Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak muda. 1
66

Makalah Difteri

Jan 18, 2016

Download

Documents

awaluddin1490

Difteri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Difteri

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious

disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium

diphtheriae yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian

tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.

Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang

tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan

bersin penderita.

Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil,

faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta

kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah

Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan

dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya

menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan

10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.

Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum

dari kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah

padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga

kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,

Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu

penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah

akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah

dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh

kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan

kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri

1

Page 2: Makalah Difteri

digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun

dengan drastis.

Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.

Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit

difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak

untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit

tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan

terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita

Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga

kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya kematian akibat

Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus dimana terdapat 2 kasus

difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya kematian dan

mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya

terdapat 1 kematian.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?

2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?

3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?

4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri

2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri

3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri

4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.

2

Page 3: Makalah Difteri

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,

faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta

kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan

oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu

membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.

Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring

otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-

kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher

dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi

obstruksi jalan napas.

Difteri hidung biasanya ringan dan ditandai rongga hidung tersumbat dan

terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus

terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang

progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri

kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang

lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)

2.2 Penyebab

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk

batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman

sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.

Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.

Ada tiga type varian dari Corynebacterium diphtheria  ini yaitu : type mitis,

typeintermedius dan type gravis.

Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan

gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.

Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan

3

Page 4: Makalah Difteri

intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-

luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri.

Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya

menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,

terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali

diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan

pemberian antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau

penisilin untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa

dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.

Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif

(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,

mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan

pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau

merupakan formasi mirip huruf China. Kuman tidak bersifat selektif dalam

pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit

agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila

direduksi oleh C. diphtheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau

dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung

serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi

granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni

akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup

bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi

serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan

khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis,

intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil

ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe

serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa

mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae

adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,

toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji

4

Page 5: Makalah Difteri

kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)

yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu

protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,

mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B

(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau

memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa

diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung

toxigene.

Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara

bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6

termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,

sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium

diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat

ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang

berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar

mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah

disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).

Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini

bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang

memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada

disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin

dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai

jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.

Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan

dapat timbul nefritis interstisial.

Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringea

karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran

nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa

mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronco

pneumoni.

5

Page 6: Makalah Difteri

Gambar alur penyebaran penyakit difteria.

Morfologi Corynebacterium diphtheria

Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora,

tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau

kedua ujung badan bacteri.

Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat

muda sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).

Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien,

letanya bakteri seperti  huruf – huruf  L, V, W, atau tangan  yang  jarinya

terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade /

sudut tajam huruf  V, L, Y / tulisan cina

Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa

mikrometer, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak

tahan asam. C. diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan

6

Page 7: Makalah Difteri

maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan

dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah.

Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis

dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C.

diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan.

Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah

pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk

seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak

beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan zat

warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut

berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai

cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.

Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.

Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat

keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu

a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya

juga paling besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula

metakromatik sedikit, pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak

biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu

membentuk selaput pada permukaan. 

b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik

dengan sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan

W, mirip seperti karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik

koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.

c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat

berwarna hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru

terang & gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit :

pertengahan pada kaldu akan membentuk endapan.

Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat

biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi

dari tiga tipe dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk

7

Page 8: Makalah Difteri

memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan

masing-masing.

Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain

intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit,dan mitis memiliki

waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat

pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras

pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.

Klasifikasi

Gambar Bakteri Corynebacterium diphtheria

Klasifikasi

Kerajaan : Bacteria

Filum : Actinobacteria

Ordo : Actinomycetales

Famili : Corynebacteriaceae

Genus : Corynebacterium

Spesies : C. diphtheria

2.3 Cara Penularan

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai

penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan

penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui

pernafasan atau droplet infection.

8

Page 9: Makalah Difteri

Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4

minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier  bisa sampai

6 bulan.

Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri

khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa

reaksiradang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel

darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran

putih keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah

berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini

mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis.

Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri  fauncial dan faringeal 

(Depkes,2007).

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

a. Infeksi ringan bila  pseudomembran  hanya terdapat pada mukosa hidung

dengan gejala hanya nyeri menelan.

b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring

(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan

pada laring.

c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan

gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung)  paralisis

(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang

dirasakan pasien:

a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan

ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus

difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan

sumber utama penularan.

9

Page 10: Makalah Difteri

Gambar Difteri Hidung

b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang

akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang

cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher.

Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu

abuan kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut

(faring).

Gambar Difteri Faring

10

Page 11: Makalah Difteri

c. Difteri laring (l a ryngo t rachea ld iph the r iae ) dengan gejala tidak

bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40

derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan

kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa

mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

Gambar Difteri Laring

d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala

berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan

membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri,

pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.

Gambar Difteri Kutaneus

11

Page 12: Makalah Difteri

Diagnosis Banding

Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah

rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam

hidung, snuffles (lues congenital).

Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang

disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat),

mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis

herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.

Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat

menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup,

angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.

Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang

disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.

Manifestasi Klinis

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias

bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta

fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,

virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk

toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit

sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.

Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk

berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang

melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit

difteria.

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan

klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa

manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.

1. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung

mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi

kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di

12

Page 13: Makalah Difteri

lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi

antibiotik.

2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi

faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan,

anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika

toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma,

dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan

penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah

submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.

3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring.

Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran

dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.

4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat

terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas.

Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah

vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal. 

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh

pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling

sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung

yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi

pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi

saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan

kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu

kelima penyakit.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena

obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan

untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%).

Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50

tahun terakhir.

13

Page 14: Makalah Difteri

2.4 Patofisiologi

1. Tahap Inkubasi

Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di

mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital

dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput

lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai

ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke

pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara

menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda

maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk

dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar

melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,

terutama jantung dan saraf.

Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan

masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu

atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa

inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6

bulan.

2. Tahap Penyakit Dini

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.

Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.

Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf

lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.

Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu

pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan

pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal

jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara

perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan

buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

14

Page 15: Makalah Difteri

3. Tahap Penyakit lanjut

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan

selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di

dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek

dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan

lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran

udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga

anak mengalami kesulitan bernafas.

Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan

invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal

pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan

exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan

sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa

menimbulkan kematian pada guinea pig.

Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang

menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk

kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang

lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari

kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran

sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan

nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.

Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau

abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena

membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran

rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.

Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin

ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan

efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel

melalui porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi

porsi toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja

setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.

15

Page 16: Makalah Difteri

Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada

miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,

dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi

kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan

perivascular dibalut dengan lekosit.

Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada

keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering

terlibat dan lebih berat.

2.5 Epidemiologi

1. Person (Orang)

Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang

anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di

bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan

penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.

Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta

kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan

imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal

karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk

rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari

setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.

2. Place (Tempat)

Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat

sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena

berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber

dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis

dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri

diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak

terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri

akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

16

Page 17: Makalah Difteri

3. Time (Waktu)

Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal

waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak

mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang

biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.

2.6 Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian

antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan

berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena

preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan

waktu beberapa hari.

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent

antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti

dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan

dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).

Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,

karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi

membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna

membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih

banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi

perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan

pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus

ditegakakkan berdasarkan gejala klinik.

Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:

a. Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi

Corynebacterium diphtheriae.

b. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung)

dapat di lakuka dengan Electrocardiogram (ECG).

17

Page 18: Makalah Difteri

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi

hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak

spesifik. Pemeriksaan Shick Test bisa dilakukan untuk menentukan status

imunitas penderita.

Gejala Penyakit

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :

1. P a n a s l e b i h d a r i 3 8 ° C

2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil

3. Sakit waktu menelan

4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan

karena pembengkakan kelenjar leher.

Tergantung  pada berbagai faktor, maka manifestasi  penyakit ini bisa

bervariasi dari tanpa gejala sampai  suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta

fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin  diphtheria,

virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)

Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.  Faktor-faktor

lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit  pada 

daerah  nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita

pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan

sistemik. Demam  jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala  lain

tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.

a. Diphtheria Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan  tanpa atau disertai

gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous

dan kemudian mukopurulen  mengadakan lecet  pada  nares dan bibir atas.

Pada  pemeriksaan  tampak membran putih pada daerah septum nasi.

b. Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2  hari

timbul membran yang melekat, berwarna  putih-kelabu dapat  menutup

18

Page 19: Makalah Difteri

tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula  dan palatum molle atau ke

distal ke laring dan trachea.

c. Diphtheria Laring

Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih

berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. 

d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran

pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata

dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran

pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan

sekret purulen dan berbau

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas

yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah

ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan

disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan

(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan

laboratorium.

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada

anak tak  jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.

Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL

Depkes,2003).

2.7 Patogenesis

Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat

serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan

mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya

menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek

toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam

sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino

yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari

19

Page 20: Makalah Difteri

ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain

untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses

translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +

dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan

enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi

enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2

(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan

proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida

yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah

kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan

jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.

Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah

eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu

kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran

juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran

akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa

penyembuhan.

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan

bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous

dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan

perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang

diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama

jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang

bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah

melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat

masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis

biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah

3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan

degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung

20

Page 21: Makalah Difteri

tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system

konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis

interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada

selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang

tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

Di alam, Corynebacterium diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan,

dalam luka - luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang

membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan

individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit

yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara

in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada

kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml.

Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik,

kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang

cocok.

Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang

dapat mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah, molekul

dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B

tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan

fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida

(jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor

ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke

tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas

EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah

suatu kompleks adenosin di fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa

efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis

protein yang mendadak.

Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang

berbeda, yaitu :

1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan

proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme

21

Page 22: Makalah Difteri

kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa

jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan. 

2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian

sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun

toksin bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi

dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase

invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun,

belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses

penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan,

dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang

membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan

individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit

yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara

in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada

kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml.

Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik,

kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang

cocok. Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang

dapat mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul

dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B

tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan

fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida

(jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor

ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat

donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2

dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu

kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek

nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis

protein yang mendadakBiasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar

22

Page 23: Makalah Difteri

permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.

Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari

tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga

saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda

maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah

masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan

menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh

tubuh,terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.

Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.

Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada

saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.

Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama

minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan

ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan

gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung

secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat

kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan

destruksi epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami

nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih,

sehingga terbentuk ”pseudomembran” yang berwarna kelabu –yang sering

melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk membuang

pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan pendarahan. Kelenjar

getah bening regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di

seluruh leher.

Corynebacterium diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara

aktif. Toksin ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh,

khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati,

ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga

23

Page 24: Makalah Difteri

mengakibatkan kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis palatum

molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan

selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di

dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek

dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan

lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan

saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,

sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.

Tak  jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat

biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi

akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,

2003).

2.8 Komplikasi

Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat

aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi

tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema

jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan

ginjal.

Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala

kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan.

Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi

terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan

streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada

dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.

Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh

membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah

submandibular dan servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum

mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-

24

Page 25: Makalah Difteri

kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit

adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah

nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain

nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang

diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan

tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.

Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri

dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara

dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua,

tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya

dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian

antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3

sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall

1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi

lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan

dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf

otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada

elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim.

Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti

blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi

ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi

atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan

keparahan mionekrosis.. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan

sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup

dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent;

untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.

Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi

primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah

mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle.

Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai,

menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena

25

Page 26: Makalah Difteri

aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan

paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,

pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1

hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit

motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai

menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal

pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan

serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma

dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah

mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan

hipotensi atau gagal jantung.

Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah

toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari :

1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus

2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan

nafas

3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut

menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan

saraf  penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat

kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.

2.9 Prognosis

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran

membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan

perawatan umum. (8) Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik,

lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara

lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.

26

Page 27: Makalah Difteri

Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat

disebabkan oleh karena :

Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,

Adanya miokarditis dan gagal jantung,

Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit

difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun

demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

2.10 Pencegahan dan Pengobatan

1. Pencegahan

a. Isolasi Penderita

Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah

pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat

lagi Corynebacterium diphtheriae.

b. Imunisasi

Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,

pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada

anak-anak usia sekolah dasar.

Rencana Imunisasi (Jadwal)

Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis

vaksin mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada

sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri

pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.

Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer

ke empat diberikan pada umur 4 tahun).

Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga

dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua

dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah

dosis kedua.

27

Page 28: Makalah Difteri

Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT

atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia

1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri

(D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau

sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin

mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6

tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.

c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria

Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin

penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan

hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae,

penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan

pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang

anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga

perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat

imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi

tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian

memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)

atau menderita difteri ringan.

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,

kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar

imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan

batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu

DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;

preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5

mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk

dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya

superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang

28

Page 29: Makalah Difteri

lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid

difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid

difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

2. Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati

infeksi penyerta dan penyulit difteria.

a. Pengobatan Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat baring selama kurang lebih 2-3

minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat Khusus pada difteria

laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan

menggunakan humidifier.

b. Pengobatan Khusus 

1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) 

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.

Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada

penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6

menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum

pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. 

29

Page 30: Makalah Difteri

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan

untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan

untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G,

atau Penisilin prokain.

3. Kortikosteroid

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai

gejala.

c. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika

tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila

tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif

merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

d. Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai

tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala

30

Page 31: Makalah Difteri

klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan

serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar

diberikan booster toksoid difteria.

e. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai

uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

USAHA PD3I DIFTERI

Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu

untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit

difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).

Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :

1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta

2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja

31

Page 32: Makalah Difteri

3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin

dan alat suntik

4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk

menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan

5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih

6. Pelaksanaan sesuai dengan standard

7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif

berkualitas dan efisien

8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka

pemerintah melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu

konsentrasi kegiatan difokuskan pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam

penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan

bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk

melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan

Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai

memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang

diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi

tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program BLF (Backlog

Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).

1. BLF (Back Log Fighting)

BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada

anak yang berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan

yang selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal

Child Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi tambahan diamana

definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar

ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini

sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya

dilaksanakan pada suatu periode tertentu.

32

Page 33: Makalah Difteri

2. ORI (Outbreak Response Imunization)

ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB.

Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal

ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun,

melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB

terjadi.

Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana

temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak

berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif

untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus

dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar

sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai

penularan.

Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi

tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada

kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat

kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun

kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri

tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang

didapat secara aktif dengan imunisasi.

Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan

diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu,

imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi

berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid)

dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua

diberikan pada saat anak akan bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan

menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang

sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus

dibatasai pada keadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang

terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.

33

Page 34: Makalah Difteri

Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi

DPTdan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar

dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan

sumber  penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada

tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang

imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali

dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi

dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan

dalam mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).

Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan

tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan

dengan selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan

memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam

waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri

dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat

penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi

perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu

DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun

setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster

(DT) setiap 10 tahun sekali.

Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system

kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan

vaksin difteria dengan jadwal yang sama.

Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada

masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya

imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk

menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti

difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi

rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus

menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan

makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di

34

Page 35: Makalah Difteri

luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya

dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi

sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan

untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman

Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali,

biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.

Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan

toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri

difteri dan menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus

tiduran di tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan

vaksin DPT (vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan.

Untuk pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1

– 1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin

atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk

mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit

ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg /

hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian,

intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan

600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.

Melihat bahayanya, penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan

ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit

untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit

untuk di opname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di

rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital

penderit auntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita

umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).

Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest :

2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah

dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.

Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat

dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih

35

Page 36: Makalah Difteri

muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang

terlambat.

Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias

dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya

masih positif dan imunisasi.

Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan

membunuh basil dengan antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,

Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).

Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria

Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil

saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.

Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.

Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi

3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-

40mg/KgBB/hari selama 14 hari.

Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis

Tetanus) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan

tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi

DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri,

pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya

diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT

pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya

yaitu DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya

diberikan pada anak Sekolah Dasar kelas 1 .

Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat

menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang

pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah

mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi

booster setiap 10 tahun.

Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran

sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak.

36

Page 37: Makalah Difteri

Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40

tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.

Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat

memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di

antaranya meliputi:

a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi

bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat

menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan

masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru

sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal

napas.

b. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke

jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis.

Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang

tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.

c. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami

masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan

pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah

saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang

akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat pasien tidak

bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau

respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal

muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu,

penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya

dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.

d. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat

parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik

akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar

komplikasi ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.

2.8 Determinan

37

Page 38: Makalah Difteri

Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian Difteria

diantaranya :

1. Cakupan imun i sa s i , a r t i nya d imana ada bay i yang ku rang

bahkan tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan

penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan statusimunisasi DPT dan

DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403 kali lebih besar

dari pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap.

2. Kua l i t a s vaks in , a r t i nya pada s aa t p ro se s pembe r i an

vaks ina s i ku rang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga

mempengaruhi kualitas vaksin.

3. Fak to r L ingkungan , a r t i nya l i ngkungan yang bu ruk

dengan s an i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit

Difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah sekali

menyebarkan penyakit difteria bila ada sumber penularan.

4. R e n d a h n y a t i n g k a t p e n g e t a h u a n i b u , d i m a n a

p e n g e t a h u a n a k a n  pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang

bisa mengenali secaradini gejala-gejala penyakit difteria.

 BAB III

38

Page 39: Makalah Difteri

PENUTUP

3.1 Keimpulan

1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium

diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan

kuman penyebabnya.

2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.

3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri

faring, difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.

4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :

a. Panas lebih dari 38 °C

b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .

c. Sakit waktu menelan

d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan

karena pembengkakan kelenjar leher

5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik

sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui

kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier.

Caranya melalui pernafasan dan difteri kulit yang mencemari tanah

sekitarnya.

6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4

minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai

6 bulan.

7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian

imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan

dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling

sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah

dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan

cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri

ini.

39

Page 40: Makalah Difteri

8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan

umum yaitu dengan isolasi, bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan

lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus

yang bertujuan menentralisir toksin dan membunuh basil dengan

antibiotika ( Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,

Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).

9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :

Cakupan imunisasi

Kualitas vaksin

Lingkungan

Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga

Akses pelayanan kesehatan yang rendah

DAFTAR PUSTAKA

Arias, Kathleen. 2000. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas

40

Page 41: Makalah Difteri

Kesehatan. Jakarta : EGC

Aziz, hidayat. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba medika.

Berham. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Volume 2. Jakarta; EGC.

Ditjen P2PL, Depkes RI, ,2007. Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit), Jakarta.

Ditjen P2PL, Depkes RI, 2003. Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,Jakarta,

Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,2005,Jakarta

Garna, Herry, dkk. 2002. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.

Kadun, I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular.CV. Infomedika, Jakarta

Kartono, 2008,  Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5 Profil, 2004.

 Profil Kesehatan ,http://www.BankData/Depkes.go.id/

Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta.

Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI : Jakarta.

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.

41