DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS
PENDAHULUAN
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya.
Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran
pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan
ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan
bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden
penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin
difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu,
lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering
terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat
berdesakan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan
mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya
terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi.1,2
Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan
darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala
obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni
sampai afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal,
supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan apabila tidak
mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis
karena hipoksia.3
Pada 1400 kasus difteri di Kalifornia, fokus infeksi primer
sekitar 94% adalah tonsil atau faring, sedangkan hidung dan laring
merupakan dua tempat berikutnya yang angka kejadiannya lebih jarang
daripada tonsil dan faring. Penyumbatan mekanik karena difteri
laring atau difteri Bullneck dan miokarditis menyebabkan kematian
paling besar. Angka kematian kasus difteri saluran nafas hampir
10%.4
Mengingat pentingnya penyakit difteri dibidang THT-KL, pada
makalah ini akan dibahas mengenai difteri pada saluran pernafasan
atas dengan tujuan agar mendapat pemahaman yang lebih mendalam
tentang difteri yang menyerang saluran pernafasan atas.
1
2
1. SALURAN NAFAS ATAS
Hidung adalah tempat dimulainya proses pernafasan. Di hidung
terdapat rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk
menyaring udara yang masuk agar udara menjadi bersih. Saluran nafas
atas terdiri dari hidung, faring, dan laring.3
Gambar 1. Saluran nafas atas dan bawah3
1.1 Hidung
Hidung terdiri atas kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi jaringan
ikat dan kulit. Hidung terbagi atas kavum nasi kiri dan kanan
oleh septum nasi. Rongga hidung terbuka di anterior pada nares dan
di posterior pada koana. Luas permukaannya diperbesar oleh tiga
tonjolan dari dinding lateral yang disebut konka superior, media,
dan inferior.5 Kulit yang menutup hidung dilapisi rambut sangat
halus dengan kelenjar sebasea. Bagian dalam hidung dilapisi 4 jenis
epitel. Epitel berlapis pipih pada kulit berlanjut ke dalam melalui
nares ke dalam vestibulum, dimana sejumlah rambut kaku dan besar
menonjol ke saluran udara. Sel rambut ini berfungsi menahan
partikel debu yang besar dalam udara yang masuk ke dalam rongga
hidung. Beberapa millimeter ke dalam vestibulum, epitel berlapis
pipih berubah menjadi kolumnar atau kuboid tanpa silia yang
kemudian berlanjut menjadi
3
epitel bertingkat kolumnar bersilia. Sebagian besar rongga
hidung dilapisi epitel kolumnar bersilia, sel Goblet, dan sel
basofil kecil pada dasar epitel, yang dianggap sebagai sel induk.
Pada manusia, jumlah sel Goblet berangsur bertambah dari anterior
ke posterior. Epitel rongga hidung selain mensekresi mukus juga
mensekresi sedikit cairan yang membentuk lapisan diantara bantalan
mukus dan permukaan epitel. Di bawah epitel terdapat lamina propria
tebal yang mengandung kelenjar submukosa, sel mukosa dan serosa. Di
dalam lamina propria juga terdapat sel plasma, sel mast, dan
kelompok jaringan limfoid.6
Gambar 2. Epitel respiratorik berupa epitel bertingkat silindris
bersilia dengan sel Goblet 6
1.2 Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang
berbatasan dengan
palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa
/ pipih.6
1.3 Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea.
Pada
lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin
yang berfungsi sebagai katup untuk mencegah masuknya makanan dan
sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi.7 Epiglotis
merupakan juluran dari tepi laring, meluas ke faring dan memiliki
permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal
epiglotis ditutup oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan
laring ditutup oleh epitel respirasi
4
bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat
kelenjar campuran mukosa dan serosa.6
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas
ke dalam lumen laring yaitu pasangan lipatan atas membentuk pita
suara palsu (plika ventrikularis) yang terdiri dari epitel
respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk
pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis pipih,
ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot
rangka). Otot vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan
frekuensi yang berbeda.6
2. CORYNEBACTERIUM DIFTERI
Corynebacterium difteri adalah kuman batang gada gram positif,
(basil aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 m dan lebar 0,3 hingga 0,8
m, tidak bergerak, pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini tidak
membentuk spora, tahan dalam keadaan beku dan kering, dan mati pada
pemanasan 60C. 8
Gambar 3. Corynebacterium difteri susunan sel karakteristik
huruf Cina9
Kuman difteri pada pewarnaan bisa terlihat dalam susunan
palisade bentuk L, V, atau membentuk formasi mirip huruf Cina
(gambar 3). Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya,
isolasinya dipermudah dengan media tertentu yaitu sistin telurit
agar darah. Media sistin telurit agar darah akan menghambat
pertumbuhan organisme lain dan bila media direduksi oleh
Corynebacterium difteri akan membuat koloni menjadi abu - abu hitam
(gambar 4).8,9
5
Gambar 4. Corynebacterium difteri koloni pada agar darah9
Pada media Loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang
sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka
Corynebacterium difteri akan membentuk granul berwarna
metakromatik. Sedangkan pada pewarnaan metilen blue koloni akan
berwarna krem. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium difteri
dapat hidup bersama dengan kuman difteroid yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan diperlukan pemeriksaan khusus
dengan fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium difteri yaitu tipe
gravis, intermedius dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda
dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan
metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi tiga strain
dikaitkan dengan kemampuan relatif untuk memproduksi toksin difteri
baik kualitas maupun jumlah, dan tingkat pertumbuhan masing-masing.
Strain gravis memiliki waktu pertumbuhan 60 menit, strain
intermedius memiliki waktu pertumbuhan sekitar 100 menit, dan mitis
memiliki waktu pertumbuhan sekitar 180 menit. Dipandang dari sudut
antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serologis. Hal ini bisa
menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa mempunyai kolonisasi
lebih dari satu jenis Corynebacterium difteri.8,9
Ciri khas Corynebacterium difteri adalah kemampuannya
memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin
merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas atau cahaya, dan mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(amino-terminal) dan fragmen B (karboksiterminal).
6
Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag. Toksin hanya bisa diproduksi
oleh Corynebacterium difteri yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toksigen. Toksin ini dapat diperlihatkan dengan uji
netralisasi toksin in vivo pada marmut yaitu uji kematian atau
dengan teknik imunopresipitin agar atau disebut juga uji Elek yaitu
suatu uji reaksi polimerase.4,8
2.1 FAKTOR RESIKO DIFTERI
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri
sebelumnya dan
kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah
terinfeksi difteri :
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat
imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak
dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko
menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status
imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses
pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna
sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk
dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit
difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan
penyakit difteri bila ada sumber penular.
4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan
pentingnya imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini
gejala penyakit difteri.
5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat
dilihat dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah
tertentu. 4,8
2.2 PATOGENESIS
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi, dan kontak dengan carier
melalui pernafasan atau droplet infection. Selain
7
itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan
yang terkontaminasi.1,4
Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan
invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi
berkembang lokal pada membran mukosa atau pada jaringan yang rusak
dan menghasilkan eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh
melalui aliran darah dan sistem limfatik.2,4
Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan darah. Toksin ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(aminoterminal) dan fragmen B (carboksiterminal) yang disatukan
dengan ikatan disulfida (gambar 5). Fragmen B diperlukan untuk
melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu
yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya fragmen A
dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
dalam menimbulkan efek toksik pada sel.10
Gambar 5. Toksin dan reseptor difteri10
Reseptor toksin difteri pada membran sel terkumpul dalam suatu
coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis.
Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel, dan
selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini
dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran
endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah
hambatan pembentukan protein dalam sel.8,10
8
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam
amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P
dan A
dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini ditambah asam amino
lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA,
diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya
gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation
faktor-2) yang aktif.8
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan
mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :
NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) +
H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif .2
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga
tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, yang akan
mengakibatkan sel mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi
kuman yang terjadi sebagai respon terjadi inflamasi lokal dan
bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang
mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuknya
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung
dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga
terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila
dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya
membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.2,8
Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri
mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu :
1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi
kolonisasi dan proliferasi bakteri.
2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan
eukaryotic karena terjadi hambatan sintesa protein dalam sel.
4,8
9
Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun
virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja.
Pada saat bakteri berkembang biak, toksin merusak jaringan lokal
yang menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan. Ciri khas dari
penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa
reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan
leukosit dan sel epitel yang rusak bercampur, kemudian terbentuklah
membran putih keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar
diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman
difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan eksotoksin. Warna membran
difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu,
dan ini sering disebut dengan simple tonsilar exudate. Kerusakan
jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah sekitar
membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan
menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laringeal.8,10
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan
syaraf. Pada miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan
kerusakan mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udem,
dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan
miokardium, dilanjutkan peradangan setempat yang kemudian diikuti
penumpukan leukosit pada perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada
myelin sheat saraf perifer dapat terjadi pada saraf sensorik dan
saraf motorik.2,4
Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten
yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya timbul dalam 10 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3 7 minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah
nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada berbagai macam organ dan
jaringan. Pada jantung tampak udim, kongesti, infiltrasi sel
mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien
tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial.
Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia, kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada
ginjal.4,8Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat
ringannya, yaitu:
10
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai
faring dan menimbulkan bengkak pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat
disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis,
dan nefritis.4
2.3 MANIFESTASI KLINIS DIFTERI
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai
faktor dan bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik
serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pasien terhadap
toksin difteri, virulensi serta kemampuan kuman C.Difterie
membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah
nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan
gejala seperti penyakit sistemik, tergantung pada lokasi penyakit
secara anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9C.2,8
2.3.1 Difteri hidung
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan
gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
pada awalnya serous, kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus
terjadi epistaksis. Pengeluaran sekret bisa hanya berasal dari satu
lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa menjadi
mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan
bibir bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Sekret hidung kadang mengaburkan adanya membran putih pada septum
nasi (gambar 6). 8,11
11
Gambar 6. Difteri hidung kanan.11
Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul
tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan waktu
yang lebih lama.
Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekret akan
berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan.
Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian
antibiotika.8,11
2.3.2 Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi
keluhan nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 C, nadi cepat, tampak
lemah, nafas berbau, anoreksia, dan malaise. Dalam 1 2 hari
kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih kelabu menutup
tonsil, dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
bawah ke laring dan trakea (gambar 7).2, 12,13
Gambar 7. Difteri tonsil, faring 2
12
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan.
Limfadenitis servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan
dengan udim ringan jaringan lunak leher yang luas, akan menimbulkan
bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi
toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum
molle baik unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan
dan regurgitasi. Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi
dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan
terjadi berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau
neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7 10 hari
dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.13
2.3.3 Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring
(gambar 8), jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis
difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan batuk
kering.2,14 Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi
sebagai perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak
merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan
demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri
jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam
nyawa penderita akibat gagal nafas.15,16
13
Gambar 8. Difteri laring 2
2.4 DIAGNOSIS DIFTERI
Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian
antiotoksin
sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus segera
ditegakkan berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil
mikrobiologi. Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu
spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat
ditemui adanya membran. Membran pada difteri berbeda dengan membran
penyakit lain, yaitu warna membran pada difteri lebih gelap, lebih
keabu-abuan disertai lebih banyak fibrin yang melekat dengan mukosa
dibawahnya, dan apabila diangkat terjadi perdarahan.8Untuk
pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan :
Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah
membran
Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah
4,8
Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien
difteri dapat diketahui dngan melakukan pemeriksaan
electrocardiogram (ECG)
Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan
status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis
dini karena baru dapat dibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna
untuk menentukan kerentanan penderita, diagnosis serta
penatalaksanaan defisiensi kekebalan.4,8
Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan
untuk biakan dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi
14
secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti dengan
isolasi C.Diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler
dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo dan in-vitro
dengan tes Elek.2,4
2.5 KOMPLIKASI
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran,
jumlah
toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian
antitoksin.4, 8
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan
stafilokokus yang akan memperberat gejala Difteri
2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau
udim jalan nafas
3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin4
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa
berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa
kelumpuhan saraf menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa
berakibat kelumpuhan. Komplikasi berat lainnya yang bisa segera
menimbulkan kematian adalah obstruksi jalan nafas.2, 4
2.6 PROGNOSIS
Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu
tergantung pada:
1. Usia penderita
Makin rendah usia penderita makin jelek prognosis. Kematian
paling sering ditemukan pada anak kurang dari 4 tahun dan terjadi
sebagai akibat tercekik oleh membran difteri.
2. Waktu pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian
antitoksin prognosis semakin baik.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul
tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
15
4. Keadaan umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita
dengan gizi baik. 4,8
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan
prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri,
semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah
menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa
pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia
megakariositik atau miokarditis yang disertai kelainan
atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.2,8
2.7 PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN DIFTERI
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi
toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang
bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.4,82.7.1
Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang
lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan
lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori.
Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara
lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu
selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.2,42.7.2 Pengobatan Khusus
a. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun
16
dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa
meningkat sampai 30%. 2,8
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit 2
Tipe DifteriaDosis ADS (KI)Cara pemberian
Difteria Hidung20.000Intramuscular
Difteria Tonsil40.000Intramuscular /Intravena
Difteria Faring40.000Intramuscular /Intravena
Difteria Laring40.000Intramuscular /Intravena
Kombinasi lokasi diatas80.000Intravena
Difteria + penyulit, bullneck80.000-100.000Intravena
Terlambat berobat (>72 jam)80.000-100.000Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi
reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata
dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil
positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti
tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam
fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness).2,4,8
17
b. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin
melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan
mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin,
eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada
resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat
telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin
untuk terapi difteri nasofaring.4Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam
selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut
(-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam
selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv
dibagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme
diperoleh sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung
dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai
terapi.4,8c. Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteri. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri
yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas
dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat
penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah
miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada
kasus berat selama 14 hari.4,8
18
2.7.3 Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya
reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeotomi.17
Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak
boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian
digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang
mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan
artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive
pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga. 4,17
19
RINGKASAN
Corynebacterium difteri adalah kuman batang gada gram positif,
pada pewarnaan bisa terlihat formasi mirip huruf Cina. Isolasi
kuman dipermudah dengan media tertentu yaitu sistin telurit agar
darah dan Loeffler.
Corynebacterium difteri bisa menimbulkan infeksi pada faring,
laring dan hidung. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan
sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Difteri didapat melalui
kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri.
Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Menurut berat ringan infeksi Difteri dibagi
menjadi tiga, yaitu ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada
mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan, sedang bila
pseudomembran telah menyerang sampai faring dan menimbulkan bengkak
pada laring, dan berat bila terjadi obstruksi nafas berat yang
disertai gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan
nefritis.
Terapi infeksi Difteri terbagi menjadi pengobatan umum, khusus
yang dijelaskan dengan cara pemberian ADS, antibiotika, dan
kortikosteroid, serta pengobatan penyulit.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile
PG. Deadly diseases and epidemics diphtheria. United States of
America : Chelsea house publishers ; 2009.p. 97 - 105
2. Sing A, Heesemann J. Imported diphtheria Germany, 2005.
Available from : http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 11no02/05.html.
Accessed June 20, 2011
3. Joedgreat. Parts of the respiratory system and their
function, 2007. Available from :
http://scienceray.com/biology/parts-of-the-respiratory-system-and-their-
functions/. Accessed July 10, 2011
4. Long SS. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. 15th ed. Philadelphia : WB Saunders company
; 1996.p. 955 - 59
5. Hill MG. Nasal cavity, 2005. Available from :
http://www.answer.com/topic/ nasal-cavity/l. Accessed July 11,
2011
6. Kuehnel. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic
Anatomy. 4th ed Stuttgart Thieme, 2003. Available from :
www.4shared.com/.../03501-Kuehnel Color Atlas.html. Accessed July
27, 2011
7. Chevrier G. Physiologie organs Pharynx et larynx, 2002.
Available from :
http://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm. Accessed July
15, 2011
8. Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features
Diphtheria. In : Hay WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current
diagnosis and therapy in pediatric. 18th ed. United State of
America : Library of congress press ; 2007.p. 1176 8
9. Todar K. Online textbook of bacteriology, 2011. Available
from : http://www. textbook of
bacteriology.net/featured_microbe.jpg. Accessed July 13, 2011
21
10. Mizushima H, Iwamoto R. Analysis of the molecules and
receptors involved in bacterial infection, 2000. Available from :
http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/ eng/ project/pro09.html.
Accessed July 28, 2011
11. Nankervis G. Diphtheria, 2008. Available from :
http://aapredbook. aappublications.org/week/iotw111008.dtl .
Accessed August 05, 2011
12. Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM. Management of
adenotonsillar disease. In : Lalwani AK, eds. Current diagnosis and
treatment in otolaryngology head and neck surgery. USA :
McGraw-Hill Companies Inc; 2004.p. 355 - 7
13. Thompson LD. Pharyngitis. In : Bailey BJ, Calhoun KH, eds.
Head and neck surgery otolaryngology. 3rd ed. Vol I. Philadelphia :
Lippincott company ; 2011.p. 543 6
14. Banovetz JD. Gangguan laring. Dalam : Adams GL, Boies LR,
Hilger PA ed. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC ( Alih
bahasa : Wijaya C ); 1994.p. 378 85
15. Lee KJ. The larynx. In : Lee KJ, ed.Essential otolaryngology
Head and neck surgery. 9th ed.USA : McGraw-Hill Companies Inc ;
2008.p. 552 70
16. Koufman JA, Belafsky PC. Infectious and inflammatory disease
of the larynx. In : Snow JB, Ballanger JJ, eds. Otorhynolaryngology
head and neck surgery. 17th ed. Shelton Connecticut : BC. Decker
Inc ; 2009.p. 1185 96
17. Dowel, Maloney. Arch Otolaryngol AMA. Diphtheria, 2000.
Available from : http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/ 61/1/29.
Accessed July 16, 2011