TERAPI SKIZOFRENIA
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit skizofrenia telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu,
namun baru kira-kira seratus tahun terakhir uraian penyakit ini
dapat ditemui dalam kepustakaan kedokteran. Menurut catatan sejarah
terdapat empat ilmuan (dokter) yang merupakan tokoh konseptor
Skizofrenia, yaitu Hughlings Jackson (1887), Eugen Bleuier (1908),
Emil Kraepelin (1919), dan Kurt Schneider (1959), yang
masing-masing mendefinisikan Skizofrenia ini dari sudut pandang
yang berbeda. Tapi dikemudian hari diketahui bahwa ternyata
pandangan mereka merupakan suatu kesatuan1.1.1. DefinisiSkizofrenia
merupakan penyakit kronis otak yang timbul akibat ketidakseimbangan
pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah
gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan
afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan
antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan
yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang
pancaindra)2,3.1.2. InsidensiSkizofrenia bisa mengenai siapa saja.
Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan
1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. (Wikipedia
Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden pertahun dari skizofernia
berkisar 0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi geografis.
Ditemukan disemua tempat di dunia, insiden dan prevalensinya secara
kasar sama 4.Walaupun insidensi pada lelaki dan wanita sama, gejala
munculpada lelaki lebih awal. 75% Penderita skizofrenia lelaki
mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun dan wanita biasanya antara
20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi
karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering
terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap
sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri 3.1.3. Gejala dan
KlinisPada masa ini, tidak ada pemeriksaan fisik maupun lab yang
bisa mendiagnosa skizofrenia. Seorang dokter biasanya mencapai
diagnosanya berdasarkan gejala-gejala klinis. Dengan pemeriksaan
fisik biasanya kita dapat menyingkirkan penyakit lain yang mungkin
menyebabkan keadaan sakit yang serupa pada pasien (epilepsi,
metabolik, disfungsi tiroid, tumor otak, zat psikoaktif,
lain-lain).
Saat ini beberapa penelitian telah mengklasifikasikan
skizofrenia menurut kombinasi 5 buah gejala yang muncul, yaitu:
1. Gejala positif
2. Gejala negatif
3. Kognitif
4. Agresif/ hostile
5. Depresif / cemas
Jaras dopamin, mesolimbik, suatu projeksi dari area ventral
tegmental ke arah daerah limbik, termasuk nukleus akumbens. Pada
hipotesis dopamin, terjadi pelepasan dopamin yang berlebihan di
jaras tersebut yang akan menyebabkan gejala positif psikosis,
yaitu:
Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak
rasional.
Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada
rangsangan.
Kekacauan alam pikir, dilihat dari isi pembicaraannya, bicaranya
kacau.
Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira berlebihan.
Merasa dirinya Orang Besar, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
Menyimpan rasa permusuhan.
Jaras mesokortikal, berasal dari area ventral tegmental di
batang otak, berprojeksi ke kortex limbik. Apabila terjadi
defisiensi dopamin, atau terjadi blokade dopamin, maka akan muncul
gejala negatif, yaitu:
Afek tumpul dan mendatar, yaitu wajahnya tidak ada ekspresi.
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau
bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day
dreaming)
Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.
Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
Sulit untuk pikir abstrak
Pola pikir stereotip.
Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avoilition) dan tidak
ada spontanitas, monotron serta tidak ingin apa-apa dan serba
malas.
Problema kognitif juga ditemui seperti, gangguan berpikir,
inkoheren, assosiasi longgar, neologisme, hendaya perhatian,
hendaya dalam meproses informasi.
Sedangkan gejala agresif, seperti hostility, acting out kepada
diri sendiri (bunuh diri), orang lain (menyerang), dan benda
(menghancurkan), kasar, buruknya kontrol impulse, dan akting out
seksual.
Gejala depresif dan cemas juga berhubungan dengan skizofrenia,
seperti rasa bersalah, tension, iritabel, dan rasa cemas 1.
BAB II
ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan
penyebab yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang
gambaran klinisnya, respon pengobatannya, dan perjalanan
penyakitnya adalah bervariasi.
2.1. Model Diatesis-StresSatu model untuk integrasi faktor
biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model
diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin
memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang, jika dikenai
oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan
perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diatesis-stres yang
paling umum diatesis atau stres dapat biologis atau lingkungan atau
keduanya. Komponen lingkungan dapat biologis (sebagai contoh,
infeksi) atau psikologis (sebagai contoh, situasi keluarga yang
penuh ketegangan atau kematian teman dekat). Dasar biologis untuk
suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik,
seperti penyalahgunaan zat, stres psikologis, dan trauma.
2.1.1. Faktor Biologis
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang
lalu semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan
patofisiologis untuk daerah tertentu di otak, termasuk sistem
limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Tentu saja ketiga
daerah tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi pada
salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer di daerah
lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan sistem limbik
sebagai suatu tempat potensial untuk patologi primer pada
sekurangnya suatu bagian, kemungkinan bahkan pada sebagian besar,
pasien skizofrenik, dua tipe penelitian adalah pencitraan otak pada
orang yang hidup dan pemeriksaan neuropatologi pada jaringan otak
postmortem.
Waktu suatu lesi neuropatologis tampak di otak dan interaksi
lesi dengan lingkungan dan stresor sosial masih merupakan bidang
penelitian yang aktif. Dasar untuk timbulnya abnormalitas mungkin
terletak pada perkembangan abnormal (sebagai contoh, migrasi
abnormal neuron di sepanjang glia radial selama perkembangan). Atau
dalam degenerasi neuron setelah perkembangan (sebagai contoh,
kematian sel terprogram yang awal secara abnormal, seperti yang
tampak terjadi pada penyakit Huntington). Tetapi ahli teori masih
memegang kenyataan bahwa kembar monozigotik mempunyai angka ketidak
sesuaian 50%, jadi menyatakan bahwa terdapat interaksi yang tidak
dimengerti antara lingkungan dan perkembangan skizofrenia. Suatu
penjelasan lain adalah, walaupun kembar monozigotik mempunyai
informasi genetika yang sama, pengaturan ekspresi gen saat mereka
menjalani kehidupan yang terpisah adalah berbeda. Faktor-faktor
yang mengatur ekspresi gen baru saja mulai dimengerti; kemungkinan
melalui regulasi gen yang berbeda, satu kembar monozigotik
menderita skizofrenia, sedangkan yang lainnya tidak.
2.1.2. Prinsip Riset Umum
Suatu rancangan dasar dalam riset biologis pada skizofrenia
adalah untuk mengukur beberapa variabel biologis dalam suatu
kelompok pasien skizofrenik dan dalam kelompok orang sakit bukan
psikiatrik atau pasien psikiatrik nonskizofrenik. Rata-rata
daripada pengukuran tersebut selanjutnya dibandingkan untuk
menentukan apakah kelompok skizofrenik berbeda dari kelompok
pembanding. Pendekatan tersebut memiliki beberapa keberatan.
Pertama, sulit untuk menemukan suatu kelompok kontrol yang
benar-benar sesuai dengan kelompok skizofrenik, karena kelompok
skizofrenik mungkin terpengaruhi oleh terapi obat dan situasi
psikososial yang paling mengendalikan belum dialami. Kedua, jika
perbedaan ditentukan dengan menggunakan pendekatan tersebut, sulit
untuk mengetahui kepentingan perbedaan. Ditunjukkannya suatu
perbedaan antara kelompok-kelompok tidak menyatakan bahwa
pengukuran adalah berhubungan sebab dengan skizofrenia. Suatu
perbedaan dalam pengukuran biologis tersebut mungkin sekunder
karena proses penyakit atau pengobatan.
Neurologi klinis mempunyai banyak contoh dari suatu tipe lesi
tunggal yang menyebabkan seluruh rentang keadaan psikologis,
terentang dari normal sampai setiap diagnosis di dalam DSM-IV.
Sebagai contoh, banyak orang mempunyai penyakit serebrovaskular,
tetapi beberapa dari mereka tidak mempunyai gejala psikologis,
beberapa mempunyai gangguan depresif, dan yang lainnnya mempunyai
mania atau psikosis. Contoh lain adalah penyakit Huntington, yang
dapat terbatas pada suatu gangguan neurologis yang tertentu atau
dapat disertai dengan setiap diagnosis dalam DSM-IV. Sebaliknya,
suatu kelainan spesifik tunggal di dalam otak dapat mempunyai
penyebab yang berbeda. Sebagai contoh, penyakit Parkinson mempunyai
penyebab idiopatik, infeksi, traumatik, dan toksik.
2.1.3. Integrasi Teori Biologis
Daerah otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah
struktur limbik, lobus frontalis, dan ganglia basalis. Talamus dan
batang otak juga terlibat karena peranan talamus sebagai mekanisme
pengintegrasi dan kenyataan bahwa batang otak dan otak tengah
adalah lokasi utama bagi neuron aminergik asenden. Tetapi, sistem
limbik semakin merupakan perhatian dari kebanyakan pengujian untuk
membangun teori (theory-building exercise). Sebagai contoh, satu
penelitian tentang kembar yang tidak sama-sama menderita
skizofrenia dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik dan
pengukuran aliran darah serebral. Peneliti telah menentukan
sebelumnya bahwa daerah hipokampus dari hampir setiap kembar yang
terkena adalah lebih kecil daripada kembar yang tidak terkena dan
bahwa kembar yang terkena juga mempunyai peningkatan aliran darah
yang lebih kecil ke korteks frontalis dorsolateral saat melakukan
prosedur aktivasi-psikologis. Penelitian menemukan suatu hubungan
antara kedua kelainan tersebut, yang menyatakan bahwa kedua temuan
adalah berhubungan, walaupun suatu faktor ketiga mungkin
mempengaruhi masing-masing variabel.
2.2. Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk
skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu
banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut timbul dari dua
pengamatan. Pertama, kecuali untuk clozapine, khasiat dan potensi
antipsikotik adalah berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak
sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2 (D2). Kedua,
obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang paling
jelas adalah amfetamin, yang merupakan salah satu psikotomimetik.
Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik
adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu
banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi keduanya. Teori dasar
juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin di otak mungkin
terlibat, walaupun jalur meoskortikal dan mesolimbik paling sering
terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari
badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem
limbik dan korteks serebral.
Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan
diperluas. Satu bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine
tipe 1 (D1) mungkin memainkan peranan dalam gejala negatif, dan
beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis D1 sebagai
pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut. Reseptor dopamin tipe
5 (D5) yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan reseptor D1
dan dapat meningkatkan penelitian. Dalam cara yang sama reseptor
dopamin tipe 3 (D3) dan dopamin tipe 4 (D4) adalah berhubungan
dengan reseptor D2 dan akan merupakan sasaran penelitian karena
agonis dan antagonis spesifik adalah dikembangkan untuk reseptor
tersebut. Sekurangnya satu penelitian telah melaporkan suatu
peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak postmortem dari pasien
skizofrenik.
Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang
penelitian skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih
merupakan hipotesis neurokimiawi yang utama, hipotesis tersebut
memiliki dua masalah. Pertama, antagonis dopamin adalah efektif
dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien yang
teragitasi berat, tidak tergantung pada diagnosis. Dengan demikian,
adalah tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa hiperaktivitas
dopaminergik adalah unik untuk skizofrenia. Sebagai contoh,
antagonis dopamin juga digunakan untuk mania akut. Kedua beberapa
data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin
meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan
jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan
bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan
keadaan hipodopaminergik.
Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi
skizofrenia adalah konsisten dengan penelitian yang telah mengukur
konsentrasi plasma metabolit dopamin utama, yaitu homovanilic acid.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa, dalam
kondisi eksperimental yang terkontrol cermat, konsentrasi
homovanilic acid plasma dapat mencerminkan konsentrasi homovanilic
acid di sistem saraf pusat. Penelitian tersebut telah melaporkan
suatu hubungan positif antara konsentrasi homovanilic acid
praterapi yang tinggi dan dua faktor: keparahan gejala psikotik dan
respon terapi terhadap obat antipsikotik. Penelitian homovanilic
acid plasma juga telah melaporkan bahwa, setelah peningkatan
sementara konsentrasi homovanilic acid plasma, konsentrasi menurun
secara mantap. Penurunan tersebut dihubungkan dengan perbaikan
gejala pada sekurangnya beberapa pasien.
2.3. Neurotransmitter Lainnya
Walaupun dopamin adalah neurotransmiter yang telah mendapatkan
sebagian besar perhatian dalam penelitian skizofrenia, meningkatnya
perhatian juga telah ditujukan pada neurotransmiter lainnya.
Mempertimbangkan neurotransmiter lain adalah diharuskan untuk
sekurangnya dua alasan. Pertama, karena skizofrenia kemungkinan
merupakan suatu gangguan yang heterogen, maka mungkin bahwa
kelainan pada neurotransmiter yang berbeda menyebabkan sindroma
perilaku yang sama. Sebagai contoh, zat halusinogenik yang
mempengaruhi serotonin-sebagai contoh, lysergic acid diethylamide
(LSD)- dan dosis tinggi zat yang mempengaruhi dopamin-sebagai
contoh, amfetamin-dapat menyebabkan gejala psikotik yang sulit
dibedakan dari intoksikasi. Kedua, penelitian neurologi dasar telah
jelas menunjukkan bahwa neuron tunggal dapat mengandung lebih dari
satu neurotransmiter dan mungkin memiliki reseptor neurotransmiter
untuk lebih dari setengah lusin neurotransmiter. Jadi, berbagai
neurotransmiter di otak adalah terlibat dalam hubungan
interaksional kompleks, dan fungsi yang abnormal dapat menyebabkan
perubahan pada setiap zat neurotranmiter tunggal.
2.4. Serotonin
Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian
skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai
aktivitas berhubungan dengan serotonin yang kuat (sebagai contoh,
clozapine, risperidone, ritanserin). Secara spesifik, antagonisme
pada reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5-HT2) telah
disadari penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam
menurunkan perkembangan gangguan pergerakan berhubungan dengan
antagonisme-D2. Seperti yang juga telah dinyatakan dalam penelitian
tentang gangguan mood, aktivitas serotonin telah berperan dalam
perilaku bunuh diri dan impulsif yang jug adapat ditemukan pada
pasien skizofrenik.
2.5. Norepinefrin
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik
jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus
sereleus dan bahwa efek terapetik dari beberapa antipsikotik
mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-1 dan
adrenergik-2. walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergik dan
noradrenergik masih belum jelas, semakin banyak data yang
menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem
dopamminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk sering relaps.
2.6. Asam Amino
Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid
(GABA) juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data
yang tersedia adalah konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa
pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA-ergik di
dalam hipokempus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara
teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergik.
Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga
dilaporkan terlibat dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu
rentang hipotesis telah diajukan untuk glutamat, termasuk hipotesis
hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan hipotesis neurotoksisitas akibat
glutamat.
2.7. Neuropatologi 2.7.1. Sistem limbik
Sistem limbik, karena peranannya dalam mengendalikan emosi,
telah dihipotesiskan terlibat dalam dasar patofisiologis untuk
skizofrenia. Pada kenyataannya, sistem limbik telah terbukti
merupakan daerah yang paling subur dalam penelitian neuropatologis
unutk skizofrenia. Lebih dari setengah lusin penelitian yang
terkontrol baik pada sampel otak skizofrenik postmortemtelah
menemukan suatu penurunan ukuran daerah termasuk amigdala,
hipokampus, dan girus parahipokampus. Temuan neuropatologis
tersebut mendukung pengamatan serupa yang dilakukan dengan
menggunakan pencitraan resonansi magnetik (MRI) pada pasien
skizofrenik yang hidup.
2.7.2. Ganglia Basalis
Ganglia basalis telah merupakan perhatian teoritis dalam
skizofrenia karena sekurangnya dua alasan. Pertama, banyak pasien
skizofrenik yang mempunyai pergerakan yang aneh, bahkan tanpa
adanya gangguan pergerakan akibat medikasi (sebagai contoh, tardive
dyskinesia). Gerakan yang aneh dapat termasuk gaya berjalan yang
kaku, menyeringaikan wajah (facial grimacing), dan stereotipik.
Karena ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan,
dengan demikian patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam
patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan neurologis
yang dapat memiliki psikosis sebagai suatu gejala penyerta,
gangguan pergerakan yang mengenai ganglia basalis (sebagai contoh,
penyakit Huntington) adalah salah satu yang paling sering
berhubungan dengan psikosis pada pasien yang terkena. Faktor lain
yang melibatkan ganglia basalis dalam patofisiologi skizofrenia
adalah kenyataan bahwa ganglia basalis berhubungan timbal balik
dengan lobus frontalis, dengan demikian meningkatkan kemungkinan
bahwa kelainan pada fungsi lobus frontalis yang terlihat pada
beberapa pemeriksaan pencitraan otak mungkin disebabkan oleh
patologi di dalam ganglia basalis, bukan di dalam lobus frontalis
itu sendiri.
Penelitian neuropatologis pada ganglia basalis telah
menghasilkan berbagai laporan yang tidak meyakinkan tentang
hilangnya sel atau penuruan volume globus palidus dan substansia
nigra. Sebaliknya, banyak penelitian telah menunjukkan suatu
peningkatan jumlah reseptor D2 di dalam kaudatus, putamen, dan
nukleus akumbens; tetapi, pertanyaan adalah apakah peningkatan
tersebut sekunder karena pasien telah mendapatkan medikasi
antipsikotik. Beberapa peneliti telah mulai mempelajari sistem
serotonergik dalam ganglia basalis, karena peranan serotonin dalam
gangguan psikologis dinyatakan oleh manfaat klinis obat
antipsikotik dengan aktivitas serotonergik (sebagai contoh,
clozapine, risperidone).
2.8. Pencitraan Otak 2.8.1. Tomografi Komputer
Penelitian awal yang menggunakan tomografi komputer (CT) pada
populasi skizofrenik mungkin telah menghasilkan data yang paling
awal dan paling meyakinkan bahwa skizofrenia dapat dipercaya
sebagai penyakit otak. Penelitian tersebut telah secara konsisten
menunjukkan bahwa otak pasien skizofrenik mempunyai pembesaran
ventrikel lateral dan ventrikel ketiga dan suatu derajat penurunan
volume kortikal. Temuan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai
konsisten dengan adanya jaringan otak yang lebih sedikit dari
biasanya pada pasien yang terkena; apakah penurunan jumlah jaringan
otak tersebut disebabkan kelainan perkembangan atau karena
degenerasi adalah masih belum terpecahkan.
Penelitian CT lainnya telah melaporkan asimetrisitas serebral
yang abnormal, penurunan volume serebelum, dan perubahan densitas
otak pada pasien skizofrenik. Banyak penelitian CT telah
menghubungkan adanya kelainan pemeriksaan CT dengan adanya gejala
negatif atau defisit, gangguan neuropsikiatrik, peningkatan gejala
neurologis, gejala ekstrapiramidalis yang sering dari antipsikotik,
dan penyesuaian pramorbid yang buruk. Walaupun tidak semua
penelitian CT telah menegakkan anggapan tersebut, penelitian telah
menimbulkan kesan bahwa semakin banyak bukti neuropatologi yang
ada, semakin serius gejalanya. Tetapi, kelainan yang dilaporkan
pada penelitian CT pada pasien skizofrenik juga telah dilaporkan
pada keadaan neuropsikiatrik lainnya, termasuk gangguan mood,
gangguan berhubungan alkohol, dan demensia. Jadi, perubahan
tersebut kemungkinan tidak spesifik untuk proses patofisiologis
skizofrenia dasar.
Sejumlah penelitian telah berusaha untuk menentukan apakah
kelainan yang terdeteksi oleh CT adalah progresif atau statik.
Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa lesi yang diamati pada
CT ditemukan pada onset penyakit dan tidak berkembang. Tetapi
penelitian lain, telah menyimpulkan bahwa patologi yang
divisualisasikan oleh CT terus berkembang selama penyakit. Jadi,
apakah proses patologis aktif adalah terus berkembang pada pasien
skizofrenik adalah masih belum pasti.
Walaupun pembesaran ventrikel pada pasien skizofrenik dapat
ditunjukkan jika digunakan kelompok-kelompok pasien dan kontrol,
perbedaan antara orang yang terkena dan tidak terkena adalah
bervariasi dan biasanya kecil. Dengan demikian, penggunaan CT dalam
diagnosis skizofrenia adalah terbatas. Tetapi, beberapa data
menyatakan bahwa ventrikel lebih besar pada pasien dengan tardive
dyskinesia daripada pasien yang tidak menderita tardive dyskinesia.
Juga, beberapa data menyatakan bahwa pembesaran ventrikel adalah
lebih sering ditemukan pada pasien laki-laki daripada wanita.
2.8.2. Pencitraan Resonansi Magnetik
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) awalnya digunakan untuk
memperjelas temuan pada pemeriksaan CT tetapi selanjutnya digunakan
untuk memperluas pengetahuan tentang patofisiolofi skizofrenia.
Satu penelitian MRI yang paling penting adalah pemeriksaan kembar
monozigotik yang tidak sama-sama menderita skizofrenia. Penelitian
menunjukkan bahwa hampir semua kembar yang menderita skizofrenia
mempunyai ventrikel serebral yang lebih besar daripada kembar yang
tidak terkena, walaupun sebagian besar kembar yang terkena
mempunyai ventrikel serebral di dalam suatu rentang normal.
Peneliti yang menggunakan MRI dalam riset skizofrenia telah
menggunakan sifat-sifat resolusi yang unggul, dibandingkan dengan
CT, dan informasi kualitatif, sebagai contoh, yang didapatkan
dengan menggunakan berbagai urutan signal untuk mendapatkan citra
T1 atau T2 yang diperkuat. Resolusi unggul dari MRI telah
menghasilkan beberapa laporan bahwa volume kompleks
hipokampus-amigdala dan girus parahipokampus adalah menurun pada
pasien skizofrenik. Satu penelitian terakhir menemukan suatu
penurunan spesifik dari daerah otak tersebut di hemisfer kiri, dan
bukan di hemisfer kanan, walaupun penelitian lain telah menemukan
penurunan volume bilateral. Beberapa penelitian telah menghubungkan
penurunan volume sistem limbik dengan derajat psikopatologi atau
parameter lain keparahan penyakit. Jugatelah terdapat laporan waktu
relaksasi T1 dan T2 yang berbeda pada pasien skizofrenik, khususnya
yang diukur di daerah frontalis dan temporalis.
2.8.3. Spektroskopi Resonansi Magnetik
Spektroskopi resonansi magnetik (MRS) adalah suatu teknik yang
memungkinkan pengukuran konsentrasi molekul spesifik-sebagai
contoh, adenosisn trifosfat (ATP)-di dalam otak. Walaupun teknik
ini masih dalam awal perkembangannya, beberapa laporan pendahuluan
yang menggunakan MRS untuk mempelajari skizofrenia telah ditemukan
di dalaam literatur. Satu penelitian yang manggunakan pencitraan
MRS pada korteks prafrontalis dorsolateral menemukan bahwa,
dibandingkan dengan kelompok kontrol, pasien skizofrenik mempunyai
tingkat fosfomonoester dan fosfat inorganik yang lebih rendah dan
tingkat fosfodiester dan adenosin trifosfat yang leboh tinggi. Data
tersebut menunjukkan metabolisme senyawa yang mengandung fosfat
yang konsisten dengan hipoaktivitas di daerah otak tersebut, dengan
demikian mendukung temuan dari penelitian pencitraan otak
lainnya-sebagai contoh, tomografi emisi positron (PET).
2.8.4. Tomografi Emisi Positron
Sebagian besar penelitian dengan PET telah mengukur penggunaan
glukosa atau aliran darah serebral, dan temuan positif telah
menyimpulkan hipoaktivitas di lobus frontalis, gangguan aktivasi
daerah otak tertentu setelah stimulasi tes psikologis, dan
hiperaktivitas di ganglia basalis relatif terhadap korteks
serebral. Tetapi, sejumlah penelitian gagal menghasilkan temuan
tersebut, walaupun hasil aktivasi-abnormal tampaknya merupakan
temuan yang kuat. Pada penelitian tersebut aliran darah pasien
diperiksa dengan menggunakan PET, tomografi komputer emisi foton
tunggal (SPECT; single photon emission computed tomography), atau
sistem pencitraan otak aliran darah regional. Saat aliran darah
diukur, pasien diminta untuk melakukan suatu tugas psikologis yang
dianggap mengaktivasi suatu bagian tertentu dari korteks serebral
pada subjek kontrol yang normal. Satu penelitian yang paling
terkontrol baik dengan rancangan tersebut telah menemukan bahwa
pasien skizofrenik, berbeda dengan kelompok kontrol, gagal untuk
meningkatkan aliran darah ke korteks prafrontalis dorsolateral saat
mengerjakan Wisconsin Card-Sorting Test.
Jenis kedua penelitian PET telah menggunakan ligan radioaktif
untuk memperkirakan jumlah reseptor D2 yang ada. Dua penelitian
yang paling banyak dibicarakan tidak sependapat; satu kelompok
melaporkan adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di ganglia
basalis, dan kelompok lain melaporkan tidak adanya perubahan jumlah
reseptor D2 di ganglia basalis. Perbedaan antara dua penelitian
tersebut mungkin disebabkan digunakannya dua ligan yang berbeda,
pasien skizofrenik yang jenisnya berbeda, atau perbedaan lain pada
metoda atau analisis data. Kontroversial masih belum terpecahkan
pada saat ini. Tetapi teknik ini akan terus digunakan dalam
penelitian skizofrenia, dan laporan penelitian selanjutnya akan
menggunakan ligan untuk sistem neurotransmiter lainnya, seperti
sistem noradrenergik atau glutamat.
2.8.5. Elektrofisiologi
Penelitian elektroensefalografi (EEG) pada pasien skizofrenia
menyatakan bahwa sejumlah besar pasien mempunyai rekaman yang
abnormal, peningkatan kepekaan terhadap prosedur aktivasi (sebagai
contoh, aktivitas paku yang sering setelah tidak tidur), penurunan
aktivitas alfa, peningkatan aktivitas teta dan delta, kemungkinan
aktivitas epileptiformis yang lebih dari biasanya, dan kemungkinan
kelainan sisi kiri yang lebih banyak dari biasanya.
2.8.6. Potensial Cetusan
Sejumlah besar kelainan pada potensial cetusan (evoked
potentials) pada pasien skizofrenik telah digambarkan dalam
literatur penelitian. Gelombang P300 merupakan yang paling banyak
dipelajari dan didefinisikan sebagai gelombang potensial cetusan
yang besar dan positif yang terjadi kira-kira 300 milidetik setelah
suatu stimulasi sensoris dideteksi. Sumber utama gelombang P300
mungkin berlokasi di struktur sistem limbik dari lobus temporalis
medial. Pada pasien skizofrenik P300 telah dilaporkan secara
statistik lebih kecil dan lebih lambat daripada kelompok
pembanding. Kelainan pada gelombang P300 juga telah dilaporkan
lebih sering pada anak-anak yang berada pada resiko tinggi
mengalami skizofrenia karena mempunyai orang tua yang menderita
skizofrenia. Apakah karakteristik P300 mewakili suatu keadaan
fenomena atau suatu sifat fenomena adalah masih kontroversial.
Potensial cetusan lain yang telah dilaporkan abnormal pada
pasien skizofrenik adalah N100 dan variasi negatif berkelompok
(continent negative variation). Gelombang N100 adalah gelombang
negatif yang terjadi kira-kira 100 milidetik setelah stimulus, dan
variasi negatif berkelompok adalah suatu pergeseran voltasi negatif
yang berkembang dengan lambat yang mengikuti presentasi stimulus
sensorik yang merupakan peringatan untuksuatu stimulus yang akan
datang. Data potensial cetusan telah diinterpretasikan sebagai
menyatakan bahwa, walaupun pasien skizofrenik adalah sensitif
secara tidak lazim terhadap stimulus sensorik (potensial cetusan
awal yang lebih tinggi), mereka mengkompensasi peningkatan kepekaan
tersebut dengan mengumpulkan pemrosesan informasi pada tingkat
kortikal yang lebih tinggi (dinyatakan oleh potensial cetusan akhir
yang lebih kecil).
2.9. Disfungsi Pergerakan Mata
Ketidakmampuan seseorang untuk secara akurat mengikuti suatu
sasaran visual yang bergerak adalah dasar penentu untuk gangguan
pengejaranvisual yang halus dan disinhibisi gerakan mata saccadic
yang ditemukan pada pasien skizofrenik. Disfungsi pergerakan mata
mungkin merupakan petanda sifat (trait marker) untuk skizofrenia,
karena keadaan ini tidak tergantung pada terapi obat dan keadaan
klinis, dan juga ditemukan pada sanak saudara derajat pertama dari
kemungkinan skizofrenia. Berbagai penelitian telah melaporkan
gerakan mata yang abnormal pada 50-85% pasien skizofrenik,
dibandingkan dengan kira-kira 25% pada pasien psikiatrik
nonskizofrenia dan kurang dari 10% subjek kontrol dengan penyakit
nonpsikiatrik. Karena pergerakan mata sebagian dikendalikan oleh
pusat di lobus frontalis, suatu gangguan pada pergerakan mata
adalah konsisten dengan teori yang melibatkan patologi lobus
frontalis pada skizofrenia.
2.10. Psikoneuroimunologi
Sejumlah kelainan imunologis telah dihubungkan dengan pasien
skizofrenik. Kelainan tersebut adalah penurunan produksi
interleukin-2 sel T, penurunan jumlah dan responsivitas selular dan
humoral terhadap neuron, dan adanya antibodi yang diarahkan ke otak
(antibrain antibodies). Data dapat diinterpretasikan secara
bervariasi sebagai mewakili suatu virus neurotoksik atau suatu
gangguan autoimun endogen. Penelitian yang dilakukan dengan sangat
cermat yang mencari adanya bukti-bukti infeksi virus neurotoksik
pada skizofrenia telah menghasilkan hasil yang negatif, walaupun
data epidemiologis menunjukkan tingginya insidensi skizofrenia
setelah pemaparan pranatal dengan influenza selama beberapa
epidemik penyakit.
Data lain yang mendukung suatu hipotesis viral adalah
peningkatan jumlah anomali fisik pada saat lahir, peningkatan angka
kehamilan dan komplikasi kelahiran, musiman kelahiran yang
konsisten dengan infeksi virus, kumpulan goegrafis kasus dewasa,
dan musiman perawatan di rumah sakit. Namun demikian,
ketidakmampuan untuk mendeteksi bukti-bukti genetik infeksi virus
menurunkan kepentingan dari semua data tidak langsung tersebut.
Kemungkinan adanya antibodi otak autoimun memiliki beberapa data
yang menunjangnya; tetapi, proses patofisiologis jika ada,
kemungkinan menjelaskan hanya sekumpulan kecil populasi
skizofrenik.
2.11. Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin antara
kelompok pasien skizofrenik dan kelompok subjek kontrol normal.
Sebagai contoh, tes supresi deksametason telah dilaporkan abnormal
pada berbagai subkelompok pasien skizofrenik, walaupun nilai
praktis atau nilai prediktif dari tes ini pada skizofrenia telah
dipertanyakan. Tetapi, satu laporan yang dilakukan secara cermat
telah menghubungkan nonsupresi persisten pada tes supresi
deksametason pada skizofrenia dengan hasil jangka panjang
buruk.
Beberapa data menunjukkan penurunan konsentrasi luteinzing
hormone-follicle stimulating hormone (LH/ FSH), kemungkinan
dihubungkan dengan onset usia dan lamanya penyakit. Dua kelainan
tambahan yang dilaporkan adalah penumpulan pelepasan prolaktin dan
hormon pertumbuhan terhadap stimulasi gonadotropin-releasing hormon
(GnRH) atau thyrotropin-releasing hormone (TRH) dan suatu
penumpulan pelepasan hormon pertumbuhan terhadap stimulasi
apomorphine yang mungkin dikorelasikan dengan adanya gejala
negatif.
2.12. GenetikaPrevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik
PopulasiPrevalensi (%)
Populasi umum 1,0
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik 8,0
Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0
Kembar dizigotik pasien skizofrenik12,0
Anak dari kedua orangtua skizofrenik40,0
Kembar monozigotik pasien skizofrenik47,0
Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi.
Penelitian pada kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa
kembar yang diasuh oleh orang tuaangkat mempunyai skizofrenia
dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya
yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut
menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan.
Untuk mendukung lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan bahwa
semakin parah skizofrenia, semakin mungkin kembar adalah sama-sama
menderita gangguan. Satu penelitian yang mendukung model
diatesis-stres menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi
yang kemudian menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh
keluarga yang tidak sesuai secara psikologis.
2.12.1. Petanda kromosom
Pendekatan sekarang ini pada genetika diarahkan pada
mengidentifikasi silsilah besar dari orang yang terkena dan
meneliti keluarga untuk RFLP (restriction fragment lenght
polymorphisms) yang memisah dengan fenotipe penyakit. Banyak
hubungan antara tempat kromosom tertentu dan skizofrenia telah
dilaporkan di dalam literatur sejak penerapan luas teknik biologi
molekular lebih dari setengah kromosom telah dihubungkan dengan
skizofrenia dalam berbagai laporan tersebut, tetapi lengan panjang
kromosom 5, 11, dan 18; lengan pendek kromosom 9, dan kromosom X
adalah yang paling sering dilaporkan. Pada saat ini, literatur
paling baik dianggap sebagai menyatakan suatu kemungkinan dasar
genetik yang heterogen untuk skizofrenia.
2.13. Faktor Psikososial
2.13.1. Teori Tentang Pasien Individual
Terlepas dari kontroversial tentang penyebab skizofrenia, adalah
tidak dapat dibantah bahwa skizofrenia mempengaruhi pasien
individual, yang masing-masing memiliki susunan psikologi yang
unik. Walaupun banyak teori psikodinamika tentang patogenesis
skizofrenia tampaknya ketinggalan bagi pembaca modern, pengertian
pengamatan klinis teori tersebut dapat membantu klinisi modern
untuk mengerti bagaimana penyakit dapat mempengaruhi jiwa
pasien.
2.13.2. Teori Psikoanalitik Sigmund Freud mendalilkan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh fiksasi dalam pekembangan yang terjadi
lebih awal dari yang menyebabkan perkembangan neurosis. Freud juga
mendalilkan bahwa adanya defek ego juga berperan dalam gejala
skizofrenia. Disintegrasi ego adalah suatu pengembalian ke suatu
waktu saat efo masih belum ditegakkan atau baru mulai ditegakkan.
Jadi, konflik intrapsikis yang disebabkan dari fiksasi awal dan
defek ego, yang mungkin telah disebabkan oleh hubungan objek awal
yang buruk, merupakan bahan bakar gejala psikotik.
Pusat dari teori Freud tentang skizofrenia adalah suatu
decathexis objek dan suatu regresi dalam respon terhadap frustasi
dan konflik dengan orang lain. Banyak gagasan Freud tentang
skizofrenia diwarnai oleh tidak adanya keterlibatan dirinya secara
intensif dengan pasien skizofrenik. Sebaliknya, Harry Stack Sulivan
melibatkan diri dengan pasien skizofrenik dalam psikoanalisis
intensif dan menyimpulkan bahwa penyakit disebabkan oleh kesulitan
interpersonal awal, khususnya yang berhubungan dengan apa yang
disebutnya pengasuhan anak yang salah dan terlalu mencemaskan.
Pandangan psikoanalisis umum tentang skizofrenia
menghipotesiskan bahwa defek ego mempengaruhi interpretasi
kenyataan dan pengendalian dorongan-dorongan dari dalam (inner
drives), seperti seks dan agresi. Gangguan terjadi sebagai akibat
dari penyimpangan dalam hubungan timbal balik antara bayi dan
ibunya. Seperti yang dijelaskan oleh Margaret Mahler, anak-anak
adalah tidak mampu untuk berpisah dan berkembang melebihi kedekatan
dan ketergantungan lengkap yang menandai hubungan ibu-anak di dalam
fase oral perkembangan. Orang skizofrenik tidak pernah mencapai
ketetapan objek, yang ditandai oleh suatu perasaan identitas yang
pasti dan yang disebabkan oleh perlekatan erat dengan ibunya selama
masa bayi. Paul Federn menyimpulkan bahwa gangguan mendasar pada
skizofrenia adalah ketidakmampuan awal pasien untuk mencapai
perbedaan diri dan objek. Beberapa ahli psikoanalisis
menghipotesiskan bahwa defek dalam fungsi ego yang belum sempurna
memungkinkan permusuhan dan agresi yang hebat sehingga mengganggu
hubungan ibu-bayi, yang menyebabkan suatu organisasi kepribadian
yang rentan terhadap stres. Onset gejala selama masa remaja terjadi
pada suatu saat jika orang memerlukan suatu ego yang kuat untuk
berfungsi secara mandiri, untuk berpisah dari orang tua, untuk
mengidentifikasi kewajiban, untuk mengendalikan dorongan internal
yang meningkat, dan untuk mengatasi stimulasi eksternal yang
kuat.
Teori psikoanalitik juga mendalilkan bahwa berbagai gejala
skizofrenia mempunyai arti simbolik bagi pasien individual. Sebagai
contoh, fantasi tentang dunia yang akan berakhir mungkin menyetakan
suatu perasaan bahwa dunia internal seseorang telah mengalami
kerusakan. Perasaan kebesaran dapat mencerminkan narsisme yang
direaktivasi, dimana orang percaya behwa mereka adalah mahakuasa.
Halusinasi mungkin menggantikan ketidakmampuan pasien untuk
menghadapi kenyataan objektif dan mungkin mencerminkan harapan atau
ketakutan dari dalam diri mereka. Waham, serupa dengan halusinasi,
adalah usaha regresif dan pengganti untuk menciptakan suatu
kenyataan baru atau untuk mengekspresikan rasa takut atau dorongan
yang tersembunyi.
2.13.3. Teori Psikodinamika
Freud memandang skizofrenia sebagai suatu respon regresif
terhadap frustasi dan konflik yang melanda seseorang di dalam
lingkungan. Regresi melibatkan suatu penarikan penanaman emosional
(emotional investment) atau cathexis dari perwakilan objek internal
dan orang sebenarnya di dalam lingkungan, yang menyebabkan kembali
ke suatu stadium autoerotik dari perkembangan. Keadaan cathexis
pasien ditanamkan kembali ke dalam diri, dengan demikian memberikan
gambaran penarikan autistik. Freud selanjutnya menambahkan bahwa,
kalau neurosis melibatkan suatu konflik antara ego dan id, psikosis
dapat dipandang sebagai suatu konflik antara ego dan dunia luar
dimana kenyataan diingkari dan selanjutnya dibentuk kembali
(remodeled).
Pandangan psikodinamika tentang skizofrenia selanjutnya adalah
berbeda dari model kompleks Freud. Mereka cenderung menganggap
hipersensitivitas terhadap stimuli persepsi yang didasarkan secara
konstitusional sebagai suatu defisit. Malahan, suatu penelitian
yang baik menyatakan bahwa pasien skizofrenia menemukan adalah
sulit untuk menyaring berbagai stimuli dan untuk memusatkan pada
satu data pada suatu waktu. Defek pada barier stimulus tersebut
menciptakan kesulitan pada keseluruhan tiap fase perkembangan
selama masa anak-anak dan menempatkan stres tertentu pada hubungan
interpersonal. Pandangan psikodinamika tentang skizofrenia sering
dikelirukan sebagai menyalahkan orang tua, walaupun sesungguhnya
memusatkan pada kesulitan psikologis dan neurofisiologis yang
menciptakan masalah bagi kebanyakan orang di dalam hubungan yang
erat dengan pasien skizofrenik.
Terlepas tentang model teoritis mana yang dipilih, semua
pendekatan psikodinamika bekerja dari dasar pikiran bahwa gejala
psikotik mempunyai arti pada skizofrenia. Sebagai contoh, pasien
mungkin menjadi kebesaran (grandiose) setelah terjadi suatu
kerusakan pada harga diri mereka. Demikian juga, semua teori
menyadari bahwa hubungan manusia mungkin menakutkan bagi seseorang
yang menderita skizofrenia. Walaupun penelitian pada manfaat
psikoterapi pada skizofrenia menunjukkan hasil yang bercampur,
orang yang prihatin yang menawarkan perasaan kasihan manusiawi dan
perlindungan dari dunia yang membingungkan harus menjadi inti dari
seluruh rencana pengobatan. Penelitian follow-up jangka panjang
menemukan bahwa beberapa pasien yang menutupi episode psikotik
mungkin tidak mendapatkan manfaat dari psikoterapi eksplorasi,
tetapi mereka yang mampu mengintegrasikan pengalaman psikotik
kedalam kehidupan mereka mungkin mendapatkan manfaat dari
pendekatan beorientasi tilikan (insight-oriented).
2.13.4. Teori Belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang
kemudian menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir
yang irasional dengan meniru orangtuanya yang mungkin memiliki
masalah emosionalnya sendiri yang bermakna. Hubungan interpersonal
yang buruk dari orang skizofrenia, menurut teori belajar, juga
berkembang karena dipelajarinya model yang buruk selama
anak-anak.
2.13.5. Teori Tentang Keluarga
Tidak ada bukti-bukti terkontrol baik yang menyatakan bahwa pola
keluarga spesifik memainkan peranan kausatif dalam perkembangan
skizofrenia. Hal tersebut merupakan titik penting untuk dimengerti
oleh klinisi, karena banyak orang tua dari anak skizofrenik masih
memendam kemarahan terhadap psikiatrik komunitas, yang untuk waktu
lama membicarakan hubungan antara keluarga yang disfungsional
dengan perkembangan skizofrenia. Beberapa pasien skizofrenik memang
berasal dari keluarga yang disfungsional, demikian juga banyak
orang sakit yang nonpsikiatrik berasal dari keluarga disfungsional.
Tetapi, adalah dari kepentingan klinis untuk mengenali perilaku
keluarga patologis, karena perilaku tersebut dapat secara bermakna
meninggalkan stres emosional yang harus dihadapi oleh pasien
skizofrenik yang rentan.
2.14. Ikatan Ganda
Konsep ikatan ganda (double bind) dirumuskan oleh Gregory Betson
untuk menggambarkan suatu keluarga hipotetik dimana anak-anak
mendapatkan pesan yang bertentangan dari orangtuanya tentang
perilaku, sikap, dan perasaan anak. Di dalam hipotesis tersebut,
anak menarik diri ke dalam keadaan psikotik mereka sendiri untuk
meloloskan dari kebingungan ikatan ganda yang tidak dapat
dipecahkan. Sayangnya, penelitian keluarga yang dilakukan untuk
membuktikan teori tersebut telah secara serius mengalami cacat
metodologi dan tidak dapat diambil untuk menunjukkan keabsahan
teori tersebut.
2.15. Keretakan dan Kecondongan Keluarga
Theodore Lidz menggambarkan dua pola perilaku yang abnormal.
Dalam satu tipe keluarga, terdapat keretakan yang menonjol antara
orang tua, dan satu orang tua sangat terlalu dekat dengan anak dari
jenis kelamin yang berbeda. Pada jenis keluarga lain, hubungan
condong antara satu orang tua melibatkan suatu perjuangan tenaga
antara orang tua dan menyebabkan dominasi salah satu orang tua.
2.16. Keluarga yang Saling Mendukung Secara Semu dan Bermusuhan
Semu
Lymann Wynne menggambarkan keluarga di mana ekspresi emosional
ditekan oleh pemakaian konsisten komunikasi verbal yang saling
mendukung secara semu (pseudomutual) atau bermusuhan secara secara
semu (pseudohostile). Penekanan tersebut menyebabkan perkembangan
komunikasi verbal yang unik pada keluarga tersebut dan tidak
dimengerti oleh orang di luar keluarga; masalah timbul jika anak
meninggalkan rumah dan berhubungan dengan orang lain. 2.17. Emosi
yang Diekspresikan Emosi yang diekspresikan (seringkali disingkat
EE (expressed emotion)) biasanya didefinisikan sebagai kecaman,
permusuhan, dan keterlibatan yang berlebihan (overinvolvement) yang
dapat menandai perilaku orang tua atau pengasuh lain terhadap
skizofrenia. Banyak penelitian telah menyatakan bahwa, di dalam
keluarga dengan emosi yang sangat diekspresikan, angka relaps untuk
skizofrenia adalah tinggi. Penilaian emosi yang diekspresikan
termasuk menganalisis apa yang dikatakan dan cara bagaimana hal
tersebut dikatakan. 2.18. Teori-teori Sosial Beberapa ahli teori
telah menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi adalah
terlibat dalam penyebab skizofrenia. Walaupun beberapa data
mendukung teori tersebut, stres sekarang dianggap menimbulkan efek
utamanya dalam menentukan waktu onset dan keparahan penyakit 5.BAB
III
DIAGNOSA
3.1. Kriteria Diagnosis Skizofernia
Kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) : A. Gejala
karakteristik : Ditemukannya dua atau lebih gejala berikut : (1)
Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau
inkoheren)
(4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
(5) Gejala negatif, yaitu, pendengaran afektif, alogia, atau
tidak ada kemauan (avoilition)masing-masing didapat selama periode
1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil)Catatan : hanya
satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau
halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari
perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling
bercakap satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna
sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perwatan diri, adalah jelas
di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada
masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat
pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan)
C. Durasi : tanda gangguan terus menerus menetap selama
sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya
1 bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan berhasil) yang
memenuhi kriteria A (yaiutu, gejala fase aktif) dan mungkin
termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode
prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifstasikan
hanya oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang
dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang diperl;emah
(misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak
lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood :
Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik yang
telah disingkirkan karena : (1) tidak ada episode depresif berat,
manik, atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala
fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gela
fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan
durasi periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum : gangguan tidak
disebabkan oleh efek psikologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis
umum.
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : Jika
terdapat riwayat adanya gangguan autistik atau gangguan
perkembangan pervasif lainnya, doagnosis tambahan skizofrenia
dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga
ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati
secara berhasil)
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan
hanya setelah sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala
fase aktif) :
Episodik dengan gejala residual interepisode (episode
didefinisikan oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang
menonjol); juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang
menonjol
Episodik tanpa gejala residual interepisodik. Kontinu (gejala
psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh periode observasi);
juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang menonjol
Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika :
dengan gejala negatif yang menonjol
Episode tunggal dalam remisis penuh
Pola lain atau tidak ditentukan 4.
3.2. Gejala PramorbidSebelum seseorang secara nyata aktif
(manifes) menunjukan gejala-gejala Skizofrenia, yang bersangkutan
terlebih dahulu menunjukan gejala-gejala awal yang disebut gejala
pradormal. Sebaliknya bila seseorang penderita Skizofrenia tidak
lagi aktif menunjukan gejal-gejala Skizofrenia, maka yang
bersangkutan menunjukan gejala-gejala sisa yang disebut gejala
residual 1.Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak
kanak-kanak. Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak
pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan anak mengekspresikan
emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan
komunikasi: anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Gangguan
atensi: anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta
memindahkan atensi. Pada anak perempuan tampak sangat pemalu,
tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa
senang dan ekspresi wajah sangat terbatas. Sedangkan pada anak
laki-laki sering menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak
disiplin.
Pada bayi biasanya terdapat problem makan, gangguan tidur
kronis, tonus otot lemah, apatis dan ketakutan terhadap obyek atau
benda yang bergerak cepat. Pada balita terdapat ketakutan yang
berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut
gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda
bergerak.Pada anak usia 5-6 tahun mengalami halusinasi suara
seperti mendengar bunyi letusan, bantingapintu atau bisikan, bisa
juga halusinasi visual seperti melihat sesuatu bergerak
meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan
latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum
sendiri, menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang
merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan
kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua
orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi
dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain
serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki
perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya
hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya,
persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak
terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci
dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan
yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti
berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan
untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan
faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita
skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak
mampu mengatasi3.3.3. Kepribadian Pramorbid SkizofreniaFaktor
predisposisi dan beresiko tinggi bagi terjadinya gangguan jiwa
Skizofrenia, yaitu Kepribadian Paranoid, Skizoid, Skizotipal dan
Ambang (Borderline) yang kriterianya sebagai berikut:
3.3.1 Kepribadian Paranoid
Seseorang yang berkepribadian paranoid menunjukkan gejala-gejala
sebagai berikut :
A. Kecurigaan dan ketidakpercayaan yang pervasif dan tidak
beralasan terhadap orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh
sekurangkurangnya 3 dari 8 hal berikut ini :
1. Merasa akan ditipu atau dirugikan, berprasangka buruk dan
sukar untuk bisa percaya terhadap maksud baik dari orang lain.
2. Kewaspadaan yang berlebihan, yang bermanifestasi sebagai
usaha meneliti secara terus-menerus terhadap tanda-tanda ancaman
dari lingkungannya atau mengadakan tindakan-tindakan pencegahan
yang sebenarnya tidak perlu.
3. Sikap berjaga jaga atau menutup-nutupi, melakukan pengamanan
fisik dan tempat tinggalnya.
4. Tidak mau menerima kritik atau kesalahan, walaupun ada
buktinya. Alam perasaan (afek) sensitif, reaktif dan mudah
tersinggung.
5. Meragukan' kesetiaan orang lain, selalu curiga akan
dikhianati dan karenanya sukar untuk mendapatkan kawan ataupun
pasangan.
6. Secara intensif dan picik mencari-cari kesalahan dan bukti
tentang prasangkanya, tanpa berusaha melihat secara keseluruhan
dari konteks yang ada.
7. Perhatian yang berlebihan terhadap motifmotif tersembunyi dan
arti-arti khusus; penuh kecurigaan terhadap peristiwa atau kejadian
di sekitarnya yang diartikan salah dan dianggap ditujukan pada
dirinya.
8. Cemburu yang patologik, tidak beralasan dan tidak rasional,
dengan dalih yang dicari-cari untuk pembenaran dari rasa cemburunya
itu.
B. Hipersensitivitas, seperti yang ditunjukkan oleh
sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal berikut ini :
1. Kecenderungan untuk mudah merasa dihina atau diremehkan dan
cepat mengambil sikap menyerang (offensive).
2. Membesar-besarkan kesulitan yang kecil, tidak proporsional
dan mendramatisasi seolah-olah sedang menghadapi kesulitan atau
ancaman yang serius.
3. Siap mengadakan balasan apabila merasa terancam, serangan
balik yang tidak pada tempatnya.
4. Tidak dapat santai, tidak tenang, selalu gelisah dan tegang
karena tidak ada rasa aman dan terlindung (security feeling).
C. Keterbatasan kehidupan alam perasaan (afektif) seperti yang
ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal berikut ini :
1. Penampakan yang dingin dan tanpa emosi, ekspresi wajah
kosong, "tidak hidup" bagaikan "topeng".
2. Merasa bangga bahwa dirinya selalu obyektif, rasional dan
tidak mudah terangsang secara emosional, subyektivitas tinggi.
3. Tidak ada rasa humor yang wajar terkesan "serius" tidak suka
bercanda, tidak ada sense of humor.
4. Tidak ada kehangatan emosional, lembut dan sentimental,
seolah-olah tidak mempunyai perasaan, hambar dan tidak bereaksi
terhadap rangsangan atau hal yang bagi orang lain sesuatu yang
membuat lucu atau gembira.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota
keluarga ada yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian paranoid
sebagaimana diuraikan di muka. Baik pihak keluarga maupun yang
bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter (psikiater) agar
tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya
dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofreni.3.3.2.
Kepribadian SkizoidSeseorang yang berkepribadian skizoid
menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :A. Terdapat ciri
emosional yang dingin dan tidak acuh serta tidak terdapatnya
perasaan hangat atau lembut terhadap orang lain.
B. Sikap yang acuh tak acuh (indifferent) terhadap pujian,
kritikan atau perasaan orang lain, tidak menghargai orang lain.
C. Hubungan dekat hanya satu atau dua orang saja, termasuk
anggota keluarganya, tidak mampu bersosialisasi.
D. Tidak terdapat pembicaraan, perilaku, atau pikiran yang aneh
(eksentrik), yang merupakan ciri khas kepribadian Skizotipal.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota
keluarga ada yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizoid
sebagaimana diuraikan di muka. Baik pihak keluarga maupun yang
bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter (psikiater) agar
tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya
dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia.
3.3.3. Kepribadian SkizotipalSeseorang yang berkepribadian
skizotipal menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut, yaitu
sekurang-kurangnya terdapat 4 dari 8 hal yang berikut ini :
1. Pikiran magik atau gaib (magical thinking) seperti takhyul
yang tidak sesuai dengan budayanya (superstitious), dapat melihat
apa yang akan terjadi (clairvoyance), telepati, indera keenam,
"orang lain dapat merasakan perasaan saya" (pada anak-anak dan
remaja terdapat preokupasi dan fantasi yang aneh).
2. Gagasan mirip waham yang menyangkut diri sendiri (ideas of
reference), merasa segala peristiwa atau kejadian di sekitarnya
selalu ada kaitannya atau bersangkut-paut dengan dirinya.
3. Isolasi sosial, seperti tidak memiliki kawan akrab atau orang
yang dapat dipercaya, kontak sosial hanya terbatas pada tugas
sehari-hari yang seperlunya, kurang mampu bersosialisasi.
4. Ilusi yang berulang-ulang, seperti merasa adanya "kekuatan"
atau "orang" yang sebenarnya tidak ada (misalnya merasa seolaholah
ibunya yang sudah meninggal berada bersama dengan dirinya dalam
ruangan), depersonalisasi atau derealisasi yang tidak berhubungan
dengan serangan panik.
5. Pembicaraan yang ganjil (tetapi tidak sampai menjurus kepada
pelonggaran asosiasi atau inkoherensi), seperti pembicaraan yang
digresif, kabur, bertele-tele, sirkumstansial (berputar-putar),
metaforik (perumpamaan).
6. Di dalam interaksi (tatap muka) dengan orang lain terdapat
hubungan (rapport) yang tidak memadai (inadequate) akibat afek
(alam perasaan) yang tidak serasi (inappropriate) atau afek yang
terbatas (constricted), misalnya tampak dingin atau tidak acuh.
7. Kecurigaan atau ide paranoid, yaitu rasa curiga atau buruk
sangka yang tidak rasional.
8. Kecemasan sosial yang tidak perlu atau hipersensitivitas yang
berlebih terhadap kritik yang nyata ataupun yang dibayangkan.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota
keluarga ada yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizotipal
sebagaimana diuraikan di muka. Baik pihak keluarga maupun yang
bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter (psikiater) agar
tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya
dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia.
3.3.4. Kepribadian Ambang
Seseorang yang berkepribadian ambang menunjukkan gejala-gejala
sebagai berikut, yaitu paling sedikit terdapat 5 dari 8 kriteria di
bawah ini :1. Impulsivitas atau perubahan yang tidak dapat diduga,
setidak-tidaknya dalam dua aspek yang dapat merugikan diri,
misalnya boros, hubungan seks, berjudi, penggunaan zat (NAZA:
Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif), mencuri di toko, makan
berlebihan, tindakan cedera diri.
2. Ada pola hubungan interpersonal yang mendalam (intense) dan
tidak stabil, seperti perubahan yang hebat dalam sikap, menyanjung,
merendahkan, manipulasi (secara konsisten mengggunakan orang lain
untuk kepentingan dirinya).
3. Kemarahan hebat dan tidak wajar, atau kurangnya pengendalian
terhadap kemarahan, misalnya uring-uringan, kemarahan yang
menetap.
4. Gangguan identitas yang bermanifestasi dalam ketidakpastian
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan identitas, misalnya citra
diri, identitas jenis (gender identity), cita-cita jangka panjang
atau pemilihan karier, pola persahabatan, nilai-nilai dan
loyalitas, misalnya "siapakah saya?", "saya merasa seperti kakak
saya apabila saya sedang senang".
5. Alam perasaan (mood, affect) yang tidak mantap ditandai oleh
perubahan hebat dari afek (mood) yang normal menjadi depresi,
iritabilitas (mudah tersinggung/marah) atau cemas, biasanya
berlangsung beberapa jam dan (sangat jarang) sehingga beberapa
hari, dan kembali ke alam perasaan yang normal.
6. Tidak tahan untuk berada sendirian, misalnya ia berusaha
keras untuk tidak berada sendirian, merasa depresif apabila berada
sendirian.
7. Tindakan yang mencederai diri sendiri , misalnya usaha bunuh
diri, mutilasi diri (pemotongan atau pengundungan bagian tubuh),
kecelakaan berulang kali atau perkelahian fisik.
8. Perasaan kosong atau rasa bosan (jenuh) yang berkepanjangan
(menahun/kronik)4.3.4. Kriteria Diagnosis Subtipe Skizofernia
Kriteria diagnostik subtipe skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) :
3.4.1. Tipe Paranoid
Bila ditemui kriteria sebagai berikut:
a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi
suara yang sering
b. Tidak ada satu pun dari gejala berikut yang menonjol: bicara
kacau, tingkah laku katatonik, atau tingkah laku yang kacau, afek
tumpul atau tidak sesuai.3.4.2. Tipe terdisorganisasi
(hebefrenik)
a. Bila semua gejala ini menonjol
1. Bicara kacau
2. Tingkah laku kacau
3. Afek tumpul atau tidak sesuai
b. Kriteria tidak sesuai untuk tipe katatonik3.4.3.Tipe
katatonik
Suatu tipe skizofernia, dimana gambaran klinisnya didominasi
oleh sedikitnya dua dari gejala berikut:
1. Imobilitas motorik, bukti dari katalepsi (fleksibilitas
lilin) atau stupor
2. Aktivitas motor yang berlebihan (yang kadang-kadang tidak
bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal)
3. Negativisme yang ekstrim
4. Gerakan volunter yang aneh seperti yang ditunjukkan
posturing.
5. Ekolalia dan ekopraksia3.4.5. Tipe yang tidak
tergolongkan
Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi
kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid,
terdisorganisasi atau katatonik.
3.4.6. Tipe residual
Tipe skizofernia dimana kriteria ini dijumpai:
1. Tidak ada atau tidak menonjol: delusi, halusinasi, bicara
kacau, kekacauan yang terlihat, atau tingkah laku katatonik
2. Adanya bukti dari gangguan seperti yang diindikasikan dengan
keberadaan gejala negatif, atau dua atau lebih gejala yang terdapat
pada Criterion A untuk skizofrenia4.3.5. Golongan Skizofrenia lain-
lain
3.5.1. Skizofrenia Simpleks
Suatu bentuk psikosis (gangguan jiwa yang ditandai dengan
terganggunya realitas dan pemahaman diri/insight yang buruk ) yang
perkembangannya lambat dan perlahan dari perilaku yang aneh,
ketidak mampuan memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan
keterampilan sosial.3.5.2. Gangguan Skizofreniform
Gambaran klinis Skizofreniform ini sama dengan Skizofrenia,
perbedaannya adalah bahwa fase-fase perjalanan penyakitnya (fase
aktif, prodormal dan residual ) kurang dari 6 bulan tetapi lebih
lama dari 2 minggu.3.5.3. Skizofrenia Laten
Hingga kini belum terdapat suatu kesepakatan yang dapat diterima
secara umum untuk memberikan gambaran klinis kondisi ini.3.5.4.
Gangguan Skizoafektif
Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh gangguan pada alam
perasaan (mood, affect) disertai waham dan halusinasi serta
terdapat perasaan gembira yang berlebihan (maniakal) atau rasa
sedih yang sangat mendalam (depresi) 3.3.6. Diagnosis BandingGejala
psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan medis
psikiatrik, non psikiatrik dan berbagai macam zat.3.6.1. Medis dan
Neurologis Akibat zat : Amfetamin, halusinogen, alkaloid beladona,
halusinosis alkohol, putus barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP).
Epilepsi : Terutama epilepsi lobus temporalis. Neoplasma, penyakit
serobrovaskular, atau trauma : Terutama frontalis dan limbik.
Kondisi lain : Sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS)
Porfiria intermitten akut
Keracunan karbon monoksida
Lipoidosis serebral
Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Fabry
Penyakit Fahr
Penyakit Hallervorden-Spatz
Keracunan logam berat
Ensefalitis herpes
Homosistinuria
Penyakit Huntington
Lekodistrofi metakromatik
Neurosiflis
Hidrosefalus
Pellagra
SLE
Sindroma Wernicke-Korsakoff
Penyakit Wilson
3.6.2. Psikiatrik
Psikosis atipikal
Gangguan autistic
Gangguan psikotik singkat
Ganguan delusional
Berpura-pura
Gangguan obsesif-kompulsif
Gangguan keperibadian
Gangguan skizofrenia lain-lain4.
BAB IV
PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang
cenderung berlanjut (kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada
skizofrenia memerlukan waktu yang realtif lama (berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun), hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil
mungkin kekambuhan (relapse).
Terapi yang komprehensif dan holistic atau terpadu dewasa ini
sudah dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi
mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada
masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi terapi dengan
obat-obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi
psikososial dan terapi psikoreligius.4.1. Psikofarmaka
Terpi farmakologis merupakan terapi utama dari penatalaksanaan
skizofrenia. Pemilihan agent farmakologis yang tepat membutuhkan
pertimbangan yang matang akan keuntungan dan kerugian pemberian
obat tersebut. Terapi farmakologis atau psikofarmaka merupakan
salah satu elemen dari terapi terpadu bagi penderita
skizofrenia6.
Kemajuan dibidang Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) akhir-akhir
ini mengalami kemajuan pesat, baik dibidang organobiologik maupun
dibidang obat-obatannya. Dari sudut organobiologik sudah diketahui
bahwa pada skizofrenia terdapat gangguan pada fungsi transmisi
sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel penyusun saraf
pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang
mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan dan perilaku.
Oleh karena itu psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada
gangguan fungsi neurotransmitter tersebut, sehingga gejala-gejala
klinis tadi dapat dihilangkan.
Dewasa ini banyak jenis psikofarmaka yang digunakan untuk
mengobati penderita skizofrenia. Hingga sekarang belum ditemukan
obat yang ideal, masing-masing jenis obat ada kelebihan dan
kekurangannya selain juga ada efek samping.
Syarat-syarat psikofarmaka yang ideal untuk skizofrenia :
a. Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif
singkat.
b. Tidak ada / sedikit efek samping.c. Dapat menghilangkan
gejala-gejala skizofrenia dalam waktu relatif singkat.
d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya
ingat).
e. Tidak menyebabkan kantuk.f. Memperbaiki pola tidur.
g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi.
h. Tidak menyebabkan lemas otot.
i. (Jika mungkin) pemakaiannya dosis tunggal.
Berbagai jenis obat yang beredar di pasaran yang hanya dapat
diperoleh dengan resep dokter dapat dibagi dalam dua golongan,
yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi
kedua (atypical)5.Tabel 4.1. Sediaan Antipsikotik dan Dosis
Anjuran7No Nama GenerikNama DagangSediaanDosis Anjuran
1ChlorpromazineLARGACTIL
PROMACTIL
MEPROSETIL
ETHIBERNALTab. 25 mg, 100 mg
Amp.25 mg/ml150-600 mg/h
2Haloperidol SERENACE
HALDOL
GOVOTIL
LODOMER
HALDOL DECA-
NOASTab. 0,5 mg, 1,5&5 mg
Liq. 2 mg/ml
Amp. 5 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 2 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Amp. 50 mg/ml5-15 mg/h
50 mg / 2-4 minggu
3PerphenazineTRILAFONTab. 2 mg, 4&8 mg12-24 mg/h
4Fluphenazine
Fluphenazine-
decanoateANATENSOL
MODECATETab. 2,5 mg, 5 mg
Vial 25 mg/ml10-15 mg/h
25 mg / 2-4 minggu
5LevomepromazineNOZINANTab.25 mg
Amp. 25 mg/ml25-50 mg/h
6TrifluoperazineSTELAZINETab. 1 mg, 5 mg10-15 mg/h
7ThioridazineMELLERILTab. 50 mg, 100 mg150-600 mg/h
8SulpirideDOGMATIL
FORTE Tab. 200 mg
Amp. 50 mg/ml300-600 mg/h
9PimozideORAP FORTETab. 4 mg2-4 mg/h
10RisperidoneRISPERDAL
NERIPROS
NOPRENIA
PERSIDAL-2
RIZODALTab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 2 mg
Tab. 1,2,3 mgTab 2-6 mg/h
11ClozapineCLOZARILTab. 25 mg, 100 mg25-100 mg/h
12QuetiapineSEROQUELTab. 25 mg, 100 mg, 200 mg50-400 mg/h
13OlanzapineZYPREXATab. 5 mg, 10 mg10-20 mg/h
Sharma (2001) menyatakan bahwa 3 gejala yang menonjol pada
gangguan jwa skizofrenia adalah gejala positif, gejala negatif dan
gejala kognitif. Sebagaimana diketahui meskipun gejala-gejala
positif dan negatif skizofrenia telah dapat diatasi, namun bila
fungsi kognitif tidak dipulihkan, maka penderita tidak mempunyai
kemampuan untuk berpikir dan mengingat yang amat penting bagi
menjalankan fungsi kehidupannya sehari-hari. Sehingga dengan
demikian bila ketiga gejala-gejala tersebut di atas dapat diatasi,
maka penderita skizofrenia dapat hidup produktif dan mendiri. Hal
ini dimungkinkan dengan ditemukannya obat anti skizofrenia golongan
atypical.
Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemakaian
obat golongan typical pada 30% penderita skizofrenia tidak
memperlihatkan perbaikan klinis secara bermakna. Diakui bahwa
golongan typical ini mampu mengatasi gejala positif skizofrenia,
tetapi kurang efektif untuk mengatasi gejal-gejala negatif, gejala
kognitif dan efek samping EPS. Sedangkan obat golongan atypical
dapat mengatasi gejala-gejala positif, negatif, mencegah efek
samping EPS dan memulihkan fungsi kognitif.
Dengan terapi psikofarmaka sesungguhnya gangguan jiwa
skizofrenia dapat diobati dan disembuhkan dalam arti manageable dan
controllable. Penderita skizofrenia tidak harus meminum obat seumur
hidup, sebab kadang kala perjalanan gangguan jiwa skizofrenia ini
sewaktu-waktu dapat mengalami remisi, karena pada hakekatnya
penyakit ini merupakan self limitting process.54.1.1 Obat-obat yang
digunakan
Antipsikotik merupakan obat utama yang digunakan dalam terapi
psikofarmaka untuk penderita skizofrenia. Bagaimanapun, obat-obat
lain mungkin digunakan untuk mengatasi gejala anxietas, gangguan
tidur, depresi, gangguan mood, juga untuk mengurangi efek samping
yang mungkin timbul akibat penggunaan obat utama.4.1.1.1.
Neuroleptik (Antipsikotik)
Golongan obat ini biasanya sangat esensial untuk mengendalikan
gejala-gejala skizofrenia. Beberapa gejala yang sangat berespon
terhadap obat golongan antipsikotik antara lain, gangguan pikiran,
halusinasi, waham (waham hubungan, waham kejar, dan lain
sebagainya). Beberapa antipsikotik yang ada di pasaran misalnya,
trifluoperazine (Stelazine), pimozide (Orap), flupenthixol
(Fluanxol), and chlorpromazine (Largactil) dalam sediaan oral dan
sediaan injeksi short-acting . Obat-obat lain dalam golongan ini
yang termasuk long-acting injection (depot) diantaranya,
flupenthixol (Fluanxol), fluphenazine decanoate (Modecate),
pipotiazine (Piportil L4), dan haloperidol decanoate (Haldol
LA).
Sebagian besar pasien rawat inap diberikan terapi inisial dengan
sediaan oral dalam bentuk tablet maupun liquid. Bagi pasien-pasien
yang sangat terganggu, dapat diberikan sediaan injeksi agen
psikotropika yang memiliki efek cepat dengan durasi pendek. Pasien
rawat jalan dapat diobati dengan sediaan tablet maupun depot /
sediaan long-acting. Injeksi digunakan pada kondisi dimana terjadi
compliance, pada pasien dengan gangguan absorpsi atau terkadang
untuk tujuan kenyamanan pasien. Pada umumnya agen antipsikotik
tidak menyebabkan alergi, sehingga hanya pasien skizofrenia dengan
kecenderungan terjadinya efek samping yang berat yang tidak dapat
menerima terapi antipsikotik (kondisi ini sangat jarang terjadi).
Terdapat beberapa pasien yang dilaporkan bahwa penggunaan obat-obat
antipsikotik sebagai terapi mereka membuat mereka merasa sangat
tidak nyaman, sehingga mereka akan merasa jauh lebih berbahagia
jika tidak meminum obat tersebut. Pada pasien-pasien seperti ini
sangat perlu ditekankan mengenai pertimbangan keuntungan dan
kerugian penggunaan obat antipsikotik tersebut. Terkadang suatu
obat tertentu tidak cocok untuk pasien tertentu, pada kondisi ini
antipsikotik alternatif mungkin berguna.. Sebagai contoh, terdapat
dua golongan antipsikotik berdasarkan potensi yang dimiliki obat
tersebut (antipsikotik potensi rendah dan potensi tinggi).
Pemilihan obat subtype mana yang akan digunakan lebih
dipertimbangkan berdasarkan efek samping yang mungkin muncul selama
penggunaan obat tersebut, daripa potensi obat itu sendiri.
Obat-obat dengan potensi tinggi cenderung menyebabkan efek samping
muscular dan resah, gelisah (akhatisia). Dimana obat-obat dengan
potensi yang rendah dapat menyebabkan efek mengantuk dan penurunan
tekanan darah.Efek samping yang paling umum dari obat-obat
antipsikotik adalah gangguan otot. Pada tahap awal, dapat terjadi
dystonia akut (spasme otot- terutama otot mata, leher maupun batang
tubuh). Kondisi ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien,
tetapi berespon cukup cepat terhadap terapi. Umunya, pasien dengan
penggunaan obat ini mengalami, kekakuan, perlambatan gerak,
gemetaran dan atau gelisah.
Efek samping lain yang juga sering terjadi akibat penggunaan
antipsikotik yaitu, mengantuk, faintness, mulut kering,
pengelihatan kabur, sensitivitas meningkat terhadap sinar matahari,
dan konstipasi. Beberapa pria mengeluh mengalami kesulitan
ejakulasi, sementara beberapa wanita mengalami gangguan siklus
haid, dan pada kedua kelompok jenis kelamin pernah didapatkan
laporan bahwa beberapa dari mereka mengalami galacthorrea.
Kondisi-kondisi ini biasanya reversibel dengan dikuranginya dosis
antipsikotik yang digunakan, atau dengan mengganti antipsikotik
yang sedang digunakan atau dengan menambahkan obat tambahan lain
yang berfungsi sebagai penekan gejala efek samping yang terjadi.
Antipsikotik mungkin dipergunakan dalam jangka waktu yang lama, dan
pada beberapa kasus, seumur hidup pasien. Dosis terapeutik mungkin
dapat dikurangi secara bertahap seiring kemajuan penyakit pasien.
Pengurangan dosis dapat dipertimbangkan, setelah pasien tetap
berada dalam keadaan gejala terkendali selama beberapa bulan sampai
beberapa tahun. Jika pasien mengalami efek samping yang membuatnya
tidak nyaman, klinisi mungkin dapat mengurangi dosis obat lebih
cepat, meskipun dengan resiko meningkatnya kemungkinan relapse.
Jika terjadi relapse peningkatan dosis sesaat dari obat tersebut
mungkin diperlukan. Ketika gejala penyakit telah kembali
terkendali, pengurangan dosis harus dipertahankan pada level
sedikit lebih tinggi dari pada pemberian dosis rendah sebelumnya.
Pengurangan dosis lebih lanjut sebelum satu tahun terapi, adalah
tidak dianjurkan.Efek samping jangka panjang yang umum terjadi
yaitu tardive dyskinesia. Setelah beberapa bulan atau biasanya
beberapa tahun, beberapa pasien dapat mengalami gerakan-gerakan
otot yang sifatnya involunter, yang biasanya terjadi pada otot
wajah juga otot otot anggota gerak. Penetalaksanaan terbaik untuk
kondisi ini adalah pencegahan, dan oleh karena itu pasien harus
mempertahankan dosis terendah yang paling mungkin untuk memberikan
efek terapeutik. Karena terdapat kemungkinan pengurangan dosis yang
dilakukan secara cepat dapat menyebabkan gangguan tersebut semakin
jelas, sehingga sangat disarankan untuk mengurangi dosis secara
bertahap dengan selisih penurunan relative kecil. Akan tetapi efek
samping tardive dyskinesia ini meskipun tidak ringan, umumnya tidak
sampai membuat pasien merasa tidak nyaman menggunakan obat ini.
4.1.1. 2. Antiparkinson
Terpisah dari antipsikotik, obat-obat antiparkinson merupakan
obat lain yang paling sering diresepkan dalam terapi skizofrenia,
meskipun obat-obat golongan ini tidak bersifat causative. Beberapa
obat antiparkinson antikolinergik yang sering digunakan antara
lain, benztropine mesylate (Cogentin), trihexyphenidyl (Artane),
procyclidine (Kemadrin), amantadine (Symmetrel).
Obat golongan in juga sering disebut terapi efek samping.
Antiparkinson diindikasikan pada kondisi dimana efek samping
gangguan otot yang timbul akibat penggunaan antipsikotik sudah
sampai membuat pasien merasa tidak nyaman. Dosis pemberian
bergantung pada derajat ketidaknyaman pasien. Jika dibutuhkan,
pemberian dalam dosis tunggal lebih dianjurkan dan paling baik
diminum saat pasien terjaga, agar pasien dapat benar-benar
merasakan kerja obat tersebut. Obat golongan ini sangat efektif
untuk mengatasi kekauan otot dan tremor serta dapat juga membantu
mengatasi gelisah. Bagaimana pun, obat-obat ini mungkin dapat
memperburuk gejala lainnya seperti pengelihatan kabur, dan mulut
kering. Suatu keadaan toxic confusional state dapat terjadi pada
pemberian dosis yang berlebih, dan dapat menyebabkan klinisi
menetapakan diagnosa yang salah, karena keadaan ini sangat mirip
dengan keadaan dimana terjadi kekambuhan penyakit utama.Beberapa
psikiater menyarankan pemberian antiparkinson sebagai terapi
profilaksis untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi,
sementara beberapa psikiater lain menyarankan agar antiparkinson
baru diberikan pada saat efek samping gangguan otot telah muncul,
pada kelompok yang terakhir, mereka berpegang pada prinsip dimana
sebenarnya tidak ada satupun obat yang tidak mempunyai efek samping
sama sekali. Bagaimanapun, ketika seorang pasien harus menerima
terapi antipsikotik dosis tinggi, adalah penting untuk mencegah
berkembangnya efek samping yang menakutkan atau yang dapat membuat
pasien tidak nyaman. Sebaliknya, pada saat tercapai keadaan dimana
gejala penyakit utama telah terkontrol dan dosis terapi
antipsikotik mulai diperkecil, dosis terapi antiparkinson yang
diberikan dapat dikurangi atau dihentikan. 4.1.1. 3. Sedatives and
AnxiolyticsObat-obat golongan ini memberikan efek terapeutik sesuai
dengan namanya. Misalnya, beberapa obat golongan benzodazepine
digolongkan sebagai sedatif karena obat-obat tersebut menyebabkan
kantuk, sementara yang lainnya digolonkan sebagai anxiolitik karena
obat-obat tersebut mengurangi anxietas.
Tidak ada satupun obat dalam golongan ini yang digunakan untuk
mengatasi skizofrenia, kecuali jelas dinyatakan pada referensi yang
ada, sangat dianjurkan untuk mencegah penggunaan berlebih obat-obat
golongan ini, guna mencegah terjadinya :
1. Obat kehilangan efek terapeutiknya
2. Pasien mengalami ketergantungan secara psikologis maupun
fisiologis terhadap obat tersebut.
Terdapat tiga kelompok obat sedative utama, yaitu :
1. Barbiturat hati-hati terhadap efek toksisitas dan adiksi yang
mungkiin timbul akibat penggunaan obat golongan ini.
2. Benzodiazepin
3. Sedatif non-barbiturat.Diantara ketiganya, golongan
benzodiazepine paling banyak digunakan. Obat-obat golongan
benzodiazepine yang paling sering dipakai antara lain, flurazepam
(Dalmane), triazolam (Halcion), nitrazepam (Mogadon). Digunakan
pada waktu (menjelang) tidur, obat-obat ini dapat membantu
mengatasi gangguan tidur. Bagaimanapun, jika obat-obat ini
digunakan dalam jangka waktu lama, antara 4-6 minggu, dapat
menombulkan efek toleransi.
Pada golongan non-barbiturat, obat obat yang sering diresepkan
sebagai sedative yaitu chloral hydrate (Noctec). Seperti juga
benzodiazepine, obat ini dapat mennimbulkan kebiasaan / sugesti
pasien, sehingga sangat tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari
4-6 minggu.
Sebagian besar anxiolotik (yang juga dikenal secara kurang tepat
sebagai minor tranquilizers) juga termasuk golongan benzodiazepine.
Terdapat juga anxiolotik golongan non-benzodiapin, tetapi lebih
jarang digunakan daripada golongan benzodiazepine. Obat-obat
golongan benzodiazepine yang sering dipakai antara lain, lorazepam
(Ativan), chlordiazepoxide (Librium), oxazepam (Serax), clorazepate
(Tranxene), diazepam (Valium), alprazolam (Xanax).
Dalam penatalaksanaan skizofrenia, anxiolitik digunakan untuk
dua alasan, yaitu :
1. Mengurangi anxietas
2. Mengatasi efek samping antipsikotik yang mencakup gelisah,
kaku otot, dan tremor. Untuk alas an yang kedua ini, anxiolitik
sering digunakan selama lebih dari 6 minggu.
Benzodiazepin tergolong obat yang aman, tetapi tetap harus
dihindari penggunaanya bersamaan dengan alkohol maupun dengan obat
lain. Kombinasi dengan obat obat lain sangat tidak dianjurkan,
kecuali jika atas permintaan dokter. Pada keadaan tertentu,
benzodiazepine dapat memperburuk anxietas. Pada kasus seperti ini,
penggunaan lebih lanjut harus dihindari. Obat-obat ini harus
dihentikan secara bertahap untuk membantu mencegah terjadinya
gejala putus obat. 4.1.1. 4. Antidepressant
Antidepresant paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan
mood. Ketika digunakan pada penatalaksanaan skizofrenia, obat-obat
golongan ini berfungsi sebagai terapi penyerta (bersamaan dengan
antipsikotik sebagai obat utama) guna mengatasi gangguan mood yang
sering menjadi gejala penyerta pada pasien skizofrenia. Obat
golongan ini, dalam dosid kecil dapat juga digunakan sebagai
sedatif maupun hipnotik. Oleh karena itu, obat-obat golongan ini
dapat digunakan sebagai terapi alternatif terhadap benzodiazepin.
Antidepresant terbagi ke dalam empat kelompok utama :
1. Trisiklik (amitriptyline (Elavil), imipramine (Tofranil),
doxepin (Sinequan), clomipramine (Anafranil)). Gejala depresi dan
anxietas tertentu juga dapat berespon terhadap obat obat
trisiklik.
2. Inhibitor Monoaminoksidase (phenelzine (Nardil) dan
tranylcypromine (Parnate)). Obat obat ini digunakan untuk mengatasi
gangguan mood, tetapi jarang digunakan dalam penatalaksanaan
skizofrenia.
3. Tetrasiklik (maprotiline (Ludiomil)).
4. Lain-lain (trazodone (Desyrel) and fluoxetine (Prozac)).
Keempat kelompok utama golongan ini digunakan untuk gangguan
depresif yang disebabkan oleh perubahan biokimiawi. Obat-obat ini
tidak menolong untuk pasien yang mengalami depresi karena kondisi
dasar yang tidak menyenangkan. Karena sebagian besar pasien-pasien
skizofrenia sering mengalami depresi karena kondisi yang memang
tidak menyenagkan (bukan karena perubahan biokimiawi), penggunaan
antidepressant sering tidak banyak menolong. Jika antidepressant
dibutuhkan, obat-obat ini memerlukan waktu sampai dengan 2 minggu,
sebelum efek terapeutik obat tersebut tercapai. Obat-obat ini dapat
memperburuk efek samping antipsikotik dan antiparkinson (misal,
mulut kering dan pengelihatan kabur). Efek samping yang
mempengaruhi fungsi lain dari tubuh juga dapat terjadi. 4.1.1. 5.
Mood StabilizersMood stabilizers are used for mood disorders, e.g.
manic depressive illness. They also have a role in schizophrenic
illness complicated by a mood disorder. The most frequently used
drugs in this category are lithium and carbamazepine.
a) Lithium is a naturally occurring element that is usually
prescribed in its lithium carbonate salt form. It is used to keep
extreme mood swings in check. It is a very useful and effective
drug but it must be monitored carefully in the body to ensure that
the blood level does not reach toxic amounts. Most people need a
blood level of between 0.6 and 1.2 milli-equivalents / litre.
The balanced level can be influenced by drinking too much water
or other beverages, sweating too much through hard work or in hot
weather, excessive fluid loss, either through bowel or urine, and
changing salt intake. Anyone taking this medication should request
guidelines concerning its use.
b) Anticonvulsant drugs Carbamazepine (Tegretol), an
anticonvulsant used for epilepsy, is another drug used as a mood
stabilizer. Neither lithium nor carbamazepine are required
frequently in the management of schizophrenia. If toxicity occurs
when using these drugs, they should be stopped. 4.1.1. 6.
Lain-lainThe following drugs are used rarely in schizophrenia:
a) Beta-blockers - Perhaps the best known medication of this
group is called propranolol (Inderal). This medication has a number
of uses outside psychiatry, for example, to control heart problems
like angina, high blood pressure and irregular heart beats. It was
thought that propranolol might have an antipsychotic role in the
treatment of schizophrenia. However it was not as helpful as many
of the safer and more widely used medications. Its main value in
psychiatry is in reducing the fine tremor associated with lithium
use.
b) Megavitamins - In the late 1960's and early 1970's use of
large doses of B-group vitamins was recommended for the treatment
of schizophrenia. When studies were carried out to evaluate the
usefulness of this approach, they were found to be no more useful
than placebo but certain physicians and groups of lay individuals
still advocate their use. This approach also requires stringent
dietary regulations and patients unwilling to take antipsychotic
medication will likely have even greater difficulty accepting such
a limited diet. In addition, the large doses of daily vitamins may
make patients hot and flushed and cause them to feel uncomfortable.
More serious side-effects have also been reported, e.g. gouty
arthritis, liver problems.
c) Minerals - There are approximately 17 minerals required for
normal body function. Amounts required vary for each one but all
requirements can be met in a reasonably balanced diet. No mineral
deficiency or excess has been associated with schizophrenia. 4.1.1.
7. Obat-obat/ Zat yang Tidak DiresepkanWhen a person suffering from
schizophrenia starts taking drugs that are not prescribed by a
physician many relatives become concerned.
They wonder whether the non-prescribed drug may be harmful when
mixed with the psychiatric medication. Will it hinder the recovery
process and later result in relapse?
To respond to these and other questions a brief outline of some
street and over-the-counter drugs and their possible effects
follows:
a) Obat bebasLSD, amphetamines, cocaine and other hallucinogens
can cause psychosis on their own and because of questionable
sources may have unpredictable effects which makes their use even
more dangerous. Persons who suffer from schizophrenia and other
long-term mental illness have an increased potential for
undesirable reactions when taking such street drugs. Consciousness
altering street drugs (e.g. marijuana) tend to counteract the
effects of antipsychotic medication, thus they can make a person
ill again. The individual may misjudge the passage of time so that
a few minutes may seem like an hour. Perception of colour, sound
and other sensations may be sharpened or distorted. The attention
may be impaired, short term memory, logical thinking, and the
ability to perform complex tasks (such as driving a car) becomes
difficult. The user may also experience confusion, restlessness,
excitement, hallucinations or paranoid feelings.
In addition, with regular use, physical discomfort such as
diarrhea, stomach cramps, weight loss or gain, loss of sex drive,
bronchitis and other respiratory diseases may occur. More potent
hallucinogens can have even more devastating effects.
b) Alkohol Alcohol's effect on a person depends on the amount
consumed, the rate of consumption, and the rate of absorption and
elimination. There is no formula to indicate how much alcohol can
be consumed safely with medications. Each individual reacts
differently to alcohol which is a central nervous system depressant
(slowing down various body functions). Mixing alcohol with any drug
can be dangerous so it is important to discuss the matter with the
doctor. Generally speaking, occasional drinking does not aggravate
schizophrenic symptoms, though alcohol can make certain drugs more
potent, e.g. benzodiazepines.
c) Caffeine Caffeine is a stimulant to the brain and is found in
coffee, tea, cola drinks, chocolate, etc. As it may increase
anxiety, agitation and akathisia (restlessness), it is wise to take
caffeine-containing substances only in small amounts. Caffeine
should be avoided in the evening by people who have difficulty in
sleeping. If psychiatric medication causes thirst and dryness of
the mouth, substitute beverages that are less stimulating and are
good for weight reduction. Try skim milk, diet non-colas,
decaffeinated coffee and herb teas, fruit juices or water.
d) Over-the-counter Drugs Acetylsalicylic acid (Aspirin) - There
is no documented evidence regarding adverse drug interaction with
antipsychotic medication, however, caution should be observed in
overuse as acetylsalicylic acid (ASA) on its own has wide-ranging
effects on the body.
Antacids - Examples include; Maalox, Gelusil, Diovol, Riopan.
These preparations tend to interfere with the proper absorption of
neuroleptics. The full effect of the neuroleptic may be diminished.
Therefore antacids should be taken one hour before or after taking
neuroleptics.
Cold Medicines - Many cold medicines are a combination of
antihistamines and ephedrine-like drugs. They may make you sleepy
and irritable. If you are concerned about the safety of these
preparations, consult your pharmacist or discuss concerns with your
therapist. Caution should be observed to avoid overuse of these
drugs.
Sleeping Aids - Over-the-counter sleeping pills such as Nytol,
Nervine, Sominex, Sleep-eze, etc., all contain antihistamines which
may make you drowsy and lethargic on the following day. Symptoms
are similar to those of a hangover. Rather than using sleeping
aids, try sleeping and waking at regular times, moderate exercise
an hour or two before bedtime, reading at night and a glass of warm
milk, or Ovaltine. Sleep in a dark, quiet, comfortable room
allowing enough winding-down time from daily activities.
Avoid sleeping aids, prolonged use of sedatives, napping during
the day, arguing and working in bed. Also alcohol, caffeine,
tobacco and eating late at night may all disturb sleep. If sleep
difficulties persist, talk to your doctor.
Pep Pills - (uppers) such as methylphenidate (Ritalin), diet
pills and other amphetamine-related drugs stimulate the central
nervous system and can alter the mood to varying degrees. These
drugs are dangerous as they tend to mask one's feelings, create a
false sense of energy and are habit-forming. Some of these drugs on
their own may cause psychotic reactions and should be avoided
especially by anyone with a history of psychiatric illness.
4.1.2. Efek Samping yang Sering Terjadi dan
Penaggulangannya4.1.2.1 Mengantuk This occurs commonly with many
medications including neuroleptics and antidepressants.
It is especially noticeable when starting treatment. Drowsiness
reduces over time and can be minimized by taking the largest dose
of the medication before bedtime. Long-acting injections can be
timed so that the most sedating period occurs at a non-critical
period (e.g. weekend or d