This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TUGAS FARMASI FISIKA
Dosen : Dina Rahmawaty, S.Far, M.Farm., Apt.
Difusi dan DisolusiKelompok 4
1. Nori Lovita Sari J1E109204
2. Imam Muttaqien J1E110223
3. Aulea Rahmawati J1E112002
4. Nabila Hadiah Akbar J1E11200
5. Abdul Khair Rizqi J1E112023
6. Qamarul Isro M. J1E112033
7. Husin Nafarin J1E1120
8. Eka Agustya M. J1E1120
9. Ermita Izmi A. J1E1120
10. Dwi Puspita Sari J1E1120
11. Yulia Setiawaty J1E1120
12. Ma’ruf Algifarie J1E112069
13. Nanda Rohiatna J1E112074
14. Novieta Setiani Noor J1E1120
15. Nadya Agustina J1E1120
16. Hafiz Ali J1E112
17. Revani Hardian J1E1120
18. Fahrina Husiana J1E1120
Program Studi Farmasi
FMIPA UNLAM
2013
Difusi dan Disolusi
Teori difusi dan disolusi.
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul
suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan
dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas,
misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk
menyelidiki proses difusi. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi
oleh suatu permeasi molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang
(saluran). Difusi molekular atau permeasi melalui media yang tidak berpori
bergantung pada disolusi dari molekul yang menembus dalam keseluruhan
membran, sedang proses kedua menyangkut perjalanan suatu zat melalui pori
suatu membran yang berisi pelarut dan dipengaruhi oleh ukuran relatif molekul
yang menembusnya serta diameter dari pori tersebut. Contoh yang lebih baik dari
suatu membran pada skala molekular adalah suatu susunan anyaman polimer yang
berakhir dengan cabang dan persilangan saluran (Martin, 1993).
Pengertian disolusi adalah proses suatu zat padat masuk kedalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat
melarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Syukri,
2002).
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke
dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Dalam sistem biologik pelarutan obat
dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi
sistemik. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari
bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering
mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel dan Yu, 1985).
Persamaan difusi pada hukum Fick 1, Fick 2.
Hukum Fick Pertama. Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu
satuan penampang melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu satuan waktu t
dikenal sebagai aliran dengan simbol, J.
J = dM (1)
S. dt
Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi, Dc/dx :
J = -D dC (2)
dx
di mana D adalah koefisien difusi dari penetran (disebut juga difusan) dalam
cm2/detik, C adalah konsentrasinya dalam gram/cm3, dan x dalam jarak cm dari
pergerakan tegak lurus terhadap permukaan batas tersebut. Dalam persamaan (1),
massa M, biasanya dinyatakan dalam gram, permukaan batas S dalam cm2, dan
waktu t dalam detik. Kadang- kadang digunakan SI dari kilogram dan meter, dan
waktu bisa dinyatakan dalam menit, jam atau hari. Tanda negatif dari persamaan
(2) menunjukkan bahwa difusi terjadi dalam arah berlawanan dengan naiknya
konsentrasi (arah x positif). Dapat dikatakan bahwa difusi terjadi dalam arah
menurun konsentrasi difusan. Jadi, aliran selalu merupakan bilangan positif
(Martin, 1993).
Konstanta difusi D, atau sering disebut difusivitas, tidak selamanya
konstan (tetap), karena konstanta tersebut bisa berubah harganya pada konsentrasi
yang lebih tinggi. Harga D juga dipengaruhi oleh temperatur, tekanan, sifat
pelarut dan sifat kimia dari difusan. Oleh karena itu, D lebih tepat dikatakan
sebagai suatu koefisien difusi daripada sebagai suatu konstanta (Martin, 1993).
Hukum Fick Kedua. Seseorang sering ingin menguji kecepatan perubahan
konsentrasi difusan pada suatu titik dalam suatu sistem. Persamaan untuk transpor
massa menekankan perubahan konsentrasi dengan berubahnya waktu pada suatu
lokasi tertentu, daripada difusi massa melalui suatu satuan luas dan barier dalam
satuan waktu, dikenal sebagai hukum Fick kedua. Persamaan difusi ini diturunkan
sebagai berikut. Konsentrasi C dalam volume elemen tertentu berubah hanya
sebagai suatu hail dari aliran bersih (net flow) dari molekul yang berdifusi ke
dalam atau ke luar dari daerah tersebut akibat dari perbedaan dalam input dan
output. Konsentrasi difusan dalam volume unsur berubah terhadap waktu, yakni
ΔC/Δt, apabila aliran atau jumlah yang berdifusi berubah terhadap jarak ΔJ/Δx,
dalam arah x (konsentrasi dan aliran sering ditulis berturut-turut sebagai C (x,t)
dan J (x,t), untuk menekankan bahwa parameter- parameter ini merupakan fungsi
jarak x dan fungsi waktu t (Martin, 1993).
dC = -dJ (3)
dt dx
Dengan mendiferensiasi pernyataan hukum pertama yaitu persamaan (2), terhadap
x, seseorang akan memperoleh :
dJ = D d 2 c (4)
dx dx2
Dengan mensubstitusi dC/dt dari persamaan (3) ke dalam persamaan (4)
menghasilkan hukum Fick kedua, yakni :
dC = D d 2 c (5)
dt dx2
Persamaan (5) menunjukkan difusi hanya dalam arah x. Jika seseorang ingin
menyatakan perubahan konsentrasi difusan dalam tiga dimensi, hukum Fick kedua
ditulis dalam bentuk umum :
dC = D ( d 2 C + d 2 C + d 2 C ) (6)
dt dx2 dy2 dz2
Tetapi pernyataan ini biasanya tidak diperlukan dalam masalah difusi di
bidang farmasi, karena pergerakan dalam satu arah sudah cukup untuk melukiskan
kebanyakan kasus. Hukum Fick kedua menyatakan bahwa perubahan konsentrasi
terhadap waktu dalam daerah tertentu adalah sebanding dengan perubahan dalam
perbedaan konsentrasi pada titik itu dalam sistem tersebut (Martin, 1993).
Metode/prosedur uji difusi dan alat yang digunakan.
Sejumlah metode eksperimen dan sel difusi telah dilaporkan dalam
literature. Beberapa contoh dari metode percobaan dan sel difusi yang terutama
digunakan dalam penelitian farmasi dan transfor biologis akan diperkenalkan
disini (Martin, 1993).
Sel dengan konstruksi yang sederhana, seperti yang telah dilaporkan oleh
Aguiar dan Wener diduga paling baik untuk pekerjaan difusi. Sel tersebut dibuat
dari gelas atau plastik terang
yang mudah untuk dirakit dan
dibersihkan, dan memberikan
kemudahan untuk melihat cairan
dan pengaduk yag berputar. Alat-alat seperti itu dilengkapi thermostat
konvensional dan dilengkapi dengan alat untuk mengumpulkan sampel dan uji
secara otomatis. Kompartemen sebelah atas atau konpartemen donor diisi dengan
larutan obat. Larutan reseptor dipompa dari tempat yang lebih redah. Sampel
dikumpulkan dalam suatu tabung di dalam alat pengumpul fraksi otomatis,
kemudia berturut-turut ditentukan kadarnya secara spketrofotometri. Percobaan
bisa dilakukan selama berjam-jam pada kondisi yang terkontrol ini (Martin,
1993).
Biber dan Rhodes membuat suatu konstruksi sel difusi tiga kompartemen
dari pleksiglas untuk penggunaa baik dengan membra sintesis maupun membra
biologis yang diisolasi. Obat tersebut dibiarkan berdifusi dari kedua kompartemen
donor sebelah luar ke dalam suatu ruang reseptor pusat. Hasilnya dapat
direproduksi dan dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Sel denga desain tiga-
kompartemen menciptakan permukaan membrane yang lebih besar dan
memperbaiki sensitivitas analitik (Martin, 1993).
Permeasi uap air dan senyawa orgaik aormatik dari larutan air melalui
lapisa (film) plastik bisa diselidiki dalam sel gelas dengan dua ruang serupa
dengan desain yang digunakan untuk menyelidiki larutan obat pada umumnya.
Namun et al melaporkan tentang permeasi senyawa 19 aromatik dari larutan
dalam air melalui lapisan (film) polietilena. Higuchi dan aguiar menyelidiki
permeabilitas uap air melalui bahan yang bersalut enteric dengan menggunakan
sel difusi gelas dan ukuran McLeod untuk mengukur perubahan tekanan melewati
lapisan tersebut (Martin, 1993).
Peresapan gas dan uap bisa ditentukan dengan menggunakan suatu
timbangan mikro yang terdapat di dalam bejana vakum dan temperaturnya dapat
dikontrol, serta mempunyai ketelitian ± 2 x 10-6 . Gas atau uap dengan tekanan
terkontrol dimasukkan ke dalam ruang gelas yang mengandung lapisan polimer
atau lapisan biologis dengan dimensi yang telah diketahui, gantungkan pada satu
tangan timbangan tersebut. Masa difusan yang diserap oleh lapisan pada berbagai
tekanan dicatat secara langsung. Laju pendekatan sampai kesetimbangan resapan
memudahkan perhitungan koefisien difusi untuk gas dan uap (Martin, 1993).
Dalam menyelidiki absorbsi melalui kulit, yang biasanya diperoleh dengan
cara autopsy, digunakan kulit manusia atau hewan. Scheuplein menerangkan suatu
sel untuk percobaan penetrasi kulit, dibuat dari pireks dan terdiri dari dua belahan.
Ruang donor dan ruang reseptor dipisahkan oleh sampel kulit yang ditunjang pada
piring berlubang-lubang dan disekrup kencang ditempatnya. Cairan dalam
reseptor diaduk dengan batang magnet yang dilapisi Teflon. Alat ini direndam
dalam bejana yang mempunyai temperature konstan. Sampel diambil secara
periodic dan diuji dengan cara yang sesuai. Untuk senyawa steroida, penetrasiya
lambat. Telah ditemukan metode radioaktif yang diperlukan untuk menentukan
konsentrasi yang rendah tersebut (Martin, 1993).
Wurster et al mengembagkan suatu sel
permeabilitas untuk menyelidiki difusi melalui
lapisan kornea (lapisan kornea diambil dari manusia), dari berbagai zat yang
berpermeasi, termasuk gas, cairan dan gel. Selama percobaan difusi alat tersebur
dijaga pada temperature konstan dan perlahan-lahan diaduk pada daerah sekitar
membrane. Sampel diambil dari ruang reseptor pada waktu waktu tertentu dan
dianalisis zat berpermeasi melalui membran tersebut (Martin, 1993).
Kinetika dan keseimbangan absorbs cairan dan zat terlarut ke dalam
plastik, kulit baha kimia, serta material biologis lainnya, bisa ditentukan dengan
cara sederhana dengan menempatkan bagian-bagian dari film (lapisan) pada
wadah dari cairan murni atau larutan yang bertemperatur konstan. Bagian-bagian
tersebut diperoleh kembali pada waktu yang berbeda-beda, kelebiha cairan
dihilangkan dengan tisu penyerap, dan sampel dari lapisan tersebut ditimbang
hati-hati dalam suatu botol timbang yang telah ditara. Teknik menghitung
radioaktif dapat juga digunakan dengan metode ini untuk menganalisis obat masih
ada dalam larutan dan jumlah yang terserap kedalam lapisan, dihitung dari
selisisihnya (Martin, 1993).
Koefisien partisi ditentukan dengan mudah dengan jalan
menyetimbangkan obat tersebut antara dua pelarut yang tidak bercampur dalam
suatu bejana yang cocok pada temperature konstan dan jika mungkin mengambil
sampel dari kedua fase untuk dianalisis (Martin, 1993).
Laju disolusi, persamaan Higuchi.
Laju disolusi merupakan suatu besaran yang menunjukkan jumlah bagian
senyawa obat yang larut dalam media per satuan waktu, atau dengan kata lain
waktu yang diperlukan obat untuk melarut dalam cairan. Laju disolusi obat secara
in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
1. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju
disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut.
Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk
garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam
maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya
beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia
yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara
termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan
obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal.
2. Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan
perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka
gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan
pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta
pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
3. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka
antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi
secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang
bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar
muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat
membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan
kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal
ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan
berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.
(Martin, 1993).
Persamaan Higuchi
Q = A √D(2C - Cs) Cs t
Dimana Q adalah kadar obat yang dilepaskan dalam waktu t perunit area
A, C adalah konsentrasi awal obat, Cs adalah kelarutan obat dalam matriks media
dan D adalah difusivitas molekul obat (koefisien difusi) dalam substansi matriks.
Hubungan ini berlaku sepanjang waktu, kecuali saat jumlah obat habis seluruhnya
ketika sistem terapeutik tercapai (Dash et al, 2010).
Sink condition
Dalam percobaaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor
dipindahakn dan diganti secara terus-menerus dengan pelarut baru untuk menjaga
agar konsentrasi selalu rendah. Keadaan ini disebut keadaan sink (sink
conditions). Kompartemen kiri sebagai sumber dan kompartemen kanan sebagai
sink (Martin, 1993).
Mula-mula, konsentrasi difusan dalam kompartemen kiri akan turun dan
konsentrasi difusan dalam kompartemen kanan akan naik sampai sistem tersebut
mencapai kesetimbangan, berdasarkan laju hilangnya difusan dari sink dan sifat
alamiah dari pembatas. Bila sistem tersebut telah berada dalam periode waktu yag
cukup, konsentrasi difusan dalam larutan sebelah kiri dan sebelah kanan pembatas
menjadi konstan terhadap waktu, tapi jelas tidak sama dalam kedua kompartemen.
Jadi dalam tiap irisan difusi tegak lurus dengan arah aliran (Martin, 1993).
Dengan mempertahankan volume pelarut lebih besar terhadap titik
kejenuhan (antara 5 sampai 10 x lebih besar), akan dicapai kondisi sink. Kondisi
ini menjadi salah satu parameter eksperimental yang perlu diperhatikan selama uji
disolusi (Martin, 1993).
Alat uji disolusi dan metode/prosedur pengujian uji disolusi.
Uji disolusi dapat dilakukan dengan menggunakan dua tipe alat, yaitu :
1. Alat 1 (Metode Basket)
Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak.
Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan
suhu dalam wadah 370 ± 0,50 C selama pengujian berlangsung. Bagian dari
alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan
gerakan, goncangan, atau gerakan signifikan yang melebihi gerakan akibat
perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder
dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm
dengan volume sampai 1000 ml. pada bagian atas wadah ujungnya melebar,
untuk mencegah penguapan dapat menggunakan suatu penutup yang pas,
batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari
2mm pada tiap titik dari sumbu vertikal wadah, berputar dengan halus dan
tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan
sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan putaran yang dikehendaki
dan mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing
monografi dalam batas lebih kurang 4% (Depkes RI, 1995)..
2. Alat 2 (Metode Dayung)
Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas
daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya
tidak lebih dari 2mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.
Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama
pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu
kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan
dibiarkan tenggelam kedasar wadah sebelum dayung mulai berputar (Depkes
RI, 1995).
Uji disolusi sediaan solid.
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-
partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus.
Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan
dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 2008).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi
menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami
dua langkah berturut-turut:
1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap
atau film disekitar partikel.
2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.
Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi lebih
lambat dan karena itu adalah langkah terakhir (Genaro, 1990).
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :
Difusi layer model (theori film)
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat
pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan
jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan
larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul
obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane
biologis serta absorbsiterjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan
larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari
permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu,
Massa larutan dengan konsentrasi = Ct
Kristal
Lapisan film (h) dgn konsentrasi = Cs
laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya
menembus menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu
partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk
dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang
menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak
hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi
setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal
dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur
hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan
bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet (Martin, 1993).
1. Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu
zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan
adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, cabang dan
persilangan saluran. Pengertian disolusi adalah proses suatu zat padat masuk
kedalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah
proses zat padat melarut
2. Hukum Fick Pertama. Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan
penampang melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu satuan waktu t
dikenal sebagai aliran dengan simbol, J. Sedangkan persamaan untuk transpor
massa menekankan perubahan konsentrasi dengan berubahnya waktu pada
suatu lokasi tertentu, daripada difusi massa melalui suatu satuan luas dan
barier dalam satuan waktu, dikenal sebagai hukum Fick kedua.
3. Untuk pekerjaan difusi sel dengan konstruksi sederhana oleh Aguiar dan
Wener diduga paling baik. Biber dan Rhodes membuat suatu konstruksi sel
difusi tiga kompartemen dari pleksiglas untuk penggunaan baik dengan
membra sintesis maupun membra biologis yang diisolasi. Permeasi uap air
dan senyawa orgaik aormatik dari larutan air melalui lapisan (film) plastik
bisa diselidiki dalam sel gelas dengan dua ruang serupa dengan desain yang
digunakan untuk menyelidiki larutan obat pada umumnya. Scheuplein
menerangkan suatu sel untuk percobaan penetrasi kulit, dibuat dari pireks
dan terdiri dari dua belahan.
4. Laju disolusi merupakan suatu besaran yang menunjukkan jumlah bagian
senyawa obat yang larut dalam media per satuan waktu, atau dengan kata
lain waktu yang diperlukan obat untuk melarut dalam cairan, dengan
menggunakan persamaan Higuchi Q = A √D(2C - Cs) Cs t
5. Dalam percobaaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor dipindahakn
dan diganti secara terus-menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar
konsentrasi selalu rendah. Keadaan ini disebut keadaan sink (sink conditions).
6. Uji disolusi dapat dilakukan dengan menggunakan dua tipe alat, yaitu alat 1
dengan metode basket dan alat 2 dengan metode dayung.
7. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. Bila suatu tablet atau sediaan
obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke
dalam larutan dari bentuk padatnya.
8. Sari
9. Waktu Laten (Lag Time) yaitu waktu yang dibutuhkan oleh sistem untuk
berada dalam keseimbangan difusi. Koefisien partisi harus dipertimbangkan
dalam pengembangan bahan obat menjadi bentuk obat. Koefisien partisi (P)
menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem dua fase,
yaitu pelarut organik dan air.
10. Hipotesis pH-Partisi menyatakan bahwa obat-obat diabsorpsi dari saluran
gastrointestin dengan difusi pasif besarnya relatif terhadap fraksi obat tidak
terdisosiasi pada pH usus. Inilah alasan mengapa koefisien partisi antara membran
dan cairan gastrointestin besar untuk jenis obat tidak terdisosiasi dan mengarah ke
transpor bentuk molekular dari usus melalui dinding mukosa dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemis.
11. Penembusan = penetrasi = absorpsi perkutan, terdiri dari pemindahan obat dari
permukaan kulit ke stratum corneum, dibawah pengaruh gradien konsentrasi
dan berikutnya difusi obat melalui stratum corneu yang terletak dibawah
epidermis, melewati dermis dan masuk kedalam mikrosirkulasi.
12. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi penetrasi dari suatu obat ke dalam
kulit adalah : konsentrasi obat terlarut Cs, koefisien partisi K dan koefisisen
difusi.
13. Absorpsi buccal adalah tablet yang digunakan dengan cara meletakkan tablet
diantara pipi dan gusi sehingga zat aktif diserap secara langsung melalui
mukosa mulut.
14. Obat seperti progesterone dan senyawa-senyawa terapeutis dan kontraseptif
bisa diberikan dalam jumlah mikrogram ke dalam uterus dengan jalan (cara)
bentuk difusi terkendali (intrauterine device IUD). Obat bisa juga
diimplantasikan ke dalam vagina dalam suatu matriks silikon dan penglepasan
obat pada setiap saat bisa di hitung menggunakan persamaan kuadrat.
15. Semakin hidrofilik suatu lapisan, makin besar tarik menariknya untuk uap air
dan makin besar pula laju permeasinya. Laju transmisi uap air merupakan
suatu fungsi dari tebal lapisan, komposisi pengisi, dan konsentrasi.
16. Penglepasan obat tergantung pada pH dan konsentrasi elektrolit dalam saluran
cerna.
17. Multilayer diffusion adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran
udara
18. Matriks polimer yang digunakan sebagai perisai pelindung atau sebagai penghalang dimana hanya melalui senyawa tertentu dapat berdifusi.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel C. Howard, 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi keempat, Universitas Indonesia, Jakarta.
Ayu, Citra A. 2008. Pengaruh Bentuk Literatur. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126106-FAR.043-08-Pengaruh bentuk-Literatur.pdfDiakses pada tanggal 4 September 2013
Budiman, Arif. 2011. Difusi dan Disolusi.http:blogs.unpad.ac.id/arifbudiman/files/2011/05/difusi-disolusi.pdfDiakses pada tanggal 4 September 2013
Dash, Suvakanta et al. 2010. Kinetic Modeling on Drug Release from Controlled Drug Delivery Sistems.http://www.ptfarm.pl/pub/File/Acta_Poloniae/2010/3/217.pdfDiakses tanggal 3 September 2013
Depkes, RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Empat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dewi Melani H, Tutiek Purwanti Widji Soeratri. 2005. Kolerasi kadar Propilenglikol dalam basis dan pelepasan dietil ammonium diklofenak dari basis gel carbopol ETD 2020. Journal.lib.unair.ac.id. vol 5 No.1.
Gennaro, A. R., et all., 1990.“ Remingto’s Pharmaceutical Sciensces “, Edisi 18th. Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania.
Lachman, Leon, dkk. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri. UI Press, Jakarta.
Lukman, anita. 2011. Pemanfaatan pati beras ketan pragelatinasi sebagai matriks tablet lepas lambat natrium diklofenak dan kaptopril(http://www.buchi.co.id/Theory.33011.0.html)Diakses, 3 september 2013
Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. In: Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B. 1992. editor. Pulmonologi klinik. 1st Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
Margaret. 2008. Peningkatan kelarutan literatureLontar.ui.ac.id/file?=digital/126131-far.054-08…literature.pdfDiakses, 3 september 2013
Martin, Alfred et al. 1993. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid II. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Niken, prawesti. 2013. Absorbsi Obat Berdasarkan Tempat Pemberian.Ffarmasi.unand.ac.id/bahan_ajar/farmakologi_dasar/.pdfDiakses 4 September 2013