Tugas Kelompok: Konsep Diversi Dalam Prespektif Hukum Nasional, Hukum Internasional dan Studi Komparasi Dosen Pengampu: Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. Oleh Kelompok 1: Alith Prakarsa, SH / 11010111400001 Aris Hardinanto, SH / 11010111400002 Chairil Abdi Baso, SH / 11010111400004 Christian Adiputra, SH / 11010111400005 Endra Syaifuddin, SH / 11010111400006 Dwi Oktavia Ariyanti, SH / 11010111400007 Firman Arief Pribadi, SH / 11010111400008 SISTEM PERADILAN PIDANA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Tugas Kelompok:
Konsep Diversi Dalam Prespektif Hukum Nasional,
Hukum Internasional dan Studi Komparasi
Dosen Pengampu:
Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum.
Oleh Kelompok 1:
Alith Prakarsa, SH / 11010111400001 Aris Hardinanto, SH / 11010111400002 Chairil Abdi Baso, SH / 11010111400004 Christian Adiputra, SH / 11010111400005 Endra Syaifuddin, SH / 11010111400006 Dwi Oktavia Ariyanti, SH / 11010111400007 Firman Arief Pribadi, SH / 11010111400008
SISTEM PERADILAN PIDANA MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG2012
Konsep Diversi Dalam Prespektif Hukum Nasional,
Hukum Internasional dan Studi Komparasi
A. Pendahuluan
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional kedepan.1 Oleh karena itu diperlukan pembinaan secara terus menerus
demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan
sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan atau
merusak masa depan anak.
Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati
perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas
maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan pelanggaran
yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para
orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan
anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu,
berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera
dilakukan.2
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik
kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile
1 Ediwarman, 2006, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology (belajar dari kasus Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah, Pekan baru, hlm.8.
2 Nandang Sambas, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,Yogyakarta, hlm.103.
Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak
semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah
melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa
penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan
anak pelaku tindak pidana.
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan
anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.3 Untuk itu, kegiatan
perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan
anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan
tersebut.4
Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem
peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United
Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ)
atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak (Aims of Juvenile Justice),
sebagai berikut :
“The juvenile Justice System shall emphasize wel-being of the juvenile ang
shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion
3 Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, hlm. 222.4Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, 2008, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID Riau, Pekanbaru, hlm. 121.
to the circumstances of both the offender and offence.”(Sistem Peradilan
pidana bagi anak / remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan
akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum
berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada
pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya).5
Dalam Standard Minimum Rules Juvenile Justice (SMR-JJ) atau The Beijing Rules,
juga ditegaskan beberapa prinsip sebagai pedoman dalam mengambil keputusan,
yakni dalam Rule 17.1, yang menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan harus
berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang diambil selamanya harus diseimbangkan tidak
hanya pada keadaan-keadaan dan keseriusan/berat ringannya tindak pidana (the
circumstances and the gravity of the juvenile) tetapi juga pada keadaan-keadaan
dan kebutuhan-kebutuhan si anak (the circumstances and of the juvenile) serta
pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat (the needs of the society);
b) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak hanyamdikenakan
setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin;
c) Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan
tindakan kekerasan yang serius terhadap orang lain atau terus menerus
melakukan tindak pidana serius dan kecuali tidak ada bentuk sanksi lain yang
lebih tepat;
5 Abintoro Prakoso, 2010, Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum diterapkan oleh Polisi Penyidik Anak, Vol.17, No.2, April 2010, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, hlm.251.
d) Kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan
kasus anak.6
Demikian pula secara khusus ketentuan yang mengatur sistm peradilan pidana
anak di Indonesia ditetapkan dalam Undang-undang No 3 Tahun 1997. Dibentuknya
Undang-undang tentang pengadilan anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun
kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat,
namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai
fakta sosial. Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda
dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Anak yang melakukan kenakalan
berdasarkan perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang
lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus.7
Kritik-kritik terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak masih saja
terus mengalir, setelah kasus Mohammad Azwar alias Raju, anak berusia 8 tahun yang
menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Stabat Kab. Langkat
Sumatera Utara, karena berkelahi dengan seorang anak lain pada tahun 2006,
kemudian kasus persidangan anak kembali mendapat sorotan, Pengadilan Negeri
Tangerang, Banten menyidangkan 10 orang anak yang masih di bawah umur dengan
dugaan melakukan permainan koin dengan taruhan uang senilai Rp1000,00. Masalah
penanganan anak nakal dan anak yang bermasalah dengan hukum kembali mencuat
ketika Aal anak berusia 15 tahun yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Palu
atas dakwaan mencuri sandal milik seorang anggota Polri, kasus ini telah menimbulkan
berbagai tanggapan dari para pemerhati anak di negeri ini, bahkan Ketua Komnas
6 Nandang Sambas, op.cit. hlm. 26.7 Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 29.
Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus-
kasus ini dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-undang Pengadilan
Anak.8 Banyak kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak
dalam implementasinya masih jauh keinginan untuk dapat mendukung mewujudkan
tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik bagi anak.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas
kejahatan ringan, sperti pencurian Pada umumnya mereka tidak mendapatkan
dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak
mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya dijebloskan ke penjara atau rumah
tahanan. Sebagai contoh sepanjang tahun 2000 tercatat dalam statistik criminal
kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana.
Pada bulan Januari hingga Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan
dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk
anak anak yang ditahan di kantor polisi (polsek, polres, polda, mabes). Kemudian pada
tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak
Negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh Rutan dan LP untuk orang dewasa.
Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan
sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan
bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat
prinsip-prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan
terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme
pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan
8 M.Musa,2007, Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Jurnal Mahkamah, Vol.19 No.2, Oktober 2007, Pekan Baru, hlm 169.
untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa diversi
khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang
sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.9
Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan terhadap pelaksanaan peradilan
pidana anak, terdapat fakta bahwa proses pengadilan pidana bagi anak, menimbulkan
dampak negatif pada anak. Untuk menghindari efek atau dampak negatif proses
peradilan pidana terhadap anak ini United Standar Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) telah memberikan pedoman
sebagai upaya menghindari efek negatif tersebut dengan memberikan kewenangan
kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam
menangani masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal, tindakan
ini disebut diversi (Diversion).
Konsep diversi ternyata telah dimunculkan dalam Rancangan Undang-undang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) maupun dalam Rancangan
Undang-undang Pengadilan Anak. Di dalam RUU-KUHP terdapat ketentuan tentang
konsep diversi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 114 RUU-KUHP. Sedangkan
dalam Rancangan Undang-undang Pengadilan Anak, konsep diversi terdapat dalam