingga masih
kurang sekali perhatian terhadap kemampuan siswa tunagrahita untuk
berkomunikasi .
Berdasarkan realitas tersebut maka melalui perhatian ini siswa perlu
ditingkatkan kemamapuan mereka dalam komunikasi lisan melalui beberapa
upaya ataupun metode-metode tertentu.
Kerangka pemikiran dalam penelitian tindakan kelas ini dapat digambarkan
sebagai berikut.
B. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, penulis mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
”Melalui pendekatan komunikatif dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
lisan dalam pengajaran bahasa Indonesia bagi anak tunagrahita ringan kelas VII di
SLB/C YPCM Boyolali tahun 2009”.
PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
ANAK TUNAGRAHITA RINGAN
SEBELUM MENGGUNAKAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF
SETELAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF
KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN RENDAH
KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN TINGGI
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat Dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah tempat dimana suatu penelitian dilakukan
sehingga akan didapatkan data obyek penelitian. Penelitian dilakukan di SLB-
C YPCM Boyolali. Sedangkan kelas yang di teliti adalah kelas VII SMPLB.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini berlangsung pada semester II tahun ajaran 2008/2009
selama empat bulan yaitu sejak bulan Februari sampai dengan Juni 2009.
Adapun kegiatan penelitian adalah dapat digambarkan sebagai berikut:
50 30 60 40 30 50Kurang Kurang Cukup Kurang Kurang Kurang
Inisial Nama
Memahami pesan dalam cerita
I
Jumlah NilaiKeterangan
Menggunakan kata-kataII
III
KETERANGAN : B = baik nilai 80 - 100
C = cukup nilai 60 - 79
D = kurang nilai 0 - 59
44
1. Tindakan siklus I
Tindakan siklus 1 dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan ( 3 x 80 menit )
selama 3 minggu pada bulan April 2009.
Tahapan-tahapan yang dilaksanakan pada siklus 1:
Tabel 3. Prosedur penelitian siklus I
Tindakan Prosedur penelitian
Siklus I a. Menentukan permasalahan
Penulis mengajar SLB/C YPCM Boyolali jenjang SMPLB kelas
VII tunagrahita ringan, dikelas saya mengajar bidang study bahasa
Indonesia, menemukan bahwa siswa tidak mau atau tidak dapat merepon
ujaran-ujaran dari guru, kalau ditanya kadang jawaban hanya ya atau
tidak tahu bahkan kadang diam saja, mereka tidak tahu apa yang harus
diucapkan.
Siswa dalam kelas tersebut tidak dapat mengungkapkan karena
kompetensi yang dibubuhkan untuk memberikan memberikan respon itu
kurang.
b. Perencanaan
Berdasarkan hasil obserfasi terhadap proses pembelajaran bahasa
Indonesia ditentukan prestasi belajar sebelum tindakan dilihat dari data
kondisi awal siswa memang sebagian besar siswa mempunyai
kemampuan berkomunikasi lisan sangat rendah, mereka pasif berbicara
dan tidak memiliki kompetensi berbicara lancar.
Selajutnya saya mencari hal-hal yang menjadi pendorong minat
siswa dalam berkomunikatif, ternyata siswa-siswa tersebut lebih suka
belajar dengan cara komunikatif yang bebas dan nyaman
Pada saat ini saya memilih teknik pendekatan komunikatif yang
diharap dapat menjawab permasalahan tersebut, saya membuat materi
45
yang sesuai untuk mengamati pengucapan, intonasi dan kelancaran siswa
dalam berkomunikasi lisan dengan bahasa Indonesia juga saya siapkan
gambar-gambar dan cerita untuk memancing anak agar mau
berkomunikasi.
Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam perencanaan tindakan
adalah sebagai berikut :
1) Guru menyiapkan silabus bahasa Indonesia.
2) Guru menyiapkan RPP yang sesuai.
3) Guru menyiapkan alat peraga berupa kalimat dan gambar
4) Membuat instrument untuk untuk mengamati kemampuan
pengucapan dan intonasi serta kelancaran komunikasi.
5) Gura menyiapkan instrument observasi yang akan digunakan teman
sejawat (mitra kolaburasi) dalam melakukan obsevasi.
6) Guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran pada siklus I
yang semua akan terlampir dengan lengkap.
c. Pelaksanaan tindakan
1) Pertemuan 1
Pertemuan ke I pelaksanaan dengan penekanan pada pengucapan-
pengucapan dan intonasi.
Kegiatan diawali dengan salam, Do’a dan apersepsi yang berupa
tanya jawab tentang lingkungan sekitar yang menyenangkan,
setelah sampai lingkungan tentang pasar malam siswa diarahkan
kegiatan selanjutnya, yaitu:
(1) Membaca secara bersama-sama cerita pasar malam dibimbing
guru (peneliti)
(2) Siswa membaca bersama tanpa dibimbing
(3) Siswa dan guru membahas bacaan sambil guru memberi
umpan kepada siswa dengan beberapa pertanyaan agar siswa
berusaha merespon.
(4) Peneliti menunjukkan beberapa gambar penjual pakaian,
penjual makanan, penjual bunga yang sedang berjualan di
46
pasar malamdan kartu kalimat ungkapan siswa memerankan
sebagai penjual yang sedang menawarkan dagangannya dan
(5) Guru memerankan seorang pembeli dengan beberapa
ungkapan layaknya seorang penjual dan pembeli yang sedang
transaksi tawar menawar agar situasi kelas aktif dan responsif.
(6) Kegiatan diulang-ulang hingga siswa ada peningkatan dan
mau berkomunikasi lisan.
(7) Guru membetulkan ucapan-ucapan siswa yang masih salah
dengan kecepatan kecil sehingga mudah ditirukan siswa.
(8) Akhir pelajaran siswa diberikan gambar satu macam setiap
siswa sebagai pengingat untukk dipraktekkan dirumah atau
boleh sama temannya saling memberi umpan dan merespon.
(9) Kegiatan akhir dengan Do’a penutup dan salam.
2) Pertemuan 2
Materi yang disampaikan adalah: penekanan pada kelancaran
berkomunikasi lisan.
Kegiatan diawali dengan salam dan do’a bersama, kemudian
dilanjutkan dengan apersepsi berupa materi yang telah lalu.
(1) Siswa membaca bersama guru tentang bacaan yang disajikan
guru yaitu pasar malam bersama gambar-gambar berupa
orang-orang berjualan. Jika siswa tetap masih pasif tidak mau
merespon pertanyaan yang diungkapkan guru, maka guru
mengekspresikan ujaran-ujaran tertentu sesuai gambar agar
situasi menarik perhatian siswa.
(2) Siswa menirukan apa yang telah diekspresikan guru secara
berulang-ulang dengan kecepatan rendah sambil guru
membetulkan ungkapan-ungkapan siswa yang masih salah,
kemudian dengan kecepatan normal dan diucapkan secara
klasikal.
(3) Guru memberikan pancingan / umpan agar siswa mau
merespon dengan ungkapan secara klasikal, selanjutnya siswa
dibagi 2 kelompok secara kelompok siswa saling
47
berkomunikasi lisan dengan kelompok 1 memberikan umpan
dan kelompok 2 memberi respon dan sebaliknya, setelah
berjalan lancar baru secara berpasangan siswa melakukan
transaksi layaknya penjual dan pembeli dipasar malam sesuai
gambar yang disajikan guru.
(4) Dengan bimbingan guru siswa menyanyikan lagu “sedang
apa” secara kelompok yaitu kelompok A bertanya dan
kelompok B menjawab dan setelah itu melakukan hal yang
sebaliknya.
(5) Kegiatan diakhiri do’a bersama dan salam.
3) Pertemuan 3
Materi yang disampaikan adalah mengulang materi pertemuan 1
dan 2 penekanan pada pengucapan dan intonasi serta kelancaran
komunikasi dan intonasi serta kelancaran komunikasi lisan.
Kegiatan diawali dengan salam dan do’a bersama kemudian
diberikan opersepsi yang berupa tanya jawab tentang materi yang
lalu agar siswa ingat dan diarahkan pada materi yang lalu agar
siswa ingat dan diarahkan pada materi yang akan dilaksanakan.
a. Penekanan pada pengucapan dan intonasi
1) Guru dan siswa membahas isi bacaan sambil guru memberi
umpan dengan beberapa pertanyaan agar siswa merespon.
2) Siswa memerankan sebagai seorang penjual yang sedang
menawarkan dagangannya sesuai dengan gambar yang
ditunju, yang ditunjukkan guru.
3) Guru memerankan sebagai pembeli yang sedang transaksi
sehingga situasi kelas menjadi aktif dan responsif.
4) Guru membetulkan ungkapan-ungkapan siswa yang masih
salah.
b. Penekanan pada kelancaran komunikasi lisan
1) Guru mengekspresikan dengan beberapa pancingan agar
siswa merespon secara klasikal tentang layaknya penjual
dan pembeli.
48
2) Siswa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I dan
kelompok II. Kelompok I memberi umpan dan kelompok II
merespon dan sebaliknya, setelah berjalan lancar dirubah
dengan berpasangan siswa melakukan komunikasi secara
berpasangan A dan B, C dengan D, E dengan F mereka
saling memberi umpan dan merespon layaknya di pasar
malam.
3) Terakhir siswa menyanyikan lagu “Sedang Apa” secara
kelompok, yaitu kelompok A bertanya dengan kelompok B,
kemudian kelompok B menjawab dan kebalikannya.
4) Untuk mengetahui keberhasilan tindakan, maka guru
mengadakan tes akhir 1 tentang materi yang telah diajarkan
3 kali pertemuan.
5) Kegiatan diakhiri dengan doa dan salam.
d. Melaksanakan Observasi
Pada tahapan ini guru mengumpulkan data dan pemantauan bersama
mitra kolaborasi yaitu mengamati siswa pada waktu pembelajaran
komunikasi secara langsung sehingga dapat diketahui apakah siswa
sudah ada peningkatan dalam hal komunikasi. Observasi siswa dilakukan
untuk memperoleh data mengenai keaktifan, konsentrasi, dan inisiatif.
Hasil observasi tiap pertemuan Siklus I dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 3.1. Hasil Observasi Siswa pada siklus I
1 DS tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak2 I tidak tidak tidak tidak tidak tidak3 RAS tidak tidak tidak tidak tidak4 RH tidak tidak tidak tidak tidak tidak5 VP tidak tidak tidak tidak tidak tidak6 W tidak tidak tidak tidak tidak
No
Nam
a S
isw
a Pertemuan ke I Pertemuan ke II Pertemuan ke III
Kon
sent
rasi
Kea
ktif
an
Inis
iati
f
Kon
sent
rasi
Kea
ktif
an
Inis
iati
f
Kon
sent
rasi
Kea
ktif
an
Pre
stas
i
ya yatidak tidak tidak
ya tidak ya yatidak tidak yatidak tidak yatidak tidak ya ya
49
Tabel 3.2. Hasil observasi guru yang mengajar
Kegiatan Aspek yang diamati Penilaian I Penilaian II Penilaian III KesimpulanAwal Persiapan Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Baik
Apersepsi Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak BaikSuasana kelas Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Baik
Inti Sesuai dengan skenario Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak BaikInteraksi guru Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak BaikPenggunaan media Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak BaikPenguasaan materi Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Baik
Akhir Penilaian Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak BaikKesimpulan Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Baik
Data yang sudah diperoleh melalui observasi dikumpulkan untuk dianalisis
berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan selama proses tindakan oleh
guru dan observer mendiskusikan tentang kondisi beberapa siswa yang
dijadikan obyek penelitian tersebut.
Ternyata semua siswa memberikan penilaian yang positif terhadap
model ini meskipun pada awalnya siswa sangat pasif untuk menirukan
ujaran-ujaran yang diucapkan oleh guru. Untuk mengantisipasi hal ini maka
dilakukan banyak cara antara lain menulis ujaran-ujaran di papan tulis dan
siswa disuruh membaca kaliamat dengan berulang-ulang serta menunjukkan
gambar yang sesuai. Ternyata sangat membantu siswa apabila guru
memberi contoh dengan mengekspresikan sesuai dengan ucapan dan
intonasi.
e. Refleksi
1) Pertemuan ke 1
Hampir semua siswa (83.4%) mengalami kesulitan dalam
melakukan komunikasi lisan mereka belum bias memberikan respon
atas umpan yang diberikan oleh guru. Sebagian besar dari mereka belum
bias menjawab sama sekali. Pada waktu memberikan umpan harus
mengulang-ulang pernyataan atau pertanyaanya.
2) Pertemuan ke 2
50% dari siswa masih mengalami kesulitan dalam berkomunikasi
tetapi lagu atau intonasi berbicara sudah ada yang lebih baik. Mereka
masih ragu-ragu dalam memberikan tanggapan atas umpan yang
diberikan, mereka memerlukan waktu agak untuk memberikan respon.
50
3) Pertemuan 3
Pada pertemuan terakhir ini sebagian siswa (66.7%) sudah memiliki
kemampuan memberi respon dalam focus pengucapan dan intonasi
dengan benar mereka melakukan lebih nyaman, senang, rilex dan
spontan dalam berkomunikasi lisan.
Dalam pelaksanaan penelitian pada siklus I ini tentu saja terdapat
kendala atau hambatan. Hambatan-hambatan tersebut sangat wajar
terjadi pada sebuah pembelajaran yang baru misalnya mengalami
hambatan pada waktu memahami makna ungkapan kemudian siswa
terlihat malu-malu saat untuk menirukan dan mengekspresikan. Hal
tersebut diatasi oleh guru dengan memberikan makna ungkapan yang
terlebih dahulu dan memberi contoh ungkapan-ungkapan baik dengan
ekspresi yang mudah ditirukan ternyata solusi tersebut dapat diterima
oleh siswa. Untuk memperjelas gambaran data tersebut. Maka penulis
memberikan data perolehan nilai dari tindakan siklus I, sebagai berikut :
51
Tabel 3.3. Tabel data perolehan nilai dari tindakan siklus I
Bagian Indikator No soal1 DS I RA RH VP W2 0 2 2 2 0 23 2 0 2 0 2 24 2 0 2 0 0 0
60 60 80 60 50 70Cukup Cukup Baik Cukup Kurang Cukup
III
Jumlah NilaiKeterangan
Inisial Nama
I
Memahami pesan dalam cerita
II Menggunakan kata-kata
Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan perkembangan jumlah
siswa yang mampu memberikan respon secara benar, yang dinilai dari
2 aspek yaitu :
a) Pengucapan dan intonasi
b) Kelancaran dalam memberikan respon
60
Adapun grafik dari 2 aspek tersebut adalah :
(1) Grafik III
Perkembangan siswa dalam pengucapan dan intonasi siklus II
0
1
2
3
4
5
6
pertemuan 1 pertemuan 2 pertemuan 3
jum
lah
sis
wa
benar
salah
Keterangan:
Pertemuan 1
- Benar : RA, W, RH, DS
- Salah : I, VP
Pertemuan 2
- Benar : RA, W, RH, DS, I
- Salah : VP
Pertemuan 3
- Benar : RA, W, DS, RH, I
- Salah : VP
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa pada pertemuan
pertama jumlah siswa yang pengucapan dan intonasi secara benar tidak
mengalami peningkatan, namun pertemuan berikutnya berangsur-
angsur meningkat menjadi 83.3%
(2) Grafik IV
Perkembangan siswa dalam kelancaran memberi respon
61
0
1
2
3
4
5
6
pertemuan 1 pertemuan 2 pertemuan 3
jum
lah
sis
wa
lancar
tidak lancar
Pertemuan 1
- Lancar : RA, W, RH
- Tidak lancar : DS, I, VP
Pertemuan 2
- Lancar : RA, W, RH, DS
- Tidak lancar : I, VP
Pertemuan 3
- Lancar : RA, W, DS, RH, I
- Tidak lancar : VP
Dengan melihat grafik diatas dapat disimpulkan bahwa pada
pertemuan pertama terjadi penurunan dalam memberikan respon, mungkin
karena siswa ada pengontrasan antara pengucapan dan intonasi secara
bersama-sama dengan kelancaran atau kecepatan memberikan respon.
Namun demikian pada akhir siklus II ini siswa dapat lebih
menguasai keadaan. Sehingga pada pertemuan ke II dan ke III, diperoleh
data bahwa sebagian besar siswa (83.3%) sudah dapat mengucapkan dengan
intonasi yang benar dan mereka lancar dalam merespon pernyataan orang
lain.
Hasil dari pengamatan sebelum dan sesudah siklus I dan siklus II dapat
dilihat pada grafik berikut:
(1) Grafik V
Hasil belajar siswa sebelum dan sesudah siklus I dan siklus II
62
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Nilai awal Siklus I Siklus II
Danar Susilo
Iftita’yah
Rizki
Rina Hastuti
Vira Praja
Wahyuningsih
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa nilai prestasi awal sebelum
diberikan tindakan tertinggi 60 dan nilai terendah 30. Nilai setelah
tindakan siklus I tertinggi 70 dan nilai terendah 40. Nilai setelah
tindakan siklus II tertinggi 80 dan terendah 50.
63
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Melalui hasil penelitian dan pembahasan perbandingan kondisi awal
sikluis I dan siklus II.
1. Kondisi awal yaitu : pembelajaran komunikasi lisan dalam pengajaran
bahasa Indonesia sebelum menggunakan pendekatan komunikatif.
a. Situasi pembelajaran
Hampir semua siswa tunagrahita ringan kelas VII mengalami kesulitan
dalam komunikasi lisan pada pengajaran bahasa Indonesia, mereka
pasif dalam merespon pembicaraan lawan bicara dan sulit dalam
pengucapan maupun intonasi, mereka sulit dalam konsentrasi.
b. Hasil belajar
Nilai awal prestasi sebelum diberikan tindakan yaitu tertinggi 60 dan
terendah 30 rata-rata nilai hanya mencapai 43,33
2. Tindakan siklus I
Pembelajaran komunikasi lisan setelah menggunakan pendekatan
komunikatif dalam pengajaran bahasa Indonesia.
a. Situasi pembelajaran
Ditinjau dari konsentrasi dan keaktifan sudah ada peningkatan mulai
dari pertemuan ke I dan selanjutnya, jumlah siswa yang menggunakan
ucapan dan intonasi secara benar berangsur-angsur meningkat
sedangkan jumlah siswa yang menggunakan ucapan dan intonasi
secara salah berangsur-angsur berkurang. Begitu juga yang melakukan
komunikasi lisan secara lancar berangsur-angsur meningkat mulai dari
pertemuan ke I dan selanjutnya, sedangkan jumlah siswa yang
melakukan komunikasi tidak lancar berangsur-angsur berkurang.
b. Hasil belajar
Prestasi yang dicapai pada tes akhir I atau pada siklus I nilai tertinggi
70 dan nilai terendah 40 nilai rata-rata meningkat menjadi 50.
3. Tindakan siklus II
Pembelajaran komunikasi lisan sesudah menggunakan pendekatan
komunikatif dengan ditambah sebagian lagi gambar yang lebih menarik.
64
a. Situasi pembelajaran
Keadaan kelas meningkat lebih aktif dan responsive, konsentrasi siswa
mudah terarah pada lawan bicata, dalam pengucapan dan intonasi
mengalami peningkatan yaiitu pada pertemuan ke 2 dan ke 3 dari
66,7% menjadi 83,3%. Perkembangan dalam kelancaran merespon
pada siklus II pertemuan 2 dan ke 3 sebagian besar siswa sudah dapat
mengucapkan dan intonasi dengan benar dan mereka sebagian besar
lancar merespon pertanyaan atau pernyataan dari orang lain
b. Hasil belajar
Prestasi yang dicapai pada tes akhir II siklus II nilai tertinggi 80 dan
nilai terendah 50 nilai rata-rata meningkat menjadi 63,33
Refleksi :
Dilihat dari kondisi awal hingga akhir tindakan siklus I dan II dapat kita
simpulkan ada peningkatan konsentrasi dan keaktifan siswa setelah tidakan siklus
I dan II terdapat peningkatan ucapan dan intonasi serta kelancaran dalam
berkomunikasi lisan. Yang sebelumnya hasil belajar hanya rata-rata 43,33 setelah
diberi tindakan siklus I dan siklus II meningkat menjadi rata-rata 63,33.
Data yang diperoleh dari hasil observasi proses pembelajaran menunjukkan bahwa
hasil belajar komunikasi lisan dengan menggunakan pendekatan komunikatif
suasana kelas lebih aktif dan responsif, siswa bertambah konsentrasi dan tampak
lebih akrab antara siswa yang satu dengan yang lain, juga kepada guru. Dari
pemantauan guru mitra kolaborasi mengatakan dengan menggunakan metode
pendekatan komunikatif dapat mengaktifkan siswa dalam belajar sehingga
prestasi siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya komunikasi lisan
meningkat.
65
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
B. Simpulan
Sesuai hasil analisis dan permasalahan yang ada tentang pengunaan
pendekatan komunikatif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dalam
pengajaran anak tunagrahita ringan kelas VII SLB/C YPCM Boyolali dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Penelitian berhasil meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dlam
pembelajaran bahasa Indonesia dengan indikator meningkatnya
pengucapan dan intonasi serta kelancaran memberikan pertanyaan
kepada siswa sehingga suasana kelas menjadi efektif dan responsive.
2. Siswa yang mengalami kesulitan dalam pengucapan dan intonasi serta
memberikan respon berangsur-angsur berkurang dari setiap pertemuan
yanag diadakan.
3. Meskipun penelitian hasilnya positif namun ada kendala yaitu kelas
menjadi gaduh sehingga mengganggu kelas lain yang jaraknya
berdekatan.
C. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Siswa agar lebih serius lagi untuk mengikuti aktivitas belajar mengajar
bahasa Indonesia dengan pendekatan komunikatif, karena dengan
kemampuan komunikasi yang baik dapat dijadikan bekal hidup untuk
masyarakat.
2. Siswa yang behasil berjumlah 5 siswa, tetap diberikan tugas baik di
sekolah maupun di rumah untuk mnegamati percakapan yang terjadi di
sekitar mereka, agar mereka mudah menirukan atau berkomunikasi
secara optimal menyimak dan berbicara. Siswa yang belum berhasil
agar membiasakan pengucapan dan intonasi secara benar, orang tua
selalu melatih penekanan pada pemberian umpan agar anak
memberikan respon.
66
3. Untuk mengatasi suasana gaduh yang mengganggu kelas bersebelahan
maka sebaiknya pihak sekolah menyediakan ruang khusus bahasa
Indonesia yang terpisah dari lokal yang lain.
67
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuhdi. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas tinggi ; Universitas Negeri Malang.
A Soedomo Hadi. 2005. Pengelolaan kelas. Surakarta: Universitas Negeri
Surakarta. Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standart Kompetensi dan konpensasi
dasar, Jakarta : Depdiknas Dirjen Manajement Pendidikan Dasar Menengah Direktorat Pembinaan SLB.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Pedoman Guru Bahasa
Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Djago Tarigan. 1992. Pendidikan Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Emi Dasiemi. 1997. Psikiatri Umum. Surakarta: Depdikbud Universitas Negeri
Surakarta. Moh. Amin. 1995. Orto pedagogik Anak Tunagrahita III. Bandung : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong, L.J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rodakarya Mumpuniarti. 2000. Penanganan Anak Tunagrahita. Yogyakarta : Universitas
Negeri Yogyakarta. Mulyono Abdurrahman. 1995. Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta. Muchlisoh. 1995. Pendidikan Bahasa Indonesia III. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikti. Mulyani Sumantri dan Johan Permana. 2001. Strategi Belajar Mengajar.
Bandung : CV Maulana. Munzayanah, 2000. Anak Tunagrahita. Surakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Mustakim, 1994. Membina Kemampuan Berbahasa. Jakarta : Rajawali Press. Onang Uchjana Effendy. 1990. Ilmu Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
68
Syafiie dkk. 1981. Kemampuan Berbahasa Indonesia murid kelas VI SD yang Berbahasa Ibu Bahasa Madura mendengarkan dan berbicara. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sabarti Akhadiah, dkk. 1991. Bahasa Indonesia III. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Sarwiji Suwandi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta : Pendidikan dan
University Press. Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. ,1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta. Sutjihati Sumantri, 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Surakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Suyanto. 2001. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Semarang: Bumi Aksara. Tim Penyusun Kamus Pusat. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Tomkins, Hoskisson. 1995. Language Arts: Content and Teaching Strategies.
Edisi ketiga. Columbus, O.H.: Prentice Hall Inc.. http://www.geocities.com/novvant/inisiai6sem5/InisiasiPembelajaranBahasaIndon