1
1.1. Definisi
Skizofrenia merupakan penyakit kronis otak yang timbul akibat
ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam
otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri
hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri
dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan
delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada
rangsang pancaindra)2,3.1.2. InsidensiSkizofrenia bisa mengenai
siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995
menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
(Wikipedia Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden pertahun dari
skizofernia berkisar 0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi
geografis. Ditemukan disemua tempat di dunia, insiden dan
prevalensinya secara kasar sama 4.Walaupun insidensi pada lelaki
dan wanita sama, gejala munculpada lelaki lebih awal. 75% Penderita
skizofrenia lelaki mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun dan
wanita biasanya antara 20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda
memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor.
Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian
diri 3.1.3. Gejala dan Klinis
Pada masa ini, tidak ada pemeriksaan fisik maupun lab yang bisa
mendiagnosa skizofrenia. Seorang dokter biasanya mencapai
diagnosanya berdasarkan gejala-gejala klinis. Dengan pemeriksaan
fisik biasanya kita dapat menyingkirkan penyakit lain yang mungkin
menyebabkan keadaan sakit yang serupa pada pasien (epilepsi,
metabolik, disfungsi tiroid, tumor otak, zat psikoaktif,
lain-lain).
Saat ini beberapa penelitian telah mengklasifikasikan
skizofrenia menurut kombinasi 5 buah gejala yang muncul, yaitu:
1. Gejala positif
2. Gejala negatif
3. Kognitif
4. Agresif/ hostile
5. Depresif / cemas
Jaras dopamin, mesolimbik, suatu projeksi dari area ventral
tegmental ke arah daerah limbik, termasuk nukleus akumbens. Pada
hipotesis dopamin, terjadi pelepasan dopamin yang berlebihan di
jaras tersebut yang akan menyebabkan gejala positif psikosis,
yaitu:
Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak
rasional.
Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada
rangsangan.
Kekacauan alam pikir, dilihat dari isi pembicaraannya, bicaranya
kacau.
Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira berlebihan.
Merasa dirinya Orang Besar, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
Menyimpan rasa permusuhan.
Jaras mesokortikal, berasal dari area ventral tegmental di
batang otak, berprojeksi ke kortex limbik. Apabila terjadi
defisiensi dopamin, atau terjadi blokade dopamin, maka akan muncul
gejala negatif, yaitu:
Afek tumpul dan mendatar, yaitu wajahnya tidak ada ekspresi.
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau
bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day
dreaming)
Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.
Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
Sulit untuk pikir abstrak
Pola pikir stereotip.
Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avoilition) dan tidak
ada spontanitas, monotron serta tidak ingin apa-apa dan serba
malas.
Problema kognitif juga ditemui seperti, gangguan berpikir,
inkoheren, assosiasi longgar, neologisme, hendaya perhatian,
hendaya dalam meproses informasi.
Sedangkan gejala agresif, seperti hostility, acting out kepada
diri sendiri (bunuh diri), orang lain (menyerang), dan benda
(menghancurkan), kasar, buruknya kontrol impulse, dan akting out
seksual.
Gejala depresif dan cemas juga berhubungan dengan skizofrenia,
seperti rasa bersalah, tension, iritabel, dan rasa cemas 1.
ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
2.1. Model Diatesis-Stres
Satu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor
psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stres. Model ini
mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatesis) yang, jika dikenai oleh suatu pengaruh
lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala
skizofrenia. Pada model diatesis-stres yang paling umum diatesis
atau stres dapat biologis atau lingkungan atau keduanya. Komponen
lingkungan dapat biologis (sebagai contoh, infeksi) atau psikologis
(sebagai contoh, situasi keluarga yang penuh ketegangan atau
kematian teman dekat). Dasar biologis untuk suatu diatesis dibentuk
lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat,
stres psikologis, dan trauma.
2.1.1. Faktor Biologis
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang
lalu semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan
patofisiologis untuk daerah tertentu di otak, termasuk sistem
limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Tentu saja ketiga
daerah tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi pada
salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer di daerah
lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan sistem limbik
sebagai suatu tempat potensial untuk patologi primer pada
sekurangnya suatu bagian, kemungkinan bahkan pada sebagian besar,
pasien skizofrenik, dua tipe penelitian adalah pencitraan otak pada
orang yang hidup dan pemeriksaan neuropatologi pada jaringan otak
postmortem.
Waktu suatu lesi neuropatologis tampak di otak dan interaksi
lesi dengan lingkungan dan stresor sosial masih merupakan bidang
penelitian yang aktif. Dasar untuk timbulnya abnormalitas mungkin
terletak pada perkembangan abnormal (sebagai contoh, migrasi
abnormal neuron di sepanjang glia radial selama perkembangan). Atau
dalam degenerasi neuron setelah perkembangan (sebagai contoh,
kematian sel terprogram yang awal secara abnormal, seperti yang
tampak terjadi pada penyakit Huntington). Tetapi ahli teori masih
memegang kenyataan bahwa kembar monozigotik mempunyai angka ketidak
sesuaian 50%, jadi menyatakan bahwa terdapat interaksi yang tidak
dimengerti antara lingkungan dan perkembangan skizofrenia. Suatu
penjelasan lain adalah, walaupun kembar monozigotik mempunyai
informasi genetika yang sama, pengaturan ekspresi gen saat mereka
menjalani kehidupan yang terpisah adalah berbeda. Faktor-faktor
yang mengatur ekspresi gen baru saja mulai dimengerti; kemungkinan
melalui regulasi gen yang berbeda, satu kembar monozigotik
menderita skizofrenia, sedangkan yang lainnya tidak.
2.1.2. Prinsip Riset Umum
Suatu rancangan dasar dalam riset biologis pada skizofrenia
adalah untuk mengukur beberapa variabel biologis dalam suatu
kelompok pasien skizofrenik dan dalam kelompok orang sakit bukan
psikiatrik atau pasien psikiatrik nonskizofrenik. Rata-rata
daripada pengukuran tersebut selanjutnya dibandingkan untuk
menentukan apakah kelompok skizofrenik berbeda dari kelompok
pembanding. Pendekatan tersebut memiliki beberapa keberatan.
Pertama, sulit untuk menemukan suatu kelompok kontrol yang
benar-benar sesuai dengan kelompok skizofrenik, karena kelompok
skizofrenik mungkin terpengaruhi oleh terapi obat dan situasi
psikososial yang paling mengendalikan belum dialami. Kedua, jika
perbedaan ditentukan dengan menggunakan pendekatan tersebut, sulit
untuk mengetahui kepentingan perbedaan. Ditunjukkannya suatu
perbedaan antara kelompok-kelompok tidak menyatakan bahwa
pengukuran adalah berhubungan sebab dengan skizofrenia. Suatu
perbedaan dalam pengukuran biologis tersebut mungkin sekunder
karena proses penyakit atau pengobatan.
Neurologi klinis mempunyai banyak contoh dari suatu tipe lesi
tunggal yang menyebabkan seluruh rentang keadaan psikologis,
terentang dari normal sampai setiap diagnosis di dalam DSM-IV.
Sebagai contoh, banyak orang mempunyai penyakit serebrovaskular,
tetapi beberapa dari mereka tidak mempunyai gejala psikologis,
beberapa mempunyai gangguan depresif, dan yang lainnnya mempunyai
mania atau psikosis. Contoh lain adalah penyakit Huntington, yang
dapat terbatas pada suatu gangguan neurologis yang tertentu atau
dapat disertai dengan setiap diagnosis dalam DSM-IV. Sebaliknya,
suatu kelainan spesifik tunggal di dalam otak dapat mempunyai
penyebab yang berbeda. Sebagai contoh, penyakit Parkinson mempunyai
penyebab idiopatik, infeksi, traumatik, dan toksik.
2.1.3. Integrasi Teori Biologis
Daerah otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah
struktur limbik, lobus frontalis, dan ganglia basalis. Talamus dan
batang otak juga terlibat karena peranan talamus sebagai mekanisme
pengintegrasi dan kenyataan bahwa batang otak dan otak tengah
adalah lokasi utama bagi neuron aminergik asenden. Tetapi, sistem
limbik semakin merupakan perhatian dari kebanyakan pengujian untuk
membangun teori (theory-building exercise). Sebagai contoh, satu
penelitian tentang kembar yang tidak sama-sama menderita
skizofrenia dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik dan
pengukuran aliran darah serebral. Peneliti telah menentukan
sebelumnya bahwa daerah hipokampus dari hampir setiap kembar yang
terkena adalah lebih kecil daripada kembar yang tidak terkena dan
bahwa kembar yang terkena juga mempunyai peningkatan aliran darah
yang lebih kecil ke korteks frontalis dorsolateral saat melakukan
prosedur aktivasi-psikologis. Penelitian menemukan suatu hubungan
antara kedua kelainan tersebut, yang menyatakan bahwa kedua temuan
adalah berhubungan, walaupun suatu faktor ketiga mungkin
mempengaruhi masing-masing variabel.
2.2. Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk
skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu
banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut timbul dari dua
pengamatan. Pertama, kecuali untuk clozapine, khasiat dan potensi
antipsikotik adalah berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak
sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2 (D2). Kedua,
obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang paling
jelas adalah amfetamin, yang merupakan salah satu psikotomimetik.
Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik
adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu
banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi keduanya. Teori dasar
juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin di otak mungkin
terlibat, walaupun jalur meoskortikal dan mesolimbik paling sering
terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari
badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem
limbik dan korteks serebral.
Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan
diperluas. Satu bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine
tipe 1 (D1) mungkin memainkan peranan dalam gejala negatif, dan
beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis D1 sebagai
pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut. Reseptor dopamin tipe
5 (D5) yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan reseptor D1
dan dapat meningkatkan penelitian. Dalam cara yang sama reseptor
dopamin tipe 3 (D3) dan dopamin tipe 4 (D4) adalah berhubungan
dengan reseptor D2 dan akan merupakan sasaran penelitian karena
agonis dan antagonis spesifik adalah dikembangkan untuk reseptor
tersebut. Sekurangnya satu penelitian telah melaporkan suatu
peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak postmortem dari pasien
skizofrenik.
Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang
penelitian skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih
merupakan hipotesis neurokimiawi yang utama, hipotesis tersebut
memiliki dua masalah. Pertama, antagonis dopamin adalah efektif
dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien yang
teragitasi berat, tidak tergantung pada diagnosis. Dengan demikian,
adalah tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa hiperaktivitas
dopaminergik adalah unik untuk skizofrenia. Sebagai contoh,
antagonis dopamin juga digunakan untuk mania akut. Kedua beberapa
data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin
meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan
jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan
bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan
keadaan hipodopaminergik.
Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi
skizofrenia adalah konsisten dengan penelitian yang telah mengukur
konsentrasi plasma metabolit dopamin utama, yaitu homovanilic acid.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa, dalam
kondisi eksperimental yang terkontrol cermat, konsentrasi
homovanilic acid plasma dapat mencerminkan konsentrasi homovanilic
acid di sistem saraf pusat. Penelitian tersebut telah melaporkan
suatu hubungan positif antara konsentrasi homovanilic acid
praterapi yang tinggi dan dua faktor: keparahan gejala psikotik dan
respon terapi terhadap obat antipsikotik. Penelitian homovanilic
acid plasma juga telah melaporkan bahwa, setelah peningkatan
sementara konsentrasi homovanilic acid plasma, konsentrasi menurun
secara mantap. Penurunan tersebut dihubungkan dengan perbaikan
gejala pada sekurangnya beberapa pasien.
2.3. Neurotransmitter Lainnya
Walaupun dopamin adalah neurotransmiter yang telah mendapatkan
sebagian besar perhatian dalam penelitian skizofrenia, meningkatnya
perhatian juga telah ditujukan pada neurotransmiter lainnya.
Mempertimbangkan neurotransmiter lain adalah diharuskan untuk
sekurangnya dua alasan. Pertama, karena skizofrenia kemungkinan
merupakan suatu gangguan yang heterogen, maka mungkin bahwa
kelainan pada neurotransmiter yang berbeda menyebabkan sindroma
perilaku yang sama. Sebagai contoh, zat halusinogenik yang
mempengaruhi serotonin-sebagai contoh, lysergic acid diethylamide
(LSD)- dan dosis tinggi zat yang mempengaruhi dopamin-sebagai
contoh, amfetamin-dapat menyebabkan gejala psikotik yang sulit
dibedakan dari intoksikasi. Kedua, penelitian neurologi dasar telah
jelas menunjukkan bahwa neuron tunggal dapat mengandung lebih dari
satu neurotransmiter dan mungkin memiliki reseptor neurotransmiter
untuk lebih dari setengah lusin neurotransmiter. Jadi, berbagai
neurotransmiter di otak adalah terlibat dalam hubungan
interaksional kompleks, dan fungsi yang abnormal dapat menyebabkan
perubahan pada setiap zat neurotranmiter tunggal.
2.4. Serotonin
Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian
skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai
aktivitas berhubungan dengan serotonin yang kuat (sebagai contoh,
clozapine, risperidone, ritanserin). Secara spesifik, antagonisme
pada reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5-HT2) telah
disadari penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam
menurunkan perkembangan gangguan pergerakan berhubungan dengan
antagonisme-D2. Seperti yang juga telah dinyatakan dalam penelitian
tentang gangguan mood, aktivitas serotonin telah berperan dalam
perilaku bunuh diri dan impulsif yang jug adapat ditemukan pada
pasien skizofrenik.
2.5. Norepinefrin
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik
jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus
sereleus dan bahwa efek terapetik dari beberapa antipsikotik
mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-1 dan
adrenergik-2. walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergik dan
noradrenergik masih belum jelas, semakin banyak data yang
menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem
dopamminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk sering relaps.
2.6. Asam Amino
Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid
(GABA) juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data
yang tersedia adalah konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa
pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA-ergik di
dalam hipokempus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara
teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergik.
Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga
dilaporkan terlibat dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu
rentang hipotesis telah diajukan untuk glutamat, termasuk hipotesis
hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan hipotesis neurotoksisitas akibat
glutamat.
2.7. Neuropatologi
2.7.1. Sistem limbik
Sistem limbik, karena peranannya dalam mengendalikan emosi,
telah dihipotesiskan terlibat dalam dasar patofisiologis untuk
skizofrenia. Pada kenyataannya, sistem limbik telah terbukti
merupakan daerah yang paling subur dalam penelitian neuropatologis
unutk skizofrenia. Lebih dari setengah lusin penelitian yang
terkontrol baik pada sampel otak skizofrenik postmortemtelah
menemukan suatu penurunan ukuran daerah termasuk amigdala,
hipokampus, dan girus parahipokampus. Temuan neuropatologis
tersebut mendukung pengamatan serupa yang dilakukan dengan
menggunakan pencitraan resonansi magnetik (MRI) pada pasien
skizofrenik yang hidup.
2.7.2. Ganglia Basalis
Ganglia basalis telah merupakan perhatian teoritis dalam
skizofrenia karena sekurangnya dua alasan. Pertama, banyak pasien
skizofrenik yang mempunyai pergerakan yang aneh, bahkan tanpa
adanya gangguan pergerakan akibat medikasi (sebagai contoh, tardive
dyskinesia). Gerakan yang aneh dapat termasuk gaya berjalan yang
kaku, menyeringaikan wajah (facial grimacing), dan stereotipik.
Karena ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan,
dengan demikian patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam
patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan neurologis
yang dapat memiliki psikosis sebagai suatu gejala penyerta,
gangguan pergerakan yang mengenai ganglia basalis (sebagai contoh,
penyakit Huntington) adalah salah satu yang paling sering
berhubungan dengan psikosis pada pasien yang terkena. Faktor lain
yang melibatkan ganglia basalis dalam patofisiologi skizofrenia
adalah kenyataan bahwa ganglia basalis berhubungan timbal balik
dengan lobus frontalis, dengan demikian meningkatkan kemungkinan
bahwa kelainan pada fungsi lobus frontalis yang terlihat pada
beberapa pemeriksaan pencitraan otak mungkin disebabkan oleh
patologi di dalam ganglia basalis, bukan di dalam lobus frontalis
itu sendiri.
Penelitian neuropatologis pada ganglia basalis telah
menghasilkan berbagai laporan yang tidak meyakinkan tentang
hilangnya sel atau penuruan volume globus palidus dan substansia
nigra. Sebaliknya, banyak penelitian telah menunjukkan suatu
peningkatan jumlah reseptor D2 di dalam kaudatus, putamen, dan
nukleus akumbens; tetapi, pertanyaan adalah apakah peningkatan
tersebut sekunder karena pasien telah mendapatkan medikasi
antipsikotik. Beberapa peneliti telah mulai mempelajari sistem
serotonergik dalam ganglia basalis, karena peranan serotonin dalam
gangguan psikologis dinyatakan oleh manfaat klinis obat
antipsikotik dengan aktivitas serotonergik (sebagai contoh,
clozapine, risperidone).
2.8. Disfungsi Pergerakan Mata
Ketidakmampuan seseorang untuk secara akurat mengikuti suatu
sasaran visual yang bergerak adalah dasar penentu untuk gangguan
pengejaranvisual yang halus dan disinhibisi gerakan mata saccadic
yang ditemukan pada pasien skizofrenik. Disfungsi pergerakan mata
mungkin merupakan petanda sifat (trait marker) untuk skizofrenia,
karena keadaan ini tidak tergantung pada terapi obat dan keadaan
klinis, dan juga ditemukan pada sanak saudara derajat pertama dari
kemungkinan skizofrenia. Berbagai penelitian telah melaporkan
gerakan mata yang abnormal pada 50-85% pasien skizofrenik,
dibandingkan dengan kira-kira 25% pada pasien psikiatrik
nonskizofrenia dan kurang dari 10% subjek kontrol dengan penyakit
nonpsikiatrik. Karena pergerakan mata sebagian dikendalikan oleh
pusat di lobus frontalis, suatu gangguan pada pergerakan mata
adalah konsisten dengan teori yang melibatkan patologi lobus
frontalis pada skizofrenia.
2.9. Psikoneuroimunologi
Sejumlah kelainan imunologis telah dihubungkan dengan pasien
skizofrenik. Kelainan tersebut adalah penurunan produksi
interleukin-2 sel T, penurunan jumlah dan responsivitas selular dan
humoral terhadap neuron, dan adanya antibodi yang diarahkan ke otak
(antibrain antibodies). Data dapat diinterpretasikan secara
bervariasi sebagai mewakili suatu virus neurotoksik atau suatu
gangguan autoimun endogen. Penelitian yang dilakukan dengan sangat
cermat yang mencari adanya bukti-bukti infeksi virus neurotoksik
pada skizofrenia telah menghasilkan hasil yang negatif, walaupun
data epidemiologis menunjukkan tingginya insidensi skizofrenia
setelah pemaparan pranatal dengan influenza selama beberapa
epidemik penyakit.
Data lain yang mendukung suatu hipotesis viral adalah
peningkatan jumlah anomali fisik pada saat lahir, peningkatan angka
kehamilan dan komplikasi kelahiran, musiman kelahiran yang
konsisten dengan infeksi virus, kumpulan goegrafis kasus dewasa,
dan musiman perawatan di rumah sakit. Namun demikian,
ketidakmampuan untuk mendeteksi bukti-bukti genetik infeksi virus
menurunkan kepentingan dari semua data tidak langsung tersebut.
Kemungkinan adanya antibodi otak autoimun memiliki beberapa data
yang menunjangnya; tetapi, proses patofisiologis jika ada,
kemungkinan menjelaskan hanya sekumpulan kecil populasi
skizofrenik.
2.10. Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin antara
kelompok pasien skizofrenik dan kelompok subjek kontrol normal.
Sebagai contoh, tes supresi deksametason telah dilaporkan abnormal
pada berbagai subkelompok pasien skizofrenik, walaupun nilai
praktis atau nilai prediktif dari tes ini pada skizofrenia telah
dipertanyakan. Tetapi, satu laporan yang dilakukan secara cermat
telah menghubungkan nonsupresi persisten pada tes supresi
deksametason pada skizofrenia dengan hasil jangka panjang
buruk.
Beberapa data menunjukkan penurunan konsentrasi luteinzing
hormone-follicle stimulating hormone (LH/ FSH), kemungkinan
dihubungkan dengan onset usia dan lamanya penyakit. Dua kelainan
tambahan yang dilaporkan adalah penumpulan pelepasan prolaktin dan
hormon pertumbuhan terhadap stimulasi gonadotropin-releasing hormon
(GnRH) atau thyrotropin-releasing hormone (TRH) dan suatu
penumpulan pelepasan hormon pertumbuhan terhadap stimulasi
apomorphine yang mungkin dikorelasikan dengan adanya gejala
negatif.
2.12. Genetika
Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik PopulasiPrevalensi
(%)
Populasi umum 1,0
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik 8,0
Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0
Kembar dizigotik pasien skizofrenik12,0
Anak dari kedua orangtua skizofrenik40,0
Kembar monozigotik pasien skizofrenik47,0
Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi.
Penelitian pada kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa
kembar yang diasuh oleh orang tuaangkat mempunyai skizofrenia
dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya
yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut
menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan.
Untuk mendukung lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan bahwa
semakin parah skizofrenia, semakin mungkin kembar adalah sama-sama
menderita gangguan. Satu penelitian yang mendukung model
diatesis-stres menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi
yang kemudian menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh
keluarga yang tidak sesuai secara psikologis.
2.12.1. Petanda kromosom
Pendekatan sekarang ini pada genetika diarahkan pada
mengidentifikasi silsilah besar dari orang yang terkena dan
meneliti keluarga untuk RFLP (restriction fragment lenght
polymorphisms) yang memisah dengan fenotipe penyakit. Banyak
hubungan antara tempat kromosom tertentu dan skizofrenia telah
dilaporkan di dalam literatur sejak penerapan luas teknik biologi
molekular lebih dari setengah kromosom telah dihubungkan dengan
skizofrenia dalam berbagai laporan tersebut, tetapi lengan panjang
kromosom 5, 11, dan 18; lengan pendek kromosom 9, dan kromosom X
adalah yang paling sering dilaporkan. Pada saat ini, literatur
paling baik dianggap sebagai menyatakan suatu kemungkinan dasar
genetik yang heterogen untuk skizofrenia.
2.13. Faktor Psikososial
2.13.1. Teori Tentang Pasien Individual
Terlepas dari kontroversial tentang penyebab skizofrenia, adalah
tidak dapat dibantah bahwa skizofrenia mempengaruhi pasien
individual, yang masing-masing memiliki susunan psikologi yang
unik. Walaupun banyak teori psikodinamika tentang patogenesis
skizofrenia tampaknya ketinggalan bagi pembaca modern, pengertian
pengamatan klinis teori tersebut dapat membantu klinisi modern
untuk mengerti bagaimana penyakit dapat mempengaruhi jiwa
pasien.
2.13.2. Teori Psikoanalitik Sigmund Freud mendalilkan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh fiksasi dalam pekembangan yang terjadi
lebih awal dari yang menyebabkan perkembangan neurosis. Freud juga
mendalilkan bahwa adanya defek ego juga berperan dalam gejala
skizofrenia. Disintegrasi ego adalah suatu pengembalian ke suatu
waktu saat efo masih belum ditegakkan atau baru mulai ditegakkan.
Jadi, konflik intrapsikis yang disebabkan dari fiksasi awal dan
defek ego, yang mungkin telah disebabkan oleh hubungan objek awal
yang buruk, merupakan bahan bakar gejala psikotik.
Pusat dari teori Freud tentang skizofrenia adalah suatu
decathexis objek dan suatu regresi dalam respon terhadap frustasi
dan konflik dengan orang lain. Banyak gagasan Freud tentang
skizofrenia diwarnai oleh tidak adanya keterlibatan dirinya secara
intensif dengan pasien skizofrenik. Sebaliknya, Harry Stack Sulivan
melibatkan diri dengan pasien skizofrenik dalam psikoanalisis
intensif dan menyimpulkan bahwa penyakit disebabkan oleh kesulitan
interpersonal awal, khususnya yang berhubungan dengan apa yang
disebutnya pengasuhan anak yang salah dan terlalu mencemaskan.
Pandangan psikoanalisis umum tentang skizofrenia
menghipotesiskan bahwa defek ego mempengaruhi interpretasi
kenyataan dan pengendalian dorongan-dorongan dari dalam (inner
drives), seperti seks dan agresi. Gangguan terjadi sebagai akibat
dari penyimpangan dalam hubungan timbal balik antara bayi dan
ibunya. Seperti yang dijelaskan oleh Margaret Mahler, anak-anak
adalah tidak mampu untuk berpisah dan berkembang melebihi kedekatan
dan ketergantungan lengkap yang menandai hubungan ibu-anak di dalam
fase oral perkembangan. Orang skizofrenik tidak pernah mencapai
ketetapan objek, yang ditandai oleh suatu perasaan identitas yang
pasti dan yang disebabkan oleh perlekatan erat dengan ibunya selama
masa bayi. Paul Federn menyimpulkan bahwa gangguan mendasar pada
skizofrenia adalah ketidakmampuan awal pasien untuk mencapai
perbedaan diri dan objek. Beberapa ahli psikoanalisis
menghipotesiskan bahwa defek dalam fungsi ego yang belum sempurna
memungkinkan permusuhan dan agresi yang hebat sehingga mengganggu
hubungan ibu-bayi, yang menyebabkan suatu organisasi kepribadian
yang rentan terhadap stres. Onset gejala selama masa remaja terjadi
pada suatu saat jika orang memerlukan suatu ego yang kuat untuk
berfungsi secara mandiri, untuk berpisah dari orang tua, untuk
mengidentifikasi kewajiban, untuk mengendalikan dorongan internal
yang meningkat, dan untuk mengatasi stimulasi eksternal yang
kuat.
Teori psikoanalitik juga mendalilkan bahwa berbagai gejala
skizofrenia mempunyai arti simbolik bagi pasien individual. Sebagai
contoh, fantasi tentang dunia yang akan berakhir mungkin menyetakan
suatu perasaan bahwa dunia internal seseorang telah mengalami
kerusakan. Perasaan kebesaran dapat mencerminkan narsisme yang
direaktivasi, dimana orang percaya behwa mereka adalah mahakuasa.
Halusinasi mungkin menggantikan ketidakmampuan pasien untuk
menghadapi kenyataan objektif dan mungkin mencerminkan harapan atau
ketakutan dari dalam diri mereka. Waham, serupa dengan halusinasi,
adalah usaha regresif dan pengganti untuk menciptakan suatu
kenyataan baru atau untuk mengekspresikan rasa takut atau dorongan
yang tersembunyi.
2.13.3. Teori Psikodinamika
Freud memandang skizofrenia sebagai suatu respon regresif
terhadap frustasi dan konflik yang melanda seseorang di dalam
lingkungan. Regresi melibatkan suatu penarikan penanaman emosional
(emotional investment) atau cathexis dari perwakilan objek internal
dan orang sebenarnya di dalam lingkungan, yang menyebabkan kembali
ke suatu stadium autoerotik dari perkembangan. Keadaan cathexis
pasien ditanamkan kembali ke dalam diri, dengan demikian memberikan
gambaran penarikan autistik. Freud selanjutnya menambahkan bahwa,
kalau neurosis melibatkan suatu konflik antara ego dan id, psikosis
dapat dipandang sebagai suatu konflik antara ego dan dunia luar
dimana kenyataan diingkari dan selanjutnya dibentuk kembali
(remodeled).
Pandangan psikodinamika tentang skizofrenia selanjutnya adalah
berbeda dari model kompleks Freud. Mereka cenderung menganggap
hipersensitivitas terhadap stimuli persepsi yang didasarkan secara
konstitusional sebagai suatu defisit. Malahan, suatu penelitian
yang baik menyatakan bahwa pasien skizofrenia menemukan adalah
sulit untuk menyaring berbagai stimuli dan untuk memusatkan pada
satu data pada suatu waktu. Defek pada barier stimulus tersebut
menciptakan kesulitan pada keseluruhan tiap fase perkembangan
selama masa anak-anak dan menempatkan stres tertentu pada hubungan
interpersonal. Pandangan psikodinamika tentang skizofrenia sering
dikelirukan sebagai menyalahkan orang tua, walaupun sesungguhnya
memusatkan pada kesulitan psikologis dan neurofisiologis yang
menciptakan masalah bagi kebanyakan orang di dalam hubungan yang
erat dengan pasien skizofrenik.
Terlepas tentang model teoritis mana yang dipilih, semua
pendekatan psikodinamika bekerja dari dasar pikiran bahwa gejala
psikotik mempunyai arti pada skizofrenia. Sebagai contoh, pasien
mungkin menjadi kebesaran (grandiose) setelah terjadi suatu
kerusakan pada harga diri mereka. Demikian juga, semua teori
menyadari bahwa hubungan manusia mungkin menakutkan bagi seseorang
yang menderita skizofrenia. Walaupun penelitian pada manfaat
psikoterapi pada skizofrenia menunjukkan hasil yang bercampur,
orang yang prihatin yang menawarkan perasaan kasihan manusiawi dan
perlindungan dari dunia yang membingungkan harus menjadi inti dari
seluruh rencana pengobatan. Penelitian follow-up jangka panjang
menemukan bahwa beberapa pasien yang menutupi episode psikotik
mungkin tidak mendapatkan manfaat dari psikoterapi eksplorasi,
tetapi mereka yang mampu mengintegrasikan pengalaman psikotik
kedalam kehidupan mereka mungkin mendapatkan manfaat dari
pendekatan beorientasi tilikan (insight-oriented).
2.13.4. Teori Belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang
kemudian menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir
yang irasional dengan meniru orangtuanya yang mungkin memiliki
masalah emosionalnya sendiri yang bermakna. Hubungan interpersonal
yang buruk dari orang skizofrenia, menurut teori belajar, juga
berkembang karena dipelajarinya model yang buruk selama
anak-anak.
2.13.5. Teori Tentang Keluarga
Tidak ada bukti-bukti terkontrol baik yang menyatakan bahwa pola
keluarga spesifik memainkan peranan kausatif dalam perkembangan
skizofrenia. Hal tersebut merupakan titik penting untuk dimengerti
oleh klinisi, karena banyak orang tua dari anak skizofrenik masih
memendam kemarahan terhadap psikiatrik komunitas, yang untuk waktu
lama membicarakan hubungan antara keluarga yang disfungsional
dengan perkembangan skizofrenia. Beberapa pasien skizofrenik memang
berasal dari keluarga yang disfungsional, demikian juga banyak
orang sakit yang nonpsikiatrik berasal dari keluarga disfungsional.
Tetapi, adalah dari kepentingan klinis untuk mengenali perilaku
keluarga patologis, karena perilaku tersebut dapat secara bermakna
meninggalkan stres emosional yang harus dihadapi oleh pasien
skizofrenik yang rentan.
2.14. Ikatan Ganda
Konsep ikatan ganda (double bind) dirumuskan oleh Gregory Betson
untuk menggambarkan suatu keluarga hipotetik dimana anak-anak
mendapatkan pesan yang bertentangan dari orangtuanya tentang
perilaku, sikap, dan perasaan anak. Di dalam hipotesis tersebut,
anak menarik diri ke dalam keadaan psikotik mereka sendiri untuk
meloloskan dari kebingungan ikatan ganda yang tidak dapat
dipecahkan. Sayangnya, penelitian keluarga yang dilakukan untuk
membuktikan teori tersebut telah secara serius mengalami cacat
metodologi dan tidak dapat diambil untuk menunjukkan keabsahan
teori tersebut.
2.15. Keretakan dan Kecondongan Keluarga
Theodore Lidz menggambarkan dua pola perilaku yang abnormal.
Dalam satu tipe keluarga, terdapat keretakan yang menonjol antara
orang tua, dan satu orang tua sangat terlalu dekat dengan anak dari
jenis kelamin yang berbeda. Pada jenis keluarga lain, hubungan
condong antara satu orang tua melibatkan suatu perjuangan tenaga
antara orang tua dan menyebabkan dominasi salah satu orang tua.
2.16. Keluarga yang Saling Mendukung Secara Semu dan Bermusuhan
Semu
Lymann Wynne menggambarkan keluarga di mana ekspresi emosional
ditekan oleh pemakaian konsisten komunikasi verbal yang saling
mendukung secara semu (pseudomutual) atau bermusuhan secara secara
semu (pseudohostile). Penekanan tersebut menyebabkan perkembangan
komunikasi verbal yang unik pada keluarga tersebut dan tidak
dimengerti oleh orang di luar keluarga; masalah timbul jika anak
meninggalkan rumah dan berhubungan dengan orang lain.
2.17. Emosi yang Diekspresikan Emosi yang diekspresikan
(seringkali disingkat EE (expressed emotion)) biasanya
didefinisikan sebagai kecaman, permusuhan, dan keterlibatan yang
berlebihan (overinvolvement) yang dapat menandai perilaku orang tua
atau pengasuh lain terhadap skizofrenia. Banyak penelitian telah
menyatakan bahwa, di dalam keluarga dengan emosi yang sangat
diekspresikan, angka relaps untuk skizofrenia adalah tinggi.
Penilaian emosi yang diekspresikan termasuk menganalisis apa yang
dikatakan dan cara bagaimana hal tersebut dikatakan.
2.18. Teori-teori Sosial Beberapa ahli teori telah menyatakan
bahwa industrialisasi dan urbanisasi adalah terlibat dalam penyebab
skizofrenia. Walaupun beberapa data mendukung teori tersebut, stres
sekarang dianggap menimbulkan efek utamanya dalam menentukan waktu
onset dan keparahan penyakit 5.DIAGNOSA3.1. Kriteria Diagnosis
Skizofernia
Kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) :
A. Gejala karakteristik : Ditemukannya dua atau lebih gejala
berikut :
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau
inkoheren)
(4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
(5) Gejala negatif, yaitu, pendengaran afektif, alogia, atau
tidak ada kemauan (avoilition)
masing-masing didapat selama periode 1 bulan (atau kurang jika
diobati dengan berhasil)
Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika
waham adalah kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus
menerus mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau
lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna
sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perwatan diri, adalah jelas
di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada
masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat
pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan)
C. Durasi : tanda gangguan terus menerus menetap selama
sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya
1 bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan berhasil) yang
memenuhi kriteria A (yaiutu, gejala fase aktif) dan mungkin
termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode
prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifstasikan
hanya oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang
dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang diperl;emah
(misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak
lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood :
Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik yang
telah disingkirkan karena : (1) tidak ada episode depresif berat,
manik, atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala
fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala
fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan
durasi periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum : gangguan tidak
disebabkan oleh efek psikologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis
umum.
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : Jika
terdapat riwayat adanya gangguan autistik atau gangguan
perkembangan pervasif lainnya, doagnosis tambahan skizofrenia
dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga
ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati
secara berhasil)
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan
hanya setelah sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala
fase aktif) :
Episodik dengan gejala residual interepisode (episode
didefinisikan oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang
menonjol); juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang
menonjol
Episodik tanpa gejala residual interepisodik.
Kontinu (gejala psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh
periode observasi); juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang
menonjol
Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika :
dengan gejala negatif yang menonjol
Episode tunggal dalam remisis penuh
Pola lain atau tidak ditentukan 4.
3.2. Gejala PramorbidSebelum seseorang secara nyata aktif
(manifes) menunjukan gejala-gejala Skizofrenia, yang bersangkutan
terlebih dahulu menunjukan gejala-gejala awal yang disebut gejala
pradormal. Sebaliknya bila seseorang penderita Skizofrenia tidak
lagi aktif menunjukan gejal-gejala Skizofrenia, maka yang
bersangkutan menunjukan gejala-gejala sisa yang disebut gejala
residual 1.
Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak kanak-kanak.
Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara
lain ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi: wajah dingin,
jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: anak
sulit melakukan pembicaraan terarah. Gangguan atensi: anak tidak
mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi. Pada
anak perempuan tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara
sosial, tidak bisa menikmati rasa senang dan ekspresi wajah sangat
terbatas. Sedangkan pada anak laki-laki sering menantang tanpa
alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Pada bayi biasanya terdapat problem makan, gangguan tidur
kronis, tonus otot lemah, apatis dan ketakutan terhadap obyek atau
benda yang bergerak cepat. Pada balita terdapat ketakutan yang
berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut
gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda
bergerak.Pada anak usia 5-6 tahun mengalami halusinasi suara
seperti mendengar bunyi letusan, bantingapintu atau bisikan, bisa
juga halusinasi visual seperti melihat sesuatu bergerak
meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan
latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum
sendiri, menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang
merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan
kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua
orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi
dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain
serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki
perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya
hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya,
persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak
terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci
dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan
yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti
berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan
untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan
faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita
skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak
mampu mengatasi3.
3.4. Kriteria Diagnosis Subtipe Skizofernia
Kriteria diagnostik subtipe skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR)
:
3.4.1. Tipe Paranoid
Bila ditemui kriteria sebagai berikut:
a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi
suara yang sering
b. Tidak ada satu pun dari gejala berikut yang menonjol: bicara
kacau, tingkah laku katatonik, atau tingkah laku yang kacau, afek
tumpul atau tidak sesuai.
3.4.2. Tipe terdisorganisasi (hebefrenik)
a. Bila semua gejala ini menonjol
1. Bicara kacau
2. Tingkah laku kacau
3. Afek tumpul atau tidak sesuai
b. Kriteria tidak sesuai untuk tipe katatonik
3.4.3.Tipe katatonik
Suatu tipe skizofernia, dimana gambaran klinisnya didominasi
oleh sedikitnya dua dari gejala berikut:
1. Imobilitas motorik, bukti dari katalepsi (fleksibilitas
lilin) atau stupor
2. Aktivitas motor yang berlebihan (yang kadang-kadang tidak
bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal)
3. Negativisme yang ekstrim
4. Gerakan volunter yang aneh seperti yang ditunjukkan
posturing.
5. Ekolalia dan ekopraksia
3.4.5. Tipe yang tidak tergolongkan
Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi
kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid,
terdisorganisasi atau katatonik.
3.4.6. Tipe residual
Tipe skizofernia dimana kriteria ini dijumpai:
1. Tidak ada atau tidak menonjol: delusi, halusinasi, bicara
kacau, kekacauan yang terlihat, atau tingkah laku katatonik
2. Adanya bukti dari gangguan seperti yang diindikasikan dengan
keberadaan gejala negatif, atau dua atau lebih gejala yang terdapat
pada Criterion A untuk skizofrenia4.
3.5. Golongan Skizofrenia lain- lain
3.5.1. Skizofrenia Simpleks
Suatu bentuk psikosis (gangguan jiwa yang ditandai dengan
terganggunya realitas dan pemahaman diri/insight yang buruk ) yang
perkembangannya lambat dan perlahan dari perilaku yang aneh,
ketidak mampuan memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan
keterampilan sosial.
3.5.2. Gangguan Skizofreniform
Gambaran klinis Skizofreniform ini sama dengan Skizofrenia,
perbedaannya adalah bahwa fase-fase perjalanan penyakitnya (fase
aktif, prodormal dan residual ) kurang dari 6 bulan tetapi lebih
lama dari 2 minggu.
3.5.3. Skizofrenia Laten
Hingga kini belum terdapat suatu kesepakatan yang dapat diterima
secara umum untuk memberikan gambaran klinis kondisi ini.
3.5.4. Gangguan Skizoafektif
Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh gangguan pada alam
perasaan (mood, affect) disertai waham dan halusinasi serta
terdapat perasaan gembira yang berlebihan (maniakal) atau rasa
sedih yang sangat mendalam (depresi) 3.
3.6. Diagnosis Banding
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan medis psikiatrik, non psikiatrik dan berbagai macam
zat.
3.6.1. Medis dan Neurologis
Akibat zat : Amfetamin, halusinogen, alkaloid beladona,
halusinosis alkohol, putus barbiturat, kokain, phencyclidine
(PCP).
Epilepsi : Terutama epilepsi lobus temporalis.
Neoplasma, penyakit serobrovaskular, atau trauma : Terutama
frontalis dan limbik.
Kondisi lain : Sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS)
Porfiria intermitten akut
Keracunan karbon monoksida
Lipoidosis serebral
Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Fabry
Penyakit Fahr
Penyakit Hallervorden-Spatz
Keracunan logam berat
Ensefalitis herpes
Homosistinuria
Penyakit Huntington
Lekodistrofi metakromatik
Neurosiflis
Hidrosefalus
Pellagra
SLE
Sindroma Wernicke-Korsakoff
Penyakit Wilson
3.6.2. Psikiatrik
Psikosis atipikal
Gangguan autistic
Gangguan psikotik singkat
Ganguan delusional
Berpura-pura
Gangguan obsesif-kompulsif
Gangguan keperibadian
Gangguan skizofrenia lain-lain4.PENATALAKSANAAN
Perawatan di rumah sakit
Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit :
1. Tujuan diagnostik
2. Menstabilkan medikasi
3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh
4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai
5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar ( makan, pakaian, dan
tempat berlindung)
Tujuan utama perawatan di rumah sakit yang harus ditegakkan
adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung
masyarakat.
Terapi somatik
Anti psikotik
Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama: antagonis
reseptor dopamin, risperidone, dan clozapin
Obat lain (sebagai medikasi tambahan)Lithium, antikonvulsan
(Carbamazepin dan valproate)
Psikoterapi individualPROGNOSISBeberapa penelitian telah
menemukan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah
perawatan psikiatrik pertama kali dirumah sakit karena skizofrenia,
hanya kira-kira 10 sampai 20 persen pasien dapat digambarkan
memiliki hasil yang baik. Lebih dari 50 persen pasien dapat
digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di RS yang
berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat dan usaha
bunuh diri. Walaupun demikian, skizofrenia memang tidak selalu
memiliki perjalanan penyakit yang memburuk, dan sejumlah faktor
telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.PAGE 24