LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)1 PENDAHULUANLupus Eritematosus
Sistemik ( SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan. Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti.
Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara
variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga
berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE
yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik,
berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui
faktor yang bertanggung jawab. Etiologi SLE tidak diketahui, tapi
melibatkan faktor lingkungan dan genetik yang multipel. Angka
kejadian sebesar 25% pada kembar monozigot, tapi hanya 2% pada
saudara kandung yang tidak kembar. Telah dipastikan adanya hubungan
antara HLA-B8, DR2, DR3 dengan SLE. Terutama timbul pada populasi
wanita Afrika-Amerika di Amerika Serikat ( 1 dari 250), sebaliknya
prevalensi yang rendah pada kelompok etnis yang sama di Afrika
barat. Pada populasi multietnis di Inggris yang prevalensinya 45-50
per 100.000 wanita. Wanita terkena 10 kali lebih banyak
dibandingkan pria. Puncak onset adalah pada usia 15-40 tahun. 1.1
Faktor Hormonal SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang
perempuan. Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia
prapubertas dan setelah menopause. Konsentrasi testosterone plasma
yang rendah dan meningkatnya konsentrasi Luteinizing Hormone (LH)
ditemukan pada penderita laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan
dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki
maupun perempuan, mungkin bertangung jawab terhadap perubahan
respon imun. Konsentrasi progesteron di dapatkan lebih rendah pada
penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.
1
Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal dari
kelenjar hipofise anterior, diketahui menstimulasi respon imun
humoral dan selular, yang diduga berperanan dalam patogenesis SLE.
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam patogenesis SLE
adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita
SLE perempuan yang dilakukan oleh Garcia Gonzales,dkk.
1.2 AutoantibodiGangguan imunologis utama pada penderita SLE
adalah produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self
molecules yang terdapat pada nucleus, sitoplasma, permukaan sel dan
juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi.
Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak
ditemukan pada penderita SLE ( lebih dari 95 %) Keterlibatan
antibodi anti-DNA pada nefritis lupus didukung oleh adanya
bukti-bukti: 1. observasi klinis pada sebagian besar pasien
menunjukkan bahwa nefritis aktif berhubungan dengan peningkatan
titer anti DNA dan penurunan nilai total komplemen hemolitik. 2.
antibodi anti DNA lebih suka mengendap di ginjal, sehingga diduga
bahwa kompleks imun DNA-antibodi anti-DNA merupakan mediator
inflamasi yang utama. Meskipun gangguan ginjal mungkin akibat
terbentuknya kompleks imun dalam sirkulasi sulit di deteksi oleh
karena dalam serum konsentrasinya rendah. Antibodi anti Ro dan anti
nukleosom memegang peranan dalam lupus kutaneus. Antibodi anti-Ro
berhubungan dengan peningkatan resiko berkembangnya ruam
fotosensitif. Antibodi anti nukleosom bisa ditemukan dari jaringan
biopsi kulit, pada sebagian kecil penderita dengan nefritis lupus
aktif tanpa ruam pada kulit. Autoantibodi yang merusak sel darah
merah dan trombosit berperanan penting dalam kejadian anemia
hemolitik dan trombositopenia pada penderita lupus. 1.3 Faktor
Lingkungan Faktor lingkungan yang mungkin berhubungan dengan
patogenesis SLE Faktor fisik/kimia - amin aromatik - hydrazine -
obat-obatan ( prokainamid, hidralzin, klorpromazin,
isoniazid,fenitoin, penisilamin) - merokok - pewarna rambut - sinar
ultraviolet faktor makanan - konsumsi lemak jenuh yang berlebihan -
L-canavanine Agen infeksi retrovirus DNA bakteri/endotoksin 2
Hormon dan estrogen lingkungan terapi sulih hormon, pil
kontrasepsi oral paparan estrogen prenatal
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun sistemik (
multiorgan) dan ditemukan terutama pada wanita muda. SLE terjadi
pada 1 dari 2500 orang pada populasi tertentu dalam masyarakat
dengan prevalensi >9,1 lebih besar pada wanita dibanding pria.
Kematian biasanya disebabkan karena gagal ginjal atau oleh infeksi
akibat pemberian imunoterapi1,6.
3
PEMBAHASANLupus eritematosus sistemik ( systemic lupus
erythematosus,SLE ) dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan
menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan spektrum yang
luas. Kelainan hematologi seringkali ditemukan pada SLE. Anemia dan
trombositopenia, kelainan hematologi yang sering terjadi pada
perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi
yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi gangguan yang
berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopenia juga
sering terjadi, hampir selalu merupakan limfopenia, bukan
granulositopenia, kondisi ini jarang menjadi predisposisi
terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Trombosis
merupakan salah satu penyebab kematian pada SLE. Istilah SLE yang
berarti red wolf berasal dari gejala dini berupa kemerahan di pipi.
Sebenarnya kemerahan tadi lebih menyerupai kupu-kupu dibanding
dengan muka serigala. Jadi istilah wolf-like sebenarnya kurang
tepat. Istilah sistemik mempunyai dasar yang kuat oleh karena
penyakit mengenai berbagai alat tubuh seperti sendi, SSP, jantung,
dan ginjal. Manifestasi SSP ditemukan pada 50 % penderita antara
lain depresi, psikosis, kejang-kejang dan neuropati sensorimotor.
Keterlibatan glomerulonefritis difus proliferatif dan membranosa
pada 50% penderita SLE disebabkan kerusakan ginjal. Penderita SLE
membentuk Ig terhadap beberapa komponen tubuh, terhadap
denaturated, single standard DNA atau nukleohiston. Antibodi
tersebut membentuk kompleks dengan DNA yang berasal dari degradasi
jaringan normal dan mengendap di membran basal glomerulus. Kompleks
lainnya mungkin mengendap di dinding arteri dan sendi dan membentuk
endapan yang pada pemeriksaan fluoresent menunjukkan gambaran
lumpy-bumpy. Kompleks imun tersebut mengaktifkan komplemen dan
mengerahkan granulosit dan menimbulkan reaksi inflamasi sebagai
glomerulonefritis. Kerusakan ginjal menimbulkan proteinuri dan
kadang perdarahan. Derajat gejala penyakit dapat berubah-ubah
sesuai dengan kadar kompleks imun. Manifestasi klinik penyakit ini
sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali
sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis
penyakit SLE ini seringkali terjadi secara bersamaan. Seseorang
dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang
berpindahpindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dsbnya yang
pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE. Gambaran klinis
keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus
SLE, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada
55 % kasus 1,4,6
2.1 Gambaran klinis4
Gejala konstitusi nonspesifik termasuk nyeri sendi, letargi,
penurunan berat badan, dan limfadenopati. Gangguan sistemik ( demam
dan malaise berat) biasanya sangat nyata pada lupus aktif dan
sering merupakan manifestasi yang dominan. Manifestasi klinis yang
paling dikenali pada lupus adalah ruam muka kupu-kupu/malar, yang
biasanya timbul setelah paparan matahari. Ruam lain, ulkus mulut,
dan artritis tanpa deformitas banyak ditemukan. Keterlibatan organ
vital, seperti keterlibatan organ ginjal dapat bermanifestasi
sebagai suatu sindrom nefrotik, atau secara terselubung sebagai
proteinuria, sedimen ginjal aktif, dan hilangnya fungsi ginjal
secara progresif. Manifestasi SSP,seperti nyeri kepala, kejang,
stroke, dan perubahan perilaku banyak ditemukan dan seringkali
dominan. Kadangkala terjadi ensefalopati. 2
2.1.1Gejala konstitusional lainnyaKelelahan Kelelahan ini dapat
diukur dengan menggunakan Profile of Mood states (POMS) dan tes
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas
penyakit SLE ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu
kadar C3 serum rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan
respon terhadap pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat
badan Dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan
gejala gastrointestinal. Demam pada SLE biasanya tidak disertai
menggigil gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita
SLE dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas
penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan
muntah. Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah,
dan menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar
(butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia
(kebotakan),fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi
sering ditemukan. Bersifat simetris dan tidak menyebabkan kelainan
sendi. Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan,
tetapi sering berkembang menjadi progresif dan menyebabkan
kematian. Gejalanya berupa edema, 5
hipertensi, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Biopsi
ginjal diindikasikan pada pasien yang tidak responsive pada terapi
kortikosteroid. Pengendalian hipertensi sangat penting untuk
mempertahankan fungsi ginjal. Hepatosplenomegali (pembesaran hati
dan limpa) mungkin terjadi tetapi termasuk manifestasi yangjarang.
Keluhan yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis peradangan
pembuluh darah). Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa
kejang, koma, hemiplegia (kelumpuhan pada satu sisi tubuh),
neuropati (kelainan saraf) fokal, dan gangguan perilaku . Pada
Sistemik lupus eritematosus,Hal yang penting dari diagnosa: Terjadi
pada sebagian besar pada perempuan muda Terjadi pada daerah yang
terkena sinar matahari langsung Gejala pada persendian di 90%
pasien, melibatkan beberapa sistem Anemi, leukopeni,
trombocytopenia Glomerulonefritis, penyakit sistem saraf pusat, dan
komplikasi dari antifosfolipid antibodi yang merupakan sumber utama
penyakit. Penemuan serologi: antibodi antinuklear (100%),
anti-native antibodi DNA ( kira-kira dua pertiga), dan pelengkap
serum yang rendah. ( terutama semasa perkembangan penyakit SLE
dapat timbul pertama kali sewaktu wanita hamil atau derajatnya
menjadi lebih berat selama hamil. Keguguran, kematian janin,
retardasi dan lahir prematur sering terjadi pada wanita yang di
kemudian hari jelas menderita SLE. Bayi yang dilahirkan ibu dengan
lesi aktif menunjukkan peningkatan mortalitas akibat hipertensi ,
nefritis,anemia hemolitik, leukopenia dan trombositopenia. Dalam
serum bayi ditemukan berbagai antibodi berupa IgG ( mis.nya ANA)
yang di dapat dari ibu.1,2,5,6
Manifestasi Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal merupakan
manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada penderita SLE,
lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot ( mialgia), nyeri
sendi ( artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak
jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap
sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Untuk ini, perlu dibedakan dengan
artritis reumatoid dimana pada umumnya SLE tidak menyebabkan
kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit
dsb. Hampir semua pasien mengalami artralgia dan mialgia; sebagian
besar mengalami artritis intermitten. Nyeri sering melebihi temuan
fisis yang berupa pembengkakan fusiform sendi ( paling sering 6
mengenai sendi interfalang proksimal (AFP) dan matakarpofalang (
MKF) pada tangan, pergelangan tangan dan lutut. 1,7
KulitRuam malar ( kupu-kupu) adalah ruam eritematosa persisten,
datar atau meninggi di pipi dan pangkal hidung, sering meluas ke
dagu dan telinga. Ruam ini bersifat fotosensitif. Tidak terjadi
jaringan parut; dapat timbul telangiektasia. Ruam makulopapula yang
lebih difus, terutama di bagian tubuh yang terkena sinar matahari,
juga sering ditemukan, dan biasanya mengisyaratkan munculnya
penyakit. LED ( lupus diskoid) terjadi pada sekitar 20 % pasien SLE
dan dapat menyebabkan kecacatan, karena lesi memperlihatkan atrofi
dan jaringan parut di bagian tengahnya. Lesi LED berbentuk
lingkaran dan ditandai oleh batas eritematosa yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di
kulit kepala, telinga, wajah, dan bagian yang terpajan dari lengan,
punggung, dan dada. Hanya 5 % pasien LED yang kemudian akan
mengalami SLE. Berbagai jaringan dilibatkan seperti kulit, membran
mukosa, ginjal, otak dan sistem kardiovaskular. Ciri yang khas
adalah ruam kulit muka bentuk kupu-kupu. Kelainan kulit yang lain
berupa diskoid, bentuk psoriasis, makulopapular dan kelainan
bulosa. 6,7
Butterfly rash Manifestasi renal
Lupus diskoid
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Rasio wanita:pria
dengan kelainan ini adalah 10:1. dengan puncak insidensi antara
usia 20-30 tahun.
7
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/ 24 jam atau 3 + semi
kwantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin,tubuler, eritrosit
atau gabungan serta pyuria ( > 5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi
serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya
keterlibatan ginjal pada penderita SLE Sebagian besar pasien SLE
memiliki imunoglobulin yang mengendap di glomerulus, tetapi hanya
separuh yang menderita nefritis secara klinis, yang di definisikan
dengan adanya proteinuria. Pada awal perjalanan penyakit, sebagian
besar pasien asimtomatik, walaupun sebagian mengalami edema akibat
sindroma nefrotik. Urinalisis memperlihatkan hematuria,
silinderuria, proteinuria. Sebagian besar pasien dengan nefritis
proliferatif mesangial atau fokal ringan dapat mempertahankan
fungsi ginjal normal. Pasien dengan nefritis proliferatif difus
mengalami gagal ginjal bila tidak diobati. Karena nefritis yang
kronik memerlukan imunosupresi agresif dengan obat sitostatik dan
glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan lesi ringan tidak. . 1,7
Normal
Glomerulonefritis
Sistem sarafSetiap bagian otak, dapat terkena oleh SLE, seperti
juga meningen, korda spinalis, dan saraf kranial atau perifer.
Kelainan pada susunan saraf pusat (SSP) mungkin tunggal atau
multipel dan sering timbul sewaktu SLE aktif pada sistem organ
lain. Diagnosis Laboratorium lupus SSP mungkin sulit di tegakkan.
Elektroensefalogram abnormal dijumpai pada sekitar 70% pasien dan
biasanya memperlihatkan perlambatan difus atau kelainan fokal.
Cairan serebrospinalis ( CSF) memperlihatkan peningkatan kadar
protein pada 50 % pasien dan peningkatan sel mononukleus pada 30
persen. Pungsi lumbal harus dilakukan bila gejala SSP mungkin
disebabkan oleh infeksi, terutama pada pasien yang imunitasnya
tertekan. 7
Vaskuler8
Trombosis pada pembuluh darah dapat menimbulkan terjadinya
kelainan, walaupun vaskulitis dapat merupakan penyebab dasar
trombosis, semakin banyak bukti bahwa antibodi terhadap fosfolipid
9 antikoagulan lupus, antikardiolipin)berkaitan dengan pembekuan
darah tanpa peradangan. Selain itu, pada pasien lupus, perubahan
degeneratif pada pembuluh darah setelah bertahun-tahun terpajan
kompleks imun dalam darah dan hiperlipidemia dari terapi
glukokortikoid dapat merupakan predisposisi timbulnya penyakit
arteri koroner degeneratif. 7
HematologikAnemia akibat penyakit kronik terjadi pada sebagian
besar pasien lupus aktif. Pada sebagian kecil pasien yang uji
coombsnya positif terjadi hemolisis. Hemolisis ini biasanya
berespon terhadap pemberian glukokortikoid dosis tinggi; pada kasus
tertentu mungkin berespon dengan splenektomi. Bila hitung trombosit
tidak mencapai angka yang memuaskan dalam 2 minggu, harus di
pertimbangkan tindakan splenektomi. Antikoagulan lupus (AL)
termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini
diketahui berdasarkan pemanjangan waktu tromboplastin parsial (
partial troboplastin time,PTT) dan kegagalan penambahan plasma
normal memperbaiki pemanjangan tersebut. 7 Kriteria Diagnosis SLE
dari ACR pada 1971 menyatakan bahwa leukopenia, trombositopenia dan
anemia hemolitik merupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara
pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari : 1. Anemia
hemolitik autoimun 2. Leukopenia ( < 4000 / l pada dua kali atau
lebih pemeriksaan ). 3. Limfopenia ( < 1500 / l pada dua kali
atau lebih pemeriksaan ). 4. Trombositopenia ( < 100.000 / l
tanpa pemberian obat ). Pada Carolina Lupus Study, dari 265 pasien
SLE yang didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan
hematologi pada diagnosis awal adalah 11 % anemia hemolitik, 18 %
leukopenia, 21 % limfopenia, dan 11 % trombositopenia. Sumsum
tulang menjadi target pada pasien SLE dengan sitopenia. Sebuah
penelitian pada pasien-pasien SLE dengan sitopenia, yang tidak
menggunakan obat imunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang
hiposelularitas menyeluruh ( 47,6 % ), peningkatan proliferasi
retikulin ( 76,2 % ) dengan mielofibrosis pada satu pasien, dan
nekrosis ( 19 % ). Plasmasitosis tampak pada 26,7 % pasien dan
cadangan besi menurun atau tidak ada pada 73,3 %. ANEMIA 9
Prevalensi Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu
waktu di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinya cukup
tinggi, sekitar 51-98 % pasien pernah menunjukkan kadar hemoglobin
kurang dari 12 g / dl. Pada umumnya yang terjadi adalah anemia
derajat sedang, tetapi beberapa pasien menunjukkan anemia berat.
Etiologi Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun atau
non-imun. Anemia yang merupakan penyakit non-imun adalah anemia
pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik,
anemia pada penyakit ginjal, anemia diinduksi obat, dan anemia
sekunder terhadap penyakit lain ( misalnya anemia sel sabit ).
Anemia yang diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia
hemolitik autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia
aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pernisiosa. Voulgarelis
dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE, 37,1 % menderita anemia
pada penyakit kronik, 35,6 % anemia defisiensi besi, 14,4 % anemia
hemolitik autoimun dan 12,9 % karena penyebab lain. Salah satu
penyebab anemia pada penyakit kronik dan anemia karena sebab
lainnya adalah berkurangnya produksi eritropoetin dan resistensi
eritropoetin pada sel eritroid. Resistensi eritropoetin dapat
terjadi karena adanya autoantibodi terhadap eritropoetin ( anti-Epo
). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan pada 21 % pasien
SLE dengan anemia dan berhubungan bermakna dengan aktivitas
penyakit. Respons peningkatan eritropoetin juga akibat penurunan
hemoglobin juga tidak adekuat pada 41,2 % pasien anemia hemolitik
autoimun dan 42,4 % pasien anemia penyakit kronik. 1. Anemia yang
Tidak Diperantarai Imun. Anemia pada penyakit kronik merupakan
jenis anemia yang pasling sering ditemukan pada pasien SLE.
Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau
normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan kapasitas pengikatan
besi total tidak berubah atau sedikit rendah. Dijumpai pula
penurunan saturasi besi pada transferin. Pemeriksaan sumsum tulang
memberikan hasil yang normal dengan cadangan besi yang adekuat.
Anemia berkembang dengan lambat jika tidak ada komplikasi dengan
faktor lain, seperti perdarahan. Hitung retikulosit rendah bila
dibandingkan dengan derajat anemianya. Mekanisme anemia pada
penyakit kronik masih sulit dimengerti. Hasil pada beberapa
penelitian patogenesis artritis rematoid mengindikasikan bahwa
banyak faktor yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh
sistem fagositik mononuklear, besi terikat dengan protein pengikat,
penurunan respon eritropoetin, dan efek supresif interleukin
terhadap eritropoesis. 10
Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada proses
penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi atau intervensi
spesifik lainnya. Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada
pasien SLE yang mendapat obat anti-inflamasi non steroid ( OAINS )
atau mengalami menorrhagia. Ditemukan penurunan penggunaan besi.
Radioaktivitas pada banyak organ berbeda dari normal, dengan
peningkatan kadar radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatan
jumlah besi yang diarbsorpsi tidak digunakan untuk sintesis
hemoglobin melainkan untuk disimpan. Dilain pihak, turnover besi
plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit lebih
pendek tanpa adanya hemolisis. Jadi, anemia pada penyakit kronik
pada pasien SLE dapat menyebabkan terjadinya aktivitas sumsum
tulang yang rendah, pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake
besi yang buruk. Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi
klinik yang serupa seperti atralgia, nyeri dada, efusi pleura.
Kardiomegali, nefropati, stroke, dan kejang. Pasien dengan
hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan prevalensi
autoantibodi, termasuk ANA. Ko-eksistensi SLE dan anemia sel sabit
telah dilaporkan, dan pada beberapa pasien SLE terlambat dikenali
akibat manifestasi klinisnya yang serupa tersebut. Diduga bahwa
abnormalitas pada jalur alternatif dari komplemen pada
hemoglobinopati sel sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi
kelainan kompleks imun, termasuk SLE. Namun tidak ada bukti bahwa
SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan hemoglobinopati sel
sabit. 2. Anemia yang Diperantarai Imun
Anemia Hemolitik Autoimun ( AHA ), merupakan penyebab anemia
pada 5 19 % pasien SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi,
masing-masing diperantarai oleh autoantibodi ( IgG atau IgM ) yang
berbeda yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah merah
lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di sirkulasi. Anemia
hemolitik autoimnun biasanya berkembang secara bertahap pada
sebagian besar pasien, namun terkadang dapat juga berkembang cepat
sehingga terjadi krisis hemolitik yang progresif. Anemia hemolitik
autoimun dapat dihubungkan dengan adanya antibodi antikardiolipin,
atau dapat menjadi bagian dari sindroma antifosfolipid, yang mana
dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid, trombosis,
trombositopenia, dan keguguran berulang. Voulgarelis juga
melaporkan adanya antibodi anti-dsDNA pada hampir semua pasien
dengan AHA. Adanya AHA juga diperkirakan dapat mengidentifikasi
subkelompok khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan beberapa
karakteristik serologi tersebut dengan manifestasi klinik. Kelly
dkk. melaporkan bahwa terdapat bukti yang kuat keterlibatan gen
rentan SLE, SLEH1, pada kelompok keluarga Afro-Amerika yang
mempunyai paling tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan
anemia hemolitik. Kriteria ACR tidak mendefiniskan derajat
keparahan anemia hemolitik. Anemia 11
hemolitik yang berat ( didefinisikan sebagai hemoglobin < 8 g
/ dl, tes Coomb positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin
3 g / dl sejak pemeriksaan terakhir ) mempunyai hubungan yang
bermakna dengan keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu ginjal
dan susunan saraf pusat. Klasifikasi AHA dapat diklasifikasikan
menjadi dua tipe utama menurut antibodi yang terlibat dalam
destruksi eritrosit dan suhu optimal dari reaktivitas antibodi pada
permukaan eritrosit. AHA tipe hangat diperantarai oleh antibodi IgG
dimana reaksi dapat berlangsung optimal pada suhu 37o C. AHA
aglutinin dingin diperantarai oleh antibodi-komplemen IgM yang
terikat optimal pada antigen eritrosit pada suhu 4o C. AHA Tipe
Hangat. Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak terjadi pada
pasien SLE. Sel darah merah yang dilapisi oleh antibodi IgG hangat
pindah ke sirkulasi, terutama oleh sekuestrasi pada limpa. Sel
darah merah yang dilapisi antibodi kemudian mengalami perubahan
membran, sehingga terbentuk sferosit. Penelitian yang memeriksa
struktur limpa pada SLE dengan AHA menemukan bahwa eritrosit
dilapisi dengan IgG dan komplemen yang kemudian difagositosis
secara lengkap oleh makrofag limpa, dan sebagian kecil oleh sel-sel
endotelial sinus. Kebalikannya di hati, fagositosis eritrosit
tersensitisasi oleh sel Kupfer hanya terjadi sesekali. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa limpa adalah lokasi utama destruksi
eritrosit. Gejala klinis pada AHA sangat bervariasi. Gejala
disebabkan karena anemianya seperti kelelahan, pusing, dan demam.
Bukti adanya hemolisis termasuk kuning dan urin seperti teh dapat
ditemukan. AHA pada pasien SLE berkembang secara bertahap pada
sebagian besar pasien, tetapi terkadang dapat muncul sebagai krisis
hemolitik progresif yang cepat. Kombinasi AHA Hangat dan Dingin.
Suatu penelitian melaporkan bahwa 7 % pasien AHA yang mendapat
transfusi mempunyai antibodi antieritrosit IgG hangat dan IgM
dingin, kedua antibodi tersebut berkontribusi terhadap terjadinya
hemolisis. Sekitar 20 % pasien dari kelompok tersebut menderita
SLE. 4 Manifestasi hemik limfatik Kelenjar getah bening yang paling
sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik
tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm.
Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita SLE
adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. 1
Manifestasi paru 12
Perikarditis merupakan manifestasi tersering lupus pada jantung.
Efusi dapat terjadi dan kadangkadang menyebabkan tamponade.
Pleuritis dan efusi pleura merupakan gejala yang sering ditemukan
pada SLE. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan
batuk. Pemeriksaan sinar x memperlihatkan infiltrat yang berbentuk
spt awan. Penyebab tersering pada infiltrat paru pada pasien SLE
adalah infeksi. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau
berlanjut manjadi kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan
pneumonia bakterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan
tindakan invasive seperti bilas bronkhoalveolar.biasanya penderita
akan menderita sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal.
Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru., baik disertai vaskulitis atau
tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon yang baik dengan
pemberian steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila
merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan
penanganan tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namun
tindakan pengobatan lain seperti lasmafaresis atau pemberian
sitostatika 1. ,7 Manifestasi Kardiologis Perikarditis hanya di
curigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction
rub, gambaran silhoutte sign foto dada, ataupun melalui gambaran
EKG, echokardiografi. Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan
konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak jelas
penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan
lebih lanjut. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada
penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark
miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak
dijumpai penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang
panjang serta penggunaan steroid jangka panjang. Valvulitis,
gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang
juga sering dijumpai pada penderita SLE 1 Mata Vaskulitis retina
mata merupakan manifestatasi terpenting; kebutaan dapat terjadi
dalam beberapa hari, dan harus di berikan terapi imunosupresif yang
agresif. Pada pemeriksaan tampak daerah arteriol retina yang
menyempit dan berselubung serta badan sitoid ( eksudat putih) dekat
pembuluh darah 7 Manifestasi gastrointestinal
13
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat
penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun
tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus tersebut,
kecuali gangguan motilitas. Keluhan dispepsia yang dijumpai pada
lebih kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada mereka
yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan
dengan pemakaian obat ini. Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar
8 % penderita SLE. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal
bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum
amilase. Sampai saat ini penyebabnya masih dipertanyakan apakah
memang karena SLE itu sendiri atau akibat pengobatan seperti
steroid, azathioprin yang diketahui dapat menyebabkan pankreatitis.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada
SLE, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase
alkali dan LDH. Kelainan ini berkaitan dengan aktifitas penyakit
dan penggunaan NSAID, terutama salisilat. Kecurigaan terhadap SLE
perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda dengan
poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum
SGOT/SGPT.transaminase ini akan kembali normal apabila aktivitas
SLE dapat dikontrol dan antiinflamasi dihentikan 1
Patologi Lesi ginjalGlomerulonefritis disebabkan oleh endapan
kompleks imun yang beredar dalam darah atau pembentukan kompleks in
situ di mesangium dan membrana basal glomerulus (MBG) Manifestasi
Laboratorium Kelainan hematologik adalah anemia ( biasanya
normokromik normositik tetapi kadang-kadang hemolitik) Leukopenia,
Limfopenia, dan trombositopenia. Urinalisis dan penentuan kreatinin
serum harus dilakukan secara berkala pada pasien SLE. Pada nefritis
aktif, urinalisis biasanya memperlihatkan proteinuria, hematuria,
dan silinder sel atau granuler. Ekskresi protein urin yang diukur
selama 24 jam akan meningkat selama aktivitas penyakit
2.1.2Patofisiologi Adanya satu atau lebih faktor pemicu pada
individu yg mempunyai predisposisi genetik menghasilkan tenaga
pendorong terhadap sel T CD4 dg akibat hilangnya toleransi sel T
terhadap antigen. Muncul sel T autoreaktif induksi dan ekspansi sel
B. 14
Dipicu oleh sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada
SLE, autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen di
nukleoplasma Protein (antigen) sasaran adalah DNA, histon dan non
histon. Antibodi ini secara bersama disebut ANA dan dg antigen
membentuk kompleks spesifik dan beredar dalam sirkulasi. kompleks
imum ini mengendap di berbagai organ tubuh yg mengakibatkan
aktivasi komplemen dan selanjutnya menimbulkan inflamasi.
Manifestasi klinis yang terjadi karena proses inflamasi ini
2.2
Kriteria Diagnosis
15
Kriteria
D iagnostik
SLE
KriteriaRuam pada m uka Ruam discoid Fotosensitivitas
Eritem , ra a kupu -kupu
R uam Ruam bentu keratin kuli R uam Ruam kulit B iasanya
Mengenai Pleuritis
* Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas
dan 96% spesifisitas; ** Salah satu butir pernyataan cukup
Luka -luka pada m ulut multisistem lainnya. dan nasofaring
Diagnosis banding harus memikirkan kemungkinan infeksi,
keganasan, paparan toksin dan penyakit
t
-Diagnosis formal ditemukan berdasarkan ditemukannya empat dari
sebelas gejala yang mungkin ( 8 klinis dan 3 laboraturium) seperti
yang ditemukan oleh American College of Reumatology.
A rtritis
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai dua (2) atau lebih
keterlibatan organ sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :
Serositis Kelainan Kelainan ginjal
at
1. Gender wanita pada rentang usia reproduksi 2. gejala
konstitusional : kelelahan, demam ( tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan 3. muskuloskeletal : artritis, artralgia,
miositis 4. Kulit : ruam kupu-kupu ( butterfly atau malar rash),
fotosensitivitas, alopesia, purpura, urtikaria, vaskulitis
P roteinuria Psikosis
neurologik
at
5. ginjal : hematuria, proteinuria, sindroma nefrotik 6.
Kelainan gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen H
atologik em Kelainan
A nem ia he lim fopenia
7. paru-paru : hipertensi pulmonal, SLE, parenkim paru. 8.
jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis
Im unologik
Sel LE (+) ; A Titer 16 ANA
A ntibodi A ntinuclear
9. retikulo- endotel : organomegali ( splenomegali,
hepatomegali, limfadenopati) 10.hematologi: anemia, leukopenia, dan
trombositopenia 1,2,3
2.3 Pemeriksaan imunologis dan pemeriksaan penunjang lainnya
pada SLEHematologi : leukopenia/limfopenia terjadi pada SLE aktif.
Anemia diakibatkan oleh penyakit kronis atau hemolisis coombs
positif. Trombositopenia imun dapat terjadi dan mendahului lupus
sampai beberapa tahun sebelumnya. Imunologi : antibodi antinuklear
( ANA) terjadi pada 99% pasien SLE, namun ini belum cukup dan belum
spesifik untuk menegakkan diagnosis. Antibodi ANA untai ganda
(dsDNA) merupakan temuan spesifik pada SLE, namun titer Antibodi
tersebut tidak terlalu berhubungan dengan aktivitas lupus. Antibodi
terhadap antigen nuklear yang dapat di ekstraksi (ENA), misalnya Ro
( SSA) dan La ( SSB) ditemukan pada sindrom sjogren. Antibodi
anti-Ro maternal berkaitan dengan lupus neonatorum dan blok jantung
kongenital ( CHB) pada fetus. Antibodi antihiston berhubungan
dengan lupus akibat obat-obatan. Komponen komplemen C3 dan C4
biasanya menurun pada SLE aktif. Peningkatan CRP meningkatkan
dugaan adanya infeksi dengan komplikasi. Tes pita lupus merupakan
temuan spesifik pada lupus, menunjukkan adanya pita IgG yang khas
dan/atau deposit IgM pada persambungan ( junction) dermo-epidermis
pada kulit yang terlibat dan yang tidak. Fungsi ginjal. Gangguan
ginjal ( penurunan GFR) atau proteinuria ( > 3 + pada dipstik,
> 0,5 g/24 jam ) banyak ditemukan pada SLE, dan penting dalam
menemukan terapi. sedimen ginjal aktif dengan sel darah merah dan
atau/ sedimen granular mungkin merupakan satu-satunya petunjuk
adanya penyakit ginjal yang serius. Biopsi ginjal dibutuhkan pada
pasien dengan disfungsi ginjal. Kelainan pembekuan yang berhubungan
dengan anti-koagulan lupus. APTT memanjang yang tidak membaik pada
pemberian plasma normal, merupakan akibat : Antikoagulan lupus
Antibodi fosfolipid : antibodi antikardiolipin berhubungan dengan
sindrom antifosfolipid yang mungkin bersifat sekunder terhadap SLE.
Manifestasi klinisnya adalah kematian fetus yang berulang,
trombosis arteri dan atau vena. Walaupun waktu pembekuan memanjang
in vitro, terdapat kecenderungan untuk terbentuk trombosis in vivo.
Serologi VDRL (Sifilis) positif palsu juga menunjukkan suatu bentuk
antibodi antifosfolipid yang berkaitan dengan meningkatnya risiko
terbentuk trombosis. 17
Darah tepi lengkap, LED, urinalisis, sel LE, ANA*, antibodi anti
doublestranded-DNA*, antibodiantifosfolipid, antibodi lain
(anti-Ro, anti-La, anti-RNP), faktor rheumatoid, titer komplemen
C3,C4,dan CH50*, titer IgM ,IgG, dan IgA, uji Coombs, kreatinin,
ureum darah*, protein urin >0.5gram/24 jam (Nefritis)*, dan
pencitraan (foto Rontgen toraks*, USG ginjal, MRI kepala) Dalam
menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus
ada, tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan
2,4
2.4 Penatalaksanaan dan terapiLupus merupakan penyakit yang
tidak dapat diramalkan ,yang bisa relaps dan remisi.
Penatalaksanaan ditujukan pada serangan akut dan juga pada strategi
pencegahan seperti perlindungan terhadap UV dan evaluasi serta
terapi segera terhadap infeksi. Pemantauan klinis yang ketat,
dengan penilaian perkembangan penyakit secara rutin sangat penting
untuk menentukan kebutuhan akan terapi antiinflamasi dan
imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan
SSP.
Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLE
Pilihan terapi farmakologis terdapat di bawah ini : 18
-
OAINS : manifestasi muskuloskeletal, serositis, dan gejala
konstitusi Antimalaria : Hidroksiklorokuin digunakan untuk
manifestasi muskuloskeletal, kutan, dan gejala konstitusi. Efek
samping termasuk toksisitas retina.
-
Kortikosteroid : digunakan secara topikal pada ruam inflamasi,
per oral untuk penyakit aktif ringan, dan secara intravena untuk
manifestasi berat akut seperti lupus SSP. Azatioprin, metotreksat,
dan mikofenilat mofetil mungkin digunakan sebagai agen hemat
steroid.
-
Siklofosfamid menghambat perkembangan nefritis lupus dan
mengurangi resiko gagal ginjal stadium akhir. Mungkin juga
bermanfaat pada komplikasi SSP dan hematologis.inhibitor ACE dapat
membantu pada nefritis SLE.
-
Dapson berguna pada manifestasi kulit SLE Antikoagulan digunakan
pada sindrom antifosfolipid : Aspirin sebagai profilaksis Warfarin
seumur hidup pada pasien yang telah mengalami trombosis.
-
Imunoglobulin intravena atau danazol mungkin digunakan pada
trombositopenia imun.
. Kortikosteroid sistemik, 1-1,5 mg / kg prednison setiap hari,
cukup efektif. Steroid diberikan secara parenteral pada pasien
dengan penyakit akut dan kemudian diganti menjadi obat oral setelah
keadaannya stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6
minggu dan secara bertahap diturunkan Penatalaksaan LES harus
mencakup obat, diet, aktivitas yang melibatkan banyak ahli. Alat
pemantau pengobatan pasien LES adalah evaluasi klinis dan
laboratoris yang sering untuk menyesuaikan obat dan mengenali serta
menangani aktivitas penyakit. Lupus adalah penyakit seumur hidup,
karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya. Tujuan pengobatan
LES adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat
memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat,
sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan
kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti: a.
Antiinflamasi non-steroid Untuk pengobatan simptomatik artralgia
nyeri sendi). b. Antimalaria Diberikan untuk lupus diskoid.
Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.
c. Kortikosteroid Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis
seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu
minimal sebelum dilakukan penyapihan. 19
Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis,
SSP, dan anemi hemolitik. d. Obat imunosupresan/sitostatika
Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis
difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus yang
resisten terhadap pemberian kortikosteroid. e. Obat antihipertensi
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif f. Kalsium
Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi
prednison berisiko untuk mengalami osteopenia, karenanya memerlukan
suplementasi kalsium. 2,3,4 Terapi Pasien dan dokter harus
merencanakan : 1. Selalu mengontrol kekambuhan penyakit yang akut
dan parah. 2. Menciptakan strategi pemeliharaan dengan menekan
gejala sampai tingkat yang dapat diterima, biasanya menimbulkan
adanya efek samping obat. Sekitar 25 % pasien SLE memiliki penyakit
yang ringan tanpa manifestasi yang mengancam nyawa, walaupun rasa
nyeri dan lelah sering mengganggu pasien.pasien ini ditangani tanpa
pemberian glukokortikoid. Artralgia, mialgia, artritis, demam dan
serositis dapat membaik setelah pemberian obat antiinflamasi non
steroid (NSAID) terjadi pada pasien SLE. Pemeriksaan oftalmologik
harus dilakukan teratur paling sedikit setiap tahun, karena
toksisitas pada retina berkaitan dengan dosis kumulatif. Terapi
lain untuk ruam adalah tabir surya ( dianjurkan dengan tingkat SPF
15 atau lebih), glukokortikoid topikal intralesi, kuinakrin,
retinoid dan dapson. Mixed connective tissue syndrome (overlap
syndrome) Merupakan overlap syndrome, terutama terjadi pada wanita
dengan artritis reumatoid (AR), SLE, poliomiolitis-dermatomiositis
atau skleroderma. SLE akibat obat terjadi sebagai komplikasi
penggunaan hidralazin, vasodilator pada terapi hipertensi,
prokainamid, antiaritmia dan isoniazid. Penyakit timbul segera
sesudah pemberian obat dan dalam serum ditemukan antibodi
antinuklear( bukan anti ds-DNA). Gejala overlap syndrome adalah
sama seperti pada SLE tetapi biasanya lebih ringan dan penderita
kembali normal bila obat dihentikan. Manifestasi SLE yang berbahaya
dan mengancam nyawa dan responsif terhadap imunoupresi harus di
terapi dengan glukokortikoid dosis tinggi ( 1-2 mg/kg per hari).
Saat penyakit aktif, glukokortikoid harus di berikan dalam dosis
yang terbagi setiap 8 sampai 12 jam. Setelah penyakit terkontrol,
terapi 20 termasuk salisilat. Namun toksisitas NSAID misalnya
peningkatan enzim hati, meningitis aseptis dan gangguan ginjal,
sering
harus diarahkan kepada dosis tunggal, lalu dosis harian harus
dikurangi secepat yang dimungkinkan oleh respon klinis. Sebagian
manifestasi SLE tidak berespon terhadap imunosupresi termasuk
gangguan pembekuan darah, beberapa gangguan perilaku, dan GN
stadium akhir. Antikoagulasi merupakan terapi pilihan untuk
mencegah pembekuan darah. Terapi warfarin jangka panjang efektif
untuk mencegah pembekuan di dalam vena dan mungkin mengurangi
pembekuan di dalam arteri. 6,7
DietDiet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan
adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid,
maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung
tinggi sodium untuk menghindari kenaikan berat badan
berlebih.Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan.
Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet
yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah
lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan
suplemen makanan dan obat tradisional.
AktivitasPasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah
raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat
badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress
sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk
menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock)
setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya
lesi kulit pada pasien LES.
Penatalaksanaan infeksiPengobatan segera bila ada infeksi
terutama infeksi bakteri Setiap kelainan urin harus dipikirkan
kemungkinan pielonefritis.
Prinsip umum dalam penatalaksanaan SLEPada umumnya, penderita
SLE mengalami fotosensitivitas, sehinnga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari.
mereka di anjurkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar
matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan
di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap
sinar matahari dari jendela. Karena infeksi sering terjadi pada
penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan bila
mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat
sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, dll. 21
Pengaturan kehamilan sangat penting pada Penderita SLE, terutam
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat
yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan misalnya anti malaria
atau siklifosfamid.
Terapi konservatifArtritis, artralgia, dan mialgia merupakan
keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Pada keluhan yang
sederhana dapat diberikan analgesik sederhana/OAINS. Efek samping
pada keadaan sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus
diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara
berkala. Bila analgetik dan obat antiinflamasi non steroid tidak
memberikan respon yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat
antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan
memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini memberi efek
toksik terhadap retina. Metrotreksat dosis rendah (7,5- 15
mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis
pada penderita SLE.
Lupus kutaneusSekitar 70 % penderita SLE akan mengalami
fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila terpapar
oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang
juga sinar fluresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung
terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju
pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan
langsung dengan menggunakan sunscreen. Untuk kulit muka dianjurkan
penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak di
florinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan
lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid.untuk lesi-lesi
hipertrofik misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat
digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi harus dibatasi
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan
lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi
lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus
diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula. Fatique dan keluhan
sistemik.
22
Fatique merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita
SLE, demikian juga penurunan berat bdan dan demam. Fatique juga
dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan
berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh pemberian
quinakrin.
Terapi agresif Pada keadaan berat atau mengancam jiwa mis
glomerulonefritis harus diberikan glukokortikoid dosis tinggi. Bila
dalam 4 mgg tdk respon ganti dg siklofosfamid 0,5-1 gr/m s dalam
250 cc selama 60 menit dan dilanjut 2-3 lt/24 jam. manifestasi
serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus
yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis
lupus, dll Terapi lain adalah azatioprin, siklospori A, mofetil
mikofenolat, hormonal dan imunoglobulin. 1,6,7
2.5 PrognosisAngka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan
adalah 85-88% dan 10 tahun 76-87 %. Penyebab utama kematian Pada
SLE adalah : infeksi, nefritis lupus, dan konsekuensi gagal ginjal
( termasuk akibat terapi)., penyakit kardiovaskular ( sehingga
faktor resiko konvensional harus dikontrol secara ketat), dan lupus
SSP. Keterlibatan organ akhir sangat berbeda antara satu pasien
dengan pasien lain. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis
yang paling buruk pada SLE dan oleh karenanya titer antibodi
pengikat DNA positif dan atau/ meningkat, yang berkaitan dengan
keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang paling buruk.
2
23
KesimpulanLupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan
autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri.
Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi
diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang
didapat dan faktor lingkungan. Ada empat faktor yang menjadi
perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik,
lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. Gejala klinis dan
perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam
tubuh. Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah
diajukan akan tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria
menurut American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis LES
ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR
tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak discoid, fotosensitf,
ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf,
gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuclear.
Komplikasi LES meliputi: hipertensi, gangguan pertumbuhan, gangguan
paru-paru kronik, abnormalitas mata, kerusakan ginjal permanen,
gejala neuropsikiatri, kerusakan muskuloskeleta dan gangguan fungsi
gonad. Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit.
Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati.
Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi.
24
DAFTAR PUSTAKA1. Isbagio H,Kasjmir Yoga I, Setyohadi B, Suarjana
N.Lupus Eritematosus Sistemik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Volume III, Edisi V. Interna
Publishing,Jakarta : 2009 : 2565-25772. Davey Patrick, At a Glance,
Jakarta,Erlangga ; 2003. p : 395-397 3. Price Sylvia A. Wilson
Lorraine M. Lupus Eritematosus Sistemik.Patofisiologi:
konsep klinis proses-proses penyakit. EGC: Jakarta : 2005
:1392-13954.
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/lupus-eritematosus-sistemik.pdf
5. Doherty G M, Way L W. Autoimune Disease. In Current Medical
Diagnosis &
Treatment 2008 13th edition.. Mc. Graw Hill: San Fransisco:
2008.:1267-12696. Baratawidjaja K. Garna. Lupus Eritematosus
Sistermik. Imunologi Dasar ,Edisi 7. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta :2006 :229-231 7. Isselbacher, Kurt.
J.Wilson Jean D,Martin J.B,Fauci A.S,Kasper D.L. Systemic Lupus
Eritematosus. Harrisons Principles of Internal Medicine.14th
.Singapore : 2000:1834-1839 edition. Mc.Graw Hill
25
26