1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif tinggi.Tinggginya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakangPenyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri,Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I.
Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheria oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa
dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian.Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
tinggi.Tinggginya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi.
1.2 Tujuan1. Untuk mengetahui pengertian difteri.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit difteri.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit difteri.
4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri.
5. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit difteri.
6. Untuk mengetahui penanganan penyakit difteri.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
2
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri.Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi.Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada
difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak.Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan
dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif
dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes).Infeksi subklinis (atau kolonisasi)
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah
gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak
dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo (Kadun, 2006).
2.2 Epidemiologi
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada
awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas
Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
3
terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic
difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering
menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi
DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria
berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka
kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari
rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS),
Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,
Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda.
Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27%
usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun.
Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan
bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14
tahun. Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan
kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12
kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera
Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun
2008.Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di
era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari
penyakit dan kematian pada anak-anak.
2.3 Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.Berbentuk
batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul.Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu
exotoxin.Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang
tidak tahan terhadap panas dan cahaya.Bakteri dapat memproduksi toksin bila
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
4
mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type
gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara
bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium
diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini
tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama
dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram
yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran, bakteri
berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke
trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan
bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering
meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.Tapi
sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah
kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan
bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai
faktor primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta
kemampuan kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit
pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan
gejala seperti penyakit sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara
anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9°C.
2.4.1 Difteri hidung
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
5
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada
awalnya serous, kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi
epistaksis. Pengeluaran sekret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung
ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa menjadi mukopurulen dan
dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian atas
yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang
mengaburkan adanya membran putih pada septum nasi.
Gambar 1. Difteri hidung kanan
Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan
waktu yang lebih lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran
sekret akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini
merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan
pemberian antibiotika.
2.4.2 Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan
nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 °C, nadi cepat, tampak lemah,
nafas berbau, anoreksia, dan malaise. Dalam 1 – 2 hari kemudian timbul
membran yang melekat, berwarna putih – kelabu menutup tonsil, dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea (gambar 2).
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
6
Gambar 2. Difteri tonsil, faring
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis
servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udim
ringan jaringan lunak leher yang luas, akan menimbulkan bullneck.
Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas
membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik unilateral
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.
Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai
10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa
disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran
akan terlepas dalam 7–10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
2.4.3 Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, jarang sekali
dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari
tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara
parau, dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai
perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam
tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
7
merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita
akibat gagal nafas.
Gambar 3. Difteri laring
2.5 Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran,
jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari:
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
yang akan memperberat gejala Difteri
2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas
3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf
menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan.
Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah
obstruksi jalan nafas.
2.6 Prognosis
Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu tergantung pada:
1. Usia penderita
Makin rendah usia penderita makin jelek prognosis. Kematian paling
sering ditemukan pada anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat
tercekik oleh membran difteri.
2. Waktu pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian antitoksin
prognosis semakin baik.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
8
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita dengan
gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan
prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri,
semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah
menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan
pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia megakariositik atau miokarditis
yang disertai kelainan atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih
buruk.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi
tidak menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
2.7.1 Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-
3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak dan mudah
dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat
kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG
pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
9
2.7.2 Pengobatan Khusus
a. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif
bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI
seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam larutan
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
10
garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu